Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN (Response of Injections of Capriglandin Pgf2 onstrus Synchronization of Female Bali Cattle in Bantaeng District South Sulawesi) MATHEUS SARIUBANG dan A. NURHAYU Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan Km 175, Ujung Pandang
ABSTRACT A study was conducted in the BorongloE Village, Pa’jukukang Subdistrict, Bantaeng District South Sulawesi in 2010. The aim of this study was to study the effect of injection of Capriglandin PGF2 (progesterone hormone) on synchronized estrus and pregnancy rate after AI in female Bali Cattle. The materials used were 20 heads of female Bali Cattle which were divided into 2 treatment groups where each group consisted of 10 heads. These cattle were multipara (at least had two calves). Capriglandin PGF2 hormon was injected intramusculary.Treatment given were: (1) Injecting Capriglandin PGF2 one time 3 ml on first day, on fourth day on the AI two times in the morning and afternoon; (2) injection of Capriglandin PGF2twice as much as 3 ml on first day, on elevent day, on fourteenth day at AI twice in the morning and afternoon. Result showed that in treatment 2 passion emerged in response to injection Capriglandin PGF2 twice of 3 ml is better than Injecting Capriglandin PGF2one time was 90 and 60%. The emergence of first estrus in injection Capriglandin PGF2 twice of 3 ml was at about 60 hours after the cessation of the first injection, while in injecting Capriglandin PGF2one time after 64 hours. Estrus length in injection Capriglandin PGF2 twice is longer than injecting Capriglandin PGF2one time: 36 hours and 30 hours. Statistical analysis showed that longer estrus was resulted from injection of Capriglandin PGF2 twice (P < 0.05) compared to Injecting Capriglandin PGF2once. The success of CR was significantly higher obtained from injection Capriglandin PGF2 twice (80%) than Injecting Capriglandin PGF2once (50%). S/C until pregnancy occurred in injection Capriglandin PGF2 twice was significantly (P < 0.05) lower than injecting Capriglandin PGF2 once. On the average S/C resulted from injection Capriglandin PGF2 twice was 1.25, while in injecting Capriglandin PGF2once S/C was 2.36. It is concluded that Capriglandin PGF2 injection as much as 3 ml twice at eleven day afterward resulted in better respond of Bali Cattle estrus synchronization. Key Words: Capriglandin PGF2 Hormone Estrus Synchronization, Female Bali Cattle ABSTRAK Suatu penelitian dilaksanakan di Desa BorongloE, Kecamatan Pa’jukukang Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dengan tujuan untuk melihat pengaruh penyuntikan hormon Capriglandin PGF2 (hormon progesteron) terhadap sinkronisasi berahi dan tingkat kebuntingan setelah IB pada sapi Bali di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan. Materi yang digunakan adalah 20 ekor induk sapi Bali yang dibagi dalam 2 kelompok perlakuan dimana masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor. Induk sapi Bali yang digunakan minimal telah beranak dua kali. Penyuntikan hormon dilakukan secara intramuskuler menggunakan hormon Capriglandin (PGF2). Perlakuan yang diberikan yaitu: (1) A. Penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2satu kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1, pada hari ke-4 langsung di IB dua kali yaitu pagi dan Sore; (2) B. penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1 dan ke-11 dan pada hari ke-14 di IB dua kali yaitu pada pagi dan sore hari. Hasil yang diperoleh adalah respon berahi yang muncul pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1 dan ke-11 lebih baik dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2satu kali yaitu 90 dan 60%. Munculnya berahi pertama kali pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali sekitar 60
45
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
jam setalah penghentian penyuntikan pertama, sedangkan pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2 ) satu kali munculnya berahi pertama kali setelah 64 jam. Lama berahi pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali lebih lama dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) satu kali yaitu 36 jam dan 30 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa berahi pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali nyata lebih lama (P < 0,05) dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) satu kali. Keberhasilan kebuntingan (CR) lebih tingginya secara signifikan yang diperoleh pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali (80%) dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2 ) satu kali (50%). Pelayanan inseminasi (S/C) sampai terjadi kebuntingan pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali nyata (P < 0,05) lebih rendah dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) satu kali. Rata-rata dibutuhkan sebanyak 1,25 kali inseminasi untuk terjadi kebuntingan pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) dua kali, sedangkan pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) satu kali dibutuhkan inseminasi sebanyak 2,36 kali baru terjadi kebuntingan. Kesimpulan bahwa penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) sebanyak 3 ml dilakukan dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama memberikan respon sinkronisasi berahi induk sapi Bali lebih baik dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. Kata Kunci : Hormon Capriglandin PGF2Sinkronisasi Berahi, Induk Sapi Bali
