U KAB
PATEN JOMBANG
PROFIL TOKOH KABUPATEN JOMBANG Pemerintah Kabupaten Jombang Cetakan Ketiga, Desember 2010 Profil Tokoh Kabupaten Jombang © Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 Penulis Asli : Djoko Pitono dan Kun Haryono Pengetikan Ulang : Tim Bidang Litbang dan Statistik Bappeda Kabupaten Jombang. Pemeriksa huruf : Rika Paur Fibria Mayusi, S.STP, MKP. Editing : Drs. Lucas Magalhaes Penyelaras Akhir : Mufidah, S.Si. Design Sampul : Edy Moedjijono, BE. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Djoko Pitono, Kun Haryono Profil Tokoh Kabupaten Jombang Cet. 3. -- Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 137 hlm.; 21 cm
Daftar Isi Identitas Buku (1) Daftar Isi (2) Bagian I Prolog (5) Bagian II Pahlawan Nasional KH. Hasyim Asy’ari (9) KH. Wahab Hasbullah (24) KH. Wahid Hasyim (28) Bagian III Cendekiawan, Tokoh Politik, Pejabat Sipil dan Militer Profesor Dr. Nurcholish Madjid (32) KH. Bisri Syansuri (39) KH. M. Wahib Wahab (44) KH. M Yusuf Hasyim (48) KH. Abdurrahman Wahid (52) Prof. Dr. Widjojo Nitisastro (58) KH. Ir. Salahuddin Wahid (62) KH. As’ad Umar (66) Dr. KH. Musta’in Romly (70) Drs. H. A. Muhaimin Iskandar, M.Si. (73) Drs. H. Choirul Anam (77) Laksda Sukarton Marmosudjono, SH. (81) Singgih, SH. (84) Marsekal TNI (Purn) Rilo Pambudi (89) Laksamana TNI Slamet Soebijanto (92) Mayjen TNI Moekhlas Sidik, MPA. (100)
2
Bagian IV Tokoh Seni, Budaya, dan LSM Emha Ainun Nadjib (105) Wardah Hafidz, MA. (112) Gombloh (117) Cak Durasim (121) Asmuni (124) Markeso (128) Bolet (131) Bagian V Epilog (135) Kepustakaan (136)
3
Bagian I PROLOG
4
Prolog Jombang adalah daerah yang memiliki banyak tokoh besar dalam sejarahnya yang panjang. Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang terkenal dalam mempersatukan Nusantara di abad ke-14, konon berasal dari daerah Jombang. Tetapi itu mungkin terlalu jauh. Kita ambil saja masa sejak awal abad ke-20, kita pun bisa deretkan tokoh-tokoh besar dari daerah Jombang yang mengisi panggung sejarah Indonesia. Kita mengenal misalnya Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, yakni Nahdlatul Ulama. Tokoh ini sungguh luar biasa perjuangannya sehingga namanya pun tercatat dengan tinta emas. Seorang putranya, KH. Wahid Hayim, tak kurang hebatnya, yang terkenal karena kelembutan sikapnya hingga lawan-lawan politiknya pun segan dan cinta kepadanya. Cucu Hasyim Asy’ari juga tokoh yang istimewa, terlepas seseorang suka atau tidak. KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah tokoh yang disebut sebagai “la roiba fihi” – tak ada keraguan sedikit pun tentangnya. Menurut Emha Ainun Nadjib, orang-orang Mesir pun sangat mencintainya, sehingga kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan dikaitkan dengan gagalnya kesebelasan Mesir Pra-Piala Dunia memenangkan pertarungan melawan Aljazair. Skor 1-1. Ini membuat nama Gus Dur jadi kacau. Kalau skor 1-0, maka angka hanya Wahid. Kalau 1-1, jadinya Wahid-Wahid. “Saking jengkelnya orang Mesir terhadap Gus Dur, kalau di warung mereka selalu meneriakkan nama Gus Dur keras-keras: “Gahwah wahid! Syay wahid! Thaam wahid…!!!,” tulis Emha di kolom Gatra. Kita juga mengenal Nurcholish Madjid, yang akrab disapa Cak Nur. Dunia pemerhati peta pemikiran dunia sebelah mana tak kenal dia? Seorang pelopor pembaharuan pemikiran Islam Indonesia. Waktu usianya masih belasan tahun di Pesantren Gontor, tutur Emha pula, ia sudah cas-ciscus bahasa Inggris, Arab, Jerman, Jepang. Sedemikian pandainya Cak Nur, sehingga batuk dan dehemnya pun ilmiah, bahkan setiap helai rambutnya bisa memantulkan cahaya ilmu. Emha Ainun Nadjib sendiri, siapa yang tidak mengenal tokoh ini? Inilah seorang tokoh yang piawai menulis, berpuisi, berdakwah,
5
bernyanyi, dan entah ber-apa lagi. Seorang budayawan yang multitalenta, dengan sikapnya yang gagah berani pula melawan kesewenang-wenangan penguasa. Rakyat negeri ini juga akrab dengan tokoh Jombang lainya, namanya Asmuni bin Asfandi. Ia termasuk penghuni utama hati dan kenangan hidup kita. Ayah Asmuni, Asfandi, adalah pendiri Gambus Misri. Ludruk lahir dari komunitas abangan, Gambus Misri lahir dari komunitas santri. Ludruk pakai musik dan gamelan Jawa Timur, Gambus Misri pakai tradisional Jawa. Gambus Misri mengambil tema-tema dari sejarah Islam. Ludruk hidup sampai sekarang. Gambus Misri harus terusmenerus repot dengan budaya Islam yang serba fiqih, sampai akhirnya mati. Tetapi, itu tidak mengurangi nilai dan kemuliaan ijtihad Pak Asfandi. Cak Durasim, seniman besar yang kesenian dan pasemonnya melawan Jepang adalah juga tokoh dari Jombang. Ia menjadi benih dari kesenian ludruk yang hidup sampai hari ini. Ludruk kemudian mengalami penyempitan kapitalistik dan menjadi Srimulat, sementara Cak Durasim menjadi syahid karena perlawanan politiknya terhadap kolonialisme dan imperialisme kekuatan asing. Lalu Anda tentu ingat Gombloh – country singer, yang dikenal sebagai perokok berat tapi suaranya bisa melengking-lengking. Kebyar-kebyar, sering kita perlakukan seolah-olah lagu wajib nasional. Manusia sangat merdeka. Pencinta rakyat kecil dan membaur dalam kehidupan mereka. Makamnya di Pemakaman Tembok, Surabaya, masih sering dikunjungi oleh para musisi jalanan. Mereka memandang Gombloh sebagai pahlawan mereka. Masih banyak lagi nama yang bisa kita deretkan di sini. Ada Wardah Hafidz, Marsekal TNI (Purn) Rilo Pambudi, Mayjen TNI (Purn) Imam Utomo, dan sebagainya. Semua itu adalah tokoh-tokoh besar yang tentunya dapat memberikan inspirasi kepada kita semua. Itulah tokohtokoh yang telah ikut mewarnai republik ini karena prestasi perjuangan di bidang masing-masing. Mengingat besarnya jasa para tokoh tersebut, buku ini mencoba melukiskan perjalanan hidupnya, pandangan dan perjuangannya, dengan maksud agar khalayak luas bisa lebih mengenalnya. Terutama kepada generasi muda buku ini ditujukan agar mereka dapat memetik pelajaran dari tokoh-tokoh besar itu.
6
Media buku adalah sarana yang efektif untuk mencapai sasaran tersebut, seperti telah dialami pula oleh Bung Karno. Proklamator itu pernah berkata: Buku-buku adalah temanku. Di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Pandangan-pandangan mereka menjadi pandanganku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku. Kita tentu memiliki impian anak-anak kita akan menjadi orangorang besar yang mendahului kita.
7
Bagian II PAHLAWAN NASIONAL
8
KH Hasyim Asy’ari Ulama, Pendiri Nahdlatul Ulama, Pendiri Ponpes Tebuireng Hasyim Asy’ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 24 Dzulqa’dah 1827 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Kelahirannya berlangsung di kediaman kakeknya, Kiai Usman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang, sebuah dusun di Wilayah Tambakrejo Kecamatan Jombang. Ia adalah putra dari Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Konon, sejak masa kehamilan yang berlangsung empat bulan, sudah terlihat tanda-tanda yang mengisyaratkan bahwa calon jabang bayi dalam kandungan itu, kelak akan menjadi tokoh besar. Antara lain, sang ibu, Nyai Halimah ketika mengandung putra ketiganya ini pernah bermimpi perutnya kejatuhan bulan purnama. Ketika hal ini diberitahukan kepada suaminya, ia pun tak tahu apa yang akan terjadi. Cuma, Kiai Asy’ari pernah mendengar bahwa mimpi semacam itu merupakan pertanda anugerah Allah. Boleh jadi, itu lantaran sang ibu jauh sebelumnya sudah melaksanakan olah batin dengan berpuasa tiga tahun berturut-turut. Niat beliau, satu tahun berpuasa untuk dirinya sendiri, satu tahun lagi untuk anak cucunya dan satu tahun berikutnya untuk seluruh santrinya. Hasyim kecil tumbuh dalam asuhan ayah ibu dan kakek neneknya di Gedang. Mereka mencurahkan kasih sayang, juga memperkenalkan kitab suci Al Quran dan budi pekerti luhur serta menanamkan jiwa kepemimpinan dan semangat juang. Sejak kecil Hasyim sudah menunjukkan jiwa dan watak yang santun tetapi tegas. Tak heran jika Hasyim tampak menonjol di antara teman-temannya. Menjelang usia enam tahun, Hasyim diajak ayahnya pindah ke Desa Keras, Kecamatan Diwek, sepuluh kilo meter di sebelah selatan Kota Jombang. Di tempat inilah Kiai Asy’ari mengembangkan ilmu dengan membangun masjid dan pondok pesantren. Di tempat ini, Hasyim dididik intensif mengenai dasar-dasar ilmu agama hingga usia 13 tahun.
9
Haus Ilmu Seperti lazimnya anak seorang kiai di masa itu, Hasyim tak puas hanya dengan belajar kepada ayahnya sendiri. Didorong oleh tingginya cita-cita, maka setelah cukup memiliki bekal, Hasyim mengemukakan maksudnya untuk merantau. Kedua orang tuanya memahami maksud Hasyim yang ingin menambah pengetahuan dan meluaskan wawasan. Karena itu, di usia 15 tahun, diiringi doa restu ayah ibu, Hasyim berangkat menuntut ilmu yang lebih mendalam. Mula-mula masuk Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan. Lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban. Selanjutnya Hasyim menimba ilmu di Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Bangkalan Madura ada seorang kiai besar bernama Kiai Muhammad Kholil yang terkenal sebagai waliyullah, Hasyim pun tertarik. Maka setelah tamat mengaji di Tenggilis, Hasyim berangkat menuju Pondok Pesantren Demangan Bangkalan. Hasyim tak lama belajar kepada Kiai Kholil. Karena ilmunya sudah dianggap cukup, maka Kiai Kholil meminta Hasyim segera pulang dan menularkan ilmunya kepada orang lain yang membutuhkan. Namun, Hasyim yang haus ilmu tak langsung pulang. Keinginan memperdalam ilmu, mendorongnya untuk berguru kepada kiai Ya’qub di Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Rupanya, Kiai Ya’qub yang arif, terus mengamati kecerdasan dan keistimewaan santri baru ini, sehingga kemudian tertarik untuk mengambilnya menjadi menantu. Sebagai santri yang selalu taat pada perintah gurunya, Hasyim tak kuasa menolak permintaan Kiai Ya’qub. Apalagi setelah Kiai Ya’qub menyakinkan bahwa pernikahan tidak menjadi kendala dalam menuntut ilmu. Akhirnya, setelah memperoleh restu dari ayah ibu, pernikahan Hasyim dengan putri Kiai Ya’qub yang bernama Nafisah dilangsungkan pada tahun 1892. Saat itu Hasyim baru berusia 21 tahun. Tak lama kemudian, bersama mertua dan istrinya yang sedang hamil muda, Hasyim berangkat menunaikan ibadah ke tanah suci sambil memperdalam ilmu. Tujuh bulan di Mekkah, Nafisah jatuh sakit dan wafat. Kesedihan kian bertumpuk lantaran empat puluh hari kemudian, buah hatinya, Abdullah, yang diharapkan menjadi pelipur lara, meninggal dunia mengikuti ibunya. Kesedihan itu hampir tak tertanggungkan oleh Hasyim muda. Untuk menghibur diri, Hasyim lebih giat beribadah di Masjidilharam serta lebih
10
tekun mengkaji kitab-kitab agama. Tahun berikutnya, Hasyim kembali ke tanah air tapi tak seberapa lama karena pada akhir tahun yang sama sudah kembali ke Mekkah disertai adik kandungnya, Anis. Mungkin Allah memang sengaja menguji ketabahan, karena setelah bermukim beberapa waktu di Mekkah, Anis pun meninggal. Meski sedih Hasyim pantang surut mengejar cita-cita. Waktunya dicurahkan penuh untuk meningkatkan ibadah dan menimba pengetahuan. Hasyim juga menyempatkan berziarah ke tempat-tempat mustajab guna memanjatkan doa agar cita-citanya terkabul, termasuk diantaranya ke makam Rasulullah di Madinah. Bahkan setiap Sabtu pagi, Hasyim berangkat menuju goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km di luar kota Mekkah. Di gua tempat Nabi Muhammad melakukan khalwat hingga menerima wahyu pertama ini, Hasyim sering menyendiri sambil mengkaji kitab-kitab agama. Selama di Mekkah, Hasyim berguru kepada banyak ulama besar. Antara lain Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syeikh Muhammad Mahfudz At Turmudzi dan Syeikh Khotib Minangkabawi, sebelum beliau mengikuti faham reformasi Syeikh Muhammad Abduh. Juga kepada Syeikh Ahmad Amin Al Aththar, Syeikh Ibrahim Arab, Syeikh Said Yamani, Syeikh Rahmatullah dan Syeikh Sholeh Bafadal. Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain, Sayyid Abbas Al Maliki, Sayyid Sulthon Hasyim Ad Daghistani, Sayyid Abdullah Az Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hassan Al Aththas, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad Dimyati dan Sayyid Husein Al Habsyi yang ketika itu menjadi Mufti Mekkah. Dari sekian banyak guru, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuannya. Mereka adalah Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, Sayyid Husain Al Habsyi dan Syeikh Mahfudz At Turmudzi. Ketika belajar di tanah suci, Hasyim menunjukkan minat yang besar pada semua disiplin ilmu. Tetapi yang paling menonjol terlihat pada Ilmu Hadits. Menurut sejarawan Arab, Sayyid Muhammad Asad Syihab, para pelajar di tanah haram yang datang dari berbagai belahan dunia, terutama Afrika dan Asia, ketika itu sempat menggalang solidaritas untuk membebaskan umat Islam dan tanah air mereka dari penindasan kolonialisme Barat. Pada suatu malam di bulan suci Ramadlan, mereka berdiri di depan Multazam dan bersumpah demi Allah, masing-masing
11
akan berjuang untuk menegakkan kalimah Allah, memperkokoh umat Islam dengan membangkitkan kesadaran untuk bersatu serta memperdalam ilmu dan agama demi mendapatkan ridla Allah tanpa mengharapkan harta dan kedudukan bagi diri sendiri. Ikrar suci ini bukan cuma dipegang teguh Hasyim muda, melainkan juga dilaksanakan sepenuhnya ketika ia pulang ke tanah air dan menjadi ulama besar. Meski sudah lama merantau, begitu pulang ke kampung halaman, Kiai Hasyim tak lupa pada kebiasaannya dulu yaitu mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Di sela-sela kegiatan mengajar Hasyim meluangkan waktu pergi ke sawah dan ke pasar. Ia ingin mengajarkan agar berusaha mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Dari hasil usahanya, Kiai Hasyim mampu membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan berkecukupan. Beberapa santri kerap membantu kiainya ke sawah dan ke pasar. Antara lain Kiai Ahyat Halimi dari Mojokerto dan Kiai Muchtar Syafaat dari Banyuwangi. Namun limpahan kekayaan tak membuat Kiai Hasyim lupa diri dan hidup mewah. Ia justru meneladani kehidupan Rasulullah yang amat sederhana. Kendati mampu, ia tak mau membangun rumah megah. Kediaman beliau bahkan tak mencerminkan rumah seorang kiai besar karena cuma berdinding bambu dan berlantai semen. Di dalam rumah beliau tak ada perabotan mahal, satu-satunya yang tergolong mewah adalah ratusan judul kitab yang menjadi bahan telaah beliau tiap hari. Untuk merawat kitab-kitabnya yang mahal itu, sebulan sekali dijemurnya. Dalam merawat kitab ia dibantu para santri di antaranya Kiai Abu Syuja’ dari Kediri dan Kiai Achmad Siddiq dari Jember. Kiai Hasyim sangat konsisten dengan pola hidup sederhana dan selalu menekankan hal itu kepada anak cucunya. Iming-iming jabatan dan harta yang disodorkan pemerintah penjajah baik Belanda maupun Jepang ditolaknya karena ia tak ingin menjadi antek kolonialisme yang menyesatkan rakyat. Termasuk anugerah emas dari Ratu Belanda, Wilhelmina, yang hendak diberikan kepadanya pada 1937. Memang, ia pernah menerima jabatan sebagai Ketua Djawa Hokookai (Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa) dan Ketua Shumubu-co (Kantor Urusan Agama) untuk seluruh kemaslahatan masyarakat banyak, khususnya umat Islam. Namun dalam pelaksanaan sehari-hari ia menunjuk
12
putranya, Kiai Abdul Wahid Hasyim, yang ketika itu sudah tampil sebagai kader penerus yang potensial. Istiqomah Berkat didikan kakek dan ayahnya di masa kecil serta bimbingan para gurunya di masa remaja, Hasyim tumbuh dewasa dengan iman yang teguh, jiwa yang matang, ilmu yang luas dan watak yang santun. Salah satu sikap yang menonjol dalam kepribadiannya ialah istiqomah. Ia amat konsisten dalam memegang prinsip terutama jika sudah manyangkut pendirian yang ia yakini kebenarannya. Namun ia juga sangat toleran. Seperti diungkapkan sahabatnya yang menjadi salah seorang ulama Al Azhar di Kairo, Syeikh Rabbah Hasunah, Kiai Hasyim justru tokoh yang amat toleran. Ia tak pernah memaksakan kehendak kepada orang lain. Pendapat yang ia sodorkan selalu didukung argumentasi rasional yang mudah diterima lawan bicara. Itu sebabnya banyak dari umat beragama lain yang secara tulus memeluk Islam, setelah berdiskusi dengannya dan yakin akan kebenaran ajaran Islam. Salah satunya adalah Karl von Smith, seorang insinyur berkebangsaan Jerman yang ketika itu bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Karl von Smith pulang ke Jerman dan menyebarkan Islam di negaranya melalui Islamic Centre di Hamburg. Sabar Sifat lain yang menonjol pada diri Kiai Hasyim adalah sabar. Sifat ini lahir berkat tempaan kesulitan dan musibah yang kerap dialami sejak kecil. Kesabarannya teruji setelah menikah dan mengalami musibah dengan meninggalnya dua isteri dan beberapa anak tercinta. Kiai Hasyim menghadapi dengan tabah dan menyerahkan semuanya kepada takdir Allah. Tak berbeda ketika ia merintis berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng yang semula dikenal sebagai daerah kriminal. Tantangan dan gangguan datang silih berganti, namun semuanya dihadapi dengan penuh ketabahan yang akhirnya membuahkan keberhasilan. Begitupun saat berjuang melawan penjajah, Kiai Hasyim menunjukkan kesabaran luar biasa. Pada tahuan 1942, beliau ditangkap pemerintah militer Jepang dengan tuduhan menggerakkan aksi perlawanan rakyat terhadap Jepang di Indonesia.
13
Ia ditahan di Mojokerto lalu dipindahkan ke Bubutan, Surabaya. Sebagai tanda cinta dan khidmat kepada guru, sejumlah santri meminta ikut dipenjarakan bersama sang guru. Kiai Hasyim mendekam di penjara lebih enam bulan dan diperlakukan tidak manusiawi. Akibatnya salah satu tangan beliau menderita cacat yang cukup menyedihkan. Sifat Kiai Hasyim yang menonjol adalah kejujuran dan keikhlasan, tak punya pamrih duniawi. Itu sebabnya nasihat dan fatwanya mudah diterima orang lain. Tak sedikit tokoh besar yang sengaja datang ke Tebuireng untuk meminta saran dan petunjuknya. Di antaranya, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Soetomo alias Bung Tomo, pemimpin pemberontak arek-arek Suroboyo yang sangat heroik itu. Bahkan ketika diadakan pertemuan antara pembesar Negara dengan para alim ulama Jawa Timur di Kediri, Presiden Soekarno sangat memperhatikan dan memuji pesan-pesan moral yang diberikan Kiai Hasyim pada forum tersebut. Sehari-hari Sejak remaja Kiai Hasyim dikenal sebagai anak muda yang berpandangan religius dan berorientasi ukhrowi. Ia terbiasa melakukan olah batin dengan berpuasa guna mencegah godaan hawa nafsu. Kebiasaan itu ia warisi dari ibundanya, Nyai Halimah. Sekalipun tak berpuasa, ia jarang makan. Paling banyak dua kali sehari yakni sarapan dengan secangkir kopi susu serta makan malam usai mengajar. Beliau memanfaatkan seluruh waktu dengan baik: mencari nafkah, mengajar santri, menerima tamu dan terutama melaksanakan ibadah. Nyaris tak ada waktu terbuang. Usai shalat subuh berjamaah diikuti wirid yang sangat panjang lalu mengajar para santri di serambi masjid hingga menjelang matahari terbit. Kitab yang dibacanya cukup beragam antara lain kitab Asy Syifa dan At Tahrir. Sesudah itu Kiai Hasyim menemui para tukang dan kuli sambil memberi petunjuk mengenai tugas-tugas yang harus mereka kerjakan pada hari itu. Hingga pukul 10.00 ia mengajar kitab-kitab besar seperti Al Muhadzdzab dan Al Muwaththo’ yang dikhususkan untuk para santri senior. Selepas mengajar ia punya sedikit waktu yang dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti menemui tamu, membaca kitab atau menulis
14
karangan. Sebelum jamaah salah dhuhur, ia kadang tidur sebentar. Usai berjamaah, ia mengajar di serambi masjid hingga menjelang waktu asar. Kegiatan dilanjutkan dengan menerima laporan dan memeriksa pekerjaan para tukang dan kuli. Sesudah itu mandi dan kembali ke masjid untuk berjamaah shalat asar, disusul dengan mengajar di masjid. Pelajaran selepas asar adalah kitab Fath Al Qorib yang wajib diikuti semua santri. Hingga akhir hayatnya, kitab ini tetap dibaca sebagai wirid sehabis asar. Sambil menunggu bedug maghrib, Kiai Hasyim mengisi waktu dengan membaca kitab yang hendak ia ajarkan. Setelah berjamaah maghrib, ia secara khusus menyediakan waktu untuk para tamu yang datang dari jauh, terutama wali santri. Kegiatan ini berlangsung hingga masuk waktu shalat isya’. Usai shalat isya’ ia mengajar di masjid hingga pukul 23.00. Kitab yang diajarkan di waktu malam adalah Ihya Ulum Ad Din dan Tafsir Ibnu Katsir. Setelah itu, barulah Kiai Hasyim makan malam. Setiap minggu, kegiatan rutin harian itu hanya libur dua kali yakni Selasa dan Jum’at. Dua hari itu digunakan untuk memeriksa garapan di sawah atau dagangan di pasar. Untuk hari Jumat, ia memiliki kegiatan khusus yakni memperbanyak bacaan Al Quran dan shalawat Nabi. Usai menjadi khatib dan imam Shalat Jumat, secara rutin ia memberikan pengajian umum. Kitab yang dibaca adalah Tafsir Al Jalalain. Ia mengakhiri kegiatan harian dengan beranjak tidur menjelang tengah malam. Itu pun tak lama, karena menjelang subuh sudah bangun. Pergaulan Luas Kiai Hasyim adalah tokoh yang memiliki hubungan luas yang melintasi batas-batas negara hingga menembus belahan dunia lain. Ini terjalin sejak ia belajar di tanah suci Mekkah. Di antara para sahabatnya itu tercatat antara lain: Sayyid Sholeh Syatha, Syeikh Thoyyib Al Sasi, Syeikh Bakr Shobbagh, Sayyid Sholeh bin Alwi bin Uqail, Syeikh Abdul Hamid Quds, Syeikh Muhammad Fathoni, Syeikh Muhammad Said Abdul Khoir, Syeikh Abdullah Hamduh, Sayyid Idrus Al Bar, Sayyid Alwi Al Maliki dan Sayyid Muhammad Thohir Ad Dabbagh. Dari kalangan pejuang dan negarawan tercatat nama Pangeran Abdul Karim Al Koththobi, tokoh revolusi kemerdekaan Maroko yang melawan penjajah Perancis dan Spanyol, juga dengan Sultan Pasya Al
15
Athrasy, pemimpin Suriah yang bangkit menentang kolonial Prancis. Ketika pada tahun1924 kedua tokoh itu mengobarkan jihad, serta merta Kiai Hasyim mendukung. Guna menggalang solidaritas kaum muslimin Indonesia terhadap perjuangan saudara-saudara mereka melawan kolonialisme asing, demonstrasi besar, rapat umum dan arak-arakan raksasa digelar di berbagai kota dan ia selalu hadir memberikan dukungan moral. Upaya ini dihambat penjajah Belanda yang takut kalau gerakan tersebut membangkitkan aksi perlawanan di Indonesia. Selain itu, Kiai Hasyim menjalin hubungan erat dengan Sayyid Muhammad Amin Al Husaini, Ketua Kongres Islam se dunia asal Palestina yang kemudian menetap di Berlin, Jerman. Juga dengan Sayyid Dliyauddin Asy Syairozi, serta Muhammad Ali dan Syaukat Ali, ketiganya tokoh Islam India yang berjuang melawan Inggris. Tak kalah eratnya hubungan Kiai Hasyim dengan Muhammad Ali Jinnah, Bapak Kemerdekaan Pakistan. Lalu Sayyid Hibbatuddin, mantan Menteri Pendidikan Irak, dan Sayyid Alwi bin Thohir Al Haddad, mufti kerajaan Johor Malaysia. Tak ketinggalan Syeikh Ahmad Az Zein, pemilik dan pendiri majalah Al Irfan dan koran Jabal ‘Amil. Kiai Hasyim juga akrab dengan sejumlah ulama, filsuf dan budayawan kaliber internasional. Misalnya budayawan Mesir terkemuka Amir Syakib Arsalan, filsuf Pakistan Muhammad Iqbal, kritikus Iran Sayyid Masdi Asy Syairozi dan penulis kitab produktif Syeikh Muhammad Husein Ali Kasyif Al Ghitho’. Hampir seluruh guru besar di Universitas Al Azhar Kairo juga beliau kenal dengan baik. Antara lain Syeikh Yusuf Ad Djawawi dan Syeikh Ahmad Saad Ali. Kedua tokoh yang dikenal sebagai penyunting handal untuk kitab-kitab terbitan Kairo itu, bahkan ikut memberi pengantar pada salah satu kitab yang ia karang. Reputasi Kiai Hasyim sebagai ulama dan pejuang dikenal luas di dunia Islam. Itu sebabnya, tak sedikit organisasi sosial maupun lembaga ilmiah dalam dan luar negeri yang mengangkatnya sebagai ketua kehormatan. Salah satunya adalah Jam’iyyah Asy Syubhan Al Muslimin (Organisasi Pemuda Islam) yang berpusat di Kairo, Mesir. Tentunya relasinya dengan tokoh-tokoh di tanah air lebih luas lagi. Kiai Hasyim akrab dengan para tokoh pergerakan nasional, misalnya Presiden Soekarno, Panglima Besar Soedirman dan sejumlah Perdana Menteri. Beliau juga berhubungan baik dengan para pemimpin puncak organisasi Islam, antara lain KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah
16
yang pernah belajar bersama beliau di tanah suci, HOS Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Syarikat Islam dan Syeikh Ahmad Surkati, tokoh puncak organisasi Al Irsyad. Hubungan Kiai Hasyim dengan ulama besar di lingkungan Nahdlatul Ulama juga terjalin sangat baik, misalnya KH Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU, KH Alwi Abdul Aziz, pengusul nama NU, keduanya dari Surabaya. Lalu KH Asnawai Kudus, KH Abdul Halim Cirebon, KH Abdul Karim dan KH Ma’ruf dari Kediri serta Syeikh Ahmad Ghonaim Al Mishri. Setiap Ramadhan tiba, ratusan kiai dari penjuru tanah air datang ke Tebuireng untuk mengikuti pengajian Kiai Hasyim. Selama bulan suci itu, secara khusus Kiai Hasyim menggelar pengajian kitab Shohih Al Bukhori dan Shohih Muslim, dua kitab hadits rujukan utama setelah kitab suci Al Quran. Meski para kiai itu sudah tergolong alim di bidang masing-masing, mereka sengaja datang untuk mengambil sanad (mata rantai) yang bakal menghubungkan mereka dengan Rasulullah. Selain itu mereka juga ingin mendapat berkah dari ilmu Kiai Hasyim. Persahabatan Kiai Hasyim dengan banyak tokoh, sama sekali tidak mengurangi perhatiannya terhadap masyarakat biasa, terutama tetangga sekeliling. Hubungannya dengan penduduk Tebuireng, tak ubahnya ayah dan anak. Ia jadi tempat pelarian untuk minta pertolongan dan hampir tak ada yang pulang dengan tangan hampa. Konon ketika isterinya yang ketujuh masih hidup, setiap hari sang kiai menyediakan nasi dan lauk pauk untuk menghormati sekurangkurangnya 50 orang tamu. Ini membuktikan betapa banyak tamu beliau, sekaligus menunjukkan luasnya hubungan beliau dengan berbagai kalangan. Perjuangan Sebagai ulama besar, Kiai Hasyim dikenal memiliki pemikiran brilian yang meliputi banyak bidang mulai dari agama, pendidikan, sosial hingga politik. Percikan pemikirannya tertuang dalam teks-teks khuthbah iftitah (pidato pengarahan) yang dikemukakan di forum muktamar NU dalam kapasitas sebagai Rois al-Akbar. Polemik dan korespondensinya dengan sejumlah tokoh. Fatwa dan tulisannya dimuat di dua majalah: Soeara Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama.
17
Pemikiran Kiai Hasyim di bidang agama cenderung puritan. Sebagai tokoh ulama beraliran Sunni, rujukannya tak lepas dari kitab Allah dan Sunah Rasul. Dalam pandangannya, agama harus diamalkan secara murni sesuai tuntunan Nabi. Menurut Kiai Hasyim, puncak keberagamaan dan jenjang kerohanian tertinggi hanya dapat dicapai melalui proses pentahapan yang urut dari syariat, tarekat hingga hakekat. Karena ketiganya saling berkait, maka ketika seseorang mencapai hakikat bukan berarti syariatnya gugur. Itu sebabnya ia mengecam anggapan yang menyatakan bahwa bila sudah menjadi wali, mereka tak perlu lagi menjalankan syariat seperti, shalat, puasa dan sebagainya. Di bidang pendidikan, ia menulis kitab standar mengenai etika kesantrian berjudul Adab al-‘Alim wa al- Muta’allim. Kitab ini merupakan adaptasi dari karya Ibnu Jamaah Al Kinani yang bertajuk Tadzkirot as Sai’wa a- Mutakallim. Wanita Berbeda dengan pandangan yang berkembang luas di masyarakat Jawa yang menganggap kaum wanita sekadar konco wingking dan tak memerlukan pendidikan, Kiai Hasyim justru memandang pendidikan bagi mereka sangat penting. Sebab merekalah yang oleh Nabi disebut sebagai ‘imad al bilad (tiang negara) yang mesti dilibatkan secara aktif dalam mempersiapkan generasi penerus. Pemikiran yang dilontarkan di forum muktamar NU ini akhirnya disepakati mayoritas ulama. Ketika keputusan itu digugat sebagian kiai, beliau menjawab dengan argumen amat rasional disertai fakta historis, sebagaimana bisa dibaca dalam karya beliau berjudul Ziyadah Ta’liqat. Sejak itu muncul sejumlah pondok pesantren yang secara khusus didirikan untuk anak dan remaja puteri. Misalnya, Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang yang dirintis KH. Bishri Syansuri. Sebagai bukti kepeduliannya terhadap pendidikan kaum wanita, Kiai Hasyim mendidik sendiri putrinya Khoiriah. Setelah suaminya, Kiai Ma’shum Ali yang terkenal sebagai pakar ilmu falak (astronomi) dan ilmu shorof (sintaksis) wafat, Khoiriah menikah lagi dengan Kiai Abdul Muhaimin dan mengikuti suami barunya bermukim di Mekkah. Atas izin Kiai Hasyim, Khoriah lalu mendirikan sekolah khusus kaum wanita yang dinamakan Madrasah al-Banat di Mekkah. Ini merupakan langkah
18
pendobrakan terhadap tradisi Arab yang menabukan sekolah bagi kaum hawa. Tak heran bila sekolah itu sempat terkenal dan banyak kaum wanita dari keluarga Kerajaan Arab Saudi yang masuk menjadi muridnya. Sosial Politik Di bidang sosial politik, perhatian Kiai Hasyim terfokus pada pembinaan ukhuwah Islamiyah guna mempersatukan umat dan menggalang potensi agar bisa dioptimalkan untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam. Kiai Hasyim amat prihatin dengan gejala perpecahan umat Islam, apalagi jika terjadi saling mengkafirkan satu sama lain. Pandangan beliau mengenai hal ini dituangkan dalam risalahnya yang berjudul At Tibyan. Selain itu, ketika muncul pertentangan sesama tokoh Islam akibat perbedaan pendapat tentang madzab, ia menulis surat terbuka bertajuk Al Mawa’izh yang dibacakan pada Muktamar NU ke XI tahun 1935 di Banjarmasin, lalu disebarkan kepada seluruh ulama di Indonesia. Isinya merupakan anjuran ishlah, meninggalkan fanatisme buta dan mengesampingkan perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak prinsip guna menghindari perpecahan yang merugikan umat Islam sendiri. Menurut Kiai Hasyim, jika umat Islam pecah maka yang diuntungkan adalah orang lain, terutama kaum penjajah yang ingin menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Terkesan oleh isi surat tersebut, maka pada tahun 1959, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia untuk disebarluaskan melalui majalah Panji Masyarakat. Perjuangan Di kancah perjuangan, Kiai Hasyim adalah tokoh yang penuh dedikasi, baik untuk agama maupun negara. Di bidang pendidikan, perjuangannya diawali sejak pulang dari tanah suci Mekkah dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuhnya hinggga wafat. Sejak didirikan, lembaga ini terus tumbuh dan menjadi inovator bagi pembaruan pendidikan Islam tradisional di tanah air. Misalnya dengan menerapkan sistem madrasi (pembelajaran dengan sistem persekolahan) yang semula tak dikenal di lingkungan pondok pesantren salaf (tradisional).
