PENGARUH METODE OVSYNCH TERHADAP RESPON BERAHI SAPI BALI INDUK DAN DARA
SKRIPSI
OLEH:
WENDY NATALIA I111 12 293
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
i
PENGARUH METODE OVSYNCH TERHADAP RESPON BERAHI SAPI BALI INDUK DAN DARA
SKRIPSI
Oleh
WENDY NATALIA I 111 12 293
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
ii
iii
iv
ABSTRAK
WENDY NATALIA (I 111 12 293). Pengaruh metode Ovsynch Terhadap Respon Berahi Sapi Bali Induk dan Dara. Dibimbing oleh Muhammad Yusuf sebagai pembimbing utama dan Herry Sonjaya sebagai pembimbing anggota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon berahi sapi Bali induk dan dan dara yang disinkronisasi dengan metode Ovcynch. Penelitian ini menggunakan 21 ekor sapi Bali yang terdiri atas 9 ekor sapi Bali induk dan 12 ekor sapi dara. Metode Ovcynch dilakukan dengan penyuntikan GnRH pada hari ke-0, diikuti dengan penyuntikan hormon prostaglandin pada hari ke-7, kemudian pada hari ke-9 GnRH disuntikkan untuk kedua kalinya. Pada hari ke-10 semua ternak dilakukan inseminasi buatan (IB). Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah jumlah ternak yang menunjukkan tanda-tanda berahi, intensitas berahi (skor 1-4), interval antara penyuntikan prstaglandin dan GnRH sampai puncak berahi, skor kondisi tubuh (SKT) dan deposisi semen pada saat dilakukan IB. Data dianalisis dengan uji Chi-square untuk persentase berahi, interval dari penyuntikan prostaglandin dan GnRH sampai pelaksanaan IB dilakukan dengan uji T, sedangkan hubungan antara intensitas berahi, SKT, dan deposisi semen dianalisis dengan korelasi spearman rank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon berahi ternak sapi Bali induk dan dara masing-masing sebesar 100 dan 75%. Intensitas berahi dengan skor 3 lebih tinggi pada induk dibandingkan dengan dara (66,6% vs 16,6%). Interval antara waktu penyuntikan prostaglandin sampai IB dan interval penyuntikan GnRH sampai IB tidak berbeda nyata antara sapi Bali induk dan dara (69,6 vs 71,9 jam dan 47,7 vs 47,9 jam). Skor kondisi tubuh ternak sapi Bali induk dan dara menunjukkan korelasi positif terhadap intensitas berahi (r=0,316; P=0,407 dan r=0,478; P=0,193). Sedangkan korelasi antara intensitas berahi dan deposisi semen pada ternak sapi Bali induk dan dara adalah r=0,750; P=0,020 dan r=0,323; P=0,397. Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode Ovsynch efektif menimbulkan respon berahi pada sapi Bali induk dan dara. Kata Kunci: Sapi Bali, Sinkronisasi Metode Ovsynch , Intensitas Berahi.
v
ABSTRACT
WENDY NATALIA (I 111 12 293). The Effect of Ovsynch Protocol on Estrus Response in Bali cows and Heifers. Supervised by Muhammad Yusuf as the main supervisor and Herry Sonjaya as Co-supervisor. This study aimed to find out the estrus response of Bali cows and heifers that synchronized using Ovcynch protocol. This study was using 21 Bali cattle consisted of 9 cows and 12 heifers. Ovsynch protocol was performed by injecting GnRH on day-0, followed by injecting prostaglandin on day-7, then on day–9 GnRH was injected for the second time. On day-10, all animals were inseminated artificially (AI). Parameters measured in the present study were number of catle showed estrus signs, estrous intensity (score 1-4), interval from injections of prostaglandin and GnRH to standing estrus, body condition score (BCS) and deposition of semen at the time of AI. Data was analyzed using Chi-square test for the percentage of estrus, interval from prostaglandin and GnRH injections to AI using T-test, while the estrous intensity, BCS and deposition of semen correlations were analized using Spearman rank. The results of this study showed that estrous responses of Bali cows and heifers were 100 and 75%, respectively. Estrous intensity of score 3 had higher in cows than in heifers (66.6% vs 16.6%). Interval from injection of prostaglandin to AI and from GnRH injection to AI did not showing significant different between Bali cows and heifers (69.6 vs 71.9 hrs and 47.7 vs 47.9 hrs). BCS of Bali cows and heifers showed positive correlations on estrous intensity (r=0.316; P=0.407 dan r=0.478; P=0.193). While correlations between estrous intensity and semen deposition on Bali cows and heifers were r=0.750; P=0.020 dan r=0.323; P=0.397, respectively. This study concluded that Ovsynch protocol effectively response to the estrus in Bali cows and heifers. Keywords: Bali cattl, Ovsynch synchronization protocol, intensity of estrus.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur patut penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan perkenaannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
dan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada: 1.