PENDAHULUAN Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang cukup penting karena terdapat dalam jumlah cukup besar dengan wilayah penyebarannya yang luas di Indonesia. Semakin tingginya impor daging dan ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihakpihak terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola sapi asli Indonesia sebaik-baiknya, termasuk sapi Bali. Beberapa kelebihan dimiliki sapi Bali terutama kemampuan adaptasinya dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik. Sulawesi Selatan termasuk daerah yang potensial di bidang pengembangan ternak sapi. Sapi Bali terbukti telah mampu beradaptasi dengan kondisi agroklimat Sulawesi Selatan. Hampir seluruh lapisan masyarakat utamanya petani telah mengenal sapi Bali dan telah dipelihara di semua kabupaten yang ada. Namun demikian, populasi dan potensi genetik sapi Bali yang ada di Sulawesi Selatan saat ini cenderung semakin menurun yang dibuktikan dari beberapa hasil kajian. (DISNAK, 2007). Kecenderungan penurunan kualitas bibit sapi Bali telah banyak diteliti dan memperlihatkan hasil yang mencengangkan. Jika pada tahun 1970-an dengan mudah diperoleh sapi Bali jantan di Sulawesi Selatan dengan berat 400 – 500 kg pada kondisi lapangan (pada waktu itu belum ada penggemukan), maka untuk kondisi sekarang
46
ini untuk memperoleh sapi jantan dengan berat 275 – 300 kg sudah sangat susah. Penurunan kualitas ini bukan hanya terlihat pada berat dewasa tetapi juga terlihat pada aspek reproduksi, berat lahir dan dimensi tubuh. Salah satu alternatif untuk memperbaiki produktivitas sapi Bali di daerah ini adalah memperbaiki mutu genetik melalui pemanfaatan pejantan unggul secara optimal dengan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB). Namun demikian, keberhasilan penerapan teknologi ini pada sapi potong masih bervariasi dan kecenderungan terjadi penurunan hasil. Kesulitan menginseminasi ternak tepat pada waktunya yang berkaitan dengan kesulitan mendeteksi berahi di lapangan adalah salah satu faktor penyebab rendahnya hasil IB, disamping faktor kualitas semen beku rendah. Ketidakserentakannya berahi pada ternak sapi di lapangan merupakan penyebab utama rendahnya efisiensi reproduksi hasil IB (SARIUBANG dan TAMBING, 2006). Sinkronisasi berahi adalah suatu teknik dimana seekor atau sekelompok ternak mengalami berahi secara serentak atau dalam waktu yang hampir bersamaan, dengan harapan dapat dikawinkan atau diinseminasi secara bersama-sama serta dapat ditentukan kelahirannya. Keuntungan dari teknik ini adalah dapat diperkirakannya waktu berahi dan ketepatan pelaksanaan IB sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi (MACMILLAN dan BURKE, 1996). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penyuntikan hormon Capriglandin
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PGF2 (hormon progesteron) terhadap sinkronisasi berahi dan tingkat kebuntingan setelah IB pada sapi Bali di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa BorongloE, Kecamatan Pa’jukukang Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan pada tahun 2010. Menggunakan 20 ekor induk sapi Bali yang dibagi dalam 2 kelompok perlakuan dimana masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor. Induk sapi Bali yang digunakan minimal telah beranak dua kali. Penyuntikan hormon dilakukan secara intramuskuler menggunakan hormon Capriglandin (PGF2). Perlakuan yang diberikan yaitu: 1. Perlakuan A: Penyuntikan Capriglandin (PGF2) satu kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1, pada hari ke-4 di IB dua kali yaitu pagi dan sore. 2. Perlakuan B: penyuntikan Capriglandin (PGF2) dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1 dan hari ke-11, pada hari ke-14 di IB dua kali yaitu pada pagi dan sore hari. Penentuan kebuntingan dilakukan 60 – 90 hari setelah inseminasi. Penentuan kebuntingan dilakukan dengan cara palpasi rektal (PKB), maupun induk yang tidak minta kawin lagi (tidak estrus). Bunting atau tidaknya bisa juga dilakukan dengan pengamatan berahi bila dalam 18 – 25 hari setelah inseminasi tidak memperlihatkan muncul tanda-tanda berahi maka diasumsikan bahwa ternak tersebut bunting. Data yang diamati adalah: reproduksi induk meliputi respon estrus, onset estrus, lama estrus, service per conception (S/C), conception rate (CR) dan persentase kelahiran. Digunakan uji T untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. a. Respon estrus (%) = Jumlah sapi yang estrus dibagi (:) jumlah sapi yang estrus ditambah (+) tidak estrus dikali (×) 100%. b. Onset estrus (jam) = dihitung mulai saat penghentian perlakuan hingga muncul tanda-tanda berahi. c. Lama estrus (jam) = dihitung mulai saat muncul tanda-tanda berahi pertama kali