19
Kiai Hasyim juga membantu para santri yang setelah menamatkan pelajarannya di Tebuireng bermaksud mendirikan pondok sendiri. Misalnya, ketika Kiai Jazuli Utsman mendirikan pondok pesantren di Ploso Kediri, ia mengirimkan sejumlah santri untuk belajar ke Tebuireng. Beliau pula yang memberi nama Al-Falah untuk pondok Kiai Jazuli yang baru itu. Tak terhitung jumlah pondok pesantren dan madrasah yang pernah dibantunya, baik moril maupun materil. Di arena kemasyarakatan, perjuangan Kiai Hasyim tak perlu diragukan. Ia menggugah masyarakat supaya menyadari hak-hak politik mereka untuk hidup merdeka dan bebas dari penjajahan. Menurutnya, kolonialisme asing hanya bisa dilawan dengan gerakan kebangkitan nasional. Untuk menunjang gerakan tersebut, bersama sejumlah kiai, ia mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926. Berkat kharisma dan ilmunya, Kiai Hasyim disepakati menjadi Roisul Akbar NU. Dialah satu-satunya tokoh yang menyandang gelar kehormatan ini, karena para tokoh selanjutnya tak satu pun berkenan menyandangnya. Ekomomi Beberapa murid Kiai Hasyim menuturkan, gurunya tak cuma membangkitkan kesadaran politik umat Islam, tetapi juga mengupayakan pemberdayaan ekonomi. Melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan, maka pada 1918, Kiai Hasyim merintis kerjasama para pelaku ekonomi pedesaan yang disebut Syirkah Al ’Inan li Murohathoh Ahli At Tujjar. Bentuk usahanya mirip koperasi namun dasar operasionalnya menggunakan syariat Islam. Badan usaha ini kemudian berkembang dengan lahirnya Nahdlatut Tujjar sebagai wadah para pengusaha Islam, khususnya kalangan santri. Resolusi Jihad Tak kalah pentingnya adalah peran Kiai Hasyim dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Berkat pengaruh dan kharismanya yang besar, ia berhasil menghimpun kekuatan umat Islam melalui jaringan pondok pesantren dan NU. Kiai Hasyim makin gigih berjuang justru di usia senja. Saat Belanda menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan darurat perang dan
20
merencanakan Ordonansi Milisi Bumi Putera pada tahun 1940, Kiai Hasyim memanggil beberapa kiai ke Tebuireng. Melalui musyawarah akhirnya ia memutuskan menolak rencana tersebut. Bahkan diharamkan menyumbangkan darah untuk mereka. Musyawarah itu menyepakati tuntutan Indonesia Berparlemen yang disuarakan melalui MIAI dan Gapi (Gabungan Politik Indonesia). Perjuangan Kiai Hasyim berlanjut di zaman Jepang. Ia menolak segala Nipponisasi, seperti menyanyikan lagu Kimigayo dan mengibarkan bendera Hinomaru. Apalagi kewajiban seikeirei (menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika, yang dianggap titisan Dewa Amaterasu Omikami) dengan membungkukkan badan 90 derajat ke arah Tokyo), yang menurut Kiai Hasyim haram hukumnya. Akibat penolakan ini, ia harus mendekam di penjara selama enam bulan dan diperlakukan secara tidak manusiawi sehingga tangannya cacat akibat siksaan tentara Jepang. Dalam upaya menyiapkan kader-kader Islam yang militan untuk mempertahankan tanah air sewaktu-waktu diperlukan, Kiai Hasyim menganjurkan para santri memasuki tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943, dipelopori puteranya Abdul Hafidz alias Abdul Kholiq yang kemudian diangkat menjadi daidanco (komandan batalion). Pembentukan PETA diikuti pembentukan milisi Islam sukarela yang disebut Hizbullah pada akhir 1944 lalu disusul dengan terbentuknya laskar jihad lain yang terkenal dengan sebutan Barisan Sabilillah. Perjuangan Kiai Hasyim berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan 17 Agustus 1945. Saat tentara NICA mendompleng pasukan Sekutu, hendak memaksakan kembalinya kekuasaan Belanda, Kiai Hasyim mengundang seluruh konsul NU se Jawa dan Madura. Hasil musyawarah, Kiai Hasyim mengeluarkan seruan yang kemudian dikenal dengan sebutan “Resolusi Jihad”. Isinya: kemerdekaan yang sudah diproklamasikan dan pemerintah RI sah, hukumnya wajib dibela dan dipertahankan. Selanjutnya, umat Islam Indonesia, khususnya warga NU, wajib hukumnya mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang akan kembali menjajah. Kewajiban ini adalah jihad yang bersifat fardlu ’ain, dalam arti berlaku bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan berada dalam radius 94 kilometer dari tempat musuh. Yang di luar radius itu wajib membantu segala sesuatu yang diperlukan dalam perjuangan.
21
“Resolusi Jihad” inilah yang membakar semangat umat Islam untuk bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa heroik 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan, tak bisa dilepaskan dari semangat “Resolusi Jihad” yang dicetuskan di markas NU, Bubutan Surabaya. Detik-detik Terakhir Detik-detik terakhir kehidupan Kiai Hasyim terjadi pada malam tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan 25 Juli 1947. Sehabis mengimami shalat tarawih ibu-ibu muslimat, seperti biasanya, ia memberikan pengajian kepada mereka. Baru saja akan dimulai, Muhammad Yusuf Masyhar, memberitahukan datangnya dua orang tamu utusan Panglima Soedirman dan Bung Tomo. Karena hal itu dipandang lebih penting, beliau menunda pengajian. Kiai Hasyim meminta adik perempuannya menyiapkan teh dan kue lantas menemui tamu di ruang depan. Setelah berbasa-basi sejenak, Kiai Ghufron, salah seorang komandan Barisan Sabilillah Surabaya yang menyertai kedua tamu tersebut, menjelaskan bahwa maksud kedatangan mereka adalah untuk menyerahkan sepucuk surat dari Bung Tomo. Saat itu, masuklah Kiai Adlan Ali, suami keponakannya yang sering diajak musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah penting. Tak lama kemudian Kian Adlan berpamitan karena ada suatu urusan. Surat Bung Tomo ternyata berisi permohonan agar Kiai Hasyim mengomandokan jihad kepada seluruh umat Islam untuk melawan Belanda. Lantaran pentingnya hal itu, ia minta waktu semalam untuk berpikir. Kebiasaan Kiai Hasyim setiap menghadapi masalah rumit adalah malaksanakan shalat istikhoroh (memohon petunjuk kepada Allah) lebih dulu sebelum mengambil keputusan. Sementara di depannya, Kiai Ghufron menceritakan serangan tentara Belanda yang berhasil merebut daerah-daerah strategis dan memakan banyak korban penduduk sipil. Selain itu, dikabarkan pula tentang jatuhnya markas tertinggi laskar Hizbullah-Sabilillah di Singosari, Malang. Kabar ini rupanya mengejutkannya, sehingga tiba-tiba Kiai Hasyim berkata: “Masyallah….! Masyaallah…!” sambil menekan kepala kuat-kuat.
22
Kiai Hasyim pingsan dalam keadaan duduk. Tangannya berpegangan pada tepi balai-balai tempat beliau biasa beristirahat. Semula, Kiai Ghufron menyangka gurunya tak dapat menahan kantuk lantaran terlalu letih. Kiai Ghufron menganjurkan kedua tamu tadi supaya pulang dulu, karena Kiai Hasyim amat lelah. Keduanya setuju. Berungkali Kiai Ghufron memberitahu bahwa kedua utusan Bung Tomo itu hendak pamit, namun Kiai Hasyim tak menjawab. Ia cuma mengulurkan tangan untuk dijabat. Sepeninggal para tamu, Kiai Ghufron memperhatikan Kiai Hasyim secara seksama. Ternyata, sang guru sudah tak sadarkan diri. Tergopohgopoh Kiai Ghufron memeluknya. Dengan bantuan Yusuf Masyhar, Kiai Hasyim dibaringkan di tempat tidur. Rupanya, secara mendadak ia terserang hersenbloeding (pendarahan otak). Seluruh keluarga datang mengerumuni. Semua putranya yang berada di medan tempur atau di luar kota segera dihubungi. Menjelang tengah malam, Dokter Mas Angka Nitisastra dari RS Jombang tiba. Setelah memeriksa dengan teliti, dokter menegaskan keadaan Kiai Hasyim sudah kritis. Atas persetujuan keluarga, dokter mengambil darah beliau agar tak terlalu menderita. Meskipun setelah itu rasa sakitnya berkurang tetapi raut wajah Kiai Hasyim tak memperlihatkan harapan hidup. Akhirnya, tepat pukul 03.45 dini hari, dengan tenang Kiai Hasyim menghembuskan nafas terakhir untuk memenuhi panggilan Allah. Sebagian besar keluarga yang menunggui beliau larut dalam tangis duka. Dua orang putranya yang bertugas di luar kota, tak sempat menyaksikan saat-saat akhir beliau karena baru tiba menjelang pemakaman. Berita wafatnya Kiai Hasyim segera menyebar ke seluruh penjuru tanah air dan mengundang duka cita yang mendalam dari segenap lapisan masyarakat. Ribuan orang berdatangan ke Tebuireng untuk ikut mengantar jenazah kiai besar itu ke tempat peristirahatan terakhir, termasuk para ulama dan petinggi sipil maupun militer. Tak ketinggalan para pemimpin puncak dari sejumlah partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Ia dimakamkan di belakang masjid di kompleks pondok pesantren yang didirikannya, Tebuireng. Demikian, Kiai Hasyim telah pergi meninggalkan umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, untuk selamalamanya. Ulama besar itu pergi setelah menunaikan tugas dan baktinya untuk kepentingan agama dan umat dengan penuh keikhlasan.[]
23
KH Wahab Hasbullah Tokoh Pendiri NU
Nama KH Wahab Hasbullah amatlah terkenal dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia modern. Kiai kharismatik ini adalah tokoh yang bersama KH Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, yang kini menjadi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Sebagai seorang kiai, ia juga dikenal sebagai pengembang Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU), yang didirikan KH Abdus Salam, seorang keturunan Raja Majapahit, pada tahun 1838 M di Desa Tambakberas, 5 km arah utara kota Jombang Jawa Timur. Kiai Wahab sendiri adalah cicit Kiai Abdus Salam. Banyak cerita yang mengisahkan secara kronologis bahwa KH. Abdus Salam seorang keturunan ningrat, bisa sampai ke desa kecil yang kala itu masih berupa hutan belantara penuh dengan binatang buas dan dikenal sebagai daerah angker. Dalam kisah tersebut, Kiai Abdus Salam meninggalkan kampung halamannya menuju Tambakberas untuk bersembunyi menghindari kejaran tentara Belanda. Bersama pengikutnya, ia membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah langgar (mushallah) dan tempat pondokan sementara buat 25 orang pengikutnya. Karena itu pondok pesantren itu juga dikenal pondok selawe (dua puluh lima). Perkembangan pondok pesantren ini mulai menonjol saat kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH Wahab Hasbullah, sang cicit. Setelah kembali dari belajar di Mekkah, ia segera melakukan revitalisasi pondok pesantren. Pertama kali yang didirikan adalah madrasah yang diberi nama Madrasah Mubdil Fan. Ia juga membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar dan mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon yang kemudian dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dengan nama
24
Nahdlatul Ulama (NU). Deklarasi itu ia lakukan bersama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya pada tahun 1926. Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam mengasuh pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH Wahab Hasbullah. Ia memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian pendiri NU ini pulang ke rahmatullah pada tanggal 29 Desember 1971. Sepeninggal KH Wahab Hasbullah, pondok Bahrul Ulum mengalami perubahan. Mulai tahun 1987 kepemimpinan pondok pesantren dipegang secara kolektif oleh Dewan Pengasuh yang diketuai oleh KH. M. Sholeh Abdul Hamid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang diketuai oleh KH. Ahmad Fatih Abd. Rohim. Para kiai yang mengasuh PP Bahrul Ulum itu diantaranya, KH. M. Sholeh Abdul Hamid, KH. Amanullah, KH. Hasib Abd. Wahab. Di bawah kepemimpinan KH. M. Sholeh, PPBU mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin membludaknya santri yang belajar di pondok pesantren yang telah banyak menghasilkan ulama dan politisi ini. KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI keempat juga alumni pesantren yang sering kedatangan tamu dari pemerintah pusat ini. Santri yang belajar di PPBU tidak hanya datang dari daerah Jombang tapi juga dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan juga dari Brunei Darussalam dan Malaysia. Pada 2006, PPBU dihuni hampir 10.000 santri. Sesepuh Ansor Dalam sejarah NU, KH Wahab Hasbullah juga amat terkait dengan kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), yang diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. Kiai Wahab adalah “sesepuh pendiri” organisasi itu. Seperti diketahui, GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris melegenda. Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi “konflik” internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di
25
tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH Wahab Hasbullah yang berhaluan tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemimpinan Islam bersatu. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH Wahab Hasbullah – yang kemudian menjadi pendiri NU – membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO). Nama Ansor merupakan saran KH Abdul Wahab – ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO (yang kelak disebut GP Ansor) harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar Sahabat Ansor, yakin sebagai penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam. Inilah komitmen awal yang harus dipegang teguh setiap anggota ANO (GP Ansor). Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Hubungan ANO dengan NU saat itu masih bersifat hubungan pribadi antar tokoh. Baru pada muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934 M, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor). Dalam perkembangannya secara diam-diam khususnya ANO Cabang Malang mengembangkan organisasi gerakan kepanduan yang disebut Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut
26
BANSER (Barisan Serbaguna). Di Kongres II ANO di Malang tahun 1937, Banoe menunjukkan kebolehan pertama kalinya dalam baris berbaris dengan mengenakan seragam yang dikomandani oleh ketua ANO Cabang Malang Moh. Syamsul Islam. Sedangkan instruktur umum adalah Mayor TNI Hamid Rusydi, tokoh yang namanya tetap dikenang dan bahkan diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota Malang. Salah satu keputusan penting Kongres II ANO di Malang tersebut adalah didirikannya Banoe di tiap cabang ANO. Selain itu, kongres ini juga menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama yang menyangkut soal Banoe. Pada masa pendudukan Jepang organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk ANO. Setelah revolusi fisik (1945-1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH. Wahid Hasyim – Menteri Agama RIS kala itu, sehingga pada tanggal 14 Desember 1949 lahir kesepakatan untuk membangun kembali ANO dengan nama baru Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih populer disingkat GP Ansor). GP Ansor hingga saat ini telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi organisasi kemasyarakatan pemuda di Indonesia yang memiliki watak kepemudaan, kerakyatan, keislaman dan kebangsaan. GP Ansor hingga saat ini telah memiliki 433 Cabang (Tingkat Kabupaten/Kota) di bawah koordinasi 32 Pengurus Wilayah (Tingkat Provinsi) hingga ke tingkat desa. Ditambah dengan kemampuannya mengelola keanggotaan khusus BANSER (Barisan Ansor Serbaguna) yang memiliki kualitas dan kekuatan tersendiri di tengah masyarakat. Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor mampu mempertahankan eksistensi dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas sosial dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu menunjukkan kualitas peran maupun kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis dalam setiap episode sejarah perjalanan bangsa dan tetap menempati posisi dan peran yang strategis dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional.[]
27
KH Wahid Hasyim Negarawan dan Tokoh Islam
Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang pada tahun 1914. Ia dibesarkan dalam lingkungan keagamaan, khususnya dari ayahnya KH Hasyim Asy’ari, yang memiliki Pondok Pesantren Tebuireng. Lewat pondok pesantren itu, Wahid Hasyim belajar pengetahuan agama. Untuk mendapatkan pengetahuan agama lebih banyak, Wahid juga belajar di pesantrenpesantren lain. Sesudah menuntut ilmu di berbagai pesantren, ia membantu ayahnya mengajar di Tebuireng. Wahid Hasyim selain mempelajari agama juga rajin membaca dan mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan lain dengan terlebih dulu mempelajari membaca dan menulis huruf Latin. Di Pesantren Tebuireng, Wahid Hasyim menganjurkan para santrinya untuk belajar huruf Latin. Hal itu menjadi modal untuk mempelajari ilmu pengetahuan lain. Untuk menunjang usaha itu, Wahid Hasyim mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Nidhomiah. Sekolah itu dianggap modern pada waktu itu karena di samping belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan, para santri juga dilatih berorganisasi dan berpidato. Oleh karena itu, di samping sekolah juga didirikan Ikatan Pelajar-Pelajar Islam (IPPI). Usaha Wahid Hasyim pada awalnya banyak mendapat tantangan hebat dari para orang tua murid. Mereka mengancam akan menarik anaknya dari pesantren yang didirikannya itu. Sesudah dijelaskan dan mengetahui tujuan dan alasan yang hendak dicapai, maka orang tua murid dapat menerimanya. Dalam perjalanan panjang menuju Indonesia sebagai negara yang berdaulat, Wahid Hasyim ikut terlibat dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Satu isu yang
28
paling kontroversial dan menjadi perdebatan yang tak kunjung usai adalah hubungan negara dan agama. Saat itu, dalam sidang BPUPKI, terjadi polarisasi pendapat secara tajam. Para tokoh Islam pada umumnya menginginkan negara Islam. Sementara kaum nasionalis menghendaki agar agama dipisah dari urusan negara. Adalah KH Abdul Wahid Hasyim, pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) turut menghiasi perjalanan politik bangsa Indonesia. Ia masuk dalam sub komite BPUPKI yang dibentuk untuk mencari jalan keluar terbaik bagi masa depan bangsa. Saat itu memang BPUPKI, badan bentukan Jepang ini bertugas mempersiapkan bentuk dan dasar negara. Sub Komite BPUPKI akhirnya berhasil merumuskan dasar negara. Hasil kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta itu lantas dicantumkan dalam preambul UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945. Salah satu sila di dalam Pancasila hasil rumusan Wahid Hasyim dan kawan-kawan antara lain tercantum kata-kata “…kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”. Ternyata rumusan itu diperdebatkan dalam sidang BPUPKI berikutnya. Wongsonegoro misalnya, menganggap bahwa kalimat itu bisa menimbulkan fanatisme karena seolah-olah memaksa umat Islam menjalankan syariatnya. Tetapi menurut Wahid Hasyim, kalimat tersebut tidak akan berakibat sejauh itu. Ia juga mengingatkan bahwa segala perselisihan yang timbul bisa diselesaikan secara musyawarah. Namun akhirnya para “Bapak Bangsa” (Founding Fathers) setuju untuk menghapus kata-kata yang kontroversial itu. Pemikiran Wahid Hasyim juga sempat mewarnai rancangan pertama UUD. Ia pernah mengusulkan agar pada Pasal 4 ayat (2) rancangan UUD disebutkan bahwa yang dapat menjadi presiden dan wakilnya adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam. Selain itu, pada Pasal 29, Kiai Wahid Hasyim menginginkan rumusan sebagai barikut: “Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan bagi orang-orang yang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.” Alasannya, jika presidennya beragama Islam perintahnya akan mudah dipatuhi rakyat yang mayoritasnya muslim. Selain itu, Islam sebagai agama negara mendorong umat Islam berjuang membela negaranya. Dengan alasan itulah akhirnya, gagasan mantan Ketua
29
Masyumi itu diterima BPUPKI. Namun usulan itu ditinggalkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam penggalan sejarah berikutnya Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan: Kabinet RIS (Desember 1949 – Desember 1950), Kabinet Mohammad Natsir (September 1950 – April 1951) dan Kabinet Sukiman (April 1951 – April 1952). Di zaman Wahid Hasyim, Departemen Agama memiliki visi dan misi yang jelas. Di bawah kepemimpinan Wahid Hasyim, NU menyatakan keluar dari Masyumi pada 1952. Selanjutnya NU berkibar sendiri sebagai partai politik. Dalam Pemilu 1955, NU termasuk empat partai yang memperoleh suara terbanyak. Wahid Hasyim wafat pada tanggal 19 April 1959.[]
30
Bagian III CENDEKIAWAN, TOKOH POLITIK, PEJABAT SIPIL, DAN MILITER
31
Prof Dr Nurcholish Madjid Cendikiawan Muslim “Kita lebih bersatu daripada berketuhanan, daripada bermusyawarah dan daripada berkeadilan sosial. Agama memang suprarasional tetapi tidak bertentangan dengan rasio. Hanya berada pada tingkat yang lebih tinggi. Agama yang tidak bisa bertahan hidup terhadap ilmu dan teknologi, bukan agama lagi.” Kata-kata tersebut disampaikan oleh Prof Dr Nurcholish Madjid, yang kesohor sebagai cendikiawan muslim terkemuka. Seorang tokoh yang juga dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Isu pembaharuan Islam ke arah yang lebih modern memang sudah bergulir sejak lama. Sejarah mengenal nama KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari sebagai tokoh-tokoh yang concerned terhadap konsep reformasi dalam Islam. Penerus gelombang modernisasi Islam saat ini tentu tidak bisa lepas dari sosok Nurcholish Madjid. Beranjak dari keyakinan bahwa tidak ada yang sakral kecuali Allah, lahirlah mottonya yang sangat terkenal: “Islam Yes, Partai Islam No.” Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jatim, 17 Maret 1939. Cemerlang, itulah predikat untuk Nurcholish kecil. Pelajaran ilmu alam dan matematika yang menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar anak, dapat ia menangkan dengan nilai 9. Haji Abdul Madjid, pemilik dan guru Madrasah Al Wathaniah, Jombang menjadi serba salah karena harus menyerahkan hadiah juara kelas berulang kali kepada anaknya sendiri: Nurcholish Madjid. Cita-citanya dulu adalah menjadi masinis kereta api. Tetapi tahuntahun berikutnya Cak Nur semakin eksis sebagai pemegang kemudi pembaharuan Islam. Sewaktu belajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cak Nur tercatat pernah menjadi ketua Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode
32
berturut-turut antara 1966 hingga 1971. Selama aktif di HMI ia menyarankan pembaharuan pemikiran Islam yang mengundang polemik luas. Ia berpendapat bahwa fikih, akidah, akhlak dan tasawuf yang ada sudah tidak memadai dan relevan lagi bagi umat Islam di zaman modern ini. Pada 1984, Cak Nur berhasil memboyong gelar doktor filsafat Islam dari University of Chicago dengan judul disertasi Ibn Taimmiyya on Kalam and Falsafa. Terjun di pentas politik yang sesungguhnya, Cak Nur mulai menggebrak dengan pemikiran-pemikirannya tentang sekularisasi – tidak mencoblos partai Islam bukan berarti bukan Islam – atau tentang negara Islam, Pancasila sebagai ideologi terbuka juga tentang toleransi beragama. Ayah dua anak dan suami Omi Komariyah itu juga menjadi tokoh di balik layar turunnya Soeharto. Soeharto yang ditekan dari segala penjuru oleh berbagai pihak akhirnya mutung (patah arang) ketika Cak Nur menolak menjadi anggota Komite Reformasi. “Ketika Pak Quraish Shihab (ketika itu menteri agama) mengatakan saya bersedia, Pak Harto pun berkata, “Saya tampaknya tidak dipercaya. Cak Nur yang moderat saja tidak mau menjadi anggota, apalagi yang lain. Kalau sudah begitu, saya mundur saja,” begitulah penuturan Cak Nur. Nurcholish boleh dibilang Guru Bangsa. Hampir semua pejabat atau tokoh masyarakat selalu bertanya kepada Cak Nur jika menghadapi persoalan yang pelik. Bahkan mantan Presiden Soeharto yang terkenal sebagai orang kuat selama tiga dasawarsa masa kekuasaannya, pada akhirnya hanya bisa menurut ketika Cak Nur mengatakan, “Pak Harto, sampai sekarang rakyat itu tidak mengerti reformasi kecuali Anda turun.” Pulangnya Sang Ikon Nurcholish Madjid memang ikon pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, bangsa ini sungguh kehilangan ketika sang ikon itu menghembuskan nafas terakhirnya pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Ia meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya. Cak Nur menghembuskan nafas terakhir di hadapan istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya
33
David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya. Cak Nur dirawat di RS Pondok Indah mulai 15 Agustus 2005 karena mengalami gangguan pada pencernaan. Pada 23 Juli 2004 dia menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping, Provinsi Guangdong China. Jenazah Rektor Universitas Paramadina itu disemayamkan di Auditorium Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kemudian jenazah penerima Bintang Mahaputra Utama itu diberangkatkan dari Universitas Paramadina setelah upacara penyerahan jenazah dari keluarga kepada negara yang dipimpin Menteri Agama Maftuh Basyuni, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Selasa, 30 Agustus 2005 pukul 10.00 WIB. Sementara, acara pemakaman secara kenegaraan di TMP Kalibata dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab. Sejumlah tokoh datang melayat dan melakukan salah jenazah. Di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Siswono Yudo Husodo, Rosyad Sholeh, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Azyumardi Azra, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua Panitia Ad Hoc II DPD Sarwono Kusumatmadja, Wakil Ketua DPD Irman Gusman, Agung Laksono. Juga melayat Pendeta Nathan Setiabudi, Kwik Kian Gie, dan banyak lagi. Sementara pernyataan dukacita mengalir antara lain dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Presidium Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, keluarga besar solidaritas Tanpa Batas (Solidamor), dan lain-lain. Gagasan Cak Nur tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia menganggap penting pluralisme, karena ia menyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan. Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai peradaban itu, termasuk di dalamnya penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.
34
Nama Cak Nur sempat mencuat sebagai salah seorang kandidat calon presiden Pemilu 2004. Namun akhirnya ia mengundurkan diri dari proses pencalonan melalui Konvensi Partai Golkar. Belakangan dia sakit dan sempat beberapa lama dirawat di Singapura. Meskipun cita-citanya menjadi masinis kereta api tidak kesampaian, Cak Nur toh diakui berhasil menjadi masinis lokomotif politik. Prestasinya itu wajar. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, berbicara soal-soal politik.” Utomo kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. Atas tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik.” Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom. Politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplit. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo
35
menirukan kekaguman Eky Syahrudin, Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu. Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lapangan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Soekarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pandapatnya tentang demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi. Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI. Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama pada aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pertanyaan “Islam Yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan. Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M.
