PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN SAPI BALI (Bos javanicus) DI DESA PA’RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR SULAWESI SELATAN
SKRIPSI AYU LESTARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN AYU LESTARI. D14080010. 2012. Produktivitas, Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Hj. Komariah, MSi. : Ir. Dwi Joko Setyono, MS.
Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mampu tumbuh baik dengan makanan yang bernilai gizi rendah dan adaptif terhadap kondisi iklim Indonesia. Takalar adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan populasi sapi potong terbesarnya adalah sapi bali yaitu 99%. Desa Pa’rappunganta menjadi salah satu wilayah pengembangan sapi bali di Kabupaten Takalar. Populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta tahun 2011 adalah 787 ekor atau hanya 2,3% dari jumlah seluruh sapi bali di Kabupaten Takalar. Populasi sapi bali yang relatif kecil di Desa Pa’rappunganta diduga disebabkan sistem pengusahaan yang masih tradisional karena keterampilan peternak yang rendah, keterbatasan pakan berkualitas baik, pencatatan reproduksi belum dilakukan, kurang tersedianya betina dan kecenderungan seleksi negatif pada sapi bali. Dibutuhkan analisis potensi berdasarkan sumberdaya lokal serta faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan usaha ternak sapi bali untuk mengetahui prospek pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui produktivitas sapi bali serta menganalisis potensi dan prospek pengembangan populasinya di Desa Pa’rappunganta. Penelitian ini dilakukan di Desa Pa’rappunganta, Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada bulan Agustus hingga September 2011. Responden dalam penelitian ini sebanyak 42 orang peternak. Produktivitas ternak ditinjau dari sifat reproduksi yaitu umur pubertas, umur kawin pertama, umur beranak pertama, tingkat kelahiran, service per conception (S/C), lama berahi kembali setelah melahirkan, selang beranak dan tingkat kematian anak. Data reproduksi sapi bali diperoleh dengan wawancara terhadap peternak. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : umur pubertas sapi bali betina ialah 2,1±0,52 tahun, umur kawin pertama 2,2±0,51 tahun, umur beranak pertama 3,1±0,59 tahun, service per conception (S/C) 1,9±0,94 tahun, tingkat kelahiran anak 98,1%, lama berahi kembali setelah beranak 82±36,09 hari, selang beranak 370±36 hari, dan tingkat kematian anak 5,38%. Nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) di Desa Pa’rappunganta menunjukkan bahwa desa tersebut masih dapat menampung ternak ruminansia sebesar 137,97 ST. Analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities dan threats) dan KPPTR menunjukkan bahwa sapi bali memiliki prospek pengembangan yang baik di Desa Pa’rappunganta. Kata-kata kunci: sapi bali, produktivitas, potensi, prospek, Sulawesi Selatan
ABSTRACT Productivity, Potency, and Development Prospect of Bali Cattle (Bos javanicus) in Pa’rappunganta Village Takalar Region South Sulawesi Lestari, A., Komariah, and Setyono, D. J. Bali cattle is one of Indonesia indigenous cattle with high adaptivity of environment and feed. The aims of this study was to determine the productivity, potency, and development prospect of bali cattle in Pa'rappunganta village. This research was conducted from July to August 2011 in Pa’rappunganta village, Takalar region, South Sulawesi. Primary data was obtained through interviewed of 42 farmers. Secondary data was obtained from the village government and related agencies. Data of village profile, farming management and resources were analyzed descriptively. This study also analyzed reproductive characteristic, SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats) and Increasement Population Capacity of Ruminant (IPCR). The results showed that the age of first oestrus in female bali cattle average was 2,1 years and age of first mating was 2,2 years. Service per conception (S/C) was on average 1,9 times and calving rate mean was 98,1%. Oestrus postpartum of bali cattle in this study was an average of 81.95 days, calving interval was 370±36 days and calf mortality was 5,8%. Result of IPCR analysis showed that capacity of ruminant increase was 137,97 Animal Unit. The result indicated that bali cattle still potential to be developed in Pa’rappunganta village. Result of SWOT analyzed and IPCR showed that bali cattle had a good prospect to be developed in Pa’rappunganta village. Keywords: bali cattle, productivity, potency, prospect, South Sulawesi
PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN SAPI BALI (Bos javanicus) DI DESA PA’RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR SULAWESI SELATAN
AYU LESTARI D14080010
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul : Produktivitas, Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan Nama : Ayu Lestari NIM
: D14080010
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Ir. Hj. Komariah, M.Si.) NIP. 19590515 198903 2 001
Pembimbing Anggota,
(Ir. Dwi Joko Setyono, M.S.) NIP. 19601123 198903 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 16 Juli 2012
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Ayu Lestari dilahirkan pada tanggal 26 Januari 1991 di Takalar, Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. H. Muh. Syukri dan Ibunda Dra. Hj. Syarpah Syam. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di SDN 1 Binamu dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Negeri 3 Binamu. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Takalar. Penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi di tahun 2008 di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semasa menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif berorganisasi seperti sekretaris kelas A27 TPB periode 2008-2009, anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Sulawesi Selatan (OMDA IKAMI) periode 2008-2009, staf divisi politik dan kajian strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D) periode 20092010, anggota paduan suara Fakultas Peternakan Graziono Symphonia periode 20092010, serta koordinator Badan Pengawas Organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (BPO Himaproter) periode 2010-2011. Penulis pernah mengikuti lomba debat politik TPB tahun 2008 dan menjadi juara III, serta lomba menulis cerpen Fapet Show Time tahun 2010 dan menjadi juara II. Penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan diantaranya anggota divisi acara pada Seminar Nasional Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI) tahun 2010 dan koordinator acara Trobos Goes to Campus tahun 2010. Penulis juga senang mencari pengalaman baru dengan menjadi peserta magang di Unit Peternakan Terpadu Sapi Perah Cikole, Bandung pada tahun 2010.
KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Produktivitas, Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Salam dan salawat penulis tujukan bagi Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2011 di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar. Sapi bali sebagai sapi asli Indonesia menjadi topik penelitian dalam skripsi ini. Sapi bali memiliki keunggulan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan pakan. Tingginya permintaan masyarakat terhadap sapi bali menjadi peluang besar bagi usaha ternak sapi bali. Sapi bali di Takalar umumnya diternakkan secara tradisonal dengan sistem semi intensif. Populasi sapi bali dapat mengalami penurunan apabila tidak ada pembenahan dalam pemotongan pejantan, pemanfaatan teknologi inseminasi buatan, manajemen pemeliharaan dan lainnya. Potensi pengembangan sapi bali perlu diketahui dan dimanfaatkan untuk memaksimalkan prospek pengembangan sapi bali. Penelitian mengenai sapi bali ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas dalam hal reproduksi, serta potensi dan prospek pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan karena kendala yang dihadapi saat penelitian. Penulis berharap adanya saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat pembaca dan bagi pengembangan ternak lokal Indonesia. Bogor, Agustus 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ........... ....................................................................................
i
ABSTRACT... ........... ....................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ... ....................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
DAFTAR ISI.. ........... ....................................................................................
vii
DAFTAR TABEL...... ....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR . ....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xi
PENDAHULUAN ..... ....................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Tujuan ........... ....................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
3
Sapi Bali ......... .................................................................................... Produktivitas .. .................................................................................... Reproduksi .............................................................................. Umur Berahi Pertama (Puberty) ................................. Umur Kawin Pertama (First Mating) .......................... Service per Conception (S/C) ..................................... Umur Beranak Pertama (First Parturition).................. Tingkat Kelahiran (Calving Rate)............................... Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum)............ Selang Beranak (Calving Interval) ............................. Kematian Anak (Calf Mortality)................................. Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia ........... Analisis SWOT…… ...........................................................................
3 5 5 6 7 8 8 8 9 10 10 11 11
MATERI DAN METODE ..............................................................................
12
Lokasi dan Waktu ............................................................................... Materi . ........... .................................................................................... Metode ........... .................................................................................... Rancangan dan Analisis Data ............................................................. Analisis Deskriptif .................................................................. Analisis Sifat Reproduksi ....................................................... Analisis KPPTR ...................................................................... Analisis SWOT .......................................................................
12 12 12 12 12 12 13 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
16
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ..................................................... Profil Desa Pa’rappunganta .................................................... Keadaan Topografi ................................................................ Keadaan Demografi ................................................................ Mata Pencaharian .................................................................... Karakteristik Peternak dan Usaha Ternak Sapi Bali ........................... Umur Peternak ........................................................................ Tingkat Pendidikan ................................................................. Motivasi Beternak ................................................................... Pengalaman Beternak ............................................................. Kepemilikan Sapi Bali ............................................................ Populasi Sapi Bali ............................................................................... Manajemen Pemeliharaan Sapi Bali ................................................... Perkandangan .......................................................................... Sistem pemeliharaan ............................................................... Pakan .. .................................................................................... Perawatan Sapi Bali ................................................................ Performa Sifat Reproduksi Sapi Bali .................................................. Umur Berahi Pertama (Puberty) ............................................. Umur Kawin Pertama (First Mating) ...................................... Service per Conception (S/C) ................................................. Umur Beranak Pertama (First Parturition).............................. Tingkat Kelahiran (Calving Rate)........................................... Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum)........................ Selang Beranak (Calving Interval) ......................................... Kematian Anak (Calf Mortality)............................................. Analisis KPPTR .................................................................................. Analisis SWOT ...................................................................................
16 16 18 18 19 20 20 21 23 24 24 26 27 27 29 31 34 35 36 37 37 38 38 39 39 39 40 41
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
49
Kesimpulan ..... ................................................................................... Saran ..... ......... ...................................................................................
49 49
UCAPAN TERIMAKASIH ...........................................................................
50
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
51
LAMPIRAN.... ........... ...................................................................................
56
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Curah Hujan Rata-rata per-Bulan Desa Pa’rappunganta ....................
18
2.
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Pa’rappunganta Tahun 2010 .... ....................................................................................
18
Sebaran Penduduk Desa Pa’rappunganta Berdasarkan Mata Pencaharian .... ....................................................................................
19
4.
Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...........................
22
5.
Sebaran Peternak Berdasarkan Lama Beternak ..................................
24
6.
Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Sapi Bali yang Dipelihara .....
25
7.
Sebaran Peternak Berdasarkan Kepemilikan Sapi Bali ......................
25
8.
Laju Perkembangan Populasi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta .......
27
9.
Sebaran Peternak Berdasarkan Pakan Tambahan yang Digunakan ...
33
10.
Sifat Reproduksi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta ...........................
36
11.
Nilai KPPTR di Desa Pa’rappunganta ................................................
40
12.
Faktor Internal Pengembangan Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta ....
42
13.
Faktor Eksternal Pengembangan Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta ..
45
3.
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Sapi Bali Betina ...............................................................................
4
2.
Sapi Bali Jantan ................................................................................
4
3.
Matriks Grand Strategy ...................................................................
15
4.
Peta Kabupaten Takalar ...................................................................
16
5.
Topografi Wilayah Desa Pa’rappunganta (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah ...............................................................
17
6.
Sebaran Peternak Berdasarkan Umur ..............................................
20
7.
Sebaran Peternak Berdasarkan Motivasi Beternak Sapi Bali ..........
23
8.
Kandang Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta (a) Kandang dengan Atap (b) Kandang Tanpa Atap .........................................................
27
Tempat Pakan dan Tempat Minum Sapi Bali (a) Tempat Minum (b) Tempat Pakan .............................................................................
28
10.
Kandang Sapi Permanen di Desa Pa’rappunganta ...........................
29
11.
Sapi Bali yang Digembalakan di Desa Pa’rappunganta (a) Sapi Digembalakan di Kebun Tebu (b) Sapi Digembalakan di Sawah Bera .... ........... .................................................................................
30
12.
Sapi Bali yang Dinaungkan..............................................................
30
13.
Cara Pengangkutan Pakan oleh Peternak Sapi Bali (a) menggunakan Gerobak (b) Berjalan Kaki........................................
31
Matriks Grand Strategy Pengembangan Sapi Bali ..........................
48
9.
14.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Form Kuesioner Wawancara Peternak ................................................
57
2.
Form Analisis Faktor Internal dan Faktor Eksternal ...........................
62
3.
Perhitungan Analisis KPPTR di Desa Pa’rappunganta.......................
63
PENDAHULUAN Latar Belakang Prioritas pembangunan peternakan Indonesia di masa yang akan datang cenderung berada di luar pulau Jawa. Pertimbangan utamanya adalah masih tersedianya lahan yang luas dan kepadatan penduduk yang masih sedikit, memberikan prospek bagi pengembangan usaha peternakan khususnya sapi. Hal tersebut sejalan dengan program dua juta sapi dan kerbau tahun 2016 yang dicanangkan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Bangsa sapi yang mendominasi di Sulawesi Selatan adalah sapi bali dengan jumlah populasi pada Juni 2011 sebesar 954.901 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan, 2012). Takalar adalah salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan dengan rumah tangga pemelihara sapi bali sebanyak 8363 kepala keluarga. Kabupaten Takalar pada tahun 2011 memiliki populasi sapi bali 34.747 ekor atau 3,64% dari total keseluruhan ternak sapi bali di Sulawesi Selatan (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan, 2012). Pemanfaatan sapi bali sebagai hewan ternak dilatarbelakangi oleh kemampuan adaptasi dan produktivitas sapi bali yang baik dalam hal kesuburan. Sapi bali dimanfaatkan oleh masyarakat Takalar sebagai penghasil daging untuk dikonsumsi saat pesta pernikahan, khitanan atau acara adat lainnya serta sebagai hewan kurban saat hari raya Idul Adha, sehingga kebutuhan akan daging sapi bali relatif besar. Desa Pa’rappunganta yang berada di Kabupaten Takalar merupakan salah satu wilayah pengembangan sapi bali. Populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta pada tahun 2008 sebesar 722 ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 904 ekor (Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar, 2011). Desa Pa’rappunganta
merupakan wilayah pertanian dan perkebunan yang memiliki
potensi besar untuk pengembangan usaha ternak khususnya sapi bali. Peternak sapi bali melakukan pemeliharaan ternak secara tradisional beriringan dengan sistem usahatani lain seperti padi, tebu dan kacang hijau. Sampai saat ini produktivitas peternakan sapi bali belum optimal bila dibandingkan dengan subsektor lainnya di sektor pertanian Kabupaten Takalar. Hal ini diduga dilatarbelakangi oleh sistem pengusahaan sapi bali yang masih tradisional. Rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, kurangnya pejantan, penampilan reproduksi
belum maksimal, kualitas sumberdaya manusia (peternak) yang masih rendah dan tidak tersedianya sarana penunjang produksi peternakan dapat menyebabkan produktivitas yang tidak optimal. Dibutuhkan analisis produktivitas sapi bali dan potensi
berdasarkan
sumberdaya
lokal
desa
untuk
mengetahui
prospek
pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Tujuan Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
dan
menganalisis
produktivitas sapi bali serta potensi dan prospek pengembangan populasinya di Desa Pa’rappunganta, Kabupaten Takalar.