Ibunda Martha Liling dan Ayahanda Andarias Pasimbong yang telah membesarkan, dan senantiasa memberikan kasih sayang serta dukungan kepada penulis dan juga kakak tercinta serta keluarga besar kami.
2.
Ibu Rektor UNHAS, Bapak Dekan, Pembantu Dekan I,II dan III dan seluruh Bapak Ibu Dosen yang telah melimpahkan ilmunya kepada penulis, dan Bapak Ibu Staf Pegawai Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
3.
Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku pembimbing utama dan Bapak Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya DEA., DES selaku pembimbing anggota yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi arahan serta nasehat kepada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
4.
Ibu Dr. Fatma Maruddin, S.Pt. M.P selaku Pembimbing Akademik sekaligus pembimbing PKL bersama dengan Ibu Dr. Wahniyathi Hatta dan Bapak Prof. Dr.. Ir. Herry Sonjaya DEA., DES selaku pembimbing Seminar pustaka.
5.
Sahabatku Intan Sari Umar, Andi Sitti Aisyah, Debby Chintia, Yessy Anatalia Eka Murniati dan Andi Sukma Indah yang telah banyak memberi dukungan.
vii
6.
Tim PKL Bioteknologi Pengolahan Susu, dan teman-teman KKN gel 90 UNHAS khususnya kecamatan Sinoa, Desa Bontotiro, Kabupaten Bantaeng.
7. Seluruh
teman
angkatan Flock Mentality 012 terlebih khusus kelas C
salam kompak selalu, solandeven 011, Kakak kader
kami Lion 010,
Merpati 09, 08 Rumput . 8.
Bapak Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya DEA., DES yang telah memfasilitasi dan mengikutsertakan dalam penelitiannya serta bapak M. Hasbi, S.Pt, M.Si yang telah banyak membantu mengarahkan penulis saat melaksanakan penelitian di lapangan, dan rekan seperjuangan dalam penelitian Andi Sitti Aisyah.
9.
Rajmi Faridah S.Pt, Dwi Maryana Ilyas S.Pt, Andi Tendri Khaerani, Nurjanna, Kartina, Nuraeni, Nuratika dan Fatmawati Khalifah
yang telah
banyak membantu. 10. Lembaga Tercinta Himaprotek_UH dan Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Dengan sangat rendah hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik serta saran pembaca sangat diharapkan adanya oleh penulis. Semoga makalah skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca terutama bagi saya sendiri. Makassar,
Mei
2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i HALAMAN JUDUL ....................................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................
iv
ABSTRAK ....................................................................................................
v
ABSTRACT ..................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI .................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xiii
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Bali......................................................................
3
Tinjauan Umum Berahi dan Siklus Berahi ............................................
5
Hormon yang Berperan dalam Sinkronisasi Berahi...............................
7
Sinkronisasi Berahi dengan Metode Ovsynch........................................
8
Proses Reproduksi pada Ternak Sapi .....................................................
10
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................
11
Materi Penelitian ....................................................................................
11
Prosedur Penelitian ................................................................................
11
Parameter ...............................................................................................
12
ix
Analisis Data ..........................................................................................
13
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Protokol Ovsynch terhadap Respon Berahi pada Ternak Sapi Bali .................................................................................................
14
Intensitas Berahi Ternak Sapi Bali yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch.....................................................................................
15
Interval Waktu Munculnya Berahi pada Sapi Bali Induk dan Dara .......
17
Korelasi
Skor Kondisi Tubuh dan Deposisi Semen terhadap
Intensitas Berahi.....................................................................................