36
Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggata Oprasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom. Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish sata-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada checks and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memiliki Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom. Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara Qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri. Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS,
37
ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum. Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, pada saat Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kwan HMI-nya untuk menghadap presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutinya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, Pertemuan menjadi cukup kuat,” kata Mas Tom.[]
38
KH Bisri Syansuri Ulama, Pendiri PP Mambaul Maarif, Denanyar Jombang
Sebuah desa, sekitar 6 kilometer barat Kota Jombang, sangat indah dan alami. Warganya hidup dalam suasana kerukunan khas daerah agraris dengan pekarangan mengitari rumahrumah serta dilambari persawahan yang luas dan senantiasa menghijau sepanjang tahun. Tanaman padi tumbuh subur memagari desa itu, hijau, kuning dan berayun-ayun diterpa angin. Itulah kawasan Desa Denanyar, Jombang. Lebih seabad yang lalu sebuah pondok pesantren didirikan di Denanyar oleh seorang kiai yang kelak hidupnya bukan saja sangat penting dalam kehidupan di pondoknya tetapi juga mempengaruhi kehidupan bangsanya. Pondok pesantrennya, Mambaul Ma’arif yang didirikan itu mencetak santri dari berbagai daerah dan dari waktu ke waktu terus berkembang hingga ribuan jumlahnya. KH Bisri Syansuri mendirikan pondok di Denanyar pada 1917 ketika beliau berusia 31 tahun. Sebelum mendirikan pondok, beliau telah melengkapi diri dengan berbagai ilmu keagamaan yang cukup kuat. Ini tak mengherankan sebab KH. Bisri Syansuri memang lahir dari keluarga penganut tradisi keagamaan yang kuat, yang kelak menurunkan kiai-kiai serta ulama besar di negeri ini. Keturunannya juga terjun ke berbagai bidang kehidupan termasuk politik, bahkan salah satu cucu Kiai Bisri, KH Abdurrahman Wahid, menjadi presiden RI. KH. Bisri lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada tanggal 18 September 1886 (28 Dzulhijjah 1304). Mulai belajar agama pada usia 7 tahun kepada KH. Sholeh di desa kelahirannya, Tayu. Sebagaimana putra kiai yang melakukan tradisi menjadi santri keliling, pemuda Bisri juga
39
berkeliling dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pondok ke pondok lain. Usai belajar pada Kiai Sholeh kemudian melanjutkan belajar di Kajen, Pati berguru kepada KH. Abdul Salam. Kemudian pindah ke Pesantren Kasingan, Rembang belajar pada Kiai Cholil Harun. Masih di sekitar Pati dan Rembang, Jawa Tengah, kemudian mencari ilmu dengan belajar pada KH Syu’aib di Madura dan belajar kepada Syeikhona Cholil, Demangan, Bangkalan. Saat itu Kiai Cholil memang salah satu kiai besar di negeri ini dan menjadi pusat tempat berguru para santri yang diantaranya banyak menjadi kiai dan ulama besar. Usai belajar pada Kiai Cholil Bangkalan, Bisri kemudian kembali ke Jawa namun tidak langsung pulang. Ia belajar agama di Tebuireng, Jombang di bawah asuhan langsung KH. Hasyim Asy’ary. Di Pondok Pesantren Tebuireng ini, Bisri belajar selama enam tahun dan menjadi salah satu santri kesayangan yang sangat dekat dengan gurunya, KH Hasyim Asy’ary. Keinginan untuk memperdalam ilmu agama seperti tak pernah habis, bahkan makin menjadi-jadi. Dari Tebuireng melanjutkan pendidikannya ke Mekkah selama dua tahun. Sekembalinya dari Mekkah, KH Bisri tidak langsung pulang ke Tayu namun memilih menetap di Jombang karena menikah dengan adik KH A. Wahab Hasbullah. Dalam perjalanan hidupnya, KH Bisri kemudian juga menjadi besan gurunya, KH Hasyim Asy’ary. Putri Kiai Bisri, Hj Solichah menikah dengan putra KH. Hasyim Asy’ari, yakni KH. Wahid Hasyim. Dari KH. Wahid Hasyim dan Hj. Solichah inilah lahir seorang tokoh yang bernama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menjadi Presiden Indonesia. Di Jombang pulalah, KH Bisri memulai kiprahnya sebagai ulama dan kiai besar serta terlibat secara aktif dalam organisasi yang didirikan para ulama, Nahdlatul Ulama. Ketika Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya, KH Bisri Syansuri adalah salah satu kiai yang hadir pada acara tersebut. Bahkan dalam susunan kepengurusan Pengurus Besar NU yang pertama itu, KH Bisri duduk menjadi salah satu anggota (A’wan) Syuriah. Sedangkan Raisul Akbar Syuriah PB NU dijabat Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asy’ary yang tidak lain adalah gurunya sendiri ketika nyantri di Tebuireng. Ketika KH Hasyim Asy’ari meninggal pada tahun 1947 jabatan Raisul Akbar dihapus dan diganti dengan Rais Aam. Jabatan Rais Aam kemudian diisi KH A. Wabah Hasbullah dengan Wakil Rais Aam
40
KH Bisri Syansuri. Pada tahun 1971 Kiai Bisri manggantikan posisi Kiai Wahab Hasbullah sampai akhir hayatnya. Seperti halnya Sang Guru KH Hasyim Asy’ary yang berjuang membela tanah air dan membebaskan bangsa ini dari penjajahan, demikian juga Kiai Bisri. Pada masa perjuangan, Kiai Bisri bergabung dalam barisan Sabilillah dan pernah menjabat sebagai Kepala Staf Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBO-DT) yang bermarkas di belakang pabrik paku Waru, Sidoarjo. Perjuangan para kiai ini sangat penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan bahkan menjadi salah satu titik penting dalam mengorbankan semangat perjuangan arek-arek Surabaya hingga pecah pertempuran 10 November 1945. Namun perjalanan hidup Kiai Bisri bukan hanya di ranah organisasi NU atau kemiliteran di barisan Sabilillah namun juga di kancah politik. Pada masa-masa awal kemerdekaan, Kiai Bisri menjadi anggota Badan Pekerja KNIP mewakili Masyumi. Pemilu 1955 yang merupakan Pemilu pertama dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, mengantarkan Kiai Bisri menjadi anggota konstituante, sampai lembaga perwakilan itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun perjalanan Kiai Bisri di dunia politik tidak pernah surut. Ketika pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto menetapkan kebijakan penyederhanaan partai politik dan mengharuskan organisasi-organisasi politik bergabung pada tiga wadah: keagamaan, kekaryaan dan demokrasi, Kiai Bisri Syansuri bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam kepengurusan PPP yang dibentuk pada tahun 1971 itu KH Bisri Syansuri diangkat sebagai Rais Aam Majelis Syuro PPP. Bahkan Ka’bah yang dijadikan lambang PPP adalah ciptaan Kiai Bisri Syansuri sebagai hasil shalat istikharah. Lambang Ka’bah ini pula yang menjadi magnet kuat dan sangat penting sebagai aset partai yang sangat berharga. Pada jaman pemerintahan Orde Baru, terutama pada masa-masa awal, memang ada upaya atau kebijakan yang biasanya dikenal dengan kebijakan menjauhkan masyarakat dari politik. Saat itu pemerintahan Orde Baru memang meletakkan pembangunan ekonomi sebagai panglima dan mencoba mengamankannya agar sebisa mungkin tak terpengaruh oleh imbas persoalan politik. Gegap gempita kehidupan politik semasa awal kemerdekaan dan ketika pemerintahan Presiden Soekarno, menurut kacamata pemerintahan Orde Baru, memberi pelajaran bahwa
41
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kurang ditangani dengan baik karena energi bangsa ini lebih tercurahkan untuk kehidupan politik yang ternyata tak berkaitan langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, Orde Baru berusaha menanamkan berbagai stigma bahwa politik itu kurang bagus untuk kemajuan ekonomi bangsa. Salah satu stigma yang juga dibangun adalah bahwa akan selalu muncul ancaman terhadap pembangunan yang sedang giat dilakukan pemerintahan berupa gangguan yang terkenal dengan sebutan ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan biasanya diasosiasikan dengan kelompokkelompok agama khususnya Islam sedangkan ekstrem kiri diasosiasikan dengan ideologi komunis lengkap dengan variasi dan derivasinya. Penciptaan berbagai stigma tersebut memang cukup sukses melapangkan jalan bagi berbagai macam kebijakan pemerintahan Orde Baru, namun juga punya konsekuensi yang cukup serius. Salah satunya adalah matinya gagasan-gagasan politik yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintahan Orde Baru. Ketika Presiden Soeharto menggagas pentingnya Pancasila sebagai saru-satunya azas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, langsung saja menuai protes keras terutama dari kalangan “Islam”. Namun setting politik yang memang telah dikondisikan dengan berbagai macam penciptaan stigma negatif tadi membuat kekuatan para pemrotes itu pupus di tengah jalan. Para politisi Islam yang tergabung dalam wadah PPP juga harus mengalami dilema yang cukup berat dan pergulatan batin yang tak kalah rumit. Antara memperjuangkan kepentingan idealisme dengan kompromi terhadap keinginan pemerintah yang sering diikuti. Pengalaman semacam itu juga sering dihadapi KH Bisri Syansuri. Dalam berbagai kesempatan sikapnya yang keras dan sulit diajak kompromi harus berhadapan dengan tekanan yang dilakukan pemerintah. KH Bisri memandang persoalan dari kacamata fiqih dan selalu konsisten dengan sikap serta pandangannya itu. Salah satu peristiwa monumental yang selalu tercatat dalam sejarah khususnya parlemen adalah sikapnya yang secara konsisten menolak P4 sebagai ketetapan MPR. Saat berlangsung SU MPR 1978, Fraksi PPP tidak sepakat dengan fraksi lain mengenai materi Rancangan Ketetapan MPR tentang P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
42
PPP sudah menggariskan untuk menolak, berbagai argumentasi sudah diajukan kepada fraksi lain oleh Fraksi PPP namun belum juga membuahkan hasil. Akhirnya seluruh anggota fraksi PPP memilih walkout (keluar) dari ruang sidang. Dipimpin KH Bisri Syamsuri berada di urutan paling depan seluruh anggota Fraksi PPP meninggalkan ruangan sebagai tanda tidak setuju keputusan MPR. Kiai Bisri yang sudah berusia 92 tahun berjalan memimpin anggota PPP. Mungkin hal itu biasa bagi kehidupan politik kita di saat sekarang, ketika pemerintah sudah tak “sekuat” dulu, ketika jaman sudah sangat terbuka. Namun bisa dibayangkan betapa kuatnya tekanan yang harus dihadapi politisi seperti Kiai Bisri dalam suasana politik yang sangat otoriter. Tapi itulah KH Bisri Syansuri, kiai besar yang sangat tinggi dan dalam ilmu agamanya serta sangat luas pengetahuan yang beliau miliki. Hingga akhir hayatnya Kiai Bisri masih menjadi anggota DPR yang sangat disegani, Rais Aam PB NU, Rais Aam Majelis Syuro DPP PPP namun tetap memimpin dan aktif mengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar yang beliau rintis dan dirikan. KH Bisri Syansuri meninggal di Jombang tanggal 25 April 1980 pada usia 94 tahun. Beliau dimakamkan di kompleks Pesantren Denanyar, Jombang.[]
43
KH M. Wahib Wahab Menteri Agama RI (1959-1963)
Ini adalah tipikal para pejuang yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara, tidak memperkaya diri dengan memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. “Setelah ini saya akan memperbaiki ekonomi rumah tangga,” itulah jawaban yang disampaikan KH. M. Wahib Wahab kepada Prof. KH. Syaifuddin Zuhri. Jawaban itu disampaikan ketika Prof. Syaifuddin Zuhri menanyakan alasan mengapa KH. M. Wahib Wahab mengundurkan diri dari jabatan Menteri Agama (1959-1963) pada masa Pemerintahan Bung Karno. Memang ada sejumlah contoh yang ditunjukkan oleh orang-orang yang kemudian dikenal memiliki jiwa besar, yang merasa tak cocok dengan atasannya (presiden) dan memilih mengundurkan diri. Ada juga yang dengan sadar dan penuh keikhlasan menyerahkan kekuasaan kepada yang lain karena berpikir akan lebih seperti itu, baik untuk diri sendiri dan terutama untuk kepentingan yang lebih besar, masyarakat dan bangsa. Begitu India merdeka, Mahatma Gandhi dengan tulus ikhlas menyerahkan kursi jabatan perdana menteri kepada Jawaharlal Nehru. Sebuah keputusan yang kelak tercatat dalam sejarah India dan dunia sebagai hal yang sangat tepat untuk menyelamatkan India dan kemudian tumbuh dengan baik tanpa harus diganggu virus permusuhan akibat perseteruan untuk berebut jabatan. Sejarah Indonesia merdeka juga mencatat langkah luar biasa yang pernah dilakukan Mohammad Hatta, sang proklamator dan juga dwi tunggal Indonesia bersama Bung Karno. Dalam sejarah tercatat, beberapa kali Bung Hatta berselisih pendapat dengan Bung Karno. Beliau menyelamatkan negeri ini dari dari konflik yang lebih terbuka dengan cara ikhlas mundur dari kancah kekuasaan. Mantan Wapres Sri Sultan Hamengkubuwono IX tak mau lagi dicalonkan menjadi wakil Presiden
44
pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto dan memilih untuk bersama masyarakat serta mengayomi mereka. Orang hanya bisa menduga-duga karena ketidak-cocokan dengan Presidenkah Sri Sultan HB IX memilih mundur. Itu pun dibantahnya dan hanya mengatakan bahwa kesehatannya tidak memungkinkan untuk tugas seberat wakil presiden. Tetapi KH. M. Wahib Wahab menegaskan, ingin lebih bebas lagi karena sudah bosan menjadi menteri agama dan akan memperbaiki ekonomi keluarga. Jawaban itu disampaikan kepada calon penggantinya karena memang Presiden Soekarno menunjuk Prof. Syaifuddin Zuhri yang menggantikan KH. M. Wahib Wahab. Merasa tidak enak dengan penggantian itu Syaifuddin Zuhri menyempatkan diri untuk mohon restu sambil menanyakan alasan pengunduran diri. Demikian etika politik yang elok dan elegan masih dipegangi para politisi yang hidup di jaman perjuangan kemerdekaan dulu. Semua memang perlu ada etika, demikian juga dalam kekuasaan politik. Dan tentang alasan pengunduran diri KH. M. Wahib Wahab dengan alasan untuk memperbaiki perekonomian keluarga, bukan saja jawaban yang melegakan penggantinya tetapi juga jawaban yang jujur sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada keluarga. Akhirnya KH. M. Wahib Wahab memang terjun di dunia usaha dengan mendirikan pabrik ubin di Kota Bandung. Itulah akhir drama perjuangan hidup seorang Wahib Wahab di dunia politik yang memberikan banyak kisah teladan kepada kita tentang bagaimana menyelamatkan kepentingan yang lebih besar, memperlakukan pejabat yang menggantikannya dan bagaimana bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Ia mengabdikan diri untuk kepentingan orang banyak, memberi dan bukan sebaliknya mengambil dari orang banyak, dari negara dan bangsanya untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Tokoh Penting Wahib Wahab adalah orang Jombang asli. Ia lahir di Desa Tambak Beras, Jombang pada November 1918. Merupakan putra sulung ulama besar KH Abdul Wahab Hasbullah, salah satu pendiri dan tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU). Semasa kecil ia memulai pendidikan dengan belajar pada orang tuanya di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang. Dan
45
tradisi nyantri keliling kemudian dijalaninya dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain. Usai berguru pada orang tuanya di Tambak Beras, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Seblak, Jombang, kemudian ke Mojosari Nganjuk, Kasingan Rembang dan Buntet Cirebon. Wahib Wahab juga menempuh pendidikan di Merchantile Institute of Singapore (1936-1938) dan setahun kemudian berangkat ke tanah suci Mekkah selama setahun. Sekembali ke tanah air Wahib Wahab mulai terjun ke dunia organisasi di lingkungan NU. Pada tahun 1949 menjadi Ketua Departemen Penerangan Ansor di Surabaya, merangkap jabatan sebagai Ketua Umum GPII Jombang (1942). Pada tahun 1959 terpilih sebagai Ketua I Pengurus Departemen Siasat PP GP Ansor. Wahib Wahab juga tercatat sebagai Ketua Pertanu (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama). Dalam karir keorganisasian NU, Wahib Wahab juga tercatat sebagai pembentuk kepengurusan perwakilan/cabang NU dan Ansor di Singapura, Malaysia, Kamboja dan Saigon (Vietnam). Bukan hanya di organisasi NU tempat ia mengabdi, Wahib Wahab juga mendarmabaktikan dirinya untuk kepentingan bangsanya di dunia kemiliteran. Sejak 1942 menjadi Komandan PETA (pembela tanah air). Ketika masa perjuangan merebut kemerdekaan, Kiai Wahab menjabat Panglima Hizbullah Divisi Sunan Ampel Jawa Timur. Pasa masa-masa ini ia sering berkumpul dengan para teman-teman seperjuangannya. Terkisah misalnya, suatu malam tiga pejuang sedang berkumpul di Jombang yakni KH Wahib Wahab, KH Yusuf Hasyim (salah satu putra Hadaratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari) dan Mohammad Ghufron Na’im. Mereka berunding mengatur siasat untuk menangkap seorang misionaris bernama Van der Plas, yang merupakan misionaris yang membonceng penjajah Belanda. Para pejuang yang sekaligus tokoh Islam ini menilai Van der Plas sebagai orang yang sangat berbahaya bak ular yang lidahnya penuh bisa. “Kita pancing saja agar masuk Tebuireng lalu kita sergap di sana,” usul Kiai Wahib yang langsung disetujui kedua rekannya. Lalu dibuatkan sebuah acara yang juga mengundang Van der Plas di Tebuireng. Namun Van der Plas juga orang yang cerdik, ia datang dengan membawa pengawal yang menyamar (berpakaian preman). Setelah merasa cukup menghadiri undangan itu, Van der Plas pulang, para pejuang pimpinan Kiai Wahib siap menyergap. Namun rupanya, ia sudah merasa dirinya akan disergap sehingga bisa menyelinap lebih dulu saat pulang dan memang benar, Van der Plas lolos. Ketiga pejuang itu hanya bisa geleng
46
geleng kepala, heran kenapa musuh yang sudah dalam perangkap bisa meloloskan diri. Masa perjuangan memang terus berlanjut, Kiai Wahib juga aktif berjuang dalam wadah Hizbullah. Namun ketika Hizbullah harus melebur ke dalam TNI, rekan-rekannya masih banyak yang meneruskan karier militernya. Sedangkan Kiai Wahib Wahab memilih berhenti dan berjuang di jalan lain, jalur politik. Sebelum menjadi Menteri Agama beliau pernah tercatat menjadi anggota DPR dan Menteri Penghubung Sipil Militer. Selepas jabatan menteri ia memilih tinggal di Bandung dan wafat pada 12 Juli 1986 di Jakarta. Beliau dimakamkan di Tambakberas, Jombang berdekatan dengan makam ayahnya, KH A Wahab Hasbullah.[]
47
KH M. Yusuf Hasyim Ulama dan Politisi
Tak pernah berhenti dari kegiatan politik. Itulah kira-kira gambaran dari sosok KH M. Yusuf Hasyim, putra bungsu Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari ini. Saat usianya sudah uzur, KH M. Yusuf Hasyim masih bersemangat dengan mendirikan Partai Kebangkitan Ummat (PKU) di era reformasi dan menjadi ketua umumnya. PKU adalah salah satu peserta pemilihan umum (Pemilu) 1999. Meskipun perolehan suara PKU dalam Pemilu tersebut kecil, siapa yang tidak kenal KH M. Yusuf Hasyim, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng ini? Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini, Yusuf muda sudah dikenal karena keberaniannya. Ia adalah salah satu pemimpin Laskar Hizbullah, tentara pejuang bentukan para kiai NU di awal kemerdekaan. Sebelumnya ia sudah aktif berorganisasi waktu masih sekolah, bergabung dengan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Setelah Hizbullah bubar, ia masuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), namun tidak lama, karena ia kemudian keluar dengan pangkat terakhir Letnan Satu. Di awal masa Orde Baru, Pak Ud, sapaan akrab KH Yusuf Hasyim, dikenal sebagai tokoh antikomunis, yang gigih melawan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai Komandan Banser (Barisan Serbaguna) NU, ia adalah salah satu motor perlawanan terhadap PKI. Masyarakat kemudian mengetahui KH Yusuf menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Utusan Daerah. Pendiriannya tegas, suara lantang pula dan ia pun disejajarkan dengan para politisi elite saat itu seperti KH Idham Cholid, Amir Murtono, Ali Murtopo, dan Amir Machmud. Karena itulah ketika tersiar kabar bahwa KH Yusuf Hasyim wafat pada Minggu, 14 Januari 2007 akibat gangguan pernafasan dan pecernaan,
48
banyak orang kaget dan berduka. Ribuan orang, termasuk para pejabat dan tokoh Jawa Timur serta nasional berdatangan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, untuk ikut melepaskan sang kiai terkemuka itu ke pemakaman. Tokoh tersebut wafat pada usia 77 tahun setelah dirawat di ICU Graha Amerta RSUD Dr Soetomo sejak 2 Januari 2007. “Warga NU dan Indonesia sangat kehilangan Pak Ud. Warga NU sangat kehilangan karena tinggal beliau satu-satunya putra Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari yang terakhir hidup. Indonesia juga kehilangan karena beliau sangat peduli masalah-masalah ke-Indonesiaan,” kata Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi. Kiai Hasyim menuturkan dirinya bisa merasakan benar semangat perjuangan KH Yusuf Hasyim, yang pada 1960-an sudah menjadi pimpinan Gerakan Pemuda Ansor, organisasi pemuda bentukan para kiai NU. Pada saat itu, Hasyim Muzadi adalah seorang pemuda yang baru tahap awal menjadi anggota Ansor. “Saya merasakan betul semangat jihadnya yang sangat besar,” kata Hasyim Muzadi. Sholihin Hidayat, mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos, menyebut Kiai Yusuf Hasyim sejak kecil dikenal sebagai orang yang suka bergaul dengan siapa saja dan komunitas mana saja. Saking senangnya kumpulkumpul dengan banyak orang, hari-hari di masa kecil hingga remaja banyak dihabiskan di luar rumah, bergabung dengan berbagai kegiatan, mulai sepak bola, main musik dan kepanduan. Oleh teman-teman sebayanya, Pak Ud dikenal sebagai sosok yang terampil memimpin. Keberaniannya tidak hanya secara fisik, tetapi juga konseptual. Di kalangan keluarga, menurut Sholihin, sosok Pak Ud punya kebiasaan yang berbeda dengan saudara-saudaranya. Sejak kecil ia tertarik mempelajari perkembangan masyarakat. Karena itu, di kamar pribadinya lebih banyak terlihat tumpukan buku, surat kabar dan kliping-kliping tulisan dan berita daripada kitab kuning yang umumnya menjadi bacaan favorit keluarga kiai. Dengan latar belakang kehidupan seperti itu, masuk akal bila Kiai Yusuf Hasyim seperti tak pernah berhenti berkiprah dalam perjuangan bangsanya. Ia dengan senang hati membantu berbagai organisasi, seperti Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia, di mana ia adalah anggota dewan pakar. Bagi Pak Ud, berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan memang tidak pernah surut, apalagi berhenti.
49
Ketika kegiatan politiknya surut, ia menggesernya ke arah sumbangan pemikiran di tanah politik nasional. Pada masa Orba, misalnya, ia pernah menentang gagasan dimasukkannya pesantren ke dalam GBHN. Alasannya, jika pondok pesantren dimasukkan GBHN maka kemandirian pesantren yang selama ini sudah berjalan baik akan hilang. “Itulah yang membuat saya tidak setuju pesantren masuk GBHN,” katanya. Dalam pandangan Kiai Yusuf Hasyim, sekarang ini sudah sangat banyak pondok pesantren yang maju dan berkembang pesat dan dikelola dengan manajemen modern dan mampu memberikan sumbangan besar bagi kemajuan bangsa ini. “Kunci kemajuan pondok pesantren adalah pengelolaannya,” katanya. Pondok Pesantren Tebuireng yang lama dipimpinnya, sebelum diserahkan kepada keponakannya Ir. KH Shalahuddin Wahid, juga berjalan seiring kemajuan zaman. Pondok ini memiliki ribuan santri dari daerah-daerah seluruh Indonesia. Dan tentu saja dikelola secara modern. Tebuireng juga memiliki sekolah umum mulai setingkat SMP hingga perguruan tinggi (Universitas Hasyi Asy’ari). Itu berarti keberadaan pondok pesantren tidak kalah dengan institusi pendidikan umum lainnya. Tetapi lebih dari itu, pondok pesantren juga memiliki kekuatan sosial dan telah terbukti mampu mandiri sepanjang masa. KH Yusuf Hasyim ternyata juga punya jiwa seni. Ini terbukti ketika ia menanggapi positif tawaran para insan perfilman untuk ikut bermain dalam film “Walisongo”, sebuah film bernuansa dakwah dan melibatkan banyak pemain figuran (kolosal). Dalam beberapa tahun terakhir sebelum wafatnya, Kiai Yusuf memang lebih banyak berdiam diri. Namun pikiran dan perhatiannya tetap tinggi pada kehidupan berbangsa. Bukan sekedar berwacana tetapi juga sesekali turun memberi sumbangan pemikiran ketika melihat persoalan penting sedang dihadapi bangsa ini. Ia juga masih keras suaranya ketika melihat hal-hal yang tak disetujuinya. Ketika bisnis koin emas Goldquest berencara mengeluarkan edisi koin bergambar KH Hasyim Asy’ari pada 2004, Kiai Yusuf Hasyim melancarkan protes keras karena menganggap perusahaan itu melecehkan ayahnya. Apalagi Goldquest tidak minta izin kepada dirinya sebagai anaknya. Kiai Yusuf tetap pada pendiriannya itu meskipun KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga keponakannya, justru
50
mendukung langkah Goldquest. Perusahaan tersebut akhirnya membatalkan rencana penerbitan koin emas bergambar Kiai Hasyim Asy’ari. Terakhir kita melihat upaya Yusuf Hasyim mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan gagasan agar membatalkan lembaga KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Menurut Yusuf Hasyim, KKR hanya akan menjadi pembenar bagi mantan anggota PKI untuk kembali aktif dan kegiatan politik praktis. “Padahal PKI telah nyata-nyata akan membawa bangsa ini ke arah komunisme yang ia yakini akan menghancurkan bangsa,” katanya. Dari istrinya Siti Bariyah, KH Yusuf Hasyim dikaruniai lima anak, masing-masing adalah Muthia F, Muhammad Reza, Nurul Hayati, Muhammad Irfan, dan Nurul Amin.[]
51
KH Abdurrahman Wahid Mantan Presiden RI, Tokoh Agama dan Kemasyarakatan “Ada empat misteri Tuhan di dunia ini yaitu: Jodoh, rezeki, umur dan … Gus Dur” Itulah sebuah ungkapan yang melukiskan sikap KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sulit ditebak. Gus Dur adalah politisi dan tokoh masyarakat yang memberikan nuansa baru, bukan saja dari sudut pandang Islam tetapi juga demokrasi. “Titip aspirasi lewat orang lain saja bisa kenapa kita harus membuat wadah sendiri untuk menyalurkan,” katanya setelah Nahdlatul Ulama dalam muktamarnya yang ke-27, tahun 1984 memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU meninggalkan politik praktis. Namun pada hari Rabu, 20 Oktober 1999, cucu KH Hasyim Asy’ari ini terpilih menjadi presiden. Artinya, ia kembali ke kancah politik praktis. Padahal matanya sudah mengalami kebutaan setelah ia terserang stroke pada 1998. Ada cerita menarik setelah Gus Dur terpilih sebagai Kepala Negara. Ketua PKB Jawa Timur saat itu, Drs. Choirul Anam, menuturkan bahwa sejak Juli 1999 Gus Dur sudah tahu kalau dirinya akan menjadi presiden. Pada suatu hari bulan tersebut, kata Anam, Gus Dur mengatakan kepada dirinya: “Nanti yang jadi presiden itu saya, perintahnya datang Subuh tadi.” Anam lalu bertanya, siapa yang datang memberi perintah? Menurut Anam, Gus Dur menyebut raja-raja Jawa yang telah lama meninggal, kemudian juga menyebut Bung Karno dan KH Hasyim Asy’ari. “Apaapaan ini? Saya pusing mendengar penuturan Gus Dur,” kata Anam. “Tetapi ternyata Gus Dur memang terpilih presiden.”