2
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sumber sapi bali murni di Indonesia adalah Pulau Bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan, (6) heterosis positif (penyimpangan penampilan yang diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi (Pane, 1990). Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang penting dan berperan dalam pengembangan industri ternak di Indonesia (Talib, 2002). Santosa dan Harmadji (1990) menyatakan bahwa dalam rangka penyebaran dan perbaikan mutu genetik sapi lokal, sapi bali menjadi prioritas karena sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang baru (tidak selektif terhadap pakan) dan tingkat kelahiran yang tinggi. Pemilihan sapi bali menurut Mangkoewidjoyo (1990), memberikan keuntungan dalam usaha meningkatkan populasi sapi di Indonesia karena sapi bali sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Sapi bali memiliki warna bulu merah bata saat muda, tetapi pada jantan warna tersebut akan menjadi hitam setelah dewasa. Ciri-ciri khusus sapi bali adalah warna putih pada bagian pantat, pinggiran bibir atas, kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku serta pada bagian dalam telinga (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sepanjang punggung terdapat bulu hitam yang membentuk garis tipis dari bagian belakang bahu hingga ke bagian ekor. Pada sapi bali jantan, bulu kemerahan di tubuh sapi akan menjadi gelap ketika umur mencapai 12-18 bulan. Sejalan dengan bertambahnya kedewasaan sapi jantan, bulunya akan berwarna kehitam-hitaman, namun garis hitam di sepanjang punggung masih tampak jelas (Talib, 2002). Warna kehitaman bulu sapi bali jantan disebabkan oleh hormon testosteron sehingga pada sapi bali jantan yang dikebiri, warna bulunya akan berubah
kembali menjadi coklat kemerah-merahan (Darmadja, 1990). Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan perbedaan antara sapi bali jantan dan betina.
Gambar 1. Sapi Bali Betina Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2012)
Gambar 2. Sapi Bali Jantan Sumber : Departemen Pertanian (2010)
Hasil penelitian Liwa (1990) menunjukkan tinggi pundak sapi bali jantan dewasa yaitu 116,31 cm dan sapi bali betina yaitu 105,97 cm di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Pane (1990) menyatakan berat rata-rata sapi bali jantan umur 2 tahun adalah 210 kg dan sapi bali betina memiliki berat rata-rata 170 kg pada umur 2 tahun. Lingkar dada sapi bali jantan 181,4 cm sedangkan sapi bali betina 160 cm. Bobot lahir anak sapi bali berdasarkan hasil penelitian Prasojo et al. (2010) yaitu antara 10,5 kg sampai dengan 22 kg dengan rata-rata 18,9±1,4 kg untuk anak sapi
4
jantan. Sementara anak sapi betina memiliki kisaran bobot lahir antara 13 kg sampai dengan 26 kg dengan rataan 17,9±1,6 kg. Penambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali pra-sapih antara 0,33 kg–0,48 kg, sedangkan PBBH pasca-sapih sebesar 0,20 kg-0,75 kg menurut hasil penelitian Panjaitan et al. (2003). Daerah sumber bibit utama sapi bali berada di Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan populasi maka Sulawesi Selatan memiliki populasi sapi bali terbesar di Indonesia (954.901 ekor menurut Badan Pusat Statistik tahun 2012). Sejarah penyebaran sapi bali di Sulawesi Selatan yaitu pada tahun 1927 sapi bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi) sebanyak 5 ekor dan berkembang biak hingga 50 ekor pada tahun 1940. Tahun 1947 sapi bali disebarkan ke propinsi ini secara besar-besaran. Sapi-sapi tersebut beserta sapi yang telah ada sebelumnya, menjadi sumber awal sapi bali di Sulawesi Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi bali terbanyak di Indonesia. Bencana penyakit jembrana pada tahun 1964 di Bali yang terjadi secara besar-besaran menyebabkan sapi bali tidak boleh dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai saat itu sumber bibit sapi bali di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib, 2002). Produktivitas Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong, reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap tahun. Reproduksi Sapi Bali Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup dimulai dengan bersatunya sel telur betina dengan sel sperma jantan menjadi zigot yang disusul oleh kebuntingan kemudian diakhiri dengan kelahiran. Proses ini pada ternak dimulai setelah ternak jantan dan betina mengalami pubertas atau dewasa kelamin (Hardjopranjoto, 1995). Bearden et al. (2004) menjelaskan ada tiga tujuan reproduksi pada ternak yaitu : (1) mempertahankan spesies ternak dengan menghasilkan keturunan, (2) menghasilkan makanan. Pemeliharaan ternak dilakukan oleh manusia untuk memperoleh produk seperti daging, susu dan lain-lain. Reproduksi
5
memungkinkan keberlanjutan rantai makanan tersebut dengan baik, (3) pengembangan genetik ternak yang memanfaatkan proses reproduksi alami ternak. Efisiensi reproduksi yaitu ukuran kemampuan sapi betina untuk bunting dan menghasilkan anak hidup karena anak sapi merupakan produk utama. Hal tersebut menjadikan efisiensi reproduksi maksimal sangat penting dalam menentukan keuntungan usaha ternak sapi (Ball dan Peters, 2004). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), jarak antar melahirkan (calving interval), jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), angka perkawinan perkebuntingan (service per conception) dan angka kelahiran (calving rate). Sapi bali yang kondisi badannya normal dan diberi kesempatan untuk kawin akan menunjukkan reproduksi maksimal yang diharapkan. Tingginya tingkat reproduksi sapi bali tersebut dapat terlihat dari selang beranak yang pendek mendekati satu tahun (Martojo, 1990). Pengelolaan reproduksi ternak yang baik sangat diperlukan agar diperoleh keuntungan yang besar. Faktor pengelolaan yang perlu mendapat perhatian menurut Hardjopranjoto (1995) yaitu : (1) pemberian pakan yang berkualitas baik dan cukup, (2) lingkungan yang mendukung perkembangan ternak, (3) tidak menderita penyakit khususnya penyakit menular kelamin, (4) tidak menderita kelainan anatomi alat kelamin yang bersifat menurun, (5) tidak menderita gangguan hormon khususnya hormon reproduksi. Umur Berahi Pertama (Puberty). Berahi pertama atau pubertas didefinisikan sebagai
waktu munculnya estrus pertama kali yang diikuti dengan ovulasi (Ball dan Peters, 2004). Awal pubertas pada ternak dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat, tergantung pada bangsa, tingkatan makanan dan faktor lainnya (Salisbury dan VanDemark, 1985). Ternak yang dikawinkan pada saat estrus pertama atau pubertas, maka persentase kesulitan beranak akan tinggi. Toelihere (1979) menjelaskan bahwa pengaruh lingkungan menyebabkan estrus sering terjadi pada umur ternak yang masih muda sehingga apabila terjadi konsepsi maka akan berbahaya saat kelahiran karena tubuh induk belum berkembang. Sapi umumnya akan mengalami pubertas saat mencapai 34% sampai 45% berat tubuh dewasa namun pengawinan tidak disarankan hingga betina mencapai
6
sekitar 55% berat dewasa. Sapi pedaging bangsa Eropa mencapai pubertas pada umur 10-15 bulan (Bearden et al., 2004). Toelihere (1979) menyatakan bahwa sapi mengalami pubertas antara umur 4 bulan sampai 24 bulan. Kondisi makanan yang kurang baik di Indonesia menyebabkan pubertas terjadi pada umur yang lebih tua dibandingkan sapi bangsa Eropa. Sapi bali mengalami pubertas pada umur di atas 2 tahun (Toelihere, 1981a). Bearden et al. (2004) menjelaskan bahwa faktor genetik dan lingkungan akan mempengaruhi waktu terjadinya pubertas pada sapi. Umumnya, setiap faktor yang memperlambat pertumbuhan ternak akan menunda terjadinya pubertas. Faktor yang mempengaruhi waktu pubertas pada sapi menurut Ball dan Peters (2004) yaitu jenis ternak, nutrisi, bobot badan, musim serta kehadiran pejantan di sekitar betina. Faktor lain yang mempengaruhi pubertas menurut Toelihere (1979) adalah suhu lingkungan. Sapi dara yang ditempatkan di kandang terbuka dan berhubungan dengan udara luar akan estrus pertama pada umur 320 hari. Umur Kawin Pertama (First Mating). Umur kawin pertama merupakan umur ternak
ketika dikawinkan untuk pertama kalinya. Umur kawin pertama pada sapi yang dianjurkan yakni pada umur 14-22 bulan. Hal tersebut disebabkan hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan hingga pertumbuhan badannya memungkinkan kebuntingan dan kelahiran normal (Toelihere, 1979). Umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi (Salisbury dan VanDemark, 1985). Rata-rata umur kawin pertama sapi bali di Sulawesi Selatan berdasarkan penelitian Liwa (1990) adalah 33,4±4,7 bulan. Hardjopranjoto (1995) menjelaskan waktu perkawinan yang tepat bagi hewan betina adalah faktor yang penting karena dapat menghasilkan keuntungan besar bagi peternak jika kebuntingan terjadi pada waktu yang tepat. Waktu pengawinan yang tepat bagi sapi dara yang baik pemeliharaannya yaitu pada umur 14-16 bulan. Sapi dara yang kurang baik pemeliharaannya sebaiknya dikawinkan pada umur 2-3 tahun. Sapi dara yang baru dikawinkan di atas 3 tahun cenderung mengalami penurunan prestasi reproduksi. Pengawinan sapi dara pada umur di atas 4 tahun cenderung terjadi siklus berahi yang tidak teratur, terbentuk kista ovarium dan gangguan reproduksi.
7
Service per Conception (S/C). Service per conception (S/C) atau yang seringkali disebut dengan jumlah perkawinan tiap konsepsi merupakan suatu konsep kuantitatif yang menggambarkan tingkat kesuburan ternak. Service per conception merupakan hal penting untuk menduga potensi fertilitas jantan baik melalui perkawinan alam maupun inseminasi buatan (Salisbury dan VanDemark, 1985). Toelihere (1981) menyatakan nilai S/C 1,6 masih wajar pada sapi. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Ball dan Peters (2004) bahwa nilai S/C rata-rata sapi adalah 1,64 kali. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa penyebab kawin berulang pada ternak adalah kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini. Hasil penelitian Kadarsih (2004) terhadap sapi bali di daerah transmigrasi Bengkulu menunjukkan bahwa pada nilai S/C sapi bali pada dataran rendah sebesar 2,5 kali, daerah berbukit 1,85 kali dan dataran tinggi 2,1 kali. Fordyce et al. (2003) melaporkan bahwa kebuntingan sapi bali terjadi setelah dua kali perkawinan. Hal tersebut normal terjadi pada sapi-sapi di daerah tropis dan sekitar 30% disebabkan oleh kematian embrionik. Umur Beranak Pertama (First Parturition). Beranak disebut juga proses kelahiran yang dimulai dengan pelunakan dan diawali pembesaran serviks yang kemudian diikuti dengan kontraksi uterus. Proses beranak diakhiri ketika janin dan membran plasenta dikeluarkan (Bearden et al., 2004). Dijelaskan Hardjopranjoto (1995) bahwa sapi dara yang dapat melahirkan anak sapi pertama pada umur 2 tahun akan memiliki masa laktasi dan jangka waktu bereproduksi lebih lama dibandingkan dengan sapi dara yang beranak pertama pada umur 3 tahun atau lebih. Hasil penelitian Liwa (1990) terhadap sapi bali di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa rataan umur induk beranak pertama adalah 41,8±1,8 bulan. Gunawan et al. (2011) yang meneliti di pusat pembibitan sapi bali di Bali menyatakan umur beranak pertama sapi bali rata-rata 43,86 bulan yang dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dalam pakan sedangkan menurut Talib et al. (2003), umur beranak pertama sapi bali di Sulawesi Selatan adalah pada umur 36 bulan (3 tahun). Tingkat Kelahiran (Calving Rate). Tingkat kelahiran anak sapi merupakan ukuran yang paling sesuai untuk mengetahui kesuburan ternak. Anak sapi yang dihasilkan dapat digunakan baik sebagai pengganti induk maupun sebagai produk utama yakni
8
penghasil daging. Kondisi yang paling baik akan memungkinkan induk menghasilkan satu anak sapi per tahun (Ball dan Peters, 2004). Hasil penelitian Pane (1990), tingkat kelahiran sapi bali di Sulawesi Selatan sebesar 76%, Nusa Tenggara Barat sebesar 72% dan Bali sebesar 69%. Calving rate sapi bali di Sulawesi Selatan sebesar 60,4% berdasarkan laporan Talib et al. (2003). Sariubang et al. (2009) menyatakan tingkat kelahiran sapi bali pada sistem pemeliharaan intensif sebesar 83,3% sedangkan sistem tradisional hanya sebesar 66,7%. Ball dan Peters (2004) menjelaskan bahwa di bawah kondisi yang ideal sekalipun (dengan 100% sapi induk yang normal dan 100% efisiensi deteksi berahi), tingkat kelahiran tidak dapat mencapai 100%. Optimalnya hanya 60-70% pengawinan sapi betina yang akan dapat menghasilkan anak. Jumlah kegagalan pengawinan atau service yang di atas 50% harus memiliki alasan yang spesifik. Penyebab kegagalan tersebut dapat melibatkan interaksi antara genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan ternak. Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum). Sapi-sapi betina sebagian besar akan kembali berahi 21-80 hari sesudah melahirkan, dengan rata-rata 70 hari (Salisbury dan VanDemark, 1985). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa setelah melahirkan, induk akan kembali menunjukkan gejala birahi antara minggu kedua sampai minggu kesepuluh walaupun uterus belum kembali normal atau involusi normal. Involusi uterus membutuhkan waktu 3-6 minggu setelah ternak beranak. Kesuburan induk akan kembali normal 40-60 hari pasca beranak. Hasil penelitian Liwa (1990) menunjukkan jarak berahi kembali sesudah beranak sapi bali di Sulawesi Selatan, rata-rata 178,1±40,3 hari. Sariubang et al. (2009) yang meneliti sapi bali di Kabupaten Takalar menjelaskan bahwa pada sapi bali yang dipelihara secara intensif dengan pakan rumput segar, dedak dan jerami fermentasi, oestrus postpartum terjadi pada hari ke-81 setelah beranak. Sapi bali yang dipelihara secara tradisional oestrus postpartum-nya lebih lama yaitu 107 hari setelah beranak. Gejala estrus sebenarnya sudah mulai terlihat 40–60 hari setelah beranak akan tetapi estrus yang disertai pembuahan (kebuntingan) terjadi lebih cepat pada induk sapi yang mendapat pakan yang lebih baik dan dipelihara intensif, dibandingkan sapi bali yang dipelihara secara tradisional.
9
Selang Beranak (Calving Interval). Selang beranak adalah jarak waktu antara satu kelahiran ke kelahiran atau beranak selanjutnya. Jarak beranak sangat dipengaruhi waktu oestrus postpartum (berahi kembali setelah beranak) maupun days open (masa kosong atau saat sapi betina tidak bunting), yaitu semakin besar days open maka jarak beranak juga semakin panjang (Romjali dan Rasyid, 2007). Selang beranak yang lebih singkat akan menyebabkan tingkat kelahiran yang lebih tinggi di tahun-tahun berikutnya. Selang beranak sapi bali rata-rata 360,93 hari (Gunawan et al., 2011). Bamualim dan Wirdahayati (2003) melaporkan bahwa ratarata selang beranak sapi bali adalah 15,7±1,8 bulan. Penelitian Romjali dan Rasyid (2007) menunjukkan selang beranak sapi bali adalah rata-rata 388,6 hari sedangkan hasil penelitian Sutan (1988) adalah 444,46 hari. Sutan (1988) juga menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi selang beranak adalah service per conception, jarak antara melahirkan terdahulu dengan kawin pertama setelah bunting, dan lama kebuntingan. Kematian Anak (Calf Mortality). Hasil penelitian Liwa (1990) di Sulawesi Selatan menunjukkan kematian anak sapi bali dibawah umur 1 tahun sebesar 8,3%. Hal tersebut sejalan dengan Talib et al. (2003) yang menyatakan tingkat kematian anak sapi bali atau calf mortality di Sulawesi Selatan sebesar 8% dan Gunawan et al. (2011) sebesar 7,58%. Kematian anak sapi bali hasil penelitian Kadarsih (2004) menunjukkan di dataran rendah sebesar 9,02%, daerah berbukit 3,20%, dan daerah pegunungan sebesar 6,43%. Kematian anak sapi lebih tinggi di daerah dataran rendah. Penyebabnya diduga karena manajemen dan stres pada ternak. Penelitian Sariubang et al. (2009) di Kabupaten Takalar menunjukkan pemberian rumput segar dan pakan tambahan berupa dedak padi dan jerami fermentasi pada sapi bali menunjukkan tingkat kematian anak 0%. Sementara itu, sapi bali yang hanya digembalakan tanpa pemberian pakan tambahan tingkat kematian anak mencapai 14%. Kematian anak sapi yang tinggi tersebut disebabkan kekurangan gizi terutama vitamin dan mineral sehingga anak sapi lahir cacat ataupun lemah. Gunawan et al. (2011) menyatakan bahwa sifat keindukan yang rendah dan manajemen dapat menjadi penyebab tingginya jumlah kematian anak sapi bali. Musim kering dimana sumber pakan kualitasnya rendah juga menjadi faktor penyebab karena akan mempengaruhi produksi susu induk.