sampai dengan berhentinya tanda-tanda berahi. d. S/C = jumlah pelayanan inseminasi yang diperlukan untuk mendapatkan kebuntingan. e. CR = jumlah sapi bunting hasil inseminasi pertama dibagi (:) jumlah seluruh sapi yang diinseminasi × 100 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Tampilan reproduksi Pengaruh penyuntikan Capriglandin (PGF2) terhadap keserentakan berahi pada induk sapi Bali di Kabupaten Bantaeng tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Tampilan reproduksi dari penyuntikan Capriglandin (PGF2) Parameter Respon estrus (%) Onset estrus (jam) Lama estrus (jam)
Perlakuan A
Perlakuan B
60a
90b
64,2a
60,7b
30,3a
36,0b
huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
Pada Tabel 1 nampak bahwa penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) sebanyak dua kali pada hari ke-1 dan ke-11 memperlihatkan respon berahi yang lebih baik dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) hanya satu kali yaitu 90 dan 60%. Demikian pula munculnya berahi pertama kali lebih cepat pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) sebanyak dua kali dibandingkan dengan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) hanya satu kali. Munculnya berahi pertama kali pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) sebanyak dua kali sekitar 60 jam setelah penghentian penyuntikan pertama, sedangkan pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) satu kali munculnya berahi pertama kali setelah 64 jam. Lama berahi pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) sebanyak dua kali lebih lama dibandingkan dengan penyuntikan satu kali yaitu 36 jam dan 30 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan
47
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
bahwa berahi pada penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2α) sebanyak dua kali nyata lebih lama (P < 0,05) dibandingkan dengan penyuntikan satu kali, dengan perbedaan lama berahi di antara kedua perlakuan sekitar 6 jam. Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyuntikan Capriglandin (PGF2) dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1 dan hari ke11 memperbaiki kinerja reproduksi induk sapi Bali dibandingkan dengan yang disuntikkan Capriglandin (PGF2) satu kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1. Hal ini ditandai dengan tingginya respon berahi. Hal yang sama dilaporkan oleh STEPHENS dan RAJAMAHENDRAN (1998) bahwa penyuntikan PGF2α sebanyak dua kali pada sapi potong mampu menyerentakkan berahi (90%) dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. ARCHBALD et al. (1993) melaporkan bahwa penyuntikan PGF2α sebanyak dua kali pada sapi perah menghasilkan respon estrus sebanyak 91%. Sedangkan MACMILLAN et al. (1991) menyatakan bahwa penyuntikan PGF2α sebanyak satu kali pada fase luteal ataupun dua kali selang 11 hari tanpa memperhatikan siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75 – 100%. Tingginya respon berahi pada penyuntikan Capriglandin (PGF2) dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1 dan hari ke-11 ternyata juga mempengaruhi keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai (Tabel 2) dengan lebih tingginya secara signifikan angka kebuntingan yang diperoleh pada penyuntikan Capriglandin (PGF2) dilakukan dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1 dan hari ke-11 (80%) dibandingkan dengan penyuntikan Capriglandin (PGF2) hanya satu kali pada hari ke-1 (50%). Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 30%. Lebih tingginya kebuntingan yang diperoleh pada penyuntikan Capriglandin (PGF2) sebanyak dua kali sebesar 3 ml pada hari ke-1 dan hari ke-11 dibandingkan dengan penyuntikan Capriglandin (PGF2) hanya satu kali pada hari ke-1, ternyata didukung pula oleh jumlah inseminasi per kebuntingan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah pelayanan (inseminasi) sampai terjadi kebuntingan pada penyuntikan Capriglandin (PGF2) dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke-1 dan hari ke-11 nyata (P < 0,05) lebih rendah dibandingkan dengan penyuntikan Capriglandin (PGF2)
48
hanya satu kali. Rata-rata dibutuhkan sebanyak 1,25 kali inseminasi untuk terjadi kebuntingan pada pada penyuntikan Capriglandin (PGF2) dilakukan dua kali sebanyak 3 ml pada hari ke1 dan hari ke-11, sedangkan pada penyuntikan Capriglandin (PGF2) hanya satu kali dibutuhkan inseminasi sebanyak 2,36 kali baru terjadi kebuntingan. Tabel 2. Hasil Inseminasi sapi Bali penyuntikan Capriglandin (PGF2) Parameter S/C CR (%) a, b