52
Namun yang lebih aneh lagi adalah tulisan Nico Schulte Nordholt, associate professor antropologi politik di Universitas Twente, Negeri Belanda. Dalam tulisannya di Majalah Times Edisi 1 November 1999, Prof Nordholt mengatakan bahwa Gus Dur pada tahun 1982 sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa dirinya akan jadi presiden. “His Dream Came True: Now the spiritual leader needs diving guidance to help his rule,” begitu judul tulisan sang profesor itu di majalah mingguan Amerika tersebut. Aneh bin ajaib. Tetapi itulah salah satu sisi kehidupan Gus Dur. Lahir di Denanyar, Jombang, Jatim pada 4 Agustus 1940. Pernah belajar di Universitas Al Azhar, Mesir, dan Universitas Baghdad. Nama Gus Dur mulai mencuat setelah terpilih sebagai Ketua Umum PB NU pada awal 1980-an. Putra sulung dari enam bersaudara KH Abdul Wahid Hasyim ini sebelumnya banyak memegang jabatan sebagai penasihat tim di berbagai departemen, antara lain Departemen Koperasi, Departemen Agama dan Departemen Hankam. Tokoh yang gemar mengoleksi kaset Michael Jackson dan lagu-lagu klasik ini juga pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 1984-1985. Dalam Festival Film Indonesia tahun 1985 di Bandung, ia menjadi ketua dewan juri. Ia fasih beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Arab, Inggris, Jerman, dan Prancis. Esai-esainya tersebar di berbagai media massa, antara lain Kompas dan Tempo. Kiprahnya di dunia politik bagi sebagian orang terasa membingungkan saja, cenderung kelihatan plin-plan dan terlalu kompromistis. Misalnya ketika Habibie mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di akhir 1990, ia menolak bergabung. Gus Dur terkesan mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi. Tapi pendulum Gus Dur mengarah lagi ke arah pemerintah pada Pemilu 1997. Walaupun bisa bergaul dengan Megawati, saat itu ia justru membuka jalan bagi Golkar berkampanye di depan massa NU. Saat orang-orang menghujati para pelaku Orde Baru, Gus Dur justru menemui Habibie, Wiranto bahkan Soeharto. Alasannya masuk akal, walau sulit dipahami sebagian orang, yaitu untuk membangun dialog dan mencairkan kebekuan. Langkah kompromis Gus Dur, walau terkesan menentang arus, tak berpengaruh negatif pada perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikannya dalam naungan NU. Dalam Pemilu 7 Juni
53
1999, PKB menduduki urutan ketiga (di bawah PDIP dan Golkar) dengan meraih suara 12 %. Berdasarkan hasil itu, di atas kertas PDIP dan Golkar paling berpeluang mendudukkan jagoannya sebagai presiden. Tapi dalam Sidang Umum MPR, koalisi Poros Tengah (PAN, PPP dan partai-partai Islam) yang dipelopori Amien Rais mengajukan Gus Dur sebagai calon presiden, yang akhirnya terpilih secara demokratis mengalahkan Megawati. Gus Dur menduduki kursi presiden hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sebelum ia dipaksa mundur terkait dengan beberapa kontroversi. Buloggate hanyalah pemicunya saja, namun faktor utama yang menyebabkan Gus Dur kehilangan dukungan adalah sikapnya yang sering kontroversial. Namun Gus Dur tetap memiliki karakter unik yang beperan besar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Semangatnya dalam mengkampanyekan inklusivisme, pluralisme dan toleransi patut diteladani. Energinya yang tak pernah habis untuk menjaga kebersamaan dalam kehidupan yang plural layak kita catat dalam sejarah. Dan humorhumornya selalu mampu memberi inspirasi. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika ditelisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi. Kendati pendapatnya tidak selalu benar – untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain – adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapat yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakininya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepertinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat
54
presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya sekaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak. Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pertanyaan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam. Namun seperti kata pepatah: Sepandai-pandai tupai meloncat akhirnya jatuh ke tanah jua. Di mata banyak orang, kepercayaan diri Gus Dur tampak terlalu berlebihan. Ia sering kali melontarkan pendapat dan mengambil kebijakan yang kontroversial. Penglihatannya yang semakin buruk mungkin juga dimanfaatkan oleh para pembisik di sekitarnya. Gus Dur pun sering kali mengganti anggota kebinetnya dengan berdasarkan pentingnya tugas yang sifatnya sangat pribadi dan berpayung hak prerogatif. Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahuan Wapres Megawati dan Ketua DPR Akbar Tandjung. DPR menginterpelasi Gus Dur dan mempertanyakan alasan pemecatan Laksamana dan Jusuf Kalla yang dituding Gus Dur melakukan KKN. Tudingan yang tidak dibuktikan Gus Dur sampai akhir. Sejak saat itu, Megawati mulai dengan jelas mengambil jarak dari Gus Dur. Dukungan politik dari legislatif kepada Gus Dur menjadi sangat rendah. Di sini Gus Dur tampaknya lupa bahwa dalam sebuah negara demokrasi tidak mungkin ada seorang presiden (eksekutif) dapat memimpin tanpa dukungan politik (yang terwakili dalam legislatif dan partai). Celakanya, setelah itu Gus Dur justru semakin lantang menyatakan diri mendapat dukungan rakyat. Sementara sebagian besar wakil rakyat di DPR dan MPR semakin menunjukkan sikap berbeda, tidak lagi mendukung Gus Dur. Gus Dur melakukan perlawanan, tindakan DPR dan MPR itu dianggapnya melanggar UUD. Ia menolak penyelenggaraan SI-MPR dan
55
mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi Dekrit Gus Dur ini tidak mendapat dukungan. Hanya kekuatan PKB dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) yang memberi dukungan. Bahkan, karena dekrit itu, MPR mempercepat penyelenggaraan Sidang Istimewa (SI) pada 23 Juli 2001. Gus Dur akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggungjawaban dalam SI MPR itu. Dan Wapres Megawati, diangkat menjadi presiden pada 24 Juli 2001. Selepas SI-MPR, Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro PKB memecat pula Matori Abdul Djalil dari jabatan Ketua Umum PKB. Tindakan ini kemudian direspon Matori dengan menggelar Muktamar PKB yang melahirkan munculnya dua kepengurusan PKB, yang kemudian popular disebut PKB Batu Tulis (pimpinan Matori) dan PKB Kuningan (pimpinan Gus Dur-Alwi Sihab). Kepengurusan kembar PKB ini harus berlanjut ke pengadilan kendati upaya rujuk juga terus berlangsung. Bapak Bangsa Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Ia masih popular sebagai tokoh yang membela pihak yang dinilai benar, apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dipandang sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini hingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim. Padahal sebagian pengagumnya menganggapnya sebagai seorang waliullah. Selain menjadi idola bagi banyak orang, Gus Dur juga menjadi idola bagi keempat puterinya: Alisa Qotrunnada Munawarah (Lisa), Zannuba Arifah (Venny), Anisa Hayatunufus (Nufus) dan Inayah Wulandari (Ina). Hal ini tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina. Dalam Pemilu Presiden 2004, Gus Dur sempat dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim sebagai
56
Cawapres. Namun pasangan ini tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan alasan Gus Dur tidak memenuhi persyaratan kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden, sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia. Akibat penolakan KPU ini, Gus Dur melakukan berbagai upaya hukum, antara lain menggugat ganti rugi Rp 1 triliun, melaporkan ke Panwaslu, setelah sebelumnya melakukan judicial review ke MA dan MK. Ia pun berketetapan akan berada di luar sistem jika upaya pencalonannya tidak berhasil. Namun beberapa pengamat politik berharap, Gus Dur bisa mengoptimalkan perannya sebagai salah seorang “Bapak Bangsa”. Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 WIB akibat berbagai komplikasi penyakit, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Janazah Gus Dur dimakamkan secara kenegaraan yang dipimpin langsung oleh Presiden RI di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng pada tanggal 31 Desember 2009. Pondok pesantren tempat Gus Dur dimakamkan menjadi maskot Kabupaten Jombang sebagai tempat ziarah yang memiliki daya tarik tak tertandingi. Bahkan orang-orang yang selama ini berseberangan politik dengan Gus Dur akan cenderung mengagungkan Gus Dur bukan karena prestasi politiknya melainkan karena berkahnya yang diyakini mampu memberikan perlindungan dan rasa aman.[]
57
Prof Dr Widjojo Nitisastro Pakar Ekonomi
Tua-tua kelapa makin tua makin berminyak, begitu bunyi sebuah ungkapan. Ungkapan tesebut kiranya tepat untuk melukiskan Prof Dr Widjojo Nitisastro, yang pada 23 September 2007 tepat berusia 80 tahun. Meskipun telah mencapai usia senja, dengan fisik yang makin lama makin lemah, Prof Widjojo tetap saja berkiprah dalam memikirkan bangsa dan negaranya. Dalam beberapa tahun terakhir, para pejabat pemerintahan masih datang meminta bantuannya. Para muridnya juga masih terus berdatangan untuk memperoleh percikan pengetahuan dan wawasannya. Tak mengherankan, karena Prof Widjojo adalah satu sosok yang luar biasa jasanya bagi negeri ini. “Tak diragukan lagi, ia mempunyai dampak individual terbesar dalam perekonomian Indonesia,” tulis Newsweek dalam sebuah laporannya. Presiden boleh berganti, tetapi Widjojo Nitisastro ibarat magnet yang mempengaruhi para penguasa. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, Prof Widjojo didapuk untuk memimpin Tim Ekonomi Indonesia pada pertemuan Paris Club pada April 2000. Misi ekonomi tersebut sukses. Kelompok donor yang beranggotakan 19 negara itu menyetujui penjadwalan kembali pembayaran utang RI untuk periode April 2000 hingga Maret 2002 senilai 5,9 miliar AS. Gus Dur pun sangat gembira dengan hasil itu. Pasalnya, tak bisa dibayangkan seandainya misi itu gagal. Indonesia jelas akan kelimpungan mencari dana membayar utang-utang pemerintah yang jatuh tempo itu. Dalam pandangan ekonomi Mohammad Sadli, Prof Widjojo Nitisastro adalah orang yang punya peran besar dalam keberhasilan tim itu. “Jasa terbesar datang dari Prof. Widjojo. Hanya dialah, berkat pengalaman mewakili Indonesia berunding dengan Paris Club, tahu seluk beluk dan liku-liku Paris Club,” kata Sadli di sebuah kolomnya di TEMPO
58
interaktif. Menurut Sadli, menteri-menteri ekonomi kita yang baru tidak punya pengalaman menghadapi hal itu. Karena itu, tambah Sadli, 95 persen kerja delegasi Indonesia adalah arahan Widjojo. Keberhasilan itu mendorong Gus Dur menunjuk Prof Widjojo menjadi ketua Tim Asistensi Ekonomi Pemerintahan. Ini dipandang agak mengejutkan, karena sebelumnya, Prof Widjojo dan Prof Ali Wardhana pernah menolak menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). “Kami menyampaikan terima kasih atas kepercayaan tersebut. Tetapi, kami berdua ini sudah tua, Pak Ali Wardhana sudah 71 tahun, saya sudah 72 tahun. Kami akan membantu, tetapi tidak sebagai anggota,” kata Widjojo waktu itu. Ketika krisis moneter mulai menggerogoti Indonesia pada 1997, Presiden Soeharto pernah pula menugaskan Widojo untuk mengambil langkah penyelamatan. “Sejumlah keputusan yang berkaitan dengan perkembangan moneter akhir-akhir ini akan dikoordinasikan Prof. Widjojo Nitisastro,” kata Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad ketika menjelaskan hasil sidang kabinet bersama Menpen Harmoko dan Gubernur BI Soedradjat Djiwandono di Binagraha, 9 Oktober 1997. Widjojo memang sangat handal dalam bidang ekonomi. Sejak awal Orde Baru ia telah dipercayai sebagai orang yang turut memikirkan dan bertanggungjawab terhadap perekonomian Indonesia. Tak heran kalau ada yang menyebut dirinya sebagai “arsitek utama” perekonomian Orde Baru. Pada usia yang relatif masih sangat muda, 39 tahun, ia telah dipercaya sebagai Ketua Tim Penasehat Ekonomi Presiden (1966). Beberapa kali setelah itu ia duduk sebagai Menteri Kabinet pada posisi yang sesuai dengan bidang tugasnya, yakni ekonomi. Dari tahun 1971 sampai 1973 ia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian secara berturut-turut, dari tahun 1973 sampai 1983, ia dipercaya sebagai Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas. Menurut beberapa kalangan, mantan Presiden Soeharto sangat percaya pada Widjojo. Loyalitas Widjojo agaknya adalah jawaban mengapa Presiden selalu memanggilnya pada saat kritis. Dan loyalitas itu pula yang tampaknya yang membuat Widjojo dicintai anak buahnya. Mereka masih tetap memberi laporan kepadanya, meskipun ia tidak lagi menjadi menteri. Tetapi Widjojo tidak imun kritik. Ia bahkan pernah menghadapi berbagai kecaman. Tahun 1970, sebuah majalah kaum “Kiri Baru”
59
Amerika menyebutnya sebagai tokoh gerombolan “Mafia Berkeley”. Maksudnya, ia disebutkan sebagai antek Amerika karena dididik di kampus Berkeley AS. Setahun kemudian, kecaman itupun sempat “dicuatkan” kembali (beberapa) koran di Indonesia. Di situ digambarkan bahwa Widjojo telah menyusun suatu strategi pembangunan yang kurang lebih menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia ke tangan Barat. Tetapi Widjojo tidak terlalu ambil pusing terhadap cemoohan itu. Ekonom terkemuka Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang juga seniornya, mempunyai kesan mendalam tentang Widjojo. Hal itu diungkapkan setelah Soemitro dan Widjojo menerima penghargaan Piagam Hatta dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1985 silam. “Sebagai kakak, saya merasa bangga mempunyai adik yang tampil sebagai arsitek Orde Baru, di mana saya ikut sebagai satria pendamping dan peserta team,” kata Sumitro, yang sepuluh tahun lebih tua dari Widjojo, seperti dikutip TEMPO Edisi 2 Februari 1985. Pemberian penghargaan kepada perencana yang tangguh, sekaligus pelaksana rencana yang konsisten. Jauh sebelumnya ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), bersama seorang ahli dari Kanada Prof. Dr. Nathan Keyfiz, Widjojo dengan gemilang menulis sebuah buku, yang menjadi salah satu buku yang amat popular di kalangan mahasiswa ekonomi pada tahun 1950-an. Buku itu berjudul “Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia”. Tak tanggung-tanggung, Mohammad Hatta (alm.) dengan bangga memberi kata pengantarnya. Di situ Hatta menulis: “Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Kanada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkan dalam buku yang berbobot. Anak Penilik SD Berasal dari keluarga seorang duru di zaman kolonial, Ayahnya, Nitisastro, akhirnya pensiun sebagai penilik Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Jombang. Sang ayah juga dikenal sebagai seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra) yang menggerakkan Rukun Tani. Beberapa saudaranya menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan menjadi guru Taman Siswa. Salah seorang kakaknya, dr Angka Nitisastro, dikenal sebagai tokoh pendiri Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya
60
(ITS). Rumah keluarga Nitisastro di Jombang hingga kini masih dihuni keturunan guru tersebut. Widjojo tidak begitu suka membicarakan keluarganya, sehingga tidak banyak informasi mengenai masa kecilnya. Tetapi kawan-kawannya mengatakan bahwa ketika pecah Revolusi Kemerdekaan di Surabaya, Widjojo baru duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Pada tahun 1945 ia bergabung dengan pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP. Seorang teman dekatnya, Pansa Tampubolon – pendeta Advent yang kini bekerja di sebuah group penerbitan – bercerita tentang kegigihan Widjojo. “Widjojo anak pemberani. Bertempur dengan granat di tangan, ia nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari Surabaya,” katanya. Usai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama tiga tahun. Kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan mengkhususkan diri pada bidang demografi. Berkat kecerdasan dan kegigihannya, ia lulus dari FE UI dengan predikat cum laude. Kemudian saat mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley, California, AS, 1961, Widjojo muncul sebagai sarjana paling menonjol. Dan sejak itu kariernya melesat cepat. Pada awal tahun 1980-an, namanya sempat pula mencuat sebagai bakal calon Wakil Presiden periode 1983-1988. Ia dicalonkan Forum Studi dan Komunikasi (Fosko), suatu organisasi beranggotakan bekas aktivis angkatan 66. Tapi hal itu serta merta dibantah Widjojo. “Saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk jabatan wakil presiden,” kata peraih Penghargaan Kependudukan 1992 ini, suatu kali (TEMPO, 5 Februari 1983). Tahun 1984, Widjojo menerima penghargaan dari Universitas Berkeley, California, AS, yakni Elise Walter Haas Award. Penghargaan tradisi tahunan universitas tersebut diberikan kepada bekas mahasiswa asing yang jasa-jasanya dianggap menonjol. Dan Widjojo merupakan orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan ini. Widjojo memang seorang pekerja keras. “Biasa membawa pekerja ke rumah, dan tidak jarang menyelesaikannya sampai malam,” kata Sulendra, yang pernah lama menjadi sekretaris pribadinya. Dalam usianya yang terus merambat tua sekarang Prof Widjojo hidup tenang bersama keluarganya di kawasan Pondok Indah Jakarta. Dua anaknya sudah lama berkeluarga.[]
61
Ir KH Salahuddin Wahid Tokoh HAM dan NU, politisi
Kiprahnya di dunia politik sebenarnya belum begitu lama. Hampir 30 tahun arsitek lulusan ITB ini sibuk menggeluti dunia bisnis, menjadi direktur utama sebuah konsultan teknik dan pimpinan organisasi kearsitekan di Jakarta, sebelum terjun ke politik dan menjadi aktivis hak-hak asasi manusia di era Reformasi akhir dekade 1990-an. Tetapi nama Ir. KH Salahuddin Wahid alias Gus Solah tentu bukan nama yang asing di telinga warga negeri ini. Sebagai tokoh NU sekaligus duriat (keturunan) pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, adik KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, anggota MPR-RI, dan juga menjadi Calon Wapres mendampingi Capres Jenderal (Purn) Wiranto sebagai jago Partai Golkar dalam Pemilu Presiden 2004. Meskipun dalam pemilu tersebut pasangan itu gagal, Gus Solah tetaplah seorang tokoh yang dihormati masyarakat karena integritasnya. Dilahirkan di Jombang pada 11 September 1942, Salahuddin Wahid adalah putra KH Wahid Hasyim. Setelah lulus ITB, ia bekerja di perusahaan kontraktor, menjadi Dirut dari 1969-1977, kemudian jadi Dirut sebuah konsultan teknik hingga 1997. Ia juga pernah menjadi Associate Director sebuah perusahaan konsultan properti internasional dan anggota MPR 1998-1999. Berbagai pengalaman organisasinya antara lain Kepanduan Ansor, anggota pengurus Senat Mahasiswa ITB, anggota Ikatan Arsitek Indonesia dan Ketua DPD Inkindo (Ikatan Konsultan Indonesia) DKI Jakarta. Ketika buku ini ditulis, Gus Solah sudah sekitar satu tahun memegang tampuk kepemimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, menggantikan pamannya KH Yusuf Hasyim yang uzur (dan kemudian wafat pada 14 Januari 2007). Kepada wartawan Surabaya Post yang
62
mewawancarainya, Gus Solah dengan ceria mengatakan bahwa kegiatannya sekarang lebih banyak di Tebuireng. “Yaah, momong cucu sama ngopeni santri. Menikmati hidup-lah,” kata Gus Solah. Tetapi bukan berarti Gus Solah sudah tidak bergiat di luar pondok. Ia masih diundang dalam berbagai acara termasuk memberikan ceramahceramah, dan juga menulis di media massa. Seperti pada 30 Oktober 2006, Gus Solah merasa perlu mengirimkan opininya ke Jawa Pos menyangkut keputusan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur soal penentuan 1 Syawal (Idul Fitri) yang berbeda dengan keputusan Pengurus Besar NU di Jakarta. Saat itu PWNU Jatim memutuskan Idul Fitri jatuh pada Senin karena telah ada yang melihat bulan pada Minggu, 22 Oktober 2006, sedang PBNU menetapkan Selasa, 24 Oktober 2006. Meskipun Gus Solah mengatakan bahwa dari segi organisasi, sulit dipahami PWNU Jatim tidak mau mematuhi kebijakan PBNU, ia terkesan tidak terlalu menyalahkan dengan mengatakan perbedaan seperti itu mungkin belum diatur oleh AD/ART atau tata kerja NU. “Kalau belum diatur, harus segera dibuat aturan untuk mencegah terulangnya kejadian itu,” katanya. Gus Solah juga menyarankan, untuk mengantisipasi dan bahkan mencegah terjadinya perbedaan hari dan tanggal Idul Fitri berdasarkan rukyah, perlu diadakan pembahasan lebih teliti dan intensif di antara pihak-pihak yang berbeda hasil perhitungannya. “Meminjam pendapat Rektor ITS Muhammad Nuh, para ahli astronomi dan ahli falak perlu melakukan serangkaian diskusi dan pengamatan yang dilakukan setiap awal bulan Hijriyah sampai Ramadan 2007,” tulis Gus Solah pula. Perhatian Gus Solah terhadap persoalan NU memang sangat besar. Ia selalu mengikuti secara seksama setiap perkembangan organisasi ini, termasuk ketika partai-partai politik melakukan pendekatan lebih intensif pada NU menjelang pemilu. Ia mengatakan tidak merasa heran jika massa NU selalu diperebutkan. Termasuk oleh PKNU yang dididrikan oleh Drs. Choirul Anam dan sejumlah kiai NU, setelah kelompoknya kalah di Mahkamah Agung menghadapi kelompok Drs H.A. Muhaimin Iskandar cs, menyangkut keabsahan kepemimpinan DPP PKB. Menurut Salahuddin Wahid, rebutan massa NU adalah sebuah realitas yang tidak bisa dibantah. Mendirikan partai adalah hak setiap orang. Seberapa besar mendapat dukungan itu yang perlu dibuktikan.
63
“Masing-masing mengklaim didukung rakyat. Tetapi rakyat yang mana? Kan harus diuji,” katanya. Ditanya tentang konflik PKB, Gus Solah menegaskan secara hukum sudah jelas yang diakui MA dan sah secara hukum adalah DPP PKB-nya Gus Dur dan Muhaimin. Soal Cak Anam (Choirul Anam) dan Pak Alwi (Shihab) yang didukung Kiai Faqih menganggap cacat hukum dan menggugat, itu adalah hak mereka. “Itu harus dihargai. Tetapi masalah hukum sebenarnya sudah selesai,” kata Gus Solah. Ia juga menyebutkan, setelah berdirinya PKNU ada yang dinilai lucu dalam konflik PKB. “Dulu ada dua PKB, lha sekarang ada PKB dan PKNU. Cak Anam masih mengklaim sebagai Ketua PKB tetapi juga mengklaim Ketua PKNU. Masak satu orang jadi dua partai. Ini aneh,” katanya pula. Membela Wiranto Dalam kiprahnya di dunia politik, KH Salahuddin Wahid banyak menjadi berita ketika ia dicalonkan sebagai Cawapres berpasangan dengan Jenderal (Purn) Wiranto dari Partai Golkar dalam Pemilu Presiden 2004. Dalam posisinya sebagai Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Gus Solah saat itu membela Wiranto, yang masih direpoti oleh tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur. Ia menegaskan, Tim Penyelidik Khusus Kasus Timtim yang dibentuk Komnas HAM hanya memanggil Wiranto sebagai saksi. Menurutnya, tim tersebut tidak menemukan indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan perwira militer Indonesia di Timtim. Ia menegaskan soal ketidakhadiran para petinggi TNI dalam klarifikasi tim khusus Komnas HAM, adalah karena menganggap keberadaan tim itu tidak berdasarkan hukum. “Saya kira itu hanya perbedaan persepsi terhadap Pasal 43 UU 26/2002 saja. Yang jelas, Komnas HAM telah menyelenggarakan tugasnya dengan melaporkan temuan kepada Kejaksaan Agung dan DPR pada Oktober 2003,” jelasnya. Meski begitu, sebagaimana dikutip Indopos 11 Mei 2004, Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 ini mengaku akan mempertimbangkan kembali pencalonannya bila dalam waktu empat bulan tekanan dunia internasional terhadap pengusutan dugaan pelanggaran HAM di Timtim menguat dan proses hukum yang adil
64
memutus Wiranto bersalah. “Namun, saya kira semua itu tidak bisa dilakukan dalam waktu secepat itu,” katanya kalem. Menurut Gus Solah, dirinya maju mendampingi Wiranto ke arena pilpres adalah tugas dari PKB dan sejumlah kiai khos yang tidak bisa ditolak. Gus Solah menegaskan sendiri persetujuan itu sudah diketahui Gus Dur. “Saya mendengar sendiri persetujuan dari Gus Dur. Bahkan, saya yang diminta menjadi pelapis kalau pencalonan Gus Dur ditolak KPU,” ungkapnya. Gus Solah juga menegaskan tidak akan pernah menjadi Wapres seremonial seperti citra Wapres sebelumnya. Diungkapkan, sejak DPP Partai Golkar meminangnya, dia telah mengajukan syarat kepada Wiranto, yaitu diberi tugas khusus dalam penegakan hukum dan HAM serta pemberantasan korupsi. “Artinya, saya juga akan dilibatkan secara aktif dalam pemilihan Kapolri dan jaksa agung.” Tegasnya. Dalam pidato saat deklarasi di Gedung Bidakara, Jakarta, Selasa 11 Mei 2004, Salahuddin Wahid menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi. Menurutnya, upaya pemberantasan korupsi yang serius harus mulai dilakukan sekarang dan diawali dari pemerintahan tertinggi, yaitu Presiden dan Wakil Presiden (Wapres). Ia mengajak semua elemen bangsa untuk mengikis rasa dendam. “Bangsa ini telah belajar banyak dari masa lalu. Darah telah tumpah, air mata tercurah, kekuasaan yang sesungguhnya adalah amanah menjadi alat pemecah belah. Mari kita hentikan itu semua. Kita perlu melihat masa lalu dengan lebih baik. Dendam harus dikikis menjadi maaf dengan mengungkap kebenaran dan memberi keadilan”, ujarnya. Wiranto sendiri saat itu mengakui manfaat Gus Solah sebagai pasangannya. Mantan Menhankam dan Panglima ABRI itu menyatakan, bergabungnya Gus Solah menjadi salah satu bukti bahwa dirinya selama ini termasuk sosok yang bersih. “Saya sudah sering bertemu Gus Solah. Sebelum memutuskan bergabung, tentu Gus Solah sudah melakukan pendalaman-pendalaman. Karena Gus Solah bersih, tentu tidak mau dengan barang kotor. Apalagi beliau juga Wakil Ketua Komnas HAM. Jadi, saya ini bersih,” kata Wiranto.[]
65
KH As’ad Umar Ulama dan Politisi
“Seperti kebiasaan orang-orang kita lainnya, saya tidur enam jam sehari,” kata KH As’ad Umar Mengenai resep menjaga kondisi tubuhnya sehingga tetap gesit pada usia di atas 70 tahun. Pertanyaan ia sampaikan akhir dasawarsa 1990-an ketika melihat kesiapan pondoknya menerima kunjungan Presiden B.J. Habibie. Saat itu Kiai As’ad masih menyetir mobil sendiri dan gesit berjalan kaki di antara bangunanbangunan sekolah di kompleks PP Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. “Usai shalat subuh saya sudah menjalankan aktivitas rutin, menginspeksi pondok dan menyiapkan pekerjaan,” katanya. Namun kini, kondisi kesehatan Kiai As’ad sudah agak menurun karena usianya yang telah lanjut. Siapapun yang melihat sosok ini, pastilah akan menangkap kesan gesit dan optimis pada pribadi ini. Ia tidak bisa berdiam diri dan selalu memiliki gagasan baru untuk mengembangkan pondoknya. Karena itu pondok yang memiliki sejarah panjang itupun berkembang sangat pesat bahkan telah merambah pada dunia pendidikan umum. Dalam naungan PP Darul Ulum, telah tumbuh dan berkembang sekolah-sekolah antara lain SMA Unggulan, Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah Program Khusus Darul Ulum dan SMP Darul Ulum I, II, III dan IV. Sedangkan tingkat menengah atas meliputi SMA Darul Ulum I hingga IX, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan MAN Program Khusus. Untuk lebih meningkatkan kualitas para santri, Ponpes Darul Ulum juga telah mendirikan lembaga pendidikan tinggi yakni Akademi Keperawatan (AKPER), Akademi Bahasa Asing (ABA), Universitas Darul Ulum dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Darul Ulum. Lembaga terakhir ini bernama Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu).
66
Dalam kompleks Pondok Pesantren yang luasnya mencapai 52 hektar itu juga berdiri rumah sakit barlantai dua yang cukup megah dan modern. Menurut As’ad, pendirian RS itu selain untuk praktik siswa Akper dan Akbid juga didasari keprihatinannya tentang pelayanan kesehatan bagi kaum muslim yang selama ini memprihatinkan. “Saya punya obsesi memiliki RS dengan standar modern namun tetap Islami,” tambahnya. Melihat begitu banyaknya lembaga pendidikan yang telah didirikan, tentu kita yakin betapa tingginya komitmen KH As’ad Umar di dunia Pendidikan. Telah ribuan sarjana yang ia hasilkan lewat lembaga pendidikan yang ia dirikan. Namun sebenarnya Kiai As’ad sendiri kurang beruntung di bidang pendidikan karena ia tidak sempat meraih kesarjanaan. Hal ini layak kita teladani sebab untuk menghasilkan karya, orang tidak perlu harus bergantung pada gelar kesarjanaan. Memang, Kiai As’ad pernah menimba ilmu di Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) Jogjakarta sekitar tahun 1958. Namun sebelum lulus ia dipanggil Ayahandanya KH Umar Tain untuk mengelola pondok ayahnya. Kekurangan ini ditutup oleh kegemarannya berorientasi sehingga pengalaman ini kelak sangat mendukung kematangan As’ad dalam berpolitik. Pada tahun 1959, ia dipercaya menjadi Ketua Pertanu Jombang yakni organisasi pertanian di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Setahun berikutnya menjabat Ketua DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dari Jombang. Karir politiknya kian meroket. Pada 1969-1971, As’ad duduk sebagai anggota DPRD Jatim lewat NU. Lalu sejak 1975-1997 ia kembali ke DPRD Jatim sebagai anggota dari Golkar. Pada akhir masa rezim Soeharto, Kiai As’ad sempat menjadi anggota DPR-RI beberapa saat. Meski menjadi politisi, Kiai As’ad masih terus memimpin Ponpes Darul Ulum. Bahkan tak jarang di sela-sela kunjungan kerja sebagai anggota DPRD Jatim, baik di Jatim maupun daerah-daerah lain di luar Jatim, ia selalu kontak dengan alumni Darul Ulum di daerah setempat. “Banyak santri yang berdomisili di daerah sini sehingga saya bisa menemui mereka. Atau kalau ada yang tahu saya berada di daerahnya, mereka mengontak alumni lain dan menemui saya,” katanya suatu malam saat kunjungan kerja di Banyuwangi tahun 1991. Pengalaman yang panjang di dunia politik dan pesantren membuat pria yang selalu blak-blakan ini juga dikenal sebagai jago lobi. Berkat kepiawaian lobinya, PP Darul Ulum selalu menjadi jujukan kunjungan
67
pejabat baik menteri bahkan Presiden. Tentu tak terhitung kunjungan pejabat provinsi dan pejabat pusat di bawah menteri. Kini di bawah kendali putra-putranya yang telah mengenyam pendidikan tinggi dengan baik, tak seperti dirinya, lembaga pendidikan Darul Ulum telah berkembang. Darul Ulum telah berkembang menjadi institusi bukan saja pendidikan tetapi juga sosial budaya, politik dan tentu saja ekonomi karena mampu memberi lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan para lulusannya. Dan Kiai As’ad tegak berdiri di sana, mendirikan lembagalembaga itu sekaligus menjaga kelangsungan pertumbuhannya Keluarga dan Masyarakat Di balik kiprahnya sebagai salah satu praktisi politik baik di tingkat Jawa Timur maupun nasional, KH As’ad ternyata adalah sosok yang memiliki kehangatan keluarga. Beliau sangat memperhatikan keluarga dan selalu ingin dekat dengan seluruh anggota keluarganya. Kiai As’ad berputra 9 orang, seorang diantaranya sudah meninggal dunia. Dari delapan putranya, 6 laki-laki 2 perempuan kini semuanya tinggal di lingkungan PP Darul Ulum. “Bahkan ketika kakak saya, Yiyi, berangkat ke Australia untuk studi dan bermaksud mengajak putranya, Kiai As’ad melarang. Beliau ingin tetap dekat dengan cucunya,’’ kata Zahrul Ashar, putra bungsunya. Dalam kaitan ini ada yang perlu dicatat, Kiai As’ad tidak pernah mengharuskan putra-putrinya untuk memilih pendamping hidup dari kalangan tertentu.Tak harus dari putra/putri Kiai, misalnya. Bagi Kiai As’ad ukuran terpenting adalah manfaatnya bagi pondok. Ini bisa dimengerti kalau kita melihat dan menelusuri betapa besarnya komitmen beliau terhadap “ilmu”. Bagi Kiai As’ad dengan memiliki ilmu seseorang akan ditinggikan derajatnya oleh Allah. Maka sungguh tepat pemilihan nama Ulum, yang berarti rumah ilmu, bagi payung besar lembaga pendidikan yang dinaunginya. Dan Kiai As’ad memang memegang teguh serta telah mampu mengembangkan Darul Ulum dengan fantastis. Para putra-putrinya kini bahu-membahu membesarkan dan terus mengembangkan seluruh lembaga pendidikan yang dinaungi PP Darul Ulum. Tentu saja masing-masing sambil terus menuntut ilmu di lembagalembaga pendidikan terkemuka baik di dalam maupun di luar negeri.
68
Kiai As’ad pun seperti telah menjadi karakternya, dalam usia 74 tahun ini, masih tak mau berdiam diri. Meski beliau terkena stroke saat menghadiri pengajian di Janti tahun 2004 silam dan hingga kini kemanamana harus memakai kursi roda, namun masih terus mengikuti dinamika di lingkungan pondoknya. Semua keputusan yang dibuat masih harus memperoleh persetujuan beliau. Jika beliau mengatakan tidak, maka itu yang harus diikuti. Selain kedekatan dengan anggota keluarga besarnya, Kiai As’ad juga sangat dekat dengan masyarakat sekitar pondok. Terjadi hubungan saling menguatkan dan mengembangkan antara keluarga Kiai As’ad dan pondoknya dengan masyarakat sekitar. Dalam hal ini beliau berpesan kepada para putra-putrinya, meski bisa menguntungkan secara materi namun pondok dilarang mengurus semua kebutuhan para santri. Bagi Kiai As’ad, hubungan baik antara pondok dan masyarakat sekitar haruslah terus dijaga karena keduanya saling memiliki ketergantungan, saling membutuhkan. Maka tak heran jika di lingkungan Darul Ulum selalu terbina kekompakan dan tak pernah ada konflik apalagi yang sifatnya terbuka. Ini penting untuk dicatat sebab saat ini ada sejumlah pondok yang berhubungan dengan masyarakat sekitar sangat buruk. Ada pesantren yang gotnya ditutup warga karena sang kiai tak mampu memelihara hubungan baik dengan warga sekitar. Untuk makin mengukuhkan hubungan baik di Darul Ulum, kini juga sudah berdiri koperasi SIGAP (Koperasi Keluarga Pondok) yang dimiliki masyarakat sekitar, khususnya para pedagang. Dengan koperasi ini ketertiban para pedagang juga dibangun. Mereka juga ikut mendukung program pondok. Misalnya, mereka tak menjual rokok, minuman keras dan semacamnya. Mereka juga tertib dengan menaati jam jualan. Para pedagang harus tutup saat maghrib tiba. “Kami justru sangat terbantu dengan kehadiran mereka, apalagi mereka juga nurut dengan aturan-aturan yang dibuat pondok,” kata Gus Zahrul.[]
69
Dr KH Mustain Romly Ulama, Pendiri Universitas Darul Ulum
KH Mustain Romly tidak disangsikan lagi adalah salah satu tokoh besar asal Jombang yang punya pengaruh luas secara nasional. Selain dikenal sebagai tokoh pendiri Universitas Darul Ulum Jombang. Kiai Mustain juga kesohor sebagai Mursyid Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah di Indonesia. Beliau pernah menjadi anggota DPR/MPR RI, juga Ketua Umum Thariqat Mu’tabarah seluruh Indonesia, ketua Umum Perkumpulan Perguruan tinggi Swasta Seluruh Indonesia, Rektor Universitas Darul Ulum Jombang dan sekitarnya. Banyak orang menilai Kiai Mustain adalah seorang kiai yang memiliki pandangan jauh ke depan dibanding kiai pada umumnya. “Ya, memang demikian. Beliau diakui sebagai sosok yang pemikiranpemikirannya melesat mendahului banyak tokoh termasuk kiai lainnya,” kata Noor Fatah Syafi’i, alumnus Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum Jombang. Fatah, yang dikenal aktivis mahasiswa waktu kuliah di Undar pada 1970-an, mengaku Kiai Mustain adalah gurunya. Ia melihat sang guru tersebut memang sering membuktikan kehebatan pandangannya. Ketika Kiai Mustain sebagai tokoh NU masuk Golkar, misalnya, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) geger. PPP sebagai partai dengan basis NU mencak-mencak. Apa pula alasan masuk partai pemerintah tersebut? Menurut Fatah, yang kini berprofesi sebagai pengacara, Kiai Mustain sering mengatakan kalau orang-orang dari kelompok lain akan memasukinya, nyatanya, setelah Kiai Mustain masuk Golkar, banyak pihak juga mengikutinya bergabung dengan kekuatan politik tersebut. Berkat langkah Kiai Mustain, kaum Nahdliyin kini ada di mana-mana. Para pengamat politik seringkali merujuk tindakan Kiai Mustain bila berbicara tentang pertarungan partai-partai politk sekarang ini dalam
70
memperebutkan suara NU. Moh Sholeh, staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, misalnya, pada 20 September 2002 menyampaikan pandangannya saat menyambut Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama Wonorejo Pasuruan, 11-13 Oktober 2002. Dalam tulisan berjudul “Perhelatan Tanpa Pertarungan Wacana”, Sholeh mengatakan paling tidak ada tiga hal yang diperkirakan mendominasi pembicaraan seputar konferensi itu. Pertama, perbincangan klasik menyangkut posisi PWNU Jawa Timur sebagai basis terbesar organisasi barlambang jagat ini. Kedua, dengan posisi tersebut, kepemimpinan dan jamaah NU selalu diperebutkan, dijadikan battle ground (medan peperangan) antarkekuatan dan aliran politik. Ketika, besarnya tarikan arus politik ini mengakibatkan hampir tiap perhelatan yang diselenggarakan NU selalu ramai bergelora dengan tempik sorak pertarungan wacana. Menurut Sholeh, selain partai-partai beraliran nahdliyin seperti PKB dan PPP, minimal ada dua sayap politik lagi yang secara tradisi, baik laten maupun manifest, turut bertarung, melihat NU sebagai battle ground untuk mendulang dukungan sekaligus melakukan “pembajakan” kader, yaitu pertama, sayap nasional sekuler. ”Kelompok ini mempunyai pengaruh lumayan di lingkungan NU, berawal dari rintisan KH Mustain Romly, pendiri Universitas Darul Ulum Jombang. Selaku Mursyid Thariqah Qadariyah wan Naqsabandiyah, generasi kedua pemangku pondok pesantren Darul Ulum ini, menggiring jamaahnya untuk berteduh di bawah pohon beringin,” kata Sholeh. “Kala itu fatwa Mursyid Thariqah berarti Fox Kiai Fox Dai, suara kiai suara tuhan. Pengaruhnya sangat dahsyat, para Mursyid terbelah menjadi dua: tetap mengelilingi Ka’bah (PPP) dan yang lain ramai-ramai hijrah ke pohon beringin (Golkar). Rintisan dalam Pemilu 1977 dan 1982 tersebut, menurut Sholeh, menjadi salah satu sebab jungkir baliknya kiprahnya PPP di kantungkantung tradisionalnya sendiri. Padahal ketika itu disepakati bahwa partai yang selalu berada di urutan kedua sepanjang sejarah Orde Baru itu sebagai satu-satunya saluran resmi aspirasi politik warga NU. “Hampir mirip dengan kebijakan yang diambil PBNU pada awal-awal berdirinya PKB,” kata Sholeh pula. Sholeh juga menyebutkan, keberhasilan KH Mustain Romly menggembala warga NU di bawah naungan pohon beringin, bisa jadi merupakan inspirasi yang menggerakkan Gus Dur menggandeng
71
Megawati, ketika itu Ketua Umum PDI-P, blusukan ke pesantren-pesantren dan ke tokoh-tokoh NU. Tidak berhenti hanya di situ, “safari pesantren” itu juga dibarengi dengan statement sloganistik: Mencoblos PDI-P sama dengan mencoblos PKB. Lagi-lagi PDI-P mendapatkan durian runtuh sebagaimana Golkar, buah dari policy elite NU yang “fleksibel”. Tetapi terlepas bagaimana pandangan orang terhadap dirinya, Kiai Mustain umumnya dipandang sebagai sosok yang selalu berjuang untuk kepentingan bangsanya, bukan sekedar kelompok apalagi diri pribadinya. “Langkah Kiai Mustain selalu mengedepankan kepentingan bangsa. Itu yang saya tahu dan yakini betul,” kata Noor Fatah. Dilahirkan di Jombang pada tahun 1933, Kiai Mustain Romly adalah salah satu putra KH Romly Tamim, pengasuh Pondok pesantren Darul Ulum. Sejak muda beliau memang sudah dikenal sebagai anak muda yang berani dan memiliki wawasan jauh ke depan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, pemuda Mustain Romly bergabung mengangkat senjata melawan Belanda. Kemudian, ketika melihat ketertinggalan umat Islam, termasuk di Jombang, Kiai Mustain bersama mertuanya, KH Wahab Hasbullah, dan beberapa tokoh lain seperti Kiai As’ad Umar mendirikan Universitas Darul Ulum pada 1965. Sekarang Universitas Darul Ulum Jombang sudah jauh berkembang dibandingkan ketika pertama kali didirikan. Berkat lobi-lobi yang dilakukan Kiai Mustain Romly, universitas tersebut dapat memperoleh bantuan dari berbagai pihak dalam upaya pengembangannya. Menurut Noor Fatah, banyak rencana yang telah digagas oleh Kiai Mustain dalam berbagai bidang termasuk pendidikan umat Islam. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Beliau wafat dalam usia 52 tahun pada 20 Januari 1985, menginggalkan istri dan lima anaknya. “Saya ingat betul tanggal tersebut karena saat itu saya mau pindah rumah. Rencana pindah itu akhirnya saya tunda,” kata Fatah.[]
72
Drs H.A. Muhaimin Iskandar, Msi Ketua Umum Tanfidz DPP PKB, Wakil Ketua DPR RI
Muhaimin Iskandar atau yang dikenal sebagai Cak Imin dalam sapaan akrabnya, saat ini adalah bagian dari generasi muda yang jelas dapat dibanggakan masyarakatnya. Lahir di Jombang pada 24 September 1966, Muhaimin kecil bersekolah hingga lulusan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Denanyar pada 1982, kemudian belajar di Madrasah Aliyah Negeri I Jogjakarta, sebelum akhirnya kuliah di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) hingga lulus pada 1992. Gelar pasca sarjananya diperoleh di Universitas Indonesia. Kesukaannya belajar dan berorganisasi menjadikannya sebagai anak yang menonjol. Di saat dirinya masih sekolah di Aliyah, ia sudah diperbantukan mengajar di Ponpes Denanyar, Jombang. Semasa kuliah di UGM, Muhaimin bekerja sebagai Sekertaris Lembaga Kajian Islam dan Sosial Jogjakarta. Begitu lulus, ia dipercaya sebagai Kepala Litbang Tabloid Detik, sebuah mingguan di Jakarta yang sangat populer saat itu, sebelum akhirnya terjun ke politik di era reformasi dengan bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejak 1999 Muhaimin sudah menjadi anggota DPR dari PKB. Semua itu kiranya bukan hal yang aneh bila mengingat Muhaimin memang memiliki pengalaman yang cukup luas. Pada tahun 1989, misalnya, ia telah terpilih sebagai Ketua Koprs Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial Jogjakarta, dan tahun berikutnya menjadi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa Fisip UGM. Ia juga menjadi Ketua Umum PMII Komisariat UGM (1990-1991), kemudian Ketua Umum PMII Cabang Jogjakarta (1991-1912), Setelah pindah ke Jakarta, ia menjadi Kepala Divisi Kajian Lembaga Pendapat Umum Jakarta (1992), Ketua Umum
73
Pengurus Besar PMII (1994-1997), sebelum terpilih sebagai Sekretaris Jenderal DPP PKB (1998-2000) dan kemudian Ketua DPP PKB (20002005). Muktamar II PKB Semarang Karier suami Rustini Murtadho yang dianugrahi seorang anak ini makin bersinar setelah ia terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2005-2010 secara aklamasi dalam Muktmar II PKB di Semarang pada 19 April 2005. Muhaimin menjadi satu-satunya calon ketua Umum Dewan Tanfidz karena calon lainnya mengundurkan diri, memperoleh suara 304 dari 382 kertas suara. Namun tanda-tanda adanya ketidakpuasan sudah terlihat sejak awal. Tiga calon ketua umum yang telah menyatakan mengundurkan diri ternyata tetap mendapatkan suara, yakni Syaifullah Yusuf 26 suara, Ali Masykur Musa 27 suara, dan Mahfud MD 2 suara. Sepuluh suara abstain, sehingga total suara yang terhitung adalah 369 suara, sementara sisanya, 13 suara lainnya dinyatakan hilang oleh pimpinan sidang Arifin Junaedi. Ketika sidang dibuka, terdapat 31 DPW serta 402 DPC sehingga total suara adalah 433 suara. Tetapi ternyata dalam pemungutan suara berkurang menjadi 382 suara. Sesaat setelah pemungutan suara usai pimpinan sidang meminta kesediaan Muhaimin Iskandar maju ke podium untuk menyatakan kesediaannya secara lisan. “Saya mengucapkan beribu terima kasih atas dukungan teman-teman DPW dan DPC. Tidak ada pilihan kecuali menerima dan bersedia dengan niat mengabdi kepada bangsa dan Negara,” ucapnya. Sesuai dengan tata tertib (tatib) pemilihan Ketua Umum Dewan Tanfidz, meski sudah mendapatkan suara terbanyak dari DPW dan DPC, calon juga harus mendapatkan persetujuan dari Ketua Umum Dewan Syuro terpilih yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Secara lisan Gus Dur menyatakan persetujuannya, terhadap pencalonan keponakannya itu. Akhirnya karena Muhaimin merupakan calon tunggal, sesuai tatib, calon tunggal dinyatakan terpilih secara aklamasi. Maka pimpinan sidang menanyakan kepada peserta apakah menyetujui Muhaimin, para muktamirin serentak menjawab setuju. Hal ini langsung disambut gembira oleh para pendukung Muhaimin. Dan seiring dengan diketoknya palu, maka Muhaimin terpilih secara sah sebagai Ketua Umum Dewan Tanfisz.