10
Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Kapasitas suatu wilayah dalam penyediaan pakan ternak dapat dianalisis dengan metode KPPTR sebagai suatu pendekatan sehingga diketahui potensi wilayahnya. Kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (1974) digunakan dalam metode ini. Potensi tersebut dapat dinyatakan dalam nilai potensi (ton/BK/tahun) atau nilai riil yakni jumlah unit ternak (animal unit) yang dapat ditampung di wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya dapat pula diketahui kapasitas peningkatan populasi ternak di suatu wilayah peternakan apabila populasi ternak ruminansia diketahui (Nell dan Rollinson, 1974). Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dengan berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) dan disaat yang bersamaan meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor tersebut, merumuskan dan mengevaluasi strategi dalam kondisi saat ini, hal ini yang disebut analisis situasi (Rangkuti, 1997). Analisis situasi menyangkut data dari berbagai faktor baik yang berpengaruh positif atau negatif serta peluang untuk mengembangkannya di masa yang akan datang (Fletcher, 1990). Model yang paling popular dalam analisis situasi adalah analisis SWOT.
11
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Pa’rappunganta, Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli hingga Agustus 2011. Materi Data primer diperoleh dari responden sebanyak 42 orang yang berasal dari populasi peternak 341 orang. Jumlah total sapi bali yang dimiliki oleh responden penelitian adalah 210 ekor. Data sekunder diperoleh dari Pemerintah Desa Pa’rappunganta, Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar. Alat yang digunakan adalah borang kuesioner, alat tulis, kamera dan laptop. Metode Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Penentuan responden menggunakan metode purposive sampling dengan penetapan kriteria tertentu. Kriteria responden adalah penduduk Desa Pa’rappunganta yang memelihara sapi bali dan bersedia diwawancarai. Observasi dilakukan pada lokasi penelitian dan didokumentasikan. Rancangan dan Analisis Data Analisis Deskriptif Keadaan umum serta potensi pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta digambarkan dengan analisis deskriptif. Keadaan umum yang digambarkan yaitu profil Desa Pa’rappunganta, sumberdaya peternak dan lahan serta manajemen pemeliharaan. Analisis Sifat Reproduksi Pengamatan pada sifat reproduksi sapi bali di lokasi penelitian dilakukan dengan wawancara responden. Sifat reproduksi yang diamati adalah umur pubertas (puberty), umur kawin pertama (first mating), service per conception (S/C), umur
beranak pertama (first parturition), lama berahi kembali setelah beranak (oestrus postpartum), selang beranak (calving interval) dan kematian anak (calf mortality). Analisis KPPTR (Nell dan Rollinson, 1974) Metode pendekatan yang digunakan untuk melihat kapasitas suatu wilayah dalam penyediaan pakan ternak adalah analisis kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia atau KPPTR. Nilai KPPTR dapat dihitung menggunakan metode Nell dan Rollinson (1974) dengan rumus sebagai berikut : KPPTR (SL) = KTTR – Populasi Riil 1) KTTR = Keterangan : k Le j
: koefisien ketersediaan lahan penghasil hijauan rumput : lahan penghasil hijauan rumput : koefisian ketersediaan produksi Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP) Li : lahan penghasil HHSP 15 ton/BK/tahun : rata-rata produksi padang rumput di Indonesia 2,3 : kebutuhan ton BK/tahun setiap ST KTTR : kapasitas tampung ternak ruminansia KPPTR (SL) : KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan Analisis SWOT (Rangkuti, 1997) Analisis SWOT digunakan untuk mempelajari prospek pengembangan sapi bali dari faktor internal strengths dan weaknesses serta faktor eksternal opportunities dan threats di Desa Pa’rappunganta. Langkah dalam melakukan analisis ini yakni membuat matrik faktor strategi eksternal atau External Factor Analysis Summary (EFAS) dan matrik faktor strategi internal atau Internal Factor Analysis Summary (IFAS) terlebih dahulu. 1) Bobot nilai dalam matrik IFAS a) Kolom pertama diisi dengan 5 sampai 10 kekuatan dan kelemahan. b) Masing-masing faktor diberi bobot pada kolom kedua mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Maksimal jumlah seluruh bobot tidak boleh lebih dari 1,00
13
c) Kolom ketiga diisi dengan rating untuk masing-masing faktor dengan skala mulai dari 1 sampai 4 berdasarkan besar kecilnya pengaruh faktor tersebut terhadap pengembangan ternak sapi bali yang ada di Desa Pa’rappunganta. d) Kolom keempat diisi dengan nilai yang diperoleh dengan cara mengalikan bobot dan rating. 2) Bobot nilai dalam matrik EFAS a) Kolom pertama diisi dengan 5 sampai 10 peluang dan ancaman. b) Pemberian bobot pada kolom kedua mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah total bobot tidak boleh melebihi 1,00. c) Kolom ketiga diisi dengan rating untuk masing-masing faktor dengan skala mulai dari 1 sampai 4 berdasarkan besar kecilnya pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi yang ada di Desa Pa’rappunganta. d) Nilai pada kolom keempat diperoleh dengan cara mengalikan bobot dan rating masing-masing faktor peluang dan ancaman. Nilai yang telah diperoleh untuk setiap faktor internal dan eksternal digunakan untuk menentukan posisi dalam matriks grand strategy yang disajikan dalam Gambar 3. Nilai axis diperoleh dari total nilai kekuatan dikurangi nilai kelemahan. Nilai ordinat diperoleh dari nilai peluang dikurangi dengan nilai ancaman. Titik pertemuan antara nilai axis dan ordinat menunjukkan pilihan strategi pengembangan. Terdapat empat set kemungkinan alternatif strategi menurut Rangkuti (1997) yang dihasilkan dari matrik grand strategy : 1) strategi agressive atau SO yakni pemanfaatan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya, terletak pada kuadran I . 2) strategi ST atau diversifikasi yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman terletak di kuadran II. 3) strategi WO yakni pemanfaatan peluang dengan kelemahan yang diminimalkan atau strategi turnaround yang terletak di kuadran IV. 4) strategi WT di kuadran III yakni kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.
14
Empat set kemungkinan seluruhnya terdapat dalam matrik grand strategy. Matrik grand strategy dalam analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 3.
Peluang
Kuadran IV
Kuadran I
Kelemahan
Kekuatan Kuadran III
Kuadran II
Ancaman Gambar 3. Matriks Grand Strategy Sumber : Rangkuti (1997)
15
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Profil Desa Pa’rappunganta Desa Pa’rappunganta merupakan salah satu dari lima belas desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar dengan luas 5,25 km2 (2,47% dari luas wilayah kecamatan Polombangkeng Utara) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa. Jarak Desa Pa’rappunganta dari Ibukota Kabupaten Takalar yaitu 13 km (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010). Letak Kecamatan Polombangkeng Utara dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta Kabupaten Takalar Sumber : Google Map (2012)
Batas-batas wilayah Desa Pa’rappunganta sebagai berikut : (1) sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Parangluara dan Desa Parangbaddo’, (2) sebelah Timur berbatasan dengan Desa Massamaturu, (3) sebelah Selatan berbatasan dengan Keluarahan Panrannuangku, (4) sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Palleko dan Kelurahan Matompodalle. Secara administrasi, Desa Pa’rappunganta terdiri atas 5 dusun yaitu : (1) Dusun Bontosunggu, (2) Dusun Batunipa, (3) Dusun Lerekang, (4) Dusun Massalongko, (5) Dusun Pa’bulaengan.
Keadaan Topografi Dilihat dari keadaan topografinya, Desa Pa’rappunganta memiliki bentuk wilayah yang datar (Gambar 5) dan didominasi oleh hamparan sawah dan kebun dengan ketinggian desa 200-499 meter di atas permukaan laut. Bentuk wilayah yang rata dimanfaatkan warga desa sebagai sumber mata pencaharian yaitu melalui pertanian (sawah) dan perkebunan.
(a)
(b)
Gambar 5. Topografi Desa Pa’rappunganta, (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah Luas lahan di Desa Pa’rappunganta sebesar 950 ha yang didominasi perkebunan seluas 492,42 ha. Jenis tanaman kebun yang banyak terdapat di Desa Pa’rappunganta adalah tanaman tebu. Luas lahan sawah 151 ha, pekarangan seluas 139,10 ha, tegalan seluas 78,86 ha dan lain-lainnya 88,62 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Seluruh sawah di Desa Pa’rappunganta adalah sawah tadah hujan dan terdapat masa saat sawah diberakan (dikosongkan) setelah panen. Panen padi di lokasi penelitian dilakukan dua kali dalam setahun. Sawah yang diberakan biasanya ditanami dengan tanaman kacang hijau oleh penduduk setempat dengan panen kacang hijau dua kali dalam setahun. Desa Pa’rappunganta beriklim tropis dengan suhu rata-rata tahun 2010-2011 mencapai 22-32 oC (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010) dengan 2 tipe musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan di Desa Pa’rappunganta cenderung bervariasi setiap bulan. Perbedaan curah hujan per-bulan dari Januari hingga Desember dari tahun 2007 sampai 2009 di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 1.
17
Tabel 1. Curah Hujan Rata-rata Per-Bulan Desa Pa’rappunganta (mm) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2007 863 639 219 348 51 112 0 11 0 0 225 473
Tahun 2008 0 0 17 90 4 41 1 23 13 119 384 667
2009 792 413 94 161 12 2 83 0 0 20 67 397
2941
1359
2041
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar (2010)
Keadaan Demografi Jumlah penduduk Desa Pa’rappunganta tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa yang terdiri atas laki-laki 1245 jiwa dan perempuan 1289 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Pa’rappunganta sebanyak 725 KK. Rincian jumlah penduduk dan kepala keluarga di Desa Pa’rappunganta disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Pa’rappunganta Tahun 2010 Dusun
Jumlah Kepala Keluarga
Penduduk
Jumlah
(KK)
Laki-laki Perempuan
Penduduk
Bontosunggu
165
279
280
559
Batunipa
147
224
254
478
Lerekang
158
258
292
550
Massalongko
212
391
387
778
Pa'bulaengan
43
93
76
169
Jumlah
725
1245
1289
2534
Sumber : Pemerintah Desa Pa’rappunganta (2010)
18
Penduduk Desa Pa’rappunganta didominasi masyarakat suku Makassar yang seluruhnya beragama Islam. Budaya atau tradisi masyarakat Desa Pa’rappunganta yaitu kebiasaan mengadakan pa’bunting (pesta pernikahan) atau sunna’ (khitanan) secara besar-besaran (meriah) dengan menggunakan daging ternak besar seperti sapi atau kuda sebagai menu utama dalam pesta. Kebiasaan ini tidak terbatas pada warga dengan tingkat ekonomi yang tinggi, namun masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah juga mengadakan pesta tersebut. Mata Pencaharian Desa Pa’rappunganta didominasi oleh masyarakat yang bekerja di bidang pertanian terutama petani sawah, kemudian disusul oleh pekerja di bidang perdagangan, jasa pemerintahan, transportasi, industri kerajinan, konstruksi jasa sosial, jasa perseorangan, keuangan dan warung makan. Perincian mata pencaharian penduduk di Desa Pa’rappunganta tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Sebaran Penduduk Desa Pa’rappunganta berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2010 Pekerjaan Pokok
Jumlah
Persentase (%)
Pertanian
930
36,7
Industri Kerajinan
18
0,71
Konstruksi
17
0,67
Perdagangan
96
3,79
Warung Makan
1
0,04
Transportasi
41
1,62
Keuangan
2
0,08
Jasa Pemerintahan
43
1,69
Jasa Sosial
12
0,47
Jasa Perorangan
9
0,35
1365
53,87
2534
100
Tidak atau Belum Bekerja Jumlah
Sumber : Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar ( 2010)
Bidang pertanian telah menjadi mata pencaharian masyarakat di Desa Pa’rappunganta secara turun-temurun, baik bagi penduduk yang memiliki lahan
19
sendiri maupun sebagai buruh tani. Kehidupan masyarakat Desa Pa’rappunganta yang erat dengan pertanian memberikan keuntungan bagi usaha ternak sapi bali di desa tersebut. Limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pakan sapi bali. Selain bertani, masyarakat juga beternak sebagai usaha sambilan. Hewan yang diternakkan seperti ayam, itik, sapi bali dan kuda. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Daryanto (2009) bahwa pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sekitar 45% tenaga kerja di Indonesia. Kaitannya dengan pakan, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak. Karakteristik Peternak dan Usaha Ternak Sapi Bali Karakteristik peternak merupakan hal yang penting untuk diketahui karena karakteristik tersebut dapat mempengaruhi pengembangan sapi bali. Kemampuan dalam pemeliharaan sapi bali merupakan salah satu hal yang dipengaruhi oleh karakteristik peternak. Pengamatan karakteristik peternak di Desa Pa’rappunganta dibedakan berdasarkan umur peternak, tingkat pendidikan, motivasi beternak, pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak sapi bali. Umur Peternak Peternak yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar berumur antara 41-50 tahun (33,33%), Peternak yang berumur 20-30 tahun sebanyak 3 orang (7,14%). Peternak berumur 31-40 tahun sebesar 23,81%, umur 51-60 tahun sebesar 23,81%, dan umur lebih dari 60 tahun sebesar 11,90%. Sebaran peternak berdasarkan umur ditunjukkan pada Gambar 6.
11,90% 7,14%
23,81% 23,81%
20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun
33,33%
>60 tahun
Gambar 6. Sebaran Peternak berdasarkan Umur Sumber : Data yang diolah (2011)
20
Hasil penelitian menunjukkan umumnya peternak responden masih dalam umur produktif. Selang umur produktif di Indonesia yaitu 15-64 tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Umur peternak yang produktif merupakan salah satu potensi dalam pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Peternak yang masih produktif di Desa Pa’rappunganta diharapkan memiliki kemampuan pemeliharaan dan penyediaan pakan ternak yang lebih baik dibandingkan umur tidak produktif. Tingkat Pendidikan Saleh (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan peternak juga berhubungan sangat nyata dengan perilaku membuat jejaring komunikasi antar peternak sendiri, aktif mencari, mengklarifikasi dan memanfaatkan informasi peternakan sapi potong sesuai kebutuhan. Peternak yang diwawancarai sebagian besar tidak pernah sekolah dengan persentase sebesar 40,48%. Pendidikan formal tertinggi responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan persentase sebesar 4,76%. Rendahnya tingkat pendidikan peternak mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan peternak masih kurang. Contoh dalam pemberian pakan jerami padi, peternak tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu seperti amoniasi atau silase sehingga kecernaan dan palatabilitasnya relatif rendah. Manajemen reproduksi sapi bali belum dilaksanakan dengan baik. Peternak belum mengetahui cara pencatatan siklus reproduksi sapi bali sehingga kurang tepat untuk mendeteksi birahi, kebuntingan atau kemajiran pada ternaknya. Kebersihan kandang dan kesehatan ternak kurang diperhatikan oleh peternak seperti vaksinasi dan pengobatan penyakit sapi bali. Hal-hal tersebut merupakan contoh kurangnya keterampilan peternak di Desa Pa’rappunganta. Keterampilan peternak selain diperoleh dari pendidikan formal juga dapat diperoleh melalui pendidikan non-formal seperti penyuluhan dan pembinaan. Program-program penyuluhan dan pembinaan peternak sudah diadakan namun belum merata. Masih banyak peternak yang belum mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan non-formal tersebut. Perlu adanya pelaksanaan penyuluhan ataupun pelatihan mengenai manajemen beternak yang baik termasuk bagaimana pemberian pakan sesuai status fisiologis sapi bali, pengolahan jerami, pencatatan siklus reproduksi sapi bali, pencegahan penyakit, kebersihan kandang dan lain-lain.