19
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
23
LAMPIRAN ..................................................................................................
27
x
DAFTAR TABEL Halaman
No. Teks 1.
Munculnya Berahi Sapi Bali Induk dan Dara yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch........................................................................................... 14
2.
Intensitas Berahi Sapi Bali yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch ...15
3.
Korelasi Skor kondisi Tubuh dan Deposisi Semen terhadap Intensitas Berahi……………………………………………………………………….19
xi
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
Teks 1.
Fase Luteal dan Fase Folikular pada Siklus Berahi ....................................... 6
2.
Metode Sinkronisasi dengan Protokol Ovsynch............................................. 12
3.
Histogram Munculnya Berahi dari Penyuntikan PGF2α dan GnRH sampai Puncak Berahi pada Sapi Bali Induk dan Dara ............................................ 17
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
Teks 1.
Dokumentasi Penelitian ..........................................................................
2.
Data Mentah Kelompok Ternak yang Disinkronisasi dengan
27
Metode
Ovsynch ........................................................................................................ 30 3.
Hasil Analisis Uji C Square Persentase Berahi Sapi Bali yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch ................................................................................ 32
4.
Hasil Analisis Uji T-Independent
Interval Waktu Munculnya Berahi dari
Penyuntikan GnRH-2 sampai Puncak Berahi .............................................. 33 5.
Hasil Analisis Uji Spearman Rank Korelasi Skor Kondisi Tubuh dan Deposisi Semen terhadap Intensitas Berahi ................................................. 35
xiii
PENDAHULUAN
Salah satu program pemerintah dalam peningkatan populasi ternak sapi potong
yaitu menggalakkan program sinkronisasi
berahi, melalui
Program
Nasional “Gertak Berahi dan Inseminasi Buatan (GBIB) “dimana Provinsi Sulawesi Selatan memperoleh jatah 100 ribu ekor. Sinkronisasi berahi merupakan suatu usaha untuk menimbulkan berahi pada sekelompok ternak secara bersamaan sehingga diperoleh peningkatan angka kebuntingan. Dengan dilakukannya sinkronisasi berahi, maka penanganan reproduksi akan lebih efektif. Hal ini didasarkan pada periode kebuntingan yang sama, proses kelahiran akan serentak serta waktu melahirkannya dapat diatur. Beberapa hormon yang berperan dalam proses reproduksi khususnya dalam
sinkronisasi berahi diantaranya hormon
prostaglandin (PGF2α), GnRH,
estrogen dan progesteron. Sinkronisasi berahi yang dilakukan oleh pemerintah menggunakan hormon prostaglandin dengan satu kali penyuntikan. Kelemahan sinkronsisasi berahi dengan metode ini adalah ternak harus berada dalam keadaan siklik (terdapat korpus luteum). Salah satu metode sinkronisasi yang banyak dikembangkan adalah metode Ovsynch. Ovsynch adalah salah satu metode sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan kombinasi hormon GnRH dan PGF2α. Metode Ovsynch difokuskan kepada sinkronisasi terjadinya ovulasi dan dilakukan inseminasi pada waktu yang telah ditentukan. Keunggulan metode ini adalah adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi. Metode Ovsynch ini lebih banyak dilakukan pada bangsa sapi Eropa dan pada sapi
1
perah namun masih terbatas dilakukan pada sapi Bali. Untuk itu Penelitian ini ingin mengkaji respon berahi metode Ovsynch bila diterapkan kepada bangsa sapi Bali induk dan mencoba membandingkan dengan sapi Bali dara. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon berahi sapi Bali induk dan sapi Bali dara yang disinkronisasi dengan metode Ovsynch. Penelitian ini diharapkan menghasilkan respon berahi yang baik untuk sapi Bali induk dan sapi Bali dara. Penggunaan kombinasi hormon GnRH dan prostaglandin (Ovsynch) diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku berahi pada sapi Bali induk dan dara dan akan dikaji secara lanjut dalam penelitian ini.