74
Dalam susunan pengurus DPP PKB, Ketua Umum Dewan Syuro KH Abdurrahman Wahid didampingi tiga ketua, yaitu HZ Arifin Junaidi, KH Hamdun Ahmad, dan Sugiat Ahmad Sumadi. Sekertaris Dewan Syuro H Muhyidin Arabusman dengan Wakil Sekertaris KH Aminullah Muhtamar dan Badriyah Fayumi. Di jajaran Ketua Tanfidz ada Lalu Misbach Hidayat, Andi M Ramly, Effendy Choirie, Maria Pakpahan, Maria Ulfa Abshori, Rosehan, dan Nursyahbani Katjasungkana. Kedudukan Sekretaris Jenderal dipercayakan kepada Muhammad Lukman Edy M.Si, sedangkan putri Gus Dur, Zannuba Arifah, menjadi salah satu wakil sekjen bersama Helmy Faisal, Imam Nahrawi, dan Rieke Dyah Pitaloka. Hasil Muktamar II PKB di Semarang tersebut ditentang keras oleh kelompok Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf. Mereka mengadakan Muktamar “tandingan” di Surabaya. Kelompok itu memilih KH Abdurraman Chudori sebagai Ketua Dewan Syuro dan Drs H. Choirul Anam sebagai Ketua Dewan Tanfidz. Namun dalam konflik yang berujung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, kelompok Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf kalah. PN Jakarta Selatan memutuskan pada Agustus 2005 bahwa DPP PKB pimpinan Muhaimin adalah PKB yang sah. Mahkamah Agung mengukuhkan keputusan tersebut. Mencoba Berdamai Meskipun sudah di atas angin, Muhaimin jelas belum bisa tenang. Hal itu karena adanya sejumlah kiai berpengaruh yang mendukung kubu Alwi Shihab-Syaifullah Yusuf. Oleh sebab itu, jauh-jauh hari kubu Muhaimin berusaha merangkul para kiai terkemuka yang popular dengan Forum Langitan, “Kami akan mendekati para kiai untuk bersama-sama lagi membesarkan PKB,” kata Muhaimin kepada pers setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 10 Agustus lalu, memenangkannya. Ia menyebutkan, dirinya memperlakukan penentangannya dengan dua model. Untuk kalangan kiai, Muhaimin akan proaktif mendekati, sowan. Kepada para penentang kai, ia akan bersikap pasif. Kalau kubu Alwi mau gabung silahkan, mau pisah, ya, monggo kerso. Menurut Ansyori S. Karni, dan Mujib Rahman dalam laporannya di Gatra, wajar belaka bila Muhaimin mengistimewakan kiai. Karena merekalah simpul-simpul pengikat konstituen PKB yang mayoritas kaum
75
santri tradisional. Repotnya, setelah keputusan PN Jakarta Selatan, Forum Langitan tampak masih menompang Alwi-Saiful. Sebagian kiai menyambut dingin ajakan Cak Imin. “Saya tidak tertarik mengomentari ajakan Cak Imin,” kata KH Anwar Iskandar, pengasuh Pesantren Jamsaren Kediri, yang kerap menjadi juru bicara Forum Langitan. Ternyata hal itu bukan sikap Kiai Anwar, yang juga Ketua Dewan Syuro PKB Jawa Timur. Itu terlihat dari pertemuan para kiai senior di rumah KH Abdullah Faqih, pengasuh Pesantren Langitan, Tuban. Pertemuan dua jam itu dihadiri para kiai terkemuka Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta. Meskipun tertutup, tidak sulit mengetahui hasil pembicaraannya. Usai pertemuan, KH Anwar Iskandar mengucapkan, pertemuan itu menghasilkan ikrar solid para kiai. Mereka menyatakan tetap mendukung Alwi-Saiful. Benarkah hal itu akan terus berlanjut? Muhammad Asfar, pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya, tidak yakin. “Saya rasa, itu bukan harga mati,” kata Asfar. “Kiai-kiai itu kan sifatnya pemaaf. Yang penting, bagaimana mendekati dan melakukan bargaining dengan baik.” Kalau kiai berhasil diyakinkan, menurut Asfar, Anam dan PKB Jawa Timur akan manut kiai. Suara PKB Jawa Timur, kata Asfar, tergantung sikap Cak Imin. Kemenangannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan poin bagus. Resistensi di kalangan Fraksi PKB bisa mengecil. “Kalau menang lagi MA, resistensi terhadapnya lebih kecil lagi,” Asfar menambahkan. Belum diketahui langkah apalagi yang akan ditempuh dirinya meskipun Mahkamah Agung telah mengukuhkan dirinya sebagai pimpinan PKB yang sah. Yang jelas, Cak Imin adalah sosok cerdas yang akan selalu mencari jalan.[]
76
Drs. H. Choirul Anam Tokoh GP Ansor, Politisi
“Saya ini tidak ada potongan jadi anggota dewan,” kata Drs. H. Choirul Anam, politisi kelahiran Jombang, 30 September 1954 ini. Itu sosok Cak Anam, sederhana dan lugas yang menjadi diri khasnya. Cak Anam memang tokoh yang bisa disebut tidak biasanya. Ketika para politisi berebut untuk menjadi Caleg pada Pemilu 1999 silam, ia malah menolak untuk dicalegkan. “Bahkan menjabat Ketua DPW PKB Jatim saja, bukan karena keinginannya tetapi karena ditugasi Gus Dur,” tambahnya. Bagi kalangan NU, nama Choirul Anam sangatlah akrab. Ia sosok yang benar-benar hidup dan tumbuh dalam lingkungan NU. Bahkan ia pernah menjadi Wakil Ketua PWNU Jatim (1995-2000). Mantan wartawan ini juga penulis buku monumental Nahdlatul Ulama yang banyak dibaca dan dikutip bahkan oleh para peneliti luar negeri. Tak heran jika nilai-nilai ke-NU-an sangat kuat melekat dalam dirinya. Karena itu Anam juga berharap bisa membesarkan NU. “Sejak di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel, Surabaya tahun 1978 saya sudah aktif di berbagai kegiatan kampus antara lain Ketua Senat dan Ketua Presidium mahasiswa IAIN,” katanya. Pada saat itulah, papar Anam, ia dan teman-teman berunjuk rasa meminta Presiden Soeharto turun pada SU MPR. Akhirnya ia dan temanteman dijebloskan ke penjara Kalisosok selama tiga bulan. “Nah, kalau saya pada 1999 silam banting setir ke politik karena saya ditugasi Gus Dur sebagai penggagas PKB bersama para kiai sepuh NU lainnya.” Itulah babak penting kehidupan Cak Anam, terjun ke dunia politik praktis menjadi Ketua DPW PKB Jatim. Menurutnya PKB tak bisa lepas dari NU karena kelahirannya dibidani para kiyai sepuh. Karena itu kalau ia aktif di PKB, tak lain karena itulah tugas yang diberikan oleh para kiai
77
sepuh kepadanya. Meski mendapat mandat dari para kiai NU, namun dalam berpolitik, Anam tak begitu saja memaksakan warga NU untuk harus memilih atau mendukung PKB. “Warga NU tetap bebas memilih parpol lain tanpa paksaan. Dari kita lihat, warga NU cukup banyak yang berada di partai lain seperti Golkar, PAN, PPP, PKS, PBB atau yang lainnya. Sebelum ke PKB, sosok Anam sangat melekat pada Ansor Jatim. Ini karena ia memang menjabat Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jatim, yang pada masa kepemimpinannya, Ansor memiliki peran dan posisi penting dalam perpolitikan di Jawa Timur. Peran Anam menjadi semakin penting dalam perpolitikan ketika ia menjadi Ketua DPW PKB, bahkan Ketua Umum PKB. Namun pada posisi puncak ini, kepiawaian berpolitiknya, sedang teruji. Dalam gelombang politik yang menimpa PKB, Cak Anam berbeda sikap dengan Gus Dur yang kemudian membawa dirinya pada posisi sangat sulit. Akhir perjalanan politik berada di luar orbit politik yang digagas Gus Dur, dengan segala konsekuensinya. Toh, Cak Anam belum berhenti dan kita juga belum tahu akan seperti apa jalan politik pria kalem namun tegas ini. Ditanya bagaimana sebenarnya hubungan dengan Gus Dur sekarang, Cak Anam mengatakan secara pribadi tetap baik. Hanya secara politik ia memang kurang sejalan. “Ibaratnya kalau sekarang Gus Dur bilang langitnya biru padahal merah, ya saya tidak bisa dong mengatakan langitnya biru,” kata Cak Anam. Menurut Cak Anam pula, sikap Gus Dur banyak berubah setelah kesehatannya menurun. Selain itu, Gus Dur dikelilingi oleh orang-orang yang dinilai tidak memahami perjalanan sekarang NU dalam politik. Namun, di luar dunia politik yang telas mengantarkannya pada berbagai pengalaman mengasyikkan itu, Cak Anam masih memiliki jalan hidup yang layak dicatat. Darah jurnalistiknya tak bisa diam begitu saja. Ia mendirikan dan mengelola Harian Duta Masyarakat yang cukup terkenal di Jawa Timur. Selain itu, bersama isterinya, Hj. Samila, SPd, ia mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak yang orang tuanya tidak mampu, yakni Bina Swadaya Masyarakat (Bisma) yang mengelola pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK), Tsanawiyah hingga Aliyah.
78
Dua Kali Karier politik Anam menarik untuk dicermati. Jalan yang ditempuhnya cukup berliku dan juga “aneh”. Setelah memimpin PKB Jawa Timur sejak 1999, Choirul Anam terpilih kembali pada 17 Oktober 2001 menjadi Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Jatim dalam rapat pleno pemilihan di Tuban, menyisihkan KH Mutawakil ‘Alallah. Ia meraih 71 suara dari 109 suara yang diperebutkan, sementara Kiai Mutawakil hanya 38 suara. Dengan kemenangan itu, maka Anam kembali menjadi Ketua PKB Jatim untuk masa bakti tahun 20012006. Perjalanan politik Anam berubah setelah Drs. H. A. Muhaimin Iskandar terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB periode 2005-2010 secara aklamasi dalam Muktamar II PKB, yang juga memilih KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Dewan Syuro. Namun kepemimpinan hasil muktamar itu menimbulkan perpecahan dalam tubuh partai. Pasalnya hasil muktamar itu ditentang oleh Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf. Konflik internal dalam tubuh PKB ini makin meruncing setelah kubu Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf menggelar muktamar PKB di Surabaya. Hasil muktamar tersebut berakhir dengan terpilihnya KH Abdurrohman Chudlori sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, Alwi Shihab sebagai Sekjen Dewan Syuro, Choirul Anam sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB, dan Idham Cholid sebagai Sekjen. Perseteruan pun berlanjut hingga ke pengadilan. Namun Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam sidang putusan pada 5 Juni 2006 memenangkan kubu Muhaimin Iskandar sebagai pimpinan PKB yang sah. Putusan sidang PN Jaksel tersebut antara lain menyatakan, Muktamar Semarang sah berdasarkan AD/ART dan sesuai UU Nomor 31/2002, dan menyatakan bahwa perbuatan Choirul Anam cs dengan melakukan kegiatan (muktamar) di Surabaya dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Selain itu, majelis hakim juga menolak gugatan rekonpensi (gugatan balik) Choirul Anam cs dengan menyatakan bahwa yang berhak atas logo dan atribut PKB adalah Gus Dur. Dengan demikian, Muktamar Surabaya tidak sah. Choirul Anak dkk tidak boleh melakukan kegiatan atas nama PKB, menghukum Choirul Anam membayar ganti rugi Rp 1 Miliar, dan mengharuskannya membayar biaya perkara sebagai pihak yang “kalah”.
79
Kemenangan itu langsung disambut DPP PKB versi Muktamar Surabaya dengan mengajukan kasasi. Choirul Anam menegaskan saat itu bahwa proses hukum masih panjang, karena itu semua pihak harus menghargai keputusan yang tertinggi di tangan Mahkamah Agung (MA). “Kami mengajukan kasasi ke MA, karena putusan PN Jaksel tak sama dengan MA yang lalu. Apalagi bukti-bukti dan saksi-saksi yang kami sampaikan tidak diperhatikan sama sekali. Jadi, proses hukum masih panjang,” katanya. Namun Mahkamah Agung dalam keputusannya pada akhir 2006 juga memenangkan kubu Muhaimin Iskandar. Keputusan MA tersebut membuat Choirul Anam dan kawan-kawannya mengajukan peninjauan kembali (PK). Selain itu, kubu Anam yang didukung KH Abdullah Faqih dari Ponpes Langitan, Tuban, juga membentuk Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Pembentukan tersebut dimaksudkan sebagai “sekoci” bila upaya hukum yang ditempuh kubunya benar-benar gagal. Hal itu diungkapkan pengurus DPP PKB pimpinan Choirul Anam setelah bersama 24 ketua DPW PKB se-Indonesia yang mengadakan acara Halal Bi Halal di Graha Astranawa, Gayungsari Timur, Surabaya, pada 6 November 2006. “Mbah Faqih (KH Abdullah Faqih) menegaskan bahwa PKNU itu sudah lama dipersiapkan para kiai dengan tugas secara teknis diberikan kepada Cak Anam,” ujar Sekjen DPP PKB Idham Cholid usai pertemuan tersebut. Menurut dia, KH Abdulah Faqih sebagai sesepuh di PKB menegaskan bahwa PKNU sudah merupakan hasil istikhoroh (shalat minta petunjuk atas berbagai pilihan) para kiai, karena itu pengurus DPW PKB se-Indonesia diminta mensosialisasikan hasil itu. “Mbah faqih juga mengatakan bila ada kiai yang tidak setuju, maka mereka nantinya juga akan satu suara dan tetap dalam satu barisan, karena langkah itu (pembentukan PKNU) memang merupakan kelanjutan dari apa yang diperjuangkan para kiai selama ini,” tegasnya. Dengan mengutip sebuah idiom dalam bahasa Arab, katanya, Kiai Faqih menyetakan PKNU itu sebenarnya upaya yang dilakukan secara rahasia dan diam-diam agar tidak diganggu orang. Tapi itu akhirnya bocor dan dipublikasikan, sehingga menimbulkan kebingungan.[]
80
Laksda Sukarton Marmosudjono, SH Jaksa Agung RI (1988-1990) Bagi para penegak hukum, nama Sukarton Marmosudjono kiranya akan dikenang sebagai salah satu pendekar yang gigih memberantas korupsi. Ketika hari-hari ini orang membicarakan penayangan wajah koruptor di televisi, Sukarton telah melaksanakannya hampir 20 tahun yang lalu. Sebagai Jaksa Agung dalam Kabinet Pembangunan V, Laksamana Muda Sukarton Marmosudjono, SH memang menjadi pionir dalam penayangan wajah para koruptor di televisi. Geram melihat ulah para koruptor yang dipandang meremehkan dan melecehkan penegak hukum, Sukarton mengambil langkah yang tidak biasa tersebut. Sebagai awalnya, para koruptor dan penyelundup menjadi sasaran pertama gebrakan Kejaksaan Agung. Penayangan pertama muncul pada 11 Desember 1989 di TVRI, yang saat itu merupakan satu-satunya televisi yang ada di Tanah Air. Hanya dalam beberapa pekan setelah 23 wajah ditayangkan, 11 orang ditangkap aparat penegak hukum. Rinciannya, 6 orang menyerahkan diri karena desakan keluarga atau kemauan sendiri, sedang 5 orang lainnya ditangkap. Sukarton juga menggariskan langkah yang tidak kurang kerasnya terhadap para kriminal pembajak buku dan kaset, serta para bandar judi. “Mereka harus diberangus dengan keras. Negara dirugikan besar-besaran oleh mereka,” kata Sukarton dalam wawancara dengan Jawa Pos pada 27 Juni 1989. Dalam sebuah langkah keras lainnya, Sukarton juga mengeluarkan keputusan penyitaan harta para pelaku korupsi. Selain itu, pejabat yang terlibat akan secepatnya diproses kasusnya untuk dipecat dari jabatannya. Salah satu kasus yang menonjol saat itu adalah korupsi di Rumah Sakit Cimahi, Jawa Barat, menyangkut dana sebesar Rp.6,8 miliar.
81
Cerdik Dilahirkan di Jombang pada tahun 1938, Sukarton memasuki dinas bidang hukum TNI AL setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Tidak banyak sumber yang menunjukkan secara rinci kariernya di dinas militer tersebut hingga meraih pangkat bintang dua (Laksamana Muda). Tetapi kawan-kawannya mengatakan, Sukarton dikenal sebagai orang yang serius dalam bekerja tetapi rendah hati. Ia juga cerdik dalam politik, sesuatu yang menarik para petinggi Golkar di Jakarta. “Oh iya. Pak Sukarton memang orang yang hebat. Ia seorang ahli strategi di Golkar, hal yang mengantarkannya sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Pembangunan V,” kata Laksma (Purn) TNI Trimarjono, yang juga alumnus hukum UGM. Seperti Sukarton, Trimarjono juga merintis kariernya melalui dinas hukum TNI AL. Bedanya, Trimarjono kemudian lebih banyak bergelut di birokrasi Pemprov Jawa Timur, mulai jadi Sekretaris Daerah, kemudian Wakil Gubernur, dan akhirnya Ketua DPRD Jatim. Sedangkan Sukarton banyak berkecimpung di dunia politik di Jakarta. Seorang mantan anak buahnya di Kejaksaan Agung, Djokomoeljo, SH, mengatakan bahwa Sukarton adalah seorang Jaksa Agung yang tegas, disiplin, tetapi tetap ramah dengan siapa pun. “Meskipun tegas dan bahkan terkesan keras sikapnya, beliau akrab dengan banyak orang, termasuk dengan seorang pegawai rendahan sekalipun di Kejaksaan Agung.” Kata Djokomoeljo, yang pensiun sebagai pejabat tinggi Kejaksaan Agung beberapa tahun lalu. Apa yang paling mengesankan bagi Djokomoeljo adalah kepercayaan dan kepedulian Sukarton kepada bawahan untuk mendorong aparat kejaksaan untuk memajukan diri mereka melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan, termasuk di luar negeri,” tutur Djokomoeljo. Ismail Saleh, SH, Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan V, menilai Sukarton adalah pejabat yang pintar membawa diri. Sebagai pejabat, ia sering berkonsultasi dengan pejabat lain yang terkait sebelum melakukan tindakan tertentu. Seperti dalam masalah penayangan wajah koruptor di televisi, Sukarton secara intensif berhubungan dengan beberapa pejabat. “Ia seorang yang serius dan cermat dalam bekerja,” kata Ismail Saleh.
82
Perhatiannya yang mendalam dalam masalah-masalah hukum antara lain disalurkan lewat dukungannya pada pendirian Majalah Forum Keadilan, yang didirikan bersama tokoh-tokoh seperti Slamet Effendy Yusuf, Panda Nababan, Sutradara Ginting, dan Lukman Umar. Kebiasaan bekerja keras mungkin telah membuat Sukarton kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Pada Jumat tanggal 29 Juni 1990, ia tiba-tiba jatuh pingsan setelah sempat jalan pagi, diperkirakan akibat serangan jantung. Ia kemudian dilarikan ke RS Pertamina Jakarta, namun jiwanya tidak berhasil diselamatkan. Ia wafat dalam usia 52 tahun pada pukul 07.20 WIB. Jabatan Jaksa Agung yang ditinggalkannya kemudian dipegang Singgih, SH. Atas jasa-jasanya kepada negara, Pemerintah menganugerahkan Bintang Mahaputra Adipradana kepada Sukarton. Tanda penghargaan tersebut ditandatangani oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan hari wafanya 29 Juni 1990. Sukarton meninggalkan seorang isteri, Lastri Fardani Sukarton, seorang penyair yang cukup terkenal, dan empat anak. Salah seorang anaknya, Tjahjo Wisanggeni, dikenal sebagai seorang gitaris yang handal. Seorang lainnya, Endah Dewi Nawangsasih, bekerja sebagai staf ahli di Badan Kehormatan DPR.[]
83
Singgih, SH Jaksa Agung RI (1990-1998)
Namanya sederhana, Singgih. Sesuai namanya, Singgih memang sosok yang sederhana. Tetapi di balik kesederhanaan itu ia dikenal sebagai pejabat tinggi negara yang berwibawa dan tegas dalam bertindak. Saat menjadi Jaksa Agung, Singgih tidak segan-segan memecat jaksa yang nakal atau menyalahgunakan jabatannya. “Beliau orang yang tegas dalam menyelesaikan kasus apa pun, termasuk kasus mantan Presiden Soeharto. Beliau memerintahkan anak buahnya untuk tetap menyelidiki. Dalam pembinaan SDM pun beliau betul-betul menguasai. Di sisi lain, beliau bukan hanya seorang pemimpin, ayah, dan pendidik, tetapi juga seorang teman,” kata Barman Sahir, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali. Dilahirkan di Jombang pada 23 Juni 1934, Singgih menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan mengabdikan diri sebagai jaksa. Pada tahun 1993, Singgih mendapatkan penghargaan Bintang Pratamabborn Knight Grand Cross of The Most Exalted Order of The White Elephant dari Raja Thailand dan juga telah menerima Bintang Mahaputra Adipradana. Soal Korupsi dan Kolusi Dalam masa tugasnya yang cukup panjang sebagai Jaksa Agung, Singgih sering menunjukkan ketegasannya. Dalam wawancara dengan Harian Kompas pada 19 Juli 1996 berkaitan dengan Hari Bhakti Adhyaksa ke-35, misalnya, Singgih menegaskan, aparat Kejaksaan hendaknya menghindari praktik kolusi dan korupsi. Praktik seperti itu sudah saatnya dihentikan. “Sudah waktunya, penegak hukum berhenti (melakukan praktik kolusi-korupsi), kalau mau terus (melakukannya) pulang saja,” kata Singgih. Isu korupsi dan kolusi saat itu memang sudah ramai menjadi sorotan masyarakat. Sebagian besar masyarakat tampak muak dengan praktik
84
praktik kolusi dan korupsi. Lebih-lebih jika praktik kolusi-korupsi terjadi di lingkingan penegak hukum. Kondisi demikian, tampaknya menjadi salah satu pemicu Jaksa Agung, Singgih untuk mengeluarkan perintah harian yang salah satu isinya berupa perintah untuk menghindarkan praktik-praktik kolusi dan korupsi. “Dalam rangka peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-35, saya dengan tegas menyatakan perintah itu,” tegas Singgih. Menurut Singgih, sesungguhnya penekanan untuk menghindarkan praktik kolusi dan korupsi selama ini selalu dilakukan. Namun, tahun 1996 hal tersebut mendapat perhatian lebih. “Ya, sudah waktunya lah para penegak hukum harus berhenti. Artinya, kalau mau terus ya ‘pulang’ saja,” tambahnya, seraya menambahkan bahwa penekanan itu tidak semata-mata disebabkan karena masyarakat akhir-akhir ini begitu menyorot hal tersebut, tetapi lebih pada penyadaran agar para penegak hukum mampu membersihkan diri dari perbuatan yang “mempersulit” praktik penegakan hukum. “Pokoknya, kita meningkatkan pengawasan terus. Dalam kaitan ini saya bertindak tegas terhadap kegiatan-kegiatan yang menjelekkan citra kejaksaan. Saya tekankan bahwa kalian tidak hanya bertanggung jawab kepada pimpinan tetapi juga kepada Tuhan,” kata singgih. Konsepsional Singgih juga mengutarakan, masalah korupsi dan kolusi pada dasarnya tidak bisa dimulai satu lingkungan penegak hukum belaka. Kalau seluruh masyarakat menginginkan hal itu terwujud, berarti penuntasannya harus berlangsung secara konsepsional. “Harus ada partisipasi masyarakat untuk tidak memberi peluang terjadinya kolusi dan korupsi itu, terutama masyarakat yang berkaitan langsung dengan penegakan hukum,” tuturnya. Tanpa bantuan masyarakat, tentunya tidak akan mungkin tercipta peradilan yang bersih dan berwibawa. “Jadi, partisipasi masyarakat sangat menentukan. Ini masalah sosial,” lanjut Singgih, seraya menekankan bahwa masalah ini merupakan integrated criminal justice system. Sebagai pembuktian terhadap pelaksanaan niat membersihkan kejaksaan dari perbuatan tercela tadi, ia mengemukakan, pihaknya selalu menindak tegas para oknum jaksa yang dilaporkan telah menyalahgunakan wewenangnya. “Siapa saja yang dinilai telah melanggar ketentuan yang berlaku, dikenakan saksi tegas, mulai dari yang ringan sampai saksi yang
85
berat. Misalnya kasus di Jawa Timur, dan Jawa Tengah,” ucapnya mencontohkan. Menunjukkan keseriusan membersihkan lembaga Kejaksaan dari hal-hal negatif, Singgih pun menunjukkan data-data. “Kalau dilihat dari jumlah jaksa yang di seluruh Indonesia ada 5.205 orang, sesungguhnya yang melakukan pelanggaran tidak sampai satu persen, yakni sebanyak 52 orang atau 0,99 persen. Tapi, karena kita penegak hukum, ya saya bisa memahami bila oknum jaksa dijadikan topik pemberitaan,” paparnya sportif. Sebab itu, Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Kejaksaan menurut Singgih terus ditanamkan untuk mampu membentuk jaksa yang memiliki profesionalisme, integritas, dan disiplin yang tinggi. “Untuk menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi misalnya, setidaknya diperlukan ‘penggodokan’ di Pusdiklat itu sekitar tiga kali. Bahkan yang sudah mengikuti pendidikan di Lemhanaspun ada kalanya diwajibkan untuk memantapkan kemampuannya di Pusdiklat itu lagi,” tambahnya. Pihak kejaksaan, menurut Singgih, tidak jarang pula mengirimkan sumber daya manusia yang dimilikinya untuk mengikuti pendidikan di luar negeri. Misalnya ke AS untuk mempelajari manajemen perkara, ke Inggris dan Australia untuk manajemen masalah narkotika dan delik ekonomi, serta ke Kanada untuk mempelajari manajemen masalah lingkungan. Itu penting mengingat tantangan dan tuntutan yang semakin kompleks. “Jadi sekarang ini pun saya tekankan tidak boleh ada jaksa yang menyatakan tidak bisa berbahasa Inggris. Itu merupakan kewajiban. Apalagi mereka semua itu kan sarjana,” tambahnya. UU Antisubversif Dalam kesempatan yang lain, Singgih membela penggunaan UU Antisubversif, yang pada 1996 saat itu sering dikritik sebagai “Pasal Karet” untuk membungkam para pengkritik pemerintah. “Pelaksanaan UU Antisubversif itu bukan ‘pasal karet’, karena kami punya batasan-batasan untuk melaksanakan UU itu,” jelas Singgih pada 16 September 1996 di Bandung, seusai melantik kepala Kejati Jabar yang baru, H.M. Adenan, SH. “Sebutan ‘pasal karet’ ini hanya cocok untuk Undang-undang PNPS No. 3 tahun 1962. Berdasarkan ini, saya punya wewenang mengasingkan
86
orang-orang yang tidak senang pada pemerintahan,” tegasnya. Namun saat itu Undang-undang pengasingan sudah tidak digunakan. Hal itu, kata Singgih, sangat berbeda dengan UU Antisubversif, di mana pihak kejaksaan dinilai sangat proporsional dan selektif dalam menerapkan UU Antisubversif. Undang-undang Antisubversif ini diberlakukan oleh pihak kejaksaan untuk menjaring kalangan yang hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Singgih mencontohkan, kalangan tersebut adalah penganut paham Marxisme, Leninisme, Komunisme, yang pokok ajarannya bertentangan dengan ideologi Pancasila. Mereka tidak dilarang menyebarkan paham-paham tersebut asal tidak di Indonesia,” katanya. Singgih juga mencontohkan bahwa kaum fundamentalis juga dilarang tumbuh di Indonesia. “Kita langsung bertindak tegas kalau sampai ada yang bicara tentang pembentukan Negara Islam di Indonesia. Undang-undangnya sudah jelas-jelas melarang itu,” tegasnya. Menurut Singgih, diperlukan banyak tahapan untuk menjaring seseorang dengan Undang-undang Antisubversif. Sebelum, memberlakukan undang-undang tersebut, pihak kejaksaan mencari masukan terlebih dahulu. Fase penyidikan dan penuntutan, ungkap Singgih, harus dilampaui terlebih dahulu untuk menjalankan pasal subversif itu. “Belum tentu penyidikan subversif juga dituntut dengan pasal subversif. Untuk mengajukan tuntutan, sebelumnya kami memeriksa hasil temuan faktanya terlebih dahulu,” tambahnya. Jaksa Agung menilai minornya pandangan masyarakat terhadap UU Antisubversif itu akibat ulah pers asing. “Mereka menggunakan UndangUndang Antisubversif untuk membentuk public opinion yang jelek tentang Indonesia. Lihat saja Newsweek, Times, yang selalu menjelekkan Indonesia lantaran menetapkan alasan subversif,” ujar Singgih. Padahal, tutur Singgih, ulasan di pers asing itu tidak berdasarkan data lengkap. Singgih menyebutkan punya bukti soal hal tersebut. Beberapa waktu sebelumnya, ia ditanya oleh Menlu AS Warren Cristopher tentang kebebasan menggunakan pendapat. “Menlu AS menganggap bahwa kebebasan berpendapat itu termasuk subversif,” kata Singgih. Pandangan ini, menurutnya, disebabkan oleh propaganda pers luar negeri yang sering memojokkan Indonesia.
