PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
OMPU I : Kajian Ulang Atas Pemakaian Gelar Ephorus HKBP
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Oleh :
ANDREO FERNANDEZ NIM : 146322012
UNIVERSITAS SANATA DHARMA ILMU RELIGI DAN BUDAYA YOGYAKARTA 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Di dalam Protestantisme, perjuangan gerakan reformasi yang paling terlihat adalah egaliterianisme yang dikembangkan Martin Luther. Hal ini diperlihatkan dengan adanya kesetaraan dalam relasi kuasa, baik dalam hubungan antara sesama kaum imam maupun juga dalam hubungan kaum imam dengan jemaat awam. Namun di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) adanya pemakaian gelar Ompu i kepada pemimpin tertinggi HKBP, Ephorus, mengindikasikan yang berbeda. Fenomenanya adalah bentuk pengkultusan dalam memandang seorang Ephorus yang menyebabkan kepada ketimpangan relasi kuasa antara pemimpin dan pengikut. Di dalam suatu organisasi, hal ini akan berdampak kepada suatu organisasi yang tidak sehat, yang dapat memanipulasi wewenang kedudukan pimpinan atau mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Adanya fenomena ini mengindikasikan bahwa gelar Ompu i bukanlah sebatas gelar atau panggilan bagi pemimpin HKBP, melainkan menjadi suatu wacana kepemimpinan yang memiliki dampak bagi hubungan pemimpin dan pengikut. Dalam studi ini ini maka saya akan menganalisa wacana kepemimpinan Ompu i yang digunakan oleh Ephorus HKBP untuk melihat pengetahuan dari wacana ini, sehingga menimbulkan ketimpangan relasi kuasa. Dengan menggunakan analisa wacana Michel Foucault maka kajian ini akan menggali kepada suatu diskontinuitas historis sebagai bentuk reproduksi kekuasaan, di mana permulaan wacana ini berawal dari misi badan zending RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) yang melakukan pekabaran Injil di Tanah Batak yang kemudian mereproduksi kekuasaan Raja Singamangaraja XII. Sehingga sebagai suatu keakuratan data maka saya menggunakan arsip, Surat Kuliling Immanuel, untuk melihat konstruk yang dilakukan RMG dalam menciptakan kekuasaan sebagai representasi dari suatu karya di zaman tersebut. Beberapa hal yang terkait dalam menganalisa wacana tersebut dengan melihat pembentukan wacana berdasarkan aturan-aturan dan praktik-praktiknya melalui pembentukan objek-objek terkait, konsep-konsepnya, unsur modalitas, serta strateginya.
Kata Kunci
: Wacana, Reproduksi, Pengetahuan, Relasi Kuasa, Kekuasaan, Kepemimpinan, Komunitas, Kekristenan.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT In Protestantism, the most visible reform movement from Marthin Luther is egalitarianism. That was demonstrated in the equality of power relations, either in the relationship among the priests or in the relation of the priest to the church’s member. But HKBP (Huria Kristen Batak Protestant) showing a different power relation because there is Ompu i’s title which is giving to Ehporus as the Top Leader of HKBP. The phenomenon is a form of cultism to the figure of Ephorus which produce the imbalance of power relations between leaders and followers. In organization system, it will impact to an organization which is not healthy, that can be manipulate or become abuse of power used by the authority of leadership. This phenomenon indicates that the title of Ompu i is not only a title but becomes a discourse of leadership that has implications for the relationship of leaders and followers. In this study, I will analyze the discourse of leadership Ompu i Ephorus HKBP to see the knowledge of this discourse, that brought to the causing imbalance of power relations. By using a discourse analysis, Michel Foucault, this study will explore the discontinuity historically as a reproduction of power, where the beginning of this discourse started from the missions of RMG (Rhenish Missionary Society) who do evangelism in Batak land and then reproduce the power of King Singamangaraja XII. So for the accuracy of data, I’m using archives, Surat Kuliling Immanuel, to see the construction which is made by RMG had created authority (power) as a representation of a work in that era. Some things which are involved in analysed in this discourse: by looking at the formation of discourse based on the rules and practices through the establishment of related objects, concepts, elements of modalities and strategies.
Keywords
: Discourse, Reproduction, Knowledge, Power Relation, Power, Leadership, Community, Christianity.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kata Pengantar
Suatu kesempatan berharga yang penulis rasakan ketika dalam suatu kesempatan waktu, yakni penulisan tesis, saya memilih untuk mengkaji ulang wacana kepemimpinan Ompu i Ephorus dalam masyarakat Batak yang notabene sangat dekat dan ramah dengan saya. Awalnya, wacana ini hanyalah kegelisahan saya yang melihat dan merasakan secara langsung besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh Ompu i Ephorus HKBP tanpa berusaha ingin mengkaji dan menyelidiki lebih dalam. Mungkin bagi saya awalnya dan beberapa kalangan Pendeta wacana ini cukup hanyalah berada di dalam “brangkas” tanpa perlu dibuka. Atau bahkan bagi yang merasa tidak tergugah, maka wacana ini tersusun rapi yang hanya sekedar penggunaan adat dan budaya masyarakat Batak. Namun demikian seiring perubahan waktu, tidak ada suatu kebanggaan dari saya, selain ketergugahan dalam membaca Michel Foucault untuk mengkaji wacana ini; melihat data-data kolonial dengan mengkajinya dari bawah; melihat objek-objek, konsep-konsep, strategi dan modalitas terkait dalam pembentukan wacana. Saya percaya bahwa selesainya kajian ini kiranya dapat berguna dan membantu bagi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) secara khusus dan gerejagereja pada umumnya untuk menoleh kebelakang, melihat yang lampau dan merajut yang menjelang. Paling tidak dari karya ilmiah ini ingin ditunjukkan bahwa
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebenarnya, pertama, di lingkup gereja sendiri masih ada yang wacana-wacana yang justru menimbulkan ketimpangan dalam relasi kuasa, sehingga disadari atau tidak, wacana tersebut telah membawa sikap superior dan inferior. Kedua, sebagai sumbangan ataupun saran agar gereja mau memikirkan ulang misiologinya yang tidak menimbulkan sikap arogansi atau superioritas dalam diri gereja. Kedua saran ini sebagai suatu kritik yang membangun agar gereja selalu membaharui dirinya, seperti yang Martin Luther katakan sebagai: “Ecclesia Semper Reformanda.” Bagi saya selesainya karya ilmiah ini merupakan suatu karunia dari Allah Bapa,
Tuhan Yesus dan Roh Kudus yang selalu setia mendampingi dan
memberikan berkatnya kepada saya. Ia jugalah yang telah memberikan semangat kepada penulis melalui senyuman, tawa, canda, doa, tangis melalui kehadiran anakanak yang saya cintai, yakni Cinta Aveshemma Rajagukguk dan Cordelia vin Alyosha Rajagukguk, serta isteri tersayang yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada saya, Pdt. Lidya Theresia Butarbutar. Banyak pergumulan saya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, namun semuanya dapat terselesaikan karena campur tangan Tuhan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis melalui dosen-dosen IRB, sehingga tak lupa hanya seuntaian kata terima kasih yang dapat saya berikan kepada mereka, yakni: Dr. Katrin Bandel dan Dr. Budi Susanto, S.J. yang telah membaca dan menjadi pembimbing pertama dan kedua. Demikian juga Dr. St. Sunardi yang mengenalkan saya Norman Fairclough untuk mempermudah melihat analisis wacana yang
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
digunakan oleh Michel Foucault. Tak ketinggalan juga kepada Prof. Dr. Supratiknya, Dr. Budi Subanar, S.J., Dr. Baskara T. Wardaya, S.J., Dr. Tri Subagya, Dr. Ita Yulianto yang telah memberikan masukan-masukan berharga. Selain dilingkungan dosen-dosen IRB maka ada juga para ahli dan dosen yang membantu penulis dalam memberikan masukan yang berharga, yakni Dr. Uli Kozok yang membantu penulis melihat lebih jauh mengenai RMG dan juga kajian misionaris linguistic. Demikian juga Manguji Nababan yang membantu dalam melihat Sastra Batak, serta menjadi bank arsip dari tesis ini. Tanpanya, mungkin tiada arsip yang didapatkan. Dan juga Monang Naipospos yang membantu dalam melihat agama Parmalim. Tanpa mereka semua maka penulis akan mengalami kesusahan dalam penyusunan tesis ini. Maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada mereka semua. Tuhan juga memberikan teman-teman seangkatan kepada saya yang selalu memberikan masukan, semangat, hiburan, dalam menyelesaikan tesis ini, yakni IRB angkatan 2014, khususnya kepada Heri, Nucholis, Ajay, Ben, Riston, Linda, Abet, Franz, Pinto, Wisnu dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Sejajar dengan itu juga dilingkungan rumah/kos, penulis banyak terima kasih kepada Bung Yan yang juga memberikan masukan berharga. Tidak ada yang bisa saya berikan selain hanya doa dan ucapan terima kasih kepada mereka semua.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Akhir kata, kajian ilmiah ini saya persembahkan kepada orang tua saya, Drs. Marhujogo Rajagukguk dan HNE Hutabarat yang telah meninggalkan jejak kepada saya. Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada kaum intelektual, khususnya yang membahas mengenai budaya Batak, sehingga dapat memperkaya kajian-kajian mengenai budaya Batak. Terima Kasih. Tuhan memberkati.
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Daftar Isi
LEMBAR JUDUL
i
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
v
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
vii
KATA PENGANTAR
viii
DAFTAR ISI
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Tema
10
C. Rumusan Masalah
10
D. Tujuan Penelitian
11
E. Pentingnya Penelitian
11
F. Tinjauan Pustaka
12
G. Kerangka Teori
17 xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
H. Metode Pengumpulan Data
27
I. Skema Penulisan
28
BAB II
MERAJUT GAGASAN OMPU I
A. Pandangan Umum
32
B. Gagasan Suhi Ampang Na Opat
39
C. Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja
44
D. Raja Singamangaraja dan Sahala Kepemimpinan
72
E. Kesimpulan
77
BAB III
WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN
A. Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme
81
B. Kolonialisme dan Misi Pengadaban
97
C. Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan
119
D. Kesimpulan
141
BAB IV
ANALISA WACANA: ATURAN DAN PRAKTIK KEPEMIMPINAN OMPU I
A. Identifikasi Arsip
145
B. Pengetahuan dalam Wacana Kepemimpinan Ompu i
150
C. Praktik Wacana Ompu i: Sejarah “Kelam” Pekabaran Injil di Tanah Batak (Perang Toba I) D. Kesimpulan BAB V
176 179
PENUTUP: RELASI KUASA DALAM WACANA KEPEMIMPINAN OMPU I EPHORUS HKBP
182 xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
201
DAFTAR PUSTAKA
210
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Di dalam tradisi Kekristenan (baca: Protestan) terdapat 3 (tiga) sistem
organisasi gereja sejak reformasi abad pertengahan, yakni Konggregasional, Episkopal dan Presbiterial Sinodal.1 Sistem Konggregasional menekankan pada konggregasi atau perkumpulan jemaat-jemaat sebagai sistem organisasi gereja. Sistem Episkopal merupakan sistem organisasi yang bersifat hirarki atau top-down yang menaungi gereja-gereja dan konggregasi, sedangkan Presbiterial Sinodal merupakan kebalikan dari sistem Episkopal yang juga menekankan sistem organisasi namun berbasis kepada jemaat atau bottom-up. HKBP atau Huria Kristen Batak Protestan menggunakan sistem Episkopal dengan menempatkan Ephorus2 sebagai pemimpin tertinggi. Kedudukan Ephorus berada di depan (primus inter pares) dari pimpinan lainnya (Sekretaris Jenderal, Kepala Departemen Koinonia, Marturia dan Diakonia), serta di atas konggregasi (baca: distrik) dan jemaat. Menurut Aturan Peratuan HKBP 2002, Ephorus
1
Dalam Protestantisme, ketiga bentuk organisasi ini haruslah dipahami dalam bentuk pemahaman gereja lokal sebagai pengorganisir wilayahnya, sesuatu yang sangat berbeda dengan pemahaman Katolik. (lih. Christopher Ocker, “Ecclesiology and The Religious Controversy of The Sixteenth Century” dalam Gerard Mannion, cs. (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church (New York: Routledge, 2008), hl. 74-75 2 Istilah Ephorus berawal dari ”Overseer”, yang berarti: ”pengawas.” Pada awalnya Overseer diberikan kepada Nommensen oleh Badan Zending RMG. Lih. Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hl. 186.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memiliki kuasa yang sangat besar di dalam sistem organisasi Episkopal yang digunakan oleh HKBP.3 Itu artinya, Jabatan Ephorus menaungi 30 distrik dan 3.533 jemaat HKBP yang terdiri 743 Ressort4, 15 Persiapan Ressort dan 3.275 jemaat, 109 Persiapan Jemaat (Parmingguon) dan 150 Pos Pelayanan yang menyebar di seluruh dunia termasuk wilayah luar negeri, yakni Amerika Serikat (California, New York, Colorado, dan Fontana).5 Namun dari sistem organisasi yang digunakan oleh HKBP, saya melihat, ada yang menarik dari jabatan Ephorus HKBP, yakni penyebutan Ephorus sebagai Ompu i. Penyebutan ini sering diucapkan oleh jemaat ataupun para kaum imam di HKBP, walaupun para kaum imam cenderung lebih dominan menggunakannya. Penyebutan ini tidak tercantum di dalam Aturan Peratuan HKBP, bahkan di dalam eklesiologi (ilmu tentang gereja) tidak ada satu gelar atau jabatan gerejawi untuk istilah Ompu i. Saya melihat bahwa penyebutan ini bukanlah suatu panggilan yang bersifat sapaan sehari-hari, melainkan menjadi sapaan resmi, mengingat sapaan tersebut turut ditampilkan di media-media HKBP. Misalnya saja situs resmi HKBP yang menampilkan sapaan tersebut.6 Demikian juga dengan Majalah Surat Parsaoran (SP) Immanuel milik HKBP yang menampilkan sapaan tersebut: “…Menurut penuturan Ompu i Ephorus, ada keunikan dari bapak rendah hati ini dalam
3
Bentuk kuasa Ephorus dalam Aturan Peraturan HKBP 2002, misalnya: pemutasian para kaum imam dari tingkat jemaat hingga distrik, rapat-rapat penting di HKBP, dll. 4 Distrik adalah Kumpulan dari Ressort, sedangkan Ressort adalah kumpulan dari berbagai jemaat, Pos Pelayanan, Parmingguon. 5 Berdasarkan Almanak HKBP 2017. 6 Lih. http://hkbp.or.id/index.php/2016/05/11/ompui-ephorus-menjamu-makan-malambersama-pemenang-hkbp-kids-soccer-ii/ Di akses pada 17 Mei 2016.
Ompu i |2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mendidik anak-anaknya untuk tetap rendah hati…”7 Dari contoh-contoh tersebut sangat jelas bahwa para kaum imam (Pendeta, Guru Huria, Bibelvrouw dan Diakones) atau pengerja di HKBP sendiri secara sengaja dan sepakat menggunakan sapaan Ompu i ini. Hal ini menandakan bentuk pengkondisian terhadap jemaat perihal menciptakan proyeksi yang sama dalam memandang Ephorus HKBP. Namun selain dari media-media milik HKBP, beberapa media lokal di Sumatera Utara turut juga menampilkan sebutan Ephorus ini. Salah satunya adalah harian Suara Indonesia Baru (SIB) yang merupakan media sekuler untuk konsumsi publik milik Keluarga Besar almarhum Jend. (Purn) M. Panggabean: “Dalam khotbahnya Ompu i Ephorus HKBP mengatakan…”8 Dan masih ada lagi beberapa media publik yang menyebut Ephorus sebagai Ompu i. Namun yang pasti gelar ini bagi masyarakat Batak pada umumnya dan jemaat HKBP secara khusus adalah sesuatu yang common sense. Di HKBP, pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus menambah kuasa dalam jabatan Ephorus HKBP. Jurang hirarki semakin tampak melebihi kapasitas dari sistem organisasi. Hal ini terlihat dari pola perilaku para pengikut kepada Ephorus HKBP. Dari pengalaman saya, paling tidak hal ini sangat terasa dalam beberapa hubungan atau relasi kuasa, yakni pertama, hubungan antara Ephorus dengan para kaum imam (Pendeta, Bibelvrouw, Guru Huria dan Diakones) dan kedua hubungan Ephorus dengan jemaat atau kaum awam. 9
7
Surat Parsaoran Immanuel HKBP edisi No. 9 September 2015 Tahun ke-125, hl. 21. Di ambil dari http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=23590. Di akses pada 24 Oktober 2015. 9 Dari pengalaman saya, bentuk perilaku pengikut kepada Ompu i Ephorus misalnya dengan bentuk penyambutan Ephorus ke jemaat-jemaat bak melebihi raja, misalnya penyediaan hotel berbintang, pengalungan bunga dan tor-tor (tarian Batak), serta pemberian cinderamata, dsb. 8
Ompu i |3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penggunaan gelar ini menurut saya melebihi kapasitas dari seorang pemimpin gereja, terlebih bila disandingkan dengan tradisi Protestantisme yang mengedepankan egaliterianisme dan bukan dalam mengkultuskan sesosok manusia, bahkan Ephorus sekalipun.10 Apa yang saya alami, juga dirasakan Prihatiar Kristy Sari yang merupakan salah seorang warga jemaat HKBP. Bahkan ia secara terangterangan menyebutkan di laman grup Facebook Ruas Ni HKBP Masihaholongan, salah satu media komunikasi yang membahas tentang HKBP, bahwa penyambutan kedatangan Ompu i Ephorus HKBP melebihi penyambutan Yesus Kristus. (gambar 1).11
Gambar 1
Contoh lainnya diluar dari konteks HKBP adalah terlihat dengan adanya sikap para pengikut untuk berlomba-lomba mengundang Ompu i Ephorus untuk memimpin atau sekedar hadir dalam acara atau kegiatan tertentu, misalnya, acara ulang tahun perusahaan, perkumpulan marga, pesta pernikahan, dsb. Contoh lainnya yang saya jumpai adalah keantusiasan masyarakat atau polisi dalam melambaikan tangan ketika mobil Ephorus melintasi jalan di sepanjang jalan Tarutung-Medan. Gaung akan kuasa Ompu i sangatlah terasa di wilayah Sumatera Utara, khususnya bagi masyarakat Batak. 10 Peristiwa Reformasi di tubuh Katolik yang dilakukan oleh Martin Luther ditandai dengan munculnya egaliterianisme dalam Kekristenan dengan mengkritik otoritas gereja diberbagai bidang, misalnya bentuk desentralisasi penafsiran biblis dengan menjadikan gerakan demokratisasi religious, dsb. 11 Status ini merupakan komentar balasan atas status yang diberikan oleh Antoni Simbolon yang mempertanyakan tentang “bagaimana Ephorus bisa dipanggil Ompu i padahal disatu sisi Tuhan dipanggil dengan sebutan Bapa di mana Ompu i memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Bapa ?” pada 8 Juli 2015 di Grup Facebook Ruas Ni HKBP Masihaholongan.
Ompu i |4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP adalah bentuk pengkultusan kepada sosok pemimpin (hierophany), di mana hal ini menandakan ada kapasitas yang lebih dari seorang pemimpin gereja atau jabatan gerejawi, sehingga pengkultusan tersebut mempengaruhi pola kepemimpinan di HKBP, yakni dengan menjadikan pengikut yang selalu setia dengan pemimpinnya, seperti halnya yang digambarkan oleh Prihatiar Kristy Sari.12 Memang bentuk pengkultusan bagi sesosok pimpinan adalah selayaknya ideologi yang digunakan oleh HKBP dalam menyapa para pengikut seperti yang dijelaskan Althusser mengenai sifat ideologi sebagai interpelasi.13 Artinya, ketika HKBP menggunakan gelar tersebut, maka ideologi tersebut menyapa para pengikutnya,
sehingga memberikan
suatu kepatuhan yang
tidak dapat
dipertanyakan lagi oleh para pengikutnya. Karena ideologi tersebut menggunakan bahasa Batak-Toba maka efek yang ditimbulkannya tidak sekedar pada organisasi di tingkat elite belaka melainkan menjadi embedded di dalamnya dan mempengaruhi hubungan pemimpin hingga kepada pengikutnya atau jemaat yang juga orang Batak. Kepatuhan ini, tanpa disadari, dapat menimbulkan efek negatif bagi para pengikut atau juga bagi HKBP sendiri berupa penindasan dan manipulasi kepada para pengikut, atau dengan kata lain, berpotensi akan penyalahgunaan wewenang
12
Selain Prihatiar Kristy Sari sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh serupa yang melihat gelar Ompu i tersebut sebagai bentuk pengkultusan, baik yang saya dengar atau pun yang saya lihat. Bahkan hal ini tidak hanya berlaku kepada jemaat atau kaum awam, melainkan juga para kaum imam pun, seperti yang saya lihat, telah mengkultuskan Ompu i Ephorus melalui sikap dan tingkahlakunya kepada pemimpin. 13 Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses” dalam Slavoj Zizek (ed.), Mapping Ideology (London: Verso, 1994), hl. 129.
Ompu i |5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(abuse of power). Hal ini juga seperti yang diutarakan Edgar H. Schein, seorang ahli manajemen organisasi: “When one brings culture to the level of the organization and even down to groups within the organization, one can see clearly how culture is created, embedded, evolved, and ultimately manipulated, and, at the same time, how culture constrains, stabilizes, and provides structure and meaning to the group members. These dynamic processes of culture creation and management are the essence of leadership and make one realize that leadership and culture are two sides of the same coin.”14
Dengan dampak tersebut, maka gelar ini tidak sekedar panggilan melainkan sebuah konsep yang memiliki maknanya tersendiri. Bahkan ditengah-tengah jemaat HKBP, gelar tersebut menimbulkan polemik. Seperti yang saya jumpai, baik di kehidupan sehari-hari dan juga di media sosial, cukup banyak jemaat HKBP yang menanyakan dan menolak gelar tersebut, sehingga dari sini timbullah pertanyaan: dari manakah gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP ini sebenarnya berasal? Pengetahuan apa yang membuat pengikut sendiri menjadi patuh atau, sebaliknya, menolak gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP? Pertanyaan-pertanyaan ini berusaha untuk melihat mundur kebelakang tentang bagaimana kuasa dari gelar Ompu i dapat hadir di HKBP. Pemikiran Michel Foucault dapat membantu menelusuri hadirnya kuasa dari gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP tersebut. Menurut Michel Foucault setiap kuasa (power) dapat hadir melalui wacana atau discourse.15 Artinya, ada suatu ketidaksadaran yang mempengaruhi perilaku pengikut dalam bentuk reka-bayang. Ompu i adalah common sense yang hadir dalam bentuk wacana kepemimpinan bagi masyarakat Batak. Ketika studi ini ingin
14 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership (San Fransisco: Jossey-Bass, 2004), hl. 1 15 Sara Mills, Michel Foucault (London: Routledge, 2003) hl. 54-55.
Ompu i |6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melihat ke belakang dalam membongkar (analisis) wacana Ompu i yang digunakan oleh HKBP, maka legitimasi-legitimasi yang hadir dalam wacana tersebut dalam mempengaruhi para pengikut perlu dipertanyakan. Pemikiran Foucault ini sangatlah berbeda dengan Althusser. Althusser melihat kuasa berasal dari “atas”, sedangkan Foucault melihat kuasa dari “bawah” yakni dengan mencoba melihat relasi kuasa yang membentuk pengetahuan (episteme) sehingga pengetahuan itu melahirkan kuasa kembali.16 Artinya, ketika HKBP menggunakan gelar Ompu i maka perlu untuk melihat kebelakang bagaimana gelar tersebut muncul dan didapatkan sehingga dapat mempengaruhi para pengikut. Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP merupakan warisan tradisi yang telah dipakai semenjak Ephorus pertama HKBP, yakni Dr. I.L. Nommensen17 yang merupakan salah seorang misionaris dari badan zending RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) asal Jerman. Buku karya Jonathan T. Nommensen18 yang berisi tentang pengalaman Nommensen saat menyebarkan Injil di Tanah Batak seolah mengesahkan pemakaian gelar ini dengan memberikan judul pada cover bukunya sebagai Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Bahkan dalam buku
Sara Mills melihat kuasa Foucault dari “bawah ke atas” untuk mendeskripsikan relasi kuasa. Bagi Sara Mills Foucault sangat berbeda dengan Alhutser yang justru sebaliknya melihat kuasa dari atas ke bawah, dimana Negara (state) menindas individu-individu. Lih. Ibid., hl. 34. 17 Pemanggilan Ompu i kepada Nommensen merupakan pemberian dari para pengikut. TB Simatupang melihat pemanggilan ini dilakukan secara spontan karena tidak ada lagi penyebutan yang lain. Lih. Panda Nababan, dkk (eds), Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap Warga Jemaat Huria Kristen Batak Protestan; Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era Industrialisasi (Jakarta: Yayasan Sinar Mampang, 1988), hl. 36. 18 Dalam buku ini dicatat mengenai seorang tamu yang memanggil Nommensen dengan sebutan Ompung. Hal ini menandakan bahwa pada semasa hidupnya, Nommensen telah dipanggil sebagai Ompung, yang dalam hal ini menunjuk kepada Ompu i, walaupun sampai sekarang tidak ada yang tahu persis mengenai kapan pertama kali dan bagaimana pemberian gelar tersebut diberikan kepada Nommensen. Lih. J.T. Nommensen, Ompu I Dr. Ingwer Ludwig Nommensen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hl. 210. 16
Ompu i |7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut dikatakan bahwa Nommensen diberikan gelar Ompu i oleh masyarakat Batak.19 Menurut Bonar Sidjabat, istilah ompu i ini sendiri sebenarnya sangat umum digunakan di daerah Tapanuli Selatan kepada orang-orang yang usia lanjut dan dianggap dapat dituakan. Namun menurutnya, istilah Ompu i ini sangat berbeda dengan gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen. Sidjabat membedakan gelar Ompu i yang digunakan Nommensen dengan huruf “O” besar untuk Ompu i yang berbeda dengan ompu i dengan huruf “o” kecil.20 Gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen memiliki keistimewaan tersendiri. Ia menjadi orang non-pribumi, sekaligus orang Kristen pertama yang menerima gelar Ompu i dari masyarakat Batak (pengikut).21 HKBP yang hanya melanjutkan tongkat estafet dari pemakaian gelar tersebut membuat setiap Ephorus terpilih secara otomatis turut juga disapa sebagai Ompu i.22 Paling tidak, semenjak HKBP berdiri pada 7 Oktober 1861, HKBP telah memiliki empat belas Ephorus, yang semuanya disapa sebagai Ompu i.23 Memang tidak ada yang tahu mengenai
19 20
Ibid., hl. 192. Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.
431. 21
Dari pengalaman saya, banyak saya jumpai di media sosial maupun di pergaulan seharihari ketidaksetujuan terhadap HKBP yang menggunakan atau melanjutkan tradisi gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP dengan maksud bahwa gelar tersebut cukuplah hanya pada Dr. I.L Nommensen. 22 Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP tidak lepas dari klaim (pengakuan) HKBP atas sejarah lahirnya HKBP yang bermula dari pekerjaan zending RMG di Tanah Batak, yakni 7 Oktober 1861. Penentuan tanggal lahir tersebut menandakan adanya kesinambungan antara zaman misionaris hingga kemandirian HKBP pada 1940 ketika Pdt Kasianus Sirait menjabat sebagai Ephorus pribumi pertama. Lih. Dr. J. Sihombing, Sedjarah ni Huria Kristen Batak Protestant (Medan: Philemon & Liberty), hl. 18. 23 Sesuai dengan Almanak HKBP yang diterbitkan oleh Kantor Pusat HKBP bahwa Ephorus pertama di HKBP adalah Dr. I.L. Nommensen (1881-1918), kemudian diikuti oleh Pdt Valentin Kessel (Pejabat Ephorus) (1918-1920), Pdt Dr. J. Warneck (1920-1932), Pdt P. Landgrebe (1932-1936), Pdt Dr. E. Verwiebe (1936-1940), Pdt Kasianus Sirait (1940-1942), Pdt Dr. hc. J. Sihombing (1942-1962), Ds Dr. hc. T.S. Sihombing (1962-1974), Ds. G.H.M. Sihombing (1974-
Ompu i |8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kapan dan apa maksud dari pemberian gelar tersebut kepada Nommensen. Namun demikian gelar tersebut justru menimbulkan relasi kuasa dalam hubungan pemimpin dan pengikut yang berdampak hingga saat ini melalui gelar Ompu i yang digunakan oleh Ephorus. Dalam studi ini, saya akan melihat bagaimana pembentukan wacana Ompu i Ephorus HKBP tercipta dengan meneliti pada masa misionaris atau ketika Nommensen pertama kali mendapatkan gelar tersebut, atau dengan kata lain, bagaimana kuasa direproduksi, sehingga Nommensen memperoleh gelar Ompu i yang sebelumnya gelar tersebut merupakan produk budaya Batak Toba? Hal ini juga sekaligus menjadi batasan penelitian saya, yakni pada masa Nommensen mengabarkan Injil di Tanah Batak atau sebelum tahun 1918. Memang relasi kuasa antara pemimpin dan pengikut, atau hubungan Ephorus dengan pengikut memiliki sejarah yang panjang, baik ketika di dalam hubungannya dengan politik nasional atau masalah internal di tubuh HKBP sendiri, misalnya perpecahan gereja, pemisahan gereja, dsb, sebagai suatu reproduksi kekuasaan dalam setiap periode tertentu, tetapi dalam penelitian ini saya tidak bermaksud untuk membahas secara historis kronologis. Dengan metode genealogis, maka saya memfokuskan kepada periode awal mula terbentuknya wacana Ompu i Ephorus HKBP, yakni pada masa Nommensen, sehingga gelar Ompu i dapat dikenakan kepada Ephorus HKBP. Dengan demikian
penelitian ini ingin melihat struktur-struktur pembentukan wacana di dalam aturan-
1986), Pdt Dr. SAE Nababan, LLD (1986-1998), Pdt Dr. PWT Simanjuntak (1992-1998), Pdt Dr. J.R. Hutauruk (1998-2004), Pdt Dr. B. Napitupulu (2004-2012), Pdt Dr. Willem T.P. Simarmata, MA. (2012-2016). Pemanggilan Ompu i kepada Ephorus HKBP tidak hanya berlaku pasca kepemimpinan pribumi, melainkan juga semasa misionaris. Hal ini terlihat dari dokumen risalah Rapat Pendeta HKBP pada 9 Mei 1939 yang menyebut Ephorus, Pdt Dr. E. Verwiebe sebagai Ompu i.
Ompu i |9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
aturan dan praktik-praktik tentang bagaimana pengetahuan tersebut tercipta (genealogis) yang memunculkan ketimpangan relasi kuasa i dalam gelar Ompu i Ephorus. 24
B.
Tema Tema dalam studi ini adalah relasi kuasa atas gelar Ompu i di dalam jabatan
kepemimpinan Ephorus HKBP yang turut mempengaruhi dan membentuk pola ketimpangan dalam hubungan pemimpin dan pengikut.
C.
Rumusan Masalah Pertanyaan-pertanyaan tentang studi ini, yakni
1. Bagaimana genealogi wacana kepemimpinan Ompu i Ephorus HKBP? 2. Pengetahuan apa yang ada di dalam gelar Ompu i Ephorus HKBP, sehingga mengakibatkan pengkultusan? 3. Relasi kuasa macam apa yang hadir lewat gelar Ompu i Ephorus HKBP?
24 Dalam melihat relasi kuasa, maka Michel Foucault tidak melihat relasi kuasa dibentuk dari hubungan dialektika atau dalam hubungan master/slave atau self/other. Foucault melihat adanya dominasi atau oposisi karena melalui desentralisasi simbolik. Lih. James D. Faubion (ed.), Michel Foucault: Power (Essensial Work of Foucault 1954-1984: Paul Rabinow Series Editor), hl. 116.
Ompu i |10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini akan bertujuan untuk: 1. Melihat dan mendeskripsikan bagaimana pembentukan kuasa dalam gelar Ompu i Ephorus HKBP pada masa Nommensen dengan memenggunakan genealogi. 2. Menguraikan bagaimana reproduksi kekuasaan di dalam terbentuknya gelar Ompu i Ephorus HKBP dengan melihat strategi dan mekanisme kuasa yang dilakukan oleh badan zending RMG. 3. Melihat bagaimana relasi kuasa yang ada di dalam gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP pada masa kini.
E.
Pentingnya Penelitian
Bagi saya yang mengkaji studi ini maka pentingnya penelitian ini untuk: 1. Memberikan sumbangsih pemikiran atau diskursus atas sosok pemimpin yang dianggap ideal bagi masyarakat batak melalui penggalian (baca: genealogi) akan kuasa Ompu i. 2. Memberikan sumbangsih pemikiran kepada HKBP tentang relasi kuasa dari gelar Ompu i serta implikasi dari pemakaian gelar Ompu i bagi Ephorus. 3. Memberikan wacana baru atas pemakaian teori genealogi Michel Foucault dalam tema kepemimpinan di masyarakat Batak berupa gelar Ompu i.
Ompu i |11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F.
Tinjauan Pustaka Sangat banyak buku-buku yang membahas tentang sejarah Batak. Namun
saya melihat tidak ada yang secara spesifik membahas tentang suatu konsep dalam melihat permasalahan di sejarah Batak. Dalam studi ini saya berfokus pada konsep tentang Ompu i sebagai suatu kuasa kepemimpinan dalam masyarakat Batak, yakni dalam hubungan pemimpin dan pengikut, sehingga dalam melihat tema dalam bukubuku, maka saya merasa perlu untuk memilah-milah pustaka dalam menentukan bagian-bagian yang saya anggap perlu. Ada beberapa pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam bagian tersebut, diantaranya: Pertama, tentang gelar Ompu i sendiri sebagai gambaran umum tentang kuasa dalam doktrin religiositas masyarakat Batak tradisional dan yang dikenakan oleh Singamangaraja.25 Pada bagian ini, saya melihat bahwa buku Pemerintahan (Harajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba karya Ulber Silalahi (2014) menjadi buku pegangan saya dalam melihat sistem kesatuan dalam masyarakat Batak tradisional. Dalam buku tersebut Silalahi berusaha melihat bagaimana kondisi masyarakat di tanah Batak sebelum adanya Singamangaraja. Ia melihat bahwa masyarakat tanah Batak dipimpin oleh Raja dengan sistem bius. Sistem ini dapat disebut sebagai sistem kerajaan masyarakat. Misalnya Kerajaan bius Toba yang berarti suatu kerajaan atau sekelompok manusia yang memiliki sebidang tanah di Toba, bius Silindung, bius Patane Bolon dan bius Samosir.
25 Dalam bagian ini saya hanya mengambil pemahaman umum mengenai kuasa Singamangaraja, sehingga referensi yang menjadi rujukannya menyangkut kepada kuasa Singamangaraja I hingga XII.
Ompu i |12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Munculnya Singamangaraja mengganti sistem pemerintahan bius dimana raja-raja bius menjadi wakil dari Singamangaraja. Kekuasaan Singamangaraja terlihat dalam penguasaan wilayah dengan mengganti sistem raja bius menjadi Raja Naopat (yang empat) untuk menjangkau wilayah dari bius tersebut. Silalahi juga melihat bahwa dalam menjalankan sistem pemerintahan tersebut maka Raja Singamangaraja bersama dengan Raja Naopat beserta raja huta saling bekerjasama di setiap wilayah bius. Penguasaan terhadap raja-raja bius ini semakin menampakkan kekuasaan Raja Singamangaraja. Berbeda dengan Silalahi, karya Sitor Situmorang yang juga menjadi pegangan bagi saya, menampilkan sejarah lembaga sosial politik pada abad XIII hingga XX dengan lebih melihat dari sumber internal, yakni berasal dari ceritacerita leluhur Situmorang atau keluarganya. Dalam bukunya yang berjudul Toba Na Sae, Sitor mencoba menggali lebih dalam sistem lembaga yang menaungi biusbius, yakni bius Bangkara di mana Singamangaraja menjadi Rajanya. Ada keistimewaan dari bius Bangkara di mana Sitor menyebutnya sebagai bius paguyuban yang memiliki otonomi penuh berbeda dengan bius-bius lainnya. Dikatakan demikian dikarenakan bius Bangkara memiliki Dewan Bius (sebanyak 6 orang) yang didampingi Organisasi Parbaringin (penyelenggara kalender pertanian).26 Sistem ini yang diangkat oleh Sitor sebagai suatu lembaga politik dalam sistem masyarakat Batak. Mitos-mitos yang berkembang dalam sejarah tentang kehadiran Singamangaraja diangkat untuk menguatkan lembaga tersebut
26
Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIII-XX (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hl. 200.
Ompu i |13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam menaungi bius-bius yang lain. Mulai dari silsilah atau asal usul Raja Batak hingga tondi sahala atau kharisma yang dimiliki Singamangaraja. Dalam kaitannya dengan sistem lembaga ini, Sitor mencoba menjelaskan lembaga tersebut bukan hanya sebagai mengatur sistem sosial dan politik belaka tetapi juga sistem agama tradisional dalam masyarakat Batak. Tampaknya Sitor sangat konsisten dalam melihat sistem lembaga ini mengalami pasang surut di dalam perjalanan sejarahnya, serta selalu menyorot sistem lembaga tersebut di dalam hubungan atau mempertahankan wilayah geografisnya dari pihak asing. Paling tidak buku Sitor ini memandang sejarah dalam sudut pandang dari kacamata pribumi. Namun bagi saya kelemahan buku ini adalah pertama, ketika Sitor sendiri tidak memberikan perbandingan dari sudut pandang luar. Ketika sejarah yang dihadirkan pada lingkup lembaga sosial, yakni bius Bangkara maka kecenderungan yang terjadi Sitor terjebak dalam etnografis yang bercerita dari kesaksiannya tanpa mencoba membandingkan data-data sejarah yang lain. Kedua yang menjadi sorotan saya adalah dalam buku tersebut tidak dilengkapi referensi kutipan sumber. Hal ini menandakan bahwa di dalam bukunya, Sitor banyak menyorot dari lingkup marga Situmorang, yang adalah merupakan garis keturunan marganya. Dan sesuatu yang sangat disayangkan pula bahwa Sitor tidak menyertakan sumber itu berasal walaupun sumber tersebut merupakan cerita yang bersifat turun temurun. Namun bagi saya buku ini dapat menjadi sumber pembanding dalam melihat sumbersumber lainnya. Kedua adalah peralihan kekuasaan dari Singamangaraja XII ke Nommensen pada masa kolonial. Pada bagian ini banyak sekali wacana tentang perjumpaan
Ompu i |14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
antara Nommensen dengan Singamangaraja XII. Namun wacana tersebut berusaha mendamaikan kedua belah pihak dalam sudut pandang historisnya dengan mengabaikan data-data yang dianggap sebagai kebenaran yang valid. Dengan banyaknya wacana tersebut maka saya merasa perlu lebih selektif dalam melihat buku-buku tersebut. Untuk bagian ini saya melihat buku Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (1978), karangan Lothar Schreiner, seorang pendeta, dapat digunakan untuk melihat strategi yang diterapkan RMG dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak. Pada masa Raja Singamangaraja XII telah muncul ketidakpercayaan masyarakat Batak kepada Raja Singamangaraja XII sehingga wilayah kekuasaannya tampak semakin samar, terlebih di wilayah Silindung akibat dari perang Padri (1820-an). Dan hal ini semakin diperjelas setelah masuknya misionaris ke wilayah Silindung seturut dengan banyaknya masyarakat Batak di Silindung yang masuk ke agama Kristen. Buku, Lothar Schreiner ini sangat mencermati dan bersikap netral dalam melihat dasar-dasar pertama Kekristenan di lembah Silindung, di sebelah selatan danau Toba pada tahun 1861-1881.27 Misalkan saja dalam buku ini diterangkan bagaimana RMG sendiri menggunakan sistem struktur sosial masyarakat yang berdasarkan Dalihan Na Tolu dalam mendirikan gereja-gereja, yang diikuti dengan pendekatan terhadap raja-raja Batak.
27
Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 18.
Ompu i |15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain Schreiner, maka saya juga menaruh harapan besar kepada buku Uli Kozok, seorang peneliti budaya, bahasa dan sastra Batak, yang saya anggap memiliki data-data yang akurat. Uli Kozok dalam bukunya Utusan Damai Di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba (2010) mengkaji wacana tersebut dengan data-data yang saya anggap valid, yakni data dari badan misi RMG Jerman tanpa mengabaikan data-data lokal, yang berasal dari tanah Batak sendiri. Dari data-data tersebut maka buku Uli Kozok ini lebih menyorot peran zending RMG di dalam menjalankan misinya di masyarakat Batak. Mulai dari latar belakang badan zending RMG dan juga situasi politik yang mempengaruhi RMG di Jerman serta praktek zending di tanah Batak. Yang menarik dari buku Uli Kozok ini, Nommensen yang dianggap rasul oleh orang Batak justru condong kepada pihak Belanda dalam membantu penangkapan Singamangaraja XII. Bukti-bukti kongkret mengenai hal ini dibuktikan mulai dari surat Nommensen kepada Pihak Belanda untuk menangkap Singamangaraja XII hingga alasan logis dalam membantu pihak Belanda, misal berupa gaji bulanan Nommensen dan misionaris lainnya, dsb. Uli Kozok sendiri dalam bukunya juga mengkritik buku Dr. W.B. Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, yang dianggapnya mendamaikan kedua tokoh sentral di sejarah Tanah Batak, yakni Dr. I. L Nommensen dan Raja Si Singamangaraja XII tanpa ada konflik kepentingan. Namun demikian menarik melihat dan membandingkan kedua buku tersebut yang pada dasarnya, menurut penilaian saya, memiliki keakuratan dalam data-data walaupun berbeda kepentingan. Buku Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, juga saya pakai untuk melihat bagaimana
Ompu i |16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Singamangaraja melekat dan mengakar di tanah Batak. Walaupun di bagian tertentu,
yakni
dalam
hubungannya
dengan
Nommensen,
saya
tidak
menggunakannya dengan alasan adanya “pendamaian” antara Nommensen dengan Raja Singamangaraja XII yang justru bertentangan dengan temuan atau analisis dari Uli Kozok.
G.
Kerangka Teori Untuk menjawab studi ini maka saya akan memakai teori Michel Foucault
sebagai analisis wacana untuk melihat wacana kepemimpinan Ompu i yang dikenakan oleh Ephorus HKBP. Buku-buku Michel Foucault seperti misalnya The Archaeology of Knowledge (1969), The History of Sexuality I (1976), atau kumpulan tulisan dan hasil wawancaranya menjadi sumber utama saya dalam menjabarkan teori Foucault. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa saya juga menggunakan pandangan orang lain dalam melihat teori Michel Foucault ini, dalam hal ini, saya mengedepankan pandangan Norman Fairclough yang telah mendefinisikan dan menjabarkan secara rinci mengenai teori pembentukan wacana Michel Foucault dalam bukunya yang berjudul Discourse and Social Change (1992). Dalam teorinya ini Foucault telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi ilmu-ilmu sosial dalam melihat wacana sosial. Sasarannya adalah untuk melihat adanya ketidakadilan, ketimpangan, penindasan ataupun masalah sosial lainnya. Di sini saya akan mencoba memaparkan teori Foucault yang berhubungan dengan analisis wacana tersebut, sbb:
Ompu i |17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kuasa (Power) Saya akan memulainya dari pemikiran Michel Foucault tentang power atau kuasa. Kuasa menurut Foucault sangat berbeda dengan Althusser yang melihat kuasa seperti layaknya institusi yang berusaha mengintimidasi manusia. Ia juga menolak pandangan Freud tentang sifat kuasa yang merepresi sehingga seolah-olah tidak ada anggapan akan individu-individu yang menolak. Bagi Foucault, institusi tersebut hanyalah kumpulan manusia. Foucault memandang bahwa kuasa itu adalah pengetahuan, sedangkan individu-individu manusia adalah kendaraan kuasa itu sendiri. Untuk memahami pengertian kuasa dalam Foucault maka ada baiknya memahami dua poin berikut ini, yakni: Pertama, kuasa dikonseptualisasikan sebagai rantai atau jaringan/relasi bahwa sistem relasi tersebut berhubungan ke seluruh masyarakat. Kedua, individu tidak dilihat hanya sebagai penerima kuasa melainkan sebagai “tempat” di mana kekuasaan juga dapat ditolak.28 Dari pengertian ini maka peran individu tidak selalu menjadi objek bagi kuasa itu sendiri tetapi turut berperan dalam menentukan pilihan, sehingga menurut Foucault kekuasaan tidak lain hanyalah sebuah strategi yang dapat terjadi di mana-mana yang di dalamnya memiliki sistem, regulasi, aturan, dsb, sedangkan relasi kuasa adalah efek dari strategi tersebut. Paling tidak Foucault dalam bukunya The History of Sexuality melihat bahwa kuasa haruslah dimengerti sebagai berikut ini: “... power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the
28
Sara Mills, Op. Cit., hl. 35.
Ompu i |18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony."29
Dari penjelasan di atas tampak bahwa Foucault melihat kuasa dibangun dari setiap relasi dan setiap pertistiwa. Penjelasan Foucault ini perlu dilihat sebagai sesuatu yang terus menerus dilakukan dan bukan untuk dicapai. Ia mengacu kepada istilah Kuasa (Power) dengan huruf K(P) besar. Hal ini untuk menggambarkan kekuatan utama dalam semua hubungan dalam masyarakat dan bukan dalam pengertian Althusser tentang RSA (Repressive State Aparatus), melainkan pada ISA (Ideology State Aparatus) misalnya: Gereja, Keluarga dan Sistem Pendidikan.30 Dalam hal ini Foucault selalu memposisikan pandangan tentang kuasa sebagai sesuatu yang berbeda dengan Althusser, yakni kuasa dalam relasi bottom-up. Lebih jelas tentang kuasa yang ia maksud maka di dalam bukunya The History of Sexuality, ia memberikan beberapa pengertian tentang kuasa:31 1. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang didapat, diraih, atau dibagikan melainkan kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak. 2. Relasi kekuasaan bukanlah dalam posisi eksterior tetapi dalam bentuk imanen. Relasi kekuasaan bukanlah relasi superstruktur yang sifatnya memiliki larangan atau memproduksi larangan.
29
Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1 (New York: Vintage Books, 1990), hl. 92-93. 30 Dalam The History of Sexuality, Michel Foucault membedakan represi dengan larangan hukum. Represi menurutnya memberikan pengaruh pada ketaksadaran sesuatu hal yang berbeda dengan larangan hukum. Hal ini juga yang membedakan dengan pandangan Althusser. 31 Ibid., hl. 94-95.
Ompu i |19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Kuasa datang dari bawah sehingga tidak ada lagi distingsi binary atau oposisi antara aturan dan yang diatur. 4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif. 5. Di mana ada kekuasaan, di situ ada resistensi. Resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, tetapi selalu berada di dalam kekuasaan. Pengetahuan Untuk semakin memperjelas konsep kuasa menurut Foucault maka alangkah baiknya juga menjelaskan mengenai konsep “pengetahuan”. Pemahaman relasi kuasa seperti yang dijelaskan sebelumnya berujung kepada menghasilkan pengetahuan.32 Pengetahuan seperti yang dimaksud oleh Foucault bukanlah hanya sebatas pada ide atau gagasan pemikiran melainkan lebih dari pada itu menyangkut juga aturan atau larangan yang merupakan hasil dari relasi kuasa tersebut. Dan pengetahuan inilah yang kemudian hadir di dalam wacana atau discourse. Misalkan saja mengenai pengetahuan maka sistem-sistem pengetahuan inilah yang nantinya mengkondisikan wacana tentang siapa yang disebut sebagai orang gila atau orang sakit. Intinya, keterkaitan antara wacana dengan pengetahuan adalah ketika wacana sendiri menjadi objek pengetahuan. Foucault tidak memungkiri bahwa pengetahuan juga dihasilkan oleh relasi kuasa dalam bentuk kekuasaan. Adanya perebutan kekuasaan dalam bentuk kelompok, suku, lembaga negara, dsb turut mempengaruhi dan menghasilkan pengetahuan. Misalnya, seperti yang dikatakan Foucault bahwa di negara-negara
32
Paul Rabinow (ed.), The Foucault Reader (New York: Pantheon Books, 1984), hl. 62.