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) sebagai plasma nutfah ternak potong Indonesia merupakan jenis sapi yang paling populer dipelihara oleh kalangan peternak, khususnya di provinsi Sulawesi Selatan. Kemampuan beradaptasi dengan baik pada lingkungan ekstrim, wilayah tropis, serta jarak melahirkan yang relatif pendek dimana periode kelahiran terjadi sepanjang tahun diketahui sebagai pertimbangan utama yang menyebabkan ternak sapi Bali banyak dipelihara oleh masyarakat (Murtidjo, 1990; Talib, 2002). Sapi Bali Indonesia dikategorikan sebagai sapi dwiguna, yaitu tipe campuran pedaging dan tipe kerja. Diantara bangsa-bangsa sapi di Indonesia, sapi Bali, sapi Madura dan sapi Sumba Ongol yang lebih mendekati tipe pedaging. Dewasa ini telah banyak pencampuran antara sapi lokal dan sapi import yang diarahkan pertambahan berat menjadi tipe pedaging ini dengan program IB keseluruhan pelosok tanah air. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan keaslian sapi-sapi lokal agar tetap eksis sepanjang zaman (Sugeng, 2008). Penamaan sapi Bali oleh masyarakat luas diduga berkembang seiring dengan kemajuan budidaya sapi tersebut di pulau Bali. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Pane (1990) bahwa banteng liar awalnya hanya dijinakkan di Jawa dan Bali, namun dalam perkembangannya ternyata sapi hasil penjinakan banteng tersebut hanya berkembang baik di pulau Bali dan tidak banyak dikembangkan di pulau Jawa. Menurut Inounu (2011) hal tersebut diduga disebabkan oleh populasi ternak domba yang cukup tinggi di Jawa dimana ternak
3
domba tersebut sangat berpotensi menjadi carrier penyakit MCF (Malignant Catarrhal Fever) yang dapat menular pada ternak sapi Bali. Sapi Bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil penjinakan (domestikasi) banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak akhir abad ke -19 di Bali sehingga sapi jenis ini dinamakan sapi Bali. Ciri-ciri fisik sapi Bali antara lain berukuran sedang, berdada dalam, serta berbulu pendek, halus dan licin. Warna bulu merah bata dan coklat tua dimana pada waktu lahir, baik jantan maupun betina berwarna merah bata dengan bagian warna terang yang khas pada bagian belakang kaki. Warna bulu menjadi coklat tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa dimana warna pada jantan lebih gelap daripada betina. Warna hitam menghilang dan warna bulu merah bata kembali lagi jika sapi jantan dikebiri. Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam dan kaki putih dari lutut ke bawah, dan ditemukan warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat jelas pada bagian pantat. Pada punggung ditemukan garis hitam di sepanjang garis punggung (garis belut). Kepala lebar dan pendek dengan puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan berdiri. Tanduk jantan besar, tumbuh ke samping dan kemudian ke atas dan runcing (Wiliamson and Payne, 1993) Lokasi penyebaran sapi Bali saat ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Jumlah sapi Bali terbesar adalah Sulawesi, NTB dan NTT (Guntoro, 2002). Sapi Bali memiliki keunggulan yaitu daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, mudah digemukkan dan produksi karkasnya tinggi. Namun sapi Bali juga memiliki kelemahan yaitu berahi setelah melahirkan panjang,
4
interval beranak panjang, serta rentan terhadap beberapa jenis penyakit (Sugeng, 1993). Tinjauan Umum Berahi dan Siklus Berahi Berahi yaitu suatu periode fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus berahi dibagi menjadi dua fase yang dapat dibedakan dengan jelas yaitu fase folikular dan fase luteal (Sonjaya, 2006). Fase folikuler ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel yang berlangsung selama 3-4 hari (Gordon, 1996). Sebanyak satu atau dua folikel besar menghasilkan estrogen yang dapat menekan pertumbuhan folikel kecil lainya (Jainudeen dan Hafez, 2000). Fase luteal ditandai dengan pematangan korpus luteum (CL) yang menghasilkan progesteron dengan konsentrasi yang mencapai puncak pada hari ke 6 setelah ovulasi. Jika estrogen telah mencapai kadar maksimal maka akan menyebabkan umpan balik positif terhadap hipotalamus dan hipofisa sehingga sekresi LH mencapai kadar yang maksimal (Gambar 1) (Maidaswar, 2007). Fase luteal adalah fase yang menunjukan waktu ketika ovarium beraktivitas membentuk korpus luteum dari folikel preovulasi yang sudah mengeluarkan ovumnya pada saat terjadinya ovulasi. Pada fase ini korpus luteum akan mengeluarkan hormon progesteron yang akan mengatur/menetapkan siklus dan tidak siklus pada suatu ternak. Pengaruh aktivitas hormon progesteron selama fase luteal adalah dapat meningkatkan konsentrasi getah servix uteri menjadi lebih kental dan membentuk jala-jala tebal di uterus sehingga akan menghambat masuknya sel sperma ke uterus (Maidaswar, 2007).