87
Sebenarnya, papar Singgih, di Amerika juga memiliki Undangundang Antisubversif, bahkan mereka punya Undang-undang Agresi. “Hanya saja batasan UU Antisubversif di AS dan Indonesia berbeda,” tutur Singgih sambil tertawa. “Ya seperti soal HAM, kita punya pengertian yang berbeda dengan Amerika Serikat.” Setelah pensiun, Singgih tetap mempunyai banyak kegiatan. Ia antara lain menekuni hobinya sebagai numismator (kolektor mata uang) yang sudah dilakukan sejak 1970-an. Ia bahkan pernah menjadi Ketua Asosiasi Numismatika Indonesia. Singgih meninggal dunia pada 30 Juli 2005 setelah dirawat di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Karawaci, Tangerang, karena menderita stroke. Sebelum dirawat di rumah sakit, Singgih sempat merayakan hari ulang tahunnya ke-72 bersama keluarga dan kerabat pada 3 Juli 2005. Namun, dalam acara tersebut, Singgih tiba-tiba sakit lalu dilarikan ke RS Ongkomulyo, Jakarta Pusat, dan masuk ruang ICU. “Waktu itu Bapak jatuh, muntah-muntah, dan langsung dibawa ke rumah sakit,” ujar Rusdi, pegawai kejaksaan yang lama menjadi staf Singgih. Hari berikutnya, Singih dipindahkan ke RS Siloam Gleneagles dan dirawat di rumah sakit itu hingga meninggal dunia. Singgih meninggalkan seorang istri, Ny Renny Singgih; empat orang anak, yakni D Harnadi, Tri Harnoko, Diana Chandra Rina Riyanto, dan Redianto HN serta enam cucu. Jenazah dimakamkan hari Minggu berikutnya di TPM Kalibata, setelah disemayamkan di Kejaksaan Agung.[]
88
Marsekal TNI (Purn) Rilo Pambudi Mantan KSAU dan Dubes RI di Spanyol
“Tentara Nasional Indonesia atau angkatan perang sebaiknya dipimpin oleh kepala staf gabungan dan harus dipastikan digilir per angkatan,” kata Marsekal TNI (Purn) Rilo Pambudi. Kata-kata tersebut disampaikan Rilo Pambudi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi I DPR tentang RUU TNI pada 4 Agustus 2004. Rapat tersebut adalah masamasa awal pembahasan RUU yang mendapat banyak perhatian itu. Apa alasan Rilo Pambudi dalam menyampaikan pandangannya itu? Ia menjelaskan, masing-masing angkatan memiliki mitra dan cara berpikir yang lain sehingga satu kelompok punya cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan persoalan pertahanan,” katanya. Rilo Pambudi adalah satu di antara sedikit tokoh dan pakar yang diundang DPR untuk memberikan masukan dalam pembahasan RUU TNI tersebut. Lainnya adalah mantan Kapolri Jenderal (Pol) Awaloedin Djamin, dan pengamat militer Dr. Salim Said. Dalam rapat tersebut memang mengemuka bahwa sudah saatnya jabatan Panglima TNI diganti dengan jabatan kepala staf (kastaf) gabungan (chairman of the joint chiefs of staff) yang secara bergilir dijabat oleh TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, dan TNI Angkatan Laut. Sejalan dengan hal itu, sudah saatnya pula TNI berada di bawah Departemen Pertahanan (Dephan). Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi TNI/Polri Laksamana Muda Franklin Kaihatu di gedung MPR/DPR. Topik bahasan tersebut mungkin agak sensitif, tetapi iklim keterbukaan di Era Reformasi membuat segalanya lancar saja. Pada kesempatan tersebut peserta rapat diingatkan bahwa selama 30 tahun jabatan Panglima ABRI selalu dijabat oleh perwira tinggi Angkatan Darat.
89
Setelah itu pernah dijabat oleh Laksamana Widodo AS dari TNI Angkatan Laut, tetapi kemudian diganti lagi oleh TNI Angkatan Darat. “Jadi kalau ada kesan dominasi Angkatan Darat di negara ini, dalam masa lampau itu hal yang nyata. Maka jabatan Panglima TNI itu perlu diubah menjadi chairman of the joint chiefs of staff seperti di Amerika Serikat, dan bergilir,” kata Awaloedin Djamin, yang diamini oleh Rilo Pambudi. Orang-orang mungkin bertanya, banyak mantan perwira tinggi TNI Angkatan Udara yang masih hidup, mengapa Rilo Pambudi yang diundang oleh Komisi I DPR? Jawaban yang paling jelas tentu akan melenceng jauh dari kenyataan bahwa Rilo Pambudi adalah perwira tinggi kelompok pemikir. Setelah menjabat Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 1993-1996, Marsekal Rilo mendapat tugas Duta Besar yang dipegangnya hingga tahun 2000. Sebagai perwira tinggi pemikir, Rilo yang lahir di Jombang 24 Desember 1942 tersebut termasuk pimpinan TNI yang ikut membudayakan kebiasaan menulis di kalangan perwira TNI, terutama di Angkatan Udara. Makin kuatnya kebiasaan menulis di kalangan perwira TNI AU tak lepas dari peran Rilo. Marsekal Chappy Hakim, yunior Rilo Pambudi yang juga mantan KSAU, melanjutkan tradisi menulis itu dengan menerbitkan sejumlah buku, termasuk tulisan-tulisannya di media massa. Dalam masa kepemimpinan KSAU Marsekal Rilo Pambudi, misalnya, pernah terbit buku Perjuangan AURI dalam Trikora. Buku-buku karya perwira TNI AU lainya cukup banyak, termasuk biografi atau otobiografi pimpinan TNI AU, mulai dari Omar Dhani, Sri Mulyono Herlambang, Roesmin Nuryadin, dan perintis penerbangan Wiweko Supono. Pesawat Bukan Mobil Pada masa kepemimpinan Rilo Pambudi, TNI AU saat itu sedang sibuk mengganti pesawat-pesawat tua. Seperti pembelian 23 pesawat tempur jenis Hawk 100 dan 200 yang dipesan pemerintah dari Inggris. Pesawat itu tiba di tanah air pertengahan 1996. Dalam suatu acara pelantikan pejabat baru di jajaran TNI AU di Bandung pada November 1995, KSAU Marsekal Rilo Pambudi mengatakan, pesawat-pesawat tersebut tidak untuk menambah sistem persenjataan. “Tetapi kita mengganti skuadron yang sudah tua,” kata Rilo Pambudi.
90
Dalam kesempatan itu, Rilo menyatakan rasa syukurnya bahwa meskipun anggaran pemerintah terbatas TNI AU, masih beruntung bisa mengganti pesawat-pesawat yang sudah tua. Ia menyebutkan, untuk memiliki satu skuadron harus ada 20 buah pesawat. Pesawat-pesawat tersebut, kata Rilo Pambudi, sudah tua dan harus diganti. Rilo Pambudi juga memberikan wawasan betapa tidak mudahnya membeli pesawat tempur. Membeli pesawat tidak seperti membeli mobil, yang diperoleh kapan saja. Sebagai contoh ia menyebutkan rencana saat itu bagi penambahan pesawat jenis F-16 dari Amerika. Ia mengatakan, sebuah tim dari Mabes TNI-AU telah dibentuk untuk mengkaji lebih mendalam rencana pembelian pesawat tersebut. “Hasil kajian itu baru akan dilaporkan ke Pangab setahun lagi,” tandasnya. Ada tiga alasan mengapa rencana tersebut harus dikaji secara mendalam. Pertama, sejauh mana kemampuan Pemerintah Indonesia dalam membeli pesawat F-16 itu. Kedua, bagaimana kesiapan personel dan fasilitas lainnya. Sedangkan yang ketiga, harus dipikirkan apakah barang tersebut bisa dipergunakan untuk jangka waktu 20 tahun. “Membeli pesawat F-16 yang canggih ini tidak seperti membeli mobil. Harus ada pengkajian yang matang,” kata Rilo Pambudi. Pada saat itu, Indonesia memiliki satu skuadron F-16. Pesawat canggih ini dibeli tahun 1986 sebanyak 12 buah yang dipusatkan di pangkalan TNI AU Iswahyudi, Maospati, Magetan, Jawa Timur.[]
91
Laksamana TNI Slamet Soebijanto Kepala Staf TNI Angkatan Laut (2005-2007)
TNI Angkatan harus besar, sekuat dan disegani, mampu melindungi perairan negara secara maksimal. Kata-kata di atas adalah pernyataan Laksamana TNI Slamet Soebijanto, yang sering diulanginya dalam berbagai kesempatan selama menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) selama 2 tahun 9 bulan, sejak 2005 hingga 2007. Ia pun selalu menekankan kepada jajaran TNI AL agar melaksanakan tugas menjaga kedaulatan negara dengan maksimal. “Saya tidak ingin mendengar lagi kita dilecehkan angkatan laut negara lain,” kata Slamet Soebijanto, menjelang serah terima jabatan kepada penggantinya, Laksamana Madya TNI Sumardjono, awal November 2007. “KSAL pasti akan selalu berganti, tetapi komitmen kalian tidak boleh berubah. TNI AL harus besar, kuat, profesional serta disegani negara lain.” Ia mengakui, untuk membangun TNI AL yang besar, kuat dan disegani memang tidak mudah, antara lain karena membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara kemampuan pemerintah terbatas. Oleh karena itu, diperlukan tahapan pembangunan sebagai kerangka waktu sekaligus pedoman dalam pengerahan sumber daya agar sasaran yang ingin dicapai dapat terwujud. Untuk berjalan ke aras tersebut, konsepkonsep TNI AL dibuat dalam tataran Green Water Navy, yakni menegakkan stabilitas keamanan di laut dan berkemampuan untuk mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman di medan tempur perairan. Sehubungan dengan itu, pimpinan TNI AL merumuskan postur kekuatan korp laut tersebut sampai tahun 2024 meliputi kebutuhan hingga 274 KRI, terdiri dari Pasukan Penyerangan Pasukan, Pasukan Patroli dan
92
Pasukan Pendukung. Selain itu juga dirancang Pesawat Udara 132 buah, 3 Divisi Marinir, 2 Divisi Bridge Marinir BS, sebuah Kolatmar, 5 Lanmar dan 11 Yonmarhanlan. Jumlah pangkalan dirancang sebanyak 59 buah, dengan 11 Lantamal. Dalam upaya meningkatkan penjagaan keamanan laut di wilayah selatan Indonesia, Slamet Soebijanto telah meresmikan Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) VII Kupang dan Lantamal II Padang. Ia juga mengusulkan pendirian Lantamal XI Merauke, menggeser Lantamal V Surabaya ke Kulonprogo Yogyakata dan Lantamal VI Makasar ke Tarakan. Usulan ini didasarkan pertimbangan untuk memperkuat pertahanan laut dengan menempatkan posisi pangkalan di area corongcorong terluar wilayah Indonesia. Sebelum melepaskan jabatan sebagai KSAL, Laksamana Slamet Soebijanto telah menggagas pemekaran Komandan Wilayah menjadi tiga, yakni Kowilla Barat, Tengah, dan Timur dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan Negara. “Wilayah Indonesia didominasi laut dan terdiri dari ribuan pulau, ditambah tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yang punya nilai strategis sekaligus ekonomis yang besar. Oleh karena itu, pemekaran Komandan Wilayah Laut perlu kontinyuitas kebijakan,” katanya. Menurut Slamet Soebijanto, program penempatan sejumlah Pangkalan ke kawasan terluar ditunjukan untuk mendukung oprasional kapal perang Indonesia, sekaligus untuk menghemat biaya oprasional. Rencana menggeser Lantamal ke Mempawah Kalbar, misalnya, dilakukan untuk mempermudah patroli kapal di wilayah perairan penting Natuna karena berada di kawasan corong Laut China Selatan. “Selama ini Perairan Natuna belum terawasi dengan baik karena kapal patrol di sana harus kembali ke Tanjung Pinang untuk mengisi bahan bakar. Bayangkan, berapa banyak waktu dan bahan bakar yang dihabiskan,” katanya menjawab pertanyaan wartawan setelah menutup Dikreg Seskoal Angkatan 45 pada 8 November 2007. Kebijakan serupa harus dilakukan di Tarakan Kaltim dengan tujuan mempermudah oprasi kapal TNI AL di utara Sulawesi, yang selama ini harus bergerak lebih jauh seperti ke Makasar atau Balikpapan. “Kalau pemekaran ini tidak diteruskan yang dirugikan Negara,” katanya.
93
Blak-blakan dan Berani Sebagai KSAL, Slamet Soebijanto sering berbicara secara blakblakan dan berani, termasuk reaksinya terhadap manuver-manuver Angkatan Laut Malaysia di Perairan Indonesia. Rencananya pengembangan TNI AL yang digagas Slamet kabarnya kurang disambut baik oleh Mabes TNI, antara lain menyangkut pemekaran Komando Wilayah Laut menjadi tiga. Sebuah sumber di Jakarta menyebutkan, yang juga menjadi kontroversi adalah sikap pengadaan senjata TNI AL. “Kubu yang pro Amerika Serikat agak tersinggung,” katanya. Efeknya juga berimbas pada rekanan. Jika kiblat pengadaan senjata berganti, otomatis rekanan berganti. “Pak Slamet juga terjun langsung untuk melihat barang sebelum dibeli. Ini tidak dilakukan oleh pimpinan sebelumnya.” Katanya. Apakah pemberhentian Slamet sebagai KSAL oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan kontroversi-kontroversi tersebut? Presiden SBY dan Panglima TNI Djoko Suyanto kiranya paling tahu. Tetapi Slamet Soebijanto mengatakan, dirinya tidak kecewa dengan pemberhentiannya sebagai KSAL. “Ah, nggak. Alhamdulillah, Tuhan mengambil lagi (jabatan, Pen) dari kita,” kata Slamet. Hanya saja, dia mengharapkan KSAL baru nanti lebih baik daripada dirinya, “Ya harus mampu menjaga Negara ini dengan baik dan bisa memberikan garansi kepada siapa saja bahwa Indonesia aman bagi siapa saja yang mau lewat sini,” katanya. Sebagai pimpinan tertinggi TNI AL, Slamet terkenal sangat peduli pada kesejahteraan anggotanya. Berbagai proyek perumahan dibangun untuk mereka, seperti di sebuah wilayah pinggiran Surabaya pada 2007. Kepada para anggota purna tugas yang masih menempati rumah dinas, Slamet berharap sangat bahwa mereka harus meninggalkannya untuk ditempati anggota aktif yang membutuhkan. Penampilan sederhana Slamet menimbulkan respek di jajaran TNI AL, juga berbagai kalangan. Rumah pribadinya yang dibangun di pinggiran Surabaya pun sederhana untuk ukuran seorang pejabat militer bintang empat. “Ia memang sederhana. Itulah antara lain sebabnya mengapa ia melangkah seolah tanpa beban,” kata seorang wartawan senior yang mengenalnya.
94
Sumbang Pesawat Dilahirkan di Mojokerto pada 4 Juni 1951, Slamet Soebijanto menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Jombang. Setelah lulus SMA di Kota Santri ini, ia melanjutkan ke Akademi Angkatan Laut dan lulus pada 1973. Dalam jabatannya sebagai KSAL, Slamet sempat bernostalgia di kampung halamannya pada 14 Mei 2007. Ketika itu ia menyumbangkan sebuah pesawat Nomad TNI Al yang sudah tak terpakai kepada Pemkab Jombang untuk dijadikan monumen. Saat penyerahannya pesawat tesebut, Bupati Jombang Drs H. Suyanto mengajak lima orang teman sekolah Slamet ketika masih Sekolah Dasar (SD) di Jombang. Pertemuan dengan lima kawan semasa masih kecil itu membuat suasana akrab. “Ini teman sekolah saya dulu,” tutur Slamet Soebijanto memperkenalkan lima temannya tersebut. Setelah menjabat KSAL, Slamet mengatakan dirinya berencana menulis buku. Ada beberapa pemikiran yang ingin dituangkan dalam bentuk tulisan. “Terutama saya yakin bahwa Negara itu harus mengubah visi. Visi maritim harus kita kembangkan ke depan. Sebab, Negara-negara yang visinya maritim itu hidup lebih baik. Saya kira patut Negara kita menuju ke sana,” tutur suami Sonya Henny Soedjud ini.[]
95
Mayjen TNI (Purn) H. Imam Utomo Gubernur Jawa Timur, 1998-2003 dan 2003-2008
Sebagai Gubernur Jawa Timur, Mayjen TNI (purn) H. Imam Utomo sudah pasti memiliki prestasi yang luar biasa. Itulah sebabnya masyarakat Jatim mempercayakan kepemimpinan Jatim untuk dua periode, yang kedua didampingi oleh Dr H. Soenarjo sebagai Wakil Gubernur. Namun kalau ditanya apa prestasi Imam Utomo yang menonjol selama masa kepemimpinannya, orang pasti akan berpikir dulu untuk menjawabnya, begitulah Imam Utomo, ia bukan pemimpin yang gegap gempita yang menghasilkan prestasi mercu suar sehingga gampang dikenang orang. Tetapi masyarakat Jawa Timur pasti akan merasakan, selama masa kepemimpinannya (19982003 dan 2003-2008) suasana Jawa Timur sangatlah tenang. Padahal pada masa-masa itu adalah puncak dari gejolak perubahan bangsa kita yang penuh ketidakpastian, kemerosotan hampir di semua bidang termasuk ekonomi. Meski demikian Imam Utomo bukan tak sepi prestasi. Sampai masa tiga tahun sebagai Gubernur Jawa Timur dalam periode kedua, Imam banyak mendapatkan penghargaan nasional termasuk beberapa kali yang diserahkan langsung oleh Presiden. Secara berkelakar seorang pejabat Pemprov mengatakan bahwa mungkin saja Presiden ‘bosan’ melihat Imam Utomo berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya. “Tetapi apa mau dikata, wong prestasi-prestasi ini memang dicapai Gubernur Imam Utomo,” kata pejabat itu. Salah satu keberhasilan Imam Utomo adalah dalam menggolkan pembangunan Jembatan Suramadu, meskipun ketika buku ini ditulis proyek tersebut berjalan tersendat-sendat. Namun bila segalanya kembali berjalan lancar, banyak kalangan menilai prestasi itu luar biasa. Bukan karena jembatan itu sudah sejak tahun 1950-an digagas, tetapi yang lebih
96
penting adalah, jembatan ini sangat strategis sebagai kunci kemajuan Madura yang selama ini merupakan kawasan yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Jatim. Keberhasilan pembangunan Jembatan Suramadu kini memang dipertaruhkan karena hal itu juga berarti akan tumbuhnya lapangan kerja karena industri akan masuk Madura. Ini berarti membukakan kesempatan kerja bagi ribuan tenaga penganggur yang juga masih dihadapi Provinsi Jawa Timur. Jauh lebih luas lagi, Jembatan Suramadu ini adalah tonggak kemajuan masyarakat provinsi ini di segala sektor. Namun, Imam Utomo tidak lantas membusungkan dada atas kenyataan ini. Ia seperti biasanya tetap kalem dan rendah hati. Baginya, keberhasilan pembangunan Jembatan Suramadu adalah keberhasilan seluruh masyarakat Jawa Timur. Selain itu, kenyataannya masih banyak rakyat di Jawa Timur yang hidup miskin, sampai belasan persen dari jumlah penduduk. Jumlah warga yang miskin belakangan ini bahkan meningkat akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Bencana alam juga datang silih berganti, antara lain bencana banjir, termasuk banjir lumpur yang tak terduga akibat pengeboran minyak oleh PT Lapindo Brantas di daerah Porong, Sidoarjo, sejak pertengahan tahun 2006. Luapan lumpur tersebut belum juga bisa dihentikan dan bahkan telah menenggelamkan ribuan rumah penduduk. Dampak lainnya adalah ditutupnya Jalan Tol Porong, hal yang menimbulkan akibat buruk berantai terhadap ekonomi dan sosial Provinsi Jawa Timur. Banyak industri terpukul akibat bencana lumpur tersebut. Orang banyak menduga, Imam Utomo mungkin masygul karena banyak capaian-capaiannya yang rusak akibat luapan lumpur di Porong. Tetapi warga Jawa Timur kiranya tetap terkesan pada pemimpinnya ini. Dari sisi kepribadian, laki-laki kelahiran Jombang 14 Mei 1943 ini seolah kontras dengan ciri masyarakat Jawa Timur yang dinamis dan meledak-ledak karena Imam Utomo justru tenang. Tapi mungkin itulah sosok yang dibutuhkan ketika situasi sedang sangat bergejolak. Dengan suasana yang tetap tenang, perubahan bisa dijalani dengan lebih adem dan kepastian akan menggampangkan gerak ekonomi. Yang lebih penting lagi masyarakat seakan merasakan ketenangan menjalani kehidupan dengan baik.
97
Utamakan Musyawarah Ciri lain yang menonjol dari putra pasangan Suparno (almarhum) dengan Hj. Rukayah ini adalah optimisme yang mengalir dalam dirinya pada keadaan seperti apapun. Inilah kunci lain yang membuat dirinya mampu memimpin provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 35 juta jiwa ini. “Saya lebih mengutamakan musyawarah dan kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah,” kata suami Hj Anik Triwinarni ini. Imam Utomo yang pernah menjabat Denrem Bhaskara Jaya ini merupakan sosok yang dalam perjalanan hidupnya sangat dipengaruhi jalan hidup orang Jawa dan tentu saja kultur santri yang kental karena lahir di kota santri Jombang. Ia menjalani hidup sesuai falsafah Jawa yakni ngudarasa, among rasa, mijil tresna dan agawe karya. Ngudarasa berarti mengenali perasaan dalam diri. Among rasa adalah mengendalikan dan menata perasaan sehingga bisa melihat hal yang baik dan buruk. Minjil tresna artinya berusaha mewujudkan sesuatu dengan kecintaan bukan kebencian. Dan pada akhirnya orang memang harus menghasilkan karya atau agawe karya. Tanpa membuat karya, orang tidak akan punya manfaat bagi orang lain. Apalagi sebagai pemimpin, jika tidak mampu menghasilkan karya ia hanya akan menjadi beban bagi masyarakat yang dipimpinnya. Meski demikian, ayah empat putra-putri (Andrianingrum, Agusanto B, Trisniartami dan Tantuko Adi), ini tetap saja memiliki karakter seperti umumnya masyarakat Jatim yakni keterbukaan. Ia bersikap terbuka kepada siapapun. Demikian juga ia mengharap sikap serupa dari orang lain. Karena itu ia bisa mengkritik orang lain dan tentu saja juga bawahannya tetapi ia tak alergi terhadap kritik. “Ini lebih saya sukai sehingga persoalan bisa diselesaikan dengan lebih baik, lebih terbuka,” katanya. Komandan Peleton Dalam meniti kariernya, Imam Utomo benar-benar berangkat dari bawah. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang pada 1965 pada Agustus tahun berikutnya ia diangkat sebagai Komandan Peleton I/A/404. Ia hanya menjabat enam bulan di tempat itu karena pada 1 Februari 1967 ia diangkat sebagai pelatih di Rindam IV. Setelah itu ia menjadi Wakil Komandan Kompi A/144 sebelum akhirnya menjadi Komandan.
98
Tiga tahun kemudian, melaui Surat Keputusan (SKEP) 11413/2/1971 Kapten Imam Utomo diangkat sebagai PASI I Yonif 141, tahun 1973 menjadi PASI 2/OPS Brigif 8 dan Jabatan Komandan Batalyon inf 742 kemudian disandangnya. Pada tahun 1980, dengan pangkat Letnan Kolonel, Imam ditugasi sebagai Karo Binkar Disdalkar. Jabatan itu hanya disandang satu tahun karena ia kemudian ditunjuk Kansaf Brigif 2 Kostrad yang kedudukan di Malang. Barulah setelah itu Imam masuk di Kodam V Brawijaya sebagai Wakil Asisten Oprasi, lalu Kansaf Korem 091/DSJ pada 1985, dan tahun berikutnya sebagai Komandan Brigif 18 Kostrad. Namun Imam Utomo rupanya telah ditakdirkan cocok di Jawa Timur, karena tidak lama kemudian ia ditarik ke Surabaya dan menjadi Aspers Kasdam V Brawijaya dan menjadi Paban 3/Binkar Spersad. Jabatan yang strategis sebagai Komandan Korem 084 Bhaskara Jaya kemudian dipegangnya. Jabatan ini dipegangnya tiga tahun sebelum akhirnya menjadi Kansaf Kodam, kemudian sebentar ditarik ke Jakarta sebagai Aspers KSAD sebelum akhirnya diangkat sebagai Pangdam V/Brawijaya pada 1 Februari 1995. Sebagai Pangdam, Imam Utomo memegang jabatan itu selama dua tahun eman bulan, kemudian ditarik ke Jakarta untuk menjadi anggota DPR RI dari F-ABRI sejak 29 Agustus 1997. Baru setahun menjadi wakil rakyat, Imam dicalonkan untuk menjadi Gubernur dan akhirnya terpilih dalam pemilihan di DPRD Jatim, mengalahkan incumbent Mayjen (Purn) Basofi Sudirman. Ia dilantik sebagai Gubernur Jatim pada 26 Agustus 1998. Hingga akhir 2006, sudah hampir 9 tahun Imam Utomo memimpin Jawa Timur. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia akan meletakkan jabatannya dan menyerahkannya kepada Gubernur baru, yang akan dipilih secara langsung dalam Pilkada yang dijadwalkan pada 2008. Di mana tempat Imam Utomo dalam sejarah provinsi ini? Jawabnya tentu ada di masing-masing hati rakyat daerah ini. Tetapi Imam Utomo setidaknya bisa menjalani pensiun dengan tenang dan tanpa beban. “Pasalnya, ia sudah dikenal sebagai sosok Gubernur pekerja keras dan selalu bersungguhsungguh dalam menjalankan tugasnya,” kata seorang pimpinan DPRD Jawa Timur.[]
99
Laksamana Muda TNI Moekhlas Sidik, MPA Asisten Oprasi KSAL “Saya bukan tokoh, tidak pantas disebut tokoh dan ditulis di buku. Saya bisa ditertawakan oleh teman-teman saya kalau saya ditulis seperti itu,” kata Panglima Armada RI Kawasan Timur (Pangarmatim), Laksamana Muda TNI Moekhlas Sidik, MPA ketika dihubungi oleh penulis buku ini. Pernyataan Moekhlas Sidik cukup menjelaskan bagaimana kepribadiannya. Perwira tinggi TNI Angkatan Laut ini memang dikenal rendah hati. “Panglima paling tidak suka menonjolkan diri. Oleh karena itu, beliau tidak bersedia bila Anda mewawancarainya untuk diprofilkan di buku,” tutur Kepala Staf Armatim, Laksamana Pertama TNI Syahrin Abdurrahman, SE, yang dihubungi sebelumnya. ”Kalau Anda mau menulis masalah-masalah kebaharian atau kelautan, beliau menyambut baik,” tambahnya. Pernyataan Moekhlas tersebut memang disampaikan ketika ia masih menjabat Pengarmatim. Ketika buku edisi revisi ini siap diterbitkan pada akhir tahun 2007, Moekhlas Sidik telah dipromosikan menjadi Asisten Oprasi KSAL di Jakarta. Jawaban Moekhlas di awal tulisan ini memang mengesankan. Tetapi siapa yang bisa menyangkal posisi Moekhlas Sidik yang sangat strategis? Juga ketokohannya? Sebagai Panglima Armada Kawasan Timur, Moekhlas membawahi ribuan prajurit TNI AL yang menggunakan puluhan kapal. Ia bertanggungjawab mengawasi wilayah laut republik ini mulai dari Cilacap di Jawa Tengah, hingga ujung paling timur, Papua. Wilayah tersebut lebih luas dari wilayah tanggung jawab Panglima Armada Kawasan Barat (Pangarmabar) yang bermarkas di Jakarta. Kenyataannya Pangarmatim adalah jabatan yang lebih senior daripada Pangarmabar. Moekhlas Sidik sebelumnya adalah Pangarmabar, sebelum menduduki jabatan Pangarmatim pada Agustus 2006.