21
Penyuluhan dan pelatihan tersebut sebaiknya dilakukan secara berkala dan dapat diikuti oleh seluruh peternak. Penyaluran
informasi
mengenai
pemeliharaan
sapi
bali
di
Desa
Pa’rappunganta perlu diperbaiki. Pemberdayaan kelompok petani-peternak sangat diperlukan agar dapat menjadi tempat bagi peternak memperoleh informasi, mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan keterampilan beternak sapi bali. Selama ini kelompok peternak yang telah dibentuk tidak terorganisir dengan baik, anggota kelompok jarang melakukan pertemuan untuk berdiskusi atau berbagi informasi mengenai pemeliharaan sapi bali. Hal ini sesuai dengan pendapat Syamsu et al. (2006) bahwa masalah dalam pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan adalah lemahnya kelembagaan di tingkat kelompok tani dan peternak. Kondisi tersebut di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki dengan mengaktifkan kembali kelompok melalui kegiatan-kegiatan kelompok yang terencana dan berkala seperti pelatihan, diskusi kelompok dan lain-lain. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak sekolah
Jumlah Responden 17
Persentase 40,48
Sekolah Dasar
14
33,33
Sekolah Menengah Pertama
9
21,43
Sekolah Menengah Atas
2
4,76
Sarjana
0
0,00
42
100
Jumlah Sumber : Data yang diolah (2011)
Tingkat pendidikan yang rendah juga berpengaruh terhadap penguasaan peternak terhadap istilah dalam peternakan. Beberapa peternak tidak menguasai Bahasa
Indonesia
sehingga
dalam
melakukan
wawancara,
peneliti
harus
menggunakan bahasa daerah Makassar. Istilah-istilah dalam bidang peternakan juga tidak diketahui oleh para peternak sehingga peneliti harus menjelaskan pengertian dari istilah tersebut dalam Bahasa Makassar terlebih dahulu atau menggunakan istilah Bahasa Makassar yang umum digunakan oleh para peternak.
22
Motivasi Beternak Motivasi yang dimiliki oleh peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi bali cenderung seragam. Sebanyak 39 orang atau 92,85% responden yang diwawancarai dalam penelitian ini menyatakan motivasi mereka beternak sapi bali adalah untuk menambah penghasilan. Sisanya sebanyak 3 orang responden (7,14%) menyatakan alasan mereka beternak sapi bali adalah sebagai tabungan masa depan. Beternak dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah penghasilan. Banyaknya peternak yang beternak sapi bali sebagai pekerjaan sambilan didorong oleh biaya pemeliharaan sapi bali yang relatif kecil karena sistem peternakan semi intensif yang diterapkan oleh peternak. Peternak hanya butuh tenaga untuk mencari pakan dan biaya untuk membuat kandang sederhana serta biaya pembelian garam. Sapi bali juga menjadi tabungan masa depan karena peternak dapat menjual sapi bali yang dimilikinya sewaktu-waktu jika membutuhkan uang untuk berbagai keperluan misalnya biaya sekolah anak dan biaya pengobatan. Hal tersebut sejalan dengan laporan Sudardjat dan Pambudy (2003) yakni peternak tradisional masih lebih senang memilih ternak sebagai alternatif usaha menyimpan dana. Hal tersebut sebenarnya merupakan alternatif tepat karena menabung dalam bentuk ternak akan memperoleh “bunga” yaitu dari anak sapi yang dapat dicapai bila manajemen ternak dilakukan dengan baik. Sebaran peternak berdasarkan motivasi beternak sapi bali disajikan pada Gambar 7.
7%
93%
Tambahan penghasilan Tabungan masa depan
Gambar 7. Sebaran Peternak berdasarkan Motivasi Beternak Sapi Bali Sumber : Data yang diolah (2011)
Seluruh responden yang diwawancarai menjual ternaknya pada pedagang pengumpul yang sekaligus berperan sebagai belantik. Harga jual sapi bali di lokasi penelitian relatif stabil. Sapi bali berumur 1 tahun berkisar 3-4 juta rupiah sedangkan 23
sapi bali yang berumur 2 tahun dijual pada kisaran harga 4-5 juta rupiah. Bagi responden, harga jual ini sudah menguntungkan karena responden tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja, biaya penyusutan peralatan dan biaya-biaya lainnya. Tenaga kerja usaha ternak sapi bali berasal dari tenaga kerja keluarga sehingga peternak tidak menghitung upah tenaga kerja. Pengalaman Beternak Pengalaman responden dalam beternak sapi bali bervariasi (Tabel 5). Peternak di lokasi penelitian telah mengetahui cara beternak yang diperoleh dari keluarga secara turun-temurun. Cara beternak yang diketahui masih bersifat tradisional, namun sudah cukup baik sebagai modal untuk pengelolaan dan pengembangan usaha ternak sapi bali. Febrina dan Liana (2008) menyatakan bahwa pengalaman beternak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Pengalaman beternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha. Tabel 5. Sebaran Peternak Berdasarkan Lama Beternak Lama Beternak Sapi Bali (tahun)
Jumlah Responden
Persentase
1 sampai 10
15
35,71
11 sampai 20
15
35,71
21 sampai 30
7
16,67
31 sampai 40
5
11,90
42
100,00
Jumlah Sumber : Data yang diolah (2011)
Kepemilikan Sapi Bali Kepemilikan sapi bali paling banyak antara 1-5 ekor (76,19%). Jumlah sapi bali yang dipelihara responden dapat dilihat pada Tabel 6. Kepemilikan sapi bali relatif kecil dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada peternak terutama yang telah lama menjalankan usaha ternak sapi bali. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya modal peternak untuk membeli bibit atau sapi dara dan pola pemeliharaan yang masih tradisional.
24
Tabel 6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Sapi Bali yang Dipelihara Jumlah ternak Sapi Bali
Responden
Persentase
1 sampai 5
32
76,19
6 sampai 10
8
19,05
>10
2
4,76
42
100
Jumlah Sumber : Data yang diolah (2011)
Kairupan (2011) menyatakan bahwa peternakan sapi memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat di pedesaan. Hal tersebut mengingat sebagian besar sapi di Indonesia ada pada tingkat petani kecil yang dikelola dalam skala usaha peternakan rakyat, namun umumnya para peternak yang memelihara sapi bali tidak mengembangkan populasi ternaknya dan dijual apabila membutuhkan uang dalam kondisi mendesak. Syamsu et al. (2006) menjelaskan permasalahan peternakan di Sulawesi Selatan adalah skala usaha kecil, umumnya masih terbatas pada skala usaha sambilan sehingga kurang kompetitif. Sapi bali yang dipelihara peternak tidak seluruhnya merupakan kepemilikan peternak sendiri, namun juga ada yang berupa sapi bali yang dititipkan atau sapi bali gaduhan Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah peternak yang memelihara sapi bali milik sendiri dan milik orang lain lebih dominan. Tabel 7. Sebaran Peternak Berdasarkan Kepemilikan Sapi Bali Kepemilikan Sapi Bali
Responden
Persentase
Milik sendiri
14
33,33
Gaduhan
9
21,43
Milik sendiri dan gaduhan
19
45,24
42
100
Jumlah Sumber : Data yang diolah (2011)
Sistem gaduhan di Desa Pa’rappunganta menguntungkan peternak dengan modal kecil karena mereka memperoleh bibit sapi bali tanpa membeli. Bibit sapi bali yang dipelihara oleh peternak responden umumnya berasal dari sapi yang dititipkan oleh orang lain. Sistem penitipan ini dalam Bahasa Makassar disebut “ni tesang”
25
atau dikenal juga dengan menggaduh atau bagi hasil. Sistem ini dijalankan berdasarkan kesepakatan antara pemilik sapi bali dan peternak yang memelihara. Kesepakatan yang umum yaitu anak pertama dari sapi tersebut menjadi milik orang yang menitipkan sedangkan anak kedua menjadi milik peternak yang memelihara dan begitu seterusnya. Sapi bali yang dititipkan ke peternak umumnya berjenis kelamin betina untuk digunakan sebagai bibit. Sistem gaduhan sapi bali tersebut dapat mengembangkan sapi bali di Desa Pa’rappunganta apabila peternak yang dititipi sapi bali mampu melakukan pemeliharaan dengan baik dan memproduksi anak sapi atau pedet satu ekor per tahun (produktivitas baik). Populasi Sapi Bali Sapi bali di Desa Pa’rappunganta berasal dari wilayah Kabupaten Takalar yang dibeli oleh penduduk desa kemudian diternakkan. Populasi sapi bali mengalami peningkatan maupun penurunan setiap tahun. Kepadatan sapi bali Desa Pa’rappunganta pada tahun 2011 mencapai 150 ekor/km2. Tahun 2008 hingga tahun 2010 jumlah sapi bali mengalami peningkatan. Sapi bali betina jumlahnya lebih besar dibandingkan sapi bali jantan karena sapi bali jantan umumnya dijual oleh peternak ketika umurnya telah mencapai 1-2 tahun. Peternak tidak menjual sapi betina karena diharapkan dapat menghasilkan anak tiap tahunnya, kecuali jika sapi betina tersebut sudah afkir atau sakit. Peningkatan populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar 6,48% terjadi di tahun 2009 jika tahun 2008 diasumsikan sebagai tahun awal. Tahun 2010 terjadi peningkatan populasi sebesar 4,75%, namun laju perkembangan populasi mengalami penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 1,73%. Peningkatan populasi sapi bali di lokasi penelitian lebih tinggi dibandingkan peningkatan populasi sapi nasional tahun 2008-2010. Data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) menunjukkan populasi sapi tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 2,01% dibandingkan tahun 2008, sedangkan tahun 2010 meningkat sebesar 3,12% dari tahun 2009. Populasi sapi bali yang meningkat tahun 2008 ke 2009 didorong oleh adanya program bantuan sapi bali melalui Sarjana Membangun Desa (SMD) yang bekerjasama dengan Dinas Peternakan. Diharapkan prospek pengembangan sapi bali dapat semakin baik setiap tahun dengan pengoptimalan produktivitas, potensi dan 26
penerapan strategi pengembangan yang tepat. Perkembangan populasi sapi bali mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Laju Perkembangan Populasi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta Tahun
Jumlah Ternak (ekor)
Laju Perkembangan (%)
Jantan
Betina
2008
151
571
-
2009
160
662
6,48
2010
186
718
4,75
Jumlah
2448
1951
Sumber : Data diolah dari Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar (2010)
Manajemen Pemeliharaan Sapi Bali Perkandangan Kandang sapi bali di Desa Pa’rappunganta berada di sekitar rumah atau di bawah rumah jika rumah peternaknya merupakan rumah panggung. Konstruksi kandang sangat sederhana, dibangun dari bambu atau potongan kayu, atap dari bahan rumbia atau seng dan lantai tanah. Beberapa kandang tidak beratap dan hanya berupa pembatas yang mencegah sapi lepas. Hal tersebut berkaitan dengan pemeliharaan semi intensif dimana ternak tidak dikandangkan saat siang hari sehingga peternak merasa tidak perlu memberikan naungan di kandang. Konstruksi kandang sapi bali dapat dilihat pada Gambar 8.
(a)
(b)
Gambar 8. Kandang Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta, (a) Kandang dengan Atap (b) Kandang Tanpa Atap
27
Tempat pakan berupa wadah yang terbuat dari papan ataupun bahan lain yang mudah diperoleh peternak dan tidak membutuhkan biaya pembelian yang besar. Tempat pakan umumnya terbuat dari papan atau wadah lainnya. Ember untuk air minum sapi menggunakan ember plastik atau memanfaatkan ember bekas cat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.
(a)
(b)
Gambar 9. Tempat Pakan dan Tempat Minum Sapi Bali, (a) Tempat Minum (b) Tempat Pakan Sudardjat dan Pambudy (2003) menjelaskan bahwa pola pemeliharaan dan usaha ternak potong di Indonesia masih merupakan usaha tani, yang berarti usaha pokok peternak adalah bertani dan usaha sambilan adalah beternak. Sapi, kerbau maupun ternak lainnya sepanjang hari digembalakan di ladang sendiri, di tanah gembalaan umum, di tepi jalan atau pinggir sungai yang ditumbuhi banyak rumput. Ternak sore hari kemudian dikandangkan di kandang yang sederhana. Jenis kandang yang umum di lokasi penelitian adalah kandang kelompok dan tidak dijumpai adanya kandang individu yang dimiliki peternak. Peternak tidak memperhatikan ukuran luas dan kepadatan kandang. Kandang dibuat hanya berdasarkan luas lahan yang dimiliki peternak, ketersediaan bahan pembuat kandang dan biaya yang dimiliki oleh peternak untuk pembuatan kandang. Luas kandang sapi bali di lokasi penelitian sangat bervariasi dan terkadang juga berfungsi sebagai pagar pembatas pekarangan rumah. Kandang tersebut memiliki pengamanan yang sangat minim. Pintu kandang biasanya terbuat dari potongan kayu yang dibentuk menyerupai pagar/gerbang sederhana dan umumnya tidak dapat dikunci. Kondisi tersebut menyebabkan rawan terjadi pencurian sapi bali.
28
Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar memiliki kompleks kandang individu yang dapat menampung hingga 88 ekor ternak sapi yang terletak di Desa Pa’rappunganta (Gambar 10)
Gambar 10. Kandang Sapi Permanen di Desa Pa’rappunganta Kandang individu tersebut merupakan kandang permanen yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum namun peternak belum memanfaatkannya karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa kandang. Biaya penyewaan kandang disesuaikan dengan kesepakatan peternak dan pihak dinas peternakan. Alasan keamanan juga menjadi pertimbangan peternak tidak menggunakan kandang tersebut karena letak kandang yang jauh dari rumah akan menyulitkan pengawasan. Kandang terletak di lokasi yang berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman penduduk dan dari pinggir jalan desa. Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan sapi bali yang dilakukan oleh peternak adalah sistem semi-intensif. Ternak biasanya dikeluarkan dari kandang pada pukul 6 pagi kemudian digembalakan (Gambar 11). Siang hari peternak menambatkan ternak sapi di bawah pohon atau naungan yang berada di sekitar lahan penggembalaan dan pada sore hari sekitar pukul 5 sore, sapi bali dikandangkan kembali. Mathius (2008) menjelaskan bahwa untuk menekan biaya produksi, baik biaya tenaga kerja maupun penyediaan pakan, khususnya pakan hijauan, maka pola pemeliharaan sebaiknya dilakukan secara semi-intensif, yaitu ternak dikandangkan pada malam hari dan digembalakan secara terbatas (dengan pengawasan/diikat) pada siang hari.
29
Penggembalaan harus diatur agar daya dukung pakan hijauan lokal tersedia sepanjang tahun. Defoliasi yang berlebihan dapat terjadi, sehingga keseimbangan vegetasi yang ada harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk menghindari kerusakan kebun akibat kelebihan daya tampung (over-grazing). Sapi bali yang sedang bernaung dan di kandangkan dapat dilihat pada Gambar 12.