Ompu i |20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Barat, informasi yang dihasilkan tentang perempuan akan membuat kita banyak menemukan buku-buku tentang perempuan di perpustakaan dari pada tentang lakilaki. Pada wilayah ini maka kuasa menurut Foucault hanyalah masalah produksi dan reproduksi. Adanya wacana-wacana diktator atau otoriter disebabkan oleh adanya relasi kuasa yang timpang. Demikian juga sebaliknya, adanya wacana egaliter merupakan hasil perenungan bersama dalam bangunan relasi kuasa. Maka dari itu Foucault menawarkan bahwa untuk melihat kekuasaan yang berkembang pada saat ini maka Foucault menawarkan bukanlah mencari sumber dari mana kuasa itu berasal melainkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi. Mengenai pembentukan wacana itu sendiri, Norman Fairclough dengan jelas membahasakan dan mendefinisikan bahwa pembentukan wacana dalam pemikiran Foucault ini terdiri dari aturan-aturan pembentukannya, di mana aturanaturan tersebut adalah pertama, the formation of objects (pembentukan objekobjek). Objek yang dimaksudkan di sini adalah objek pengetahuan. Pembentukan objek-objek ini menekankan kepada entitas di mana kedisiplinan dan ilmu pengetahun memiliki peranannya. Keberkaitan dengan wacana maka Foucault membahasakannya sebagai yang bersifat konstitutif; sebagai suatu kontribusi, reproduksi, transformasi atas objek tersebut. Kedua adalah the formation of enunciative modalities (pembentukan modalitas dan posisi subjek). Pembentukan ini berkaitan dengan praktik-praktik sosial, di mana kertekaitannya menentukan posisi subjek dalam hal karakteristik, aktivitas, pernyataan ataupun tutur kata dalam lingkungan sosial. Pembentukan ini akan menentukan otoritas dari subjek tersebut. Misalnya saja seorang ahli hukum pastilah lebih memiliki “pengakuan” dari pada
Ompu i |21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seorang dokter ketika berbicara mengenai hukum. Ketiga adalah the formation of concepts (pembentukan konsep). Pembentukan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana “the field of statement” diasosiasikan dengan wacana tersebut, di mana konsep-konsepnya yang dilihat dan diartikulasikan itu diorganisir. “The field of statement” ketika berkaitan dengan pembentukan wacana maka memiliki banyak dimensi. Hal ini bisa memunculkan keterkaitan antara teks-teks atau wacanawacana yang ada. Misalnya wacana kegilaan selalu berkaitan dengan rumah sakit, penjara, dsb. Elemen-elemen inilah yang menjadi suatu konsep dari kegilaan tersebut. Keempat adalah the formation of strategies (pembentukan strategi). Pembentukan strategi dipahami ketika tema-tema atau teori-teori tidak terealisasi sepenuhnya, maka strategi sangat menentukan akan tercapainya suatu tema, teori atau masalah apa pun. Pembentukan ini selalu dikombinasikan oleh unsur-unsur interdiskursif dan nondiskusif (material, dsb).33 Keempat aturan ini dapat dikatakan menandakan reproduksi kekuasaan dalam bentuk wacana. Lebih dalam lagi, Foucault mencoba mengembangkan teorinya tentang pengetahuan dengan melihat ke sejarah masa lalu yang ia katakan sebagai discontinuity atau sejarah yang terputus-putus. Ketika tidak ada hubungan vertikal dalam melihat persoalan kuasa maka akan memunculkan suatu persoalan tentang pencarian akan sejarah dalam menemukan suatu rezim pengetahuan atau episteme. Discontinuity dalam sejarah akan selalu memunculkan peristiwa, institusi, ide atau
33
Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hl.
40-48.
Ompu i |22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
praktek yang terpecah-pecah.34 Setiap pengetahuan yang muncul akan selalu berbeda-beda. Hal inilah yang disebut discontinuity akan suatu peristiwa sejarah yang tidak memiliki hubungan dalam rentangan waktu. Episteme dalam tataran diskursus menjadi suatu rezim, di mana akan membentuk suatu legitimasi walaupun di dalam objek tertentu tidak dapat diwakili di dalam diskursus-diskursus. Foucault melihat hal ini dalam meneliti tentang orang gila yang menjadi objek dari pengetahuan, sehingga di dalam Archeology of Knowledge, Foucault berusaha untuk mendefinisikan yang pada dasarnya sangat berbeda dengan ilmu sejarah lainnya.35 Genealogi Ketika dalam Archeology of Knowledge, Foucault menempatkan investigasinya dalam tataran wacana atau discourse dalam melihat discontinuity dan perbedaan, maka Foucault juga mengembangkan investigasi sebagai model perspektif dalam bentuk genealogi kekuasaan. Dalam Foucault, Genealogi merupakan kelanjutan dari Arkeologi. Genealogi memposisikan dirinya dalam pencarian “asal usul”. Berangkat dari pemikiran Nietzsche tentang asal usul (Ursprung) maka genealogi Foucault berangkat dari 3 (tiga) domain, yakni:36 1. Sejarah ontologi dari diri kita sendiri dalam hubungannya dengan kebenaran melalui diri kita yang merupakan subjek pengetahuan.
34 Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hl. 119-120. 35 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan (Yogyakarta: Ircisod, 2012), hl. 250-252. 36 Rabinow (ed.), Op. Cit., hl. 351
Ompu i |23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Sejarah ontologi dari diri kita dalam relasi dengan kuasa melalui diri kita yang merupakan subjek yang bertindak diatas lainnya. 3. Sejarah ontologi dalam relasi dengan etika melalui diri kita sebagai agen moral. Dari ketiga domain ini maka genealogi sendiri lebih ditujukan kepada tubuh indvidu/subyek. Namun demikian genealogi sebagai suatu metode investigasi juga mengarah secara spesifik kepada agenda sosial dan politik. Di dalam genealogi maka terdapat dua pendekatan di dalam investigasi, yakni pertama, pendekatan sejarah untuk menginvestigasi suatu konsep, misalnya kemiskinan, dsb. Kedua, juga untuk menginvestigasi fenomena sejarah yang dibentuk pada masa kini.37 Genealogi sebagai suatu metode investigasi individu akan membawa bentuk kuasa yang bersifat sentralistis atau memusatkan. Dengan kegelisahannya yang berangkat dari pengalaman penelitiannya tentang kegilaan, kematian, kejahatan, seksualitas dan teknologi kekuasaan, maka ia pun berusaha melihat perspektif dalam transformasi yang lain dengan menyorot tentang “identitas diri”. Dalam konsepnya ini, individu dilihat melalui asal usulnya sebagai modalitas dalam bentuk kekuasaan. Paling tidak, Foucault dalam memandang genealogi sebagai suatu metode menggunakan teknik-teknik sebagai suatu mekanisme pembentukan subjek, di mana inti dari teknik tersebut, yakni teknik produksi, signifikasi, dan teknik dominasi.38 Ketiga teknik ini berada di dalam kehidupan sosial masyarakat
37
Paula Saukko, Doing Research In Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches (London: Sage Publications, 2003), hl. 133. 38 Ketiga 3 teknik ini, ia dasarkan pada, yakni, pertama, teknik di mana seseorang akan memproduksi, mentransformasi, manipulasi sesuatu. Kedua, teknik untuk menggunakan sistem tanda-tanda. Dan ketiga, teknik seseorang dalam menentukan perilaku seseorang untuk mencapat
Ompu i |24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dapat diamati di dalam bentuk disciplinary power sebagai suatu pengawasan atau yang ia gambarkan sebagai panopticism untuk menghasilkan pendisiplinan tubuh, pengorganisiran, dsb. melalui lembaga-lembaga, misalnya sekolah, rumah sakit, penjara, dsb.39 Dengan metode genealogi maka paling tidak penelitian yang hendak dicapai yakni: pertama, genealogi memandang bahwa segala sesuatu merupakan konstruk sejarah. Dari sini maka genealogi berusaha membuka ruang untuk berpikir dengan perbedaan. Kedua, genealogi berusaha mendukung untuk kemungkinan adanya masalah-masalah, kontradiksi politik ataupun adanya rezim sosial.40 Setelah menjabarkan teori Michel Foucault tentang kuasa, pengetahuan, arkeologi pengetahuan dan genealogi maka saya melihat bahwa teori Foucault ini dapat membongkar konstruk yang melekat dalam studi ini. Dalam genealogi maka metode investigasi ini akan melihat bahwa kasus Ompu i Ephorus HKBP yang merupakan peristiwa masa kini haruslah dilihat ke belakang dan merupakan hasil dari konstruk sejarah di dalam pengetahuan. Sebagai keuntungan, genealogi tidak hanya menelusuri sejarah tetapi membantu melihat kekinian sebagai suatu konstruksi pengetahuan. Paling tidak pengetahuan tersebut bukanlah sekedar ideide atau pemikiran-pemikiran melainkan di dalamnya terdapat juga aturan-aturan atau larangan-larangan yang tidak terlihat (dibalik simbolik) yang mempengaruhi ketidaksadaran. Gelar Ompu i yang menjadi studi ini merupakan konstruk historis
tujuan tertentu. Michel Foucault, About the Beginning of the Hermeneutics of the Self: Two Lectures at Dartmouth (Political Theory, Vol. 21, No. 2. May, 1993), hl. 203 39 James D. Faubion (ed.), Op.Cit., hl. 58-59. 40 Paula Saukko, Op.Cit., hl. 116.
Ompu i |25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sehingga menjadi pengkultusan, atau dengan kata lain adanya ketimpangan dalam relasi pemimpin dan pengikut. Dalam genealogi maka investigasi akan selalu menyorot kepada sumber aslinya, sehingga genealogi akan mereduksi kepada gelar Ompu i yang dikonstruk oleh para missionaris sebagai yang pertama kali mendapatkan gelar ini, sekaligus menjadi objek dan batasan penelitian dari studi ini. Foucault tidak menampik akan adanya reproduksi wacana atau dapat dikatakan perebutan kekuasaan, namun bagi Foucault hal ini dapat dilakukan dengan sikap menyeluruh dan tidak hanya berdasarkan pada struktur birokrasi saja, mengingat kuasa menurutnya bersifat desentralisasi. Genealogi akan membantu dalam memetakan dan memformasikan dari mana dan bagaimana kuasa itu tercipta di dalam periode sejarah tertentu. Dengan memandang discontinuity atau ketidak-terhubungan di setiap masa, maka reproduksi di dalam genealogi bukanlah sesuatu yang diberikan dan sifatnya statis. Artinya, gelar Ompu i yang ada di Nommensen adalah suatu reproduksi dari wacana kepemimpinan dalam pemahaman masyarakat Batak Toba tradisional yang sifatnya tidak statis, namun telah dikonstruksi dalam suatu relasi kuasa. Tentunya empat aturan-aturan pembentukan wacana yang didefinisikan Fairclough di atas, yakni aturan-aturan the formation of objects (pembentukan objek), the formation of enunciative modalities (pembentukan modalitas), the formation of concepts (pembentukan konsep-konsep) dan the formation of strategies (pembentukan strategi-strategi) memperjelas reproduksi kekuasaan tersebut.
Ompu i |26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
H.
Metode Pengumpulan Data Dalam mendukung studi ini, saya mengunakan metode genealogi Michel
Foucault dalam melihat dan menganalisis wacana Ompu i, sehingga hal-hal yang penting dalam pengumpulan data tersebut berupa: 1. Arsip. Metode genealogi selalu mengandalkan arsip dalam metode penelitiannya. Dengan prinsip ini maka saya akan mencari data-data arsip, folklor, majalah ataupun surat kabar untuk menunjang penelitian, dan juga yang lebih penting, adalah menjadikan arsip sebagai analisa dalam studi ini untuk melihat wacana Ompu i. Dalam menggunakan data arsip ini maka saya memilahnya menjadi dua bagian, yakni data primer dan sekunder. Untuk data sekunder maka arsip yang saya gunakan adalah arsip BRMG (Bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft) tahun 1878 yang merupakan laporan Nommensen kepada Kantor Pusat RMG atas keikutsertaannya dalam misi Perang Toba I. Memang arsip ini telah dibahas oleh Uli Kozok dalam bukunya Utusan Damai Di Kemelut Perang, dan saya menggunakan arsip yang ada di buku tersebut, yakni yang merupakan versi terjemahan yang dilakukan oleh Uli Kozok. Hal ini didasarkan atas keterbatasan saya dalam berbahasa Jerman. Sedangkan untuk data primernya, maka saya menggunakan media cetak Surat Kuliling Immanuel. Data ini saya gunakan dengan melihat secara fungsional yang berdasarkan topik-topik terkait antara tahun 1890-1918 pada masa Nommensen menjadi Ephorus pertama HKBP. Data ini menjadi penting dan utama dalam penelitian ini, karena majalah ini merupakan majalah zending yang ditulis dengan bahasa Batak Ompu i |27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Toba dan bersinggungan langsung dengan masyarakat Batak, sehingga karya dari RMG dalam mereproduksi kekuasaan dalam wacana kepemimpinan masyarakat Batak dapat terlihat. Kedua data arsip ini akan saling melengkapi dalam metode genealogi yang saya gunakan, walaupun saya akan mengedepankan Surat Kuliling Immanuel sebagai analisis data. 2. Observasi dan Wawancara. Metode ini saya gunakan hanya untuk melengkapi studi ini. Saya mengakui bahwa posisi saya sebagai orang dalam, selaku Pendeta di HKBP, menjadi kekurangan saya di dalam mengambil jarak terhadap fenomena yang saya angkat. Namun demikian kekurangan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan metode ilmiah yang saya gunakan. Untuk metode observasi, maka saya akan mengamati bagaimana hubungan pemimpin dengan pengikut pada masa Ompu i Ephorus HKBP dengan para pendeta dan juga jemaat, serta fenomenafenomena yang hadir sebagai suatu pengetahuan tentang Ompu i. Sedangkan untuk wawancara beberapa hal yang saya anggap penting adalah mewawancarai pihak Parmalim (agama tradisional Batak Toba), ahli adat dan budaya Batak untuk memaknai hukum-hukum dan falsafah dalam budaya Batak sebagai legitimasi atas kedudukan gelar Ompu i.
I.
Skema Penulisan
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini saya akan menjelaskan tentang kegelisahan dan pergumulan saya yang dituangkan dalam latar belakang. Paparan dan deskripsi dari suatu kegelisahan akhirnya dipertegas dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai suatu
Ompu i |28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
persoalan dalam studi ini. Dalam bab ini juga akan dibahas teori sebagai acuan dalam menjawab persoalan tersebut. Selain itu dalam bab ini juga terdapat kajian pustaka untuk menyorot studi-studi yang memiliki kedekatan topik yang sama. Kemudian yang tidak kalah penting juga adalah mendeskripsikan motode pengumpulan data yang saya gunakan dalam melakukan penelitian. Hal ini perlu sebagai bentuk kekongkretan dalam karya ilmiah bahwa studi ini bukanlah sesuatu yang bersifat absurd. Dan terakhir adalah daftar isi. Bab II Merajut Gagasan Ompu i. Dalam bab ini saya akan melihat munculnya gelar Ompu i; baik mengenai arti dan istilah, serta kedudukannya bagi masyarakat Batak Toba tradisional. Hal ini akan membawa kepada pemahaman bagaimana Ompu i sendiri dipahami oleh masyarakat Batak, baik dalam pengertian sosialpolitis maupun religi. Mitos-mitos, hukum, dan falsafah Batak yang berkembang di masyarakat Batak pada waktu itu menjadi legitimasi atas kedudukan Ompu i di tengah-tengah masyarakat Batak Toba tradisional dengan keyakinan akan adanya kedaulatan penuh atas adat dan budaya bangsa Batak. Bab III Wacana Kolonial dalam Reproduksi Kekuasaan. Dalam bab ini, maka akan dibahas masuknya zending RMG serta konteks yang melatarbelakangi badan zending dalam mengabarkan Injil di tanah Batak. Melalui konstruk peradaban secara menyeluruh, kekuasaanpun direbut yang memunculkan dan melegitimasi gelar Ompu i kepada Nommensen. Melalui studi genealogi maka arsip dan dokumen-dokumen menjadi data penelitian dalam studi ini yang justru ingin membuktikan konstruk yang dilakukan zending menimbulkan relasi kuasa atas
Ompu i |29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemakaian gelar Ompu i Nommensen, sehingga relasi ini yang menjadi pengetahuan kepada pemakaian gelar Ompu i Ephorus HKBP. Bab IV Analisis. Bab ini menjadi ruang untuk analisa atas data yang digunakan pada bab sebelumnya, khususnya untuk data Surat Kuliling Immanuel sebagai media yang digunakan RMG dalam mengkonstruk masyarakat Batak. Dengan menggunakan teori kuasa Michel Foucault, maka saya akan mencoba menganalisis wacana gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP yang memiliki kepentingan. Bab V Kesimpulan. Akhirnya dalam bab terakhir ini saya akan berusaha menyimpulkan keseluruhan bab yang telah diangkat sebelumnya, yakni melalui dengan pembahasan secara singkat, serta membahas relasi kuasa yang terjadi dari Wacana kepemimpinan Ompu i ini.
Ompu i |30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II MERAJUT GAGASAN OMPU I
Jauh sebelum masuknya Kekristenan di Tanah Batak, gelar Ompu telah digunakan oleh masyarakat Batak Toba. Masuknya kolonial Belanda ke wilayahwilayah nusantara memberikan dampak yang sangat besar di segala aspek, termasuk juga dalam aspek kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Batak Toba sendiri. Tak ayal bahwa wacana kepemimpinan ini pun yang digunakan oleh Ephorus HKBP merupakan wacana yang berasal dari kolonialisme itu sendiri. Dengan kata lain - disadari atau tidak - wacana ini merupakan suatu reproduksi atas adat dan budaya Batak Toba tradisional sehingga dapat dikenakan kepada Nommensen yang merupakan seorang Misionaris. Dengan adanya pengaruh kolonialisme, maka tak heran banyak terjadi pergeseran makna dari adat dan budaya Batak Toba tradisional. Wacana kepemimpinan Ompu i dalam tradisi Batak Toba tradisional memiliki makna yang utuh ketika wacana ini memiliki kedaulatannya dalam aspek religi, adat dan budaya, sehingga untuk menelusuri wacana ini perlu melihat pengaruh-pengaruh yang dimunculkan oleh kolonialisme, dan kemudian menelusuri lebih jauh mengenai wacana aslinya.
Ompu i |31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A.
Pandangan Umum Di dalam kamus Batak Toba Indonesia karya J. Warneck istilah
ompu/ompung dapat diartikan sebagai nenek dan kakek, yang memiliki penurunan kata berupa ompung yang berarti panggilan untuk nenek dan daompung panggilan untuk kakek yang tentunya berkaitan dengan Dalihan Na Tolu. Pengertian ini juga termasuk kepada sapaan untuk leluhur. Warneck mengartikan Ompu sebagai pemilik (nampuna), yang empunya, yang memiliki. Pengertian ini dapat berupa keturunan, wilayah, dsb. Namun sedikit berbeda dengan Warneck, dalam Kamus Batak Indonesia versi Batakpedia, Ompu i dapat juga diartikan sebagai pemujaan terhadap nenek moyang.1 Perbedaan ini dapat dimaklumi terjadi mengingat J. Warneck merupakan salah seorang misionaris yang diutus ke tanah Batak, sehingga menghindarkan terjadinya sinkretisme dalam kosakatanya. Dari pengertianpengertian tersebut, maka istilah ompu memiliki pengertian yang luas dari sisi tujuan dan objeknya. Ada beberapa pemakaian gelar ompu yang lumrah didapati di dalam masyarakat Batak Toba, yakni: pertama, yang paling sering digunakan, adalah untuk penyebutan leluhur tertentu. Biasanya gelar ini digunakan di depan nama orang untuk menyebut silsilah nenek moyang tertentu dalam memperjelas silsilah dari suatu persatuan marga. Penyebutan ini diwakili oleh galur keturunan yang berasal dari satu nenek moyang bersama, dari empat generasi ke belakang atau juga dari galur keturunan yang sudah 12 sundut (generasi tuanya), sehingga sebagai satu
1
Lih. http://batakpedia.sourceforge.net/?page_id=9
Ompu i |32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesatuan kolektif sering disebut sebagai saompu (satu ompu).2 Misalnya Ompu Sohuturon yang berarti sapaan dari keturunan Sohuturon dalam galur keturunan Rajagukguk. Jikalau contoh tersebut diterapkan ke dalam pengertian yang diberikan oleh J. Warneck maka Ompu Sohuturon adalah pemilik keturunan Sohuturon. Demikian juga di marga-marga lainnya yang sering juga di dapati gelar ompu dalam penyebutannya. Kedua, selain menunjuk kepada leluhur dengan galur keturunan, maka gelar ini juga digunakan kepada sesuatu yang dihormati yang bukan hanya dalam bentuk manusia, yaitu kepada dewa/tuhan dan hewan tertentu. Untuk sapaan kepada dewa/tuhan maka masyarakat Batak sering menyebutnya sebagai Ompu Debata Mula Jadi Na Bolon. Penyebutan ini termasuk sebagai bentuk penghargaan yang paling tinggi atas segalanya. Selain kepada dewa/tuhan, maka istilah ompu juga dikenakan kepada hewan. Dalam tradisi lisan nenek moyang masyarakat Batak sapaan ini dikenakan kepada harimau (babiat). Seperti yang dikisahkan ketika masyarakat melihat jejak harimau maka jejak tersebut sering dikatakan sebagai bogas ni ompu i (jejak ompu i).3 Masyarakat Batak meyakini harimau sebagai binatang ditakuti yang memiliki roh keberanian dan penguasa, sehingga masyarakat Batak sangat menyegani hewan ini dan menyebutnya dengan sangat hormat. Namun mengingat binatang ini sudah sangat langka ditambah masuknya agama semit maka lambat laun pemanggilan ini semakin berkurang.
2
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986),
3
Berdasarkan kisah Pdt Lewis Sitompul dalam laman Facebooknya.
hl. 23.
Ompu i |33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ketiga, gelar ompu i digunakan kepada raja, baik dari tingkat huta hingga bius. Misalnya Ompu Hatobung yang merupakan raja dari Bius Pansurnapitu, dsb. Bagi masyarakat Batak, raja mendapatkan tempat kehormatan, sehingga setiap yang dilakukan raja selalu diikuti oleh masyarakatnya, dikarenakan raja sebagai sumber atau pelaksana adat dan budaya yang harus diikuti oleh pengikutnya. Hal ini terlihat dari umpasa (pantun) yang menerangkan posisi penting raja yang harus dijunjung tinggi dan diikuti. Ompu raja di Jolo, Martungkot Sialagundi Pinungka ni ompunta parjolo, Siihuthonon ni na di pudi
Terjemahannya Ompu raja di depan, Bertongkatkan Pohon Sialagundi Dibuka pertama oleh Ompu kita, akan diikuti dibelakang
Namun dari raja-raja bius yang menggunakan gelar ompu i, maka raja yang paling terkenal yang mendapat gelar tersebut adalah Singamangaraja.4 Hal ini terlihat dari lagu “Tampollong Ma Disi” (Ansideng Ansinonding) yang dinyanyikan masyarakat sekitar pemukiman Singamangaraja di Bangkara pasca terbunuhnya Raja Singamangaraja XII5, dan juga masih banyak lagi bukti-bukti lainnya yang menyebut Singamangaraja dengan sebutan Ompu i. Gelar Ompu i yang digunakan oleh Singamangaraja sangatlah berbeda dengan raja pada umumnya atau seperti yang dikatakan Sidjabat dengan
4
Raja Singamangaraja adalah raja yang wilayah kekuasaannya tidak hanya di wilayah Toba, melainkan hingga Sumatera Utara. Hal ini terlihat dari jejak-jejak yang ditinggalkannya. Semasa hidupnya, ia aktif melawan permerintahan kolonial Belanda, sehingga atas jasanya tersebut, ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia melalui Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961. 5 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl. 16.
Ompu i |34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pembedaannya yang melihat dengan huruf “o” kecil dan “O” besar antara ompu i dengan Ompu i.6 Hal ini dikarenakan kedudukan Singamangaraja yang mendapatkan tempat istimewa ditengah-tengah masyarakat. Kedudukan raja di dalam Singamangaraja bukan hanya jabatan sekuler, namun lebih dari pada itu sebagai pemimpin spiritual (rohani).7 Bahkan saya melihat bahwa pada awalnya gelar Ompu i ini justru digunakan untuk penyembahan atau religiusitas yang kemudian menjadi menyatu dengan jabatan struktural (sekuler), yakni raja. Hal ini juga ditegaskan oleh PH O.L. Tobing (1963) yang melihat bahwa gelar Ompu i berhubungan dengan penyembahan dalam religiositas,8 sehingga pemberian gelar ompu i kepada Raja Singamangaraja disebabkan adanya keyakinan bahwa Raja Singamangaraja merupakan titisan Debata atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai “Debata Na Tarida” (Tuhan yang terlihat), dalam pengertian religi masyarakat tradisional Batak, yang dalam umpasa dikatakan: “Singamangaraja, Debata Na Tarida, sombaon na binoto”, artinya “Singamangaraja adalah Tuhan yang terlihat, roh suci yang dapat diketahui”.9 Melihat ketiga fungsi pemakaian gelar tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gelar ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada sesuatu yang dianggap paling dihormati, dihargai dan mendapatkan tempat yang paling tinggi
6
Lih. Ibid., hl. 431. N. Siahaan B.A., Sedjarah Kebudajaan Batak: Suatu Studi Tentang Suku Batak TobaAngkola-Mandailing-Simelengun-Pakpak Dairi-Karo (Medan: C.V. Napitupulu & Sons, 1964), hl.30 8 Ibid., hl. 42 9 Sering kesalahan arti terjadi di dalam mendefinisikan antara leluhur dengan Tuhan. Dalam pandangan religi masyarakat Batak Toba tradisional, para leluhur (Ompu) juga dikenakan kepada Dewa/Tuhan. Hal ini disebabkan karena dahulu dalam masyarakat Batak tradisional, tidak ada pemisahan antara realitas (kenyataan) dengan sesuatu yang metafisik (mahluk kayangan). 7
Ompu i |35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dihadapan masyarakat, baik dalam bentuk posisi silsilah, jabatan (baca: raja) dan otoritas. Maka dari itu, ketika ketiga definisi ini dikaitkan dengan Nommensen, yang merujuk kepada Ephorus HKBP, pertanyaan mendasar adalah dimanakah posisi gelar Ompu i Nommensen tersebut, mengingat latar belakang Nommensen yang merupakan seorang non-pribumi, namun dapat diberikan gelar Ompu i oleh masyarakat Batak (baca: pengikut)? Pertanyaan ini akan membuka posisi penting atau kedudukan Nommensen dalam bentuk relasi kuasa. Dalam fenomena pemakaian gelar Ompu i, Nommensen sering dikaitkan atau disandingkan dengan Raja Singamangaraja. Hal ini terlihat dari beberapa ahli sejarah yang mengaitkan kedua orang tersebut, misal salah satunya Van den End yang mengungkapkan bahwa dengan pemakaian gelar tersebut maka Nommensen sendiri dapat disandingkan dengan Raja Singamangaraja.10 Sedikit berbeda dengan Van den End, menurut PTD Sihombing dalam bukunya Tuan Manullang (2008), gelar Ompu i yang ada di Nommensen merupakan gelar yang dialihkan dari Raja Singamangaraja XII sepeninggalan dirinya. Gelar kehormatan ini dialihkan atas kebaikan dan kelembutan hati Nommensen oleh pengikutnya.11 Lain halnya dengan pengakuan Ds. K. Sitompul yang merupakan seorang Pendeta HKBP seperti yang dicatat oleh Bonar Sidjabat, gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen memanglah dahulu digunakan oleh Singamangaraja. Dan catatan tersebut melepaskan unsur religius dari gelar tersebut dengan hanya melihat secara sosial-
10 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hl. 186 11 Dr. PTD Sihombing, Tuan Manullang (Humbang: Albert-Orem Ministry, 2008), hl. 352.
Ompu i |36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
politik mengenai peran Singamangaraja sebagai pendamai bagi masyarakat Batak. Yang menarik kemudian dalam catatan tersebut ada semacam klaim atas kesengajaan yang dilakukan oleh para misionaris Jerman yang secara sadar menggunakan gelar tersebut untuk mempengaruhi agar tidak lagi mengikuti Singamangaraja XII.12 Namun terlepas dari banyaknya interpretasi mengenai asal muasal gelar Ompu i tersebut; baik itu berupa klaim sepihak dari para misionaris atau pemberian dari pengikut; saya melihat dari pemikiran Foucault yang menyatakan bahwa kekuasaan itu menyebar atau bersifat desentralisasi, maka munculnya gelar Ompu i Nommensen merupakan (tak lepas) suatu konstruk atau reproduksi wacana yang mempengaruhi pengikut (baca: masyarakat Batak) dalam bentuk dominasi kekuasaan tentang sosok seorang pemimpin atau dalam wacana kepemimpinan, sehingga memunculkan pengetahuan mengenai wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen. Hal inilah kemudian muncul fenomena dalam kehidupan masyarakat Batak hingga sekarang bahwa kedua tokoh ini selalu disandingkan bersama, misalnya saja TB Simatupang, seorang mantan purnawirawan TNI (Tentara Republik Indonesia) yang juga sebagai kaum intelektual dalam isu Gereja, dan budaya Batak, menyatakan bahwa masyarakat Batak berada di dalam dua Ompu i, yakni Singamangaraja dan Nommensen.13 Bahkan penyandingan ini justru
12
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 431. Panda Nababan, dkk (eds), Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap Warga Jemaat Huria Kristen Batak Protestan; Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era Industrialisasi (Jakarta: Yayasan Sinar Mampang, 1988), hl. 36. Hal yang sama juga saya dapatkan ketika melakukan wawancara dengan Wilson Lumbanraja, salah seorang penganut Ugamo Malim, yang mengatakan: “Ompu i yang mana, Singamangaraja atau Nommensen?”. (Wawancara dengan Wilson Lumbanraja pada 30 April 2016). 13
Ompu i |37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menimbulkan polemik bagi masyarakat Kristen Batak antara identitas kesukuan dengan keyakinan agamanya.14 Tak heran bahwa kemudian hari muncul tokohtokoh intelektual yang berusaha mendamaikan kedua sosok tersebut melalui penelitian sejarahnya, walaupun tak menutup kemungkinan hal-hal yang kontroversi turut muncul dalam bentuk pertentangan kedua tokoh tersebut yang memang dalam realitas sejarahnya kedua tokoh tersebut pernah berjumpa. Terlepas adanya polemik tersebut, namun yang pasti, kaitan antara wacana Ompu i Nommensen dengan Singamangaraja menjadi wacana umum yang berkembang di tengah masyarakat Batak, terlebih Toba. Ketika terdapat penyandingan antara kedua tokoh tersebut maka masyarakat Batak (baca: para pengikutnya) meyakini bahwa gelar Ompu i yang dikenakan oleh Nommensen merupakan gelar dalam bentuk definisi yang digunakan oleh raja walaupun memiliki kedudukan dan peran yang lebih dari raja lainnya, atau dengan kata lain, memiliki definisi yang sama dengan gelar Ompu i yang dikenakan oleh Raja Singamangaraja. Maka dari itu, di sini saya perlu terlebih dahulu melihat dan menggali pengetahuan masyarakat Batak mengenai gelar ini dalam bentuk posisi serta kedudukannya, sebelum masuknya misionaris ke Tanah Batak, atau ketika Singamangaraja tampil sebagai raja dan memiliki kedaulatan yang penuh.
14
Banyak wacana-wacana yang membangun kebimbangan ini, misalnya salah satunya http://fransaritonang.blogspot.co.id/2013/01/antara-nommensen-dan-sisingamangaraja.html
Ompu i |38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B.
Gagasan Suhi Ampang Na Opat Dalam adat dan budaya Batak Toba, masyarakat Batak Toba selalu
berpegangan kepada 3 prinsip, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihal-Sihal dan Suhi Ampang Na Opat. Telah banyak para ahli adat yang membahas tentang ketiga prinsip ini, namun terkadang pembahasan ketiga prinsip ini tidaklah dibahas secara holistik, serta tidak melihat konteks pemahaman atas fungsi wilayah atau konteksnya awalnya, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah kesalahan atau kebingungan persepsi. Dalam menjelaskan ketiga prinsip ini maka perlu untuk melihat fungsi wilayah dari ketiga prinsip tersebut. Fungsi wilayah ini menjadi penting karena kehidupan masyarakat Batak terpola dalam 3 prinsip ini. Pertama adalah Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu menjadi prinsip yang selalu dipegang masyarakat Batak dan menjadi pondasi dalam kekerabatan hingga akhir hayatnya. Prinsip ini mengatur kehidupan masyarakat yang hanya sebatas pada lingkup keluarga, di mana aturan tersebut memiliki 3 kelompok hubungan kekeluargaan, yakni: Dongan Sabutuha (teman semarga), Boru (anak perempuan atau keluarga dari pihak menantu lakilaki), dan Hulahula (keluarga dari pihak istri).15 Adapun dari ketiga unsur ini diatur dengan aturan yang berada di dalam Suhi Ampang Na
15
T.M. Sihombing, Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hl. 71. Menurut PH. O.L. Tobing, Dalihan Na Tolu merepresentasikan pembagian dunia dalam agama tradisional Batak, yakni: dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas. Lih. PH. O.L. Tobing, The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God (Amsterdam: South and South-East Celebes Institue For Culture, 1963), hl. 150
Ompu i |39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Opat: manat mardongan tubu yang artinya sesama marga haruslah saling menghargai, sepemahaman dan sepenanggungan. Hal ini sebagai dasar untuk terciptanya kerjasama sesama marga dalam menggarap tanah yang dimiliki oleh marga na mamungka huta (marga yang memiliki kampung). Kedua, adalah elek marboru. Artinya, kelompok hula-hula haruslah membujuk boru (anak perempuan), mengingat peran boru cukup besar, terlebih dalam perayaan Horja. Dalam perayaan tersebut, boru menjadi pelaksana dan bertanggung jawab atas atas terlaksananya perayaan tersebut. Hula-hula menjadi pemberi perintah kepada boru. Yang ketiga adalah somba tu hulahula. Hula-hula memiliki posisi yang paling tinggi, di mana hula-hula dianggap sebagai perwujudan dari dewa Batara Guru atau dalam arti kelompok ini sering dikatakan sebagai Debata Na Tarida (Tuhan yang terlihat), sehingga kedua kelompok sebelumnya haruslah somba (bersujud) kepada kelompok hulahula.16 Dalam Dalihan Na Tolu, ketiga kelompok ini tidak mengikat kepada marga tertentu saja, melainkan hanya melihat posisi kelompok dari setiap individu. Dengan kata lain, setiap individu pastilah akan pernah berada di kelompok-kelompok tersebut ketika berada di lingkungan masyarakat. Dalam Dalihan Na Tolu konsep Ompu i lebih kepada dikenakan kepada galur keturunan sebagai silsilah marga. Kedua, Paopat Sihalsihal. Prinsip ini berada di dalam wilayah huta (kampung). Paopat Sihalsihal berarti penyangga batu keempat yang digunakan untuk menyangga tungku ketika ketiga batu (Dalihan Na Tolu) tersebut tidak
16
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (Jakarta: Obor, 2009), hl. 81-82.
Ompu i |40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sanggup menampung tungku tersebut. Dengan kata lain, dalam lingkup wilayah huta, maka paopat sihalsihal dimaksudkan untuk menampung kelompok, selain dari kelompok yang ada di Dalihan Na Tolu. Kelompok ini sering dikatakan sebagai dongan sahuta (teman sekampung). Di zaman sekarang, paopat sihalsihal sering dikatakan sebagai STM (serikat tolong menolong) yang juga turut membantu dalam suksesnya sebuah pesta atau perayaan. Ketiga, adalah Suhi Ampang Na Opat. Dalam bahasa Indonesia Suhi Ampang Na Opat berarti bakul yang memiliki empat sudut. Keempat sudut ini adalah pondasi dari hukum dan adat Batak yang dapat berupa: tona (pesan), poda (nasehat), uhum (hukum) dan patik (larangan). Dialah juga yang mengatur kelompok di dalam Dalihan Na Tolu, termasuk paopat sihalsihal. (lihat gambar2) Dalam kebanyakan pesta di zaman sekarang pengertian Suhi Ampang Na Opat telah berbeda pengertiannya dari yang sesungguhnya. Padahal makna Suhi Ampang Na Opat memberikan pondasi yang bukan hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan pesta, tetapi juga memberikan penegakkan dan kedaulatan (harajaon) atas kerajaan dan budaya Batak. Intinya, di dalam Suhi Ampang Na Opat terdapat dua bagian penting yang setiap bagiannya memiliki empat ajaran, yakni: Bagian pertama tentang Kebenaran (Habonoron), yang di dalamnya terdiri dari pengetahuan (Parbinotoan), kepercayaan (Haporseaon), ketaatan (Pangoloion) dohot budi pekerti (Parulan). Bagian kedua adalah Kedaulatan (Hadaulaton) yang terdiri dari rendah hati (Haserepon), kesabaran (Habengeton), sopan santun (Hapantunon) dan kehormatan (Hahormaton).17
17
Diambil dari http://batakweb.blogspot.co.id/2010/02/suhi-ni-ampang-na-opat.html. Diakses pada 4 September 2016.
Ompu i |41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Suhi Ampang Dalihan Na Tolu Manat mardongan Tubu Dalihan Na Tolu Elek Marboru
Na Opat
Dalihan Na Tolu Somba tu Hula-hula
Gambar 2
Istilah Opat yang dalam bahasa Indonesia berarti empat yang merupakan konsep dasar dari hukum dan adat Batak yang selalu bersandar pada 4 sisi atau asas. Bahkan dalam prakteknya, Singamangaraja selalu menggunakan 4 raja untuk mengisi jabatannya di dalam sistem bius. Keempat raja ini sering dikenal sebagai raja maropat atau raja na opat, sehingga kerajaan Singamangaraja juga berpondasikan pada suhi ampang na opat. Di dalam perayaan-perayaan adat Batak falsafah ini juga haruslah berlaku, sehingga adat tersebut dapat dikatakan sah. Namun adat yang berkembang di zaman sekarang justru tidak lagi memperhatikan Suhi Ampang Na Opat. Telah terjadi pergeseran makna dari pemakaian falsafah ini. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi raja junjungan (raja yang dihargai atau dijunjung tinggi) sesuai yang dianjurkan dalam Suhi Ampang Na Opat akibat kolonialisme di dalam menyingkirkan sistem kerajaan. Itu artinya, adat yang digunakan hanyalah sampai kepada kelompok Dalihan Na Tolu, padahal dalam Suhi Ampang Na Opat, terdapat satu kelompok lagi yang menjadi bagian penting dari terlaksananya adat, yakni raja, sehingga di dalam Suhi Ampang Na Opat haruslah melaksanakan manat (menghargai)
Ompu i |42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mardongan tubu, elek (membujuk) marboru, somba (menyembah) marhulahula, dan pantun marraja (tunduk kepada raja). Raja yang dimaksud di sini adalah raja dalam pengertian yang memiliki kuasa atas wilayah dan memiliki lembaga untuk mengatur hukum dan adat Batak, yakni dalam wilayah huta (kampung), horja, dan bius. Tidak ada hubungan genealogis seperti di dalam konsep Dalihan Na Tolu. Paling tidak, adanya raja dalam Suhi Ampang Na Opat dapat menciptakan kedamaian dan persatuan; sesuatu hal yang tidak bisa dilakukan dalam Dalihan Na Tolu. Maka dari itu, masyarakat Batak meyakini raja merupakan perpanjangan tangan dari dewa/tuhan di dalam iklim religiositas masyarakat Batak Toba tradisional. Konsep di dalam Suhi Ampang Na Opat menghargai peran raja di setiap aspek kehidupan masyarakat Batak. Raja menjadi penuntun kepada masyarakat, karena ia lah yang menjadi penyelenggara atas hukum dan adat, baik sekuler maupun religi. Ketika Singamangaraja I-XII masih memiliki kedaulatannya, Singamangaraja menjadi raja yang diakui oleh seluruh bius, horja dan huta. Artinya, Singamangaraja menjadi raja yang tertinggi dari raja-raja lainnya, sehingga diberikan gelar sebagai Ompu Raja Singamangaraja. Namun untuk melihat lebih mendalam mengenai gelar ompu raja maka haruslah melihat bagaimana kedudukan secara sosio-politis Raja Singamangaraja di masyarakat Batak Toba, serta bagaimana kuasa Raja Singamangaraja tersebut didapatkan.
Ompu i |43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C.
Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja Dinasti kerajaan Singamangaraja bagi masyarakat Batak adalah pemersatu
dalam hal adat, budaya dan religi. Sifat kekuasaannya bukanlah berasal dari peperangan dan kekerasan, namun dari keyakinan masyarakat atas kesaktiannya. Dalam terminologinya, Singamangaraja berasal dari dua kata, yakni Singa dan Mangaraja. Istilah singa bukanlah menunjuk kepada nama binatang “singa”, melainkan dari bahasa Batak yang berarti “konstruksi”, sedangkan Mangaraja diartikan sebagai maha raja. Dengan demikian Singamangaraja dapat diartikan sebagai pondasi dari kerajaan. Singamangaraja juga sering disebut sebagai Singa Ni Uhum (undang-undang) dan juga Singa Ni Hadatuhon (religi).18 Namun terlepas dari banyaknya istilah yang berkembang dalam bahasa Batak, kekuasaan Singamangaraja tetaplah memiliki peran penting bagi masyarakat Batak Toba. Para tokoh peneliti ataupun misionaris yang berasal dari luar Indonesia, seperti Marsden dan Rafles, Van Der Tuuk, B. Hagen, J.F. von Brenner, Meerwaldt, dsb, juga mengakui pengaruh kekuasaan Singamangaraja bagi masyarakat Batak. Bahkan Van der Tuuk sendiri, salah seorang ahli sastra Batak yang membantu missionaris Jerman, menyebut Raja Si Singamangaraja XII sebagai koning aller Bataks (raja dari segala orang Batak) ketika ia berjumpa langsung dengan Raja Si Singamangaraja XII di Bakara pada 1853.19
18 Adniel Lumbantobing, Sedjarah Si Singamangaradja I-XII (Tarutung: Dolok Martimbang, 1959), hl. 13 19 Dr. W.B. Sidjabat, Op.Cit., hl. 71
Ompu i |44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kebesaran dan kekuasaan Dinasti Singamangaraja tidak terlepas dari adanya paham-paham religiositas, sosial, kesehatan, ekonomi, politik, adat dan budaya, serta hukum yang berkembang di masyarakat Batak. Dan aspek-aspek tersebut telah di mulai sebelum adanya dinasti Singamangaraja. Itu artinya, telah terdapat paham berupa ajaran-ajaran yang mempersatukan masyarakat Batak. Dinasti Singamangaraja menjadi kerajaan dengan melaksanakan paham-paham tersebut, sehingga tanpa disadari, Dinasti Singamangaraja menjadi sebuah lembaga, bahkan dapat dikatakan sebagai bangsa, yang memiliki fungsi hukum, agama, ekonomi dan sosial yang berpusat di wilayah Toba.20 Hal ini yang juga dikatakan oleh Sitor Situmorang, yang terkadang justru tidak diamati oleh para peneliti, semisal, Lance Castles.21 Maka dari itu, untuk melihat bagaimana Raja Singamangaraja sendiri dapat menjadi raja atas masyarakat Batak perlu terlebih dahulu melihat bagaimana awal mula munculnya paham atau ajaran tersebut, sehingga dapat menjadi pemersatu bagi masyarakat Batak melalui tatanan atau sistem struktur sosial masyarakat. 1. Mitos Si boru Deak Parujar Keberadaan masyarakat Batak tidak dapat dipisahkan dari mitos Siboru Deak Parujar. Mitos ini mengungkapkan tentang asal usul masyarakat Batak, dan juga menjadi bagian penting di dalam terbentuknya sistem pemerintahan di dalam masyarakat Batak tempo dulu. Melalui tradisi lisan secara turun temurun maka
20 Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010), hl. 69. 21 Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIII-XX (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hl. 19-20.
Ompu i |45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mitos ini menjadi kekuatan di dalam masyarakat Batak sebagai suatu konsep religiusitas akan keberadaan manusia di dunia. Dalam mitos tersebut masyarakat Batak meyakini bahwa manusia pertama yang diciptakan adalah si Raja Batak, dan dari Raja Batak inilah kemudian masyarakat Batak menyebar ke seluruh penjuru dunia dan beranak cucu. Karena mitos ini berasal dari tradisi lisan maka mitos ini memiliki beragam versi.22 Di sini saya tidak akan menceritakan ulang mitos tersebut, namun saya melihat bahwa mitos tersebut memiliki dua bagian penting, yakni pertama, Aturan dan Perintah berupa pernikahan yang diberikan Ompu Mula Jadi Nabolon (Sang Pencipta) kepada ciptaannya (manusia kayangan/langit), termasuk Boru Deak Parujar agar menikah dengan Raja Odapodap, yang akan membentuk 3 suku dan 3 kerajaan sebagai suatu awal mula Dalihan Na Tolu, yakni satu suku dan kerajaan Sabutuha, dua suku dan kerajaan boru, 3 suku dan tiga kerajaan hulahula. Kedua, penolakan boru Deak Parujar terhadap aturan dan larangan sebagai suatu penolakan atas wibawa sang Bapak (Ompu Mula Jadi Na bolon), sehingga terciptalah bumi sebagai tempat tinggal manusia beserta isinya. Adanya penolakan tersebut maka putuslah hubungan antara bumi (banua tonga) dengan langit (banua ginjang). Namun karena kebaikan dari Ompu Mula Jadi Nabolon maka hubungan tersebut dapat tercipta melalui doa dan juga persembahan. Masyarakat Batak
22
Keberagaman akan mitos Deak Parujar merupakan keberagaman yang dikarenakan bersifat tradisi lisan, serta ditradisikan pada marga-marga di masyarakat Batak. Namun, Anicetus B. Sinaga di dalam tulisannya membedakan mitos ini ke dalam 3 versi sebagai suatu contoh dan tidak sebagai menutup kemungkinan akan versi lainnya, yakni versi Johannes Warneck yang ditulisnya pada tahun 1909, versi Philip Lumban Tobing, serta versi Nahum Raja Patik Tampubolon pada tahun 2002 dalam Pustaha Tumbaga Holing. Lih. Dr. Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak-Toba: Transendensi dan Imanensi (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hl. 239.