100
Betapa beratnya dan tanggungjawab Moekhlas Sidik sebagai Pangarmatim tidak perlu diragukan lagi. Di saat terjadinya musibah di laut seperti tenggelamnya KM Senopati Nusantara di perairan Pulau Jawa akhir 2006, Moekhlas Sidik termasuk pejabat tinggi yang paling sibuk. Apalagi tidak lama kemudian sebuah pesawat Adam Air penerbangan Surabaya-Manado jatuh secara misterius di perairan Sulawesi. Ratusan orang tewas dan hilang dalam dua malapetaka laut dan udara tersebut. Selama berminggu-minggu, Moekhlas Sidik memantau langsung operasi pencarian dan evakuasi para korban oleh para prajurit TNI AL yang ditugaskan komandonya. Selama itu pula, Pangarmatim juga memberikan berbagai penjelasan kepada para wartawan, juga para pejabat tinggi dari Jakarta yang datang di Surabaya. Mengawasi wilayah laut yang begitu luas dengan kapal-kapal yang relatif terbatas juga merupakan masalah yang selalu dipikirkan Pangarmatim. Pencurian ikan di laut oleh kapal-kapal asing masih terus terjadi meskipun para personil TNI AL terus-menerus melakukan operasi pengawasan. Banyak kapal asing telah ditangkap oleh TNI AL, tetapi mereka terus bermunculan. Apa yang membuat Moekhlas Sidik kesal adalah bila kemudian kapal-kapal asing itu dilepas setelah ada “surat terbang” dari lembaga pemerintahan di Jakarta. Pangarmatim Laksda TNI Moekhlas Sidik pernah menyampaikan hal tersebut pada 12 Oktober 2006. Dalam sebuah acara di Dermaga Semampir Markas Komando Armatim, Moekhlas Sidik meminta Departemen Perikanan dan Kelautan tidak memberikan surat terbang alias izin yang diberikan secara tiba-tiba kepada para pencuri ikan asing. Menurut Moekhlas, sering kali tuduhan pencurian ikan kepada para pelaut asing kandas karena saat dihadapkan ke pengadilan, karena mereka memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI). Padahal, saat ditangkap tidak mempunyai SIPI. Hal ini disampaikan Panglima Armatim saat meninjau kapal penampung ikan MV Chang Sun berbobot 1.467 GT yang berawak 21 orang dan membawa 300 ton ikan. MV Chang Sun ditangkap KRI Pandrong- 801 di Laut Arafuru, pada 25 September 2006. Pengenalan Bahari Sebagai pejabat tinggi TNI AL, Moekhlas Sidik tidak jemu-jemunya mengingatkan betapa laut sangat menentukan masa depan Indonesia. Kekayaan laut kita luar biasa besarnya, namun belum dikelola secara
101
memadai. Kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap potensi kelautan juga dinilai masih kurang. Dalam berbagai kesempatan, Moekhlas Sidik mengemukakan persoalan tersebut. Seperti ketika ia melepas 359 siswa dari berbagai SMP dan SMU untuk mengikuti kegiatan Bintal Juang Remaja Bahari (BJRB) 2006. Saat itu, Moekhlas Sidik masih menjabat Pangarmabar. Kegiatan BJRB yang diselenggarakan setiap tahun oleh TNI Angkatan Laut itu dimaksudkan untuk mengisi waktu liburan bagi para pelajar sekolah menengah. Selain untuk berekreasi, kegiatan ini juga dilakukan untuk menambah pengetahuan mengenai wawasan bahari. Moekhlas menjelaskan kegiatan ini merupakan pengantar bagi generasi muda bahari untuk mengenal lebih dekat lingkungan laut agar dapat menumbuhkan pemahaman akan pentingnya arti laut bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Dengan demikian, diharapkan para siswa itu mampu menanamkan semangat dan jiwa kebaharian di dalam dirinya. Para siswa peserta BJRB tersebut mengikuti pelayaran dengan menggunakan kapal perang KRI Teluk Tomini-508. Mereka berlayar selama tiga hari di perairan Laut Jawa dan Selat Sunda. Selama mengikuti pelayaran, para pelajar tersebut akan mendapat pembekalan-pembekalan, antara lain bina takwa, kebaharian, pengenalan kapal perang, kepemimpinan, bahaya narkoba, bela negara dan hiburan. Moekhlas juga mengingatkan bahwa negara Indonesia terdiri dari lebih kurang 17.499 pulau dan lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia terdiri dari 5,8 juta km2 mengandung sumber daya laut yang sangat besar. Posisinya yang berada di antara dua benua dan dua samudra menjadikan perairan nasional Indonesia sebagai jalur distribusi ekonomi yang terpadat di dunia. Gambaran tersebut, kata Moekhlas, menunjukkan bahwa laut kita mengandung potensi ekonomi yang sangat besar dan akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia bila dikelola serta dimanfaatkan secara benar dan profesional. “Sebagai putra-putri bangsa yang lahir, dibesarkan, dan hidup di negara maritim, tentunya sangat memprihatinkan bila kita semua tidak memiliki semangat dan jiwa bahari,” katanya. Dikatakan, sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami masa-masa kejayaan selama ratusan tahun karena
102
berorientasi maritim, yaitu pada masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan lain seperti Aceh, Demak, Banten, Ternate, dan Goa. Disiplin dan Bersih Dilahirkan di Jombang pada 12 Juli 1953, Moekhlas Sidik tumbuh menjadi seorang pemuda yang terbiasa berdisiplin dan hidup bersih. Setelah lulus AKABRI Laut (kini ALL) Moekhlas lebih banyak mendapat tugas di kapal-kapal TNI AL sebagai komandan kapal. Pengalamannya dalam operasi-operasi di laut tak terhitung banyaknya. Pada tahun 2000, misalnya, dengan pangkat Kolonel ia mendapat tugas dalam Operasi Surya Bhaskara Jaya (SBJ) TNI AL yang berlangsung di Maluku. Operasi yang dibuka Wapres Megawati Soekarnoputri pada 25 April 2000 tersebut bertujuan merehabilitasi berbagai kerugian selama kerusuhan di Maluku. Operasi tersebut berlangsung sekitar 45 hari (25 April-15 Juni 2000) melibatkan dua kompi mariner, masing-masing ditempatkan di Maluku Utara dan Maluku Selatan (Ambon), dan non-marinir seperti para dokter, pemerintah daerah. Ratusan dokter dari berbagai rumah sakit di Indonesia, termasuk Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya. Satuan tugas (Satgas) dalam operasi itu dibagi dua, yakni Maluku Utara dipimpin Kolonel (Laut) Lili Pramono dan Maluku Selatan dipimpin Kolonel (Laut) Moekhlas Sidik. Keduanya di bawah pimpinan komandan satgas, Laksamana Franklin Kayhatu. Sasaran kegiatan adalah memperbaiki berbagai kerusakan selama kerusuhan Januari 1999-Maret 2000. Misalnya, rumah ibadah baik Islam maupun Kristen, gedung sekolah, pasar-pasar, terminal dan membangun barak bagi anggota masyarakat. Berkat prestasi-prestasinya, Moekhlas Sidik pun akhirnya mencapai posisinya sekarang. Seperti telah disinggung, Moekhlas adalah Panglima Armada Barat sebelum akhirnya menjabat Panglima Armada Timur pada Agustus 2006. Jabatan ini dipegangnya sampai akhirnya 2007 sebelum dipromosikan sebagai Asisten Operasi KSAL. Dari isterinya, Wiwik Khayati, Moekhlas Sidik dikaruniahi seorang anak perempuan yang kini sekolah di SMA.[]
103
Bagian IV TOKOH SENI, BUDAYA, DAN LSM
104
Emha Ainun Nadjib Nurani Bangsa, Pelayan Massa
Siapa yang tak kenal Emha Ainun Nadjib? Hampir semua warga bangsa ini, tua muda pasti kenal, setidaknya mengenal namanya. Apalagi bagi kita orang Jombang, pasti merasa sangat dekat dengan tokoh yang satu ini. Ucapan-ucapannya sering mengagetkan. Ia menyentil siapapun, dari segala kelompok maupun aliran. Dalam wawancara dengan Surabaya Post, Edisi Minggu, 20 Oktober 2006, misalnya, ia mengkritik ibu-ibu yang tidak mau menyusui anaknya. “Bedes ae nyusuhi anake (kera saja menyusui anaknya, Ed), masak manusia tidak?” kata Cak Nun, sapaan akrabnya. “Anak malah diberi susu kaleng yang tidak jelas buatan siapa. Dan saya beruntung lahir dari seorang yang mau menyusui 15 anaknya (jumlah saudara sekandung Emha).” Ia juga prihatin terhadap beragam acara yang tidak mendidik, salah satunya adalah Pemilihan Dai Cilik (Pildacil). “Acara saya tidak akan saya disisipi dengan kegiatan semacam itu. Masak anak kecil memberi wejangan pada orang yang lebih dewasa. Tahu apa anak itu tentang kehidupan, tentang halal haram? Wong belum pernah makan asin manisnya kehidupan kok sok memberitahu orang yang lebih tua,” katanya. Namun apa sebenarnya predikat pada diri Emha, jawabannya sangat beragam, budayawan, humoris, penyair, artis, penyanyi hingga kiai lazim dilekatkan pada dirinya. Menurut KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), banyak orang merasa mengenal Cak Nur, tapi seberapa banyak yang benar-benar mengenal? Dia itu adalah santri tanpa sarung, haji tanpa peci, kiai tanpa sorban, dai tanpa mimbar, mursyid tanpa tarekat, sarjana tanpa wisuda, guru tanpa sekolahan, aktivis tanpa LSM, pendemo tanpa spanduk, politisi tanpa partai, wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata, ksatria tanpa kuda, saudara tanpa hubungan darah. Kata Gus Mus, Cak Nun
105
agaknya memang diselubungi Tuhan. Bagi Indonesia, Emha adalah nurani bangsa. Emha memang sosok yang eksistensinya tak bisa dikotak-kotak oleh kategori yang dibuat manusia. Dan memang, tak akan mendapat pemahaman yang mendalam kalau melihat predikat yang melekat diri Cak Nun. Barangkali lebih tepat kalau dia diberi julukan sebagai sang mujaddid (pembaharu) atau nabi sosial. Ia adalah sosok yang luar biasa. Dalam dirinya melekat dan mewujudkan nilai-nilai yang luhur dan tinggi. Ketika ia sudah sangat tenar, namanya menjadi bintang dalam berbagai seminar tampil bersama para doktor bahkan profesor pun, iapun tak pedulikan hal itu. Ketika manggung bersama artis ingusan, ia dihonor Rp.500 ribu sedang si artis Rp 5 juta, toh Emha tetap sabar dan tak mempersoalkan. Ia sering merasakan lapar yang luar biasa karena tak mendapat kesempatan makan meski dirinya harus mendatangi seminar dan pengajian-pengajian yang dihadiri ribuan masa. Meski perutnya protes, Cak Nun tak memprotes panitia, ia tetap jalani kegiatan dengan kesungguhan hati. Ketika orang lain mendapat pencerahan akal budinya atau terhibur oleh humor-humornya yang cerdas, ia sering berada dalam keadaan lapar perut. Ia adalah tipe orang yang benar-benar “berpuasa”. Ketika ia kesulitan keuangan dan bertemu dengan orang yang juga sedang dalam kesulitan, Cak Nun rela melepas ego pribadinya untuk menolong tersebut. Ketidakadilan dan penindasan menjadi sasaran tembak Emha, baik dalam aktivitasnya di jagad kesenian, kebudayaan maupun di kancah sosial politik yang bersentuhan dengan masyarakat banyak. Karyakaryanya dalam berbagai media dan buku serta lakon-lakon dalam pementasannya, sangat jelas menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil, mereka yang tertindas dan mereka yang dipinggirkan. Setiap hari Emha didatangi masyarakat yang membawanya kasuskasus yang berbagai ragam, dari putus cinta, perceraian, keluarga sakit, penggusuran tanah, perkelahian hingga meramal nasib. Emha bertemu, mendatangi dan bahkan berbicara sangat akrab dengan para pelacur, pencuri, preman, pengamen jalanan, tukang becak dan semua masyarakat kecil. Orang-orang ini pun merasa punya teman dan tempat untuk mengadu dengan aman sekaligus mendapatkan jalan keluar atas persoalan yang mereka hadapi.
106
Pertemuan-pertemuan tersebut menjadi makin bermakna membekas ke dalam hati sanubari karena Emha yang selalu mengajak mereka untuk istighfar (memohon ampun pada Gusti Allah). Emha juga mengajak mereka untuk berdoa menjalani kehidupan. Bahasanya sederhana dan langsung menyentuh. Misalnya saja, ketika kondisi ekonomi warga sedang kacau, pikiran sedang sumpek dan bingung, Emha menyodorkan jalan yang sangat tegas. “Empun, gak usah mikir sing macem-macem, sing penting bojo waras, sampeyan budal turu weteng wareg, besok tangi kerja maneh, golek duit kanggo nguripi keluarga,” katanya dalam berbagai kesempatan. Cak Nun juga bukan orang yang mengagung-agungkan kehebatan dirinya. Ia tetap rendah hati. Meski begitu orang mengagumi kecerdasan Cak Nun yang tak mengenyam pendidikan tinggi formal tersebut. Banyak para akademisi, termasuk para profesor yang tak habis pikir atas kedalaman dan ketajaman analisisnya terhadap sebuah persoalan. Hingga kini orang bertanya, buku apa yang dibaca Cak Nun dan kapan ia pelajari buku-buku tersebut. Emha memang pernah tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta namun hanya setengah semester, karena bangku kuliah tak menarik baginya. Menurut Dosen UGM, Ashadi Sinegar, Ainun berhenti kuliah boleh dibilang anugerah atau keberuntungan sebab setelah itu ia mengalami liberalisasi oleh alam. Dengan itu ia mengalami metamorfosa dari suatu kehidupan, menuju suatu institusi alam bebas yang signifikan di tengah kehidupan sosial, dan mampu mengatasi sekat-sekat yang membelenggu manusia. Berapa gelintirkah manusia yang dapat hadir sebagai suatu institusi yaitu sumber dari nilai bagi manusia yang mengenal atau bersentuhan dengannya? Masih kata Ashadi, kebanyakan manusia tidak berani hadir dalam individualitas manusia bebas dengan kualitas semacam ini sebab merasa lebih aman berada dalam tempurung yang bernama komunalisme baik dalam lingkup agama, ideologi, textbook, atau ikatan-ikatan yang membelenggu lainnya. Maka apa yang dialami Emha adalah merupakan anugerah bagi manusia dengan bakat yang sangat otentik. Dengan anugerah itulah Emha, kata Ashadi, diselamatkan dari “dosa-dosa” dunia pendidikan yang mengalami disorientasi. Sebagai suatu institusi alam bebas, Emha jauh lebih berarti dibanding ribuan bahkan laksaan lulusan dunia sekolah.
107
Pelayan Ada yang menyebut, laki-laki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Kegiatan Cak Nun lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayanan ingin diarahkan untuk menumbuhkan potensialitas rakyat. Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, ia rata-rata manggung 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara masal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas masyarakat Padang Bulang, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat. Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulang itu, pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagamaan itu. Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang dianggap sudah terpopulasi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya. Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal. Tapi horizontal,” ujarnya. Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti – yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Jogjakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu atau dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjadi kolumnis. Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, almarhum MA Latifin, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Jogjakarta (1968). Sempat
108
masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah SMA Muhammadiyah I, Jogjakarta sampai tamat, sebelum akhirnya masuk Fakultas Ekonomi UGM meskipun tidak tamat. Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha berikutnya. Kariernya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di hatian Masa Kini, Jogjakarta (1970). Kemudian menjadi wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Jogjakarta (1973-1976), sebelum menjadi pimpinan Teater Dinasti (Jogjakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media. Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Diantaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festifal Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Karya Seni Teater Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Jogja bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern). Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di Alun-alun Madiun), Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makasar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orde yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kajeng, Duta Dari Masa Depan.
109
Dia juga termasuk kreatif dalam puisi: “M” Frustasi (1976); Sajaksajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisir (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abracadabra (1994); dan Syair Asmaul Husna (1994). Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola-Bola Kultural (1996); Budayakan Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tahapan Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi’ (2001); “Tahajjud Cinta “ (2001); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Forklore Madura (2005); Puasanya Kafir Liberal (2006); dan, Jalan sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006). Pluralisme Cak Nun bersama Grup Musik Kiai kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Shalatullah salamullah/‘Ala thoha Rasulillah/Sholatullah salamullah/Sholatullah salamullah/‘Ala yaasin Habiibillah/‘Ala Yaasin Habiibillah…” Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu
110
Islam. Saya bukan bernyanyi, saya bershalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid. Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu, 14 Oktober 2006 malam itu, ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran. Perihal pluralism, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralism?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha.[]
111
Wardah Hafidz, MA Aktivis Perempuan, Pejuang HAM
Budayawan Emha Ainun Nadjib melukiskan Wardah Hafidz sebagai “perempuan lembut berwajah imut-imut dengan ekspresi seorang gadis pemalu.” Tetapi jangan remehkan prestasi dan sikapnya yang gigih melawan ketidakadilan. Wardah (54 tahun) seorang Muallimat Muhammadiyah, jago bahasa Inggris, jebolan IKIP Malang dan tamatan Ballstate University, Munsic City, Indianapolis, Amerika Serikat. Putri seorang tokoh Masyumi di Jombang ini kemudian dikenal sebagai Koordinator Urban Poor Consortium (UPC) alias Konsorsium Kaum Miskin Perkotaan. Ia sering bikin geger Jakarta dan membuat Gubernur Sutiyoso pusing kepala. Tetapi perjuangan bertahun-tahuan memperjuangkan hak-hak kaum miskin tidaklah sia-sia. Pada 2004, Wardah mendapatkan anugerah hakhak asasi manusia dari Memorial Foundation di Korea Selatan. Yayasan itu mengumumkan pada 18 Mei bahwa Wardah menjadi pemenang Gwangju Prize for Human Rights sebagai pengakuan atas sumbangannya pada pemajuan hak-hak asasi kaum miskin dan demokrasi di Indonesia. “Wardah Hafidz telah memberikan sumbangan pada demokratisasi di Indonesia, dengan membantu orang-orang miskin di perkotaan mendapatkan hak-hak asasinya meskipun dihalangi pemerintah,” kata yayasan tersebut. Wardah juga memperoleh COHREC, Housing Rights Defender Award 2005 atas perjuangannya yang dinilai luar biasa dalam membantu kaum miskin mendapatkan tempat tinggal yang layak. Wardah dinilai berjasa besar karena ia tidak kenal lelah dalam memobilisasi masyarakat miskin melawan penggusuran paksa dan meningkatkan kemampuan para pimpinan kaum miskin untuk memperjuangkan rumah yang layak bagi
112
masyarakatnya. Kegiatannya bersama orang-orang miskin di kawasan kumuh telah menghasilkan dihormatinya hak-hak rakyat dalam hal perumahan dan mencegah penggusuran. Tidak lama setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2004, Wardah bersama Konsorsium Kaum Miskin Perkotaan membantu orang-orang yang selamat untuk kembali ke rumah dan tanahnya. Wardah antara lain membantu 30 komunitas nelayan di Aceh membangun kembali kehidupannya. Tak kurang dari 1.000 rumah berhasil dibangun kembali. Jauh hari sebelumnya, Wardah telah dikenal sebagai pejuang HAM yang bersuara keras. Pada awal-awal reformasi setelah lengsernya Presiden Soeharto, Wardah gigih mengungkap money politics dalam pemilihan umum. Ia menuduh bahwa dana JPS sebesar Rp. 6,5 triliun digunakan untuk Pemilu oleh Golkar dan PDR-nya Adi Sasono. Atas tuduhannya itu, Wardah balik dituduh bahwa ulahnya itu dibiayai oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia dan kelompok asing yang cemas atas langkah populis Adi Sasono memberdayakan kaum miskin di Indonesia. Aktivitas Wardah Hafidz yang sering berhadapan dengan pemerintah tersebut membuat dirinya harus menghadapi aparat keamanan. Pada 28 Februari 2000, misalnya, ia ditangkap polisi bersama staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Daniel Panjaitan dan sebelas tukang becak, lalu dibawa ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Penangkapan tersebut menyusul aksi unjuk rasa yang mereka lakukan sejak pagi di Istana Merdeka, Jakarta. Namun demikian, polisi tidak menahan mereka. Setelah dimintai keterangan oleh aparat Polda Metro Jaya, Wardah dan kawan-kawan dipulangkan. Penangkapan itu diawali dengan aksi demo sekitar 100 tukang becak yang didampingi Wardah di depan Istana Merdeka, Jakarta, sekitar 10.30. Mereka ingin bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk minta perlindungan dan keadilan untuk tukang becak. “Kami gantian, yang tadi siang sudah pulang, diganti yang baru,” kata Wardah Hafidz, sebelum ditangkap. Dia sempat bertanya kepada tukang becak, apakah ingin pulang atau tetap bertahan. “Mereka mengatakan ingin bertahan,” katanya.
113
Pelopor Fenimisme Selain aktivitasnya yang sering menimbulkan kerepotan aparat keamanan, Wardah juga terkenal memiliki pandangan yang liberal. Dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 6 Februari 2003, misalnya, Wardah menunjukkan hal itu. Dalam memandang Tuhan, Wardah lebih menitikberatkan aspek keadilan Tuhan (ahlu al-adli wa al-tauhid) ketimbang kaum Sunni kebanyakan yang menekankan aspek kemahakuasaan Tuhan (tanzih). Wardah yang dulu aktif mempelopori feminism dalam Islam, melihat Tuhan dalam perspektif kasih dan sayang terhadap makhluk-Nya. Menurut Wardah, Islam tidak boleh berada di pinggir lapangan dalam menyuarakan hak-hak kaum dhuafa. Kepada pewawancara, Wardah melukiskan bagaimana proses sosialisasi agama berlangsung pada dirinya sewaktu kecil di kota asalnya, Jombang. Ketika Masyumi pecah pada tahun 1950-an, NU keluar. Perpecahan itu membawa dampak terhadap keluarga besarnya yang dulunya homogen. Kini ada yang NU, Muhammadiyah, dan yang tetap Masyumi. Hal itu sempat membuat ketegangan di keluarga besarnya, tetapi ayah Wardah termasuk yang Masyumi, namun sangat toleran dan liberal dalam memberikan pilihan kepada putra-putranya. Dari kecil, Wardah selalu diintrodusir dengan ritual-ritual agama. Artinya, sejak sebelum sekolah dasar (SD) pun, ia sudah puasa. Dulu dirinya tidak mengenal puasa setengah hari. “Jadi, keluarga saya termasuk keluarga santri dan kuat secara ritual,” kata Wardah. Tentang sekolah Wardah menuturkan bahwa kakeknya dulu punya pesantren. Ketika perang kemerdekaan, para santrinya ikut berperang. Akibatnya, pesantren kakeknya ditutup. Ada juga madrasah yang sampai sekarang masih tetap bertahan, dan dipimpin salah seorang adiknya yang mantan Bupati Jombang. Pertama kali Wardah masuk sekolah yang berada di lingkungan rumah (kakek) itu, yaitu madrasah. Mulai dari kelas satu, terus lompat ke kelas dua di sekolah negeri. Pelajaran agama, dalam hal ini bacaan Al Quran, diajarkan sendiri oleh ayahnya, tiap sore hari. Saat itu tempatnya belum ada listriknya, jadi keluarganya makan malam jam lima sore. Setelah salat maghrib berjamaah, mereka lalu diajari mengaji bersama-sama.
114
Mengingat masa kanak-kanaknya, Wardah menggambarkan dua sisi tentang Islam yang ditampilkan pada dirinya. Satu sisi adalah Islam yang indah dan hangat. Misalnya dalam bulan puasa. Setelah sahur, lalu menunggu subuh, paman atau ayahnya selalu mendongeng dengan duduk bersama-sama. Sebenarnya dongeng itu (siasat) untuk memperkenalkan doa-doa; seperti doa masuk kamar mandi, melintasi kuburan dan lain-lain. Tapi itu diajarkan lewat medium cerita atau dongeng. Di sisi lain, Wardah mengatakan dirinya melihat banyak orang di sekitarnya yang shalatnya tidak hanya lima kali sehari, tapi juga ditambah salat dhuha, shalat tahajud dan lain-lain; tapi perilaku sehari-harinya, hubungan horisontalnya antarsesama, bobrok. Dalam praktik keseharian mereka, menurut Wardah, mengingkari apa yang telah mereka ucapkan dalam seluruh proses salat yang mereka lakukan. Mereka jahat pada tetangga dan berperilaku buruk lainnya. Apa artinya shalat bagi orang yang berperilaku seperti ini? Wardah mengatakan, ia kemudian menyimpulkan bahwa shalat bukan (sekedar) soal neraka, sebagaimana dipahami secara konvensional. Salat juga bukan untuk Tuhan sebenarnya, tapi untuk manusia sendiri. “Kalau kita renungkan apa yang kita ucapkan (dalam ritual salat), mulai dari takbir sampai salam, itu ‘kan sebetulnya merupakan upaya untuk mengingatkan diri kita atau refleksi ke dalam tentang siapa sebetulnya kita, dan apa tugas dan peran kita sebagai manusia yang sedianya harus ada dalam jalan yang benar,” katanya. “Nah, kalau itu kita ucapkan sebagai suatu janji dalam lima kali sehari berarti (salat) memang menjaga inner-conciousnes atau kesadaran dalam diri kita, untuk selalu menjaga komitmen itu.” Shalat yang khusuk akan mensugesti diri mengaharahkan sang mushalli (pelaku shalat) pada akhlakul karimah (budi pekerti luhur). Wardah Hafidz juga rajin menulis soal agama. Pemikirannya banyak dipengaruhi buku-buku karya para feminis Islam, seperti Fatimah Mernisi, Amina Wadud, Rif’at Hasan dan lain-lain. Wardah juga mengaku banyak membaca pemikir-pemikir muslim yang kritis. Mereka adalah para pemikir yang dinilai membuka kembali pintu ijtihad; mencoba membuka pemahaman yang tidak menjadikan agama bagaikan sesuatu yang beku; sesuatu yang dimuseumkan untuk kemudian diterjemahkan sangat dangkal dan kaku. Tentang aktivitasnya dalam membela orang miskin kota, Wardah menyebutkan bahwa hal itu tidak ada kaitannya secara langsung dengan
115
cara pandangnya terhadap agama. Ia menyebutkan, dirinya mulai fokus pada masalah kemiskinan kota sejak tahun 1993. Ia mulai masuk ke persoalan Islam, terutama soal gender dan Islam, serta perempuan dan Islam, sejak tahun 1980. Khusus isu kemiskinan, menurut Wardah, sebetulnya juga menjadi salah satu fokus dalam pembahasan agama; misalnya dalam soal keadilan dan soal perhatian pada kaum dluafa dan marjinal. “Akhirnya, walaupun saya tidak menulis lagi, dan tidak banyak ikut diskusi, tapi saya mencurahkan banyak waktu pada ranah aktivisme,” katanya.[]
116
Gombloh Musikus Legendaris
Perawakan kurus kerempeng, perokok berat pula, yang bila merokok ibarat lokomotif dengan asapnya sambung-menyambung. Tetapi jangan ragukan suaranya, yang dalam lukisan Emha Ainun Nadjib bisa melengking bagai Robert Plant atau qari Abdul Bashit bin Muhammad Abdus Shomad. Itulah Gombloh, yang ditasbihkan sebagai “pahlawan musikus jalanan”. Digadang-gadang jadi insinyur oleh ayahnya, slamet; Sudjarwanto alias Gombloh manut saja ketika disuruh ayahnya kuliah di Surabaya. Tetapi ia sering tidak masuk kuliah alias mbolos dan malah berkumpul dengan teman-temannya untuk bermain musik, sebelum namanya meroket sebagai country singer top di negeri ini. Dengarkanlah misalnya lagu Kebyar-kebyar dan perhatikan liriknya: Indonesia, merah darahku, putih tulangku Bersatu dalam semangatmu! Indonesia debar jantungku getar nadiku Berbaur dalam angan-anganmu Kebyar-kebyar pelangi jingga… Indonesia, nada laguku, simfoni berteduh Selaras dengan simfonimu Kebyar-kebyar pelangi jingga… Biarpun bumi berguncang kau tetap Indonesiaku, Andai matahari terbit dari barat, Kaupun Indonesiaku. Tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan Aku darimu, Kusingsingkan lengan, rawe-rawe rantas, Malang-malang tuntas denganmu...
117
Lagu Gombloh tersebut begitu dihormati masyarakat sehingga mirip lagu wajib nasional. Tetapi Gombloh tetaplah Gombloh yang selalu menyatu dengan masyarakatnya. Ia disebut sebagai manusia merdeka, pecinta rakyat kecil, orang-orang yang hidup kesrakat. Bagi kelompok-kelompok musik anak muda, Gombloh adalah tokoh idola. Ini bisa terlihat ketika Kelompok Pemusik Jalanan (KPJ) Surabaya bersama komunitas musisi rock Surabaya serta musisi lainnya akan mengadakan gelar Surabaya Full Music pada 21 Juni 2005. Sehari sebelumnya, komunitas KPJ Surabaya mengawali acara tersebut dengan acara nyekar ke makam Gombloh di Makam Tembok, Surabaya. Dari atas makam Gombloh itu, para musisi jalanan tersebut menobatkan Gombloh sebagai pahlawan musisi jalanan. Sebelum penobatan almarhum sebagai pahlawan, KPJ mendendangkan dua buah lagu almarhum Gombloh, Kebyar-kebyar dan Lestari Alamku. Mereka juga membawakan lagu lain, Bagimu Negeri dan Syukur. Ketika lagu-lagu Gombloh itu mengalun dengan iringan gitar dan saksofon, suasana haru menyelimuti komunitas pemusik jalanan. Bokir, selaku Ketua KPJ Surabaya pun, tampak larut dan matanya berkaca-kaca. Ia masih ingat benar ketika Gombloh meninggal dunia pada 9 Januari 1988. Aksi nyekar dan bernyanyi di atas makam Gombloh itu dihadiri pula oleh Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Timur Prof. Dr. Setya Yunawa, Ketua Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) Surabaya, Wahyudin. Dari TBJT juga hadir Ki Sinarto dan Arif Rofiq. Yus, roker “Reptile” yang juga koordinator rock se-Surabaya, mengatakan, kegiatan nyekar ke makam almarhum Gombloh oleh musisimusisi ini sangat mengesankan. Bagi Yus, almarhum Gombloh adalah sosok musisi yang idealis. “Ide-idenya pun cukup didengar, dan kami berpikir layak untuk menjaga idealisme Gombloh dalam bermusik,” katanya. Mohammad Arkan (53), rekan almarhum Gombloh, secara terpisah mengaku terharu atas perhatian musisi jalanan Surabaya tersebut. “Saya sangat terharu sekaligus senang atas perhatian teman-teman itu, dan bagaimanapun Gombloh adalah seniman arek Suroboyo,” ujarnya. Lima Saudara Gombloh arek Suroboyo? Adalah hak siapa pun untuk mengklaim demikian, karena Gombloh memang besar di Surabaya. Tetapi Gombloh
118
sebenarnya asli Jombang. Ia dilahirkan di Jombang pada 14 Juli 1948 dari ayah bernama Slamet dan ibu bernama Tatoekah. Saudaranya ada lima yaitu Anwar Sujono (kakak), Alifah (kakak), Askur Prayitno (kakak), dr. Sujari (adik) dan Sujarwati (adik). Tetapi memang tidak penting klaim-klaim kedaerahan seperti itu. Dengan menyebut Gombloh orang Jombang, kita hanya ingin mengingatkan saja. Apalagi Gombloh sebenarnya sudah milik bangsa Indonesia. Lihat saja misalnya penghargaan Nugraha Bhakti Musik Indonesia, yang diberikan kepada almarhum Gombloh pada puncak Hari Musik Indonesia III di Jakarta, 30 Maret 2003. Menurut Iga Mawarni, Humas Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), ada 10 musikus yang menerima penghargaan bergengsi itu, termasuk Gombloh. “Siapa yang tidak kenal Gombloh. Beliau itu pencipta lagu Kebyar-Kebyar yang sudah dianggap sebagai lagu kebangsaan kedua setelah Indonesia Raya,” kata Iga Mawarni, penyanyi jazz. Iga juga menyebutkan, ketika nama Gombloh dinominasikan, langsung semua terima dan tak ada perdebatan apalagi perlawanan. Tidak ada yang meragukan orisinalitas karya-karya Gombloh yang sangat khas itu. “Almarhum Gombloh memang sudah milik Indonesia Bukan sekedar milik kelompok masyarakat tentunya,” kata Iga Mawarni. Ada banyak cerita yang mengesankan tentang pribadi Gombloh. Kawan-kawannya mengatakan, Gombloh adalah seniman yang murah hati. Ia sering mentraktir kawan-kawannya yang sangat beragam. Silahkan makan apa yang Anda sukai. Bakso, nasi goreng, bakmi, tahu tektek, nanti Gombloh yang bayar. Begitu sering kawan-kawannya mendapati Gombloh bila bertemu. Mereka pun umumnya menyesali mengapa orang sebaik itu cepat pergi. Ketika posisinya sedang berada di puncak kejayaan, Gombloh sebenarnya bisa membeli rumah mewah di kompleks perumahan elite. Ia bisa saja meminta rumah demikian kepada para produser musik rekamannya. Tetapi ia tidak melakukan itu. Ia tetap Gombloh yang sederhana, yang berkumpul bersama-sama orang kecil. Hingga sekarang, banyak kawan-kawannya yang masih mengingat dengan jelas bagaimana kehidupannya sejak kecil. Mereka masih ingat betapa Pak Slamet dan ibu Tatoekah, yang sehari-hari berdagang ayam di Pasar Genteng Surabaya, berharap Gombloh bisa bersekolah setinggi
119
mungkin. Pasangan suami isteri dengan enam anak itu bekerja keras untuk mengantarkan anak-anaknya mencapai kehidupan yang lebih baik. Kalau bisa ya menjadi pegawai negeri. Beruntung Pak Slamet mempunyai anak-anak yang pandai di sekolah. Nilai sekolahnya di atas rata-rata, termasuk Gombloh yang diakui berontak encer. Masuk akal bila kemudian Gombloh bisa masuk SMA Negeri 5 Surabaya. Nilai lulusnya pun bagus sehingga ia dengan mudah diterima di Fakultas Arsitektur ITS. Padahal Gombloh tidak pernah mengikuti bimbingan tes segala. Tetapi seperti ungkapan, manusia boleh berusaha tapi Tuhanlah yang mengatur. Pak Slamet bisa berharap anaknya jadi insinyur, Gombloh sudah tidak kerasan kuliah. Ia lebih senang menggelandang ala seniman, berkumpul dengan temannya sambil menyanyi, mengamen di sana-sini, termasuk di hotel-hotel, sampai akhirnya bisa masuk dapur rekaman, dan namanya terkenal di mana-mana. Kita yang telah lama ditinggalkan penyanyi legendaris itu bisa saja bertanya kepada Tuhan, mengapa seniman hebat seperti itu hanya diberikan umur pendek. Kita bahkan bisa protes tetapi siapakah yang tahu kemauan Tuhan. Hanya Dia yang Maha Mengetahui.[]
120
Cak Durasim Seniman Ludruk Nama lengkapnya adalah Gondo Durasim, tetapi ia lebih dikenal sebagai Cak Durasim. Sebuah nama yang dikenal di dunia seni, khususnya seni ludruk, meskipun tidak mudah mencari data-data pribadi maupun keluarganya. Begitu terkenalnya nama Cak Durasim hingga anak-anak muda pintar di Institut Teknologi Bandung yang mengelola klub seni ludruk selalu tak lupa menyebut namanya bila berdiskusi tentang kesenian ini. Cak Durasim sebenarnya bukan sekedar seniman, apalagi seniman biasa. Reputasinya menjulang tinggi melewati batas-batas dunia seni karena ia juga satu di antara sedikit tokoh yang berani berkata “tidak” kepada penguasa penjajahan Jepang di Indonesia. Kidungannya yang secara jelas mengritik keras penguasa Jepang sangat melegenda: “Pegupon omahe doro, urip melu Nippon tambah sengsoro.” Sampai beberapa waktu, penguasa Jepang belum tahu apa arti kidungan Cak Durasim tersebut. Namun kemudian, entah melalui siapa, mereka mengetahui artinya hingga menimbulkan kemarahan besar. Akibatnya bisa diduga. Ketika Cak Durasim dan beberapa kawannya mengadakan pagelaran ludruk di Desa Mojorejo, Kabupaten Jombang, ia dan kawan-kawannya ditangkap. Sampai di sini setidaknya ada dua versi kelanjutannya. Satu sumber menyebut Cak Durasim meninggal di dalam penjara akibat penganiayaan tentara Jepang pada tahun 1944, tetapi sumber lain menyebutkan, seniman itu meninggal dunia setelah dibebaskan pada Agustus tahun itu. Hal ini dinyatakan oleh Satari, bekas sri panggung ludruk Organisatie yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut di atas. Betapa besarnya pengorbanan Cak Durasim itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita pun sepakat pada pendapat bahwa pasemon Cak Durasim melawan Jepang tersebut telah menjadi benih dari kesenian ludruk yang hidup sampai hari ini. Ada yang menyebut, ludruk kemudian mengalami penyempitan kapitalistik dan menjadi Srimulat, sementara Cak
121
Durasim menjadi syahid karena perlawanan politiknya terhadap kolonialisme dan imperialisme kekuatan asing. Bagaimana Cak Durasim bisa tumbuh menjadi seniman ludruk yang luar biasa itu tentu tak lepas dari lingkingan yang membentuknya. Ludruk sendiri lahir dan tumbuh pertama kali di Jombang. Kesenian ini dirintis pertama kali oleh Pak Santik, seorang petani dari Desa Ceweng, kini masuk Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Ia adalah petani berpenghasilan kecil, namun sepertinya tidak pernah sedih, melainkan malah sering melucu. Pada tahun 1907, Pak Santik mulai mencari nafkah dengan mengamen dengan iringan musik lisan alias mulut. Begitulah, ia kemudian berkenalan dengan Pak Amir dari Desa Plandi, dan iringan musik pun dilakukan dengan kendang. Lalu Pak Pono bergabung dengan mengenakan pakaian wanita, hingga kemudian disebut wedokan. Mereka bertiga keliling dari kampung ke kampung, menyampaikan pesan-pesannya lewat parikan-parikan yang menarik penontonnya. Di antaranya: Keong nyemplung neng blumbang Tinimbang nyolong aluwung mbarang (keong masuk kolam, daripada mencuri lebih baik mengamen) Mereka yang tertarik mengetahui lebih jauh tentang perkembangan ludruk dapat membaca buku-buku tentang kesenian ini, yang jumlahnya kini terus bertambah. Henry Supriyanto, dosen Universitas Negeri Surabaya, misalnya, cukup banyak menulis buku tentang ludruk. Gelar doktornya yang diraih 2006 yang lalu dari Universitas Udayana, Denpasar, juga membahas seni ludruk. Kembali ke Cak Durasim, tokoh ini memang mencuat namanya menjelang masa penjajahan Jepang. Dalam suatu kisah, Cak Durasim mulai membentuk kelompok ludruk bukan di Jombang, tetapi di Surabaya. Ini karena pembentukan ini disponsori oleh Pak Tom alias Dr. Soetomo, tokoh pejuang perintis kemerdekaan yang terkenal di awal ke-20 tersebut. Penampilan ludruk Cak Durasim ini disebut jauh lebih modern. Setiap pertunjukan ludruk yang digelarnya sudah termasuk satu kesatuan dari tari remo yang menampilkan kepahlawanan. “Juga dagelan sebagai sisipan dan baru kemudian masuk ke inti cerita,” demikian Dukut Iman Widodo dalam bukunya, “Soerabaja Tempo Doeloe” Buku 1 yang terbit pada tahun 2002.