(a)
(b)
Gambar 11. Sapi Bali yang Digembalakan, (a) Sapi Digembalakan di Kebun Tebu (b) Sapi Digembalakan di Sawah Bera
Gambar 12. Sapi Bali yang Dinaungkan Sapi bali digembalakan di lahan kosong yang ditumbuhi rumput lapang atau sawah yang sedang tidak ditanami (diberakan). Alasan peternak menerapkan pola pemeliharaan semi-intensif adalah agar ternak dapat memakan rumput lapang di lokasi penggembalaannya selain dari pakan yang diberikan. Sapi bali yang digembalakan di sawah bera dapat mengonsumsi limbah berupa jerami padi yang ketersediaannya melimpah saat musim panen. Sistem produksi yang dilaksanakan peternak adalah sistem campuran. Sistem produksi campuran sapi bali di Desa
30
Pa’rappunganta mencakup pembibitan, produksi bakalan, pembesaran dan sekaligus penggemukan. Pakan Sapi bali di lokasi penelitian diberi pakan yang terdiri dari dua jenis yaitu rumput-rumputan dan limbah hasil pertanian. Pakan utama yang diberikan oleh peternak yaitu rumput dan alang-alang yang banyak tumbuh di lokasi penelitian. Ketersediaan pakan didukung oleh kondisi iklim yang cukup baik dan lahan yang luas sehingga tersedia hijauan sepanjang tahun dan meminimalkan biaya pakan yang harus dikeluarkan peternak. Peternak umumnya melakukan sistem cut and carry yakni mengambil pakan yang diperoleh dengan mengarit dari sekitar kebun tebu atau lokasi lain untuk mencegah sapi bali kekurangan pakan terutama saat musim kemarau dimana rumput produksi hijauan lahan penggembalaan lebih sedikit. Pakan diangkut dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan seperti gerobak, sepeda, sepeda motor dan traktor seperti terlihat pada Gambar 13.
(a)
(b)
Gambar 13. Cara Pengangkutan Pakan oleh Peternak Sapi Bali, (a) Menggunakan Gerobak (b) Berjalan Kaki Jumlah pakan rumput yang diberikan pada sapi bali oleh peternak di lokasi penelitian rata-rata 18±7 kg/ekor/hari. Kebutuhan hijauan sapi potong perhari adalah 10%-12% dari bobot badan, dengan kebutuhan bahan kering (BK) ransum menurut National Research Council (1984) adalah 3% dari bobot badan sapi. Persentase BK rumput berdasarkan hasil penelitian Paat dan Winugroho (1990) yang diberikan pada
31
sapi bali di Sulawesi Selatan (diistilahkan dengan hijauan pedesaan) adalah antara 18,5%-32,5% dengan rata-rata 25% BK per-kilogram hijauan pedesaan. Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam masih diperlukan untuk mengetahui kandungan nutrisi dari seluruh sumber pakan yang ada di desa tersebut serta menghitung hijauan yang diperoleh sapi dari aktivitas merumput (saat digembalakan) untuk mengetahui keterpenuhan nutrisi sapi bali. Frekuensi pemberian pakan yang dilakukan responden bervariasi yaitu 3 kali sehari (45,24%), 2 kali sehari (45,24%) dan terus-menerus (9,52%). Pemberian pakan 2 kali sehari dilakukan pada pagi dan sore hari menjelang malam. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari dilakukan peternak dengan pemberian pakan pada pagi, siang dan sore menjelang malam. Pemberian pakan dua kali sehari dilakukan pada pagi dan sore hari. Peternak di lokasi penelitian tidak memberikan pakan saat sapi bali berada di kandang pada malam hari, sehingga pakan yang diberikan pada sore hari akan lebih banyak. Pakan di Desa Pa’rappunganta selain dari hijauan berupa rumput, juga berupa limbah pertanian. Sumber limbah pertanian menurut Syamsu et al. (2003) diperoleh dari komoditi tanaman pangan yang ketersediaannya dipengaruhi oleh pola tanam dan luas panen di suatu wilayah. Beberapa hal yang menjadi faktor pembatas pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia seperti produksi limbah pertanian yang musiman atau tidak kontinyu sepanjang tahun sehingga memerlukan fasilitas tempat penyimpanan. Disamping itu kualitas nutrisi yang rendah dan bervariasi tergantung dari spesiesnya sehingga perlu upaya peningkatan nilai nutrisi melalui penggunaan teknologi pakan yang mudah, murah dan dapat diadopsi oleh peternak. Jerami padi jumlahnya meningkat saat musim panen padi. Peternak menggembalakan sapi bali di sawah yang telah dipanen sehingga sapi bali bisa langsung mengonsumsi sisa jerami padi saat digembalakan. Amril et al. (1990) menyatakan bahwa produksi jerami padi di Sulawesi Selatan memiliki potensi yang cukup besar. Produksi jerami padi yang bersamaan dengan musim kemarau merupakan saat produksi hijauan sangat rendah sehingga jerami padi dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber pakan hijauan.
32
Pakan sapi bali di Desa Pa’rappunganta yang berasal dari limbah pertanian diantaranya jerami padi, dedak padi, jerami tebu dan jerami kacang hijau. Sebaran peternak berdasarkan jenis pakan tambahan yang diberikan pada sapi bali peliharaannya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Peternak Berdasarkan Pakan Tambahan yang Digunakan Pemberian Pakan Tambahan
Jumlah Responden
Persentase
Dedak padi
21
50,00
Dedak padi + jagung
3
7,14
Dedak padi + ampas tebu
1
2,38
Jagung + ampas tebu
1
2,38
Dedak padi + jagung + ampas tebu
2
4,76
Molases
2
4,76
Tidak diberi pakan tambahan
12
28,57
42
100,00
Jumlah Sumber : Data yang diolah (2011)
Jumlah pakan tambahan yang diberikan peternak pada sapi bali sulit untuk dihitung jumlahnya. Hal tersebut karena jenis pakan yang diberikan sangat bervariasi dan pemberian pakan tambahan tidak setiap hari. Pakan yang diberikan tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi sapi bali. Faktor jenis kelamin, status fisiologis (bunting, menyusui dan lain-lain) dan umur sapi bali (anak, muda atau dewasa) tidak diperhatikan dalam pemberian pakan. Hal tersebut disebabkan peternak di memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pemenuhan nutrisi sapi bali, sehingga perlu dilakukan penyuluhan maupun pelatihan mengenai pakan. Kebutuhan sapi bali terhadap mineral dipenuhi dengan memberikan garam. Garam dicampurkan dengan air minum sapi bali. Peternak meyakini garam dapat meningkatkan konsumsi air minum dan berefek baik bagi ternak sapi. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa kebutuhan ruminansia terhadap garam (NaCl) sudah dipahami peternak. Garam dapur umum digunakan karena harganya murah dan mudah digunakan. Batas toleransi kandungan garam ternak dalam air minum sapi maksimal 7000 ppm dan maksimum 4% dalam pakan agar sapi bali tidak keracunan NaCl. Jumlah garam yang diberikan responden pada sapi bali sekitar ±250 gram
33
sehari yang dicampur 10 liter air untuk diminum satu ekor sapi. Pemberian minum yang dicampur garam dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Perawatan Sapi Bali Memandikan sapi bali sangat penting untuk menjaga kebersihannya. Sapi bali yang dipelihara tidak dimandikan secara teratur. Peternak memandikan sapi bali jika cuaca panas atau saat musim kemarau untuk mencegah stres panas pada sapi. Cara memandikan sapi yang sering dilakukan oleh peternak yaitu dengan membawa sapi ke pinggir sungai atau ke sumur untuk dimandikan. Perawatan juga dilakukan peternak dengan menjaga kebersihan kandang. Melihat kondisi kandang di lokasi penelitian, cukup sulit untuk menjaga kandang tetap dalam kondisi kering karena lantai kandang umumnya terbuat dari tanah. Kegiatan pembersihan kandang yang dilakukan peternak adalah membersihkan kotoran sapi dengan alat serok. Frekuensi pembersihan kandang cenderung bervariasi. Sebanyak 26 orang atau 61,90% responden tidak teratur dalam membersihkan kandang. Kandang hanya dibersihkan saat kotoran atau feses sapi sudah menumpuk. Frekuensi pembersihan kandang akan meningkat saat musim hujan tiba karena peternak mencegah bau tidak sedap utamanya jika kandang sapi terletak sangat dekat dengan rumah peternaknya. Sebanyak 23,81% (10 orang responden) membersihkan kandang setiap hari yaitu setiap pagi setelah sapi bali dikeluarkan dari kandang. Sisanya sebesar 14,28% atau sebanyak 6 responden tidak pernah membersihkan kandang sapinya. Wawancara dengan responden menunjukkan penyakit yang paling banyak menyerang sapi bali milik responden adalah penyakit diare berdarah, dialami oleh sapi bali dari 22 responden (52,38%) yang terdiri dari 6 responden yang membersihkan kandang setiap hari, 13 responden yang membersihkan kandang tidak tentu, dan 3 responden yang tidak pernah membersihkan kandang sapi bali peliharaannya. Penyakit lain yang menyerang adalah penyakit ngorok atau SE (septichaemia epizootica) yang dialami oleh sapi bali milik 1 orang responden (2,38%), dan cacingan dialami sapi bali milik 20 reponden (47,62%) yang terdiri atas 13 responden yang membersihkan kandang tidak tentu, 4 responden yang membersihkan kandang setiap hari dan 3 responden yang tidak pernah membersihkan kandang sapi miliknya. 34
Dijelaskan oleh Chotiah (2008), penyakit diare berdarah disebabkan oleh enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) yang memproduksi verotoksin sehingga menyebabkan kerusakan pembuluh darah di daerah kolon sapi, terutama menyerang anak sapi, ditandai dengan adanya darah pada feses. Penyakit cacingan menurut Ahmad (2008) disebabkan oleh parasit cacing yang menyerang sapi bali. Ternak yang cacingan akan kurus, konversi pakan buruk, mencret, anemia, bengkak dan dapat menyebabkan kematian. Ngorok atau SE memiliki gejala demam yang disertai gangguan pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang meluas, mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Penyebab penyakit ini adalah bakteri P. multocida (Priadi dan Natalia, 2000). Hasil penelitian di Desa Pa’rappunganta menunjukkan bahwa frekuensi pembersihan kandang yang dilakukan peternak tidak berpengaruh pada penyakit yang menyerang sapi bali yang disebabkan oleh parasit dan bakteri. Seluruh responden menyatakan sapi bali peliharaannya pernah terkena penyakit diare berdarah, ngorok atau SE dan cacingan. Manajemen kesehatan ternak dan lingkungan yang baik merupakan salah satu hal yang diperlukan dalam meminimalisasi penyakit tersebut. Performa Sifat Reproduksi Sapi Bali Reproduksi didefinisikan sebagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Reproduksi pada hewan diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang dihasilkan dan berlangsung sesudah hewan mencapai masa pubertas (Toelihere, 1979). Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang mempunyai keunggulan dibanding sapi potong lainnya yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan (fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi dan berkembang di beberapa wilayah di Indonesia (Romjali dan Rasyid, 2007). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), jarak antar melahirkan (calving interval), jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), angka perkawinan perkebuntingan (service per conception) dan angka kelahiran (calving rate). Hasil penelitian terhadap sifat reproduksi sapi bali di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. 35
Tabel 10. Sifat Reproduksi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta Sifat Reproduksi
Rata-rata
Literatur
Umur berahi pertama/puberty (tahun)
2,1 ±0,52
>2a
Umur kawin pertama/first mating (tahun)
2,2 ±0,51
2-3b
Service per Conception (kali)
1,9 ±0,94
2c
98,1
60-70d
Umur induk beranak pertama/ first parturition (tahun)
3,1 ±0,59
3,48±0,15e
Berahi setelah beranak/oestrus postpartum (hari)
82±36,09
70f
370±36
471±54g
5,8
8.3e
Tingkat kelahiran anak/calving rate (%)
Selang Beranak /calving interval (hari) Kematian anak/calf mortality (%)
Keterangan : aToelihere (1981); bHardjopranjoto (1995); cFordyce (2003); dBall dan Peters (2004); e Liwa (1990); f Salisbury dan VanDemark (1985); gWirdahayati dan Bamualim (2003)
Umur Berahi Pertama (Puberty) Betina-betina yang dapat dikawinkan adalah betina yang telah mencapai pubertas. Ball dan Peters (2004) menyatakan bahwa pubertas merupakan waktu munculnya estrus pertama kali yang diikuti dengan ovulasi. Umur berahi pertama sapi bali betina pada penelitian ini yaitu 2,1 tahun, sesuai dengan Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa kondisi makanan yang kurang baik menyebabkan sapi bali pubertas pada umur di atas 2 tahun. Faktor suhu lingkungan juga mempengaruhi waktu pubertas. Umur pubertas sapi bali dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Fordyce et al. (2003) yang menyatakan sapi umumnya mencapai pubertas antara 12-24 bulan. Pubertas sapi bali di Desa Pa’rappunganta yang terjadi rata-rata di atas umur 2 tahun disebabkan oleh kekurangan nutrisi. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan sapi bali cenderung lambat sehingga menyebabkan pubertas dicapai pada umur di atas 2 tahun. Diperlukan perbaikan nutrisi induk sapi bali dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan agar birahi pertama dapat tercapai lebih cepat. Bearden et al. (2004) menjelaskan bahwa faktor genetik dan lingkungan akan mempengaruhi waktu terjadinya pubertas pada sapi. Umumnya, setiap faktor yang memperlambat pertumbuhan ternak akan menunda terjadinya pubertas. Ball dan Peters (2004) menyatakan faktor yang mempengaruhi umur berahi pertama sapi bali adalah jenis ternak, status nutrisi serta kehadiran pejantan disekitar betina.