Ompu i |46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meyakini bahwa Pusuk Buhit adalah sebagai altar dari doa dan persembahan tersebut. Kedua hal ini sangatlah penting karena akan menjadi dasar di dalam terbentuknya pemerintahan kerajaan masyarakat Batak. Ketika bumi telah tercipta menurut keyakinan masyarakat Batak maka terciptalah Raja Batak sebagai manusia pertama (jolma) yang kemudian menciptakan huta (kampung) Sianjurmulamula; berbeda dari zaman boru Deak Parujar dan 7 generasi setelahnya yang merupakan manusia kayangan. Dari kedua hal ini maka juga bahwa Raja Batak sebagai manusia pertama mewariskan bumi yang berasal dari penolakan boru Deak Parujar atas larangan Ompu Mula Jadi Na Bolon, sehingga bumi dan manusia telah melakukan kejahatan. Dengan maksud inilah maka untuk terakhir kalinya Mula Jadi Na Bolon turun ke bumi dan menyerahkan aturan dan perintahnya berupa 2 pustaha, yakni pertama, Pustaha laklak atau yang sering disebut sebagai Surat Agong yang berisi pedoman kerohanian, kebatinan, hadatuhon (ilmu pengobatan), Habeguhon (ilmu yang bersifat mistik atau sihir), parmonsahon (ilmu silat dan perang), pangaliluon (ilmu menghilang dan membuat orang linglung), dan parhalaan (ilmu perbintangan). Kedua, Pustaha Tumbaga atau sering disebut Surat Tumbaga yang berisi tentang ajaran pemerintahan berupa aturan-peraturan kerajaan, adat dan hukum, parumaon dan parhaumaon (perumahan dan pertanian, partigatigaan (pengetahuan dagang), paningaon (karya seni). Pustaha pertama diwariskan oleh keturunan Raja Batak, yakni Guru Tateabulan atau yang sering
Ompu i |47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikatakan sebagai sahala tua, sedangkan pustaha kedua diwariskan kepada Raja Isumbaon atau sering dikatakan sebagai sahala harajaon.23 Kedua pustaha ini merupakan awal mula sistem pemerintahan dan adat dari masyarakat Batak Toba, dan menjadi dasar dari organisasi Huta (kampung), Horja dan Bius. Artinya, kedua pustaha tersebut mencakup aspek religi dan aspek sekuler dalam bentuk pemerintahan (harajaon). Kedua aspek ini yang menjadi dasar dari aspek Bius. Bahkan dikemudian hari pustaha laklak yang menjadi sumber religiositas membentuk kelompok parbaringin (pendeta/imam) dan menjadi ciri utama dalam sistem Bius Sianjurmulamula. Menurut Sitor Situmorang kedua aspek ini yang seharusnya dapat menciptakan kesatuan dan kemajuan, namun dikemudian hari justru sering menimbulkan bibit-bibit perpecahan dalam bentuk dualisme. 24 2. Konsep dan Perkembangan Huta, Horja dan Bius Masyarakat Batak meyakini bahwa huta atau kampung yang pertama kali terbentuk adalah Sianjurmulamula. Hal ini termaktub di dalam tonggo-tonggo atau doa-doa sebagai berikut: Sianjurmulamula, Sianjur mula toppa. Parsirangan ni aek, pardomuan ni hosa Sianjurmulamula, Sianjur mula jadi Mula ni sombayang, mula ni sombauasi. Parpansur golanggolang, partapian jabi-jabi
Sianjurmulamula, Sianjur awal yang diciptakan Dipisahkan oleh air, disatukan oleh daging Sianjurmulamula, Sianjur awal yang ada. Permulaan dari sembayang, awal dari sujud.
23
Dalam perkembangannya sesuai turiturian dikisahkan bahwa Guru Tateabulan dan Raja Isumbaon tidak pernah membuka pustaha tersebut hingga akhirnya keturunan merekalah yang membuka pustaha tersebut, yakni Martua Rajadoli dan Tuan Sorimangaraja. Inilah sebabnya Martua Rajadoli sering dikatakan sebagai Martua Rajadoli mula ni Raksa ni Hadatuhon sian Pustaha Laklak (Martua Rajadoli awal dari pengetahuan adikodrati yang tertulis dalam pustaha laklak), sedangkan Tuan Sorimangaraja sering dikatakan sebagai Tuan Sorimangaraja Mula ni torsa ni Harajaon sian Pustaha Tumbaga (Tuan Sorimangaraja awal dari pengetahuan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Pustaha Tumbaga) (lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Pemerintahan (Harajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hl. 141. 24 Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 24-26.
Ompu i |48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Parsaapan manogot, parangiron bodari
Tempat mata air yang bergelang-gelang, tempat mandi yang besar
Namun demikian, Sianjurmulamula bukan hanya menjadi huta pertama, melainkan tempat ini menjadi penting dikarenakan dari tempat inilah kemudian masyarakat Batak menyebar ke seluruh penjuru seturut dengan bertambahnya jumlah masyarakat di huta tersebut. Bahkan perkembangan ini membuat status Sianjurmulamula pun bukan lagi dipandang sebagai huta, tetapi juga sebagai Bius; yang meliputi daerah huta Limbong dan Sagala. Walaupun perkembangan masyarakat Batak sudah keluar dari wilayah Sianjurmulamula, namun demikian status Sianjurmulamula masih menjadi salah satu model percontohan di setiap pembangunan bius-bius lainnya, yakni dengan menekankan aspek religi (Pustaha Laklak) dan sekuler (pustaha Tumbaga). Penyebaran masyarakat Batak banyak terdapat di wilayah Samosir, Toba-Holbung, Humbang dan Silindung. Menarik kemudian menulusuri lebih dalam mengenai perkembangan huta, horja dan bius, serta bagaimana konsep Sianjurmulamula diterjemahkan di dalam bius-bius yang ada dan dalam hubungannya dengan Huta dan Horja, karena dengan ketiga inilah sistem hirarki pemerintahan Singamangaraja terlihat. Huta Menurut Vergouwen huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol dari pada kelompuk suku (perkumpulan semarga atau dapat juga sebagai horja).25 Alasan Vergouwen ini ada benarnya dengan alasan Huta memiliki kekerabatan yang dekat dari pada kelompok suku, walaupun mayoritas penduduk huta
25
J.C. Vergouwen, Op. Cit, hl. 132.
Ompu i |49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merupakan satu kelompok suku tertentu atau semarga. Namun tidaklah otomatis bahwa isi dari huta tersebut adalah hanya satu marga tertentu saja, tetapi juga terdapat marga paisolat atau parripe (penumpang) yang harus tunduk kepada marga utama. Bagi masyarakat Batak membuka atau mendirikan huta yang baru sama halnya dengan mendirikan harajaon yang baru. Hal ini disebabkan pendiri huta akan menjadi raja atau huta tersebut. Konteks yang ada dalam masyarakat Batak setiap huta yang berdekatan pastilah memiliki hubungan kekerabatan. Itulah sebabnya huta yang pertama tidak dapat dilepaskan dari huta-huta yang mengikutinya. Dalam istilah Batak, kampung yang baru dibuka yang dihuni oleh keluarga-keluarga yang merupakan warga dari satu bagian klan dinamakan lumban atau biasanya disebut lumban ni huta. Dan ketika sebagaian penghuni lumban tersebut membuka kampung yang baru maka akan di sebut sosor atau biasanya sosor ni huta.26 Selain dari ketidakidentikan huta dengan kelompok suku atau marga, hal lain yang memperjelas dari huta adalah adanya pembagian wilayah dengan batasbatas yang jelas. Biasanya huta berdiri di sebidang tanah yang memiliki batas disekelilingnya dan di huni oleh kerabatnya (pendiri huta). Biasanya batas tersebut dikeliling oleh bambu atau parik, semacam tembok yang terbuat dari tanah atau susunan batu. Huta dan tanah memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dikarenakan huta mengatur hak kepemilikan tanah. Kepemilikan ini mengatur hak tanah yang menyangkut kepada kepemilikan atas marga pendiri huta, pihak boru
26
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl. 149-150.
Ompu i |50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(perempuan), marga penumpang, serta tanah garapan. Maka dari itu, posisi huta memiliki keotonomian atas hak tanah, sehingga ketika dikaitkan dengan sistem pemerintahan pemerintahan tradisional Batak Toba, maka huta merupakan memiliki wewenang yang paling kecil secara teritorial.27 Namun pengaturan tersebut bukan hanya pada masalah tanah saja, tetapi segala kehidupan yang menyangkut atau berhubungan dengan huta (hatopan) tersebut merupakan wewenang dari huta tersebut, misalnya perkelahian, adanya pendatang, dll. Dalam pemerintahan tradisional Batak Toba, huta telah memiliki aturan yang jelas. Bahkan di hutalah akan terlihat dengan jelas penggunaan adat dan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di sini saya tidak akan membahas seluruh aturan dan larangan dalam kehidupan di huta, melainkan akan melihat struktur fungsional dalam huta yang nantinya akan berkaitan dengan horja dan bius. Di dalam huta, hak memerintah merupakan hak bersama (hatopan) setiap keturunan patrilineal langsung si pendiri huta tersebut. Walaupun menurut hukum hak tersebut dipegang oleh raja huta namun keturunan dari raja huta tersebut juga mendapatkan manfaatnya dan mempunyai hak istimewa. Dari fenomena seperti ini Vergouwen membahasakan huta sebagai suatu “sel dari suatu organisasi politik yang dibentuk oleh marga dan kelompok suku, tetapi sebuah sel dengan kehidupan persekutuan”.28
Yang
menarik
dari
pengertian
ini,
ketika
Vergouwen
mengumpamakan huta sebagai suatu sel maka hal ini menandakan bahwa sifat dari huta selalu berkaitan dengan huta-huta lainnya yang menjadi pengembangan atau
27 28
Ibid., hl. 147. J.C. Vergouwen, Op. Cit., hl. 141.
Ompu i |51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perluasan dari huta sebelumnya. Walaupun hubungan paralel ini diikat dengan hukum dan adat namun huta mememiliki dimensi politik yang justru cenderung menjadi kekuatan sebagai persekutuan yang kecil. Dalam posisi inilah raja huta memiliki kekuatan ketika menjadi yang paling dituakan dan dihormati. Raja huta atau yang sering dikenal sebagai Tunggane Ni Huta (tetua kampung) di Samosir dan ada juga yang menyebutnya Siboan Bunti (pembawa persembahan) memiliki tugas mengelola huta, menegakkan hukum dan menyelenggarakan peradilan, adat, ketertiban dan disiplin. Jabatan atau gelar ini biasanya merupakan gelar keturunan (waris) dari garis patrilineal. Bahkan, ketika berhubungan dengan kepentingan atau urusan di luar huta tersebut maka raja huta menjadi perwakilan dari kepentingan huta tersebut. Masyarakat huta tersebut juga haruslah menerima kepemimpinan dan bimbingan dari raja huta. Segala aktivitas masyarakat, seperti perkawinan, penjualan ternak dan urusan tanah haruslah melibatkan raja huta sebagai bentuk partisipasi penting atas peran raja huta. Dari sinilah kemudian raja huta menjadi penentu atau pintu terakhir yang memainkan peranan penting bagi keberlangsungan hutanya. Idris Pasaribu dalam novelnya berjudul Mangalua memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai posisi dan kedudukan penting raja (huta, horja, bius) ditengah-tengah masyarakat dalam memberikan nasehat, mediasi; yang dengannya akan membawa solusi bagi kehidupan keluarga dan masyarakat.29 Hal ini sesuai dengan umpasa berikut ini dapat menerangkan posisi raja: Baris-baris ni gaja di rura pangaloan, Molo marsuru raja ingkon oloan
29
Gajah berbarisbaris di lembah Pangaloan Jika Raja memberikan perintah maka harus dilaksanakan.
Lih. Idris Pasaribu, Mangalua (Jakarta: Obor 2015), hl. 145.
Ompu i |52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Molo so nioloan tubu hamagoan Ia nioloan dapot pangomoan
Jika tidak dilaksanakan akan lahir malapetaka Yang melaksanakannya akan mendapat keuntungan
Di dalam hukum dan adat masyarakat Batak ada beberapa motif yang mendasari akan adanya pengikat atau hubungan huta dengan huta lainnya atau bahkan ke kelompok suku, yakni : 30 1. Motif kesilsilahan. Motif ini paling besar pengaruhnya dalam masyarakat Batak. Walapun terkadang tidak melibatkan seluruh masyarakat di huta tersebut, namun paling tidak mempunyai hubungan di beberapa anggota masyarakat huta tersebut. 2. Motif keagamaan. Motif ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat huta menjadi masyarakat kurban dan persekutuan. Seperti yang dicatat Vergouwen bahwa terkadang motif keagamaan ini kurang berpengaruh dalam kehidupan politik sebagai suatu persekutuan. 3. Motif kewilayahan. Motif ini kurang berpengaruh dalam mengikat kelompok masyarakat. Namun beberapa hal sangat berpengaruh khususnya di wilayah emigrasi, yakni tempat kampung-kampung bersatu di dalam wilayah campuran atau daerah yang memiliki marga yang berbeda namun masih memiliki pertalian. Setelah menjabarkan pengertian huta dalam masyarakat Batak serta peran penting raja huta, maka dapat disimpulkan huta memiliki kedudukan dan fungsi penting bagi kehidupan masyarakat Batak. Bahkan, huta menjadi pondasi kepada sistem yang lebih tinggi, yakni horja dan bius, termasuk nantinya menjadi pondasi
30
Ibid., hl. 144.
Ompu i |53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam keberlangsungan dinasti Singamangaraja. Dan raja huta bertanggung jawab kepada horja dan bius. Hal ini terlihat dari umpasa yang menggambarkan dinasti tersebut. Huta do mula ni Horja Horja do mula ni Bius
Huta membentuk horja Horja membentuk bius
Horja Horja merupakan federasi tingkat pertama yang merupakan kumpulan dari beberapa huta. Biasanya horja merupakan kelompok satu marga atau sekelompok marga yang sama (marga-raja) dari beberapa huta walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat marga lain yang berbeda dikarenakan adanyak kelompokkelompok pendatang baru dan juga kelompok marga lain yang leluhurnya memiliki peranan dalam membuka tanah atau huta.31 Namun demikian horja sendiri pada intinya merupakan persekutuan kelompok-kelompok yang masih terikat dengan hubungan kekerabatan marga atau Dalihan Na Tolu: hula-hula, dongan sabutuha maupun boru. Paling tidak adanya keterikatan antarhuta menjadi horja dikarenakan adanya ikatan genealogis, adat, religi dan teritorial.32 Hal inilah yang mendasari keberlangsungan dari adanya horja. Misalnya saja horja Bangkara yang merupakan kumpulan dari huta Raja dan huta Siunongunong Julu dan huta Sionggang. Horja dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai karya atau kerja. Awalnya perkumpulan ini sebagai suatu seremonial atau pesta atas persekutuan masyarakat kurban yang bersifat religi, namun lambat laun horja menjadi urusan sekuler yang mangurus keamanan (jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok dari
31 32
Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 38. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl.162
Ompu i |54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
huta yang bukan semarga), peperangan, hak kepemilikan dan pengurusan tanah, dll. Sebagai relasi dari masing-masing huta maka horja dimaksudkan sebagai bentuk kerjasama baik sesama marga maupun dengan marga boru (marga suami dari perempuan yang berasal dari kampung tersebut). Biasanya bentuk kerjasama tersebut berupa pengelolaan tanah (golat). Dengan terikat akan relasi antarhuta, maka kepemimpinan horja dinamakan sebagai Dewan Raja atau Raja Horja atau juga sering dikatakan sebagai Raja Junjungan. Mekanisme pengangkatannya dengan melibatkan dan memberikan hak suara kepada setiap huta untuk mengusulkan calon raja yang kemudian dipilih secara demokrasi oleh masing-masing huta. Namun biasanya yang menjadi raja horja adalah marga sipungka (pembuka) huta atau kampung.33 Istilah raja di sini bersifat kolektif yang terdiri dari raja-raja si pembuka huta. Setelah terpilih maka raja horja inilah yang kemudian memimpin setiap kegiatan horja didampingi beberapa orang dari golongan parbaringin (kaum pendeta/imam), walaupun ada beberapa horja yang justru kedudukan raja merangkap juga kedudukan dan pekerjaan golongan parbaringin. Menurut Ulber Silalahi ada dua fungsi penting dari horja, yakni: pertama, fungsi religi. Fungsi ini dapat diartikan sebagai suatu pesta atau ulaon marga. Jika diaktualisasikan pada masa kini maka deskripsi yang paling jelas dalam menggambarkan horja adalah ritus pesta adat atau ulaon adat dari marga walaupun secara esensi telah berbeda. Dalam fungsi ini maka horja melaksanakan ritus
33
Ibid., hl. 214.
Ompu i |55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemujaan leluhur marga, namun pekerjaan ini haruslah direstui oleh Bius melalui permusyawarahan yang disebut sebagai tonggo raja. Dengan menggunakan tarian tunggal panaluan (tongkat sakti simbol marga) maka dalam perayaan tersebut haruslah mengundang roh leluhur yang dinamakan horja santi, dan Datu (semacam Dukun) berfungsi dalam pemanggilan roh tersebut. Selain ritus pemujaan leluhur maka horja dalam fungsinya sebagai religi juga melaksanakan pesta besar atau horja rea yang dipimpin oleh parbaringin (kelompok imam). Kedua, fungsi administrasi dan hukum. Fungsi ini menerapkan aturan di dalam horja sebagai suatu harajaon atau kerajaan yang berlaku baik ke luar (diluar wilayah horja) ataupun ke dalam (bagi anggotanya sendiri). Misalnya jikalau terjadi penggarapan tanah yang bukan menjadi haknya atau pengambilan hasil ternak diluar hak wilayahnya (golat) yang dilakukan oleh orang/kelompok diluar dari horja tersebut maka aturan dalam horja akan menuntut hak korban. Jikalau kasus tersebut dilakukan oleh anggotanya maka akan dilakukan perdamaian yang dilakukan di partungkoan yang disebut sebagai parriaan. 34 Setelah melihat fungsi horja dari urusan religi hingga kepada masalah sekuler maka dalam hubungannya dengan bius, horja menjadi kustituen dari bius yang merupakan federasi yang lebih tinggi. Dalam konteks ini setiap horja memilih dan mengutus wakilnya untuk menjadi dewan pemerintahan sekuler bius, serta mengutus wakilnya menjadi imam dalam kelompok parbaringin.
34
Ibid., hl. 165-166.
Ompu i |56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bius Pemerintahan bius merupakan pemerintahan konfederasi dari beberapa pemerintahan horja. Terbentunya bius biasanya dikarenakan adanya kedekatan geografis, walaupun tidak menutup kemungkinan akan adanya faktor genealogis atau sesama marga dalam pembentukan bius. Namun yang menjadi hal esensial dari kehadiran bius adalah adanya ikatan dari aspek religi. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kegiatan bius merupakan kegiatan keagamaan. Bahkan bius juga memiliki ritus-ritus tersendiri yang berbeda dari horja dan huta, atau dengan kata lain ritus tersebut hanya dapat diselenggarakan di tingkat bius, misalnya kegiatan mangase taon (perayaan tahun baru), maname (perayaan musim tanam), dll. Ada juga kegiatan bius yang merupakan kegiatan sekuler namun tetap dinaungi secara religi, misalnya pesta bius yang dipimpin oleh raja bius namun pelaksana ritus tetaplah kelompok parbaringin (kelompok kaum imam). Dalam kegiatan tersebut parbaringin memimpin seremonial dengan memberikan persembahan kurban kepada debata. Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula, yakni adanya 2 pustaha, pustaha laklak dan tumbaga, maka bius selalu mementingkan keseimbangan di dalam unsur duniawi (sekuler) dengan religi. Dengan konsep tersebut, maka idealnya bius menjadi aparatus yang diisi oleh dewan bius atau biasa disebut raja bius dan kelompok parbaringin (imam atau pendeta). Dewan bius berisi enam anggota dan kepemimpinannya bersifat primus inter pares, di mana anggota tertua dari horja menjadi pemimpinnya. Dewan bius inilah yang menjadi pengayom hukum secara sekuler, sedangkan kelompok parbaringin merupakan kumpulan para pendeta atau
Ompu i |57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kaum imam yang mewakili tiap horja. Walaupun kelompok parbaringin menjadi pendamping dewan bius namun kehadirannya tetaplah tunduk kepada aturan hukum sekuler. Keduanya, dewan bius dan parbaringin, bekerja dengan sifat saling melengkapi. Biasanya yang menjadi raja bius adalah marga raja dari sipungka huta atau pembuka/pendiri kampung. Menurut Sitor Situmorang, bius yang sesuai dengan Sianjurmulamula memiliki konsep yang jelas; dari hukum sekuler yang menjadi adat bius hingga religiusitas memiliki pengaturannya. Dengan konsep ini Sitor Situmorang menganggap bahwa konsep ini dapat menjadi perwujudan suatu bangsa, di mana bius yang memiliki fungsi otonomi tersendiri, adanya fungsi onan (pasar) serta ditambah fungsi lembaga Singamangaraja menjadikan Toba sebagai statetendency.35 Adapun beberapa fungsi bius dan menjadi adat bius adalah mengatur, yakni:36 1. Hukum pertanahan 2. Hukum relasi bertetangga 3. Hukum pengusaan tanah atau hukum golat 4. Hukum tali-air (irigasi) dan perairan (sungai, danau)
35
Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 19-20. Ibid., hl. 12-13. Sitor Situmorang tidak memasukkan penyetujuan Onan sebagai tugas dari bius. Hal ini berbeda dengan Ulber Silalahi. Menurut Sitor, Onan bukan hanya sekedar dilihat sebagi pasar atau jual beli belaka melainkan telah menjadi lembaga yang tingkatnya sudah diatas bius, walaupun hasil dari Onan merupakan pengesahan atas kerjasama antarbius. Lebih jauh ia melihat bahwa Onan menjadi aspek tertib hukum yang kelembagaannya diresmikan oleh Singamangaraja atau Sorimangaraja (sebelum adanya Singamangaraja). Bahkan Onan menjadi pemersatu dari bius-bius. (Bdk. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 156-158). 36
Ompu i |58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput dll, dikuasai secara kolektif oleh paguyuban. 6. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarapan atas sawah. 7. Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta, dll. Walaupun secara aturan sangatlah jelas, namun kenyataan berkata lain. Bius yang memiliki konsep ideal justru tidak terjadi di setiap bius yang ada. Hal ini berdampak kepada fungsi bius, yang berbeda dengan bius-bius lainnya. Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah karena migrasi penduduk yang mengakibatkan pendirian bius tidaklah sesuai dengan konsep Sianjurmulamula. Seperti yang dicatat oleh Sitor Situmorang bahwa terdapat 3 kategori konsep bius, yakni:37 1. Bius berkembang. Bius yang termasuk dalam kategori ini berada di wilayah pantai selatan danau Toba dan pulau Samosir. Konsep bius ini mengikuti konsep Sianjurmulamula, di mana konsep ini memiliki aparatus berupa dewan bius dan golongan parbaringin (kelompok para imam/pendeta). 2. Bius sedang berkembang. Kategori ini mencakup wilayah Silindung, Humbang dan Pahal. Aparat dari bius ini tidaklah selengkap dari bius berkembang atau sebagaimana model Sianjurmulamula. Konsep ini tidak memiliki golongan parbaringin yang ideal, sehingga setiap kegiatan pesta bius, pemimpin sekuler atau dewan bius melaksanakan tugas yang seharusnya diemban oleh golongan parbaringin.
37
Ibid., hl. 31-32.
Ompu i |59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Bius terbelakang. Bius-bius yang berada dalam kategori ini yakni wilayah pinggiran Toba. Bius dalam kategori ini sudah sangat berbeda dari konsep Sianjurmulamula. Bahkan kepemimpinan bius bukan lagi bersifat kolektif melainkan perorangan. Adanya perbedaan bius-bius ini mengindikasikan arus migrasi masyarakat Batak yang menyeluruh ke wilayah pinggiran Toba. Ypes, salah seorang mantan residen Tapanuli, mencatat dan mendokumentasikan bahwa jumlah bius yang tersebar di Toba adalah sebanyak 86 bius yang terdiri dari: 4 bius di wilayah Silindung, 19 bius di Humbang, 40 bius di Toba Hobung dan 23 bius di wilayah Samosir.38 Bius bagi masyarakat Batak memiliki peranan penting dalam kehidupan bersama di Toba. Seperti layaknya sebuah sistem organisasi, maka bius menjadi media atau sarana dalam menghubungkan setiap wilayah-wilayah di Toba (lihat skema). Bahkan nantinya sistem bius ini dimanfaatkan kolonialisme Belanda dalam upaya memecah belah.
38
Data dari Ypes ini berbeda dengan data dari Sitor Situmorang. Menurut Sitor Situmorang terdapat 150 bius pada abad ke-19. Perbedaan ini menurutnya, data statistik yang digunakan Belanda adalah data bius lama yang merupakan hasil penggabungan dari bius-bius kecil. Bahkan data tersebut menjadi samar ketika Belanda mengubah sistem bius dengan istilah negeri sebagai unit pemerintahan terbawah Belanda, di mana Kepala Negeri (awalnya digelari sebagai Jaihutan yang berarti dipatuhi/diikuti) menjadi pemimpin bius tersebut (lih. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 17-18).
Ompu i |60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Skema Bius 3. Sistem Pemerintahan dan Kelompok Parbaringin Dua pustaha, laklak dan tumbaga, di dalam konsep Sianjurmulamula menjadikan Toba memiliki tata kelola pemerintahannya sendiri. Konsep ini bermula kala dinasti Raja Sorimangaraja membuka dan menerapkan kedua pustaha tersebut, sehingga menjadikannya kerajaan termasyur dalam masyarakat Batak (Toba) yang pada waktu itu berpusat di Baligeraja. Dari dinasti Sorimangaraja inilah nantinya kemudian menjadi dinasti Raja Singamangaraja. Seperti yang sudah dikatakan di atas mengenai 3 struktur tata kelola pemerintahan, yakni bius, horja dan huta, maka di setiap struktur tersebut di isi oleh jabatan-jabatan yang dibagi berdasarkan tugasnya, termasuk dalam hal ini kelompok parbaringin yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mendampingi jabatan-jabatan sekuler. Aparatus dan Dewan Raja Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula dalam dinasti Sorimangaraja terdapat jabatan-jabatan yang melingkupi ketiga struktur pemerintahan, yakni pertama, di tingkat bius atau yang sering dikatakan sebagai Raja Junjungan, yang
Ompu i |61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diisi dengan jabatan Pande Bolon, Pande Raja, Pande Mulia, Pande Namora (sering juga dikatakan raja naopat karena terdiri 4 jabatan). Keempat ini ini menjadi junjungan marga atau yang paling dihormati di marga-marga yang ada di Bius tersebut. Tugas utama dalam keempat jabatan ini adalah ritus partondion (rohani) atau yang berhubungan dengan tuhan (Debata). Kedua, di tingkat horja. Jabatan atau aparat di tingkat horja mempunyai fungsi sebagai Wakil Raja Junjungan. Jabatan tersebut masing-masing adalah Raja Saning Naga sebagai orang kedua (paidua) atau wakil dari Raja Pande Bolon39, Raja Parsinabul atau Hinalang sebagai wakil dari Pande Raja, Raja Parsirambe atau Patuatgaja sebagai wakil dari Pande Mulia dan terakhir Raja Mamburbuang atau Raja Parjuguk sebagai wakil dari Pande Namora. Tugas wakil junjungan ini merupakan tugas horja serta menjadi wakil dari Raja Junjungan ditingkat bius dalam urusan kerohanian. Ketiga adalah di tingkat huta yang memiliki 4 jabatan. Raja-raja di tingkat huta inilah yang menjadi pelaksana karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Raja-raja di tingkat huta adalah Undotsolu atau Raja Laut, Panguluraja atau Ulu Porang, Pande Aek atau Parhauma-Pangulaon dan Panguludalu atau Parpinahanon.40 Namun struktur birokrasi dari Dinasti Sorimangaraja ini sedikit berbeda dengan Dinasti Singamangaraja. Pada masa Dinasti Singamangaraja, maka sistem pemerintahannya lebih teorganisir berdasarkan fungsi teritorialnya dan juga pembagian tugas yang lebih fungsional. Artinya, secara fungsi, pendefinisian akan
39 Menurut Sitor Situmorang pada era Raja Singamangaraja, Pande Bolon adalah jabatan (ahli utama) yang merupakan ketua kelompok Parbaringin yang juga mengurus ritual-ritual. (lih. Ibid., hl. 201). 40 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., 201-202.
Ompu i |62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebuah lembaga atau departemen lebih spesifik dibanding Dinasti Sorimangaraja. Misalnya, fungsi adat, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan, peradilan, keuangan dan religi. Itulah sebabnya di dalam struktur pada masa Dinasti Singamangaraja, aparatur yang menggerakkan roda kerajaan berjalan dan lebih permanen. Menurut Ulber Silalahi pembagian fungsional tersebut berupa: Pande Bolon yang mengurus adat, Raja Ulu Taon yang mengurus ekonomi (pertanian dan perdagangan), Raja Ulu Balang yang mengurus pertahanan dan keamanan, Raja Toguan mengurus peradilan, Raja Ulu Dalu atau Raja Namora mengurusi keuangan, dan kelompok Parbaringin menjadi urusan religi.41 Kelompok Parbaringin Selain dari jabatan-jabatan yang menduduki 3 struktur federasi tersebut, terdapat juga kelompok Parbaringin yang tugas utamanya mengurus atau membantu penyelenggaraan kegiatan-kegiatan religi berdasarkan kalender Batak, walaupun terkadang turut bekerja di urusan sekuler. Kelompok ini memiliki sebutan-sebutan, yakni malim yang tugasnya menjadi parhalado (petugas) dalam kegiatan atau ritus partondion (rohani), Paniroi yang memberikan nasehat untuk penyelenggaraan kegiatan sekuler, dan Sijujur ari yang tugasnya memberikan kekebalan di dalam berperang, serta menentukan hari baik atau keberuntungan.42 Dewan Raja dan kelompok Parbaringin menjadi kekuatan dalam membangun dan mempersatukan dinasti Sorimangaraja, termasuk juga nantinya Dinasti Singamangaraja. Walaupun
41 42
Ibid., hl. 272-273. Ibid., hl. 234.
Ompu i |63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak semua bius dilengkapi dengan jabatan-jabatan tersebut namun secara struktur dan budaya membuat Dinasti Sorimangaraja memiliki pengaruh yang signifikan di wilayah Toba. Dalam struktur tersebut kelompok Parbaringin diketuai oleh Pande Bolon.
Pande
Bolon
jugalah
yang
menjadi
pengganti
atau
mewakili
Singamangaraja di Bius Bangkara ketika Singamangaraja tidak ada di tempat. Menurut Sitor Situmorang, kelompok Parbaringin merupakan kelompok yang berasal dari kelompok Guru Tateabulan yang mewarisi pustaha laklak berisi pedoman kerohanian, kebatinan dan hadatuhon (ilmu pengobatan).43 Kelompok ini sangat permanen yang jabatannya bersifat turun temurun. Lebih jauh, Sitor Situmorang melihat bahwa kelompok parbaringin inilah yang menjadi pondasi dan pemersatu dari masyarakat Toba, walaupun terkadang memiliki kendala atau konflik sesama kelompok Parbaringin akibat mempertahankan wilayah bius.
44
Namun di dalam perkembangannya kelompok ini selalu aktif dalam mendukung Raja Singamangaraja XII, dan konsisten dalam melawan kolonialisme, bahkan sesudah tewasnya Raja Singamangaraja XII pada 1907 kelompok ini masih aktif dalam mempersatukan masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang membuat pemerintahan kolonial Belanda berusaha untuk menghapus kelompok tersebut dengan melarang setiap kegiatan pesta bius, walaupun gelombang pengaruh Parbaringin tidak dapat terbendung dengan lahirnya Parmalim, Parhudamdam, serta gerekan Si Raja Batak.
43 44
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 26. Ibid., hl. 97.
Ompu i |64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saya melihat bahwa dengan adanya kelompok Parbaringinlah maka kesatuan dari masa lalu di dalam lembaga kerajaan dapat tercipta. Mereka jugalah yang mempersiapkan kedatangan Singamangaraja. Maka dari itu kelompok inilah yang juga selalu mendorong akan adanya ompu raja sebagai pemersatu di tengahtengah masyarakat Batak Toba. Struktur Birokrasi Harajaon Dinasti Singamangaraja
4. Dinasti Singamangaraja Mitos Raja Bona Ni Onan dan kisah kesaktian Keberlanjutan kejayaan dinasti di dalam masyarakat Batak Toba semakin besar pasca munculnya dinasti Raja Singamangaraja. Walaupun kebesaran dan
Ompu i |65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kejayaan Dinasti Singamangaraja masih menimbulkan pro-kontra, namun beberapa sumber mengatakan bahwa dinasti Raja Singamangaraja masih cukup disegani di wilayah Toba, bahkan hingga di luar wilayah Toba, misalnya di daerah Deli dan Langkat yang di dalam naskahnya, “Riwayat Hamparan Perak”, mengakui kekuasaan Singamangaraja. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kekuasaan Singamangaraja hingga ke wilayah kesultanan Siak. Hal ini terbukti dengan adanya peta lama yang menggambarkan kekuasaan Singamangaraja, walaupun peta tersebut belum tentu menggambarkan realitas aslinya.45 Namun yang pasti kejayaan Raja Singamangaraja telah tersiar ke seluruh wilayah penjuru di Toba dan sekitarnya. Bagi
masyarakat
Batak
Toba,
kehadiran
dan
kejayaan
dinasti
Singamangaraja bukanlah melalui penaklukan atas wilayah-wilayah di Toba, tetapi sebagai bentuk keyakinan atas kelanjutan dari dinasti Sorimangaraja (1395-1425). Peristiwanya adalah pasca dinasti Sorimangaraja maka terjadi pergolakan sosial, politik, ekonomi, agama dan kebudayaan di dalam masyarakat Toba. Hal ini akibat dari ekspansi para kerajaan yang berasal dari luar wilayah Toba, misalnya Aceh, Sriwijaya, Majapahit) dan juga dari negara asing (Portugis). Pasca Sorimangaraja, maka dinasti memiliki kepemimpinan yang dapat mempersatukan. Bahkan pengganti Sorimangaraja, yakni Sibagot Ni Pohan yang merupakan anak sulungnya tidak cukup mumpuni dalam mempersatukan bius-bius yang ada. Kekuasaannya hanya terasa di Baligeraja dalam bius Patane Bale Onan Balige. Alih-alih mempersatukan, justru terjadi perselisihan antarbius, bahkan hingga merambat
45
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 70.
Ompu i |66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kepada marga-marga. Dengan situasi tersebut maka para raja bius sepakat untuk melakukan horja bius (akhir abad ke-15) dengan mengucapkan “tonggo-tonggo Bius Sianjurmulana” sebagai bentuk permohonan (doa) kepada Debata Mula Jadi Na Bolon agar mengaruniakan seorang pemimpin besar (Maharaja) seperti layaknya Sorimangaraja di saat memimpin Toba-tua. 46 Kelompok Parbaringin sangat berperan besar terhadap munculnya pengharapan ini sebagai suatu komunitas kolektif religious. Doa para raja bius pun dikabulkan dengan lahirnya Raja Manghuntal, anak dari Raja Bona Ni Onan Sinambela dengan pasangannya boru Pasaribu di Bangkara-Toba. Peristiwa kelahiran Raja Manghuntal ini dilukiskan dengan umpasa, sbb: Marbunga ma jarugi, sajongkal dua jari. Muba ma ugari sian bongka siapari Tubu ma sada raja tinongos ni Mulajadi Raja Nahasaktian na uja manotari.
Lahirlah Raja yang diberikan oleh Pencipta (Mulajadi) Raja yang sakti yang mengikat
Pun demikian mengenai kesaktian Raja Manghuntal sendiri, sehingga dapat diyakini sebagai kelanjutan dinasti Sorimangaraja, digambarkan di dalam mitos yang diceritakan secara turun temurun, yakni dalam mitos Raja Bona Ni Onan. Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa Raja Bona Ni Onan didatangi oleh roh dan menjelaskan menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh Batara Guru47 dan kelak akan menjadi raja yang bergelar Singamangaraja. Janji itupun terealisasi dengan mengandungnya istri Raja Bona Ni Onan, yaitu boru Pasaribu yang merasa bahwa cahaya telah memasuki tubuhnya. Setelah
46
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 250. Di dalam keyakinan tradisional masyarakat Batak, Batara Guru termasuk yang pertama dan terutama dalam Debata Na Tolu (Dewata Trimurti) yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Lih. Dr. Anicetus B. SInaga, Op. Cit., hl. 319. 47
Ompu i |67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengandung, maka lahirlah Raja Manguntal yang artinya gemuruh karena pada waktu melahirkan diiringi dengan suara gemuruh gempa. Dalam mitos tersebut juga diceritakan bagaimana Raja Manghuntal berkomunikasi dengan Raja Uti (manusia khayangan) untuk melihat kelayakan Manghuntal sebagai seorang raja.48 Setelah dianggap layak maka Raja Manghuntal menjadi Raja Singamangaraja yang dilegitimasi oleh para raja bius. Secara berurutan Dinasti Sisingamangaraja telah memiliki 12 raja yang semuanya, sbb: Singamangaraja I Singamangaraja II Singamangaraja III Singamangaraja IV Singamangaraja V Singamangaraja VI Singamangaraja VII Singamangaraja VIII Singamangaraja IX Singamangaraja X Singamangaraja XI Singamangaraja XII
Raja Manghuntal Raja Tinaruan, gelar Raja Manjolong Raja Itubungna Tuan Sorimangaraja Raja Pallongos Raja Pangulbuk Ompu Tuan Lombut Ompu Sohalompoan gelar Datu Muara Labu Ompu Sotaronggal gelar Raja Manubung Langit Ompu Tuan Na Bolon gelar Aman Julangga Ompu Sohahuaon gelar Raja Pansom Ompu Pulo Batu gelar Raja Patuan Bosar
1540-1550 1550-1595 1595-1627 1627-1667 1667-1730 1730-1751 1751-1771 1771-1788 1788-1819 1819-1841 1841-1871 1871-1907
Selain dari mitos kesaktian Raja Bona Ni Onan maka kesaktian Singamangaraja juga diukur dan diperlihatkan dengan sebuah legitimasi tanda, yakni dengan mencabut pedang piso gajah dompak dari sarungnya. Konon, piso
48 Diambil dari http://www.kompasiana.com/itnaibaho.blogspot.com/sisingamangarajaxii-bagian-i-antara-silsilah-dan-mitos_5518cf3f81331140719de0ed. Diakses pada 18 Maret 2016 pukul 22.25 WIB.
Ompu i |68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang menyerupai keris dan memiliki gagang berbentuk gajah ini mempunyai kekuatan magis dan menjadi tanda kebesaran dari Singamangaraja. Piso ini bisa diangkat
oleh
orang-orang
tertentu
yang
merupakan
keturunan
dari
Singamangaraja. Namun peristiwa kesaktian dari Piso Gajah Dompak ini berakhir hingga di Singamangaraja XI setelah diambil oleh pihak kolonialis.49 Dari mitos-mitos mengenai kesaktian Singamangaraja, sebenarnya masih banyak lagi kisah-kisah yang menggambarkan kesaktian dari Singamangaraja yang belum terungkap dan hanya sebatas tradisi oral bersifat turun temurun. Namun paling
tidak
kisah-kisah
tersebut
ingin
menggambarkan
bahwa
sosok
Singamangaraja memiliki kesaktian dan menjadi keyakinan bersama bagi masyarakat Batak tradisional. Bius Bangkara dan Kedaulatan Dinasti Singamangaraja Di dalam pemerintahannya, Raja Singamangaraja tampil menjadi pemimpin yang memberikan dampak bagi kesatuan para raja-raja bius. Tentunya, hal ini didukung dari posisi kedudukannya. Menurut Dr. Ulber Silalahi, sistem pemerintahan kerajaan tradisional Batak yang bersifat konfederasi-teritorial memberikan keuntungan kepada Singamangaraja dalam Paling tidak sebelum terjadinya perang Paderi atau sebelum Singamangaraja X (1819), bius-bius yang ada di tanah Batak dapat dikatakan memiliki persatuan dan perdamaian. Melalui sistem lembaga, Raja Singamangaraja dapat mengatur dan memberikan pengaruhnya bagi masing-masing bius, walaupun secara teritorial Raja
49
Muhammad Said, Singa Mangaradja XII (Medan: Waspada, 1961), hl. 3-4.
Ompu i |69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Singamangaraja tidak mencampuri dan mengambil kedaulatan atas bius, beserta Horja dan Huta. Artinya, sistem konfederasi sangat menghargai birokrasi wilayahnya (Bius) atau bersifat otonom, namun demikian hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh bius, atau tersangkut paut dengan bius-bius yang ada / lintas bius, maka Singamangaraja memiliki peran yang signifikan. Seperti misalnya dalam hal ini ialah Onan (pasar pekan). Onan menjadi urusan Singamangaraja ketika sudah berkaitan dengan wilayah seluruh Toba dan juga diluar wilayah Toba. Salah satu contoh onan yang menjadi tanggung jawab Singamangaraja adalah adalah onan di Limbong. Menurut Sitor Situmorang, Onan menjadi penting bagi perkembangan masyarakat Batak bukan hanya dikarenakan sebagai lalu lintas ekonomi, tetapi juga memiliki hukum yang terlihat dari adanya norma-norma, yakni: Pertama, pantang melakukan tagihan piutang pada hari pasar. Hutang piutang harus diselesaikan di luar hari pasar. Kedua, Onan juga berfungsi untuk memperoleh perlindungan (suaka). Ketiga, Onan sebagai pusat lalu lintas sosial antarwilayah, sehingga dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi.50 Selain Onan peran Singamangaraja juga terlihat di bidang pertanian, ekonomi, religi, dsb. Sistem konfederasi membatasi keterlibatan Singamangaraja kepada biusbius. Tugas Singamangaraja hanya pada hal-hal yang signifikan. Namun, keterbatasan ini tidak terjadi dengan Bius Bangkara51 yang sebagai kedudukan dari
50
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 157. Bius Bangkara memiliki 6 horja yang masing-masing dipimpin oleh marga Bangkara, Sinambela, Sihite, Manullang, Marbun dan Purba. Keenam marga ini diangkat menjadi perwakilan dan sebagai anggota kabinet di harajaon Bangkara, dan mereka diberikan simbol kerajaan berupa barang pusaka kerajaan. (Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 258.) Bahkan, menurut Cucu dari Singamangaraja XII, Raja Napatar, kuasa dari 6 marga tersebut sangatlah besar, yakni termasuk menyepakati terpilihnya Raja Singamangaraja. (Lih. https://tobadreams.wordpress.com/2008 /12/21/wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-xii/. Diakses pada 4 september 2016. 51
Ompu i |70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
teritori Singamangaraja memiliki kedaulatan dan kemandiriannya yang lebih dari bius-bius lainnya. Menurut Sitor Situmorang, perbedaan tersebut adalah karena adanya kedudukan Singamangaraja yang mempengaruhi dua bidang, yakni: pertama, bidang simbolis sebagai bentuk penghormatan atas kehadiran Singamangaraja yang ditandai dengan penanaman enam batang beringin sebagai tempat keramat paguyuban. Dan kedua dalam bidang pelaksanaan upacara dalam hal religi yang berkaitan dengan kedirian Singamangaraja sebagai dewaraja. Hal ini menjadikan Bius Bangkara menjadi tempat ziarah dan kiblat dalam doa-doa yang dilakukan oleh kelompok Parbaringin.52 Di dalam sistem konfederasi, maka diperlukan “kerelaan” akan bius-bius untuk masuk menjadi bagian konfederasi. Kehadiran Dinasti Singamangaraja memberikan keuntungan bagi para bius. Paling tidak keuntungan tersebut didapatkan dalam bidang ekonomi, sosial, pertanian, dsb. Catatan-catatan mengenai adanya penyelesaian konflik antarbius ataupun antarhuta, penghapusan perbudakan seringkali melekat kepada kebijakan Singamangaraja. Bahkan, bius-bius yang sudah termasuk dalam konfederasi Singamangaraja sangat meyakini akan supremasi Singamangaraja dalam memecahkan masalah sosial dengan meberikan solusi. Biasanya penyelesaian masalah tersebut berada di dalam kegiatan pesta bius, yang merupakan ajang kegiatan religius dan sekaligus sarana perjumpaan masyarakat dalam memupuk persatuan di masyarakat Batak. Saya tidak menampik juga bahwa tidak semua bius rela mengikuti Singamangaraja. Terlebih pasca perang
52
Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 203.
Ompu i |71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Paderi, serta adanya pengaruh kolonialisme, misal pelarangan pesta bius, yang menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan kepada Singamangaraja.53
D.
Raja Singamangaraja dan Sahala Kepemimpinan Kepemimpinan dalam masyarakat Batak, khususnya Toba sangatlah
berbeda dengan kepemimpinan sekuler selayaknya di pemerintahan, perusahaan, dsb. Demikian halnya dengan Singamangaraja yang ketika berbicara tentang kepemimpinannya maka ia tidak hanya tampil sebagai pemimpin sekuler, melainkan juga rohani. Maka dari itu dalam suatu rasionalisasi akan sebuah jabatan kepemimpinan, ia tidak dapat didefinisikan menurut fungsi dan tujuannya. Itu artinya kepemimpinannya tidak serta merta terikat di dalam suatu birokrasi, melainkan memiliki kharisma yang mempengaruhi pengikutnya. Istilah kharisma jika dirujuk kepada Max Weber maka kepemimpinan kharismatik merupakan kuasa yang sangat besar yang menunjuk kepada pribadi seseorang. Pendapat Weber ini tidak mengarahkan kepemimpinan kepada kategori sebuah tujuan yang bermuara kepada baik ataupun buruk. Namun bagaimana sebuah hubungan pemimpin dan pengikut saling mempengaruhi.
Ia juga
berpendapat bahwa kepemimpinan kharismatik tidak melekat kepada struktur birokrasi. Pandangannya ini ia landaskan kepada penggabungan antara sesuatu yang
53
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 429.
Ompu i |72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tradisional dengan yang rasional, sehingga kharisma berhubungan dengan komunitas dan dengan mistis.54 Pandangan Weber ini menggambarkan fenomena atas kharisma yang tentunya pandangannya berangkat perspektif sosiologi dan psikologi sebagai latar belakang pendidikannya. Namun mengenai pandangan tentang kuasa dan personal Weber tidak melihatnya secara menyeluruh dan kebelakang. Seolah-olah adanya fenomena yang melampaui birokrasi dan memiliki pengaruh kepada pengikut disebut sebagai sesuatu yang berkharisma. Pembagian antara yang rasional dan tradisional justru yang menimbulkan kerancuan dalam memandang kekuasaan. 55 Dalam
pandangan
masyarakat
Batak
(baca:
tradisional),
Raja
Singamangaraja dianggap memiliki sahala harajaon. Istilah sahala sering sekali diartikan sebagai kharisma atau wibawa. Memang dalam kamus Batak J. Warneck, istilah sahala berarti memiliki kemuliaan, hikmat, kharisma. Namun menurut Sitor Situmorang, dan saya pun sepakat dengannya, bahwa istilah sahala sangat berbeda dengan arti yang sebenarnya. Pergeseran ini ditandai dengan adanya pengrasionalisasian atas perbendaharaan kata di dalam bahasa dan budaya Batak sehingga pengartian dari suatu istilah hanya berdasarkan kepada fenomena sosialnya, selayaknya Weber mendefinisikannya.
54
George P. Hansen, The Trickster and the Paranormal (Philadelphia: Xlibris, 2001), hl.
103-104. 55
Dalam hal ini saya sepakat dengan Ben Anderson yang melihat kuasa tradisional dan rasional dengan melihat kesamaan-kesamaannya, tanpa berusaha untuk membaginya. Menurut Ben adanya Kuasa justru akan melekatkan dirinya pada kepemimpinannya, bukan menyerahkan dirinya seperti dalam kekuasaan yang rasional, Lih. Benedict R. O’G. Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), hl. 162-163.