122
Dalam perjalanannya, Cak Durasim mengembangkan kesenian ludruk dengan menggali dan mempopulerkan cerita-cerita dan legenda rakyat dalam bentuk drama. Kedatangan bala tentara Jepang yang membuat sengsara rakyat negeri ini tidak membuat kecil nyalinya, berbeda tentang banyak tokoh dan pemimpin di negeri ini. Tidak sedikit yang mencari keselamatan diri dengan cara berdiam diri, yang barangkali lebih baik karena banyak juga yang menjual bangsa sendiri. Kalau sekarang kita banyak menemukan parikan dan pesemon yang bernada kritik terhadap kekuatan atau kelompok tertentu, maka tidak bisa dibantah hal-hal seperti itu banyak “meminjam” atau meniru gaya Cak Durasim.[]
123
Asmuni Pelawak Atlet dan seniman itu sering dikenal sebagai orang yang tidak pernah memikirkan hari tuanya, bahkan hingga saat ini. Karena itu, senyampang masih bisa berkarya, seorang harus mampu mengelola dan menyiapkan hari tuanya sendiri. Asmuni adalah salah satu dari seniman yang mampu menyiapkan hari tuanya itu dengan cukup baik. Maka ia bisa menjalani hari tuanya dengan tenang dan relatif berkecukupan, meski ia tak mau dikatakan berlebihan secara materi. “Mau apalagi, tidak banyak yang saya bisa lakukan di hari tua ini. Akhirnya ya sudahlah, buka warung dan jualan nama. Alhamdulillah warung saya cukup laku,” kata Asmuni di warung yang dia dirikan di Jatipasar, Trowulan, Mojokerto. Sebenarnya bukan sekedar warung biasa, sebab rumah makan yang lebih dikenal dengan Rumah Maka Rujak Cingure Asmuni ini, cukup megah dan berdiri di atas tanah yang cukup luas dan berlokasi strategis, di tepi jalan raya Mojokerto-Jombang. Bukan hanya di Trowulan, ia juga memiliki warung masakan Jawa Timur di Slipi, Jakarta. Asmuni bersyukur karena ia memiliki isteri yang pintar masak dan akhirnya bisa mengembangkan menjadi bisnis rumah makan yang cukup besar. Warung-warung itu menjadi penopang kehidupan masa tua pelawak Srimulat ini. Pria kelahiran Desa Diwek Kecamatan Diwek, Jombang 17 Juni 1932 itu kini telah berusia 75 tahun, namun cukup sehat menjalani kehidupan dan masih banyak melakukan kegiatan. Ia pun masih sering bepergian untuk berbagai urusan. “Tetapi saya kena asam urat, jadi ya harus hati-hati dan pandai-pandai mengatur makan,” katanya. Asmuni menjalani masa kecilnya di Diwek, bersekolah di SR Ceweng kemudian melanjutkan ke SMP I Jombang hingga kelas tiga untuk selanjutnya pindah ke Surabaya mengikuti ayahnya. Ayah Asmuni sendiri, Asfandi adalah pegawai bagian kesenian DJAKAD (Djawatan Kesedjahteraan Angkatan Darat) yang bertugas menghibur para tentara. Struktur lembaga ini meniru militer Jepang. Pada lembaga inilah Asmuni sering ikut ayahnya dan kemudian banyak orang melihat bakat Asmuni sebagai penghibur. Itu memang terjadi semasa pendudukan Jepang tahun
124
1943-an. Karena berada di lingkungan tentara, Asmuni pun akhirnya masuk tentara setelah Indonesia merdeka. Namun karena usianya masih pelajar ia pun masuk TRIP (tentara pelajar). Pada masa tersebut, ia berjuang mempertahankan Surabaya dari serangan Belanda di sekitar Sepanjang-Krian. Namun karena terus terdesak akhirnya tentara dan laskar-laskar Indonesia mundur dan tumpleg bleg di Mojoagung. Mereka berjuang mempertahankan Jombang. Mereka mengira, Belanda tidak mungkin bisa masuk Jombang karena Mojoagung dibentengi tentara dan laskar yang jumlahnya sangat banyak. “Hampir semua tentara dan laskar-laskar berkumpul di Mojoagung,” kata Asmuni. Namun mereka salah perhitungan. Belanda tidak masuk lewat Mojoagung tetapi lewat Mantub, Lamongan dan dengan mudah masuk Jombang. Jam 03.00 dinihari Pasar Jombang sudah dipenuhi tentara Belanda. Ketika melakukan tugas patroli antara Jombang-Mojoagung, Asmuni masuk pasar dan menangkap seorang tentara Belanda. Ia heran kok ada Belanda di Pasar Jombang padahal sudah dijaga ketat di Mojoagung. Belum sempat rasa heran itu hilang sudah muncul tembakan bertubi-tubi dari arah pasar dan dengan perasaan setengah sadar, tentaratentara Indonesia akhirnya tahu bahwa Belanda sudah masuk Jombang. “Kita ini kalah segala-galanya, baik senjata maupun strategi perang. Jadi kalau berhadapan ya pasti kalah. Satu-satunya kelebihan kita adalah mengenal medan. Itu saja,” kata Asmuni. Selanjutnya Asmuni bergabung dengan Resimen 19 yang bermarkas di Jember. Pada saat bertugas di sinilah, Angkatan Laut hendak membentuk organisasi Olah Raga, Pendidikan dan Hiburan (O, P dan H) semacam bagian kesenian hiburan milik Angkatan Darat (Djakat), tempat ayahnya berdinas. Saat itu ada nama-nama yang cukup kesohor di antaranya Bing Slamet dan pimpinan Kapten Iskak yang punya anak seorang artis terkenal saat itu, Indriyanti Iskak. Kelompok hiburan ini bermarkas di Pasiran, Surabaya. Bermainlah Asmuni menghibur para tentara Angkatan Laut. Namun lama kelamaan ia merasa jemu dan keluar dengan pangkat terakhir Sersan Satu. Ia kemudian masuk kelompok hiburan Lokarya yang bermarkas di THR Surabaya di bawah pimpinan Amang Gunawan. Sejak itulah Asmuni menapaki jalan hidupnya sebagai penghibur. Dari Lokarya ia kemudian bergabung dengan Srimulat. Bersama Srimulatlah kemudian Asmuni mengalami pasang surut kehidupan sebagai penghibur. Ia mengalami suka
125
duka sebagai pelawak di sana. Suatu ketika, misalnya, Srimulat memutuskan untuk manggung permanen di Jakarta dan sudah memperoleh tempat di Proyek Senin lantai 4. Optimisme memancar dari seluruh personel Srimulat karena esok harinya akan mulai tampil perdana. Mereka juga sudah mengontrak rumah di sekitar Senin. Setelah semua persiapan beres menjelang main esok harinya, Srimulat didatangi Dinas Tata Kota DKI yang keberatan mereka main di sana karena keamanan penonton tidak terjamin jika misalnya terjadi kebakaran. Seluruh anggota jatuh mental padahal mereka sudah kontrak rumah di Jakarta. Demikian juga Teguh, masih terdiam. “As, saya tidak mikir dekor atau panggung ini. Dekor itu terbakar juga tidak apa-apa. Yang saya pikirkan nasib anakanak. Bagaimana hidup mereka,” kata Tebuh. Asmuni sumendhal mendengar perkataan Teguh. Akhirnya Asmuni berinisiatif membawa teman-temannya kembali ke Jawa Timur dan tur keliling, sedangkan Teguh tetap bertugas mencari tempat manggung permanen yang setahun kemudian didapatkannya di Taman Ria Remaja, Senayan. Asmuni berkeliling membawa teman-temannya manggung di Surabaya, Jombang, Kertosono, Nganjuk dan sekitarnya. Pertama keliling, mereka tampil di Malang kemudian Kediri tetapi tidak mendapat tempat. Akhirnya mereka tampil di Pare bekerjasama dengan pihak kepolisian setempat. Begitulah, selama menunggu kepastian manggung di Jakarta mereka tur keliling Jatim dan mendapat sambutan penonton luar biasa bagus. Ketika akhirnya Teguh mendapat tempat permanen di Taman Ria Remaja, iapun boyongan ke Jakarta. Mulailah mereka menjalani kehidupan menghibur di Jakarta. Penonton pun ramai. Bahkan, kata Asmuni, kalau semua lima wilayah DKI itu didirikan tempat manggung permanen, ia yakin penontonnya tetap melimpah. Namun, gagasan itu tidak pernah terlaksana dan Srimulat hanya manggung di Taman Ria saja. Merasa namanya sudah cukup dikenal dan layak untuk meluaskan pasar, Asmuni mengirim surat kepada TVRI yang merupakan stasiun TV satu-satunya di Indonesia itu. Jaraknya juga dekat dengan tempat Srimulat manggung. Namun surat itu tidak pernah dibalas. Barulah ketika ada orang TVRI menonton pertunjukan, yang bersangkutan menawarkan gagasan untuk syuting. Asmuni heran, wong suratnya saja tidak dibalas, sekarang malah menawarkan siaran. Tetapi akhirnya Teguh menyetujui gagasan itu,
126
membikin kontrak dan jadilah pertunjukan Srimulat disiarkan TVRI, “Saat itu kami tidak bicara honor yang didapat dari TVRI. Pokoknya kami makin dikenal di Jakarta dan daerah-daerah lain. Tapi sekarang lain, kalau ada tawaran syuting pasti akan kami perhitungkan berapa honornya,” kata Asmuni sambil tertawa. Srimulat memang semakin berkibar. Para pemainnya juga mendapat tambahan pekerjaan dari berbagai daerah bahkan hingga Kalimantan. Lepas dari TVRI, Srimulat mendapat tawaran kontrak Indosiar. Di puncak kejayaan itulah Asmuni sering merenung tentang hari tuanya nanti. Ia tidak mungkin selamanya ada di atas dan pada saatnya nanti tak ada seorangpun yang memikirkan hidupnya. Maka ketika masuk Jakarta tahun 1980, dua tahun kemudian ia membuka warung bersama isterinya. “Saya mikir, tak ada yang bisa menjamin hari tua saya. Maka warung inilah yang akan menjadi gandholan hidup nanti,” kata Asmuni. Memang ada yang memikirkan nasib para pelawak yakni Eddy Sud yang kemudian membentuk wadah Paguyuban Lawak. Namun setting politik saat itu membuat paguyuban ini juga harus berafiliasi ke Golkar, kekuatan politik yang berkuasa saat itu. Pada masa kampanye, para pelawak yang memang sudah dikenal masyarakat menjadi gula manis perangsang selera yang membuat Golkar makin besar. “Jadi kami ini memberi andil besar bagi kebesaran Golkar,” kata Asmuni. Kehidupan pelawak umumnya memang tetap miskin. Pernah suatu ketika hal ini disampaikan kepada Presiden Soeharto dalam suatu acara bahwa nasib pelawak di hari tua banyak yang merana, saat itu Kepala Negara juga tampak sedih mendengarnya, tetapi kata Asmuni, kehidupan pelawak toh tetap berjalan begitu saja. Banyak yang menjalani hari tua dalam keadaan sakit-sakitan tanpa mendapatkan bantuan, banyak pula yang meninggal dalam kemeranaan seperti Kardjono AC/DC, Hery Koko atau Gepeng. “Saya menangis ketika menjelang wafatnya dulu, Kardjo datang kemari dan menjual 2 anaknya kepada saya,” kata Asmuni. “Hanya ini yang aku punya Mas,” kata Kardjo meyakinkan Asmuni. Mengenang perjalanan hidupnya yang cukup panjang dan memilih jalan hidup sebagai pelawak, Asmuni sampai pada kesimpulan: Hidup memang harus hati-hati, memikirkan kehidupan masa depan bukan hanya terpaku pada kesenangan saat mengalami kejayaan. Asmuni memang sudah mencapai itu, hidup sesuai yang ia harapkan. Dan ia pun mensyukurinya.[]
127
Markeso Seniman, Potret Masyarakat Bawah Berjuang sepanjang hidup, tiada henti, sendirian. Itulah barangkali kalimat yang bisa melukiskan perjalanan hidup Markeso. Di KTP miliknya tertulis Nama: Nachrowi, lahir di Jombang 30 Juni 1933. Sebagaimana tokoh-tokoh terkenal lain asal Jombang, Markeso juga bernasib sama: kurang dikenal di daerah asalnya tapi sangat dikenal di tempat lain. Memang begitulah Markeso, panggilan khas Nachrowi, yang di kalangan seniman Surabaya malah dijadikan ikon Kota Surabaya. Hanya Markeso yang mampu melakoni hidup sebagai seniman ludruk garingan. Keliling dari kampung ke kampung di tengah gegap gempita dan terik matahari Kota Surabaya. Ia membawakan kidungan tanpa diiringi gamelan atau musik apapun. Semua instrumen pengiring keluar dari vokal yang juga bersumber dari mulut Markeso. Dan ia mampu beraksi tiga jam sendirian menghibur penontonnya. Menurut penilaian sejumlah seniman ludruk, itu bukan tanpa alasan sebab kalau diiringi musik gamelan atau alat musik lain, suara Markeso tak pernah pas, selalu menclek. Tapi jika musiknya dari mulut sendiri terasa enak, karena bisa melengking tinggi atau kadang-kadang mengalir renyah seperti air yang mampu menghanyutkan. Dan Markeso memiliki kemampuan interaksi dengan lingkungan sangat baik, saat memainkan kidungannya. Para penonton sangat menyukai hal ini karena bisa ikut-ikutan nyeletuk sambil menggoda Markeso. Tidak marah, Markeso justru menggunakan celetukan penonton untuk bahan kidungannya. Menurut pimpinan Ludruk Karya Budaya, Drs. Eko Edy Susanto, M.Si, interaksinya dengan penonton menjadi kekuatan yang tidak bisa ditandingi seniman lain. Seorang ibu yang tinggal di kawasan Karang Menjangan, Surabaya mengenang, ketika kecil dulu ia bersama kawan-kawan selalu rindu menunggu kedatangan Markeso. Ia membututi Markeso dari kampung ke kampung. Usai bermain di rumah seorang warga, Markeso minta minum. Kepada tuan rumah ia bilang “Tolong konco-koncoku iki sampeyan kasih minum juga,” kata Markeso memintakan minum anak-anak.
128
Ia tangkas memanfaatkan setiap apa yang dilihatnya. Misalnya: tibatiba ia melontarkan kata-kata “E…e e ono wong dipangan arek” sambil memandang seorang ibu yang tengah menyusui anaknya. Tidak hanya berhenti sampai di situ. Ia pun berkata “Nak, ojo ngono sakno ibumu ngko awake growak.” Begitulah Markeso, ngamen dari rumah ke rumah dari satu hajatan ke hajatan yang lain, dijalaninya profesi ngamen dengan hati riang. Dengan pakaian khas seperti kopiah yang dimiringkan atau topi menjulang tinggi ala Turki, ia malah bisa menjadikan apa saja yang ia pakai atau yang ia lihat sebagai bahan lawakannya, menghibur penonton. Tetapi Markeso bukan orang yang punya ambisi duniawi yang sangat tinggi. Ia pandai mengukur diri dan menjalani hidup dengan sederhana bahkan kelewat sederhana untuk ukuran seniman yang sudah punya nama tenar di Kota Surabaya. Di saat akhir kehidupannya, ketika namanya sudah melambung, ia sebenarnya sudah bisa ngamen dari instansi ke instansi, ulang tahun perusahaan-perusahaan swasta bukan lagi hanya dari pintu rumah ke pintu rumah lain di kampung-kampung. Namun Markeso tidak kemaruk. Ia tetap Markeso yang ngidung menghibur masyarakat bawah, tempat ia hidup. Tetangganya di kawasan Banyuurip selalu menyapanya ketika ia tiba dari ngamen “Cak, wis mulih?” Dan Markeso tangkas menjawab dengan jawaban yang sama “Yo, wis oleh sak ghodokan. Tabik,” kata Markeso sambil memberi hormat ala militer pada mereka yang menyapa. Tetapi menurut penuturan teman-temannya, pilihan Markeso untuk menjadi seniman kidungan garingan bukan tanpa alasan. Ia memang tidak pernah bergabung dengan grup ludruk manapun. Ia sendirian melakoni hidup berkesenian lantaran pemberontakan terhadap perlakuan tidak adil yang diterima ludruk. Ia tidak mengerti dan kemudian memberontak karena ludruk ditarik pajak. Baginya sangat tidak masuk akal jika kesenian yang menghibur kalangan masyarakat bawah kota atau masyarakat miskin di desa-desa dan para pemainnya hidup dalam kemiskinan harus membayar pajak. Dalam pikirannya ludruk justru semestinya harus mendapat insentif bukan malah dipajaki. Tetapi Markeso bukan demonstran yang senang berteriak-teriak menyumpah-nyumpahi perlakuan tidak adil itu. Ia memilih berjuang dengan caranya sendiri, menghibur sendiri.
129
Maka Markeso memilih untuk tidak bergabung dengan grup ludruk manapun. Ia sendirian. “Lebih baik saya jalani kesenian ini sendirian begitu saja,” kata pelawak Asmuni menirukan keluhan Markeso. Markeso memang telah memilih jalan hidupnya itu. Ia telah menyapa dan menghibur orang-orang di kampung-kampung Surabaya dan memintakan minum anak-anak yang suka akan kidungannya dan terus membuntutinya. Tetapi itu kini hanya tinggal kenangan. Markeso wafat pada 1 Mei 1996 dan dimakamkan di Tunggorono, Jombang.[]
130
Bolet Seniman Ngremo Lunga Jombang kampung Sengon Lemah geneng akeh wedhine Dada dak sambang kirima ingon Nek gak seneng apa mestine Kidungan itu sudah sangat popular di masyarakat namun tak banyak yang tahu siapa yang menciptakannya. Penciptanya adalah Amenan, pelawak ludruk kenamaan asal Jombang, yang lebih dikenal dengan nama Bolet. Kidungan yang sangat sederhana namun sangat mengena seakan itu merupakan cara Bolet memotret kehidupan keseharian masyarakat sekitarnya. Demikian juga kampung Sengon, sebuah kampung yang berada di kota Jombang, tempat pria ini dilahirkan kemudian dimakamkan. Bukan hanya masyarakat Jombang yang mengenal pemain ludruk ini tetapi juga masyarakat Jawa Timur, berbagai daerah yang tinggal di desa-desa. Bolet telah keliling di berbagai daerah, njajah desa milang kori, hingga ke pelosok-pelosok dusun sehingga ia hidup di hati orang-orang sejak tahun 1970-an hingga 1980-an. Tentu saja suka duka sebagai orang tobong telah kenyang ia alami. Namun Bolet adalah seniman ludruk tradisional serba bisa yang bukan saja menjadi sekedar pemain tetapi juga pencipta. Salah satu ciptaan yang cukup monumental adalah tari remo gaya Jombangan. Dalam dunia ludruk dikenal setidaknya dua gaya tari remo: Suroboyoan dan Jombangan. Remo Suroboyoan diciptakan Munali Fatah sedangkan gaya Jombangan diciptakan Bolet. Memang ada upaya untuk menciptakan daya tari lain, misalnya Mojokertoan seperti yang dilakukan Ali Markasa. Namun di kalangan seniman ludruk dan pemerhati ludruk, gaya yang terakhir ini dinilai belum layak disejajarkan dengan gaya tari remo terdahulu. “Gaya Mojokertoan, kreasi Cak Ali Markasa masih banyak diwarnai gaya Jombangan Cak Bolet,” kata Drs. Eko Edy Susanto, M.Si, pemerhati yang menulis tesis tentang ludruk.
131
Gaya Jombangan ciptaan Bolet sangat khas dan memiliki karakter yang cukup kuat. Misalnya gerakannya santai, sederhana dan membuat pemirsanya mesem karena disertai gerakan yang mengejutkan namun lucu. Hal ini yang juga menjadi ciri tari remo gaya Jombangan atau gaya Bolet adalah penggunaan selendang warna hijau dan merah (ijo dan abang) yang oleh masyarakat sudah lazim menjadi singkatan dari Jom dan Bang. Di Jombang sendiri, selain nama Bolet dan Ali Markasa, seperti diutarakan di atas, masih ada nama lain yang mendedikasikan hidupnya untuk kesenian ludruk yakni Santik (yang terkenal dengan ngamen leroknya) serta Markeso yang terkenal dengan ludruk garingannya. Sangat Ekspresif Menurut Nasrul Ilah, seorang pengamat seni dan tokoh seniman Jatim kelahiran Jombang, Boletan alias Jombangan merupakan karya tari yang sangat ekspresif. Wiraga, wirasa, dan wirama yang disuguhkan dalam Ngremonya Pak Bolet sepenuhnya merupakan pancaran jiwanya. Seperti karya “Potret Dini” karya pelukis maestro Affandi, tidak pernah merefleksikan pesan yang sama pada waktu yang berlainan, bergantung suasana jiawanya; maka tari remo Pak Bolet bisa dikatakan lebih dari itu. Karya “Potret Dini” Affandi merupakan karya individual, sedang remo Pak Bolet merupakan karya kolektif, yang dalam melahirkannya membutuhkan kerjasama dan interaksi dengan unsur lain,” kata Nasrul. “Dasar pelawak, ketika ngremo pun tetap nglawak. Bolet masuk dengan gaya ngglembosi, kontan penonton sudah tertawa melihat daya tampilan Bolet,” ujar Asmuni, tokoh Srimulat. “Bolet melanjutkan dengan gerak-gerak yang terkesan muncul dari keadaan antara lupa dan ingat, namun disuguhkan dengan meyakinkan. Sejak saat itu Ngremo Gaya Boletan lahir dan muncul Karya Seni Jombangan yang monumental.” Pak Bolet yang meninggal pada 15 Agustus 1976 tahun dalam usia 34 tahun ini turut mengharumkan nama Jombang bahkan Jawa Timur dengan karya tarinya. Sebelum tahun 1965, seniman ini ikut menjadi anggota Ludruk “Gaya Baru.” Setelah tahun 1968 ia menjadi pelawak dan penari Ngremo yang bebas alias tidak terikat. Prestasi yang dicapainya antara lain pada tahun 1971 menjadi Juara I Lomba Tari Ngremo se-Jawa Timur setelah setahun sebelumnya menjadi Juara III di Tingkat Kabupaten Jombang.
132
“Karya Pak Bolet sangat patut dihargai. Oleh karena itu pada tahun ini almarhum diusulkan mendapatkan penghargaan dari Bapak Gubernur Jawa Timur,” tandas Drs. H.M. Arifin, MM, mantan Kepala Kantor Parbupora. Jejak Pak Bolet ini terus dinapaktilasi oleh seniman tari maupun seniman ludruk lainnya. Terbukti ketika diselenggarakan Lomba tari seJawa Timur pada tahun 2004, delapan penari ngremo dari ludruk Jombang masuk 10 besar, dan tiga diantaranya meraih sebagai Juara I, II, dan III. Hal ini masih ditambah bintang tamu penari ngremo juga berasal dari Jombang, yaitu Ali Markasa. “Barangkali Jombang tidak akan kekurangan penari Ngremo, baik dari kalangan ludruk maupun dari sanggar tari. Namun kalau mencari yang sekualitas Pak Bolet masih sangat membutuhkan dukungan dan fasilitas yang lebih baik,” kata Heru Cahyono, Staf Kebudayaan pada Kantor Parbupora yang kebetulan juga seorang dalang potensial Jombang. Selain itu, menurut Heru, para penari sangatlah penting menyadari potensi diri. Ngremo Pak Bolet yang ekspresif, dinamis dan kreatif memiliki spontanitas yang tinggi. “Kalau potensi diri tidak tergarap ya akan menghasilkan karya biasa-biasa saja, tidak monumental seperti Ngremo Bolet,” kata Heru pula. Moerbangun, salah seorang anak Pak Bolet, menyampaikan penghargaan atas perhatian terhadap seniman seperti ayahnya. “Sebagai anaknya, kami sangat senang dengan masih adanya perhatian terhadap seniman. Kami sebagai ahli warisnya sangat berterima kasih,” ujar Moerbangun. Dalam kehidupan keluarganya, Pak Bolet Amenan dikaruniai tiga anak. Dua anak lainnya adalah Sri Rakyati dan Marheni.[]
133
Bagian V Epilog
134
Epilog “Sejarah adalah kumpulan kisah orang-orang yang cerdas dan berani”, begitu kata sebuah ungkapan. Siapapun yang telah membaca buku ini barangkali akan sepakat bahwa tokoh-tokoh yang kisahnya ditulis dalam buku ini adalah tokohtokoh cerdas dan berani. Tidak peduli apa latar belakang dan profesi mereka. Mereka adalah orang-orang besar yang telah menghiasi panggung sejarah negeri ini. Cara mereka berbeda-beda, tetapi apa yang diperjuangkan praktis sama, yakni kemerdekaan, kemajuan dan kesejahteraan bangsanya. Lihatlah bagaimana KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, juga bagaimana kiprah Prof. Dr. Nurcholish Madjid lewat cara-caranya yang intelek. Gayanya juga beragam, seperti KH. Yusuf Hasyim yang bicara menggunakan model demonstrasi, tetapi juga ada yang memposisikan diri sebagai aparat birokrasi. Semuanya menjadikan fungsi sesuai dengan bidang yang digelutinya. Kita juga bisa melihat bagaimana para tokoh tersebut meniti kehidupannya, yang semuanya berangkat dari bawah. Tidak ada yang instan, tidak ada yang mendapatkan sesuatu hasil ibarat thenguk-thenguk nemu gethuk, yang mendapatkan hasil tanpa kerja keras. Semuanya berjuang dengan bermandikan berkeringat. Semuanya tersaruk-saruk terlebih dahulu, terlepas dari tingkat kesulitan yang dihadapi. Bahkan, ada pula tokoh yang dalam berjuang harus memberikan nyawanya, seperti seniman ludruk legendaris Cak Durasim. Harapan yang tidak berlebihan, tetapi justru merupakan hal yang amat penting bagi kemajuan seseorang. Suatu inspirasi dari tokoh-tokoh besar sangat dibutuhkan untuk membangun impian besar. Impian besar itu amat penting, sesuatu yang sebenarnya bisa digali dari berbagai sumber di sekeliling kita. Kita bisa memperolehnya melalui interaksi dengan orangorang besar, baik secara langsung maupun hanya melalui buku-buku yang menunjukkan pikiran-pikiran para tokoh tersebut. Kita yakin itu karena seperti ungkapan dari Eleanor Rossevelt. Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada keindahan impianimpiannya.[]
135
Kepustakaan Buku Adams, Cindy. 1965. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Gunung Agung, Jakarta. Adams, Drs Choirul. 1985. Petumbuhan & Perkembangan NU. Bisma Satu, Surabaya. Atmakusuma (Penyunting). 1992. Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Penerbit Harian Kompas, Jakarta. Booher, Diana.2003. Speak with Confidence: Powerful Presentasion that Inform, Inspire, dan Persuade. McGraw-Hill Companies, New York. Campbell, Don. 2001. Efek Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik untuk Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreativitas, dan Menyehatkan Tubuh (Terjemahan dari The Mozart Effect: Tapping the Power of Music to Heal the Body, Strengthen the Mind and Unlock the Creative Spirit). Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Brooks, Cleanth and Robert Penn Warren. 1972. Modern Rhetoric (Shorter Third Edition). Harcourt Brace Jovanovich, New York. Fadeli, Soeleiman H. dan Mohammad Subhan, S.Sos. 2007. Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah. Khalista, Surabaya. Fathoni, M. Anis, dkk (Ed). 2004. Wong Jawa Timur Berpengaruh (Konteks Profesional dan Komunitas). Republika, Jakarta. Giblin, Les. 1995. Cara memiliki Keyakinan dan Kekuasaan Dalam Berurusan dengan Orang Lain (Terjemahan dari How to Have Confidence and Power to Dealing With Peple). Spektrum Mitra Utama, Jakarta. Hadzik, Ishom M. 1999. Mengenal K.H. Hasyim Asy’ari dan Pondok Pesantren Tebuireng, Pustaka Warisan Islam dan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Iacocca, Lee with Sonny Kleinfield. 1988. Lee Iacocca’s Talking Straight. Bantam Books, New York. Kantor parbupora Kabupaten Jombang. 2005. Penelusuran Harijadi Jombang. Keneddy, John F.1975. Profiles in Courage. Pocket Books, Inc., New York. King, Larry dan Billi Gilbert. 2003. Seni Berbicara kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja (Terjemahan dari How to Talk to Anyone, Anytime, Aniwhere). Graha Pustaka Utama, Jakarta. McCulloght, William J. 2001. Teknik Berpidato (Terjemahan dari Hold Your Audience: The Way to Succes in Public Speaking). Pionir Jaya, Bandung.
136
Mohamad, Goenawan. 1982. Catatan Pinggir. Penerbit Grafity Pers, Jakarta. Oetama, Jacob. 2001. Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Ortiz, John M. 2002. Nurturing Your Child With Music: Menumbuhkan AnakAnak yang Bahagia, Cerdas, dan Percaya Ciri dengan Musik. Graha Pustaka Utama, Jakarta. Pease, Allan. 2003. Bahasa Tumbuh: Menguak Pikiran Lawan Bicara Melalui Gerak Bahasa Isyarat (Terjemahan dari Body Language). Prestasi Pustaka, Jakarta. Pitono, Djoko dan Herry Priyono (Ed.). 2001. Obor yang Tak Pernah Padam: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Titian Media, Surabaya. Poedjosoedarmo, Soepono. 2003. Falsafat Bahasa. Universitas Muhammadiyah Press, Surakarta. Sadtono, E. 2003. Setan Bahasa & Pemahaman Lintas Budaya. Masscom Media, Semarang. Said, Tribuana (Penyunting). 1992. H. Rosihan Anwar Wartawan Dengan Aneka Citra. Penerbit Harian Kompas, Jakarta. Sudikan, Setya Yuwana. 1995. Apa & Siapa Orang Jawa Timur, Edisi 19951996. Citra Almater, Semarang. Supriyanto, Henri. 2001. Ludruk Jawa Timur: Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon. Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur. Siberman, Charles E. 1985. A Certain People: American Jews and Their Lives Today. Summit Books, New York. Swantoro, P.2002. Dari Nuku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Wahyudi, Agus. 2006 Sketsa Tokoh Suroboyo. Selasar, Surabaya. Surat kabar Jawa Pos Surabaya Post Surya Kompas Duta Masyarakat Media Indonesia Republika
137