5
Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies. Terdapat sedikit perbedaan antara sapi dara dengan sapi yang telah beranak. Sapi dara menjadi berahi sekali dalam 20 hari, dengan variasi 18-22 hari. Sapi yang telah beranak rata-rata menjadi berahi sekali dalam
21-22 hari, dengan
variasi
18-24
hari
(Gomes,1978). Performans
reproduktivitas yang tinggi pada sapi Bali ditandai dengan aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah melahirkan (Talib dkk, 2001). Aktivitas ovarium pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan, tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi).
Gambar 1. Fase Folikular dan Fase Luteal pada Siklus Birahi ( Peter, 1983) Sinkronisasi berahi adalah suatu pengendalian berahi yang dilakukan pada sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi mekanisme hormonal, sehingga keserentakan berahi dan ovulasi dapat terjadi pada hari yang sama sehingga inseminasi buatan dapat dilakukan serentak (Toelihere, 1985).
6
Sinkronisasi ini mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas regresi korpus luteum (CL). Terdapat dua tujuan dalam melakukan penyerentakan berahi yakni 1) untuk mendapatkan seluruh ternak yang diberikan perlakuan mencapai berahi dalam waktu yang diketahui dengan pasti sehingga masingmasing ternak tersebut dapat di IB dalam waktu bersamaan. 2) untuk menghasilkan angka kebuntingan yang sebanding atau lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan dengan IB atau oleh pejantan (Hafez, 1993). Keuntungan penyerentakan berahi pada ternak adalah sebagai berikut (Sonjaya, 2006): 1) Memudahkan dan efisiensi terjadinya berahi 2) Memudahkan dalam pelaksanaan kawin buatan khususnya IB 3) Mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan 4) Dapat menyamakan kondisi fisiologis ternak donor dan ternak resipien sehingga dapat meningkatkan keberhasilan transfer embrio. 5) Mendapatkan waktu yang tepat untuk inseminasi (IB) akan menurunkan biaya yang dikeluarkan. Hormon yang Berperan dalam Sinkronisasi Berahi Terdapat beberapa hormon yang berperan dalam sinkronisasi berahi yaitu hormon prostaglandin (PGF2α), hormon progesteron, hormon GnRH, hormon FSH, LH dan hormon estrogen. Hormon prostaglandin (PGF2α) diproduksi di uterus dan bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi terjadinya regresi
7
korpus luteum yang mengakibatkan berahi. Hormon progesteron merupakan hormon yang diproduksi dan dilepaskan ke dalam darah oleh korpus luteum pada ovarium. Hormon progesteron dalam penyerentakan berahi berada dalam bentuk CIDR yang disisipkan pada vagina. Alat ini dimasukkan dan didiamkan dalam vagina selama beberapa hari, selanjutnya progesteron yang terdapat di dalam alat ini akan diserap oleh vagina dan segera disekresikan ke dalam aliran darah yang akan menghambat pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis melalui mekanisme umpan balik negatif. Kadar progesteron dalam darah akan meningkat pada saat alat disisipkan dalam vagina dan tetap stabil dipertahankan selama periode penyisipan alat ini. Setelah alat ini dicabut terjadi penurunan progesteron secara mendadak dan mencapai level basal sehingga terjadi feedback positif pada hipotalamus untuk melepaskan GnRH yang akhirnya terjadi pelepasan hormon FSH dan LH dari adenohipofisis dan akan terjadi pematangan folikel, berahi dan ovulasi (Tambing dkk., 2000). Kedua hormon ini bertanggungjawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang akan memberikan gejala berahi (Hafez dan Hafez, 2000). Sinkronisasi Berahi dengan Metode Ovsynch Prinsip dasar dari metode Ovsynch adalah memanipulasi fenomena siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi dengan metode Ovsynch adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi,