Perlakuan A 50,25
Perlakuan B
a
1,25b
a
80,30b
2,36
dari
: superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
Hasil kebuntingan ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan SARIUBANG dan TAMBING (2006) menggunakan hormon estro-plan PGF2α sebanyak 2 ml dengan tingkat kebuntingan sekitar 69%. Rendahnya respon berahi dan tingkat kebuntingan pada penyuntikan PGF2α satu kali kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ternak belum memiliki CL dalam ovarium, ternak mengalami berahi pendek (sub estrus) ataupun mengalami gejala hipofungsi ovarium. TOELIHERE (1981) dalam HERDIS (1999) mengatakan bahwa adanya batas ambang optimal PGF2α dalam CL, apabila melebihi ataupun tidak mencukupi batas ambang tersebut maka ternak tidak akan berespon terhadap penyuntikan hormon tersebut dan akibatnya pengaruh yang diharapkan gagal diekspresikan. Hormon PGF2α dan analognya telah lama digunakan dalam program sinkronisasi berahi ternak. Metode yang digunakan ada dua jenis, yaitu: (1) penyuntikan satu kali dan (2) penyuntikan dua kali selang 11 atau 12 hari. Metode pertama biasanya efektif menyerentakkan berahi ternak apabila dalam kondisi siklus berahi ternak diketahui, dan apabila kondisi ternak berada dalam fase luteal. Sedangkan metode kedua biasanya lebih cocok diterapkan pada kondisi lapangan dimana siklus berahi ternak sulit untuk dikontrol atau diamati. Umumnya tingkat keberhasilannya dalam menyerentakkan berahi lebih tinggi pada
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
metode penyuntikan PGF2α sebanyak dua kali pertama dibandingkan penyuntikan satu kali. Terbukti dari hasil penelitian ini, dimana penyuntikan secara intramuskuler Capriglandin (PGF2) sebanyak dua kali selang 11 hari memberikan respon berahi dan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. Hal ini mungkin disebabkan setelah penyuntikan kedua semua ternak telah berada dalam fase luteal. Apabila ternak sudah berada dalam fase luteal berarti telah memiliki CL. Akibatnya hormon ini langsung bereaksi dengan melisiskan CL yang terbentuk. Lisisnya CL ini menyebabkan kadar progesteron menurun, yang mengakibatkan hilangnya hambatan terhadap hormon gonadotropin, yang selanjutnya diikuti dengan pertumbuhan dan pematangan folikel, timbul berahi dan ovulasi. Sebagaimana dikemukakan oleh LARSON dan BALL (1992) bahwa penggunaan hormon PGF2α untuk program sinkronisasi berahi ternak hanya efektif bila ternak tersebut telah memiliki CL. KUNE (1998) mengatakan bahwa pemberian PGF2α akan menekan konsentrasi progesteron dalam darah sehingga rasio antara konsentrasi estrogen dan progesteron meningkat, akibatnya ternak akan memperlihatkan pola tingkah laku berahi. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) sebanyak 3 ml dilakukan dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama memberikan respon sinkronisasi berahi induk sapi Bali lebih baik dibandingkan dengan penyuntikan penyuntikan hormon Capriglandin (PGF2) satu kali. Pada kondisi lapangan dimana sapi tidak diketahui dengan jelas berahinya, sebaiknya sinkronisasi berahi dengan menggunakan hormon Capriglandin
selang 11 atau 12 hari dari penyuntikan (PGF2) dengan metode penyuntikan dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama. DAFTAR PUSTAKA ARCHBALD, L.F., C. RISCO, P. CHAVATTE, S. CONSTANT, T. TRAN, E. KLAPSTEIN and J. ELLIOT. 1993. Estrus and pregnancy rate of dairy cows given one or two doses of prostaglandin F2 alpha 8 or 24 hours apart. Theriogenol. 40: 873 – 884. DISNAK. 2007. Laporan Tahunan Dinas Peternakan. Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan. HERDIS, M. SURACHMAN, I. KUSUMA dan E.R. SUHANA. 1999. Peningkatan efisiensi reproduksi sapi melalui penerapan teknologi penyerentakan berahi. Wartazoa 9(1): 1 – 6. KUNE, P. 1998. Sinkronisasi Estrus Memakai Progesteron, Prostaglandin F2 Alfa dan Estrogen dalam Menimbulkan Estrus dan Konsepsi pada Sapi Potong. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. LARSON, L.L. and P.J.H. BALL. 1992. Regulation of estrus cycles in dairy cattle: A review. Theriogenol. 38: 255 – 267. MACMILLAN, K.L., V.K. TAUFA, D.R. BARNES and A.M. Dav. 1991. Plasma progesterone concentrations in heifers and cow treated with a new intravaginal device. Anim. Reprod. Sci. 26: 25 – 40. SARIUBANG, M. dan S.N. TAMBING. 2006. Efektivitas penyuntikan Estro-Plan (PGF2a) terhadap penyerentakan berahi sapi Bali di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 5 – 6 September 2006 Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 130 – 134. STEPHEN, L.A. and R. RAJAMAHENDRAN. 1998. A comparison of two estrus synchronization methods in beef heifers. Can. J. Anim. Sci. 78: 437 – 438.
49