36
Umur Kawin Pertama (First Mating) Hardjopranjoto (1995) menjelaskan waktu perkawinan yang tepat bagi hewan betina adalah faktor yang penting karena dapat menghasilkan keuntungan besar bagi peternak jika kebuntingan terjadi pada waktu yang tepat. Responden akan mengawinkan sapi bali saat mengalami pubertas, sehingga umur kawin pertama sangat bergantung pada umur berahi pertama. Salisbury dan VanDemark (1985) menyatakan bahwa umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi bali betina kawin pertama rata-rata pada umur 2,2 tahun atau 25,8 bulan. Umur kawin pertama sapi bali di Desa Pa’rappunganta sejalan dengan Hardjopranjoto (1995) yang menyatakan bahwa sapi dara yang kurang baik pemeliharaannya sebaiknya dikawinkan pada umur 2-3 tahun, mengingat pertumbuhan betina perlu mencapai kondisi optimum untuk bunting dan beranak. Sapi bali di Desa Pa’rappunganta dikawinkan dengan kawin alam yang dilakukan dengan membawa sapi betina yang sedang birahi ke tempat sapi jantan berada. Sapi betina kemudian dilepaskan/dibiarkan bersama sapi jantan agar dapat dikawini oleh pejantan tersebut. Tanda-tanda sapi bali birahi yang diketahui peternak di lokasi penelitian yaitu sapi gelisah dan menaiki sapi lain. Tanda-tanda birahi lainnya belum dipahami oleh peternak. Tidak tepatnya pendeteksian birahi menyebabkan selang beranak akan semakin panjang. Akibatnya adalah kerugian peternak sehingga dibutuhkan peningkatan pemahaman peternak mengenai berbagai tanda birahi dan pencatatan siklus berahi sapi bali melalui penyuluhan. Salisbury dan VanDemark (1985) menyatakan bahwa umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi. Service per Conception (S/C) Service per conception (S/C) sapi bali betina di lokasi penelitian rata-rata 1,9 kali. Hal ini berarti untuk terjadinya kebuntingan, induk sapi bali butuh 1,88 kali pengawinan. Semakin dekat dengan angka 1 berarti produktivitas sapi bali dalam hal pengawinan semakin baik. Nilai S/C sapi bali di Desa Pa’rappunganta dipengaruhi oleh pendeteksian berahi yang kurang tepat sehingga terjadi kegagalan pembuahan oleh jantan. Hasil penelitian Supriyantono et al. (2008) di Bali menunjukkan nilai S/C sapi antara 1,02–1,23 kali. Nilai S/C dipengaruhi oleh berbagai faktor di 37
antaranya manajemen pemeliharaan, kondisi induk dan pejantan serta keterampilan inseminator. Fordyce et al. (2003) menyatakan kebuntingan rata-rata terjadi setelah 2 kali perkawinan dan hal ini lazim di daerah tropis. Diduga 30% penyebabnya adalah kematian embrionik. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa penyebab kawin berulang pada ternak adalah kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini. Umur Beranak Pertama (First Mating) Hasil penelitian menunjukkan umur beranak pertama sapi bali adalah 3,1±0,59 tahun atau 37,44 bulan. Sama halnya dengan umur kawin pertama, umur beranak pertama sapi bali dipengaruhi oleh umur berahi pertama, umur kawin pertama dan nilai service per conception. Hasil penelitian tersebut lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Liwa (1990) di Sulawesi Selatan yang menunjukkan bahwa rataan umur induk beranak pertama adalah 41,8±1,8 bulan. Gunawan et al. (2011) yang meneliti di pusat pembibitan sapi bali di Bali dan menyatakan umur beranak pertama sapi bali rata-rata 43,86 bulan yang dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dalam pakan. Tingkat Kelahiran (Calving Rate) Tingkat kelahiran anak sapi bali hasil penelitian ini sebesar 98,1%. Tingkat kelahiran dihitung dari jumlah total anak yang lahir dari jumlah induk dalam satu tahun. Kematian janin atau abortus menjadi penyebab utama tingkat kelahiran di lokasi penelitian tidak mencapai 100%. Optimalnya hanya 60%-70% pengawinan sapi betina yang akan dapat menghasilkan anak. Ball dan Peters (2004) menyatakan bahwa walaupun dibawah kondisi ideal dan efisiensi deteksi birahi, tingkat kelahiran anak sapi tidak akan mencapai 100%. Penyebabnya adalah kegagalan saat pengawinan ternak dan kematian janin. Hal tersebut merupakan akibat dari interaksi antara genetik, lingkungan dan manajemen. Persentase kelahiran di Desa Pa’rappunganta cukup tinggi bila dibandingkan hasil hasil penelitian Pane (1990) di Sulawesi Selatan sebesar 76%. Sariubang et al. (2009) yang juga melakukan penelitian di Kabupaten Takalar menyatakan tingkat kelahiran sapi bali pada sistem pemeliharaan intensif sebesar 83,3% sedangkan sistem tradisional hanya sebesar 66,7%.
38
Berahi Kembali Setelah Beranak (Oestrus Postpartum) Lama berahi kembali setelah beranak atau oestrus postpartum sapi bali pada penelitian ini berkisar 45,86-118,04 hari dengan rata-rata 82 hari. Salisbury dan VanDemark (1985) menjelaskan bahwa sapi-sapi betina sebagian besar akan kembali birahi 21-80 hari sesudah melahirkan, dengan rata-rata 70 hari. Berbeda dengan hasil penelitian Sariubang et al. (2009) di Desa Manongkoki, Kabupaten Takalar yaitu sapi bali menunjukkan berahi kembali 107 hari setelah beranak pada sistem beternak tradisional. Toelihere (1979) menyatakan bahwa sapi potong yang kekurangan makanan, interval partus ke berahinya lebih lama. Rangsangan menyusu juga mempengaruhi lama waktu berahi kembali setelah beranak. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wiltbank (1970) bahwa sapi induk yang menyusui, umur induk dan tingkat nutrisi merupakan variabel penting yang mempengaruhi oestrus post partum. Selang Beranak (Calving Interval) Sapi bali di Desa Pa’rappunganta memiliki selang beranak rata-rata 370±36 hari. Selang beranak hasil penelitian ini lebih singkat dibandingkan hasil penelitian Wirdahayati dan Bamualim (2003) yaitu 15,71±1,8 bulan atau sekitar 471 hari. Selang beranak merupakan sifat reproduksi yang sangat dipengaruhi oleh siklus reproduksi sapi bali. Sutan (1988) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi selang beranak adalah service per conception, jarak antara melahirkan terdahulu dengan kawin pertama setelah bunting dan lama kebuntingan. Kematian Anak (Calf Mortality) Calf mortality atau kematian anak sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar 5,8%. Kematian anak sapi di lokasi penelitian diantaranya disebabkan oleh anak sapi tidak menyusu karena lahir dalam kondisi lemah dan stress panas. Tingkat kematian anak sapi bali tersebut dapat diturunkan dengan pemenuhan nutrisi induk selama kebuntingan serta penanganan pasca kelahiran seperti menyediakan tempat yang nyaman bagi anak sapi yang baru lahir. Gunawan et al. (2011) menyatakan bahwa sifat keindukan yang rendah dan manajemen dapat menjadi penyebab tingginya jumlah kematian anak sapi bali. Musim kering dimana sumber pakan rendah kualitasnya juga menjadi faktor penyebab karena akan mempengaruhi produksi susu induk. Hal tersebut sejalan
39
dengan hasil penelitian Sariubang et al. (2009) di Kabupaten Takalar yaitu sapi bali yang digembalakan tanpa pemberian pakan tambahan, tingkat kematian anak mencapai 14%. Kematian anak sapi yang tinggi tersebut disebabkan kekurangan gizi terutama vitamin dan mineral sehingga anak sapi lahir cacat ataupun lemah. Bamualim dan Wirdahayati (1990) serta Kadarsih (2004) menyatakan stress panas juga menyebabkan kematian anak. Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Populasi riil ternak ruminansia di Desa Pa’rappunganta pada tahun 2011 sebesar 787 ekor atau 499 satuan ternak (ST) yang seluruhnya merupakan sapi bali. Ternak pemakan hijauan lainnya adalah kuda dengan populasi 83 ST, sehingga populasi riil ternak pemakan hijauan adalah 582 ST. Hasil analisis KPPTR Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai KPPTR di Desa Pa’rappunganta Peubah Populasi riil ternak (serta ternak pemakan hijauan)
Nilai (ST) 582
Kapasitas tampung ternak ruminansia (serta ternak pemakan hijauan)
719,97
Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (serta ternak pemakan hijauan) berdasarkan sumberdaya lahan
137,97
Sumber : Data yang diolah (2011)
Kapasitas tampung ternak di Desa Pa’rappunganta berdasarkan metode Nell dan Rollinson (1974) sebesar 719,97 ST. Kapasitas tampung dipengaruhi oleh ketersediaan sumber hijauan rumput dan hijauan sisa pertanian. Sariubang et al. (2009) menyatakan bahwa pemeliharaan induk sapi pola petani (tradisional) di Kabupaten Takalar menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi akan mengikuti pola tanam. Saat musim tanam padi, sapi mendapat rumput dari lahan kosong, seperti pinggir kebun, pinggir jalan, pematang sawah dan lain-lain, sedangkan pada musim panen padi, mendapat pakan dari jerami dan digembalakan pada sawah yang kosong. Hasil perhitungan KPPTR sumberdaya lahan di Desa Pa’rappunganta bernilai positif, artinya berdasarkan analisis, lokasi penelitian masih dapat menampung ternak ruminansia beserta kuda sebesar 137,97 ST. Nilai KPPTR yang positif menunjukkan potensi Desa Pa’rappunganta untuk pengembangan populasi ternak ruminansia
40
utamanya sapi bali masih tinggi. Hasil perhitungan nilai KPPTR di lokasi penelitian yang bernilai positif, sejalan dengan hasil penelitian Syamsu et al. (2006) di Kabupaten Takalar. Nilai KPPTR Kabupaten Takalar tahun 2006 bernilai positif sebesar 61.217 ST, yang dihitung berdasarkan ketersediaan limbah tanaman pangan. Sumber hijauan di Desa Pa’rappunganta diperoleh peternak dari lahan persawahan, perkebunan, tegalan dan pinggir jalan. Hijauan hasil sisa pertanian terdiri atas jerami padi, jerami kacang hijau dan jerami tebu. Syamsu et al. (2003) menyatakan bahwa tingginya pemenuhan kebutuhan pakan dari limbah pertanian harus tetap memperhatikan faktor pembatas. Faktor pembatas tersebut seperti produksi limbah pertanian yang musiman sehingga perlu fasilitas penyimpanan. Disamping itu kualitas nutrisi limbah pertanian yang rendah dan bervariasi memerlukan peningkatan nutrisi melalui teknologi pakan yang mudah, murah dan dapat diadopsi oleh peternak. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan analisis yang dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dengan berdasarkan logika
sehingga
kekuatan
(strengths)
dan
peluang
(opportunities)
dapat
dimaksimalkan serta meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analisis SWOT didasarkan pada logika dan merupakan model analisis situasi yang paling populer (Rangkuti, 1997). Analisis situasi menyangkut data dari berbagai faktor baik
yang berpengaruh positif atau negatif serta peluang untuk
mengembangkannya di masa yang akan datang (Fletcher, 1990). Faktor internal terbagi atas faktor kekuatan dan faktor kelemahan yang mendukung dan menghambat prospek pengembangan sapi bali di lokasi penelitian. Faktor internal tersebut masing-masing diberi skor dan nilai untuk dapat mengetahui posisi strategis pengembangan sapi bali. Faktor internal peternakan sapi bali di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 12.
41
Tabel 12. Faktor Internal Pengembangan Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta No
Faktor Internal
Bobot (B)
Rating (R)
Nilai (B x R)
Kekuatan (Strenght)
1
Motivasi beternak tinggi
0,11
3
0,34
2
Ketersediaan lahan luas
0,09
3
0,26
3
Ketersediaan hijauan tinggi
0,11
4
0,46
4
Ketersediaan sumber air tinggi
0,06
2
0,11
5
Ketersediaan limbah pertanian tinggi
0,09
4
0,34
6
Ketersediaan fasilitas
0,09
3
0,26
0,54
19
1,77
Jumlah Kelemahan (Weakness)
1
Terbatasnya modal peternak
0,11
4
0,46
2
Kurangnya sapi pejantan
0,06
3
0,17
3
Peternak tidak percaya pada teknologi IB
0,11
3
0,34
4
Kurangnya keterampilan peternak
0,11
3
0,34
5
Terjadi seleksi negatif
0,06
2,5
0,14
Jumlah
0,46
1,46
Skor
1,00
0,31
Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam usaha peternakan yang dijalankan masyarakat Desa Pa’rappunganta adalah motivasi beternak yang tinggi karena memberikan tambahan pendapatan bagi peternak. Tingginya motivasi beternak menunjukkan prospek pengembangan sapi bali yang besar di lokasi penelitian karena telah didukung oleh kemauan penduduk untuk beternak khususnya beternak sapi bali. Hal ini didukung dengan tingginya ketersediaan lahan di lokasi penelitian baik untuk penggembalaan maupun untuk kandang. Lahan kosong di Desa Pa’rappunganta termasuk tegalan seluas 78,9 hektar yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan sapi bali. Sumberdaya alam berupa rumput lapang, sumber air, dan limbah pertanian juga melimpah. Hijauan rumput diperoleh peternak dari perkebunan, sawah bera, pinggir jalan, tegalan dan galengan sawah. Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan peternak adalah dedak padi, jerami padi, jerami kacang dan limbah tebu. Kehidupan masyarakat Desa Pa’rappunganta yang erat dengan usahatani menjadi strength atau kekuatan yang mendukung sistem beternak semi intensif yang dijalankan oleh masyarakat setempat. Wardhani (1990) menyatakan bahwa
42
peningkatan populasi ternak dapat memanfaatkan limbah pertanian dan industri sebagai bahan pakan pengganti rumput atau penyusun konsentrat. Ketersediaan fasilitas berupa kandang individu permanen, poskeswan, pos IB maupun kebun rumput gajah/raja juga menjadi faktor yang mendukung pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Sarana tersebut sebagai pusat pelayanan peternakan terpadu yang dibangun oleh pemerintah untuk memfasilitasi peternak.
Kandang
individu
dapat
digunakan
oleh
peternak
yang
ingin
mengintensifkan usaha peternakannya. Kebun rumput gajah/raja menjadi sumber hijauan yang sangat baik bagi peternak di lokasi penelitian yang umumnya masih beternak secara semi-intensif dengan pakan rumput lapang. Poskeswan berperan dalam penyediaan sarana kesehatan bagi sapi bali dan memudahkan pencegahan, pengontrolan serta pengobatan penyakit ternak. Pos IB memberikan pelayanan reproduksi ternak yaitu inseminasi buatan dengan tenaga inseminator yang ahli serta fasilitas yang lengkap dan mudah menjangkau peternak yang tinggal di desa. Kelemahan dalam usaha ternak di lokasi penelitian yaitu terbatasnya modal peternak. Keterbatasan modal menyebabkan usaha ternak sapi bali sulit untuk berkembang. Peternak di Desa Pa’rappunganta umumnya berpenghasilan kecil dan memelihara serta memperoleh sapi bali dari hasil gaduhan. Peternak tidak mampu membeli pakan komersial sehingga memanfaatkan pakan berupa rumput lapang dan limbah pertanian. Kondisi kandang yang kurang memadai juga karena terkendala biaya pembuatan kandang. Sastradipraja (1990) menyatakan bahwa bagi petani yang berada di daerah kering, sapi potong menjadi sumber penghasilan. Masalahnya terletak pada modal. Rendahnya pendapatan petani menyebabkan ketidakmampuan petani untuk menabung. Tidak adanya uang tunai menyebabkan petani tidak mampu membeli barang modal (misalnya sapi) untuk perluasan usahanya
guna
meningkatkan pendapatan. Sumberdaya peternak dari segi keterampilan belum optimal. Peternak perlu mendapatkan penyuluhan atau pelatihan mengenai manajemen pemeliharaan sapi bali yang efisien dan ekonomis, termasuk penerapan recording atau pencatatan sapi bali, pencegahan serta penanganan penyakit, perawatan kebersihan serta penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB). IB (inseminasi buatan) adalah cara perkawinan pada sapi dengan teknik tertentu yang bertujuan untuk memasukkan semen beku atau
43
semen cair ke dalam saluran reproduksi sapi betina birahi oleh inseminator (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Keterampilan dari segi pemanfaatan pakan limbah pertanian juga masih relatif rendah. Jerami padi langsung diberikan kepada ternak sapi bali tanpa diolah terlebih dahulu sehingga kecernaannya rendah. Dedak padi yang merupakan pakan konsentrat sebagian besar dijual. Menurut Syamsu et al. (2003), usaha pemanfaatan limbah pertanian perlu diperhatikan mengingat sumber penyediaan rumput dan hijauan lainnya sebagai pakan sangat terbatas. Kelemahan selanjutnya dalam usaha pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta adalah ketersediaan pejantan yang kurang karena sapi bali jantan umumnya dijual ketika telah mencapai umur lepas sapih (sekitar 1 tahun). Peternak yang memiliki sapi betina yang sedang berahi akan mengalami kesulitan mengawinkan ternaknya karena sapi jantan dewasa jumlahnya sedikit sehingga sulit untuk menemukan sapi jantan yang sudah siap untuk mengawini sapi betina berahi. Kelemahan dari segi jumlah pejantan dapat diatasi dengan IB yang sudah berkembang hingga ke desa-desa. Toelihere (1981b) menyatakan bahwa inseminasi buatan sangat mempertinggi pemanfaatan pejantan-pejantan unggul dengan maksimal. Inseminasi buatan juga memungkinkan perkawinan antara hewan ternak yang terpisah lokasi sehingga dapat mengatasi kurangnya sapi pejantan. Inseminasi buatan belum diterapkan karena ketidakpercayaan peternak terhadap teknologi IB di Desa Pa’rappunganta. Peternak tidak mempercayai IB karena di desa tersebut pernah terjadi kematian anak dan induk sapi hasil IB akibat distokia atau kesulitan beranak. Hal tersebut disebabkan kurangnya keterampilan inseminator dalam menyesuaikan antara induk sapi bali yang akan diinseminasi dengan jenis sperma pejantan, sehingga ukuran anak terlalu besar bagi induk sehingga mengakibatkan distokia. Ketidakpercayaan peternak terhadap inseminasi buatan tersebut merupakan kelemahan karena di Desa Pa’rappunganta cenderung terjadi seleksi negatif. Seleksi negatif terjadi disebabkan sapi-sapi bali khususnya pejantan yang berkualitas baik dengan postur tubuh besar dijual oleh peternak sehingga pejantan yang tersisa adalah yang kualitasnya rendah dan jumlahnya sedikit. Anak sapi bali yang dihasilkan kualitasnya akan semakin menurun disebabkan rendahnya kualitas pejantan maupun induk.