8
tingkat keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan (Hafez dan Hafez, 2000). Sinkronisasi ovulasi mempunyai potensi dalam memperpendek musim kelahiran dan mempertinggi kemungkinan penggunaan IB (Larson dkk., 2006). Ovsynch merupakan metode sinkronisasi yang memakai kombinasi prostaglandin dan GnRH dengan harapan terjadi berahi
dan ovulasi yang
bersamaan dan dapat dipakai untuk aplikasi IB tanpa perlu mendeteksi adanya tanda-tanda berahi dan IB dilakukan dengan waktu yang terjadwal (Fixed Time AI). Injeksi prostaglandin berperan untuk meregresi korpus luteum pada fase luteal (Cartmill dkk., 2001). Regresi korpus luteum berakibat penurunan tiba-tiba kadar progesteron dalam plasma darah, menghilangkan umpan balik negatif dari hormon ini pada hipotalamus, sehingga akan menyebabkan pembebasan FSH dan LH dari hipofisa, memacu perkembangan folikel ovulasi, akhirnya terjadilah berahi dan ovulasi. Pemberian GnRH dua hari setelah penyuntikan PGF2α dimaksudkan untuk sinkronisasi perkembangan folikel ovulasi dan proses ovulasi, sehingga dimungkinkan pelaksanaan inseminasi terjadwal (Thatcher dkk.,2001). Penelitian mengenai metode Ovsynch sudah dilakukan sebelumnya. Foster (2001) melaporkan tingkat kebuntingan dengan metode Ovsynch mencapai 51,0 persen untuk bangsa sapi Amerika. Penelitian Ratnawati (2008) menyatakan bahwa perlakuan sinkronisasi ovulasi pada induk sapi Bali pasca beranak dengan kebuntingan sebesar 93,8 %. Pada sapi perah dara sinkronisasi berahi dengan metode Ovsynch menghasilkan tingkat kebuntingan 31, 3 % (Samir, 2010). Pada sapi perah induk tingkat kebuntingan mencapai 37, 8 persen (Pursley dkk., 1997).
9
Proses Reproduksi pada Ternak Sapi Pubertas dapat diartikan sebagai keadaan dimana organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi
(Toelihere, 1985). Pada
hewan betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya berahi dan ovulasi. Pubertas atau dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga hewan betina muda harus mendapatkan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya maupun pertumbuhan dan perkembangan tubuh anaknya. Pada umumnya semua hewan akan mencapai kedewasaan kelamin sebelum dewasa tubuh. Perkembangan dan pendewasaan alat kelamin dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah bangsa sapi dan manajemen pemberian pakan pada hewan betina. Pubertas ditandai dengan terjadinya berahi dan ovulasi. Berahi dan ovulasi pertama akan disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara cepat. Umur bangsa sapi tropis mulai dewasa kelamin umur 1,5 -2,0 tahun dan dewasa tubuh pada umur 2,0 - 2,5 tahun. Berat dewasa sapi Bali berkisar antara 211-494 kg (Talib dkk., 2001). Sapi Bali betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 18 bulan. Siklus berahi rata-rata 18 hari dimana pada sapi Bali muda berkisar antara 20-21 hari sedangkan betina dewasa antara 16-23 hari. Lama masa berahi sekitar 16-23 jam dengan masa subur 18-27 jam (Murtidjo, 1990). Lama kebuntingan berkisar antara 280-294 hari (Davendra dkk., 1973) sedangkan persentase kebuntingan dilaporkan sebesar 86,56% (Pastika dan Darmadja, 1976).