Ompu i |73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Memang di dalam fenomenanya, sahala dapat mempengaruhi pengikut, namun makna sahala tidak dapat dilepaskan realitas pemakaian yang mengikutinya, yakni sahala yang disandang oleh Singamangaraja bukanlah hasil upaya manusia, melainkan sebagai karunia dari Mula Jadi Na Bolon. Hal ini juga seperti yang dikatakan Anicetus B. Sinaga seperti yang dikutip Ulber Silalahi: “Mulajadi Na Bolon telah menganugerahkan karunia keadilan dan kerajaan kepada Sisingamangaraja, yakni “Singa (hakikat) hukum, hakikat kerajaan, hakikat sabda. Padanyalah satuan ukuran, hakikat kerajaan, ketentuan satuan segala ukuran, bajak pembelah tali (keadilan sempurna), hakikat satuan ukuran isi dan inti serta satuan timbangan. Yang berlebihan disisihkan, dan yang kurang digenapi”56 Dengan pandangan ini maka sahala adalah sesuatu yang diberikan (give) yang pada saat tertentu tidak terikat kepada individu atau personal. Sitor Situmorang menggambarkan sahala lebih spesifik dari sebelumnya. Menurutnya sahala berarti “daya kesaktian yang diperoleh lewat wahyu untuk menjadi raja. Sahala yang melekat pada Singamangaraja adalah sahala yang sempurna dan berbeda pengertiannya dari sahala biasa. Sahala yang melekat pada Singamangaraja adalah satu-satunya, tak ada duanya ataupun tandingannya, membawahi segala bentuk sahala lain.” Ia pun menyimpulkan: “Dalam paham itu, Singamangaraja adalah penjelmaan sahala, bukan manusia biasa. Roh berwujud manusia, inkarnasi Batara Guru alias Dewa”. 57
56 57
Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 253. Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 62.
Ompu i |74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pandangan Sitor Situmorang ini dalam menggambarkan sahala sesuai dengan realitas keyakinan masyarakat Batak Toba tradsional. Artinya, Singamangaraja menjadi raja dan diterima oleh masyarakat Batak Toba tradisional atas keyakinannya kepada Singamangaraja sebagai inkarnasi Batara Guru. Bahkan, ia menjadi sumber sahala bagi siapapun yang layak ia pilih. Batara Sangti juga menyimpulkan
hal
serupa
bahwa
Singamangaraja
merupakan
suatu
“perhinggapan” dari Debata Mula Jadi Na Bolon, sehingga dengan sahalanya ini, ia menjadi “penjaga ladang yang tak memakai panah atau gembala yang tak memakai cambuk” bagi para pengikutnya.58 Fenomena dari keyakinan ini adalah sebagai bentuk pengujian atas kesaktian dari seseorang untuk menjadi Raja Singamangaraja, baik berupa ritus mencabut piso gajah dompak, mendatangkan hujan, menghilangkan wabah penyakit, dsb.59 Dalam bentuk realitas-sekuler, kemunculan raja dipandang untuk mengatasi masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. Namun fenomena ini bukanlah sesuatu yang pragmatis sebagai suatu kemunculan raja. Munculnya Dinasti Singamangaraja tetap memandang adanya sahala sebagai sesuatu yang mistis sedangkan birokrasi atau struktur adalah pancaran dari sahala
58 Ucapan Batara Sangti ini sesuai dengan tonggo-tonggo (doa) dari kelompok Parbaringin yang menghendaki adanya pemimpin di dalam masyarakat Batak Toba Tradisional: “Ya Debata Mula Jadi Nabolon! Engkau yang menjadikan Tuan Singa Mangaraja, Singa melampauiSinga yang tidak dapat di lampaui di Bangkara. Perhinggapan dari pada Batara Guru. Ya Allah Engkau telah memanggil kesisiMu Tuan Singa Mangaraja tunjukkanlah kiranya kepada kami, siapa yang menjadi tempat perhinggapanMu, agar supaya kami jangan kiranya seperti kerbau liar yang tidak mempunyai gembala.” Lih. Batara Sangti, Sejarah Batak (Balige: Karl Sianipar, 1977), hl. 331. 59 Pada saat pengangkatan Raja Singamangaraja XII terlebih dahulu ditunjuk oleh masyarakat adalah Raja Parlopuk namun dikarenakan Raja Parlopuk tidak dapat memenuhi syaratsyarat kesaktian maka Raja Singamangaraja jatuh ke tangan Raja Patuan Bosar. Lih. https://tobadreams.wordpress.com/2008/12/21/wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangarajaxii/ Di akses pada 4 september 2016.
Ompu i |75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini. Dengan pandangan ini maka sahala mengesahkan kewibawaan raja, sehingga raja-raja bius, horja dan huta melekat kepada Singamangaraja. Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu yang menjadi masalah dalam masyarakat Batak Toba adalah seringnya terjadi konflik wilayah, baik huta ataupun bius, sehingga keyakinan kepada raja adalah untuk mengatasi konflik sebagai suatu harapan sosial yang bersifat kolektif. Dengan kehadirannya, maka mediasi, solusi akan hadir tengah-tengah masyarakat. Namun harapan tersebut akan sirna seturut dengan hilangnya kepercayaan kepada raja dengan memandang tidak adanya sahala di dalam diri seseorang. Dengan pandangan ini, saya tidak sepakat dengan beberapa pandangan Ulber Silalahi. Pertama, pandangannya mengenai pemisahan antara sahala dengan kepemimpinan kharismatik yang menyatakan munculnya kharisma melalui sahala.60 Pandangannya ini muncul untuk membedakan persona atau pribadi sebagai suatu karakterisik dengan manifestasi roh (sahala). Dalam pandangan ini, Silalahi justru terjebak di dalam kerancuan dan ambiguitas dualisme pandangan akibat menafsir dari fenomenologi yang dibangunnya. Bagi saya, sahala adalah kharisma itu sendiri, di mana masyarakat Batak Toba tradisional hanya meyakini kesaktian yang ada di personal sebagai inkarnasi dari Batara Guru, tanpa memandang personal karakter. Artinya, sahala adalah roh (tondi) yang menjadi manusia yang juga akan menentukan karakter personal. Kedua, pandangannya mengenai kekuasaan tradisional dengan rasional, di mana yang tradisional
60
Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 505.
Ompu i |76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mendahului yang rasional.61 Pandangannya ini, selayaknya Max Weber menafsirkannya, juga akan menimbulkan kerancuan. Padahal di dalam pengertiannya Singamangaraja, seperti dalam pandangan masyarakat Batak Toba tradisional, justru menjadi pondasi atau konstruksi (Singa) dari kekuasaan yang rasional, dalam hal ini bersandar kepada patik (larangan) dan uhum (hukum). Keduanya menjadi satu di dalam diri Raja Singamangaraja. Pandangan-pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan Raja Singamangaraja dapat disejajarkan dengan kedudukan Tuhan yang memiliki kuasa untuk mendatangkan kemuliaan, kemakmuran dan kesejahteraan (hasangapon, hamoraon dan hagabeon) atau berimplikasi kepada kehidupan masyarakat. Dari pandangan inilah kedudukan dari gelar Ompu i diberikan kepada Singamangaraja yang menurut Sitor Situmorang dapat diartikan sebagai adanya kolektivitas para leluhur di dalam diri Singamangaraja (baca: Dewa).62
E.
Kesimpulan Kehidupan masyarakat Batak Toba tradisional telah diatur di dalam tatanan
hukum sekuler dan religi. Melalui Pustaha Laklak atau yang disebut Surat Agong dan Pustaha Tumbaga, kehidupan masyarakat Batak Toba memiliki kedaulatannya. Kedua Pustaha ini tidak dapat dipisahkan, melainkan saling melengkapi. Hadirnya Pandangan ini sesuai dengan pernyataannya yang mengatakan: “kekuasaan tradisional dan kekuasaan kharismatik adalah landasan dari organisasi birokrasi pemerintahan tradisional masyarakat Toba, sedangkan kekuasaan legal-rasional adalah landasan dari birokrasi. Adat/patik dohot uhum yang menjadi milik rajamerupakan kekuasaan legal-rasional…” Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 507. 62 Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 63. 61
Ompu i |77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dinasti Singamangaraja sebagai perwujudan dari dua pustaha ini. Ia tidak hanya dipandang sebagai pemimpin di dalam bidang sekuler dalam bentuk birokrasi, melainkan menjadi pemimpin religius sebagai inkarnasi dari Batara Guru. Gelar Ompu i berada di dalam kedudukan ini. Sebagai gelar yang dimiliki Singamangaraja, gelar tersebut menjadi penghormatan tertinggi bagi raja, di mana Tuhan hadir kepadanya. Tugas-tugas yang dilakukan sebagai Raja Singamangaraja meliputi urusan sekuler, yakni sosial, ekonomi, hukum, politik, dll; dan juga urusan religi. Untuk urusan religi ini, dengan sahalanya, Singamangaraja menjadi perantara antara manusia dengan Mula Jadi Na Bolon, sehingga ia memanjatkan doa kepada Mula Jadi Na Bolon dan masyarakat berdoa kepadanya. Tanpa disadari dengan kedua bidang ini kekuasaan Singamangaraja selayaknya menjadi suatu dinasti kerajaan yang justru tidak diamati oleh peneliti-peneliti dari luar, misalnya Anthony Reid yang hanya memandang kesatuan masyarakat Batak dari keterikatan klan atau marga.63 Kedua urusan diatas, sekuler dan religi, tidak dapat dipisahkan atau dibagi, namun menjadi kesatuan antara kehidupan beragama dan sosial. Hal ini juga yang dikatakan oleh misionaris, Johannes Warneck setelah melihat kehidupan sosial beragama masyarakat Batak tradisional.64 Singamangaraja menjadi raja yang dihormati di segala aspek. Dari tingkat huta hingga bius, Singamangaraja tetap di yakini menjadi pemersatu bagi masyarakat Batak Toba tradisional. Walaupun pada
63 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hl. 23. 64 Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom (London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867), hl. 30.
Ompu i |78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kenyataannya ada beberapa bius yang tidak mau meyakininya, namun pengaruh Singamangaraja sangatlah besar bagi perkembangan masyarakat Batak. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kelompok Parbaringin yang bergerak dibidang keagamaan dan selalu aktif dalam mempersatukan masyarakat Batak Toba, serta mendukung eksistensi Raja Singamangaraja.
Ompu i |79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN
Setelah menjabarkan mengenai struktur sosial masyarakat Batak tradisional yang mengakui kepemimpinan Raja Singamangaraja, maka dalam bab ini akan dipaparkan dan dijelaskan mengenai konstruk yang dilakukan RMG dengan mempertimbangkan aturan-aturan dan praktik-praktik dalam reproduksi kekuasaan, sehingga gelar Ompu i dapat dikenakan kepada Nommensen. Dalam bab ini akan saya bagi menjadi tiga bagian, yakni latar belakang RMG selaku badan zending asal Eropa yang memiliki pemahaman yang sama dengan pemerintahan kolonialisme yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa pada umumnya. Hal ini terlihat dengan adanya pendekatan dan strategi yang dilakukan RMG di Tanah Batak yang saya tulis di bagian selanjutnya. Untuk bagian terakhir saya akan memaparkan dan menjelaskan mengenai konstruk RMG sendiri sebagai suatu misi pengadaban untuk menciptakan komunitas baru menggantikan komunitas tradisional, yakni kerajaan Kekristenan, yang kemudian menampilkan Nommensen sebagai pemimpin atau Ompu i.
Ompu i |80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A.
Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme
1. Wacana Kolonial dan Peran Institusi Agama Pada abad ke-18, kolonialisme dan zending tidak dapat dipisahkan. Namun wacana ini justru muncul jauh sebelum abad tersebut, yakni tepatnya pada akhir abad ke-15. Hal ini ditunjukkan dengan tampilnya kekuatan negara-negara Barat (baca: Eropa) dalam mengekspansi Asia dan Afrika dengan melibatkan zending. Dalam ekspansi tersebut terdapat agresi misi (mission) yang melibatkan institusiinstitusi agama dalam bekerjasama dengan pihak kolonial setelah melihat adanya peradaban-peradaban yang bagi mereka tradisional atau kuno, disamping adanya agresi politik sebagai bentuk penghilangan kekuasaan atas raja-raja, agresi ekonomi di dalam menjaga keseimbangan organisasi dengan menghilangkan cara-cara tradisional, agresi sosial dengan mengganggu tatanan kearifan lokal yang berhubungan dengan nilai-nilai kekeluargaan maupun bermasyarakat, agresi intelektual yang dilakukan untuk menciptakan kekuatan dari negara dengan mengandalkan pendidikan.1 Menurut Stephen Neill, adanya pengaruh misi atau zending di dalam kolonialisme ini tidak dapat dilepaskan dari kemajuan peradaban Barat yang diyakini berasal dari faktor agama, dalam hal ini Kekristenan, sehingga pengaruh gereja terhadap peradaban negara-negara Barat sangatlah besar dan menyeluruh. Hal ini didasarkan atas hampir seluruh peristiwa sejarah pada abad pertengahan
1
Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (London: Mcgraw-Hill Book Company, 1966), hl. 12.
Ompu i |81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang adalah juga merupakan sejarah Kekristenan; rasionalisasi yang didengungkan oleh negara-negara Barat.2 Ania Loomba juga menegaskan hal yang serupa bahwa Kolonialisme yang dilakukan negara-negara Barat, dalam hal ini Eropa, tidak bisa dilepaskan dari sejarah-sejarah Eropa sebelumnya, yakni Perang Salib, invasi bangsa Moor ke Spanyol, dsb.3 Dengan pengaruh-pengaruh tersebut maka keterlibatan Kekristenan di dalam penjajahan yang dilakukan negara-negara Barat merupakan keniscayaan untuk tujuan pengadaban, yakni memodernkan peradaban tradisional. Terlepas dari adanya keterlibatan institusi-institusi agama, kolonialisme yang dilakukan negara-negara Barat tak lepas dari keinginannya untuk menguasai dunia, termasuk menguasai jalur-jalur perdagangan yang sebelumnya telah dikuasai oleh Muslim dari Timur Tengah. negara-negara Muslim dianggap sebagai musuh bagi bangsa-bangsa Eropa, bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga faktor sejarah yang turut mempengaruhi. Dengan dasar inilah kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat pada abad ke-18 dan 19 sangat berbeda dengan kolonialisme sebelumnya, yang menurut Loomba, kolonialisme bersatu dengan kapitalisme yang menguntungkan Eropa dengan pertumbuhan ekonomi dan industri di Eropa.4
2
Ibid., hl. 39. Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016), hl. 4. Kolonialisme pada abad ke-19 juga menjadi gelombang terbesar ekspansi Eropa ke seluruh penjuru dunia. Tercatat menjelang tahun 1930an kolonialisme telah menguasai lebih dari 84,6 % permukaan bumi seperti dicatat oleh Ania Loomba. (Ibid., hl. 23). 4 Ibid., hl. 6. 3
Ompu i |82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan melihat kolonialisme pada abad ke-18 dan 19 maka kolonialisme dipandang tidak lagi dalam aspek tertentu saja, misal dengan alasan ekonomi, melainkan ke segala aspek yang didalamnya terdapat stigmatisasi atas sesuatu yang biner akibat kekerasan yang terjadi, diantaranya: penjajah dan terjajah, Barat dan Timur, beradab dan primitif, dsb. Stigmatisasi tersebut tidak berhenti sampai disitu melainkan menjadi titik berangkat dari usaha terus menerus yang dilakukan negaranegara Barat dalam menciptakan, seperti yang Leela Gandhi katakan: “the colonised world had to be emptied of meaning.”5 Hal ini menjadi dasar terbentuknya generalisasi Eropasentrisme di dunia. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam nilai-nilai kebudayaan di negara-negara terjajah dinegasikan dengan mengafirmasi nilai-nilai Eropasentris yang dianggap lebih rasional dan universal. John McLeod melihat usaha ini lebih spesifik lagi dengan pemakaian literaturliteratur bahasa Inggris dalam menciptakan nilai-nilai yang sama dalam perilaku dan karakter, termasuk dalam hal ini nilai-nilai Kekristenan.6 Gambaran dari kolonialisme ini tidak dipandang sama (equal) dalam sebuah kasta melainkan dalam hubungan yang Hegel nyatakan sebagai Tuan dan Budak (Master/Slave) bahwa manusia mendapatkan identitasnya dari pengenalan orang lain. Di sinilah identitas inferior muncul di mana Frantz Fanon melihat hal ini sebagai sesuatu yang diciptakan oleh kematian dan penguburan budaya lokal yang orisinil.7
5
Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A critical introduction (Sydney: Allen & Unwin, 1998), hl. 15. 6 John McLeod, Beginning Postcolonialism (Manchester: Manchester University Press, 2000), hl. 142. 7 Frantz Fanon, Black Skin, White Mask (London: Pluto Press, 1967), hl. 18. Fanon sepakat mengenai identitas muncul di dalam Hegel, namun di sisi lain ia menolak pendapat Hegel tentang “pengakuan” (recognition) dari budak. Menurutnya, terjajah hanya dapat melakukan imitasi: “He becomes whiter as he renounces his blackness, his jungle.”
Ompu i |83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Keterlibatan
institusi-instusi
agama
atau
badan
zending
kepada
kolonialisme mulai abad ke-15 menjadi sesuatu yang inheren. Di Indonesia masuknya pemerintahan kolonial Belanda juga disertai dengan terlibatnya lembaga-lembaga zending Belanda, misalnya Nederlandsch Zendeling Genootchap (NZG), Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV), dll. Selain itu, Belanda juga menjalin kerjasama dengan lembaga zending diluar Belanda, misalnya Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang menginjili di wilayah Kalimantan, Batak, dan Papua.Walaupun nilai-nilai Kekristenan yang disebarkan memiliki norma-norma yang dapat tidak terfragmentasi sebagai sesuatu yang kontroversi, namun keterlibatan di dalam kolonialisme justru menimbulkan pemahaman yang berbeda.8 Keterlibatan tersebut menjadi suatu kesepemahaman yang menandakan superioritas bangsa Eropa dengan paham kolonialnya dalam mengkonstruk wacana kekuasaan; dan hal ini termasuk RMG selaku badan zending asal Jerman dalam melakukan misinya di Tanah Batak. 2. Latar Belakang dan Pemikiran Tokoh-Tokoh RMG (Rheinische Missionsgesellschaft): Kolonialisme dan Rasisme Keberadaan RMG tidak dapat dilepaskan dari pihak kolonial Belanda selaku penguasa teritorial jajahan di Nusantara yang memiliki otoritas sebagai sesuatu yang mengikat. Selain itu juga, adanya faktor kesamaan dalam satu rumpun - Eropa - membuat badan zending ini memiliki konteks latar belakang yang sama. Misalnya, kebangkitan rasionalisasi menjadi dasar dalam pemahaman mereka. Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan untuk memahami lebih jauh
8
Bdk. Stephen Neill, Op. Cit., hl. 12-15.
Ompu i |84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengenai latar belakang RMG sebagai bentuk integritas atas institusi zending. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh-pengaruh yang membentuk dan mendasari RMG itu sendiri sebagai badan zending, khususnya ketika konteks di dalam semangat zaman itu dipahami dalam melakukan misinya, baik berupa kebijakan maupun tekhnik atau strategi misi. Untuk itu, saya akan mencoba memaparkan mengenai latar belakang RMG ini. RMG yang lahir di Barmen, Jerman pada 28 September 1828 merupakan gabungan dari beberapa badan zending, di mana aliran pietisme menjadi dasar dari badan zending ini; yang merujuk kepada gerakan kebangunan rohani dan gerakan pekabaran Injil di Inggris. Namun demikian selaku badan zending, RMG juga dipengaruhi oleh berbagai ajaran atau paham, terutama dalam pemikiran yang berkembang pada saat itu dan menjadi semangat zaman, baik dalam bidang teologi maupun filsafat. Ini artinya, di balik tujuannya di dalam pekabaran Injil dan membawa kedamaian, badan zending RMG ini justru menyimpan beberapa paham, yakni paham yang berkembang pada saat itu, kolonialisme dan rasisme. Paham ini merupakan pengaruh zaman yang dibungkus dengan semangat pietisme dalam sebuah proyeksi pekabaran Injil. Ada beberapa hal yang perlu disorot dalam melihat pengaruh zaman atas badan zending itu sendiri, yakni: Pertama, Filsafat Idealisme. Aliran ini mengedepankan semangat nasionalisme dan idealisme Jerman. Tokohtokoh seperti Fichte, G.W.F. Hegel dan Schelling mendasari aliran ini. Filsafat Idealisme melihat realitas memiliki korelasi dengan pikiran dan mengatasinya. Ketika rasionalisme dan empirisme berusaha mengkritik metafisika tradisional, maka filsafat ini justru tidak menempatkan rasio dalam subjek, melainkan dalam
Ompu i |85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengatasi realitas itu sendiri, atau yang sering Hegel katakan sebagai “subjek absolut.” Ia menggunakan rasionalisme dan naturalisme dengan menempatkan rasio sebagai sebagai kesahihan yang mutlak. Melalui Dialetika Hegel, teseantitese-sintese, “subjek absolut” hadir dalam mengatasi sesuatu yang tidak dapat dipertanyakan, sehingga idealisme sendiri menjadi demitologis atas teologi Kekristenan atau dengan kata lain selalu merasionalisasikannya menjadi spekulasi filosofis.9 Namun ditengah pemikirannya ini, ia justru meyakini superioritas kebudayaan Eropa, khususnya Jerman, atas kebudayaan lainnya. Melalui dialektikanya, ia menjelaskan bahwa kebudayaan Eropa, khususnya ras Jerman, merupakan sintesa atas kebudayaan Asia sebagai tese dan kebudayaan Laut Tengah sebagai anti-tesenya.10 Keyakinannya atas superioritas Jerman tidak berhenti hingga di sini, ia juga meyakini bahwa Kekristenan melalui Roh Kudus merupakan Roh Absolut, di mana ia merendahkan agama lainnya, Yahudi maupun Islam. Dampak pemikiran Hegel ini justru menyulut keyakinan dan membangkitkan rasa superioritas masyarakat Jerman terhadap rasnya sendiri, termasuk para misionaris RMG sendiri.11 Bahkan pemikirannya mengenai Tuan dan Budak (Master/Slave) justru mendapatkan apresiasi dan apologi atas kolonialisme yang dilakukan Jerman untuk menaikkan atau mengangkat harkat masyarakat jajahan. Mekanismenya bahwa tuan mengenal dan mengukuhkan dirinya dengan cara memaksakan
9
The Cambridge Dictionary of Philosophy edisi kedua, hl. 412. Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hl. 94. 11 Orang yang membawa dan mengajarkan pemahaman Hegel kepada para misionaris RMG ini, yakni Gustav Klemm (1802-1872) seorang ahli etnologi. Lih. Ibid., hl. 94. 10
Ompu i |86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesadarannya sendiri sebagai kesadaran yang lain, dan budakpun sebaliknya yang mengenali dirinya dalam kesadaran tuannya, sehingga budak menjadi tuan ketika mengerjakan kehendak tuannya melalui hasil-hasil kerjanya atau dengan kata lain menjadi tuan atas alam. Pemikiran Hegel ini dipegang sepenuhnya oleh beberapa tokoh RMG; dan orang yang menyebarkan dan mengajarkan pemikiran Hegel ini ke RMG adalah Gustav Klemm (1802-1872), seorang antropolog.12 Hal ini terlihat dari beberapa pemikiran para tokoh RMG yang memahami penjajahan merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam.13 Kedua, hampir sama dengan yang pertama namun lebih spesifik kepada etnis dan komunitas itu sendiri, yakni ethno-nasionalisme. Istilah nasionalisme pertama kali digunakan oleh Gottfried von Herder (1744-1803), yang datang dari tradisi Romantisme Jerman. Istilah ini sebenarnya ia gunakan bukan dalam arti chauvinisme melainkan lebih dari pada itu, yakni memberikan arti tentang kehidupan dan pengembangan pendidikan di dalam kemanusiaan yang dapat dilakukan melalui budaya yang sama serta bahasa yang khusus. Bahkan gagasan Herder ini dikembangkan Fichte kemudian bahwa adanya perbedaan bahasa dalam suatu Negara akan menimbulkan hambatan dalam perkembangan suatu Negara. 14 Pandangan ini ingin menekankan etnis atau masyarakat homogen kepada suatu ide komunitas nasional yang harus di jaga dan dilindungi. Namun perkembangan selanjutnya pandangan ini justru semakin ditingkatkan oleh Hitler dalam bentuk
12
F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Erlangga, 2011), hl. 159. 13 Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba (Jakarta: Obor, 2010), hl. 61. 14 Richard Allen, Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion, dalam Jurnal Polis Vol.3, 2010 University of Leeds, hl. 7.
Ompu i |87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
chauvinisme di mana Jerman sendiri telah mengalaminya dengan munculnya doktrin radikal mengenai konsep ethno-nasionalisme Jerman yang berdasar pada mitos
bangsa
Arya
dalam
melihat
masyarakat
Jerman
yang
murni
(volksgemeinschaft). Kedua pemahaman diatas mendasari akan suatu semangat zaman di mana rasa atas superioritas Barat (baca: Eropa) atau bahkan diperparah dengan keyakinan masyarakat pribumi Jerman atas keunggulan rasnya, serta legalitas atas kolonialisme mempengaruhi sifat RMG dalam pekabaran Injilnya di Tanah Batak. Hal inilah kemudian yang memunculkan rasisme di dalam sebuah perjumpaan atau kolonialisme. Aliran pietisme atau paham teologi hanyalah membungkus kedua pemahaman tersebut yang seperti Ania Loomba katakan menjadi suatu prisma yang membiaskan namun justru memunculkan masalah-masalah konseptual baru yang pada prakteknya mengkonstruksi Kekristenan terpisah dari agama-agama lainnya yang berakibat timbulnya kekerasan, baik di tingkat wacana maupun praksis.15 Memang pemahaman atas kolonialisme dan rasa atas superioritas Barat ini tidak semua diterima dan dipahami secara ekstrim dan radikal di kalangan tokohtokoh RMG. Namun wacana ini tetaplah diadopsi meskipun tidak dipahami secara radikal. Terkadang wacana ini juga menjadi perdebatan diantara kalangan-kalangan RMG sendiri, terlebih ketika dikaitkan dalam hubungan pemerintah kolonial
15
Lih. Ania Loomba, Op. Cit., hl. 157. Pandangan Loomba ini didasarkan atas asosiasi berdasarkan penafsiran Kitab Injil, di mana orang-orang kulit hitam ditempatkan pada makhlukmakhluk yang menuai kemarahan Tuhan, yang merupakan keturunan dari putra Nuh, yakni Ham yang memiliki sifat yang jahat. Namun di sisi lain Injil juga mengatakan bahwa semua manusia adalah saudara yang diturunkan dari keturunan yang sama. Penafsiran-penafsiran ini jugalah yang digunakan oleh para tokoh-tokoh RMG, khususnya Rohden dan Fabri, dalam melihat dan memandang orang-orang kafir. (Bdk. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 57-65).
Ompu i |88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan badan zending itu sendiri.Tokoh-tokoh seperti Ludwig von Rohden (18151889) dan Friedrich Fabri (1824-1891) adalah tokoh yang termasuk memahami gagasan ini secara radikal. Bahkan Friedrich Fabri sendiri yang pernah menjadi inspektur RMG (1857) serta yang memiliki andil dalam terciptanya pekabaran Injil di Tanah Batak, terkenal sebagai bapak Kolonial Jerman setelah ia menerbitkan buku berjudul: Bedarf Deutschland der Kolonien? (Does Germany Need Colonies?) pada 1879. Gagasannya menganjurkan Jerman untuk memiliki wilayah kolonial dalam menciptakan stabilitas perekonomian Jerman. Dengan pemahamannya ini maka pekabaran Injil dipandang dan dilaksanakan untuk mendukung superioritas Barat, sehingga ia menganjurkan agar pemerintahan Kristen haruslah mendukung zending. Keduanya harus berjalan bersama-sama, di mana zending melakukan tugasnya lebih kepada penginjilan dan pengadaban. Hubungan ini ia namakan sebagai teori engagement.16 Pasca Fabri, kebijakan hubungan kolonialisme dengan badan zending mulai melunak.17 Beberapa tokoh-tokoh RMG mulai bersuara dan mengubah kebijakankebijakan yang diterapkan Fabri sebelumnya. Gustav Warneck misalnya yang menjadi inspektur RMG dan guru di Seminari Barmen (1834-1910). Walaupun
16 Dengan pandangannya ini ia pun sangat mengecam pemerintahan kolonial Belanda atas apa yang terjadi di Kalimantan dengan terbunuhnya para misionaris RMG pada 1859. Menurutnya pihak kolonial Belanda kurang memberikan dukungan dan keleluasan dalam bekerja kepada zending. Ibid., hl. 108. 17 Perubahan kebijakan RMG ini seperti dikutip oleh Uli Kozok: “Tugas kalian menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa [tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya diri, ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol, Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapatdapatnya melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh bangsa putih. [...]. Jauhkan diri dari segala masalah politik.” Lih. Uli Kozok, Op. Cit., hl. 71.
Ompu i |89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Warneck hanya sebentar terlibat di dalam RMG namun pengaruhnya sangatlah terasa di tubuh RMG sendiri, terlebih wawasannya mengenai misiologi (ilmu pekabaran Injil) menjadi acuan bagi para tokoh-tokoh RMG sesudahnya. 18 Di dalam pemahamannya yang berbeda dengan Fabri, ia tidak terlalu memandang kolonialisme dan superioritas Barat secara radikal, melainkan melihatnya dari sudut pandang teologis - dalam arti positif - sebagai suatu sarana dalam pekabaran Injil untuk membawa keselamatan bangsa-bangsa.19 Ia meyakini bahwa Kekristenan akan membawa kehidupan baru sedangkan agama-agama lain tidak. Namun demikian agama-agama lain dipandang masih memiliki “logos spermatikos” (intisari pengetahuan), sehingga Injil haruslah diwartakan kepada mereka agar beroleh kehidupan yang kekal. Konsep pemikiran Warneck tentang pekabaran Injil tidak dilakukan secara destruktif, melainkan dilakukan di dalam struktur organisnya, yakni berupa adat dan struktur masyarakatnya (Volkstum), dikarenakan adat dan struktur masyarakat tersebut juga memiliki “logos spermatikos”.20 Konsep misiologi Warneck adalah Volkschristianisierung, pengkristenan kepada seluruh orang atau bangsa-bangsa dan tujuan akhirnya Missionsziel adalah perwujudan gereja rakyat yang mandiri.21 Dengan pemahaman ini, ia menolak 18
Pengaruh misiologi Warneck sangat terasa di kalangan Protestan, sehingga ia dijuluki Bapak dari misiologi Protestan. Lih. Hans Kasdorf, The Legacy of Gustav Warneck dalam Occasional Buletin, Juli, 1980, hl. 106. 19
Hubungan dengan kolonialisme ini ia nyatakan dengan : "In diese Situation muB die
Mission sich finden, in dieses Drängen christlich-westlicher Elemente, durch die Heil und Gericht iiber die Volker gebracht werden." Lih. Herald E. Winkler, The Divided Roots of Lutheranism in South Africa (Disertasi Department of Religious Studies University of Cape Town, 1989), hl. 18. 20 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 114-116. 21 Ibid., hl. 116.
Ompu i |90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penghilangan budaya lokal dalam metode pengkabaran Injilnya. Pandangannya ini sesuai dengan Gottfried von Herder dalam bentuk pengajaran dan pendidikan. Bahkan secara terang-terangan ia pun juga menolak pendidikan a la Barat untuk menghilangkan budaya lokal yang menurutnya sudah terlalu intelektualitas dan materialistis seperti banyak yang dilakukan oleh para pendidik-pendidik Barat. Hal ini menurutnya akan menghasilkan karikatur budaya (Kulturkarikaturen).22 Walaupun Warneck sendiri menghargai akan keberadaan adat dan budaya lokal sendiri namun banyak juga yang meragukan gagasan Warneck ini dengan melihat masih adanya pemahaman tentang superioritas Barat dan pertentangannya yang melekat dibenaknya, terutama ketika berkaitan dengan kemandirian Gereja. Hal ini dikemukakan Dürr seperti yang dicatat oleh Jan S. Aritonang: “Dalam hal jaminan tentang kemandirian gereja Warneck begitu skeptis dan hati-hati dibandingkan yang lain, karena ia…bersiteguh bahwa para pengerja bumi “belum matang” untuk mengemban tanggung jawab kemandirian yang besar itu. Dasar pandangannnya terutama terletak pada anggapan “inferioritas ras”. Pada orang-orang Kristen pribumi, yang sebagian besar bermukim di daerah tropis, tidak terdapat kualitas watak yang hakiki, hal yang mutlak harus ada bagi suatu pertumbuhan dan kepemimpinan Gereja yang sehat.” 23
Pemahaman misiologi Warneck ini sangatlah berpengaruh kepada para tokoh RMG dalam melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak. Paling tidak pandangannya memberikan deskripsi akan strategi dan metode yang dilakukan oleh RMG. Tokoh lain yang juga memiliki kebijakan di dalam RMG adalah August Schreiber (1839-1903). Pengaruh Schreiber tak lepas atas jabatan yang
22
Ibid., hl 120. J. Dürr, Sendende Und Werdende Kirche In Der Missionstheologie Gustav Warneck (Basel: BaslerMissionbuchhandlung, 1947) dikutip dalam Jan S. Aritonang, Op.Cit., hl. 122. 23
Ompu i |91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diembannya sebagai inspektur RMG, sekaligus menjadi salah satu jajaran para misionaris yang turun langsung ke wilayah zending. Hampir sama dengan pemikiran Warneck, ia pun juga menekankan pekabaran Injil ke seluruh bangsabangsa. Baginya masyarakat kafir masihlah kanak-kanak yang perlu dididik, sehingga tugas zending adalah mendidik mereka. Namun demikian ia sangatlah menghargai adat dan budaya pribumi. Ia menolak dan mengecam pandangan orangorang Barat yang memiliki pemikiran negatif kepada pribumi, sehingga merusak tatanan budaya.24 Dalam hubungan dengan pemerintahan kolonial, Schreiber sangat jelas menolak campur tangan pemerintah kolonial dengan badan zending. Ia selalu berusaha untuk menjaga jarak dengan pemerintah kolonial. Walaupun ia melihat kolonialisme sebagai sesuatu hal yang positif, namun baginya pemerintah kolonial dan badan zending memiliki tugas berbeda.25 Dari adanya pemahaman-pemahaman yang mendasari para tokoh RMG ini, paling tidak isu-isu yang dikembangkan dalam wacana kolonialisme mengenai superioritas Barat masih dapat dikatakan hadir dalam tubuh RMG, termasuk kepada para misionaris. Hal ini juga terlihat dari dampak yang ditimbulkan di dalam pekabaran Injil di Tanah Batak sekitar tahun 1918 berupa penolakan dan pemberontakan, seperti yang disampaikan Daniel Meulen yang dikutip oleh Uli Kozok berikut ini:26 “Ketika Dr. Warneck datang ke Sumatra untuk mengambil alih kepemimpinan Batakmission sesudah perang dunia, dia pun meminta nasehat Haibach. Bersamasama kami membeicarakan masalah utama di kalangan Batak Kristen, yaitu sikap 24
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 127. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl 72. 26 Ibid., hl. 83. 25
Ompu i |92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kritis, bahkan negatif, dikalangan generasi muda terhadap penginjil Jerman […] yang masih tetap berpegang pada sikap nasionalis yang menekankan keunggulan orang putih. […] Saya mengatakan (kepada Warneck) bahwa para penginjil itu salah sendiri. Seharusnya mereka sudah lama meninggalkan sikap kolonialis Barat. […] Seharusnya mereka menjadi perintis dan tidak selalu menuruti pemerintah.”
3. Masalah Orientalisme Setelah memberikan latar belakang munculnya kolonialisme, dalam hal ini termasuk badan zending, yang memiliki rasa superioritas Barat maka tak dapat dipungkiri bahwa di dalam wilayah kolonial memunculkan suatu dominasi ideologi dari kaca mata orang-orang Barat akan apa yang dinamakan Orientalisme.27 Istilahistilah yang berkembang di wilayah kolonial atau kepada yang dijajah, misalnya kafir, primitif, dll, merupakan deskripsi yang berasal dari wacana Barat. Menurut Edward Said, orientalisme sebenarnya merupakan suatu gaya berpikir akan adanya perbedaan ontologis dan epistemologis antara Timur (Orient) dan Barat (Occident), walaupun faktanya adalah bahwa wacana Timur tersebut berasal dari Barat akibat dominasi wacana terhadap Timur.28 Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak juga tidak lepas dari dominasi wacana Barat. Istilah-istilah “primitif”, dsb. juga muncul dari para misionaris kepada masyarakat Batak. Namun dominasi wacana Barat ini sebenarnya sudah muncul jauh sebelum masuknya RMG ke Tanah Batak. Misalnya seorang geograf Yunani, Ptolemaeus pada abad ke-2 M atau Marco Polo pada 1291 yang mendengar berita dari selentingan kabar dari Barus tentang masyarakat suku pedalaman yang tinggal dipegunungan. Keduanya menyinggung masyarakat
27 William D. Hart, Edward Said and The Religious Effects of Culture (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hl. 63. 28 Edward Said, Orientalism (London: Penguin Books, 2003), hl. 2-4.
Ompu i |93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kanibal yang mengarah kepada masyarakat Batak.29 Selain itu ada juga William Marsden (1754-1836) yang mendeskripsikan masyarakat Batak dengan masyarakat kanibal sebagai bentuk hukuman sosial.30 Dari
kalangan
misionarispun
sebenarnya
juga
telah
ada
yang
mendeskripsikan tentang masyarakat Batak dari sudut pandang Barat sebelum masuknya misionaris RMG ke Tanah Batak, yakni melalui Burton dan Ward yang berasal dari zending Baptis. Mereka melihat bahwa masyarakat Batak memiliki kekuatan dalam tatanan sosial di setiap wilayah atau perkampungan yang dapat dibandingkan dengan kota-kota di Eropa meskipun dilandaskan dengan tatanan yang sangat tradisional atau kuno. Demikian juga dengan sifat kanibalisme yang ada dalam masyarakat Batak sebagai suatu hukuman tak lepas dari deskripsi mereka. Untuk karakter masyarakat Batak, mereka memandang bahwa orang-orang Batak sebagai orang yang bebal, penakut dan kejam, walaupun terkadang hal ini tertutup dalam sistem tatanan sosial.31 Berabad-abad keterpencilan masyarakat Batak di wilayah pegunungan justru membuat wacana-wacana Barat dalam mendeskripsikan masyarakat Batak itu sendiri semakin mendominasi. Hal ini juga semakin menambah keterisolasian bangsa Batak yang muncul dari sikap bangsa sekitar dalam memandang bangsa Batak. Wacana-wacana yang berkembang tersebut bukanlah didasarkan atas kajian ilmiah. Hal ini terus berlangsung hingga muncul Neubronner van der Tuuk, seorang
29
Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010), hl. 55-56 30 William Marsden, Sejarah Sumatra (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hl. 471. 31 Lih. Burton dan Ward, Report of Journey into Batak Country, in the interior of Sumatra, in The Year 1824: Communicated by The Late Sir Stamford Raffles dalam Early Journal Content On JSTOR.
Ompu i |94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ahli bahasa-bahasa Nusantara asal Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia dari ibunya yang merupakan orang Indonesia asli, yang pertama kali mengkaji budaya dan bahasa Batak dari sudut pandang keilmiahan (1851-1857).32 Ia diutus oleh pihak kolonial setelah muncul buku berjudul Beschreibung der Battaländer (1847) karya Franz Junghuhn (1842) seorang ahli budaya asal Jerman yang berisi tentang identitas bangsa Batak, baik mengenai budaya maupun agamanya.33 Neubronner van der Tuuk sangat mengusulkan dan mendesak kepada pemerintahan kolonial untuk segera melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak mengingat semakin berkembangnya agama Islam di daerah Tapanuli Selatan dan wilayah pesisir.34 Keseriusannya terhadap pekabaran Injil inipun terlihat dari bukubuku yang diterbitkannya yang bukan hanya mengenai bahasa dan budaya Batak, tetapi juga dalam bentuk penerjemahan Alkitab ke dalam aksara dan bahasa BatakToba. Hasil dari karya van der Tuuk inilah yang kemudian menjadi “pintu masuk” bagi para missionaris RMG dalam mempelajari budaya dan bahasa Batak. Batak yang dideskripsikan dan diidentifikasi oleh wacana Barat justru memperkuat minat RMG dalam melaksanakan misinya. Hal ini juga tak lepas dari pengamatan Friedrich Fabri, Inspektur RMG kala itu. Fabri melihat keunikan dari bangsa Batak dari bangsa-bangsa lainnya dengan melihat ciri-ciri fisiknya.35 Bahkan ia pun juga melihat dan menghubungkan pandangannya tersebut dengan sejarah di Kitab Suci. Menurutnya, keturunan Ham, anak Nuh, memiliki keturunan
32
Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hl. 173. 33 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hl. 51. 34 Van den End, Op. Cit., hl. 174. 35 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 65.
Ompu i |95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang rusak akibat hukuman Tuhan, bangsa Batak justru memiliki kerusakan yang tidak terlalu parah. Ia memandang bahwa suku Batak berada di tengah antara bangsa Eropa dengan Melayu, sehingga walaupun masyarakat Batak memeluk agama Kristen namun tetaplah berada dibawah bangsa Eropa.36 Lebih jauh lagi, ia mendeskripsikan ada kemiripan antara bangsa Batak dengan bangsa Jerman selain dari struktur wajah, yakni kesamaan dalam kondisi geografis, di mana kedua bangsa ini dikepung dan dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang ingin memusnahkannya. Jerman yang dikelilingi Prancis dan bangsa Slownik, sedangkan Batak dikelilingi oleh bangsa Melayu.37 Selain wacana yang meninggikan bangsa Eropa, para misionaris juga menilai karakter dari orang-orang Batak yang menurutnya memiliki sifat negatif, yakni keangkuhan, kemalasan, moral yang rendah, asusila, serta kebiasaan wanita yang sudah menikah untuk tidak menutup buah dadanya. Wacana ini justru mengafirmasi dan melegitimasi kolonialisme dengan dalih pengadaban, seperti yang Gustav Warneck katakan: “dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus dipaksa untuk bekerja. Kalau mereka dibiarkan sendiri, mereka akan tetap malas”. 38 Wacana-wacana yang dikembangkan oleh Barat dalam melihat dan mengidentifikasikan bangsa Batak justru merendahkan bangsa pribumi, dalam hal ini bangsa Batak, serta meninggikan superioritas Barat. Hal ini juga dilihat oleh Uli
36
Pandangan Fabri ini justru mengangkat masyarakat Batak dari orang-orang Melayu yang menurut catatan Lance Castles istilah Batak sendiri sebagai suatu unit pemerintahan baru di mana orang Batak ditugasi untuk mengelola daerah baru, yang dipandang rendah oleh orang Melayu. Bdk. Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940 (Jakarta: KPG, 2001), hl. 2. 37 Ibid., hl. 66. 38 Ibid., hl 74-75.
Ompu i |96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kozok yang menilai bahwa Misionaris dalam melaksanakan misinya juga membawa dan menegakkan supremasi bangsa Eropa (Barat).39 Dengan demikian, munculnya wacana-wacana ini dapat dikatakan bahwa orientalisme yang dipandang sebagai teritorial dari “ketimuran” justru menjadi ajang penguasaan atas dunia timur melalui dominasi wacana Barat dengan anggapan bahwa masyarakat Timur yang “primitif” tidak sanggup dalam menguasai budaya mereka sendiri dan hanya diperuntukkan bagi Barat. Hal inilah yang kemudian digunakan oleh Misionaris dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak; yang walaupun dalam misinya tersebut menggunakan bahasa Batak-Toba (timur) namun penguasaannya (baca: gaya berpikir) tetaplah dari wacana Barat.
B.
Kolonialisme dan Misi Pengadaban
1. Hasrat dan Krisis Batak: Awal Mula Masuknya Zending dan Hamajuon Sebelum masuknya RMG di Tanah Batak, masyarakat Batak selalu berada didalam tekanan dunia luar. Identitas masyarakat Batak yang masih memeluk agama tradisional menjadi hal yang selalu dipinggirkan dan diasingkan oleh bangsa-bangsa sekelilingnya. Paling tidak menurut Hendrik Kraemer, pengasingan ini berlangsung hingga awal abad ke-19.40 Identitas agama dan budaya menjadi sesuatu tantangan yang harus dipertahankan, mengingat peluang di dalam
39 Pernyataan Uli Kozok ini tertuang dalam Historia, “Menyingkap Selubung Suci Pembawa Misi”, Nomor 27 Tahun III 2016, hl. 60-63. 40 Jan Aritonang, “The Batak People: A Search For a Religious-Cultural Identity”, dalam Martha Frederiks, dkk. (eds.) Towards An Intercultural Theology: Essays in Honour of Jan A.B. Jongeneel (Utrecht: Uitgeverij Meinema, 2003), hl. 127.
Ompu i |97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kehidupan ekonomi sosial dan politik ketika berhadapan dengan dunia luar menjadi sesuatu yang mustahil. Hal ini juga diperparah dengan terjadinya Perang Paderi (1820-an)
yang
menyebabkan
kematian
Raja
Singamangaraja
X
dan
meluluhlantahkan masyarakat Batak. Mekanismenya adalah seperti yang dicatat oleh Aritonang:41 “Ketika di desak mundur oleh Belanda, mereka menerobos ke Tanah Batak, bahkan sampai ke jantung Tanah Batak (Silindung dan Toba) sambil mengislamkan penduduknya dengan menggunakan kekerasan. Banyak penduduk yang tidak bersedia masuk Islam, lalu dibunuh.”
Menurut Sidjabat, dampak yang ditimbulkannya adalah dengan hancurnya kesatuan dari masyarakat Batak yang telah dibangun oleh Raja Singamangaraja.42 Masyarakat Batak tidak lagi percaya kepada kepemimpinan Singamangaraja. Hal ini berdampak maraknya perang antarmasyarakat Batak, baik di tingkat huta hingga bius. Menurut saya, efek yang ditimbulkan dari perang Paderi lebih dari itu, yakni krisis identitas, baik religi maupun budaya dalam masyarakat Batak.43 Selain faktor internal, perang Paderi yang memerangi bangsa Batak juga menimbulkan masalah tersendiri, di mana menurut Anthony Reid, menghancurkan hubungan antara Minangkabau dengan masyarakat Batak yang sebelumnya telah terjalin dengan baik, sehingga memunculkan keterisolasian masyarakat Batak dari bangsa
41
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hl. 106. 42 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl. 429. 43 Dalam hal ini, saya sepakat dengan pernyataan Warneck bahwa kelemahan dalam animisme seperti dalam agama tradisional masyarakat Batak adalah bahwa penilaian dari kehidupan duniawi menentukan kebaikan tertinggi. Hal ini ia dasarkan atas perjumpaannya dengan orang Batak yang mengatakan: “manusia ada di dunia ini untuk memakan nasi.” Lih. Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom (London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867), hl. 130.
Ompu i |98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sekitarnya.44 Namun hal ini berubah lambat laun pasca perang Paderi ketika pemerintah kolonial Belanda telah menaklukkan dan menguasai wilayah Tapanuli Selatan (1833) dan mengusahakan perdamaian paksa (Pax Neerlandica) yang menyebabkan Islam diterima di wilayah Tapanuli Selatan .45
Peta Sumatera Utara
Menurut Pedersen, kehadiran pemerintahan kolonial Belanda secara tidak langsung membuat Islam justru berkembang di wilayah-wilayah jajahan.46 Kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang membatasi pos-pos Pekabaran Injil untuk terlibat di Sumatra yang berguna dalam menjaga hubungan baik serta menghindari fanatisme Islam, menjadi buktinya, selain kebijakan pemerintahan
44 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta: Obor & KITLV, 2011), hl. 27-28. 45 Van den End, Op. Cit., hl. 173. 46 Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43.