44
Faktor eksternal dibagi menjadi peluang yang mendukung pengembangan dan ancaman
yang
menjadi
penghambat
pengembangan
sapi
bali
di
Desa
Pa’rappunganta. Setiap faktor diberi skor dan nilai yang menentukan strategi pengembangan sapi bali. Faktor-faktor eksternal pengembangan sapi bali disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Faktor Eksternal Pengembangan Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta No
Faktor Eksternal
Bobot (B)
Rating (R)
Nilai (BxR)
Peluang (Opportunities) 1
Permintaan sapi bali yang tinggi
0,15
4
0,60
2
Teknologi IB
0,11
3
0,34
3
Kerjasama dengan pemerintah
0,15
2,5
0,38
4
Program SMD
0,11
2
0,23
5
Pinjaman dari bank
0,15
3
0,45
0,68
14,5
2,00
Penyakit Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong Daging sapi impor sudah marak di pasaran
0,11
3
0,34
0,08
2,5
0,19
0,13
4
0,53
Jumlah
0,32
9,5
1,06
Skor
1,00
Jumlah Ancaman (Threats) 1 2 3
0,94
Konsumsi pangan asal ternak yang memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun adalah daging dan telur. Hal ini menunjukkan konsumsi masyarakat semakin baik dan menjadi peluang bagi agribisnis peternakan (Daryanto, 2009). Peningkatan permintaan daging sapi potong menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha peternakan sapi bali. Data dari Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar (2011) menunjukkan bahwa tingkat permintaan sapi potong di dalam Kabupaten Takalar mencapai 99% atau sebesar 34.742 ekor dibeli oleh konsumen dalam kabupaten dari 34.987 ekor sapi yang dijual. Hal ini didukung oleh tradisi di masyarakat Kabupaten Takalar yaitu melakukan acara pernikahan, khitanan maupun acara adat lainnya dengan menyembelih sapi. Menyembelih sapi dalam Bahasa Makassar yaitu ammolong sapi yang berarti sapi disembelih dan diolah menjadi lauk bagi tamu yang hadir dalam acara tersebut. Hari raya umat Islam yaitu Idul Adha juga menjadi peluang besar bagi usaha peternakan sapi bali, karena masyarakat di Kabupaten Takalar yang berkurban daging sapi umumnya
45
menggunakan sapi bali. Penyembelihan ternak sapi yang lazim dilakukan oleh masyarakat ini menjadi peluang yang berpengaruh terhadap usaha peternakan sapi bali Adanya teknologi IB merupakan peluang yang baik bagi pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Inseminasi buatan dapat menjadi solusi bagi rendahnya kualitas dan kuantitas pejantan. Noor (2003) menjelaskan kegunaan IB adalah menyediakan pejantan unggul, memudahkan penggunaan pejantan unggul, pengontrolan penyakit, mendatangkan bangsa baru, mengurangi biaya pemeliharaan pejantan dan menghasilkan keturunan yang lebih seragam. Pelaksanaan IB perlu didahului dengan penyuluhan, perbaikan kualitas inseminator serta percontohan sapi bali yang di-IB dan menghasilkan keturunan yang sehat mengingat rendahnya kepercayaan peternak di Desa Pa’rappunganta terhadap IB. Teknologi IB memungkinkan adanya peningkatan kualitas genetik sapi bali di lokasi penelitian. Kerjasama dengan pemerintah setempat berupa penyelenggaraan vaksinasi berkala, penyediaan sarana usaha ternak, bantuan bibit rumput gajah/raja, penyelamatan betina produktif maupun penyuluhan dan pelatihan merupakan peluang yang dapat meningkatkan prospek pengembangan usaha sapi bali masyarakat desa. Peluang lain yang dapat membantu pengembangan populasi sapi bali yaitu bantuan pengadaan sapi bali. Bantuan yang diperoleh masyarakat di lokasi penelitian sejauh ini hanya berasal dari SMD (Sarjana Membangun Desa). Bantuan lain belum diterima oleh peternak setempat namun bantuan semacam ini berpengaruh langsung terhadap pengembangan populasi sapi bali. Bantuan pinjaman modal dari perbankan seperti juga dapat dimanfaatkan oleh peternak yang bekerjasama pemerintah setempat atau melalui kelompok peternak yang dibentuk untuk pengadaan agunan/jaminan peminjaman modal dari bank contohnya KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi). Daryanto (2009) menyatakan bahwa perlu dukungan pemerintah sebagai fasilitator agar memudahkan akses peternak kepada lembaga-lembaga sumber pembiayaan seperti perbankan untuk meningkatkan produktivitas usaha. Ancaman penyakit sapi bali yang dihadapi oleh peternak di Desa Pa’rappunganta seperti ngorok dan cacingan. Penyakit yang menyerang sapi bali tersebut dapat menyebabkan kematian yang merugikan peternak sehingga perlu
46
dilakukan pencegahan maupun penanganan penyakit baik berupa vaksinasi berkala maupun pengobatan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Daryanto (2009) bahwa usaha peternakan memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi dibanding usaha lainnya. Berbagai penyakit hewan yang mewabah mampu menyebabkan kematian ternak dan menjadi masalah dalam pengembangan komoditas peternakan. Maraknya daging sapi impor di Kabupaten Takalar juga menjadi ancaman. Persaingan harga dengan daging sapi impor perlu diwaspadai karena akan mempengaruhi pemasaran daging sapi lokal seperti sapi bali. Impor daging sapi nasional tahun 2010 sebesar 90.505,738 ton, untuk membantu memenuhi konsumsi daging sapi masyarakat sebesar 1,2 kg perkapita pertahun sementaran produksi daging sapi nasional sebesar 436.452 ton (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011). Persaingan dengan Kabupaten Gowa dalam menghasilkan sapi potong sebagai daerah penghasil sapi potong terbesar ketiga di Sulawesi Selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Takalar, juga menjadi ancaman walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar karena permintaan dalam kabupaten masih terbilang besar. Data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan tahun 2012 menunjukkan penjualan sapi potong dalam kota di Kabupaten Takalar mencapai 99,30% dan sisanya dijual di luar wilayah Kabupaten Takalar. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa nilai untuk faktor internal adalah 0,31 dan faktor eksternal adalah 0,94. Nilai tersebut pada matriks grand strategy menunjukkan posisi strategis berada di kuadran I karena faktor internal dan eksternal bernilai positif. Hal tersebut berarti strategi yang harus diambil untuk pengembangan sapi bali adalah strategi agresif. Strategi agresif menunjukkan faktor kekuatan dan peluang mendominasi dalam pengembangan sapi bali sehingga prospek pengembangannya di Desa Pa’rappunganta besar. Kekuatan utama yang mendukung prospek pengembangan sapi bali yaitu motivasi beternak tinggi dan ketersediaan hijauan makanan ternak yang tinggi sedangkan peluang utama yang dapat diraih adalah tingginya permintaan daging sapi bali. Posisi strategi agresif untuk pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Gambar 14.
47
Peluang
IV
I [(0.31),(0.94)]
Kelemahan
Kekuatan
II
III
Ancaman
Gambar 14. Matriks Grand Strategy Pengembangan Sapi Bali
48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Potensi pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta cukup besar yang ditunjukkan oleh nilai KPPTR yang positif dan sifat reproduksi yang baik dalam hal umur kawin pertama, umur beranak pertama, tingkat kelahiran, S/C, oestrus postpartum, selang beranak dan kematian anak rendah. Prospek pengembangan sapi bali juga besar yang ditunjukkan oleh hasil analisis SWOT. Kekuatan utama adalah motivasi beternak tinggi, ketersediaan sumber pakan dan peluang utama adalah tingginya permintaan daging sapi bali. Pengembangan sapi bali dapat dilakukan dengan strategi agresif. Saran Perlu ditingkatkan kerjasama antara peternak dengan pemerintah setempat khususnya Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar. Kerjasama dapat berupa penyuluhan dan pelatihan pengolahan jerami sebagai pakan, recording, penggunaan inseminasi buatan (IB) serta pengenalan program bantuan modal bagi peternak baik dari pemerintah maupun swasta. Kerjasama juga perlu dalam pengelolaan dan pemeliharaan sarana seperti pos IB, rumah potong hewan, poskeswan, kebun rumput dan lain-lain.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena ilmu dan akal dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasululullah Muhammad SAW yang telah mengantarkan manumur dari masa jahiliyah ke masa kepandaian atas izin-Nya. Terimakasih kepada Ir. Hj. Komariah, MSi. dan Ir. Dwi Joko Setyono, MS. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian tugas akhir penulis. Terimakasih kepada Bramada Winiar Putra, S.Pt. selaku dosen pembimbing akademik penulis atas segala arahan selama masa studi penulis. Terimakasih kepada M. Baihaqi, S.Pt. MSc. dan Dr. Sri Suharti, S.Pt. MSi. selaku penguji sidang yang telah memberikan masukan bagi skripsi penulis. Penulis menghaturkan terimakasih kepada kedua orang tua, Ayahanda H. Muh. Syukri dan Ibunda Hj. Syarpah Syam serta adik penulis, Faris Makkawaru Syukri dan Fathur Maulana Syukri yang tak putus memberikan dukungan do’a, materi serta kepercayaan terhadap penulis. Terimakasih pula untuk Dato’ Hj. St. Patiama dan Dato’ H. Haeruddin beserta keluarga besar penulis, juga Muh. Maulana Arif atas do’a dan semangat yang selalu diberikan selama ini. Ucapan terimakasih penulis tujukan pada seluruh Kepala Desa dan masyarakat Desa Pa’rappunganta, serta segenap aparatnya, Kepala Subdinas Peternakan Takalar dan Badan Pusat Statistik Takalar beserta stafnya, yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih kepada teman-teman di Fakultas Peternakan IPB angkatan 45 (D’Technoduct), Kepala Departemen IPTP beserta staf, AJMP Fapet IPB, Nurul Jannah sebagai rekan penelitian penulis dan Atiq, Ika serta Momon atas kebersamaan selama ini. Seluruh pihak yang telah berjasa kepada penulis yang tak dapat disebutkan satu persatu penulis ucapkan terimakasih. Hanya Allah SWT yang dapat membalas seluruh kebaikan yang penulis terima selama ini.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R. Z. 2008. Pemanfaatan cendawan untuk meningkatkan produktivitas dan kesehatan ternak. J. Litbang Pertanian. Vol. 27 (3) : 84-92. Amril, A. M., S. Rasjid, & Hasan. 1990. Rumput lapangan dan jerami padi amoniasi urea sebagai sumber hijauan dalam penggemukan sapi bali jantan dengan makanan penguat. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar. 2010. Kecamatan Polombangkeng Utara dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, Takalar. Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus penduduk 2010 : umur penduduk. http://sp2010.bps.go.id/. [3 Agustus 2012]. Ball, H. & A. R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle. 3rd Ed. Blackwell Publishing Ltd., Oxford. Bamualim, A. & R. B. Wirdahayati. 2003. Nutrition and management strategies to improve bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Management to facilitate genetic improvement of bali cattle in eastern Indonesia. Proceeding ACIAR Workshop on Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia, Bali, Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra, 4-7 Februari 2002. Bearden, H. J., J. W. Fuquay, & S. T. Willard. 2004. Applied Animal Reproduction. 6th Edition. Pearson Prentice Hall, New Jersey. Chotiah, S. 2008. Diare pada anak sapi : agen penyebab, diagnosa dan penanggulangan. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta, 21 April 2008. Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press, Bogor. Darmadja, D. 1990. Potensi sapi bali sebagai kebanggaan nasional. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan. 2012. Data Sapi Potong Sulawesi Selatan. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau 2011 (PSPK 2011). http://disnaksulsel.info/. [1 Maret 2012]. Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Sapi bali betina. http://ditjennak.deptan.go.id/index.php?page=galerifoto&action=detailalbum &id=25. [1 Maret 2012]. Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta.
Departemen Pertanian. 2010. Sapi Bali Jantan. http://multimedia.deptan.go.id/vidiscript/play/Peternakan/Sapi_Bali_Jantan.[1 Maret 2012]. Febrina, D. & M. Liana. 2008. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia pada peternak rakyat di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. J. Peternakan. Vol. 5. No. 1 : 28-37. Fletcher, K. 1990. Marketing Management and Information Technology. Prentice Hall International Ltd., London. Fordyce, G., T. Panjaitan, Muzani, & D. Poppi. 2003. Management to facilitate genetic improvement of bali cattle in eastern Indonesia. Proceeding ACIAR Workshop on Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia, Bali, Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra, 4-7 Februari 2002. Gunawan, A. R. Sari, Y. Parwoto, & M. J. Uddin. 2011. Non genetic factors effect on reproductive performance and preweaning mortality from artificially and naturally bred in bali cattle. J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 36 (2) : 83-90. Google Map. Peta kabupaten Takalar. https://maps.google.co.id/. [20 Juli 2012]. Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya. Hardjosubroto, W. & J. M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Kadarsih, S. 2004. Performans sapi bali berdasarkan ketinggian tempat di daerah transmigrasi Bengkulu : II. performans reproduksi. J. Penelitian UNIB. Vol. X. 2 : 119-126. Kairupan, A. N. 2011. Kajian perkembangan sapi lokal di kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) Batui Provinsi Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Liwa, A. M. 1990. Produktivitas sapi bali di Sulawesi Selatan. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mangkoewidjoyo, S. 1990. Beberapa pemikiran tentang usaha peningkatan daya tahan sapi bali terhadap penyakit menular. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990. Martojo, H. 1990. Upaya pemuliaan dan pelestarian sapi bali untuk menunjang pembangunan peternakan secara nasional. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990. Mathius, I. W. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. J. Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 1(2): 206-224. National Research Council (NRC). 1984. Nutrient Requirements of Beef Cattle. 6th Edition. National Academy Press, Washington DC.