Ompu i |99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kolonial Belanda yang menempatkan orang-orang Melayu Muslim yang menyebabkan penyebaran bahasa Melayu dan agama Islam. Hal ini juga disadari para misionaris RMG, termasuk Nommensen nantinya, yang justru berharap pemerintahan kolonial Belanda tidak masuk ke Tanah Batak karena takut Islam menyebar di Tanah Batak.47 Mengenai wilayah Batak Toba sendiri yang masih memeluk agama tradisional, pemerintahan kolonial Belanda kurang menaruh perhatian mengingat Belanda sendiri tidak tertarik dengan Tanah Batak yang dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomis. Dengan kebijakan ini, Islam semakin berkembang dan mendapatkan ruang dalam menguasai perdagangan. Mulai dari bangsa Melayu, wilayah Batak daerah Selatan, daerah pesisir, hingga Aceh semuanya rata-rata memeluk agama Islam. Perkembangan dan perluasan Islam ini, menurut Pedersen, memberikan fenomena tersendiri bagi masyarakat non-muslim, yakni harapan akan pendidikan dan masuk ke dalam masyarakat modern. Masyarakat Batak yang masih memeluk agama tradisional justru meyakini ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan ekonomi pada saat itu dengan keyakinannya,48walaupun di sisi lain krisis akibat Perang Paderi tetap tidak dapat hilang begitu saja berupa trauma terhadap bangsa luar, khususnya di daerah utara yang masih merasakan dampaknya dengan sikap mengucilkan diri, sedangkan agama Islam semakin menyebar di Tanah Batak, khususnya daerah Selatan. Pemerintah Belanda yang melihat hal ini merubah
47
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 95. Menurut Pedersen, kaum Muslim selalu mengharapkan masuknya masyarakat Batak menjadi Islam. Berbagai cara dilakukan untuk mengusahakan Islamisasi kepada masyarakat Batak, misal salah satunya mengizinkan dan memaklumi masyarakat Batak untuk memakan babi walaupun telah menjadi muslim. Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43-44. 48
Ompu i |100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kebijakannya dengan mencari mitra zending sebagai sekutunya yang kemudian mengutus RMG. Salah satu alasan yang diyakini menjadi dasar kebijakan ini adalah faktor Islamisasi yang berkembang pesat. Ide pengkristenan ini sebenarnya bukanlah yang pertama di Tanah Batak. Sebelumnya, ketika orang-orang Inggris tiba ke Jawa dan Sumatra pada 1811, Sir Thomas Stamford Raffles dan Lord Moira juga mendorong usaha penginjilan di Tanah Batak. Hal ini dilakukan untuk memisahkan orang Islam Aceh daerah utara dengan orang Islam Minangkabau daerah selatan. Mereka mengutus dua misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward yang berasal dari badan zending Baptis, Inggris.49 Namun usaha pengkabaran Injil tersebut kurang memberikan hasil. Hanya beberapa orang yang dibaptis, yakni: Jacobus Tampubolon dan Simon Siregar pada 31 Maret 1861 yang sekaligus menjadi orang Batak pertama yang menerima Injil.50 Menurut Jan Aritonang, kehadiran badan-badan zending ke Tanah Batak dapat dikatakan sebagai suatu kesempatan dan juga sekaligus tantangan masyarakat Batak dalam hubungannya dengan kehidupan sosial-politik, budaya dan agama.51 Zending menjadi kesempatan bagi masyarakat Batak untuk tampil menjadi bagian dari pemerintahan kolonial, kantor ataupun sekolah yang selama ini hanya diisi oleh orang Melayu pesisir beragama Islam.52 Faktor lainnya adalah masalah internal
49
Ibid., hl. 45. Ibid., hl. 47. 51 Jan Aritonang, “The Batak People,” Op. Cit., hl. 127. 52 Paul B. Pedersen, Op.Cit., hl. 43. Menurut Robert van Niel masyarakat pribumi dibagi menjadi dua kasta, rakyat jelata yang terdiri dari petani, orang desa yang dinamakan dan kaum elit/priyayi yang diisi oleh administrator, pegawai pemerintahan dan orang-orang yang berpendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya zending ke Tanah Batak memberikan 50
Ompu i |101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
teratasi, yakni keamanan, ekonomi, pendidikan dsb. Namun walaupun demikian, masyarakat Batak yang kuat dengan adat dan budaya merasa enggan dalam meninggalkan identitas adat dan budayanya terlebih wilayah Toba atau yang masih mengakui Singamangaraja sebagai pemimpinnya. Adanya krisis yang melatarbelakangi masuknya badan zending RMG ini memberikan titik tolak bagi masyarakat Batak untuk mau menerima para zending.53 Bagaimanapun falsafah Batak tradisional tetap menjadi suatu acuan dalam menerima pengaruh asing demi terwujudnya, yakni hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat). Dan hal inipun terbukti dengan masuknya RMG dapat menjawab krisis yang dibutuhkan berupa faktor keamanan, ekonomi, pendidikan, dsb. Perbedaan yang jelas tampak adalah masalah perlakuan dari pihak kolonial kepada orang Batak yang berbeda dari perlakuan kepada Minangkabau atau Jawa yang tersiksa akibat tanam paksa.54 Walaupun di sisi lain, hal ini dapat dilihat dengan adanya pendidikan keahlian atau ketrampilan yang diberikan pihak kolonial, termasuk zending, kepada masyarakat Batak, misalnya sekolah pertukangan yang ada di Balige, dan sekolah lainnya. Tanggal 7 Oktober 1861 merupakan hari penting bagi HKBP dan RMG yang mengingatkan kepada awal mula masuknya RMG ke Tanah Batak yang sekaligus
potensi kepada masyarakat untuk naik kasta. Lih. Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hl. 31. 53 Dari laporan BRMG, selain faktor adanya krisis akibat Perang Paderi, maka ada faktor lain yang menyebabkan jatuhnya wibawa Raja Singamangara di wilayah Silindung, yakni adanya masalah internal, di mana ia membawa lari istri seorang Raja. Lih. BRMG 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 121. 54 Ibid., hl. 78.
Ompu i |102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
juga menjadi tanggal lahirnya HKBP,55 di mana pada tanggal tersebut diadakan rapat di Sipirok yang dihadiri oleh 4 orang Pendeta, yakni Pdt. Heine, Pdt. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Assselt yang membahas mengenai pembagian tugas pekabaran Injil di Tapanuli. Masuknya RMG ke Tanah Batak ini tak lepas dari jasa Dr. Friedrich Fabri yang pada waktu itu menjabat inspektur RMG yang memutuskan untuk memindahkan wilayah pos pekabaran Injil dari Borneo ke Tanah Batak akibat adanya perang Hidayah di Borneo (Kalimantan) yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah misionaris, serta hilangnya ladang pekerjaan mereka.56 Dalam pembagian tugas tersebut, Pdt. Klammer ditugaskan di wilayah Sipirok, Pdt. Betz ke daerah Bungabondar dan Pdt. Heine bersama Pdt. Van Asselt ke wilayah Pahae. Keempat misionaris ini masih menguasai wilayah perbatasan Tapanuli Selatan dengan Utara sebelum akhirnya Nommensen datang dan membuka perkampungan di Sait Ni Huta, bius Silindung pada 20 Mei 1964 dan mengadakan kebaktian pertama kali pada 29 Mei 1964. Perkampungan ini
55 Penetapan tanggal kelahiran HKBP, yaitu tanggal 7 Oktober 1861, didorong atas perlunya semua umat Kristen Batak untuk merayakan hari jadi kekristenan; dan RMG melalui rapat konfrensi para missionaris tahun 1905 menentukan secara resmi tanggal tersebut sebagai hari jadi kekristenan atau Gereja Batak, istilah HKBP belum menjadi nama resmi pada waktu itu, melainkan Gereja Batak (Batakmission) Tahun 1905 yang digunakan sebagai tahun penetapan tanggal kelahiran Gereja Batak secara bersamaan menjadi hari perayaan yang pertama bagi kelahiran Gereja Batak. Perayaan pertama ini kemudian menjadi titik tolak perlunya kesadaran di dalam mengingat hari jadi Kekristenan di Tanah Batak. Pada tahun 1925 melalui Sinode Agungnya, nama Gereja Batak diganti dan diresmikan menjadi ”Huria Kristen Batak” (Gereja Kristen Batak). Tidak ada lagi nama Gereja Batak yang digunakan pada waktu itu. Baru pada tahun 1929 melalui Sinode Agungnya, nama ”Huria Kristen Batak” disempurnakan menjadi ”Huria Kristen Batak Protestan” (HKBP). Nama ini kemudian menjadi nama gereja yang dipakai sekarang. Penamaan HKBP tersebut kemudian menjadi resmi ketika pada tahun 1931 diakui sebagai Badan Hukum. Pemerintah pun kemudian mengeluarkan S.K. pemerintah tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana tertulis dalam lembaran pemerintah 1932 No. 360. Pengakuan ulang oleh pemerintah pun dilakukan dengan mengeluarkan surat tanggal 2 April 1968 No. Dd/P/DAK/d/135/68. Lih. HKBP, Tuhan Menyertai UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun (Tarutung: HKBP, 1986), hl. 28 & 32. 56 Th. Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hl. 184.
Ompu i |103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kemudian dinamakan oleh Nommensen sebagai Huta Dame (Kampung Damai) dengan menjadikan perkampungan ini sebagai tempat pelayanan dalam urusan rohani, kesehatan, serta pendidikan. Dari sinilah kemudian Nommensen berkenalan dengan Raja Pontas Lumbantobing, raja yang mambantu para Misionaris menyebarkan Injil, dan memberikan lahan di Pearaja (sekarang menjadi Kantor Pusat HKBP) kepada Nommensen yang dijadikan pargodungan (sekolah, gereja, klinik). Bagi masyarakat Batak masuknya zending sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak. Paling tidak hal ini dilukiskan di dalam dokumen Die Evangelische Missioner
atas
ketidaksanggupan
Raja
Pontas
Lumbantobing
dalam
mempertahankan adat dan budaya Batak atas masuknya kuasa dari luar:57 “Alai ianggo Raja Pontas pos do Rohana di nasida. Ai diantusi ibana do, na ingkon mago bangsona, so boi maju ala ni angka hamusuon na so olo mansohot.”
Terjemahannya: “Tetapi Raja Pontas sangat setuju, karena ia mengerti bahwa bangsanya akan hilang karena tidak dapat maju akibat konflik sesama yang selalu berlangsung.”
Pasca masuknya RMG ke Tanah Batak, Kristenisasi berjalan pesat. Data yang tercatat, ketika Nommensen meninggal pada tahun 1918, gereja telah bertumbuh dan mencakup kurang lebih 180.000 orang anggota yang dibaptis, Pendeta yang bersuku Batak sebanyak 34 orang, sedangkan Guru Injil sebanyak 788 orang dan penatua sebanyak 2.200 orang. Di bidang pendidikan, data yang tercatat, sekolah-
Diambil dari “Die Evangelische Missioner” dalam A.A. Sitompul, Sitotas Nambur Hakristenon Di Tano Batak (Jakarta: Dian Utama, 2005), hl. 74. 57
Ompu i |104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sekolah yang berdiri sebanyak 510 buah yang mempunyai 32.700 orang murid yang terdaftar.58 2. Pendekatan Adat dan Budaya Salah satu faktor yang menyebabkan diterimanya para misionaris RMG di Tanah Batak adalah dengan menggunakan adat dan budaya Batak yang menyangkut bahasa, sistem sosial dan politik, dsb. Awalnya, sikap penolakan terhadap adat diberlakukan terhadap masyarakat Batak, namun lambat laun dalam prakteknya terdapat negosiasi antara masyarakat Batak dengan pihak zending. Negosiasi ini dilakukan berdasarkan pada nilai-nilai Kekristenan, meskipun dalam hal ini, saya sepakat dengan Uli Kozok bahwa ada alasan tertentu dalam melihat adat dan budaya masyarakat yang dianggap primitif, yakni adanya budaya superioritas bangsa Eropa, terlebih pada abad ke-19 rasisme sangat berkembang.59 Persoalan-persoalan mengenai nilai-nilai Kekristenan yang diperhadapkan dengan adat dan budaya Batak menjadi faktor-faktor yang dinegosiasikan, walaupun para misionaris tetap melihat pentingnya bahasa, aksara, struktur sosial, serta intisari budaya Batak yang perlu dilestarikan sesuai dengan paham Gustav Warneck mengenai “logos
58 P.B. Pedersen, Op. Cit., hl. 64. Pertobatan yang sangat cepat ini mendapat kekhawatiran di tubuh RMG melalui missionaris-missionaris lainnya. Memang tidak ada alasan yang konkret untuk menjadi bahan bantahan atas apa yang telah dicapai oleh Nommensen di dalam mengabarkan Injil di Tanah Batak, namun alasan mendasar yang dipakai RMG adalah pengalaman sebelumnya, yaitu ketika RMG juga menjadi badan zending di Kalimantan, di mana pada waktu itu terjadi kehancuran yang sangat vital. Kekhawatiran RMG di Barmen ini hanya ditanggapi Nommensen dengan sangat dingin, bahwa Allah saat ini memang hadir untuk orang Batak. Lih. Ibid., hl. 60. 59 Menurut Uli Kozok, sikap penolakan terhadap budaya primitif awalnya didengungkan oleh para misionaris RMG yang menganggap adat dan budaya Batak tidak memiliki peradaban, sehingga hal yang perlu dilakukan adalah transfer budaya dari peradaban Eropa dengan menggunakan Culturkampf (perang budaya) yang mengingatkan pada usaha pemerintah Jerman untuk memisahkan dan membatasi ruang gerak gereja Katolik. Lih. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 72-73.
Ompu i |105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
spermatikos”.60 Kebijakan-kebijakan yang dinegosiasiasikan itu, misalnya, pelarangan tari-tarian atau tor-tor, pemakaian alat musik Batak (margondang), dan pengijinan pernikahan semarga yang ditolak oleh masyarakat Batak dengan alasan menghilangkan konsep Dalihan Na Tolu, walaupun tor-tor dan margondang tetaplah dilarang.61 Sikap tegas terhadap adat dan budaya dalam kehidupan masyarakat Batak ini untuk menghilangkan agama tradisional masyarakat Batak dan menjauhkan unsur sinkretisme dalam Kekristenan. Bahkan pihak zending tidak pandang bulu dalam melaksanakan hal ini, misalnya Raja Pontas Lumbantobing yang sangat membantu pihak zending justru pernah dibali (dikucilkan atau dihukum) oleh pihak zending akibat mengikuti pesta penguburan yang berdasarkan adat Batak.62 Bagi pihak zending sendiri penyebaran pekabaran Injil dilakukan secara menyeluruh di segala aspek, paling tidak hal ini dilakukan pada masa awal-awal masuknya zending di Tanah Batak ketika pemisahan antara pemerintahan sekuler dan Kekristenan belum terjadi. Melalui konsep pargodungan63 maka Injil diberitakan ke segala aspek, misalnya melalui kesehatan, pendidikan dan pengajaran, bahasa, dll. Bahkan mereka memandang bahwa Kekristenan haruslah menggabungkan dirinya kepada adat dan budaya Batak dan mengambil tempat dalam pola kehidupan atau tata tertib kehidupan masyarakat Batak. Misalkan saja
60
Dalam hal ini penerapan metode misiologi yang dilakukan oleh badan zending RMG sangat berbeda dengan badan zending dari Inggris yang justru tidak menghargai bahasa pribumi. Bdk. John McLeod, Op.Cit., hl. 141. 61 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 73-74. 62 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 53. 63 Istilah ini untuk menyebut kompleks halaman gereja yang digunakan juga sebagai tempat pendidikan, kesehatan, dsb.
Ompu i |106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melalui bentuk penerjemahan, di mana Nommensen menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak-Toba pada tahun 1876, sedangkan Johannsen menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam Bahasa Batak-Toba pada tahun 1894. Dengan konsep ini maka para misionaris tetap menggunakan tradisi adat dan budaya Batak dalam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan. Bahkan tradisi-tradisi Batak yang bersifat sastra turut digunakan dan ditransformasi, misalnya salah satunya torsatorsa (cerita rakyat),64 serta masih banyak lagi usaha yang dilakukan para misionaris dalam penggunaannya terhadap adat dan budaya Batak. Namun salah satu yang menjadi sorotan saya di sini adalah penggunaan sistem struktur dalam kehidupan sosial masyarakat Batak. Beberapa penulis-penulis dari luar atau lokal yang menulis tentang pekabaran Injil di Tanah Batak mungkin akan rumit dan keliru ketika berhadapan dengan sistem struktur sosial dalam masyarakat Batak, terlebih ketika mencoba memetakan upaya para misionaris RMG dalam menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak. Hal ini diakibatkan kesalahan dalam memahami mengenai harajaon (kerajaan) dalam struktur masyarakat Batak yang justru sering dipakai sebagai refrensi buku, seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab II. Maka dari itu untuk menerangkan bagaimana para misionaris sendiri, khususnya Nommensen, dalam menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak maka perlu
64 Manguji Nababan (ed.), Torsatorsa Hombung: Turiturian Ni Halak Batak (Medan: Vanivan Jaya, 2015), hl. X. Salah satu yang digunakan misalnya torsatorsa Cincin Idam-idaman yang digunakan oleh F.W Staudte dan G v. Asselt untuk membantu dalam melihat firman Tuhan. Lih. Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 55.
Ompu i |107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditempatkan dalam pemahaman adat dan budaya Batak, di mana semuanya telah diatur di dalamnya yang saya telah jelaskan di bab sebelumnya. Para misionaris dalam melaksanakan pekabaran Injilnya berusaha memasuki wilayah-wilayah di Tanah Batak dengan pendekatannya terhadap struktur sosial masyarakat Batak, yakni kepada raja-raja baik huta hingga bius. Bahkan strukturnya tidak diubah, melainkan dibina menjadi harajaon (kerajaan) Kristen. Para Misionaris tampaknya memahami pondasi struktur masyarakat Batak; dan hal ini, tak lepas dari peran Nommensen yang mengetahui secara mendalam, serta memberikan saran kepada para misionaris lainnya. Sebagai bukti adalah dengan terciptanya aturan peraturan atau tata gereja 1881 yang berdasarkan tatanan sosial masyarakat Batak, di mana Nommensen menjadi inspiratornya.65 Dengan pendekatannya ini maka nantinya akan terlihat, posisi Nommensen sendiri dalam struktur sosial masyarakat Batak Toba, yang dengan praktik-praktiknya selayaknya seperti gambaran dari kepemimpinan Ompu i Raja Singamangaraja. Namun di sini, saya akan terlebih dahulu menjabarkan bagaimana Nommensen sendiri aktif dalam mengkonstruk suatu struktur sosial masyarakat Batak Toba menjadi kerajaan Kristen. Raja bagi masyarakat Batak mengambil peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia menjadi pelaksana atas adat dan hukum, baik sekuler maupun religi. Dengan perannya ini, maka pengaruh raja sangatlah besar bagi pengikutnya. Pendekatan yang dilakukan Nommensen kepada raja di Tanah
65
Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 47.
Ompu i |108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Batak memberikan pengaruh penting bagi pengikut raja tersebut. Hal ini dapat terlihat dari pengaruh yang ditimbulkan atas masuknya Raja Pontas Lumbantobing menjadi Kristen, ditambah dengan sikapnya yang pemberani dalam menyelesaikan konflik-konflik marga atau antarkampung, maka komunitasnya pun turut juga menerima Kekristenan. Bahkan Raja Pontas sendiri tidak segan-segan untuk mengajak para raja dan para imam (kelompok parbaringin) untuk menerima Injil. Raja Pontas sendiri memiliki kekuasaan yang mencakup wilayah bius, sehingga kekuasaannya berada diwilayah lintas huta. Namun demikian ia juga sering mengajak raja-raja diluar kekuasaannya. Misalnya raja di Sipahutar.66 Selain Raja Pontas, masih banyak juga raja-raja lainnya yang menerima dan mendukung para misionaris, misalnya Ompu Hatobung dari Pansurnapitu, Kali Bonar dari Sigompulon-Pahae, dll. Dengan pendekatan atas raja maka tak heran basis yang dibangun mencakup wewenang atas wilayah yang menjadi kekuasaan raja, baik itu di tingkat huta hingga bius. Nommensen tidak sedikitpun mengganti raja-raja yang berkuasa di wilayahnya masing-masing. Bahkan untuk tingkat huta hingga bius, ia sangat menghargai peran dari para raja: “Mereka yang berhubungan dengan saya, orang-orang yang telah dibaptis maupun yang belum dibaptis, tidaklah berada dibawah kekuasaan saya. Saya adalah guru mereka, tetapi bukan raja mereka. Tak seorangpun yang sudah Kristen atau yang mau menjadi Kristen dengan demikian berubah sukunya; sebaliknya rajanya yang sekarang ini tetaplah juga rajanya selanjutnya…”67
66
Pdt. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155. Pernyataan Nommensen ini diungkapkan pada awal-awal misinya di Huta Dame ketika pemerintahan kolonial Belanda belum masuk ke wilayah Silindung. Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 44. 67
Ompu i |109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pernyataan Nommensen ini menjadi titik tolak dalam pemakaian Suhi Ampang Na Opat dalam adat dan budaya masyarakat Batak, khususnya sistem struktur konfederasi yang diterapkan Dinasti Singamangaraja. Bahkan peran raja menjadi penghubung antara pengikutnya dengan pihak misionaris, seperti yang ditulis oleh misionaris Johannsen dalam suratnya von Sibolga nach Silindung: “Pada hari-hari berikutnya, banyak raja-raja yang berlomba-lomba datang mengundang kami ke rumahnya untuk dijamu. Masing-masing mendesak, supaya dialah yang pertama kami kunjungi…”68 Peran raja bagi pekabaran Injil sangatlah penting, bahkan atas jasanya tersebut anak-anak raja mendapatkan perlakuan khusus dengan diperbolehkan menimba pendidikan berbahasa Belanda di Loguboti.69 Bahkan Warneck sendiri sangat mengakui otoritas raja, serta menghargai peran raja dalam perkembangan Kekristenan di Tanah Batak: “Sungguh mereka adalah penguasa negeri: tanpa izin mereka baik zendeling maupun evangelis (penginjil pribumi) tidak boleh bermukim di situ. Dan kalupun seringkali mereka hanya secara lahiriah saja ikut membantu, yaitu menghadiahkan tempat untuk mendirikan gedung sekolah atau gereja, atau mendorong warganya datang ke gereja, atau meminta kehadiran zendeling dan hal-hal yang serupa, itu toh sudah merupakan kerjasama yang hakiki, karena mereka sudah membukakan pintu.” 70
Selain pendekatannya kepada raja dalam menarik simpatik para pengikut, ia pun memperkokoh basis komunitas masyarakat Kristen Batak dengan membangun gereja-gereja berdasarkan marga-marga.71 Hal ini menandakan bahwa pendekatan ini ingin menanamkan basis komunitas dalam aspek kekerabatan masyarakat Batak atau Dalihan Na Tolu. Dengan pendekatan ini maka wilayah
68 Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hl. 80. 69 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 79. 70 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 154. 71 Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 46.
Ompu i |110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dicakup adalah setiap harajaon-harajaon (kerajaan) bius yang dalam kehidupan sosial masyarakat Batak menjadi dominasi dari marga-marga tertentu sebagai pemilik wilayah (cuius region eius religio). Misalnya saja Gereja Simarangkir yang merupakan basis dari marga Simorangkir, dsb. Walaupun setiap gereja tidak dibangun di setiap huta, namun hal ini cukup dalam mengawasi adanya pertikaian-pertikaian yang terjadi, baik di tingkat huta hingga bius. Selain pendirian gereja, ia pun juga menempatkan marga-marga setempat untuk mengisi gereja atau pos-pos Pekabaran Injil (PI) tersebut.72 Dengan pendekatan ini maka Kekristenan semakin menyebar dengan cepat, di mana pada tahun 1881 sudah ada enam distrik atau lingkungan, yakni Sipiriok, Sigompulon – Pahae, Sibolga, Silindung, Humbang dan Toba yang kesemuanya merupakan gambaran dari peta marga-marga Batak.73 Pendekatan Nommensen kepada adat dan budaya dalam sistem sosial masyarakat Batak pada dasarnya membangun dan memperkokoh pondasi kerajaan Kekristenan yang ia bangun. Bahkan prinsip ini dilakukan oleh Nommensen dengan menempatkan empat orang penatua (sintua) bersama-sama dengan raja dalam mengawasi harajaon Kristen (bius) yang diatur oleh aturan peraturan. Sesuatu hal yang dilakukannya untuk mengantisipasi adanya penolakan-penolakan yang dilakukan para penganut yang masih memeluk agama tradisional. 74 Menurut saya, penempatan penatua menjadi pendamping raja justru menjadi suatu reproduksi baru atas kerajaan Kekristenan dalam menggantikan peran kelompok Parbaringin
72
Ibid., hl. 46. Ibid., hl. 47. 74 Ibid., hl. 51. 73
Ompu i |111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai pendamping raja, terlebih ketika pesta bius yang menjadi upacara kegiatan bagi agama tradisional Batak yang juga melibatkan kelompok Parbaringin sendiri dilarang dan dihilangkan dari kegiatan-kegiatan bius. Usaha yang dilakukan ini tidak berhenti sampai di situ saja tetapi terdapat juga usaha dari para misionaris untuk menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh raja (baca: bius), yaitu dengan melibatkan para raja juga dalam suatu kegiatankegiatan formil, misalnya pesta mission (pesta zending), serta mewadahi aspirasi dari setiap wilayah kekuasaannya dengan diciptakannya rapat yang melibatkan para raja dan penatua (sintua) sebagai suatu komunitas Kekristenan.75 Dengan pendekatannya ini, Nommensen justru lebih sibuk dengan urusan-urusan sosial politik masyarakat, sehingga dengan melibatkan raja maka otomatis para misionaris dibebaskan dari beban masalah tersebut.76 Pendekatan terhadap raja, serta pengawasan terhadap bius-bius justru mempertegas posisi Nommensen sebagai raja (ompu i) atas raja-raja bius Kristen. Semakin berjalannya waktu dan semakin banyak raja yang mengikuti Kekristenan membuat RMG yang dipelopori Nommensen dan Johannsen akhirnya memisahkan urusan sekuler dengan gerejawi dengan terbentuknya aturan-peraturan yang menyangkut hukum gereja pada 1866 dan diikuti peraturan atau undangundang sipil untuk orang Kristen pada 1867 yang mengurus masalah perkawinan, pencurian, judi, bekerja di hari minggu.77 Dengan adanya undang-undang sipil ini
75
Surat Kuliling Immanuel No. 6, Juni 1893. Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 65. 77 Seperti yang diutarakan oleh Schreiner bahwa undang-undang sipil ini tidak ditemukan naskahnya. Ibid., hl. 63-64. 76
Ompu i |112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
maka dimulailah pembentukan suatu adat Kristen yang terpisah dengan urusan rohani, sedangkan adanya hukum yang mengatur gereja berarti manandakan dimulainya organisasi struktural gereja yang berdasarkan bius-bius atau adat Batak yang merupakan cikal bakal dari organisasi Episkopal yang ada di HKBP sekarang, di mana hukum selalu berjalan dari atas ke bawah. Adanya pemisahan ini justru sangat berbeda dengan pemahaman masyarakat Batak tradisional yang memiliki kesatuan hukum.78 Namun demikian walaupun memiliki dua aturan bukan berarti terjadi pemisahan sepenuhnya antara sekuler dengan agama. Kesatuan tersebut masih tetap tidak dapat dipisahkan. Bahkan saya melihat pemisahan ini justru menandakan kekuasaan Nommensen terhadap urusan rohani dan sekuler, di mana Nommensen menjadi misionaris yang paling memahami dalam urusan adat dan budaya Batak. 3. Campur Tangan Pemerintahan Kolonial: Rezim Kekuasaan dan Kekerasan Setelah melihat mengenai pendekatan RMG kepada pentingnya adat dan budaya masyarakat Batak, dalam hal ini kepada raja-raja sebagai pelaksana adat, maka usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam menaklukkan raja-raja tak dapat dilepaskan dengan tampilnya pemerintahan kolonialis Belanda melalui aksi militerisme atau kekerasan. Keterlibatan ini tak dapat dipungkiri sebagai upaya dalam mendukung perluasan Kekristenan di Tanah Batak.
78 Walaupun dalam budaya Batak memiliki dua urusan dalam Pustaha laklak (rohani) dan Pustaha Tumbaga (duniawi), namun kesatuan hukum tetap tercipta. Dua pustaha ini tetaplah menjadi sumber dalam masyarakat Batak tradisional, termasuk juga undang-undang yang dibuat oleh Raja Singamangaraja XI dan XII yang pada waktu itu pemisahan sekuler dan rohani belum ada. Bdk. Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 234-235.
Ompu i |113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada awal-awal permulaan penginjilan memang terlihat bahwa para Misionaris,
terutama
Nommensen
tidak
menghendaki
akan
masuknya
pemerintahan kolonial Belanda yang menganggap bahwa masuknya pemerintahan kolonial Belanda sejalan dengan masuknya Islamisasi di Tanah Batak. Namun dalam pandangan ini bukan berarti bahwa pihak RMG sendiri menghindari akan keterlibatan pemerintah kolonial. Para misionaris justru menghendaki akan adanya kesepemahaman dengan pemerintah kolonial. Yang artinya penginjilan dan kolonialisme haruslah berjalan bersama-sama. Prinsip serupa juga dipahami oleh Raja Pontas Lumbantobing yang notabene adalah seorang pribumi, terlebih ketika Kekristenan telah menyebar di tanah Batak.79 Bagi pihak RMG sendiri, keberadaan pemerintah kolonial tidak dapat dipisahkan, karena hal ini berkaitan dengan kerjasama yang dilakukan kedua belah pihak berupa pembiayaan atau bantuan dana,80 sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan keduanya merupakan suatu keniscayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengikuti Kristen berarti tunduk kepada kolonialisme. Hal ini juga dicatat oleh J. Silitonga seperti yang kutip oleh Aritonang: “Raja Pontas menganjurkan masyarakat Sipahutar untuk menerima zending atau Injil dan pemerintah” Dan menurut pemahaman Silitonga Silindung aman karena Raja Pontas atas anjuran Nommensen – mau tunduk kepada Belanda.”81
Campur tangan pihak kolonial dengan RMG baru terasa ketika RMG sendiri memasuki dan melakukan misinya ke wilayah Utara, yakni Toba, di mana menurut
79
Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 70. Lih. S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989), hl. 165. 81 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 155. 80
Ompu i |114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Uli Kozok, bentuk campur tangan tersebut berupa aksi militer ke beberapa wilayah Toba, sehingga terjadi koalisi keduanya karena memiliki musuh yang sama, yakni Raja Singamangaraja XII. Menurutnya koalisi ini terus berlanjut hingga kematian Raja Singamangaraja XII.82 Peristiwa ini dikatakan sebagai Perang Toba Pertama (1878).
Pandangan
ini
didasarkan
atas
Bericht
der
Rheinischen
Missionsgesellschaft (BRMG) 1878 yang berasal dari surat Nommensen (20 Juni 1878) mengenai “Laporan Terakhir tentang Perang di Toba.” Namun selain mengincar Raja Singamangaraja XII sebagai musuh utama dari pemerintahan kolonialis beserta RMG namun dari isi surat tersebut mengindikasikan bahwa bentuk ekspansi ke wilayah Toba adalah juga bertujuan untuk menaklukkan rajaraja bius, khususnya yang menolak kehadiran misionaris. Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Nommensen menjadi saksi mata dan ikut di dalam perjalanan bersama militer Kolonial yang dibantu dengan orang-orang Kristen dari Silindung – sesuatu yang tidak bisa diharapkan dari orang muslim – untuk mengekspansi wilayah-wilayah Toba. Namun demikian mengenai tujuan dari ekspansi ini menurutnya bahwa hal ini tak lepas dari telah masuknya orang Aceh di wilayah Toba, sehingga para penginjil merasa perlu untuk meminta bantuan pemerintahan kolonial sebelum terjadinya Islamisasi yang akan menjadi penghambat bagi masuknya Injil: “Oleh Sebab itu kami merasa perlu meminta-agar pemerintah menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan itu dari barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh menetap di Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya.”83
82 83
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 94-95. BRMG Desember 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl.139.
Ompu i |115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perjalanan Nommensen beserta pasukan dimulai dari wilayah Bahal Batu dan kemudian menguasai wilayah kampung-kampung sekitar, yakni Butar, untuk seterusnya melanjutkan ekspansinya ke wilayah utara. Beberapa wilayah Toba dikuasai, termasuk diantaranya Bangkara yang menjadi pusat kekuasaan Raja Singamangaraja XII. Walaupun Nommensen ikut di dalam rombongan militer namun ia selalu menekankan kepada pemerintah kolonial untuk terlebih dahulu mengedepankan dialog kepada para raja dan masyarakat agar mau tunduk kepada pemerintah kolonial, dikarenakan setiap kampung yang menolak untuk tunduk kepada pemerintahan kolonial maka kampungnya akan dibakar dan di denda oleh pemerintah kolonial. Ada beberapa kampung yang menolak untuk tunduk misalnya di bius Bangkara, Lobu Siregar, dll., namun ada juga yang langsung menyerahkan diri tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Raja menjadi pusat sasaran dalam berdialog yang dilakukan Nommensen dengan alasan tunduknya raja maka akan diikuti oleh para pengikutnya. “Jerit tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema diseluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang dihormati dan ayah Sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka agar menyerah dan tunduk pada Belanda.”84
Pasca Perang Toba pertama maka sebisa mungkin para misionaris untuk menghilangkan trauma yang ditinggalkan akibat perang, sehingga kekawatiran akan kebencian terhadap Eropa tidak terjadi. Dalam ekspansi tersebut menurut Nommensen ekspansi ini sangat membantu kedua belah pihak, yakni pemerintah kolonial dan RMG sendiri.
84
Ibid., hl. 145.
Ompu i |116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting lagi untuk zending kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik Islam, Aceh maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus agama Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan masuknya agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang di sini menjadi hampir sirna.”85
Namun menurut para Missionaris perang ini justru membawa masyarakat Batak Toba keluar dari keterisolasinnya dan terbuka terhadap pengaruh Eropa.86 Pasca Perang Toba pertama maka banyak orang Toba yang berbondong-bondong masuk Kristen, seturut dengan takluknya para raja dengan mengikuti perintah pemerintahan kolonial, serta memeluk agama Kristen. Sedangkan bagi para Misionaris maka pemerintahan kolonial Belanda memberikan penghargaan dan bantuan dana sebesar 1000 Golden kepada para Misonaris melalui Gubernur Sumatra.87
Peta Ekspedisi Militer 187888
85
BRMG 1882 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 155. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 156. 87 Ibid., hl. 93-94. 88 Diambil dari Ibid., hl. 112. 86
Ompu i |117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain dalam menaklukkan raja-raja di Tanah Batak untuk memperluas wilayah pekabaran Injil maka usaha pemerintahan kolonialis beserta RMG juga diikuti dengan memperkecil ruang kelompok Parbaringin di tengah-tengah masyarakat Batak tradisional. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu lembaga, kelompok Parbaringin ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mempersatukan masyarakat Batak tradisional; dalam hal ini kesatuan akan raja-raja bius; serta mempertahankan dinasti Singamangaraja. Hal ini tentunya yang menjadi penghambat bagi masuknya Kekristenan dan ekspansi pemerintahan Kolonial. Dengan pertimbangan tersebut, pihak zending dan pemerintahan kolonial sepakat dalam menciptakan kelompok ini sebagai musuh bersama dengan melarang kehadiran kelompok ini, serta tidak diberikannya ruang di tengah-tengah masyarakat dengan bentuk pelarangan Pesta Bius.89 Bentuk campur tangan pemerintah kolonial dengan penginjilan yang dilakukan RMG menandakan konstruk kekuasaan yang dilakukan bangsa Eropa dalam mengalahkan kekuasaan bangsa primitif sebagai suatu kesepemahaman yang sama dalam bentuk Eropasentrisme. Puncaknya adalah dengan terbunuhnya Raja Singamangaraja XII oleh pasukan militer kolonial Belanda yang dikomandani Christoffel pada 17 Juni 1907. Adanya keterlibatan RMG dengan pemerintah kolonial ini juga diakui oleh RMG, kini bernama UEM (United Envangelism Mission), dengan permintaan
89
Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah lembaga sosial politik pada abad XIII-XX (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hl 97.
Ompu i |118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
maafnya atas keterlibatan RMG dengan pemerintahan kolonial: pertama pada tanggal 27 September 1971 dan kedua pada tahun 1990.
C.
Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan
1. Media dan Komunitas yang Dibayangkan Selain adanya keterlibatan pemerintahan kolonial, maka usaha lain yang dilakukan oleh RMG sebagai suatu konstruk kekuasaan di Tanah Batak adalah dengan menciptakan komunitas baru, yakni kerajaan (harajaon) Kekristenan, untuk menggantikan komunitas yang lama. Tentunya, dengan penciptaan komunitas baru ini akan terlihat bentuk-bentuk kolonialisme dalam hubungan penjajah dengan yang dijajah, sikap superior dan inferior dalam bentuk relasi kuasa, serta bentuk-bentuk penyikiran melalui pembentukan opini umum. Penciptaan atau pembentukan harajaon (kerajaan) Kristen di Tanah Batak tidak dapat dilepaskan dengan diciptakannya Surat Kuliling Immanuel. Sama halnya dengan buku atau media cetak lainnya, maka Surat Kuliling Immanuel dapat mewakili keberadaan media cetak lainnya atau yang Bennedict Anderson katakan sebagai kapitalisme cetak (print capitalism) yang memiliki pengaruh kepada masyarakat, karena bersinggungan dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Pengaruh tersebut dapat menciptakan kesatuan masyarakat atau pembentukan komunitas. Di sini, saya akan melihat dan mengkaji majalah ini, karena menurut Foucault, melalui literatur akan terlihat hubungan antara pekerjaan/karya dengan
Ompu i |119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahasa, di mana reproduksi atau konstruksi dari suatu pelaku dapat terlihat.90 Dengan kata lain, kehadiran Surat Kuliling Immanuel akan membawa kepada karya besar RMG yang menyangkut visi, tujuan, dan strategi dalam menciptakan komunitas baru. Surat Kuliling Immanuel ini dibuat oleh misionaris Jacobus H. Meerwaldt yang terbit pertama kali pada 1 Januari 1890 dengan melihat keinginan A. Schreiber, Inspektur Barmen pada waktu itu.91 Ia mengasuh Surat Kuliling Immanuel pada periode 1890-1895 dan 1904-1916.92 Walaupun Surat Kuliling Immanuel ini diasuh secara bergilir oleh para misionaris, namun ide besar yang menyangkut isi dan struktur penulisan tidak dapat dilepaskan dari Meerwaldt. Kini majalah ini bernama Surat Parsaoran (SP) Immanuel dan menjadi majalah resmi di HKBP.93 Surat Kuliling Immanuel dapat dikatakan sebagai majalah komunitas, karena isinya mengenai isu-isu pastoral, refleksi, pengetahuan Alkitab, theologi dan dogma Kristen, sejarah dan pengajaran, berita-berita misi dan pengetahuan popular (matematika, dsb) yang menyangkut kebutuhan komunitas Batak.94 Dengan terbit sebulan sekali, maka surat ini diedarkan dan diperuntukkan kepada Pendeta Batak
90
Michel Foucault, Language, Madness, and Desire On Literature (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2015), hl. 46. 91 Tahun 1890 sebagai tahun terbit pertama kali Surat Kuliling Immanuel ini berdasarkan pengesahan HKBP yang tertulis di halaman pertama Majalah SP Immanuel HKBP dan Almanak HKBP di lembaran “Angka Taon Siingoton”, walaupun konsep Surat Kuliling ini telah ada pada 1 Oktober 1889. Lih. Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889. 92 Rachman Tua Munthe, Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial – Politik di Indonesia Periode 1890-1965 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hl. 29. 93 Tahun 1890 sebagai tahun terbit Surat Kuliling Immanuel maka komunitas Kristen di Tanah Batak telah memiliki 18 Jemaat Induk; 81 Jemaat cabang; 18.207 anggota jemaat; Pengerja Barat yang terdiri dari 22 Pendeta dan 1 schwester; pengerja pribumi terdiri dari 11 pendeta Batak, 88 guru dan 272 penatua (majelis); Sekolah yang terdiri dari 92 SD dan 1 Sekolah Lanjutan dengan jumlah murid 2.666. Lih. Ibid., hl. 28. 94 Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink (eds.), A History of Christianity in Indonesia (Leiden: Brill, 2008), hl. 958.
Ompu i |120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan guru-guru yang ada di Sekolah Tinggi untuk menambah pengetahuan mereka, serta tidak menutup kemungkinan masyarakat Batak Kristen yang melek huruf dengan membayar ganti rugi sebesar 1,25 ringgit selama setahun.95 Karena sifatnya juga diperuntukkan kepada masyarakat maka Surat Kuliling Immanuel juga membuka ting-ting atau boa-boa (berita atau “iklan”) bagi masyarakat Batak Kristen yang mau diberitakan di majalah ini dengan membayar 0,25 ringgit.96 Faktor Surat Kuliling Immanuel sangatlah penting bagi pembentukan komunitas terutama kepada orang-orang yang melek huruf, di mana sekolah dan pendidikan menjadi faktor pendukung dari imajinasi ini, namun demikian hal ini juga tidak menutup dipahami juga oleh orang-orang buta huruf, mengingat Surat Kuliling ini menjadi satu-satunya media atau pemberitahuan (ting-ting) dalam lingkungan internal masyarakat Kristen di Tanah Batak yang juga dijadikan bahan kotbah, warta ibadah, kesaksian, pengajaran, dll. dalam setiap kegiatan atau aktivitas RMG, termasuk dalam ibadah minggu. Mengenai Meerwaldt sendiri, ia menjadi sosok penting dibalik kehadiran buku-buku atau media cetak yang dikeluarkan oleh RMG di Tanah Batak. Selain Surat Kuliling Immanuel, ia juga menerbitkan buku anak-anak sekolah, seperti Bunga-Bunga Na Angur, Tolu Pulu Onom Turpuk Sidjahaon Ni Anaksikola, dsb. Ia sangat mengandalkan fungsi buku atau media cetak sebagai bentuk pengajaran dalam mengubah pemahaman masyarakat.
95
Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889. Lihat juga J.T. Nommensen, Ompu I Dr. Ingwer Ludwig Nommensen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hl. 164. Menurut J.T. Nommensen Surat Kuliling Immanuel dicetak menggunakan Hektograph oleh Jonatan, salah seorang guru. 96 Surat Kuliling Immanuel, 1 Oktober 1889.
Ompu i |121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menurut Ben Anderson, kehadiran kapitalisme cetak, seperti yang ia kutip dari Francis Bacon, telah mengubah tampilan dan keadaan dunia.97 Hal ini diyakini atas kehadiran kapitalisme cetak di dalam suatu peradaban manusia. Namun berkaitan dengan suatu komunitas maka lebih jauh Ben Anderson melihat bahwa pengaruh tersebut memungkinkan terciptanya bentuk baru komunitas terbayang,98 atau singkatnya, komunitas yang baru akan tercipta melalui kapitalisme cetak. Hal ini juga ditunjukkan dengan kehadiran Surat Kuliling Immanuel di mana kehadirannya justru memberikan imajinasi akan suatu komunitas yang baru, yakni kerajaan (harajaon) Kristen. Yang menariknya kemudian kehadiran Surat Kuliling Immanuel juga menghadirkan yang Ben Anderson definisikan sebagai ajang terciptanya pertukaran atau komunikasi, adanya kepastian baru dalam bahasa, serta adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu (aslinya). 99 Definisi ini ingin menerangkan pengaruh penting dari kapitalisme cetak sebagai suatu sarana atau alat dalam menciptakan kekuasaan atau sebagai reproduksi kekuasaan yang di dalam fungsinya sebagai literatur dapat terlihat akan adanya karya atau usaha tersebut dari subjek. Surat Kuliling Immanuel tidak hanya selembaran yang ditulis dengan tangan, tetapi isinya melahirkan suatu imajinasi yang membentuk komunitas baru. Mekanismenya adalah sebagai komunitas, masyarakat Batak tidak lagi hanya membayangkan dirinya sendiri. Hal ini tercipta dengan adanya berita-berita atau 97
Bennedict Anderson, Imagined Community: Reflections on The Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), hl. 37. 98 Ibid., 46. 99 Ibid., hl. 44-45. Walaupun Ben Anderson mengartikan istilah kapitalisme cetak ini kepada bentuk nasionalisme, namun saya melihat, nasionalisme dan internasionalisme agama dalam membentuk dan menciptakan komunitas baru yang berbeda dari komunitas tradisional.
Ompu i |122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kabar-kabar di Surat Kuliling Immanuel mengenai pekabaran Injil yang dilakukan RMG, baik yang ada di Tanah Batak maupun di luar Tanah Batak, yakni Afrika, Papua, Eropa (Jerman) dan Borneo.100 Imajinasi seperti ini akan mengkonstruk rasa ke”kita”an dalam suatu komunitas baru di bawah bendera RMG melalui pertukaran atau komunikasi yang sebelumnya dalam masyarakat Batak tradisional sendiri masih terikat dengan batasan suatu wilayah, yakni bius dan huta. Sikap bela rasa dapat lahir dari imajinasi seperti ini. Namun dari kasus ini yang pasti, jikalau melihat pemikian Ben Anderson, maka komunitas baru yang dibentuk dari lahirnya kapitalisme cetak adalah komunitas tersebut tidak lagi hanya membayangkan dirinya lagi, melainkan kepada bangsa-bangsa diluar dirinya. Selain menciptakan komunikasi dalam komunitas maka faktor penting lainnya dari kehadiran kapitalisme cetak menurut Ben Anderson adalah bahasa, baik yang menyangkut kepastian baru dalam bahasa, serta adanya bahasa kekuasaan yang berbeda dengan bahasa ibu. Hal ini menandakan bahwa bahasa bukan hanya digunakan sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat kekuasaan. Di dalam surat kuliling Immanuel sangatlah jelas terlihat bahwa bahasa digunakan untuk mereproduksi kekuasaan, bahkan bahasa tersebut juga direproduksi oleh RMG. Walaupun penggunaan bahasa dalam majalah tersebut adalah bahasa Batak-Toba101 namun hal ini tak lepas dari reproduksi yang digunakan oleh RMG. Bahasa lama diganti dengan bahasa baru; dan hal ini akan membedakan suatu komunitas baru 100
Surat Kuliling Immanuel menampilkan kisah-kisah pekabaran Injil yang tidak hanya di Tanah Batak tetapi juga di luar Tanah Batak, yakni Borneo, Namibia, Papua. Misalnya seperti di Surat Kuliling, No. 7, 1 Juli 1892, No. 8, 1 Agustus 1893, dll. 101 Bahasa Batak-Toba selalu digunakan oleh RMG dalam melakukan misinya di Tanah Batak, termasuk ke wilayah Simalungun. Walaupun daerah-daerah tersebut memiliki sedikit perbedaan bahasa namun Bahasa Batak-Toba menjadi bahasa penghubung.
Ompu i |123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari yang lama. Artinya, konstruksi ini menciptakan adanya bahasa yang baru. Di dalam Surat Kuliling Immanuel sendiri sangat tampak adanya peralihan bahasa lama ke bahasa baru ini, walaupun sama-sama menggunakan bahasa Batak-Toba. Selain diperkenalkannya aksara Latin dalam tulisan di Surat Kuliling Immanuel, maka terdapat juga pengadopsian bahasa dengan menggunakan bahasa lingua franca (Melayu) atau juga bahasa Sansekerta yang turut juga diadopsi ke dalam bahasa Melayu, walaupun pengadopsian tersebut berasal dari pihak kolonial yang sarat dengan politik kekuasaan, misalnya saja kata tuan, Tuhan, nyonya, dll.102 Meskipun demikian dalam pemakaian bahasa Melayu ini, RMG sendiri masih bersifat selektif di dalam pelaksanaannya akibat pemahaman RMG yang menganggap bahasa Melayu telah diresapi oleh agama Islam.103 Namun gelombang besar dari pemakaian bahasa Melayu menyebabkan, mau tidak mau, bahasa melayu juga diadopsi di dalam Surat Kuliling Immanuel. Peralihan inilah yang berdampak kepada masuknya pengaruh-pengaruh bangsa lain ke dalam masyarakat Batak, seturut dengan membayangkan bangsa lainnya sebagai bentuk melepaskan keterisolasiannya dalam membentuk komunitas yang baru. Selain masuknya bahasa-bahasa baru, maka di dalam penciptaan bahasa yang baru juga terlihat dalam penciptaan makna dalam bentuk penerjemahan. Dalam dunia perbincangan mengenai misiologi, bahasa sering menjadi pembahasan, terlebih ketika menyangkut masalah penerjemahan pada masa
102 Menurut Saya Sasaki Shiraishi, istilah tuan, nyonya mengakomodasikan hirarki kolonial. Pandangannya ini berdasarkan Ki Hadjar Dewantara yang melihat istilah-istilah tersebut menyiratkan status superioritas dan inferioritas. Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia Dalam Politik (Jakarta: KPG, 2001), hl. 136-137. 103 Bdk. Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit, hl. 215.
Ompu i |124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kolonialisme. Penerjemahan dipandang bukan hanya menerjemahkan setiap kata melainkan sebagai suatu strategi untuk melihat makna yang terdapat di dalam suatu kalimat, selain dari menghindari kata-kata yang terisolasi. Dalam penerjemahan maka penting untuk melihat istilah yang digunakan dalam bahasa tradisional.104 Salah satu contoh yang paling terlihat adalah penerjemahan untuk menghindari istilah yang berbau sinkretisme. Hal ini berlaku ke semua literatur, baik Alkitab, Katekismus, Kamus, dll. Hal yang sama juga dilakukan RMG dalam melakukan strategi penerjemahannya. Bentuk penerjemahannya, seperti yang dicatat oleh Uli Kozok: “…Warneck (1904) menjelaskan kebijakan bahasa yang ditetapkan oleh RMG: Bahasa sasaran (bahasa-bahasa Batak) dipandang sebagai 'musuh' yang harus diubah menjadi 'alat yang penurut'. Sebagai bagian inti Volkstum Batak, bahasa sasaran harus dilestarikan dalam “kemurnian bahasanya,” tetapi sekaligus Warneck juga menyadari bahwa bahasa sasaran itu harus dikembangkan. Dalam bahasa-bahasa Batak terdapat sejumlah kata Pinjaman dari bahasa Sanskerta yang menurutnya sesuai dengan tujuantujuan zending. Kata-kata debata (Tuhan), dosa, portibi (dunia), sorga diangkat menjadi dalam terminologi Kristen.”105
Di dalam penerjemaahan maka konstruksi bahasa yang dilakukan RMG juga memasukkan atau menciptakan makna baru dalam meluaskan penyebaran Kekristenan, serta menciptakan musuh atau kriminal di dalam penerjemahannya. Misalnya adalah mengenai istilah begu. Pada awalnya istilah ini dikenakan bagi agama tradisional Batak dalam menyebut ‘penyembah roh nenek moyang.’ Namun
104 Otto Zwartjes, “The Missionaries’ contribution to Translation Studies in The Spanish Colonial Period”, dalam Otto Zwartjes, cs. (eds.) Missionary Linguistic V: Translation Theories and Practies (Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2014), hl. 7-8. 105 Uli Kozok, “Sejarah Terjemahan di Tanah Batak” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: KPG, 2009), hl. 258.
Ompu i |125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kemudian RMG memaknainya dan membuat terjemahannya ke dalam Alkitab sebagai daimon atau roh-roh jahat (setan). Hal ini juga diakui oleh Warneck sendiri:
“Kita harus mengubah konsep itu sehingga begu tidak lagi dilihat sebagai roh-roh nenek moyang yang meminta persembahan, tetapi sebagai para pembantu Setan' Hal ini menimbulkan perlawanan yang sangat besar dalam pikiran orang Batak.'' 106
Dengan konstruksi ini maka Warneck sangatlah menginginkan pembedaan yang jelas antara Kekristenan dengan agama tradisional Batak yang dianggapnya sebagai musuh, di mana citra penyembah nenek moyang dianggap sebagai figur yang jahat (setan).
2. Misi Pengadaban Di dalam pembentukan komunitas baru, maka usaha RMG sebagai badan misi adalah dengan melaksanakan misi pengadaban. Misi ini dilakukan melalui pendidikan yang sesuai dengan pendidikan Eropa kepada masyarakat Batak. Dengan penilaian atas masyarakat Batak yang dungu atau bodoh maka pendidikan dilaksanakan sebagai bentuk pengasihan dari para Misionaris.107 Beberapa sekolah didirikan untuk mendidik masyarakat Batak; mulai dari pengetahuan umum, kesehatan, pengetahuan keagamaan, dan ketrampilan. RMG
106
Ibid., hl. 259-260. Hal ini seperti dicatat oleh Pdt. Jan S. Aritonang: “walaupun para zendeling menilai agama suku Batak itu sebagai kegelapan (finsternis) ataupun kedunguan (thorheit) dan upacaraupacaranya sebagai keberhalaan yang terkutuk, namun mereka tidak secara agresif mempersalahkan penganut agama suku itu. Bahkan mereka dipandang sebagai “orang-orang Batak yang malang”, yang layak dikasihani dan ditolong.” Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit, hl. 153. 107
Ompu i |126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berpandangan bahwa pendidikan haruslah sejalan dengan pekabaran Injil sebagai suatu misi pengadaban. Dengan pemahaman ini maka pendirian sekolah haruslah melihat jemaat yang ada, karena jemaat dengan sekolah merupakan satu kesatuan. Hal ini seperti digambarkan dalam Tata Gereja 1881 mengenai aturan pendirian sekolah:108 Pada setiap desa yang di antara penghuninya terdapat 50 keluarga Kristen, atau pada gabungan beberapa desa dengan jumlah keluarga Kristen yang serupa, maka pada desa itu harus didirikan sebuah sekolah.
Selain fungsi pendidikan kepada masyarakat Batak melalui sekolah-sekolah maka RMG juga selalu mengusahakan pengajaran kepada para raja, kaum imam (parhalado) selaku pembantu para Misionaris. Hal ini terlihat dari adanya bahanbahan pelajaran pengetahuan umum di Surat Kuliling Immanuel yang dikeluarkan oleh RMG, seperti ilmu berhitung (matematika), geografi, budaya, dsb, selain, tentunya pengetahuan tentang agama Kristen yang menyangkut etika dan teologi. Misalnya saja di Surat Kuliling Immanuel di edisi No. 2 terbit pada 1 Februari 1893 yang menampilkan pertanyaan mengenai nama-nama gunung di Eropa, atau edisi No. 5 terbit pada 1 Mei 1893 yang memuat tentang pelajaran berhitung dalam mengukur luas tanah, dsb. Proses pengadaban yang dilakukan oleh RMG memang pada awalnya didahulukan dan diperuntukkan kepada para pembantu misionaris yang dianggap dapat menyebarluaskan serta mempengaruhi masyarakat Batak sesuai dengan keinginan RMG sendiri. Namun demikian, pendidikan yang dibuat oleh zending dan pemerintah kolonial lambat laun mulai diberikan dan diterima oleh masyarakat
108
Ibid., hl. 164.
Ompu i |127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Batak pada umumnya. Bahkan, keinginan masyarakat terus bertumbuh seturut keinginannya untuk bekerja di kantor-kantor kepemerintahan dengan minta pendidikan bahasa Belanda atau Melayu yang notabene kedua bahasa tersebut digunakan di dalam pemerintahan, serta menuntut kesempatan dan penambahan fasilitas belajar. Kehadiran pengajaran-pengajaran dalam majalah tersebut menegaskan akan adanya konstruk atau usaha dalam pembentukan komunitas yang baru berdasarkan pada rasionalitas bangsa Eropa. Paling tidak, adanya bahan pengajaran-pengajaran ini ingin mengubah pemikiran, karakter atau sifat masyarakat Batak tradisional yang dianggap masih primitif dengan pemikiran, karakter atau sifat yang baru, untuk menuju komunitas atau masyarakat modern.
3. Hukum Baru dan Penciptaan Musuh Bersama Salah satu yang menandakan adanya komunitas baru adalah dengan terciptanya hukum baru sebagai suatu standar baru dalam mengatur kehidupan masyarakat. Di dalam negara-negara terjajah standar hukum juga diberlakukan pemerintahan kolonial selaku pemangku kekuasaan. RMG sebagai badan misi yang merupakan mitra dari pemerintahan kolonial Belanda dalam membentuk kerajaan Kekristenan juga memberlakukan standar hukum baru kepada masyarakat Batak mengganti hukum tradisional. Hal ini menandakan adanya kekuasaan dalam terbentuknya komunitas baru. Memang dalam metode zendingnya RMG tetap menggunakan adat dan budaya Batak, namun hal ini tidak membuat hukum
Ompu i |128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tradisional dalam masyarakat Batak lestari, melainkan dirubah dan digantikan menjadi hukum yang baru. Hal ini sesuai dengan Kotbah J.H. Meerwaldt pada Sinode tahun 1888 yang diucapkan dengan menggunakan dan mengubah umpasa Batak: 109 Tumbuh si rungguk Pada batang pohon tada-tada Berubahlah kini hukum Karena datang si putih mata (si bontar mata).
Hukum baru tersebut diciptakan sebagai bentuk bagian dari misi pengadaban berupa larangan-larangan yang diberlakukan kepada masyarakat dengan berdasarkan nilai-nilai Kekristenan. Misalnya saja, seperti yang sudah disebutkan diatas, larangan terhadap pesta bius, larangan terhadap mengikuti acaraacara adat yang diberkati oleh raja (pasu-pasu raja), palarangan terhadap kelompok Parbaringin, dll. Bahkan mengenai hukum baru tersebut, berpengaruh hingga kepada praktek-praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat Batak, misalnya menyangkut pernikahan, permusuhan, dll, yang kemudian menjadi tata tertib pelaksanaan adat Batak, dan dituliskan oleh Raja Jacob Lumbantobing berjudul Patik dohot Uhum ni Halak Batak. Buku ini kemudian diterbitkan pada tahun 1899 oleh American Mission Press di Singapura.110 Bagi RMG, hukum baru yang diberlakukan di dalam masyarakat Batak ingin mengganti keyakinan masyarakat Batak tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Batak sendiri dengan nilai-nilai Kekristenan: suatu
109
Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 54.
110
Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Patik Dohot Uhum Ni Halak Batak (Medan: Universitas HKBP Nommensen, 1987), hl. iii.
Ompu i |129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
komunitas baru yang modern dan dikultuskan. Hal ini dapat terlaksana dan menjadi pengetahuan dalam suatu komunitas bilamana dalam wacana publik selalu membawa atau menyangkutpautkan dengan komunitas itu sendiri, misalnya mengenai adanya berita-berita, laporan cerita (storytelling), lagu, dsb. tentang komunitas tersebut.111 RMG di dalam Surat Kuliling Immanuel juga memberlakukan hal yang sama dengan membawa masyarakat Batak tertentu dalam cerita-cerita yang dikonstruk. Misalnya saja cerita mengenai masyarakat desa Bungabondar yang terjadi pada tahun 1868 yang sebelum menerima Injil maka desa tersebut selalu mendapatkan malapetaka, sehingga menyebabkan banyak masyarakat menjadi Kristen ketika Misionaris, Betz mengabarkan Injil ke tempat tersebut.112 Pendekatan-pendekatan semacam ini ingin mengkonstruk dan menyentuh masyarakat Bungabondar ke dalam wilayah pengalaman (experience) masyarakat ketika masyarakat Batak secara umum dan Bungabondar secara khusus mengalami krisis akibat perang Paderi. Bukan hanya masyarakat Bungabondar tetapi juga masyarakat di desa lainnya, misalnya Parausorat, Hutadame, dsb. Namun demikian penciptaan dan penegakan akan hukum yang baru berarti memayungi dan memagari komunitas yang baru, sedangkan untuk komunitas yang masih memegang prinsip-prinsip yang tradisional dianggap berada diluar dari komunitas mereka atau berada diluar hukum mereka. Hal inilah yang kemudian dalam berita atau tulisan, Surat Kuliling Immanuel, penciptaan akan musuh
111 Teun A. van Dijk, “Contextual Knowledge Management In Discourse Production: A CDA Perspective,” dalam Ruth Wodak & Paul Chilton (eds.) A New Agenda in (Critical) Discourse Analysis (Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 2005), hl. 73. 112 Surat Kuliling Immanuel, No.4, 1 April 1892.
Ompu i |130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bersama menjadi penting dan mendapatkan tempatnya. Melalui sebuah kepastian bahasa maka akan tercipta bahasa yang tidak lagi membiaskan, melainkan sebuah konstruksi dalam bentuk citra negatif; yang menakutkan, yang mengganggu, kekerasan, dsb, kepada sosok yang dianggap musuh. RMG dalam Surat Kuliling Immanuel menghadirkan 2 musuh bagi kerajaan Kristen, yakni: pertama, Islam, atau yang dalam bahasa Batak dikatakan sebagai Silom. Kelompok Islam yang dimaksud adalah orang-orang melayu di awal-awal permulaan penginjilan dan orang Aceh pada permulaan penginjilan ke wilayah Toba. Keduanya dianggap sama yakni menghambat masuknya pekabaran Injil di Tanah Batak. Untuk urusan ini, para Misionaris sangat menjaga agar Islam tidak masuk ke masyarakat Batak.113 Bahkan segala cara dilakukan untuk melakukan proteksi tersebut, yakni dengan mengandalkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda atau dengan pelarangan terhadap orang Kristen untuk tidak ikut serta pestapesta atau perayaan parbegu atau Islam.114 Citra Islam yang dibangun oleh RMG kepada masyarakat Batak Toba pada waktu itu adalah agama yang mengganggu masuknya Kekristenan; atau dengan kata lain menghambat kemajuan yang diberikan bangsa Eropa kepada masyarakat Batak Toba tradisional. Beberapa gambaranya adalah: “…djadi lan ma dipambahen halak silomi paaloalo hata ni Debata. Alai atik pe songoni sai ma hot do baga-baga ni Debata na mandok ndang na mulak bohi anggo hatana, manang di diape didjamitahon. Songoni ma dohot di Prausorat.” (jadi Muslim itu semakin melawan firman Tuhan, tetapi walaupun demikian anugrah Tuhan yang
113 114
Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 82. Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 53.
Ompu i |131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berkata tidak akan pernah mempalingkan wajahNya selalu setia dan hadir dimanapun firman itu dikotbahkan. Inilah yang terjadi di Prausorat) 115
Selain itu, Islam juga digambarkan sebagai agama penipu. Citra ini dibangun sebagai suatu kesaksian dari raja-raja yang meninggalkan agama Islam di wilayah Sipirok. “songon na monang ma djolo hasilomon idaon, ai ido diihuthon angka radja dohot angka na sangap ro di lan halak na torop , alai ndang manongtong hamonangannai, tibu ma tanda ugamo pangansi…” (pada awalnya agama Islam dapat memenangi pengaruhnya terhadap para raja dan beberapa orang yang berpengaruh sehingga diikuti oleh banyak orang, tetapi kemenangannya itu tidaklah abadi, lambat laun muncullah pandangan sebagai agama pembohong..)116
Kedua gambaran tersebut sengaja digunakan di dalam konteks di mana Islam semakin menyebar di wilayah Tapanuli Selatan. Beberapa desa telah memeluk agama Islam akibat perang Paderi dan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, meskipun beberapa desa masih ada yang memeluk agama suku, misalnya di Sipirok, Bungabondar, Prausorat, dll. Bahkan penyebaran ini hingga ke wilayahwilayah yang memiliki keuntungan ekonomis, misalnya wilayah pesisir, tempattempat pemerintahan, dsb, sehingga membuat citra Islam dianggap sebagai pintu dari hamajuon (modernisasi) dan kesejahteraan. Beberapa masyarakat Batak yang masih memeluk agama suku juga meyakini kemajuan yang diberikan dengan mengikuti Islam. Dengan perkembangan inilah, maka RMG berusaha mengkonstruk pemahaman masyarakat Batak mengenai Islam dengan wacana-wacana yang menyudutkan. J.H. Meerwaldt sebagai penulis Surat Kuliling Immanuel tampaknya paham mengenai masalah yang dihadapi RMG sendiri dengan berangkat dari kisah115 116
Surat Kuliling Immanuel, No. 7, 1 Juli 1892. Surat Kuliling Immanuel, No. 3, 1 Maret 1892.
Ompu i |132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kisah lokal, yakni di daerah Prausorat dan Sipirok, tempat di mana Islam sendiri berkembang, yang justru dianggap oleh RMG sendiri telah gagal dalam membawa keinginan masyarakat Batak kepada hamajuon yang sesuai dengan hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat). Pengangkatan kisah ini bukan hanya merubah pandangan masyarakat Batak terhadap agama Islam, tetapi juga memproteksi masyarakat Batak sebagai komunitas baru terhadap Islamisasi yang berkembang seturut masuknya pemerintahan kolonial ke wilayah Toba, di mana pada tahun 1892, tahun di mana tulisan di Surat Kuliling ini telah terbit, pemerintahan kolonial telah menguasai wilayah pedalaman Tanah Batak pasca Perang Toba pertama. Sasarannya adalah para raja yang dianggap menjadi garda terdepan dalam menjaga masyarakat akan masuknya Islam di Tanah Batak, sehingga dalam beberapa hal keteguhan iman raja selalu diutamakan oleh RMG. Kisah di Sipirok di atas adalah salah satu contoh dari banyaknya usaha RMG dalam mendidik para raja dengan memberikan pandangan akan sikap raja yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Bahkan di satu sisi dalam Surat Kuliling Immanuel, RMG juga menampilkan sosok ideal akan ketokohan sang raja dengan menampilkan sosok Raja Pontas Lumbantobing yang selalu menjadi teladan kepada komunitasnya, serta mendukung usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dengan membuka jalan bagi masuknya Kekristenan.117
117
Lih. Surat Kuliling Immanuel No. 11, November 1893.
Ompu i |133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kisah Raja Pontas ini juga menegaskan akan sikap raja yang memperbolehkan masuknya pendidikan dengan memberikan jalan kepada para imam untuk mengajar dan mendidik anak-anak seperti dalam kisah yang selalu di angkat oleh J.H. Meerwaldt, yakni Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat (Keledai yang tidak bisa membaca) di buku Boengaboenga Na Angoer.118 Kedua, penciptaan musuh juga dikenakan bagi pengikut agama tradisional Batak yang sering dikatakan sebagai agama sipelebegu (agama roh) oleh RMG, meliputi: kelompok Parbaringin, para pengikutnya dan Raja Singamangaraja XII. Citra yang dibangun oleh RMG tentang agama ini adalah agama pembohong. Tokoh-tokoh seperti J. Warneck sangat tegas menyatakan bahwa agama ini mengajarkan kebohongan, termasuk dalam hal ini kelompok Parbaringin yang menjadi musuh Kekristenan yang pandai berbohong.119 Dalam Surat Kuliling Immanuel, hal ini juga sering diungkapkan. “Djala sai di dok angka begui ingkon malum sahitna, hape mate do. Djadi tangkas ma diida saluhut halak, na margabus do begu i sude.”(Sangat sering dikatakan oleh orang-orang begu (datu) bahwa penyakit orang tersebut pasti sembuh, tapi yang terjadi justru kematian. Jadi jelaslah terlihat oleh semua orang bahwa semua begu itu adalah pembohong.)120
Pandangan seperti ini sering diutarakan oleh RMG sebagai upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat Batak mau menerima ilmu pengetahuan dan mengijinkan
J.H. Meerwaldt, “Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat” dalam J.H. Meerwaldt (ed.) Boengaboenga Na Angoer jilid II: Boekoe Sidjahaon ni Anak Sikola Metmet angka na di Rongkanan Pargindjang (Lagoeboti: Pangarongkoman Mission, 1919), hl. 11-13. 119 Joh. Warneck, Op.Cit., hl. 145. Para datu sering menyangkal atas tuduhan para misionaris yang mengatakan pembohong dan sering mengambil keuntungan sendiri. Bdk. Pdt. Dr. Andar M. Lumbantobing, Op. Cit., hl. 38. 120 Surat Kuliling Immanuel, No. 2, 1 Februari 1892. 118
Ompu i |134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masuknya para misionaris dalam proses misi pengadaban, serta meninggalkan pemahaman yang selama ini dikuasai atau dikonstruk oleh kelompok Parbaringin. Konstruk yang dilakukan RMG ini bersifat menyeluruh di segala unsur-unsur atau aspek-aspek dari agama tradisional masyarakat Batak; baik yang menyangkut ilmu pengobatan hingga kepada teologi yang dikembangkan oleh agama suku tradisional tersebut. Selain kelompok Parbaringin, maka citra Raja Singamangaraja juga terkena dampak dari konstruk yang dilakukan oleh RMG. Sikap kekerasan dan pencuri hadir dalam citra Singamangaraja dan pengikutnya. Dalam cerita itu dikatakan bahwa Raja Singamanagaraja XII tidak senang atas yang terjadi pada 1878, yang dalam hal ini menunjuk kepada Perang Toba pertama. Citra ini justru terbalik dari sikap Singamangaraja yang selama ini dikenal toleran, pendamai, dsb. (lih. Bab II) “…ai tongon do udju di Sipoholon tuan Kessel nangkok ma Si Singamangaraja sian Bangkara tu Lintong ni huta rap dohot torop halak dungi dihaliangi ma bagasi dibahen ma gogo mangungkap, dungi diboan ma angka ugasan tu onan, diribahi ma angka buku, disegai ma angka poti dohot poti marende mangalului ringgit , dungi disurbu ma bagasi….”(..persis ketika Tuan Kessel berada di Sipoholon, maka datanglah Si Singamangaraja beserta pengikutnya dari Bangkara ke Lintong ni huta yang kemudian langsung mengelilingi rumah itu dan dibuka kuat, setelah itu diangkatlah harta benda ke pasar, dirubuhkanlah buku-buku, dihancurkan peti-peti dan peti nyanyian untuk mencari ringgit (mata uang). Setelah itu diserbulah rumah itu…) 121
Selain kisah tersebut masih ada lagi kisah lainnya yang dikonstruk RMG dalam mencitrakan Raja Singamangaraja XII, misalnya rencana pembunuhan yang ingin dilakukan oleh Raja Singamangaraja XII kepada semua pendeta di Bahal Batu dan Silindung (Immanuel No. 1 , 1 Januari1891), rencana pasukan Aceh bersama Raja Singamangaraja XII untuk melawan pemerintahan kolonial (Immanuel No. 8
121
Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1891.
Ompu i |135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1 Agustus 1894), dsb. Raja Singamangaraja XII diyakini oleh kelompok Parbaringin dan masyarakat Batak tradisional sebaga titisan Tuhan. Bersama dengan kelompok Parbaringin, Raja Singamangaraja XII menjadi gerakan yang menentang (resistensi) masuknya pemerintahan kolonial Belanda dan RMG sendiri. Dengan menghilangkan kekuasaan Raja Singamangaraja XII berarti menghilangkan kesatuan masyarakat Batak tradisional yang selama ini diikat dengan sistem harajaon (kerajaan). Para misionaris terutama, Nommensen, beberapa kali bersinggungan dengan Raja Singamangaraja dan sangat mengharapkan agar Raja Singamangaraja XII mau tunduk terhadap pemerintahan kolonial dan menjadi Kristen, meskipun Raja Singamangaraja XII sendiri bersikeras terhadap permintaan Nommensen. Konstruk atas citra Raja Singamangaraja XII yang digambarkan dalam Surat Kuliling Immanuel ini merupakan salah satu dari upaya yang dilakukan oleh RMG untuk mengecilkan pengaruh Raja Singamangaraja XII dengan anggapan bahwa berakhirnya sistem dinasti dalam bentuk kerajaan Singamangaraja, maka nilai-nilai religiusitas yang mengikat secara kesatuan wilayah di Tanah Batak selama ini semakin memudar, termasuk dalam kesatuan kelompok Parbaringin. Atas usaha dalam menciptakan figur kriminal maka RMG menunjukkan kekuasaannya dengan membentuk hukum kerajaan Kekristenan sebagai suatu legalitas atas kehidupan bermasyarakat. Di luar dari hukum tersebut adalah figur kriminal atau sesat, terlebih bagi kelompok Parbaringin dan Raja Singamangaraja XII yang dianggap sangat menghambat perluasan Kekristenan mengingat mereka
Ompu i |136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah berasal dari Tanah Batak sendiri. Bahkan kabar yang beredar di masyarakat pada waktu itu sampai menyebutkan bahwa Raja Singamangaraja telah menjadi Muslim dan akan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.122 Kedua penciptaan musuh ini memberikan pengaruh terhadap kesatuan pengikut. Namun bagi orang-orang yang dianggap kriminal menjadi seperti apa yang dikatakan Vicente Rafael sebagai: “embodiement of popular fantasies about justice;”123 suatu perwujudan atas keadilan yang tidak tercapai. 4. Mempahlawankan Nommensen: Konstruk atas Ompu i Nommensen Dalam sebuah komunitas yang berbasis kerajaan maka pemimpin menjadi faktor penting dalam menggambarkan identitas komunitas tersebut. Misi penginjilan yang dilakukan oleh RMG dalam membangun komunitas kerajaan Kristen ditandai dengan adanya kekuasaan dalam meninggikan supremasi Bangsa Eropa. Hal ini dipertegas dengan munculnya Nommensen sebagai pemimpin masyarakat Batak. Pasca meninggalnya Raja Singamangaraja XII maka kepemimpinan di dalam masyarakat di isi dalam bentuk yang lain; melalui Kerajaan Kristen maka Nommensen mengisi kekuasaan tersebut. Sebelumnya, ia juga telah memimpin para raja bius, namun wilayahnya masih meliputi Silindung dan sekitarnya. Pasca kematian Singamangaraja XII maka semakin banyaklah raja-raja yang ikut kepadanya. Ia pun mengambil peran yang dilakukan oleh Singamangaraja XII. Misalnya mendamaikan konflik antar huta, horja maupun bius, mengatur
122 Maraknya berita ini seperti dituliskan Meerwaldt dalam majalah Rijnsche Zending. Lih. Mohammad Said, Singa Mangaradja XII (Medan: Waspada, 1961), hl. 28-29. 123 Vicente L. Rafael, “Introduction: Criminality and Its Others” dalam Vicente L. Rafael (ed.) Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and Colonial Vietnam (Ithaca: Cornell University: 1999), hl. 15.
Ompu i |137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tatanan onan (pekan atau pasar)124, atau bernegosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda dalam perlindungan warga sipil. Hal ini menandakan bahwa ia menjadi “penyambung lidah rakyat” yang dianggap membela adat dan budaya bagi komunitas Batak dari penghilangan budaya yang sempat didengungkan RMG, serta membela kesejahteraan masyarakat Batak dari pemerintah kolonial dan bangsabangsa sekitar. Peran besar Nommensen ini mengindikasikan posisi dan kedudukan Nommensen di tengah-tengah masyarakat Batak yang terus berlanjut pasca Nommensen. Misalnya, salah satu yang tercatat adalah, perdamaian atau pemulihan kerukunan di Sipahutar sesama marga Silitonga. Kisah ini di tulis di dalam majalah Suara Batak pada 12 dan 19 Juli 1930 ketika Misionaris RMG masih menginjili di Tanah Batak. Dalam kisahnya memperlihatkan suatu struktur sosial masyarakat Batak yang sudah memiliki pembagian yang jelas antara sekuler dan rohani, namun masih memerlukan Ephorus sebagai suatu juru damai atau saksi perdamaian sebagai sesuatu yang tidak dimiliki di dalam masalah sekuler.125 Dengan catatan ini maka usaha-usaha yang dilakukan Nommmensen telah meninggalkan jejak dari fungsi jabatan Ephorus. Kebutuhan ini hampir sama dan dapat dilihat dari suatu tradisi adat dan budaya, di mana dalam Suhi ampang Na Opat, bayangan atas
124
Kebijakan dalam mengatur jadwal onan (pasar) juga dilakukan oleh Nommensen dan beberapa misionaris yang melibatkan raja-raja bius sebagai penguasa wilayah, sehingga tidak ada hari onan yang sama di setiap daerah dan juga tidak ada hari onan pada hari minggu. Hal ini seperti diutarakan oleh Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing. Lih. http://hkbp.or.id/2017/02/25/dulunya-missionaris-bersama-dengan-bius-dan-raja-berkumpuluntuk-menentukan-hari-onan/. Diakses pada 27 Februari 2017. Bahkan menurut Castles kebijakan Onan ini telah dilakukan oleh para Misionaris sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda ke Tanah Batak. Lih hl. Lance Castles, Op. Cit., hl. 23. 125 Majalah Suara Batak 12 dan 19 Juli 1930 dalam J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986), hl. 613.
Ompu i |138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kedudukan Singamangaraja dipandang sebagai sesuatu yang religius yang menyatukan bius-bius yang ada. Walaupun secara struktural Nommensen dapat dikatakan memiliki kebijakan atas bius-bius, namun kekuasaannya tak lepas dari konstruk yang dibangun oleh RMG sendiri. Wacana-wacana yang dihadirkan di dalam Surat Kuliling Immanuel justru berusaha menciptakan Nommensen yang lebih memiliki kuasa kesaktian dibandingkan Raja Singamangaraja XII. Hal ini terlihat dalam sebuah kisah di Surat Kuliling Immanuel yang mengangkat kisah di Silindung pada tahun 1866. Dalam cerita tersebut ketika Raja Singamangaraja XII beserta pasukannya telah datang untuk membunuh para pendeta (Nommensen dan beberapa misionaris) dan umatnya, maka seketika itu datanglah wabah penyakit cacar karena Tuhan tidak berkenan kepada mereka. Semua orang ditempat itu terkena cacar, dan pembunuhan itu tidak terjadi. Orangorang Kristen yang juga ikut terkena cacar maka seketika itu juga langsung sembuh setelah memakan obat yang diberikan oleh Nommensen.126 Dalam kisah ini tergambarkan citra Nommensen yang bukan hanya dilindungi oleh kuasa Tuhan melainkan ia menjadi penyelamat bagi pengikutnya. Sama halnya dengan kisah ketika Nommensen mendapat pencobaan pembunuhan yang dilakukan oleh para penganut agama tradisional (Sipelebegu) pada peristiwa acara persembahan kurban (agama tradisional) di Siatas Barita. Ketika Nommensen hendak dibunuh maka datanglah hujan lebat yang
126
Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1890.
Ompu i |139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membatalkan niat mereka.127 Kisah ini sering diangkat sebagai suatu kesaktian Nommensen dalam menghadapi para pemeluk agama tradisional. Sebagaimana yang dikatakan oleh para Misionaris bahwa Nommensenlah yang paling sering mendapatkan tantangan dari pemeluk agama tradisional. Dari kisah-kisah tersebut Nommensen dicitrakan dalam bentuk memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari kelompok Parbaringin (datu, malim, dsb), bahkan termasuk Raja Singamangaraja sebagai titisan Tuhan. Pengangkatan kisah ini menandakan konstruk yang dilakukan oleh para Misionaris berusaha meyakinkan masyarakat Batak kepada kekuatan (kesaktian) Nommensen yang lebih tinggi dari pada agama tradisional Batak - sebagai sesuatu yang tidak dimiliki agama tradisional. Memang dari beberapa misionaris yang diutus oleh RMG, Nommensen memang menjadi yang terdepan di dalam penginjilan di Tanah Batak. Ia menjadi yang paling memahami kebutuhan dan adat dan budaya masyarakat Batak, sehingga membuat para misionaris selalu bertanya dan mempercayakan tentang rancanarencana RMG dalam melaksanakan misinya kepadanya, termasuk dalam hal ini mengenai penyusunan tata gereja. Dari seluruh misionaris RMG, ia pun yang paling lama tinggal di Tanah Batak selama 57 tahun dengan memilih untuk menetap di Tanah Batak di saat banyak para misionaris yang justru pulang ke tanah airnya. Ia pun meninggal pada usia 84 tahun dan dikuburkan di Sigumpar. Melihat sepak terjang Nommensen, maka para misionaris pun selalu mengedepankan
127
Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1890.
Ompu i |140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nommensen, termasuk dalam mengangkat citra Nommensen. Puncaknya, ia pun dipilih dan diangkat menjadi ”Overseer” (pengawas) atau pimpinan tertinggi misi di Tanah Batak pada tahun 1881. Jabatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari Ephorus. Konstruksi akan kekuasaan Nommensen semakin berpengaruh ketika keluarnya buku berjudul Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen oleh anak kandung Nommensen, J.T. Nommensen pada tahun 1920an dalam bahasa Batak yang kemudian diterjemahkan dengan judul yang sama dalam bahasa Indonesia pada tahun 1970. Paling tidak menurut Jan Aritonang buku ini menjadi awal legendarisasi atas diri Nommensen.128 Namun menurut saya, buku ini semacam menjadi kanonisasi atas sikap dan sifat kepemimpinan Ompu i, di mana kisah-kisah Nommensen yang ditampilkan dalam buku biografi tersebut - perjuangan dan pengorbanannya - dibayangkan sebagai sosok pemimpin yang mampu membawa keluar bangsa Batak dari keterisolasiannya, yakni Ompu i.
D.
Kesimpulan Penginjilan yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 bersamaan dengan
munculnya kolonialisme dan rasisme di Eropa. Mereka menganggap bahwa rasionalisme yang ada di dalam nilai-nilai Kekristenan pada waktu itu, tidak bisa dipungkiri, dipandang sebagai yang membawa kemajuan bagi bangsa Eropa. Dengan latar belakang inilah maka reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh
128
Historia, Nomor 27 Tahun III 2016, hl. 63.
Ompu i |141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bangsa Eropa merupakan satu kesatuan dengan usaha penginjilan. Tujuannya adalah supremasi bangsa Eropa ditegakkan. RMG sebagai badan zending yang berasal dari Jerman juga melakukan reproduksi kekuasaan atas adat dan budaya yang dianggap primitif. Melalui strategi dan tekhnik maka reproduksi itu terjadi. Mereka mereproduksi sistem struktur masyarakat Batak yang berdasar pada adat dan budaya tradisional, yakni kerajaan tradisional di mana Raja Singamangaraja tampil sebagai penguasa direproduksi menjadi Kerajaan Kristen. Nilai-nilai yang dianggap primitif dihilangkan dengan membangun nilai-nilai modern (rasionalitas). Namun demikian RMG tidaklah tampil sendirian. Pemerintah kolonial Belanda ikut membantu dalam terciptanya reproduksi kekuasaan tersebut. Aksi militer berupa kekerasan, pembakaran kampung-kampung dan penaklukan raja-raja yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah wujud dari campur tangan pemerintah kolonial kepada RMG. Aksi militer tersebut dipandang sebagai bentuk pengadaban yang memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik pemerintah kolonial maupun RMG. Hasilnya adalah Kekristenan menyebar dengan pesat di Tanah Batak, dan Nommensen mendapatkan kekuasaan yang sama dengan Singamangaraja.
Ompu i |142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV ANALISA WACANA: ATURAN DAN PRAKTIK KEPEMIMPINAN OMPU I
Setelah memaparkan dan menjelaskan reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh RMG dan pemerintahan kolonial Belanda maka dalam bab ini, saya akan menganalisa wacana kuasa kepemimpinan Ephorus HKBP melalui gelar Ompu i sebagai objek pengetahuan. Dalam analisa wacana ini, maka dengan studi genealogi akan memberikan sumbangan dalam melihat tentang adanya konstruk sejarah atau paling tidak menemukan masalah-masalah akan adanya rezim (baca: dominasi) politik dan sosial. Michel Foucault dalam pendekatannya atas analisa wacana lebih memfokuskan kepada wacana-wacana sosial dalam bentuk kemanusiaan dan juga kekuasaan. Masalah-masalah ketimpangan sosial, penindasan atau apapun itu yang menjadi masalah sosial masuk dalam perhatiannya, sehingga dapat dikatakan bahwa Foucault mendasari gagasannya mengenai wacana dalam melihat hubungan pengetahuan, kekuasaan dan kebenaran. Namun dalam pendekatannya terhadap genealogi maka wacana yang sering digunakannya adalah dilihat dalam bentuk aturan-aturan dan praktik-praktik yang menimbulkan masalah-masalah di dalam sosial dalam periode sejarah tertentu, atau dengan kata lain setiap periode sejarah memunculkan struktur pemaknaan tersendiri. Dan setiap aturan-aturan dan praktik-
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
praktik dibentuk oleh kombinasi dari unsur-unsur diskursif dan non-diskursif (mis. material atau tubuh).1 Dengan prinsip ini maka wacana diatur oleh aturan-aturan pembentukan, atau bukan berasal dari klaim sepihak yang dilakukan subjek, atas identitas sosial yang tersebar. Jadi dapat dikatakan perolehan identitas sosial merupakan kepatuhan pada praktek wacana. Hal ini menjadi penting dalam studi ini, mengingat reaksi pengikut terhadap pemimpinnya tidak dapat disisihkan begitu saja, melainkan sebagai suatu tanda atas konstruksi yang dilakukan RMG sebagai pelaku (subjek), atau bukan berdasarkan pada klaim sepihak RMG (subjek yang berbicara). Hal ini menjadi penting dan perlu mendapat sorotan mengingat pandangan Ds. K. Sitompul, seorang pendeta HKBP, yang menyatakan munculnya wacana Ompu i Nommensen sebagai klaim sepihak dalam bentuk kesengajaan yang dilakukan oleh para misionaris RMG untuk mempengaruhi agar tidak mengikuti Singamangaraja XII.2 Istilah “kesengajaan” disini perlu mendapatkan penekanan dengan menghubungkannya sebagai suatu konstruk kekuasaan, atau bukan dalam arti sebagai subjek yang berbicara. Dalam bab ini maka saya akan menganalisa data-data yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya, di mana pembahasan tersebut hanya berupa pemaparan. Bentuk penguraian yang saya lakukan akan melihat subjek-subjek yang terkait dalam bentuk aturan-aturan dan praktik-praktik, sehingga bentuk kontestasi dan pembentukan kekuasaan akan terlihat. Paling tidak keempat pembentukan wacana
Lih. Gavin Kendall & Gary Wickham, Using Foucault’s Methods (London: Sage Publications, 1999), hl. 38-39. 2 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl. 431. 1
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seperti yang diutarakan Fairclough, yakni the formation of objects, the formation of enunciative modalities, the formation of concepts dan the formation of strategies, terkandung di dalamnya dan menegaskan pembentukan pengetahuan.3 Dalam analisa wacana ini maka saya akan membagi menjadi 2 bagian, yakni pertama, mengkaji atau menganalisa untuk melihat pengetahuan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen dari data-data yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya, dan kedua, melihat praktik wacana atas konstruk RMG atas keterlibatannya terhadap pihak pemerintah kolonial Belanda sebagai suatu rezim yang meninggalkan suatu sejarah “kelam” pada Perang Toba I (1878). Namun sebelumnya mengenai data-data yang telah dipaparkan, akan terlebih dahulu diidentifikasi dan dianalisa untuk memberikan gambaran pengetahuan dalam pembentukan wacana tersebut.
A.
Identifikasi Arsip Dari kedua arsip tersebut, yakni BRMG dan Surat Kuliling Immanuel, maka
kedua arsip tersebut sangatlah berbeda dari isi, subjek, tujuan dan konsumennya. Namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, keduanya memiliki kesamaan dalam membahas mengenai isu-isu pekabaran Injil yang dilakukan RMG di Tanah Batak. Berikut ini adalah identifikasi atas kedua arsip tersebut:
3
Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hl.
40-48.
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BRMG merupakan laporan pekerjaan para Misionaris di Tanah Batak. Biasanya laporan ini dituliskan oleh para Misionaris minimal sebulan sekali dengan menggunakan tulisan tangan yang ditujukan kepada Kantor Pusat RMG di Barmen, Jerman yang kemudian dikumpulkan dan dibukukan menjadi BRMG. Hal ini terbukti dari Laporan BRMG yang diterbitkan setahun sekali dengan memuat di setiap edisi perbulannya. Setiap wilayah zending haruslah memberikan laporan kepada Kantor Pusat RMG, baik di Tanah Batak sendiri, Namibia, Tanzania, dll. Untuk wilayah zending di Tanah Batak sendiri, Nommensen dan beberapa misionaris tercatat pernah menulis dalam laporan ini. Karena arsip ini bersifat laporan maka tujuan laporan tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan badan zending RMG; tidak untuk kepentingan para pendeta Batak ataupun masyarakat Batak. Mengenai isinya, maka BRMG adalah laporan dari aktivitas RMG, seperti usaha-usaha atau pencapaian yang telah dilakukan oleh para misionaris, tantangantantangan dalam pekabaran Injil, dsb. Arsip BRMG yang saya gunakan dalam studi ini adalah laporan atas peristiwa Perang Toba I (pertama) yang ditulis oleh Nommensen, karena ikut bersama para tentara pemerintah kolonial dalam ekspansi ke wilayah Toba.4 Arsip kedua yang saya gunakan adalah Surat Kuliling Immanuel. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa Surat Kuliling Immanuel ini dibuat oleh Misionaris, Jacobus H. Meerwaldt yang diperuntukkan kepada para Pendeta Batak dan Guru-Guru di Sekolah Tinggi, serta masyarakat yang melek huruf maka
4 Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba (Jakarta: Obor, 2010), hl. 133-153.
146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat dikatakan bahwa majalah ini difungsikan untuk membentuk suatu opini umum dan memberikan pengetahuan yang berpengaruh kepada masyarakat sebagai konstruk dalam membentuk komunitas baru yang berdasarkan kepada nilai-nilai modernitas, di mana nilai-nilai di dalam Kekristenan menjadi basis dalam penilaian tersebut. Rachman Tua Munthe dalam bukunya Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial – Politik di Indonesia Periode 1890-1965 (2011) juga mengkaji mengenai Surat Kuliling Immanuel, meskipun periode mengenai hubungan antara Misionaris RMG dengan Raja Singamangaraja XII tidak terlalu banyak dibahas. Munthe dalam bukunya dapat dikatakan telah melihat Surat Kuliling Immanuel ini dalam menciptakan opini umum kepada masyarakat Batak pada periode tersebut,5 namun demikian saya melihat bahwa Munthe tidak menempatkan dan melihat media ini sebagai suatu konstruk dalam membangun komunitas, yakni Kerajaan Kekristenan (baca: pengetahuan), di mana pengaruh media terhadap masyarakat dalam pembentukan komunitas, misal pembentukan pengetahuan dalam konstruk kekuasaan, tidaklah dibahas. Maka dari itu sebagai suatu subjek pelaku, dalam hal ini RMG, maka media atau Surat Kuliling Immanuel ini mendapatkan sorotan penting dalam suatu usaha konstruksi atas apa yang dilakukan RMG terhadap masyarakat Batak. Kedua arsip ini sangatlah berbeda secara fungsi dan tujuan. Walaupun isi kedua arsip tersebut membahas mengenai tema yang sama, yakni pekabaran Injil namun bukan berarti bahwa keduanya menampilkan hal yang sama. Ada proses
5 Lih. Rachman Tua Munthe, Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial – Politik di Indonesia Periode 1890-1965 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hl. 12-20.
147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seleksi dan perbedaan sudut pandang dalam tampilan kedua arsip tersebut, sehingga isu-isu yang diangkat ditampilkan secara berbeda. BRMG yang berisi laporan memuat data secara terbuka dan transparan demi kepentingan badan zending RMG secara umum. Sedangkan Surat Kuliling Immanuel lebih mengedepankan isu-isu untuk kepentingan komunitas Kristen Batak, sehingga pemilahan atau penyaringan data-data lebih kepada kebutuhan komunitas tersebut. Misalnya saja yang menyangkut topik Perang Toba I bahwa dalam Surat Kuliling Immanuel peristiwa mengenai perang tersebut tidak ditulis secara mendalam, bahkan keterlibatan dan keikutsertaan Nommensen dalam perang tersebut tidaklah diberitahukan secara mendetil. Peristiwa-peristiwa peperangan hanya diberitakan dalam pandangan yang mengarah kepada Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai pelaku. Misalnya dalam Surat Kuliling Immanuel No. 6, 16 Juni 1906 yang diberitakan bahwa kompeni telah menaklukkan Girsang dan Sipanganbolon.6 Tampaknya dalam hal ini, Meerwaldt sangatlah menjaga akan kewibawaan para Misionaris. Kedua arsip ini dapat saling melengkapi dalam melihat konstruk yang dilakukan RMG dalam mereproduksi kekuasaan. Keduanya merepresentasikan RMG sebagai suatu penguasa dalam menciptakan kekuasaan di tengah-tengah masyarakat Batak; yang tak dapat dipungkiri hal ini menjadi cita-cita kolonialisme bangsa Eropa dalam menciptakan bangsa yang tunduk kepada Eropa (Eropasentris). Di satu sisi dengan BRMG maka akan terlihat adanya rezim kekuasaan dalam pelaksanaan pekabaran Injil di Tanah Batak di mana keterlibatan RMG dengan
6
Lih. Rachman Tua Munthe, Op. Cit., hl. 33.
148
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pemerintahan Kolonial Belanda dalam penggunaan kekuatan militer terlihat jelas, seperti yang juga dipaparkan dalam Buku Uli Kozok, Utusan Damai dalam Kemelut Perang. Sedangkan di sisi lain dengan Surat Kuliling Immanuel maka akan terlihat konstruk yang lebih luas atas upaya RMG dalam membentuk opini umum, mengkonstruk pengetahuan atau membentuk pemahaman dalam membangun sebuah komunitas baru dengan wajah pemimpin yang baru (baca: ompu i). Hal ini menandakan akan adanya hubungan antara bentuk kekuasaan di dalam teks (baca: Surat Kuliling Immanuel) tersebut dengan Meerwaldt sendiri sebagai penulis dalam suatu praktik diskursif pada analisa wacana. Maka dari itu sebagai data primer, Surat Kuliling Immanuel menjadi analisa saya untuk melihat pengetahuan wacana Ompu i Nommensen melalui aturan-aturan dan praktik-praktik. BRMG
SURAT KULILING IMMANUEL
Penulis Konsumen
Para Misionaris Kantor Pusat RMG
J.H. Meerwaldt Pendeta Batak, Guru-guru, dan Masyarakat Batak Kristen melek huruf
Isi
Laporan atas Pekabaran Injil
Pembahasan Alkitab
di Tanah Batak
Pengetahuan Umum (Matematika, budaya dan bahasa, dll.) Isu-isu Pekabaran Injil RMG di Tanah Batak, Afrika (Tanzania, Namibia,dll), Borneo, dll.
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tahun Terbit
Awal Mula Pekabaran Injil
1890
1861
Jenis
B.
Laporan
Majalah
Pengetahuan dalam Wacana Kepemimpinan Ompu i Pengetahuan menurut Foucault akan menentukan bagaimana wacana itu
beroperasi. Melalui aturan-aturan maka pengetahuan menciptakan pola perilaku, rasa, dll. Ada batasan-batasan yang muncul dalam pengetahuan membuat wacana tersebut dilanggengkan dan beroperasi. Batasan inilah yang dibentuk di dalam discursive formation sehingga sistem pengetahuan dapat tersusun rapi, bahkan tersamarkan, yang tanpa disadari mempengaruhi perilaku, rasa, dll. Misalnya saja penelitian Foucault mengenai wacana psikopatologi, di mana yang menjadi objeknya adalah tentang kegilaan. Batasan-batasan pengetahuan yang ditelitinya inilah yang kemudian dianggap menciptakan tentang objek kegilaan atau disebut sebagai orang gila; yang dalam hal ini adanya kepentingan-kepentingan yang mendasari pengetahuan sebagai suatu proyeksi dalam pengetahuan medis berupa penyingkiran terhadap sesuatu yang tidak rasional. Bahkan proyeksi tersebut juga menciptakan pengawasan dalam bentuk institusi bagi orang yang dianggap gila. Penelitian Foucault ini merupakan contoh adanya suatu konstruksi yang dibangun dalam sistem pengetahuan.