52
Nell, A. J. & D. H. L. Rollinson. 1974. The Requirement and Availability of Livestock Feed in Indonesia. UNDP Project INS/72/009, Jakarta. Noor, R. R. 2003. Manajemen Inseminasi Buatan pada Sapi dan Unggas. Program Pendidikan Pertanian Terpadu (P3T) Ma’had Al Zaytun, Indramayu. Paat, P. C. & M. Winugroho. 1990. Peningkatan produktivitas sapi bali pada kondisi pedesaan dengan memanfaatkan dedak padi sebagai pakan tambahan. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990. Pane, I. 1990. Upaya peningkatan mutu genetik sapi bali di P3 Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990. Panjaitan, T., G. Fordyce, & D. Poppi. 2003. Bali cattle performance in the dry tropics of Sumbawa. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 8. No. 3 : 183-188. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Pemerintah Desa Pa’rappunganta. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa. Pemerintah Kabupaten Takalar, Takalar. Prasojo, G., I. Arifiantini, & K. Mohamad. 2010. Korelasi antara lama kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi bali. J. Veteriner. Vol. 11. No. 1 : 41-45. Priadi, A. & L. Natalia. 2000. Patogenesis Septicaemia epizootica (se) pada sapi/kerbau: gejala klinis, perubahan patologis, reisolasi, deteksi pasteurella multocida dengan media kultur dan polymerase chain reaction (pcr). J. Ilmu Ternak dan Veteriner.Vol. 5. No. 1 : 65-71. Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi, Konsep dan Strategi untuk Menghadapi Abad 21. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Romjali, E. & A. Rasyid. 2007. Keragaan reproduksi sapi bali pada kondisi peternakan rakyat di Kabupaten Tabanan Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Akselerasi Agribisnis Peternakan Nasional Melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEK, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor, 21-22 Agustus 2007. Salisbury, G.W. & N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Saleh, A. 2006. Tingkat penggunaan media massa dan peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong. Media Peternakan. Vol. 29. No.2 : 107-120. Santosa, K. A. & Harmadji. 1990. Peranan gaduhan, PUTP dan PIR dalam pengembangan peternakan sapi bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990.
53
Sariubang, M., A. Nurhayu, & A. Saenab. 2009. Pengkajian sistem pembibitan sapi bali pada peternakan rakyat di Kabupaten Takalar. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/semnas/pro09-11.pdf. [20 September 2011]. Sastradipradja, D. 1990. Potensi internal sapi bali sebagai salah satu sumber plasma nutfah untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong dan ternak kerja secara nasional. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Bali, 20-22 September 1990. Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar. 2011. Populasi Ternak Besar Tiap Desa di Kecamatan Polombangkeng Utara. Dinas Pertanian Kabupaten Takalar, Takalar. Sudardjat, S. & R. Pambudy. 2003. Menjelang Dua Abad Sejarah Peternakan dan Kesehatan Hewan di Indonesia: Peduli Peternak Rakyat. Yayasan Agrindo Mandiri, Jakarta. Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi, & Ismudiono. 2008. Performansi sapi bali pada tiga daerah di Provinsi Bali. Berk. Penel. Hayati. 13 : 147 – 152. Sutan, S. M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi brahman, peranakan ongole, dan sapi bali di daerah transmigrasi Batumarta, Sumatera Selatan. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syamsu, J. A., L. A. Sofyan, K. Mudikjo, & E. G. Sa’id. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa. Vol. 13. No.1. Hal : 30-37. Syamsu, J. A., A. Natsir, S. Ahmad, E. Abustam, N. Kadir, H. M. Ali, M. Mukarram, A. M. Arasy, & A. H. Setiawan. 2006. Limbah Tanaman Pangan Sebagai Sumber Pakan Ruminansia : Potensi dan Daya Dukung di Sulawesi Selatan. Yayasan Citra Emulsi dan Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Talib, C. 2002. Sapi bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya. Wartazoa. Vol. 12. No. 3. Hal : 100-107. Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, T. S. Budiarti, & D. R. Lindsay. 2003. Survey of population and production dynamics of bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. Proceeding ACIAR Workshop on Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia, ACIAR, Bali, 4 -7 Februari 2002. Hal : 3-9. Toelihere, M. R. 1981a. Ilmu Kemajiran pada Ternak Sapi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Toelihere, M. R. 1981b. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
54
Wardhani, N. K. 1990. Respon sapi bali terhadap usaha perbaikan pakan dengan suplementasi. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, 20-22 September 1990. Wiltbank, J. N. 1970. Research needs in beef cattle reproduction. J. Anim. Sci. 31 : 755 – 762.
55
LAMPIRAN
Lampiran 1. Form Kuesioner Wawancara Peternak Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA’RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN I.
Identitas Responden
1.
Nama
:……………………………………………………
2.
Umur
:………tahun.
3.
Alamat
:……………………………………………………
4.
Telp.
:……………………………………………………
5.
Pendidikan terakhir :……………………………………………
6.
Mulai beternak sapi Bali :………………………………………
7.
Alasan beternak sapi Bali :………………………............................................................................ ………………………………………....................................................
8.
Jumlah anggota keluarga……orang. Anak Dewasa
9.
:………………………orang (<16tahun) :………………………orang (>16tahun)
Beternak sapi Bali sebagai … a. Usaha utama b. Usaha sambilan
10. Jika usaha sambilan maka pekerjaan utamanya … a. petani
e. pedagang
b. buruh
f. tukang/pengrajin
c. pegawai negeri
g. wirausaha
d. pegawai swasta
h. lainnya……………………
11. Pendapatan keluarga/bulan :……………………………………………………………………….. 12. Jenis ternak lain yang dipelihara … a. Sapi Bali b. Ayam/itik/angsa/puyuh c. Kambing/domba d. Kuda e. Lainnya………………. 13. Apakah pernah mendapatkan pelatihan atau penyuluhan … a. Ya b. Tidak 14. Jika ya, pihak atau institusi apa yang pernah memberikan pelatihan atau penyuluhan? ...........................................................................................................................................................
57
II.
Ternak Sapi Bali
1.
Jumlah ternak sapi Bali yang dipelihara :……ekor
2.
Perbandingan jantan : betina = … Jumlah Umur Sapi Bali Jantan
Betina
0 – 1 tahun 1 tahun – 2 tahun >2 tahun
3.
Status kepemilikan sapi Bali a. Milik sendiri :……ekor b. Gaduhan/bagi hasil : a). ……ekor untuk peternak b). ……ekor untuk pemilik
III. 1.
Manajemen Pemeliharaan Ternak Sapi Bali Sistem perkandangan/pemeliharaan sapi Bali … a. Dikandangkan terus menerus (intensif) b. Digembalakan (ekstensif) c. Malam dikandangkan, siang diikat di luar rumah/digembalakan (semi intensif)
2.
Jika jawaban no.1 adalah c, maka… a. Jam keluar kandang adalah…………… b. Jam dikandangkan kembali adalah………
3.
Kepemilikan kandang :………………………
4.
Bentuk kandang … a. Sendiri-sendiri b. Kelompok kecil c. Kelompok besar/digembalakan
5.
Luas kandang :……………………
6.
Frekuensi pembersihan kandang :…………………
7.
Bibit berasal dari… a. beli di pasar hewan b. beli di peternak lain c. orang yang menitipkan d. pemerintah
8.
Apakah dilakukan pemberian identitas sapi Bali atau tidak? a. Ya….. Bentuknya :……………………………………. b. Tidak
58
9.
Hal/aspek apa saja yang dicatat selama ini? a. Manajemen perkawinan/reproduksi (tanggal kawin, tanggal beranak, dll.) b. Performa anak yang dilahirkan (bobot lahir,jenis kelamin, dll.) c. Kesehatan sapi Bali d. Kelahiran dan mortalitas e. Lainnya………………………….. f. Tidak ada pencatatan
10. Peralatan yang digunakan untuk beternak :……………………………………………... IV. Pakan Ternak Sapi Bali 1.
Sumber pakan rumput yang digunakan … a. tumbuh sendiri b. ditanam
2.
Hijauan yang diberikan/dimakan ternak … a. Rumput gajah b. Jerami padi c. Rumput raja d. Rumput lapang e. Lainnya…………………..
3.
Frekuensi pemberian hijauan … a. Terus-menerus b. 3 kali/hari c. 2 kali/hari d. 1 kali/hari e. Lainnya…
4.
Apakah pemberian konsentrat dilakukan?... a. Ya b. Tidak
5.
Jika ya, jenis konsentrat yang diberikan adalah…. a. Dedak padi b. Jagung c. Lainnya…
6.
Frekuensi pemberian konsentrat a. Terus-menerus b. 3 kali/hari c. 2 kali/hari d. 1 kali/hari e. Tidak teratur
7.
Banyaknya air minum yang diberikan?........................
59
8.
Bagaimana cara pemberian air minum? a. Diberikan langsung b. Dicampur dengan garam c. Lainnya……
V. Reproduksi 1.
Umur berapa sapi Bali a. Berahi pertama : .......... b. Kawin pertama : ……… c. Beranak pertama : ……….
2.
Lama siklus birahi : ……….
3.
Lama berahi : ……….
4.
Lama bunting : ……….
5.
Berapa bulan sapi Bali kawin lagi setelah beranak? ………. bulan.
6.
Jumlah panen anak/tahun adalah……ekor dari ……ekor induk.
7.
Waktu yang diperlukan untuk berahi kembali setelah melahirkan……
8.
Lama selang beranak adalah……tahun……bulan
9.
Untuk sapi Bali kawin alam a. Berapa kali kawin hingga bunting (S/C) =…….kali b. Siapa milik pejantannya?..........................................
10. Adakah sapi Bali yang di IB? a. Jika ya, berasal dari………………………………….. b. Jika tidak, alasannya…………………………………. 11. Apakah ada kesulitan saat proses melahirkan (distokia)? a. Ya, cara mengatasinya……………………………………………… b. Tidak 12. Apakah pernah terjadi kematian anak a. Ya, umur ……. banyaknya rata-rata ……. ekor/tahun b. Tidak 13. Apakah kesulitan mencari pejantan? a. Ya, karena…………………………………………… b. Tidak VI. 1.
Penanganan Kesehatan Pemberian obat/vitamin a. Pernah b. Tidak pernah
2.
Penyakit yang pernah menyerang sapi Bali selama ini…. a. ngorok b. mencret
60
c. cacingan 3.
Bagaimana cara mengobatinya? a. Ditangani sendiri b. Memanggil teman peternak yang berpengalaman c. Memanggil dokter/mantri hewan
4.
Apakah jika terdapat penyakit serius, langsung dikonsultasikan dengan dokter/mantri hewan? a. Ya b. Tidak,karena……………………………………………………………
VII.
Pemasaran Sapi Bali
1.
Biaya yang dikeluarkan untuk ternak Sapi Bali Rp…………bulan/tahun.
2.
Tujuan atau motivasi penjualan sapi Bali: a. Sudah tua atau tidak produktif b. Kebutuhan sehari-hari c. Kebutuhan sekolah anak-anak (tabungan masa depan) d. Menambah jumlah sapi Bali e. Mendapatkan keuntungan besar karena harganya relatif mahal f. Membuka usaha lain g. Lainnya……………
3.
Sapi Bali sering digunakan oleh konsumen atau peternak sebagai : a. Sumber daging b. Hewan penghela c. Acara pernikahan d. Upacara khitanan e. Lainnya……………
4.
Harga rata-rata seekor sapi Bali : Rp…………………../ekor
5.
Apakah harga tersebut menguntungkan? a. Ya, karena……………………………… b. Tidak, karena……………………………
6.
Kepada siapa sapi Bali di jual? a. Langsung ke pasar hewan b. Melalui pengumpul c. Pesanan tetangga atau kenalan lainnya d. Lainnya………………………………
7.
Rata-rata umur sapi yang dijual adalah…………tahun
61
Lampiran 2. Form Analisis Faktor Internal dan Faktor Eksternal Pengembangan Sapi Bali Faktor Internal
Bobot (B)
Rating (R)
Nilai (B x R)
Rating (R)
Nilai (B x R)
Kekuatan : 1 2 3 4 5 Jumlah Kelemahan : 1 2 3 4 5 Jumlah Skor
1
Faktor Eksternal
Bobot (B)
Peluang : 1 2 3 4 5 Jumlah Ancaman : 1 2 3 4 5 Jumlah Skor
1
62
Lampiran 3. Perhitungan Analisis KPPTR di Desa Pa’rappunganta No 1
Sumber Hijauan
Nilai Konversi Kesetaraan Pembaku
Keterangan
2
Padang rumput permanen atau PRP (sumber pembaku) Sawah bera (SB)
Produksi : 15 BK/Ha/tahun 10% luas setara PRP
3
Galengan Sawah (GS)
100% luas GS setara PRP
4 5 6 7 8
Hutan Budidaya (HB) Hutan Sekunder (HS) Tegalan/ Lahan kering (Tg) Perkebunan (Pk) Pinggir jalan
5% luas HB setara PRP 2% luas HS setara PRP 1% luas Tg setara PRP 5% luas Pk setara PRP Setiap 1 km panjang jalan setara 0,5 ha PRP
ton
Asumsi : 20% luas sawah diberakan/tahun Luas GS 3% luas sawah
Nilai Asumsi Produksi Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP) No
Bahan HHSP
Produksi BK/ha (ton)
Dikonsumsi Ternak (%)
1
Jerami padi
5,94
10
2
Jerami kacang hijau
4,94
40
3
Jerami tebu
6
10
Perhitungan Produksi Sumber Hijauan No
Sumber
Luas (Ha)
Konversi PRP (Ha)
Produksi (ton BK/Ha/Tahun)
1
Sawah
151
2
Sawah bera
30,2
3,02
45,3
3
Galengan sawah
4,53
4,53
67,95
4
Tegalan
78,9
0,79
11,83
5
Perkebunan
492,42
24,62
369,315
6
Pinggir jalan
6 km
3
45
7
Padang rumput permanen
3
3
45
Jumlah
584,395
63
Perhitungan
Sawah bera (30,2 ha) Konversi PRP = 20 % x 151 ha = 30,2 ha Produksi sawah bera = 10% x 30,2 x 15 ton/BK/tahun = 45,3 ton BK/Ha/tahun Galengan sawah (4,53 ha) Konversi PRP = 3% x 151 ha = 4,53 ha Produksi galengan sawah = 4,53 x 15 ton BK/Ha/tahun = 67,95 ton BK/Ha/tahun Tegalan (78,9 ha) Konversi PRP = 1% x 78,9 ha = 0,79 ha Produksi tegalan = 0,79 x 15 ton BK/Ha/tahun = 11,83 Perkebunan (492,42 ha) Konversi PRP = 5% x 492,42 ha = 24,62 ha Produksi perkebunan = 24,62 ha x 15 ton BK/Ha/tahun = 369,315 ton BK/ha/tahun Pinggir jalan (6 km) Konversi PRP = 0,5 ha/km x 6 km = 3 ha Produksi pinggir jalan = 3 ha x 15 ton BK/ha/tahun = 45 ton BK/ha/tahun Padang rumput permanen (3 ha) Konversi PRP = 100% x 3 ha = 3 ha Produksi padang rumput = 3 ha x 15 ton BK/ha/tahun = 45 ton Bk/ha/tahun
No
Bahan HHSP
Luas panen (ha)
Produksi (ton BK/Ha/tahun)
1
Jerami padi
151
179,388
2
Jerami kacang hijau
151
298,376
3
Jerami tebu
492,42
590,904
Perhitungan
Produksi jerami padi 151 ha x 5,94 ton/ha (produksi/ha) x 2 kali panen x 10% = 179,388 ton BK/ha/tahun Produksi jerami kacang hijau 151 ha x 4,94 ton/ha x 1 x 40% = 298,376 ton BK/ha/tahun Produksi tebu 492,42 ha x 6 ton/ha x 2 x 10% = 590,904 ton BK/ha/tahun
Total produksi HMT = sumber hijauan + sumber HHSP = 584,394 + 1068,668
64
= 1653,062 ton BK/ha/tahun Kapasitas tampung wilayah = Total produksi HMT 2,3 ST = 1653,062 2,3 ST = 719,97 ST KPPTR (SL) = kapasitas tampung-populasi riil + kuda = 719,97 ST – (499 ST + 83 ST) = 137,97 ST Jumlah Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta Tahun 2011 Kelompok Umur
Jantan (ekor)
Betina (ekor)
Satuan Ternak (ST)
Anak (0-1 tahun)
165
123
72
Muda (1-2 tahun)
29
115
72
Dewasa (>2 tahun)
3
352
355
Jumlah
499
65