150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hal yang sama juga terjadi dalam wacana kepemimpinan dalam masyarakat Batak; bahwa dalam wacana kepemimpinan maka pengetahuan akan masyarakat Batak berada di dalam objek wacana Ompu i yang sarat kepentingan kekuasaan (Eropasentris) yang kemudian direproduksi dan dilanggengkan. Untuk itu dalam melihat pengetahuan akan wacana kepemimpinan Ompu i maka saya akan terlebih dahulu melihat sistem pengetahuan dalam masyarakat Batak tradisional. 1. Wacana Ompu i Singamangaraja Di dalam masyarakat Batak tradisional, pengetahuan akan kepemimpinan, dalam hal ini kepemimpinan Raja Singamangaraja, bagi masyarakat Batak berada di dalam dua hal, yakni Raja sebagai titisan dari dewa (tuhan) atau dalam bahasa Batak dikatakan sebagai Debata Na Tarida (Tuhan yang Terlihat) yang dapat dikenali,7 dan dalam kaitannya dengan sistem struktur sosial masyarakat Batak, di mana hal ini menjadi sistem yang terikat dengan filosofi adat dan budaya Batak, yaitu Suhi Ampang Na Opat. Pengetahuan ini bukanlah memisahkan antara dunia religi dengan sekuler, melainkan menjadi satu kesatuan antara hubungan pemimpin dengan pengikut dalam suatu komunitas. Artinya, kehadiran Raja Singamangaraja diyakini sebagai pemimpin atas dua dunia, religi dan sekuler, di mana praktik-praktik kekuasaannya dilanggengkan. Hal ini terjadi dengan adanya unsur-unsur modalitas yang memiliki
7 Adniel Lumbantobing, Sedjarah Si Singamangaradja I-XII (Tarutung: Dolok Martimbang, 1959), hl. 10.
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
peran yang siginifikan, yakni raja-raja bius hingga masyarakat Batak sendiri yang memandang Raja Singamangaraja sebagai penuntun bagi pengikutnya. Keyakinan masyarakat Batak tradisional atas kepemimpinan Raja Singamangaraja menjadikan adat dan budaya Batak berada dalam kedaulatannya. Hal ini ditandai dengan berdaulatnya masyarakat Batak tradisional dalam sistem struktur kekeluargaan, masyarakat dan bangsa (baca: Bangso Batak) seperti di dalam filosofi dalihan na tolu, paopat sihal-sihal, dan suhi ampang na opat. Pola sistem ini menjadi struktur yang mengikat dalam bentuk praktik-praktik dengan kehadiran raja lintas bius. Bahkan sebelumnya hal ini juga telah terwujud pada saat dinasti Sorimangaraja, di mana pengwejawantahan atas filosofi adat dan budaya masyarakat Batak terpenuhi; yang kemudian berlanjut dan dilengkapi dengan munculnya dinasti Singamangaraja sebagai pemimpin atas wilayah-wilayah bius. Namun demikian satu hal yang juga penting atas keyakinan kepada raja, yakni bahwa raja sebagai pemimpin yang merupakan titisan tuhan atau memiliki sahala dalam prakteknya akan selalu membawa hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat) bagi masyarakat Batak. Permintaan akan turunnya seorang raja ketika masa pergantian dari dinasti Sorimangaraja ke Singamangaraja menjadi bukti akan harapan masyarakat kepada sosok pemimpin. Dan permintaan maupun harapan ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kelompok Parbaringin: kelompok yang bergerak dibidang kerohanian. Pentingnya kehadiran Raja Singamangaraja tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kelompok Parbaringin yang memaknai kepemimpinan dalam sudut
152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pandang religiositas. Sebagai kelompok yang mewarisi Pustaha Laklak yang berisi pedoman kerohanian, kelompok ini memiliki kedudukan atas kehidupan spiritual dalam masyarakat Batak, misalnya doa-doa persembahan dari hasil panen yang diberikan Debata Mulajadi Na Bolon, pesta-pesta, pengobatan, dsb. Bahkan kedudukan tersebut juga mendapatkan tempatnya dalam struktur masyarakat Batak tradisional, termasuk dalam hal ini kedudukan di dalam jabatan Pande Bolon yang merupakan ketua dari kelompok Parbaringin yang memiliki peran mendampingi raja dan juga mengganti posisi raja ketika raja tidak dapat hadir. Sebagai satu kesatuan dalam gerakan keagamaan maka kelompok ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat Batak tradisional. Kehadirannya selalu memperkuat kedudukan raja, baik ditingkat huta hingga bius, termasuk dalam hal ini aktif dalam mempertahankan dan menyokong eksistensi Raja Singamangaraja. Bahkan ketika Raja Singamangaraja XII telah tiada sekalipun, kelompok ini selalu aktif dalam melawan pihak kolonial melalui gerakan-gerakan perlawanan. Hal ini menandakan besarnya pengaruh kelompok Parbaringin dalam struktur masyarakat, termasuk dalam mempersatukan masyarakat Batak. Dengan kehadirannya yang menyebar di setiap bius maka kelompok ini menjadi panutan dan juga kebutuhan bagi masyarakat Batak tradisional, di mana pengaruh yang dimunculkannya melalui institusi dan dominasi dalam hal wacana-wacana yang membawa nilai-nilai spiritualitas dalam masyarakat Batak memberikan kesatuan yang mengikat.
153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Fungsi dari kelompok Parbaringin ini dapat dikatakan sebagai suatu institusi yang mereproduksi nilai-nilai spritualitas yang diwariskan dari Pustaha Laklak yang merupakan pelengkap atas dunia sekuler yang telah diatur dalam Pustaha Tumbaga. Bagaimanapun kedua pustaha ini merupakan dasar dari tatanan kehidupan masyarakat Batak tradisional, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihalsihal dan Suhi Ampang Na Opat, maupun juga dasar dari pengetahuan akan wacana kepemimpinan yang memiliki unsur spiritual sebagai Debata Na Tarida. Dengan dasar ini maka kepemimpinan Singamangaraja tidak hanya dipandang sebagai raja para imam (kelompok Parbaringin) yang dihubungkan dengan sesuatu yang religius saja tetapi melihat wilayah kekuasaannya maka banyak raja-raja bius yang juga menaruh hormat kepadanya, sehingga pengaruh Raja Singamangaraja terhadap kebijakan yang sifatnya sekuler cukup besar. Misalnya saja di bidang pertanian, hukum, rumah tangga, militer dan adat-istiadat, di samping urusan agama.8 Sistem kerajaan dalam dinasti Singamangaraja sangatlah berbeda dari sistem kerajaan lainnya. Seperti yang sudah digambarkan pada bab sebelumnya maka dinasti Singamangaraja bersifat konfederasi dari bius-bius yang ada. Pola semacam ini justru menghendaki sikap akan karakter kepemimpinan dari seorang pemimpin, dikarenakan raja tidak menguasai wilayah, dalam pengertian kepemilikan tanah. Kesaktian, pendamai, pengampun, dsb, merupakan sifat dan karakter seorang pemimpin dari pola kepemimpinan semacam ini. Seberapa besar pengaruh kekuasaannya tergantung dari perilaku seorang pemimpin. Hal ini juga
8
Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op.Cit., hl. 78.
154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dilihat Vergouwen sebagai suatu penghargaan pengikut kepada pemimpinnya: “Semua orang yang memperlihatkan suatu kekuasaan yang istimewa selalu dihormati dan dimuliakan oleh rakyat sebagai orang-orang yang patut mendapat kehormatan, na sangap.”9 Walaupun hal ini tidak memandang secara umum mengenai sifat seorang pemimpin, tetapi sebagai suatu keyakinan para pengikut, masyarakat Batak, yang meyakini akan sifat dan karakter tersebut yang berasal dari dewa-dewa. 2. Wacana Ompu i Nommensen Setelah melihat sistem pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i Singamangaraja maka untuk melihat sistem pengetahuan yang ada dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen tentunya selalu berkaitan dengan aturan-aturan pembentukan wacana itu sendiri. Bagi Foucault yang melihat bahwa kekuasaan dapat direbut melalui reproduksi kekuasaan maka wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen ingin menunjukkan adanya reproduksi kekuasaan itu sendiri; dan pengetahuan memainkan peranan dalam pengkondisian wacana tersebut. Maka dari itu, untuk melihat pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen, saya akan membagi ke dalam 2 unsur yang sebelumnya menjadi pengetahuan di dalam wacana Ompu i Singamangaraja, yaitu unsur religius dan sekuler.
9 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hl. 33.
155
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A. Unsur Religius. RMG dalam mereproduksi kekuasaan tidaklah merubah semua pemahaman masyarakat Batak. Bahasa dan budaya Batak masih turut juga digunakan oleh RMG, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa beberapa hal mengenai adat dan budaya Batak turut juga dirubah atau dihilangkan. Dalam hal ini, konstruk yang dibangun oleh RMG mengedepankan hibriditas antara rasionalisasi Eropa yang berdasarkan nilai-nilai Kekristenan dengan adat dan budaya Batak. Hal ini menandakan adanya peralihan kekuasaan yang diiringi dengan adanya perubahan dalam sistem-sistem pengetahuan, sehingga kekuasaan kepemimpinan Nommensen dapat dilanggengkan. Salah satu hal yang menonjol di dalam konstitusi “Ompu i” sebagai objek pengetahuan dalam masyarakat Batak tradisional adalah unsur religiositas yang terkandung di dalamnya. Namun demikian pengetahuan ini justru tidak mendapatkan tempatnya pada wacana Ompu i Nommensen. Sebagai suatu badan zending yang membawa nilai-nilai Kekristenan para Misionaris merubah paradigma masyarakat Batak atas pemahaman agamanya yang notabene selalu dipegang teguh oleh kelompok Parbaringin yang mewarisi Pustaha Laklak, pedoman ajaran agama tradisional masyarakat Batak. Dalam mewujudkan pengetahuan ini maka konstruk yang dilakukan oleh RMG adalah pertama, menyebarkan pengetahuan modern. Melalui pendidikan maka RMG berusaha menciptakan pengetahuan dasar mengenai ilmu pengetahuan modern kepada masyarakat Batak sebagai suatu misi pengadaban. Sekolah-sekolah
156
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dibangun mulai tingkat SD hingga Sekolah Tinggi menjadi bukti atas konstruk yang dilakukan RMG dalam mewujudkan dan membangun masyarakat Batak kepada rasionalisasi modern ke segala aspek kehidupan, misalnya dalam hal ilmu kesehatan, petukangan, geografi, dll, termasuk bahasa Batak sendiri yang juga dimasukkan dalam pelajaran. Bahkan usaha terhadap pendidikan juga digenapi dengan terbitnya buku-buku dan media cetak, termasuk Surat Kuliling Immanuel, yang dikeluarkan oleh RMG sendiri. Konsep RMG tentang “pargodungan” yang menggabungkan dan menyatukan urusan agama dengan urusan-urusan sekuler, yakni pendidikan, kesehatan, dll. dalam satu wilayah atau lingkungan menjadi bukti atas misi pengadaban ke aras kehidupan tersebut, misalnya Huta Dame (1864), Pearaja (1872), dsb. Usaha RMG terhadap pendidikan ini ingin menggantikan dunia “primitif” yang dianggap oleh para Misionaris RMG sebagai suatu kebohongan. Sasarannya adalah kelompok Parbaringin yang dianggap menyebarkan kebohongan kepada masyarakat Batak dengan memberitakan tentang ajaran-ajaran kebohongan yang dilakukan oleh kelompok ini. Hal ini seperti terlihat di dalam Surat Kuliling Immanuel yang menceritakan kelompok Parbaringin yang tidak dapat menyembuhkan penyakit dengan kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan. Menurut Norman Fairclough, pentingnya ilmu pengetahuan, seperti yang dilakukan RMG tersebut, memberikan pengaruh terhadap pembentukan objek (the formation of Objects) dalam pembentukan wacana, di mana konstitusi “Ompu i” selalu berkaitan dengan penamaannya itu sendiri, penggambarannya, dsb. Hal ini
157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikarenakan berkaitan nantinya dengan bagaimana wacana itu diproduksi, ditransformasi dan direproduksi.10 Penyebaran pendidikan modern kepada masyarakat Batak, khususnya kepada keluarga-keluarga raja, ingin mereduksi pengaruh ajaran kelompok Parbaringin di dalam agama tradisional Batak, sehingga dalam hal ini, konstruk yang hendak dibangun kepada masyarakat Batak adalah rasionalisasi modern atas kehidupan dalam masyarakat Batak, misalnya sesuatu yang dianggap klenik, mitosmitos, dll yang mulai disingkirkan. Pentingnya pengaruh pendidikan akan mempengaruhi reproduksi yang dilakukan masyarakat Batak, khususnya para raja, dalam pembentukan wacana Ompu i Nommensen. Namun demikian persoalan pengetahuan modern tidak hanya dipandang sebagai bentuk rasionalisasi peradaban, melainkan juga akan memiliki kepentingan-kepentingan elite, kelompok, pelaku yang mendominasi, terlebih ketika pengetahuan itu dilembagakan.11 Hal ini juga berlaku dari sistem pendidikan yang dibentuk oleh RMG yang memiliki kepentingan-kepentingan sebagai suatu konstruk kekuasaan. Fenomenanya adalah ketika pengetahuan yang berasal dari RMG (pihak kolonial) membentuk suatu pengetahuan tandingan dari pengetahuan tradisional, sebagai suatu yang dinamakan, ambivalensi. Tentunya pengetahuan modern ini diperuntukkan bagi pembentukan identitas, namun demikian, dalam ranah publik menjadi sesuatu yang ambigu. Hal ini dapat terjadi akibat “penularan”
10
Lih. Norman Fairclough, Op.Cit., hl. 41. Bdk. Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A critical introduction (Sydney: Allen & Unwin, 1998), hl. 75. 11
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengetahuan yang tidak pernah penuh yang dilakukan oleh pihak kolonial. Bentukbentuk semacam ini terjadi akibat subjek kolonial yang juga memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari pengetahuan tradisional, yang notabene dianggap “primitif”. Hal ini berlaku bagi seluruh pengetahuan (baca: religius dan sekuler) di mana pengetahuan modern ketika disandingkan dengan pengetahuan tradisional akan memunculkan ambivalensi. Unsur religius dalam wacana Ompu i pada masyarakat Batak tradisional, yaitu sebagai “Debata Na Tarida” memang direduksi dan direproduksi dengan wacana ompu i yang berbasis rasionalitas modern. Namun demikian hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi dalam ranah praksis. Masih ada kerancuan dalam pemahaman, terlebih ketika berkaitan dalam hubungan pemimpin dan pengikut (praksis) dalam tradisi masyarakat Batak yang justru tetap mengandaikan Ompu i sebagai yang memiliki sahala dari tuhan/dewa. Misalkan saja kerancuan tersebut ketika masuknya ilmu pengetahuan modern maka akan merusak tatanan logika dalam adat dan budaya Batak - yang dalam hal ini rasionalitas tidak memandang atau mempedulikan suatu tatanan dalam adat dan budaya tertentu walaupun itu bertentangan. Itu artinya, rasionalitas hanya mengadopsi nilai dari adat dan budaya tertentu sesuai dengan kinerja rasionalitas itu sendiri tanpa mempedulikan kinerja adat dan budaya dalam masyarakat Batak.12 Namun demikian hal ini juga dapat terjadi sebaliknya dengan memaksakan logika adat dan
12
Contoh yang paling nyata adalah pemanggilan ompu i kepada Nommensen yang akhirnya akan merusak tatanan dalam logika adat dan budaya Batak dalam struktur Dalihan Na Tolu dalam pola bahwa kakek/nenek moyang/Tuhan memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari ama (bapak); yang justru digunakan di dalam Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak) untuk penyebutan Tuhan.
159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
budaya untuk melihat kinerja rasionalitas dalam wacana kepemimpinan Ompu i tersebut dapat menyebabkan adanya ketidaksinambungan. Hal inilah kemudian dalam tataran praksis, praktik-praktik wacana dalam pengetahuan Ompu i memunculkan ambivalensi antara pengetahuan modern yang rasional dengan adat dan budaya Batak tradisional dalam memandang Ompu i Nommensen, akibat tindakan RMG yang mengambil keuntungan dari pengkultusan sosok pemimpin yang memandang Ompu i, terlebih ketika dikaitkan dengan sistem struktur sosial masyarakat Batak tradisional (Suhi Ampang Na Opat). Ambivalensi dalam pengetahuan mengakibatkan kerancuan dalam membangun penafsiran mengenai Ompu i; yang tak dapat dipungkiri bahwa Ompu i Nommensen melebihi kesaktian dan kemampuan Raja Singamangaraja sebagai “Debata Na Tarida” terlebih ketika RMG sendiri mengkonstruk wacana kepemimpinan dengan meninggikan Nommensen daripada kelompok Parbaringin dan Raja Singamangaraja seperti di dalam Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1890, dll. Dengan kata lain, dalam tataran praksis, pengertian Ompu i sebagai “Debata Na Tarida” masih memiliki dampak dan pengaruhnya dalam hubungan pemimpin dan pengikut; yang walau bagaimanapun, melekat dalam makna Ompu i sebagai sesuatu yang turut digunakan oleh Kekristenan dalam bentuk pengkultusan. Kedua, menawarkan hamajuon (kemajuan). Seperti yang dikatakan oleh Johannes Warneck bahwa dalam agama tradisional masyarakat Batak penilaian dari
160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kehidupan duniawi menentukan kebaikan tertinggi,13maka yang membuat RMG diterima oleh masyarakat Batak adalah karena menawarkan hamajuon. Adanya krisis yang menimpa masyarakat Batak akibat perang Paderi, dan juga konflik internal yang sering terjadi di masyarakat Batak yang menambah keterpurukan mereka, membuat mereka akhirnya memalingkan dirinya ke orang asing, selain tentunya prinsip 3 H (hasangapon, hamoraon, hagabeon) yang menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat Batak dalam menggapai hamajuon. Hal ini terjadi pada awal-awal dilaksanakannya misi di Tanah Batak oleh RMG. Ucapan Raja Pontas Lumbantobing menegaskan hal ini yang mengatakan: “Pada hemat saya adat dan kebiasaan kami sangat sangat baik, dan tidak perlu diubah lagi. Tapi kalau tuan-tuan tau jalan untuk mencapai kemuliaan dan kekayaan, tunjukkanlah kepada kami!”14 Sebagai satu kesatuan dengan pihak pemerintahan kolonial Belanda tentunya RMG memiliki kekuatan dalam menciptakan dan membawa masyarakat ke dalam hamajuon (kemajuan). Hal inilah yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat Batak. Dalam Surat Kuliling Immanuel, kisah-kisah faktual yang menjadi pengalaman masyarakat Batak tertentu, misalnya, Sipirok, Bungabondar, dll. selalu diangkat dalam media ini untuk membangun keyakinan tersebut. Bahkan konstruk ini dibangun untuk meyakinkan masyarakat Batak dengan menyudutkan
13
Lih. Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom (London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867), hl. 130. 14 J.T. Nommensen, Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hl. 90.
161
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
musuh-musuh RMG yang telah gagal dalam memberikan hamajuon, misalnya orang-orang Islam dan Parbegu (kelompok Parbaringin). Sebagai bagian dari suatu strategi, maka tema-tema yang diangkat dalam prinsip hamajuon dapat berupa ekonomi, keamanan, dsb. Menurut Norman Fairclough, keberlangsungan akan tema-tema semacam ini ditentukan dari praktik diskursif dan non diskursif.15 Itu artinya di dalam suatu strategi maka unsur-unsur atau tema-tema dalam hamajuon dapat tercapai sesuai dengan strategi itu sendiri. RMG sebagai yang memiliki kekuasaan tentunya memiliki strategi dalam menciptakan tema-tema tertentu yang berdasarkan pada keinginan atau hasrat masyarakat Batak mengenai hamajuon itu sendiri. Kaitannya adalah bahwa tematema inilah yang kemudian dapat mengubah paradigma masyarakat Batak tradisional dalam memandang seorang pemimpin, yakni Nommensen yang membawa hamajuon; yang hanya dimiliki oleh orang yang memiliki sahala. Hal senada juga ditekankan oleh Lance Castle yang melihat bahwa para Misionaris dianggap memiliki sahala yang akan menambah hasangapon masyarakat Batak.16 Konstruk semacam ini akan menitikberatkan kepada fungsi atau peran raja yang dipandang sebagai pembawa keadilan, kedamaian, dsb. Raja tidak dipandang sebagai pembawa masalah, melainkan dapat mengatasi atau memberikan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat Batak. Hal ini berlaku dari tingkat huta hingga bius. Walaupun RMG memiliki strategi-strategi yang beraneka ragam cara, namun
15
Norman Fairclough, Op. Cit., hl. 48. Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940 (Jakarta: KPG, 2001), hl. 23. 16
162
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
demikian tema besar yang menjadi hasrat dalam masyarakat Batak tidak dapat dilepaskan dari konsep hamajuon yang merupakan tugas dari seorang raja. Kedua konstruk ini mengubah paradigma masyarakat Batak mengenai gambaran akan sosok kepemimpinan. Pengetahuan yang selama ini berkembang mengenai adanya sisi religi dalam gelar Ompu i dapat direproduksi oleh RMG dengan mempertimbangkan hasrat atau kebutuhan, serta unsur kognitif dalam bentuk pemahaman masyarakat Batak. B. Unsur Sekuler. Selain mengenai unsur religi di dalam pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i, maka unsur lainnya yang juga penting karena menyangkut kedudukan penting di tengah-tengah masyarakat adalah unsur sekuler. Memang pada awalnya gelar ini dalam masyarakat Batak tradisional hanyalah menyangkut urusan religi seperti yang dikatakan oleh Sitor Situmorang, namun lambat laun, kekuasaannya tidak dapat dipisahkan dalam urusan sekuler. Hal ini berkaitan di dalam reproduksi yang dibangun melalui dominasi kelompok Parbaringin yang mendudukkan atau memposisikan seseorang sebagai seorang raja yang memiliki peran dan fungsi dalam masyarakat Batak, termasuk dalam hal ini Raja Singamangaraja. Di dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen maka pengetahuan ini juga direproduksi ke dalam status kepemimpinan di dalam masyarakat Batak Kristen atau dalam hubungan pemimpin dan pengikut. Paling tidak pengetahuan
163
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini, menjadi kedudukan penting di dalam melihat kepemimpinan hingga sekarang (baca: sistem episkopal HKBP) dengan adanya praktik-praktiknya. Sistem struktur sosial masyarakat yang turut digunakan oleh RMG adalah Suhi Ampang Na Opat. Walaupun di zaman sekarang penekanan prinsip ini sudah berbeda di dalam pelaksanaan adat praktis yang diakibatkan pembagian antara urusan religi dengan sekuler, namun demikian fenomena ini masih terlihat dari praktik-praktik penggunaannya hingga sekarang. Hal ini tak lepas dari peran RMG atas kontruk kekuasaan di dalam adat dan budaya Batak. Misalnya yang menjadi suatu kebiasaan bahwa ketika adanya pertikaian marga atau kampung, maka Ephorus HKBP menjadi juru damai dari konflik tersebut seperti yang digambarkan dalam majalah Suara Batak pada 12 dan 19 Juli 1930.17 Di dalam masyarakat Batak tradisional, kedudukan seorang raja dalam unsur sekuler berarti memiliki kuasa di dalam struktur masyarakat yang mengurus masalah-masalah non-religi atau sekuler, misalkan saja masalah tanah, pengairan, dsb. Hal ini terlihat sangat jelas dalam sistem yang dimiliki masyarakat Batak “tradisional”, yakni Suhi Ampang Na Opat, tunduk kepada raja. Secara birokrasi kedudukan dan peran raja sangatlah penting untuk mengatasi masalah-masalah kekeluargaan dalam pengertian Dalihan Na Tolu. Memang di dalam dinasti Raja Singamangaraja, kedudukan Raja Singamangaraja mendapatkan penekanan di dalam dua unsur, yakni religi dan sekuler, namun secara de jure, kedudukan raja
17
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986),
hl. 613.
164
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mendapatkan tempatnya, serta memiliki wewenang di dalam sistem struktur sosial masyarakat dan juga wilayah di tengah-tengah masyarakat. Selain sebagai Raja Bius di Bius Bangkara, Singamangaraja juga menjadi pemimpin konfederasi bagi bius-bius yang tergabung di dalamnya. Praktik-praktik yang dilakukannya membuktikan kekuasaannya yang melintasi bius-bius. Di dalam wacana Ompu i Nommensen, pengetahuan ini tidaklah dibuang sepenuhnya oleh RMG. Konstruk yang dilakukan RMG justru menimbangkan sistem struktur sosial masyarakat Batak tradisional, walaupun hal ini tetaplah memiliki perbedaan dari yang lama. Pembentukan aturan-peraturan, pendirian sekolah ataupun gereja, dsb merupakan praktik-praktik dengan mempertimbangkan sistem struktur sosial masyarakat Batak. Bahkan dengan kekuasaannya ini menandakan RMG sebagai penguasa lintas bius. Beberapa konstruk yang dilakukan RMG untuk menandakan bahwa RMG menggunakan sistem struktur sosial masyarakat adalah pertama, memanfaatkan kedudukan para raja. Berbeda dari sistem kerajaan yang memiliki kekuasaan tunggal atas wilayah atau tanah, seperti yang ada di Jawa atau daerah lainnya, maka sistem raja yang berada di Tanah Batak adalah para raja bius yang memiliki kuasa atas wilayah dan tanah yang menyebar di Tanah Batak. Dengan sifatnya yang majemuk maka penguasaan atas satu raja tidaklah menjamin penaklukan atas kekuasaan raja lainnya. Ada hak otonom atas kekuasaan raja di wilayahnya masingmasing. Maka dari itu, usaha yang dilakukan RMG dalam menyebarkan Injil ke Tanah Batak, mau tidak mau, berada dalam bentuk penjajakan keseluruh raja-raja
165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bius. Silindung, Simorangkir, Pansurnapitu, dll adalah contoh-contoh wilayah bius yang telah menerima Injil hasil dari usaha penjajakan tersebut. Bagi RMG, para raja sangatlah penting di dalam menyebarkan dan memperluas Injil ke seluruh masyarakat Batak. Bahkan tidak tanggung-tanggung, para raja juga diikutsertakan atau dilibatkan di dalam urusan pekabaran Injil, misalnya rapat-rapat, pesta zending, dsb. Berbagai upaya pendekatan dilakukan kepada raja-raja untuk mendapatkan rasa simpatik kepada RMG; mulai dari janji keamanan, faktor ekonomi, memberikan perlakuan khusus kepada para raja dan keturunannya, dll. Namun terlepas dari adanya pendekatan tersebut, upaya yang dilakukan RMG merupakan suatu konstruk kepada para raja dalam menyebarkan dan memperluas Injil di Tanah Batak. Mengkristenkan raja berarti akan juga mempengaruhi para pengikutnya. Sebagai suatu misi pengadaban maka konstruk ini ingin menciptakan komunitas baru, yakni Kerajaan Kekristenan, sehingga satu hal penting yang dilakukan oleh RMG adalah memberlakukan standar baru di dalam hukum yang mengatur komunitas baru yang berdasarkan nilai-nilai Kekristenan (baca: Eropa). Dengan standar baru ini maka RMG juga menerapkan dengan bentuk perilaku dan sikap para raja yang sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini bukan hanya mempertegas aturan atau hukum kepada para raja, tetapi juga untuk menjaga masuknya pengaruh agama-agama lain di dalam komunitas tersebut. Dengan prinsipnya seperti ini maka RMG selalu berupaya dalam memberikan pemahaman
166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
atau pendidikan serta memberikan contoh ideal mengenai kepemimpinan raja yang sesuai dengan kehendak RMG (baca: nilai-nilai Kekristenan). Salah satu raja yang paling dekat dengan RMG dan sering dijadikan contoh adalah Raja Pontas Lumbantobing. Dengan nama baptis, Obaja, yang berarti Hamba Tuhan, para RMG memuji perilakunya yang sesuai dengan namanya tersebut, mengingat atas jasanya maka banyak masyarakat Batak yang menerima Injil.18 Hal ini dilakukan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara raja Kristen dengan raja yang masih menganut agama suku atau juga Islam. Konstruksi semacam ini menjadi penting di dalam membentuk pengetahuan dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen mengingat bahwa ketika sistem Suhi Ampang Na Opat tetap dipakai maka pemahaman para raja yang dikonstruk menghasilkan reproduksi yang berbeda dari kepemimpinan tradisional. Jikalau dilihat dari gagasan Norman Fairclough dalam pembentukan wacana, yakni mengenai the formations of Concepts (pembentukan Konsep), maka pendekatan atas raja atau penggunaan prinsip Suhi Ampang Na Opat menjadi penting dalam pembentukan wacana kepemimpinan Ompu i, karena gagasan ini, the formations of concepts, akan memperlihat posisi atau fungsinya dalam mengorganisir “the field of statement” atau ruang munculnya konsep wacana tersebut; yang jika dikaitkan dengan struktur “kegilaan” seperti yang digambarkan Foucault bahwa struktur ini selalu berkaitan dengan konsep penjara, rumah sakit, dsb.19 Begitu juga dengan prinsip Suhi Ampang Na Opat yang bagaimanapun akan mempertegas konsep
18 19
Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1893. Norman Fairclough, Op.Cit., hl. 46.
167
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kepemimpinan akan seorang raja sebagai suatu aturan dalam adat dan budaya batak, sehingga reproduksi kekuasaan merupakan hasil dari buah konstruk yang dilakukan kepada para raja berupa kedisiplinan. Sebagai satu kesatuan dalam adat dan budaya, tentunya masyarakat Batak tidaklah berbeda satu dengan lainnya, walaupun memiliki hak otonom atas wilayahnya masing-masing. Ada nilai-nilai yang mengikat dan menggabungkan kemajemukan itu sendiri. Konsep dinasti Singamangaraja yang mengikat bius-bius yang ada di dalam adat, religi dan budaya masyarakat tidak lepas dari strategi yang sama yang juga dilakukan RMG. Dengan mempertimbangkan Suhi Ampang Na Opat, maka usaha-usaha tersebut lebih kepada menciptakan kekuasaan dengan mengumpulkan raja-raja untuk mengikat bius-bius, mendamaikan konflik antarbius, menciptakan onan (pekan atau pasar). Praktik-praktik tersebut menjadi penting sebagai suatu pembentukan wacana mengingat hal ini berkaitan deskripsi Fairclough dalam The Formation of Enunciative Modalities, di mana aktivitasaktivitas tersebut berusaha menggambarkan, membentuk hipotesis, memformulasi regulasi mengenai posisi subjek;20 dalam hal ini mengenai sosok pemimpin Ompu i. Kedua adalah pengaruh kelompok Parbaringin. Bagi masyarakat Batak tradisional, pengaruh kelompok Parbaringin sangat besar dalam mereproduksi wacana kepemimpinan Singamangaraja. Sebagai kelompok yang bergerak dalam bidang agama dan menyebar di setiap bius, kelompok ini berusaha menyatukan
20
Ibid., hl. 43.
168
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
raja-raja bius dengan nuansa keagamaan. Raja Singamangaraja yang dianggap sebagai titisan dewa menjadi kiblat bagi raja-raja bius untuk menyatukan masyarakat Batak. Gerakan kelompok Parbaringin ini bagi RMG adalah musuh yang selalu menghambat misi RMG (resistensi) di Tanah Batak, sehingga RMG beserta pemerintahan kolonial Belanda melarang aktivitas gerakan kelompok tersebut. Namun demikian selain larangan maka RMG juga memproteksi raja-raja Kristen dari pengaruh kelompok Parbaringin ini. Praktik-praktik dilakukan untuk menjaga raja-raja tersebut, diantaranya: 1. Membangun citra negatif dengan menyebut kelompok ini sebagai pembohong di Surat Kuliling Immanuel (lihat Bab 3). Hal ini tak lepas dari usaha RMG dalam membentuk opini umum di tengah-tengah masyarakat Batak. James T. Siegel melihat bahwa strategi semacam ini dalam kaitannya dengan pembentukan opini umum adalah sebagai subjek fait divers (pemberitaan) yang menempatkan subjek kriminal melampaui rubrik majalah Surat Kuliling Immanuel dengan didapati dirinya dirumuskan ulang dalam wacana politik yang lebih luas. Pandangan ini menurut Siegel merupakan “gudang penyimpanan ketakutan dan penawarnya bisa diperoleh dalam keadaan tertentu untuk tujuan yang lebih umum.”21 Dalam pandangan ini dapat dikatakan RMG berusaha menempatkan kelompok Parbaringin di
21 James T. Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas (Yogyakarta: LKiS, 2000), hl. 172-173.
169
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tengah-tengah wacana politik; dan sekaligus melepaskan dirinya (RMG) dari suatu kebersalahan dengan menciptakan ketakutan dan sebuah solusi atas ketakutan itu sendiri. Mekanismenya adalah dengan tumbuhnya keyakinan masyarakat dan raja yang telah memeluk Kristen dalam memandang usaha RMG sebagai suatu solusi atas kepentingan yang lebih besar dalam masyarakat Batak; dan di satu sisi meninggalkan kelompok Parbaringin di wilayahnya masing-masing sebagai suatu efek samping, gejala dari suatu citacita bersama, mengingat masih adanya pemahaman masyarakat akan ajaranajaran agama tradisional masyarakat Batak, serta hubungan kekeluargaan dalam adat dan budaya Batak dengan kelompok Parbaringin yang mungkin sangat susah untuk diretas. Tercatat beberapa kali RMG sendiri melakukan usaha semacam ini di Surat Kuliling Immanuel. Hal ini menandakan sikap RMG yang sangat tegas terhadap kelompok dan ajarannya ini. Raja Pontas Lumbantobing adalah salah satu yang pernah dihukum oleh RMG akibat mengikuti pesta yang dilaksanakan kelompok ini.22 Pun demikian sebaliknya, citra positif juga dibangun kepada para misionaris bahwa segala yang telah dilakukan oleh para misionaris merupakan restu dari Tuhan yang memberikan kemajuan, kesejahteraan kepada masyarakat Batak. 2. Mengikuti sistem pemerintahan bius tradisional. Di dalam sistem kerajaan tradisional masyarakat Batak, setiap raja di bius memiliki pendamping raja diantaranya adalah kelompok Parbaringin yang diketuai oleh jabatan Pande
22 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 53.
170
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bolon. Dari sistem ini RMG mengikuti pola sistem kerajaan tradisional masyarakat Batak dengan juga menempatkan Sintua (majelis atau pengerja gereja) sebagai pendamping raja. Paling tidak, hal ini berlaku sebelum masuknya sistem administrasi pemerintahan kolonial Belanda ke Tanah Batak; ketika urusan agama dan sekuler masih menyatu. Upaya semacam ini dilakukan sebagai bentuk proteksi dan pengawasan terhadap ajaran-ajaran kelompok Parbaringin, termasuk upaya atas dilibatkannya raja dalam aktivitas RMG, seperti rapat, pesta, dll. Praktik-praktik semacam ini menandakan RMG yang berusaha membangun pondasi kerajaan atau komunitas baru dengan tidak meninggalkan sistem pemerintahan bius tradisional. Puncaknya adalah dengan mengambil alih kekuasaan Raja Singamangaraja yang menandakan munculnya komunitas baru di dalam kepemimpinan yang baru. Contoh yang paling terlihat adalah bagaimana Singamangaraja XII juga tak lepas dari upaya konstruksi yang di bangun oleh RMG sebagai sosok yang penjahat yang mengganggu masyarakat Kristen, termasuk keinginan Raja Singamangaraja XII yang ingin menyerang para pendeta. Konstruk semacam ini ingin menempatkan Raja Singamangaraja XII dan kelompok Parbaringin menjadi sosok kriminal bagi hukum RMG, walaupun di satu sisi bagi Raja Singamangaraja XII dan kelompok Parbaringin menjadi bentuk perlawanan atas penjajahan yang dilakukan RMG dan pihak kolonial. Hal ini tak lepas akibat dari hukum baru dalam komunitas baru yang diterapkan oleh pihak RMG. Konstruk yang dilakukan RMG ini justru berbanding terbalik dengan gambaran Singamangaraja XII (1876 -1907) sebelum berkuasanya RMG di Tanah Batak,
171
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
khusunya di wilayah Toba (pasca 1878) yang menjadi basis Raja Singamangaraja, yang dikenal sebagai sosok pendiam, pendamai, dsb.23 Namun demikian, kontruk atas kekuasaan dalam komunitas yang baru juga memunculkan sosok Nommensen sebagai seorang pemimpin. Ia dikedepankan oleh para Misionaris lainnya untuk tampil menjadi seorang pemimpin. Hal ini tak lepas dari pengetahuan dan kedekatannya terhadap masyarakat dan budaya Batak. Seorang Meerwaldt yang dengan Surat Kuliling Immanuel-nya sangat sering memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat Batak Kristen tentang sosok Nommensen. Walaupun seperti yang dikatakan Lothar Schreiner bahwa Nommensen justru lebih sibuk kepada urusan sekuler dibandingkan di gereja,24 namun bagaimanapun konstruk yang dilakukan Meerwaldt ini menumbuhkan keyakinan masyarakat kepada sosok Nommensen. Kisah-kisah yang dilukiskan mengenai rintangan-rintangan yang dihadapi hingga bagaimana Nommensen digambarkan sebagai sosok penolong memberikan imajinasi atas gambaran sosok kepemimpinan yang justru dapat memunculkan penilaian atas perbandingan kedua sosok pemimpin antara Nommensen dengan Raja Singamangaraja XII bahwa Nommensen memiliki kemampuan yang lebih (baca: sakti) dibandingkan dengan Raja Singamangaraja XII. Di dalam pembentukan suatu komunitas, yakni kerajaan Kekristenan, konstruk yang dilakukan RMG berupa pemakaian sistem sosial masyarakat serta
23
Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatera Utara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hl. 33. 24 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hl. 65.
172
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melibatkan dan memberikan ruang kepada raja dalam setiap aktivitas RMG merupakan suatu yang bagi Foucault katakan sebagai bentuk menciptakan atau tehnik dalam mendisiplinkan setiap individu, dalam hal ini, raja. Dalam konsepnya mengenai biopolitik/biopower yang dituliskan di dalam bukunya The History of Sexuality (1976), Foucault berargumen bahwa tubuh manusia sebagai “anatomicopolitics of the human body” yang dalam pengertian ini memiliki sisi kedisiplinan diri, di mana secara level yang lebih kecil merujuk kepada individu yang dapat menghasilkan individu dengan sikap kedisiplinan melalui bentuk pengawasan (monitoring).25 Dari pemikiran Foucault ini dapat dikatakan bahwa RMG telah memproduksi individu yang walaupun dengan latar belakang tradisinya dapat meninggalkan sebagian tradisinya dengan membentuk komunitas yang baru. Tentunya hal ini tidak dapat dilepaskan dari komunitas yang dibayangkan seperti yang Bennedict Anderson katakan mengenai peran kapitalisme cetak (Surat Kuliling Immanuel) bahwa produksi juga akan tercipta melalui imajinasi dari hadirnya bangsa-bangsa lain yang dituliskan di Kapitalisme Cetak, dalam hal ini, Surat Kuliling Immanuel sebagai produk kolonial yang juga membahas bangsabangsa lainnya, misalnya Borneo, Papua, Jerman, dsb. Dengan imajinasi ini maka bangsa Batak tidak lagi hanya membayangkan dirinya sendiri sebagai kesatuan wilayah, melainkan dalam bentuk persaudaraan adanya pertukaran informasi dan saling membangun komunikasi yang memberikan pengaruh akan terbentuknya
25 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1 (New York: Vintage Books, 1990), hl. 139-143.
173
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
komunitas baru, meskipun hal ini bukan berarti meninggalkan identitas keasliannya.26 Dari konstruk yang dilakukan RMG maka dapat disimpulkan bahwa unsur sekuler dalam pengetahuan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen menghadirkan suatu komunitas baru yang berdasarkan dengan Suhi Ampang Na Opat, yakni dalam sistem kerajaan Kekristenan. Walaupun secara esplisit sangat berbeda dengan sistem harajaon (kerajaan/pemerintahan) dalam dinasti Raja Singamangaraja, namun hal ini tak lepas dari sistem kerajaan dalam adat dan budaya Batak mengenai hubungan antara pemimpin dan pengikut, di mana RMG mengambil keuntungan dari sistem ini sebagai suatu bentuk ketaatan atau kepatuhan pengikut terhadap pemimpinnya atau pantun marraja (tunduk kepada raja). Konstruk RMG tersebut mengindikasikan kerancuan dalam suatu struktur sosial masyarakat dalam bayangan pengkultusan dalam imajinasi pengikut kepada pemimpinnya, yakni “Debata Na Tarida”. Dengan pengetahuan ini maka dalam konteks kerajaan Kekristenan, sistem hirarki yang dibangun masih dalam bentuk tradisional, di mana kesatuan yang utuh masih terjadi atau berkesinambungan dari tingkat yang paling rendah hingga yang tertinggi, atau dari raja huta hingga sosok pemimpin, yakni Nommensen. Istilah
26
Pandangan Ben Anderson berdasarkan kepada kosmopolitanisme kolonial di dalam diri Kwee Thiam Tjing, di mana dalam hal ini, ia melihat bahwa kosmopolitanisme dapat terjadi karena masuknya pengaruh bangsa lain ke identitas bangsa tersebut. Lih. Benedict Anderson “Kosmopolitanisme Kolonial” dalam http://etnohistori.org/colonial-cosmopolitanism-bagian-1oleh-ben-anderson.html. Di akses pada 10 januari 2017.
174
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“kesatuan” tidak hanya diartikan ke dalam aspek religi, melainkan juga aspek sekuler yang menyangkut: urusan birokrasi, administratif, hukum, adat, dsb. Dari kedua unsur tersebut, religi dan sekuler, dapat disimpulkan bahwa wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen tidak dapat dilepaskan dalam pengetahuan kedua unsur tersebut. Walaupun RMG memberikan pengetahuan modern dan Kekristenan kepada masyarakat Batak, namun wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen memunculkan ambivalensi dalam memandang sosok pemimpin, Nommensen, yang pada titik tertentu menandakan bahwa RMG di dalam pekabaran Injilnya juga mengambil keuntungan dari kuasa tradisional, yakni kedudukan Raja Singamangaraja, sehingga bagaimanapun berpengaruh dalam pandangan dan sikap pengikut kepada pemimpinnya. Itu artinya, wacana kepemimpinan Ompu i yang sebelumnya merupakan wacana tradisional “diangkat naik” menjadi wacana kolonial, atau dalam perspektif psikoanalisa budaya sebagai suatu penanda utama atas hukum kolonial, sehingga dalam tataran ini memiliki kepentingan demi suatu sistem hirarkis yang di satu sisi dapat dikatakan sebagai suatu penguasaan atas raja-raja, dan di sisi lain, sebagai pengambilalihan kekuasaan kelompok Parbaringin yang selama ini mereproduksi kesatuan masyarakat Batak, khususnya Toba dalam wacana kepemimpinan Singamangaraja.
175
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C.
Praktik Wacana Ompu i: Sejarah “Kelam” Pekabaran Injil
di Tanah Batak (Perang Toba I) Konstruk kekuasaan yang dibangun oleh RMG mendapatkan tempatnya ketika sistem sosial masyarakat Batak tradisional digunakan. Pendekatan terhadap raja dilakukan yang kemudian diproduksi berdasarkan nilai-nilai Kekristenan melahirkan suatu komunitas baru, yakni kerajaan Kekristenan. Namun demikian sebagai suatu sekutu dari pihak kolonial Belanda, konstruk kekuasaan ini justru semakin memperlihatkan adanya kepentingan kolonialisme dari sekedar hanya membawa dan menyebarkan nilai-nilai Kekristenan. Sikap superioritas sebagai bangsa Eropa atas konstruk kekuasaan tersebut memiliki maksud terselubung dari pekabaran Injil yang dilakukan RMG. Walaupun pada awal masuknya RMG ke Tanah Batak, RMG tidak mengharapkan campur tangan pihak kolonial namun tidak dapat dipungkiri bahwa kesatuan antara badan zending dengan pihak kolonial masih melekat dalam bentuk Eurosentrisme. Hal ini tak lepas dari konteks yang berkembang pada abad ke-18 dan 19, di mana kolonialisme dan imperialisme berkembang di Eropa. Sikap superioritas bangsa Eropa melahirkan rasisme dalam memandang bangsa di luar diri mereka. Bahkan di wilayah Jerman sendiri perkembangan rasisme seolah tak dapat dibantahkan, di mana hal ini juga berlaku bagi para misionaris RMG yang bermukim diluar Jerman bahwa pemerintah Jerman tidak memperbolehkan para zending untuk menikah dengan bangsa pribumi.27 Dengan demikian, nilai-nilai
27
Uli Kozok, Utusan Damai Op. Cit., hl. 42-43.
176
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kekristenan yang dibawa oleh zending berusaha menutupi dan menyamarkan sikap superioritas, rasisme yang ada di dalam bangsa Eropa. Praktik-praktik kekuasaan yang diterapkan RMG dalam menundukkan rajaraja di Toba pada Perang Toba I (1878) adalah fenomena yang tak dipungkiri sebagai pendekatan dalam bentuk aturan-aturan dalam menciptakan kekuasaan; dan dibalik semua itu adalah dengan penaklukkan raja-raja dengan kekerasan militerisme. Dalam BRMG terlihat dengan jelas keterlibatan Nommensen akan penaklukkan para raja dalam ekspansi ke Toba, meskipun ia tetap mengedepankan dan mengandalkan dialog kepada para raja. Dalam ekspansi tersebut, kekerasan tak dapat dihindarkan. Selain menimbulkan korban, beberapa kampung yang menolak untuk tunduk kepada pihak kolonial berakibat kepada pembakaran kampungkampung. Dari sini dapat dikatakan bahwa dalam misi Perang Toba I, maka keterlibatan RMG bukan hanya pada keikutsertaan Nommensen dalam misi militerisme tersebut, tetapi juga ketika RMG mengambil keuntungan dari aksi militerisme tersebut dengan takluknya perlawanan para raja di wilayah Toba, yakni keuntungan dalam mempercepat proses masuknya Injil, serta memperluas wilayah kekuasaan RMG di Tanah Batak. Di mata RMG, ekspansi ini dianggap sebagai suatu kebaikan bagi masyarakat Batak dengan menyalahkan raja-raja yang tidak mau tunduk kepada pihak Belanda.28 Pandangan ini menunjukkan adanya kesepemahaman antara RMG dengan pihak kolonial dalam mengandalkan kekuatan militer, di mana paling tidak
28
Uli Kozok, Utusan Damai Op. Cit., hl. 156.
177
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesepemahaman tersebut memiliki kesamaan dalam memandang bangsa di luar Eropa sebagai bangsa “primitif” yang perlu dirubah, dididik, dan diadabkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan RMG di Tanah Batak menunjukkan bentuk agresi kolonialisme, di mana badan zending RMG mengambil bagian dalam ke-5 agresi kolonialisme seperti yang didefinisikan oleh Stephen Neill29, yakni sebagai misi pengadaban. Terbentuknya komunitas baru yang dilakukan oleh RMG memiliki sejarah “kelam” bagi masyarakat Batak akan adanya rezim kekuasaan kolonialisme bangsa Eropa. Hal ini menandakan bahwa komunitas baru tersebut justru memperlihatkan sebaliknya, dari sekedar misi pekabaran Injil, yakni memiliki kepentingan dalam menciptakan pengaruh Eurosentrisme ke bangsa Batak. Sedangkan dalam pembentukan wacana kekuasaan kepemimpinan Ompu i Nommensen, maka wacana kepemimpinan ini memberlakukan sikap penyingkiran dan kekerasan kepada raja-raja dan pengikut. Hal ini menjadi penting mengingat ketimpangan akan relasi kuasa akan muncul akibat bentuk penyingkiran, penindasan, dsb. yang berimbas
pada
munculnya
bentuk-bentuk
resistensi
atau
dekonstruksi.
Sebelumnya, legalitas atas hukum baru di dalam komunitas baru juga telah ditegakkan sebagai bentuk penyingkiran raja-raja atau masyarakat yang memeluk agama tradisional Batak yang sebelumnya menjadi tuan atas wilayahnya.
29 Kelima agresi kolonialisme tersebut menurut Stephen Nell adalah agresi politik, ekonomi, sosial, intelektual dan misi. Lih. Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (London: Mcgraw-Hill Book Company, 1966), hl. 12.
178
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mungkin bagi sebagian masyarakat Batak yang tunduk dengan pemerintah kolonial, hal ini tidaklah begitu terasa mengingat tidak terjadinya bentuk kekerasan di wilayah mereka, terlebih konstruk yang dibangun oleh RMG memperlihatkan kerapihan dalam bentuk wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen yang dibuktikan dengan masih digunakannya wacana kepemimpinan Ompu i ini hingga sekarang. Konstruk tersebut berusaha meyakinkan masyarakat dalam membentuk komunitas baru yang berdasarkan kepada hasratnya dalam suatu hamajuon, sehingga menjadi dasar dari pengetahuan akan komunitas baru tersebut, di mana dengan Surat Kuliling Immanuel, konstruk itu terjadi dalam bentuk bahasa kekuasaan yang memberikan suatu sikap kedisiplinan kepada raja-raja atau masyarakat Batak Kristen sebagai sesuatu yang tidak disadari. Namun demikian, sesuatu hal yang berbeda justru dialami sebagian masyarakat yang merasakan adanya kekerasan yang dilakukan pihak kolonial dan RMG yang justru akan memunculkan bentuk resistensi.
D.
Kesimpulan Pembentukan wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen merupakan
suatu produk kekuasaan modern. Pembentukan wacana ini ingin menciptakan pengetahuan masyarakat Batak mengenai sosok kepemimpinan yang justru akan membawa kepada supremasi bangsa Eropa. Gambarannya terlihat dengan adanya pembentukan komunitas baru yang menggabungkan rasionalitas bangsa Eropa dengan adat dan budaya lokal (hibrid) sebagai suatu aturan-aturan dan praktik-
179
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
praktik pembentukan wacana yang notabene adalah sebagai suatu bentuk paham kolonialisme bangsa Eropa atau wacana kolonial, di mana bangsa Eropa tampil sebagai penguasa. Sistem Suhi Ampang Na Opat, penerapan pendidikan modern, janji atas hamajuon, dsb adalah aturan-aturan dan praktik-praktik tersebut dalam pembentukan wacana. Nilai-nilai Kekristenan yang dibawa oleh RMG justru berkata sebaliknya dengan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari wacana kepemimpinan masyarakat Batak tradisional, sehingga mengakibatkan ambivalensi dalam pengetahuan akan wacana Ompu i Nommensen. Pandangan pengikut terhadap sosok pemimpin sebagai “Debata Na Tarida” yang justru bertentangan dalam pandangan Alkitab yang menekankan egaliterisme, digunakan untuk menundukkan masyarakat Batak dalam bentuk pengkultusan yang di dalamnya rasisme hadir. Inilah yang kemudian memunculkan kerancuan dalam hal penafsiran tentang memandang pemimpin dalam wacana Ompu i Nommensen, baik secara paradigmatik maupun praksisnya. Hal ini kemudian menjadi berhubungan dengan konteks yang berkembang di Eropa abad ke-18 dan 19 di mana kolonialisme dan imperialisme berkembang dan mempengaruhi RMG dalam melakukan misinya di Tanah Batak. Wacanawacana kolonialisme dan superioritas bangsa Eropa terbesit dalam paham para misionaris RMG dengan dalih sebagai suatu bentuk pengadaban dan kemajuan bagi masyarakat Batak. Dalam konteks ini maka bagaimanapun RMG berada di dalam kursi kekuasaan bersama pemerintah kolonial Belanda yang menghalalkan segala cara dalam menundukkan dan menaklukkan bangsa pribumi di bawah kekuasaan
180
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bangsa Eropa. Kekerasan, pembunuhan yang terjadi pada raja-raja Batak adalah kisah faktual dalam perebutan kekuasaan. Wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen justru melahirkan kehidupan sosial masyarakat Batak yang tanpa disadari telah membangun ketimpangan dalam hubungan pemimpin dan pengikut (relasi kuasa), di mana pemimpin sebagai pihak penguasa telah membangun komunitas baru yang tidak mengakomodasi seluruh masyarakat Batak. Sistem kerajaan Kekristenan yang dibangun bagi sebagian masyarakat Batak dianggap sebagai suatu hamajuon, namun bagi sebagian yang lain adalah sejarah “kelam” dalam hubungan yang dijajah dan penjajah. Hal inilah yang perlu mendapatkan penekanan, di mana praktik kekuasaan memunculkan ketimpangan relasi kuasa, yang dengan menggunakan adat dan budaya Batak, bentuk relasi kuasa tersebut tercermin dalam hubungan sikap superior dan inferior, yang sayangnya hubungan yang seperti ini akan selalu memunculkan kontroversi.
181
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP RELASI KUASA DALAM WACANA KEPEMIMPINAN OMPU I EPHORUS HKBP
Kesatuan masyarakat Batak tidak dapat dilepaskan dari wacana kepemimpinan Ompu i. Paling tidak, sejarah telah mencatat bahwa kesatuan ini menyangkut kepada komunitas komunal masyarakat Batak yang di dalamnya unsur religi dan sekuler saling berhubungan. Dalam masyarakat Batak Toba tradisional, wacana kepemimpinan Ompu i berada dalam struktur yang melekat dalam kesatuan para raja bius, kelompok Parbaringin, serta masyarakat Batak Toba sendiri. Hal ini tidak lepas dari ikatan religiusitas sebagai suatu konsep pemahaman masyarakat Batak, di mana Raja Singamangaraja diyakini sebagai seorang yang mampu mengakomodasi ketiga struktur tersebut, meskipun Raja Singamangaraja adalah juga bagian dari raja bius Bangkara. Hal ini menandakan bahwa kuasa religiusitas mengambil bentuk dan tempatnya dalam suatu sistem struktur masyarakat Batak. Raja Singamangaraja diyakini memiliki sahala yang berasal dari tuhan/dewa, sehingga mampu menyatukan dan memimpin masyarakat Batak. Dari pandangan ini maka relasi kuasa dalam wacana Ompu i Raja Singamangaraja berada dalam kaitannya antara unsur sekuler dengan religi, di mana Ompu i |182
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hubungan pemimpin dan pengikut diikat dengan sistem struktur masyarakat Batak (Suhi Ampang Na Opat) dengan pemerintahan konfederasi dan keyakinan pengikut terhadap pemimpin sebagai titisan dewa. Keduanya saling berkaitan sehingga praktik-praktiknya dilanggengkan. Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak merubah dan mereproduksi wacana kepemimpinan Singamangaraja dalam mewujudkan kekuasaannya dengan tampilnya Nommensen, seorang Jerman, sebagai pemimpin. Perwujudannya adalah praktik-praktik yang dilakukan Nommensen dalam mempersatukan bius-bius dan masyarakat Batak dibawah pemerintahan/kerajaan Kekristenan. Namun demikian proses reproduksi ini atau pembentukan wacana ini justru menggambarkan adanya kepentingan dalam wacana kolonial sebagai suatu hal yang tidak disadari. Hal ini sangat terlihat jelas di dalam Surat Kuliling Immanuel bahwa adanya perwujudan komunitas baru dalam menggantikan komunitas yang lama atau dinasti Singamangaraja merupakan buah hasil konstruk RMG sebagai pihak kolonial yang menciptakan menciptakan dan menempatkan Surat Kuliling Immanuel sebagai media yang mengkonstruk atau memberikan opini umum kepada masyarakat dan kaum intelektual (raja-raja). Beberapa konstruk itu antara lain: 1. Imajinasi komunitas dan pengetahuan modern. Dalam Surat Kuliling Immanuel, adanya narasi-narasi dari pekabaran Injil di Borneo, Tanzania, dll. memberikan imajinasi bagi masyarakat Batak. Hal ini secara tak langsung merupakan konstruk RMG untuk melepaskan masyarakat Batak dari keterisolasiannya. Melepaskan ikatan-ikatan tradisi menuju imajinasi
Ompu i |183
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
baru yang mampu keluar ke dalam doktrin Eropanisasi. Namun demikian hal ini juga diperkuat dengan adanya pengetahuan modern yang diberikan oleh RMG kepada masyarakat Batak. Rasionalisasi Eropa yang diyakini menjadikan bangsa Eropa maju disebarkan dalam suatu misi pengadaban sebagai suatu hamajuon untuk menggantikan pemahaman-pemahaman yang bersifat klenik dan mitos-mitos. 2. Adanya hukum baru menggantikan yang lama. Hal ini terlihat dari adanya standarisasi dalam bentuk fungsi dan perilaku raja-raja yang sesuai dengan keinginan RMG. Raja Pontas adalah salah satu yang sering digunakan menjadi contoh dari sikap raja. Selain itu adanya hukum baru terlihat dengan adanya musuh bersama bagi komunitas baru tersebut yang notabene adalah masyarakat pribumi itu sendiri, yakni kelompok Parbaringin, Raja Singamangaraja dan Muslim. Peristiwa yang dialami oleh kelompok Parbaringin ini justru bertolakbelakang ketika sebelum masuknya RMG, di mana kelompok ini justru memiliki hak dan kebebasannya di Tanah Batak. Namun demikian, walaupun RMG menerapkan hukum baru, RMG tetap menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak dengan tetap memfungsikan dan memberdayakan raja-raja. 3. Konstruk terhadap pemimpin. Salah satu unsur terpenting dalam suatu komunitas adalah kedudukan pemimpin dalam komunitas tersebut. Pentingnya Raja Singamangaraja di tengah-tengah masyarakat Batak juga tak lepas dari kedudukan dan perannya ditengah-tengah masyarakat Batak. Hal ini turut diamati oleh para Misionaris yang melihat kedudukan Raja
Ompu i |184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Singamangaraja, sehingga membuat Raja Singamangaraja tak lepas dari konstruk atau opini umum yang dibuat oleh RMG. Surat Kuliling Immanuel hadir dalam membangun opini umum tersebut. Namun demikian puncaknya adalah bahwa dalam konstruk tersebut menghadirkan pemimpin baru dengan wacana-wacana yang meninggikan Nommensen. Hal ini dapat dikatakan
sebagai
wacana
tandingan
dalam
menegasi
pengaruh
kepemimpinan Raja Singamangaraja dan mengafirmasikan Nommensen sebagai sosok pemimpin. Ketiga konstruk di atas adalah upaya-upaya RMG dalam menciptakan (pengetahuan) komunitas baru dengan tampilnya Nommensen menjadi pimpinan sebagai suatu hal yang tanda disadari telah membentuk wacana kepemimpinan yang baru. Hal ini semakin diperjelas dengan keterlibatan dan kesepemahaman RMG dengan pihak pemerintah kolonial Belanda dalam menaklukkan raja-raja di Tanah Batak dengan menggunakan kekerasan militer pada Perang Batak Pertama untuk memperluas komunitas tersebut, sebagaimana dituangkan dalam BRMG, walaupun RMG selalu berusaha untuk menutupi adanya keterlibatan tersebut dengan membentuk opini-opini umum. Dengan
demikian
dari
konstruk-konstruk
tersebut
maka
wacana
kepemimpinan Ompu i Nommensen dapat dikatakan sebagai suatu produk rezim kolonial, di mana RMG tampil dalam menciptakan kekuasaan untuk membawa supremasi bangsa Eropa sebagai suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan dari pengikut - masyarakat/komunitas Batak Kristen - kepada pemimpinnya, yakni Nommensen (baca: bangsa Eropa). Hal ini semakin diperjelas dengan munculnya Aturan
Ompu i |185
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Peraturan 1881 yang lebih bersifat hirarkis sebagai sesuatu yang bertolak belakang dari konsep yang selama ini dilakukan Nommensen, atau dalam konsep Suhi Ampang Na Opat menekankan konsep kekuasaan wilayah kepada Raja bius, sedangkan kesatuan tunggal hanya dipahami dalam sistem konfederasi. Tentunya, sistem hirarki semacam ini menempatkan pihak asing memiliki otoritas mutlak dalam mengambil keputusan sewenang-wenang mengingat adanya kesatuan pemerintah kolonial Belanda dengan RMG.1 Dalam wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen kepatuhan ini tentunya tanpa disadari memunculkan bentuk pengkultusan atau hierophany yang menurut Mircea Eliade ingin menunjukkan pola manifestasi dari yang sakral,2
memanfaatkan
dan
mengambil
keuntungan
dari
wacana
karena
kepemimpinan
Singamangaraja yang notabene adalah sebagai “Debata Na Tarida”. Hal ini menjadi lumrah karena bagi pengikut, bentuk kepemimpinan Ompu i Nommensen menandakan adanya peniruan antara wacana kolonial dengan wacana tradisional, di mana pengikut memiliki pengalaman yang hakiki dalam wacana kepemimpinan Singamangaraja
yang
tentunya
dengan
kehadirannya
(Nommensen)
membayangkan suatu komunitas menuju kepada hamajuon sebagai suatu berkat dari Tuhan; dan dalam sudut pandang tersebut, Nommensen dapat dikatakan telah berhasil meyakinkan dan menciptakan hamajuon melalui praktik-praktiknya
1
Sikap hirarkis ini nantinya tercium dengan munculnya aksi resistensi yang dilakukan sebagian kelompok-kelompok lokal (pribumi) kepada para misionaris asing (baca: RMG), misalnya H Ch. B (Hatopan Christen Batak) yang puncak pertentangannya terjadi pada tahun 1928 dan Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB) pada 1920. Bentuk kesewenang-wenangan ini dapat berupa masalah kebijakan akibat sentralisasi-gereja hingga masalah mencampuri urusan tanah. Lih. HKBP, Tuhan Menyertai UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun (Tarutung: HKBP, 1986), hl. 29-30. 2 Mircea Eliade, Sakral dan Profan (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hl. 4.
Ompu i |186
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kepada komunitasnya atau pengikutnya dalam suatu praktik diskursif. Dengan pandangan ini faktor Nommensen dalam pembentukan wacana ini sangatlah penting, serta mampu menutupi kehirarkian yang dibangun pihak RMG kepada masyarakat Batak Dari pengetahuan ini maka relasi kuasa dalam wacana Ompu i Nommensen pada praktiknya tetap berada dalam hubungan antara sekuler dengan agama. Kedua hubungan ini memunculkan relasi yang tidak seimbang antara pemimpin dan pengikut, di mana pengikut selalu mengikuti pemimpinnya dalam aturan sistem struktur sosial masyarakat yang mengikat dan juga kuasa religi dalam bentuk pengkultusan yang meyakini kehadiran Nommensen sebagai dewa yang harus dipatuhi dan sebagai raja yang mampu membawa hamajuon; sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh Singamangaraja. HKBP yang menggunakan gelar Ompu i kepada pemimpinnya, yakni Ephorus, sebagai kelanjutan dari Nommensen justru menjadikan HKBP memiliki ketimpangan relasi kuasa dalam hubungan pemimpin dan pengikut. Paling tidak, ketimpangan relasi kuasa tersebut berada dalam tiga hal, yakni: 1. Pengkultusan. Salah satu yang menyebabkan adanya ketimpangan dalam relasi kuasa salah satunya adalah pengkultusan. Ketika HKBP tetap menjaga tradisi gelar Ompu i kepada Ephorus maka bagaimanapun wacana ini mengandung nilai-nilai religi yang berasal dari agama tradisional masyarakat Batak. Dalam mengabarkan Injil di Tanah Batak maka RMG tidak sepenuhnya meninggalkan wacana-wacana tradisional. Bahkan dalam
Ompu i |187
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereproduksi kekuasaan, RMG justru memanfaatkan keuntungan dari wacana kepemimpinan Singamangaraja untuk mendapatkan kekuasaan dengan membandingkan dan juga mengimitasi kekuasaan Singamangaraja yang notabene dipandang sebagai titisan dewa. Hal inilah kemudian yang membuat imajinasi dalam gelar Ompu i seolah tidak terhindarkan dalam bentuk pengkultusan, walaupun dalam misinya, RMG juga menyertakan pendidikan modern sebagai bentuk pengadaban. Dengan demikian bentuk pengkultusan di dalam tubuh HKBP atau antara Ephorus dengan jemaat memiliki ketimpangan dalam relasi kuasa dengan memandang Ephorus sebagai titisan dewa. Hal ini dapat terlihat dari sikap pengikut (jemaat) kepada pimpinannya (Ephorus). Dengan adanya gelar Ompu i ini maka secara tidak langsung akan menghilangkan sikap egaliter di tubuh HKBP, yang dalam hal ini sangat bertentangan dengan Alkitab yang melihat sesama sebagai suatu kesetaraan (Galatia 5: 14). Mekanismenya adalah dengan pengkultusan maka ketika gelar tersebut berusaha memistifikasi hubungan pemimpin dan pengikut sebagai suatu keabsolutan pada otoritas pemimpin, atau dengan kata lain, sebagai sesuatu yang tidak boleh dipertanyakan oleh pengikut kepada pimpinannya, baik itu masyarakat awam maupun kaum imam. 2. Kerajaan Kekristenan. Pengaruh lain yang membuat adanya ketimpangan dalam relasi kuasa adalah adanya sistem kerajaan. RMG dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak berusaha mengkonstruksi masyarakat tradisional menjadi kerajaan Kekristenan. Dalam reproduksinya
Ompu i |188
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
itu RMG tetap menggunakan sistem struktur sosial masyarakat Batak tradisional, yakni Suhi Ampang Na Opat, meskipun ada perubahan dari struktur yang lama, baik itu menyangkut wilayah dan struktur jabatan, tetapi paling tidak, RMG tetap mengikutsertakan raja-raja dalam melaksanakan misinya.3 Dengan demikian dapat dikatakan pembentukan komunitas baru tersebut adalah membentuk komunitas kerajaan Kristen, di mana Nommensen tampil sebagai sosok pemimpin. Penggunaan sistem struktur sosial ini terjadi ketika adanya kesatuan antara unsur sekuler dengan religi, di mana praktik-praktik yang dilakukan Nommensen tidak hanya kepada urusan agama atau gereja tetapi lebih dari pada itu, yakni pada urusan adat, sosial, ekonomi, dsb. Hal inilah yang memunculkan peniruan kepemimpinan Raja Singamangaraja melalui praktik-praktiknya, di mana ketika berhubungan dengan unsur religi, Nommensen dianggap memiliki peran sebagai seorang raja. Dalam kapasitas ini maka pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP mengindikasikan posisi raja dalam masyarakat Batak, atau yang tidak hanya dibatasi pada masalah organisasi HKBP belaka. Disamping adanya kesatuan unsur religi dengan sekuler, maka faktor lainnya penyebaran masyarakat Batak yang semakin menyebar dan tidak lagi bermukim di Tanah Batak. faktor ini mengindikasikan bahwa kuasa wacana kepemimpinan Ompu i ini tidak lagi terikat kepada bius-bius, sebagai yang
3 Adanya perubahan dalam sistem struktur yang digunakan RMG adalah bahwa RMG tidak menempatkan jabatan-jabatan dalam bius-bius yang seperti yang ada di sistem struktur Dinasti Singamangaraja, misalnya jabatan Pande Bolon, Pande Mulia, Pande Raja, dll.
Ompu i |189
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lembaga pengawas yang memunculkan represi dalam bentuk etika, moral, pengetahuan, dsb. Hal ini tidak dapat dipungkiri menjadikan adanya ketimpangan dalam relasi kuasa selayaknya hubungan raja dengan pengikutnya: pantun marraja (tunduk kepada raja). Terlebih dalam reproduksi wacana kepemimpinan yang dilakukan RMG ini semakin mengalami pergeseran dengan munculnya kehirarkisan dalam sistem Episkopal yang digunakan HKBP semasa RMG dengan memusatkan kekuasaan kepada pemimpin tertinggi, yakni Ephorus HKBP pada Aturan Peraturan 1881.4 Salah satu faktor tidak adanya resistensi pengikut kepada Ephorus pada masa itu adalah faktor Nommensen sendiri yang diyakini membawa kesatuan masyarakat Batak (baca: pengikut) dan hamajuon. Namun demikian ketika Ephorus HKBP menggunakan gelar Ompu i yang berasal dari Nommensen, maka terdapat perbedaan konteks antara saat ini dengan zaman Nommensen, di mana pada saat ini pemisahan antara dunia sekuler dengan religi sudah terbentuk dan terlihat dengan jelas yang justru tidak terjadi pada masa Nommensen. Jadi dapat dikatakan bahwa pemakaian gelar tersebut tidak memiliki relevansi pada konteks saat ini akibat adanya pemisahan antara urusan sekuler dengan religi yang membuat kekuasaan gereja dibatasi hanya pada
4
Menurut PTD Sihombing, sebelum munculnya Aturan-Peraturan 1881 telah ada gagasan dari para petinggi zending RMG untuk membentuk Dewan Gereja (cikal bakal Majelis Pusat atau Parhalado Pusat HKBP) yang mengawasi kinerja Ephorus HKBP demi menyenangkan jemaat Batakmission (HKBP). Namun demikian hal ini baru terealisasi pada saat Ephorus dipimpin oleh Johannes Warneck pada 1927. Lih. Dr. PTD Sihombing, Tuan Manullang (Humbang: Albert-Orem Ministry, 2008), hl. 235.
Ompu i |190
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
urusan keagamaan, meskipun pada praktik-praktiknya masih terlihat fungsi dan peranannya di beberapa aspek, khususnya yang menyangkut dalam hubungan adat dan budaya Batak, misalnya pesta marga-marga, dsb. Dengan demikian secara struktur kekuasaan, wacana Ompu i Ephorus justru mengalami pengreduksian kekuasaan dalam bentuk fungsi dan objeknya yang
sepatutnya
bahwa
wacana
ini
harus
ditanggalkan
untuk
menghindarkan “overlapping” kekuasaan. 3.
Rezim kolonial. Tidak dapat dipungkiri bahwa terbentuknya
wacana Ompu i Nommensen memiliki sejarah “kelam” bagi masyarakat Batak pada Perang Toba I. Wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen merupakan suatu produk rezim kolonial untuk mereproduksi kekuasaan. Yang paling terlihat adalah adanya keterlibatan RMG dalam misi militerisme pada Perang Toba I dan juga adanya sikap mengambil keuntungan dari misi militerisme tersebut dengan tunduknya raja-raja yang berimbas kepada semakin cepatnya dan semakin luasnya wilayah kekuasaan RMG. Dengan adanya kolonialisme dalam wacana ini maka berimbas kepada ketimpangan relasi kuasa yang tidak hanya berkaitan bagi masyarakat Batak Kristen yang mengalami kekerasan tetapi juga kepada pemeluk agama tradisional Batak yang mengalami trauma akibat kekerasan yang terjadi. Hal semacam ini akan berimbas kepada munculnya bentukbentuk resistensi dan dekonstruksi akan adanya wacana kolonial tersebut. Munculnya gerakan Parmalim, Raja Batak dan Parhudamdam yang berasal
Ompu i |191
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari kelompok Parbaringin menunjukkan bentuk perlawanan atau resistensi tersebut. HKBP yang masih memegang tradisi dalam penggunaan gelar Ompu i kepada Ephorus maka akan selalu membawa wacana kolonial di tubuhnya sendiri yang akan menjadi “monumen” akan ingatan masa lalu yang berimbas kepada bentuk-bentuk resistensi, maupun dekonstruksi kepada dirinya sendiri. Ketiga hal di atas menyebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pemimpin dan pengikut yang mengindikasikan akan adanya manipulasi dalam suatu organisasi melalui represi, yang seperti Foucault katakan, menciptakan kepatuhan, kedisiplinan, atau ketaatan dalam bentuk sikap, rasa, etika, dll yang cenderung dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Sehingga ketika dikaitkan dengan sistem organisasi akan berimbas kepada roda organisasi yang tidak dapat berjalan semestinya akibat pengreduksian sistem pengawasan, aturan-peraturan, dsb. Hal inilah yang kemudian HKBP perlu untuk menanggalkan pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP secara holistik demi suatu organisasi yang sehat dalam membangun kesetaraan antara pemimpin dan pengikut, baik kepada jemaat awam maupun sesama kaum imam sendiri, di mana tak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan historis wacana kepemimpinan di Tanah Batak, gelar dan wacana tersebut selalu dimotori (direproduksi) dan dibawah kepentingan gerakan keagamaan, baik itu kelompok Parbaringin ataupun kelompok imam (para misionaris, pendeta Batak, Sintua atau majelis, dan guru) sebagai kelompok yang mendominasi melalui persatuan dalam gerakan dan
Ompu i |192
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemahaman. Selain itu, faktor lain yang menjadi alasan penting adalah adanya wacana kolonialisme dalam gelar tersebut yang tak dapat dipungkiri dengan pemakaiannya, HKBP akan selalu dibayang-bayangi dengan sikap resistensi dan dekonstruksi. Metode-metode yang diterapkan RMG dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak dengan mengambil keuntungan menjadi pembentukan wacana sebagai sesuatu yang perlu dikaji ulang dalam pembahasan mengenai misiologi dan eklesiologi. Memang bagi para pengikut Nommensen mampu membawa hamajuon sebagai sesuatu yang tidak mampu dilakukan Singamangaraja dalam kesatuan masyarakat Batak, namun demikian hal ini bukan berarti HKBP melanjutkan warisan yang telah dilakukan Nommensen melalui aturan dan praktik diskursif, melainkan perlu merevisi ulang wacana Ompu i dalam konteks kekinian, ketika pemisahan religi dan sekuler dalam sistem struktur sosial masyarakat semakin jelas, walaupun revisi ini akan mereduksi kuasa Ephorus HKBP, serta membiaskan kuasa kaum imam dalam masyarakat Batak yang bagaimanapun reproduksi wacana Ompu i, baik pada masa Singamangaraja dan Nommensen, selalu dikuasai oleh kelompok agama, yakni kelompok Parbaringin dan kaum imam. Hadirnya wacana Ompu i dalam tubuh HKBP dapat dikatakan HKBP telah mereproduksi wacana ini ke wilayah kekristenan dengan mencerabut sisi orisinalitas dalam struktur sosial, adat dan budaya Batak menjadi organisasi keagamaan yang sifatnya hirarkis (episkopal). Tentunya, yang menarik adalah ketika gelar Ompu i menjadi wacana kepemimpinan yang berhubungan dengan budaya dan masyarakat Batak pada umumnya, sehingga menyebabkan wacana ini
Ompu i |193
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak sekedar berhenti atau berjalan ditempat, tetapi mengalami reproduksi dalam konteks kekinian. Dengan pemahaman akan diskontinuitas, maka produksi dan reproduksi wacana dipahami dalam setiap relasi kuasa akan suatu pengetahuan dalam sejarah atau periode tertentu. Pasca meninggalnya Nommensen (1918), bentuk resistensi dalam wacana Ompu i semakin banyak terjadi. Hal ini disebabkan adanya sesuatu hal yang tidak dimiliki Ephorus lainnya yang ada di dalam diri Nommensen, yakni menciptakan kesatuan para pengikut, serta membawa hamajuon. Bentuk resistensi bukan lagi diperhadapkan dengan kelompok Parbaringin, melainkan juga dengan gerakan prokemerdekaan yang menentang kepemimpinan bangsa asing, di mana pada tahun 1918, kelompok H.Ch.B. (Hatopan Christian Batak)5 yang didirikan oleh MH Manullang memuat di majalah Immanuel mengenai gagasan tentang gereja-sentris (sistem hirarkis) yang menyulut kepada sikap anti-kolonialisme.6 Dalam gerakan tersebut sikap resistensi terlihat jelas dengan keinginan H.Ch.B. untuk bergabung dengan gerakan pro-kemerdekaan. Tentunya wacana Ompu i sebagai fenomena hubungan pemimpin dan pengikut mendapat reproduksi baru dari gerakan nasionalisme sebagai bentuk relasi kuasa, di mana kepemimpinan HKBP semasa
5 HKB lahir pada 28 September 1917 di Balige dari kelompok paduan suara Zangvereeniging Hadomuan. Awalnya kelompok ini hanya ingin membentuk kesatuan sosial semua orang Kristen Batak. Tidak ada perkiraan yang nantinya akan memisahkan diri dan kemudian membentuk suatu gereja batak tersendiri; cikal bakal menjadi HKI. Lih. J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hl. 89. 6 Menurut catatan Lance Castle seperti yang ditulis dalam bukunya PTD SIhombing, MH Manullang lahir di Peanajagar 1881. Dia sering dianggap oleh para misionaris asing, khususnya Otto Marcks, pendeta zending yang bertugas sebagai Bapak Asrama di Sekolah Narumonda, sebagai ”anak muda yang licik dan cerdik”, karena ayahnya berasal dari Bangkara dan memiliki kedekatan dengan Raja Singamangaraja XII, walaupun telah dibaptis dengan nama Hezekiel dan mengikuti sekolah zending (Sekolah Anak Raja). Lih. PTD Sihombing, Op. Cit., hl. 39.
Ompu i |194
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
RMG menunjukkan kekuasaannya kepada masyarakat Batak (baca: pribumi) melalui sistem hirarkis yang dibangunnya sendiri, khususnya kepada gerakan prokemerdekaan; sesuatu hal yang justru bertentangan dengan pemahaman RMG sendiri mengenai Konsep Volkschristianisierung, yang memiliki tujuan akhir Missionsziel, perwujudan gereja rakyat yang mandiri. Demikian juga dengan periode-periode selanjutnya, di mana kesatuan masyarakat Batak dalam wacana Ompu i, justru mengalami keterpisahan akibat adanya perbedaan bahasa, misalnya daerah Simalungun menjadi GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun pada 1963, daerah Angkola menjadi GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola) pada 1976, dsb. Dari semua peristiwa yang dialami HKBP dengan wacana kepemimpinan Ompu i-nya, dapat dikatakan bahwa reproduksi wacana yang digunakan HKBP menempatkan gelar ini pada dunia Kekristenan yang memiliki otoritas dalam kesatuan masyarakat Batak. Namun ketika gelar ini sudah dicabut dari sisi orisinalitasnya maka gelar ini menjadi fetish7 dalam kepemimpinan masyarakat Batak. RMG mungkin dapat dikatakan yang mereproduksi gelar ini pertama kali melalui pimpinan tertinggi di tubuh HKBP, namun reproduksi ini dapat selalu dilakukan dalam konteks yang berbeda-beda.
7
Di dalam kamus psikoanalisa, fetish dikaitkan sebagai mekanisme disavowal (pengingkaran) dalam bentuk perversion. Dengan pandangan ini maka Fetish adalah simbol pengganti dari hilangnya “phallus”. Hal ini terjadi untuk menopang “sang ayah” yang merupakan simbol kastrasi. Lih. Dylan Evans, An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis (London: Routledge, 1996), hl. 64.
Ompu i |195
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Salah satu reproduksi akan wacana ini adalah dalam diri Tiopan Bernhard (T.B.) Silalahi. Mungkin bagi sebagian orang akan bingung dan bertanya mengenai hubungan sosok T.B Silalahi dengan Ompu i Singamangaraja, atau mungkin juga Nommensen, namun demikian wacana ini dapat terlihat dengan jelas dari museum yang didirikannya, yakni Museum T.B. Silalahi Center. Museum yang didirikan pada 7 Agustus 2006 dan diresmikan pada 17 April 2008 ini berlokasi di Balige, kabupaten Tobasa. Namun dibalik keberadaan museum ini, Balige menjadi kota tempat pemakaman Raja Singamangaraja XII setelah dipindahkan dari Tarutung pada 14 Juni 1953 sesuai dengan keputusan Presiden Soekarno. Masyarakat di kota Balige mungkin tidak akan lupa bahwa pemindahan tulang belulang Singamangaraja XII ke Balige sebagai suatu keinginan Soekarno untuk melihat Balige sebagai kota yang terkenal dalam perang Batak; sebuah kota yang terkenal dengan perjuangan Singamangaraja XII dan bukan Tarutung yang terkenal dengan kota tawanan Belanda.8 Dengan latar belakang kota kepahlawanan Singamangaraja XII inilah, TB Silalahi mendirikan museum ini. Museum TB Silalahi Center memiliki dua museum, yakni museum TB Silalahi yang memuat tentang pribadinya berupa: catatan sejarah perjalanan hidupnya, koleksi pribadinya, dll., dan museum Batak yang berisi koleksi kekayaan budaya dan sejarah Batak berupa artefak, arsip, dll. yang terdiri dari 6 puak, yakni Karo, Toba, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing. Di dalam museum Batak tersebut, berdiri patung si Raja Batak yang diyakini sebagai manusia pertama
8
Diambil dari https://blogseputarrajasisingamangaraja12.wordpress.com/page/2/ Diakses pada 5 Februari 2017.
Ompu i |196
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam mitologi Batak, serta patung Raja Singamangaraja dan Nommensen yang semakin melengkapi koleksi patung dari museum Batak. Namun demikian gambaran reproduksi wacana kepemimpinan Ompu i sangat terlihat ketika pertama kali memasuki museum TB Silalahi Center tersebut, di mana para pengunjung akan disambut dengan patung TB Silalahi bersama dengan patung harimau.
Patung TB Silalahi dan patung harimau di Museum TB Silalahi Center
Apabila dipandang dari perspektif semiotika, susunan-susunan dalam museum tersebut menghasilkan suatu pesan atau makna yang dapat ditangkap oleh pengunjung; yang harapannya sesuai dengan makna dan tujuan museum itu sendiri, dengan menjadikan museum sebagai suatu reproduksi yang dapat mengubah persepsi masyarakat dengan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.9 Patung TB Silalahi bersama seekor harimau merepresentasikan persona dalam bentuk
9
S. Brent Plate, Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion Through The Arts (New York: Routledge, 2005), hl. 85. Dalam masyarakat Batak, kehadiran patung, dalam hal ini patung TB Silalahi, selalu berkaitan atau tidak dapat dilepaskan dengan dalihan na tolu yang dalam pengertian tertentu dapat melampauinya namun juga tidak menimbulkan jurang antara monumen dengan diri (viewers). Kehadiran patung, dalam hal ini Patung TB Silalahi, memiliki multiimage yang dalam pengertian Dalihan Na Tolu akan memberikan kedudukan tertentu melalui marhata. Lih. Budi Susanto, Words and Blessings: Batak Catholic Discourse In North Sumatera (New York: Dissertation from Cornell University, 1989), hl. 338.
Ompu i |197
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
media. Memang menurut Marshall Mcluhan, seorang ahli dalam teori media, setiap media selalu bersifat bias yang tidak bisa ditentukan penafsirannya atau komunikasinya. Namun demikian sifat bias tersebut memiliki batasan tentang bagaimana media tersebut digunakan atau diinterpretasikan.10 Batasan-batasan ini secara tidak langsung berkaitan dengan pengetahuan dalam lingkungan masyarakat. Dalam pengertian ini patung harimau yang berada disebelah patung TB Silalahi dapat merepresentasikan deskripsi persona TB Silalahi. Mungkin gambaran mengenai patung harimau, ataupun juga seperti singa, adalah gambaran akan sosok raja hutan yang dapat mengindikasikan sosok TB Silalahi sebagai seorang yang memiliki sahala raja. Namun demikian yang lebih penting lagi bahwa dalam tradisi masyarakat Batak, harimau merupakan binatang yang dihormati, seperti yang telah dikatakan dalam bab II, yang dahulu setiap orang yang menemukan jejak harimau maka jejak tersebut sering disebut sebagai “bogas ni ompu i” (jejak Ompu i). Hal ini mengindikasikan deskripsi atau interpretasi dari TB Silalahi ditengah masyarakat Batak.
Namun yang menarik kemudian, bahwa secara keseluruhan museum tersebut justru menempatkan sosok Nommensen dan Singamangaraja XII berada dibelakang (baca: lokasi) dari patung TB Silalahi; yang akan mendeskripsikan suatu gambaran TB Silalahi yang menaungi kedua tokoh tersebut. Tidak ada deskripsi mengenai pertikaian antara kedua tokoh ini. Keduanya memiliki kepahlawanannya masing-masing. Mungkin bagi TB Silalahi yang menghabiskan karirnya di dunia
10
Eric McLuhan & Frank Zingrone, (eds.), Essential McLuhan (London: Routledge, 1995),
hl. 82-89.
Ompu i |198
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
militer, ia menjadikan atau memberikan dirinya sebagai sosok pengayom, pelindung bagi masyarakat Batak. Hal ini juga dipertegas dengan kalimat yang dituliskan dibalik patung dirinya: “Nasa na ni lehon Mi, tondi rodi pamatangku, Hosa dohot gogongki, rodi saluhut artangku, Hupasahat i tu Ho, na so unsatonku do.” (Semua yang diberikan Tuhan, roh dan juga daging, Nafas dan kekuatanku sampai dengan hartaku, kupersembahkan kepadaMu setulus hati)
Kalimat yang diambil dari syair lagu doa persembahan dalam tata ibadah HKBP ini merupakan lagu yang dengan menyanyikannya akan selalu mengingatkan bahwa segala kekayaan yang ada merupakan milik Tuhan yang harus dikembalikan kepada-Nya. Syair ini mungkin baginya mewakili kediriannya dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Namun yang pasti dalam konteks kekinian, TB Silalahi telah mereproduksi wacana kepemimpinan Ompu i yang diindikasikan melalui museum. Selayaknya fetish, maka istilah Saya Sasaki Shiraishi, seorang anthropolog, mengenai selendang dapat memberikan ilustrasi dalam wacana Ompu i ini bahwa dengan balutan selendang maka seorang bayi akan merasakan ketenangan dalam dekapan seorang laki-laki; yang dalam pengertian ini selendang menjadi pengganti dalam dekapan seorang ibu yang membuat kehangatan.11
Deskripsinya ingin menggambarkan reproduksi wacana kepemimpinan Ompu i yang dilakukan oleh TB Silalahi bahwa dengan menggunakan tradisi masyarakat Batak (Ompu i) maka akan memistifikasi hubungan pemimpin dan
11
Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia Dalam Politik (Jakarta: KPG, 2001), hl. 82.
Ompu i |199
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengikut sebagai suatu keluarga di mana masyarakat Batak akan diberikan “kehangatan.” Memang museum ini justru mengindikasikan suatu dekonstruksi atas sosok Ompu i Ephorus HKBP, namun demikian ketika HKBP atau RMG berusaha mereproduksi wacana kepemimpinan ini ke dalam konteks Kekristenan, maka reproduksi yang dibangun oleh TB Silalahi merupakan wacana kepemimpinan bagi orang-orang yang memiliki harta atau kekayaan; yang mengindikasikan konteks kapitalisme yang turut mempengaruhi reproduksi wacana ini.
Ompu i |200
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Diambil dari Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen, hl. 281.
Ompu i |202
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Surat Kuliling Immanuel 1 Maret 1892 No 3
Ompu i |203
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |204
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |206
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Surat Kuliling Immanuel 1 Juli 1892 No 7
Ompu i |207
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |208
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ompu i |209
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku Aritonang, Pdt. Dr. Jan S. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Aritonang, Pdt. Dr. Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Aritonang, Jan Sihar dan Steenbrink, Karel. Eds. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brill, 2008. Anderson, Bennedict. Imagined Community: Reflections on The Origin and Spread of Nationalism. London: Verso, 2006. _______. Kuasa Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000. Burke, Peter. History and Social Theory. New York: Cornell University Press Ithaca, 1992. Bhabha, Homi K. The Location of Culture. London: Routledge, 1994. Castle, Lance. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 19151940. Jakarta: KPG, 2001. Chambert-Loir, Henri. Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG, 2009.
Ompu i |210
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Carrette, Jeremy R. ed. Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra, 2011. Eliade, Mircea. Sakral dan Profan. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. End, Van den. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London: Routledge, 1996. Fanon, Frantz. Black Skin, White Mask. London: Pluto Press, 1967. Faubion, James D. ed. Michel Foucault: Power. Essensial Work of Foucault 19541984: Paul Rabinow Series Editor. Foucault, Michel. The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1. New York: Vintage Books, 1990. ________. Arkeologi Pengetahuan. Yogyakarta: Ircisod, 2012. ________. Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault. Yogyakarta: Jalasutra, 2011. ________, About the Beginning of the Hermeneutics of the Self: Two Lectures at Dartmouth. Political Theory, Vol. 21, No. 2. May, 1993. ________. Language, Madness, and Desire On Literature. Minneapolis: University of Minnesota Press, 2015. Frederiks, Martha. dkk. eds. Towards An Intercultural Theology: Essays in Honour of Jan A.B. Jongeneel. Utrecht: Uitgeverij Meinema, 2003.
Ompu i |211
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: A critical introduction. Sydney: Allen & Unwin, 1998. Hart, William D. Edward Said and The Religious Effects of Culture. Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Hansen, George P. The Trickster and the Paranormal. Philadelphia: Xlibris, 2001. Hardiman, F. Budi. Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga, 2011. HKBP, Tuhan Menyertai UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun. Tarutung: HKBP, 1986. Hutauruk, J.R. Kemandirian Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992. Kozok, Uli. Utusan Damai Di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016. Lumbantobing, Andar Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Lumbantobing, Adniel. Sedjarah Si Singamangaradja I-XII. Tarutung: Dolok Martimbang, 1959. Mannion, Gerard. cs. eds., The Routledge Companion To The Christian Church. New York: Routledge, 2008. Marsden, William. Sejarah Sumatra. Depok: Komunitas Bambu, 2013. Mclellan, David. Ideologi Tanpa Akhir. Bantul: Kreasi Wacana, 2005.
Ompu i |212
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
McLeod, John. Beginning Postcolonialism. Manchester: Manchester University Press, 2000. McLuhan. Eric & Zingrone, Frank. Eds. Essential McLuhan. London: Routledge, 1995. Meerwaldt, J.H. ed. Boengaboenga Na Angoer jilid II: Boekoe Sidjahaon ni Anak Sikola Metmet angka na di Rongkanan Pargindjang. Lagoeboti: Pangarongkoman Mission, 1919. Mills, Sara. Michel Foucault. London: Routledge, 2003. Munthe, Rachman Tua. Allah Beserta Kita: Respons HKBP atas Kondisi Sosial – Politik di Indonesia Periode 1890-1965. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. Nababan, Manguji. ed. Torsatorsa Hombung: Turiturian Ni Halak Batak. Medan: Vanivan Jaya, 2015. Nababan, Panda. Dkk. eds. Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap Warga Jemaat Huria Kristen Batak Protestan. Jakarta: Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era Industrialisasi, Yayasan Sinar Mampang, 1988. Napitupulu, O.L. Perang Batak perang Si Singamangaradja. Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, 1972. Neill, Stephen. Colonialism and Christian Missions. London: Mcgraw-Hill Book Company, 1966. Niebuhr, Richard. Christ and Culture. New York: Harper and Row, 1951.
Ompu i |213
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Niel, van Robert. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. Pasaribu, Idris. Mangalua. Jakarta: Obor 2015. Pedersen, P.B. Darah Batak dan Jiwa Protestan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975. Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010. Plate, S. Brent. Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion Through The Arts. New York: Routledge, 2005. Rabinow, Paul. ed. The Foucault Reader. New York: Pantheon Books, 1984. Rafael, Vicente L. Ed. Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and Colonial Vietnam. Ithaca: Cornell University: 1999. Randwijck, S.C. Graaf van. Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. Reid, Anthony. Menuju Sejarah Sumatera. Jakarta: Pustaka Obor, 2011. Said, Edward. Orientalism. London: Penguin Books, 2003. Said, Muhammad. Singa Mangaradja XII. Medan: Waspada, 1961. Sangti, Batara. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar, 1977. Saukko, Paula. Doing Research In Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London: Sage Publications, 2003. Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: JosseyBass, 2004.
Ompu i |214
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Schreiner, Lothar. Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978. Siahaan B.A., N. Sedjarah Kebudajaan Batak: Suatu Studi Tentang Suku Batak Toba-Angkola-Mandailing-Simelengun-Pakpak Dairi-Karo. Medan: C.V. Napitupulu & Sons, 1964. Sidjabat, Prof. Dr. W. Bonar. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan, 1982. Siegel, James T. Fetish, Recognition, Revolution. New Jersey: Princeton, 1997. Siegel, James T. Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas. Yogyakarta: LKiS, 2000. Sihombing, T.M. Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat. Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Sihombing, Dr. PTD. Tuan Manullang. Humbang: Albert-Orem Ministry, 2008. Silalahi, Ulber Dr. MA. Pemerintahan (Harajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba. Medan: Bina Media Perintis, 2014. Simanjuntak, Bungaran Antonius. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jakarta: Obor, 2009. Sinaga, Anicetus B. Dr. Allah Tinggi Batak-Toba: Transendensi dan Imanensi. Yogyakarta: Kanisius, 2014. Shiraishi, Saya Sasaki. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia Dalam Politik. Jakarta: KPG, 2001.
Ompu i |215
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sitompul, A.A. Sitotas Nambur Hakristenon Di Tano Batak. Jakarta: Dian Utama, 2005. Situmorang, Sitor. Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIIIXX. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. Tobing, PH. O.L. The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God. Amsterdam: South and South-East Celebes Institue For Culture, 1963. Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKIS, 2004. Warneck, J. Kamus Batak Toba-Indonesia. Warneck, Joh. The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom. London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867. Wodak, Ruth. & Chilton, Paul. Eds. A New Agenda in (Critical) Discourse Analysis. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 2005. Zizek, Slavoj. ed. Mapping Ideology. London: Verso, 1994. Zwartjes, Otto. Cs. Eds. Missionary Linguistic V: Translation Theories and Practies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2014.
Refrensi Tulisan Akademis Susanto, Budi. Words and Blessings: Batak Catholic Discourse In North Sumatera. New York: Dissertation, Cornell University, 1989. Winkler, Herald E. The Divided Roots of Lutheranism in South Africa. Disertasi Department of Religious Studies University of Cape Town, 1989.
Ompu i |216
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Refrensi Majalah Almanak HKBP 2015. Tarutung: Kantor Pusat HKBP 2015. Basis, Th ke-50, Maret-April 2001. Burton dan Ward, Report of Journey into Batak Country, in the interior of Sumatra, in The Year 1824: Communicated by The Late Sir Stamford Raffles dalam Early Journal Content On JSTOR. Historia, Nomor 27 Tahun III 2016. Jurnal Polis Vol.3, 2010 University of Leeds. Occasional Buletin, Juli, 1980. Surat Parsaoran Immanuel HKBP edisi No. 9 September 2015 Tahun ke-125. Surat Kuliling Immanuel No. 11, November 1893. Surat Kuliling Immanuel No. 6, Juni 1893. Surat Kuliling Immanuel, No. 7, 1 Juli 1892. Surat Kuliling Immanuel, No. 3, 1 Maret 1892. Surat Kuliling Immanuel, No. 2, 1 Februari 1892. Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1891. Surat Kuliling Immanuel, No. 11, 1 November 1890. Surat Kuliling Immanuel, No. 10, 1 Oktober 1890. The Cambridge Dictionary of Philosophy edisi kedua.
Refrensi Internet http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=23590. Di akses pada 24 Oktober 2015.
Ompu i |217
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
https://www.facebook.com/notes/rizal-ebiet-ir/tigabelas-tesis-tentang-kerusuhandan-konflik-sosial-pasca-soeharto-di-indonesia/10152452800962039. Diakses pada 21 november 2015. http://batakpedia.sourceforge.net/?page_id=9 http://fransaritonang.blogspot.co.id/2013/01/antara-nommensen-dansisingamangaraja.html. http://batakweb.blogspot.co.id/2010/02/suhi-ni-ampang-na-opat.html. Diakses pada 4 September 2016. http://www.kompasiana.com/itnaibaho.blogspot.com/sisingamangaraja-xii-bagian -i-antara-silsilah-dan-mitos_5518cf3f81331140719de0ed. Diakses pada 18 Maret 2016 pukul 22.25 WIB. https://tobadreams.wordpress.com/2008/12/21/wawancara-dengan-cucu-tertuasisingamangaraja-xii/. Diakses pada 4 september 2016. https://tobadreams.wordpress.com/2008/12/21/wawancara-dengan-cucu-tertuasisingamangaraja-xii/ Di akses pada 4 september 2016. https://blogseputarrajasisingamangaraja12.wordpress.com/page/2/ Diakses pada 5 Februari 2017.
Wawancara Wilson Lumbanraja pada 30 April 2016.
Ompu i |218