10
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Maret 2016, di Desa Lompo Tengah, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Materi Penelitian Penelitian ini menggunakan sapi Bali betina sebanyak 21ekor yang terdiri atas 2 kelompok sapi yaitu 9 ekor sapi Bali induk dan12 ekor Sapi Bali dara. Sapi Bali yang digunakan dipelihara dalam kandang kelompok yang dilengkapi dengan tempat pakan dan kandang jepit. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua bagian yaitu pada sinkronisasi ovulasi dan inseminasi buatan. Pada sinkronisasi ovulasi meliputi: Hormon Gonadotropin (GnRH 5 ml), prostaglandin 2 ml dan spoit. Pada inseminasi buatan meliputi: straw berisikan semen, container dan termos straw, gunting, gun inseminasi, plastic glove, plastic sheet, pinset, air hangat dan tissu. Prosedur Penelitian Sistem pemeliharaan pada sapi Bali induk dan dara milik peternak adalah pada pagi hari diberikan pakan berupa konsentrat dan hijuan, selanjutnya digembalakan untuk makan hijauan, sore harinya dikumpulkan untuk diikat dikolong rumah. Selama pelaksanaan penelitian dilakukan pengamatan tandatanda berahi pada ternak dimana semua ternak diperiksa organ reproduksinya . Penelitian ini membandingkan sapi Bali induk (Post portem) dan sapi Bali dara dengan metode sinkronisasi Ovsynch.
11
Deteksi Berahi PGF2α
GnRH
GnRH
IB
0 7 9 10 Gambar 2. Metode sinkronisasi dengan protokol Ovsynch Pada hari 0 (10 hari sebelum di IB) disuntikkan GnRH 5 ml/ ekor setelah itu pada hari 7 (3 hari sebelum di IB) disuntikkan PGF2α 2 ml/ekor dan pada hari 9, (1 hari sebelum di IB) disuntikkan dengan GnRH 5 ml/ekor, setelah itu dilaksanakan IB (hari ke 10) Parameter yang Diukur Parameter yang diukur dalam penelitian ini ialah sebagai berikut: a. Jumlah ternak yang menunjukkan tanda-tanda berahi dengan persentase berahi yang dihitung menggunakan rumus: % Berahi = Jumlah Sapi Yang Berahi Jumlah Sapi Perlakuan b. Intensitas berahi Intensitas berahi menunjukkan kejelasan tanda-tanda berahi. Gejala berahi meliputi vulva merah, vulva bengkak, terdapat lendir, dinaiki/ menaiki pejantan. Skoring dilakukan berdasarkan gejala berahi yang muncul : 1. Skor 4 = vulva merah, vulva bengkak, terdapat lendir, menaiki/dinaiki pejantan. 2. Skor 3 = tiga dari empat gejala berahi yang muncul 3. Skor 2 = dua dari empat gejala berahi yang muncul 4. Skor 1 = satu dari gejala berahi yang muncul 12
c. Interval munculya berahi dari PGF2α dan GnRH sampai puncak berahi. d. Skor kondisi tubuh dan deposisi semen pada saat dilakukan IB. Analisis Data Data persentase berahi dianalisis menggunakan uji chi square, interval waktu munculnya berahi dari penyuntikan PGF2α dan GnRH kedua sampai inseminasi buatan pada sapi Bali induk dan dara dengan uji T Independent serta korelasi antara intensitas berahi dengan deposisi semen dan skor kondisi tubuh dengan korelasi Spearman rank/ rho. Data akan diolah menggunakan software SPSS.
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Protokol Ovsynch terhadap Respon Berahi pada Ternak Sapi Bali Munculnya berahi pada sapi Bali induk dan dara setelah disinkronisasi dengan metode Ovsynch disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Pengaruh Protocol Ovsynch terhadap Munculnya Berahi pada Sapi Bali Induk dan Dara Jenis ternak Jumlah ternak Jumlah ternak yang Persentase (%) (N) berahi Induk 9 9 100 Dara
12
9
75
Tabel 1 menunjukkan bahwa persentasi berahi sapi Bali induk yang disinkronisasi dengan metode Ovsynch mencapai 100 % sedangkan untuk sapi dara mencapai 75 %. Hasil uji Chi square menunjukkan bahwa respon berahi sapi induk dan dara disinkronisasi dengan metode Ovsynch tidak berbeda nyata (P>0,05) antara sapi induk dan dara. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ratnawati (2008) yang menyatakan bahwa sinkronisasi ovulasi dengan hormon GnRH dan PGF2α pada induk sapi Bali lebih efektif daripada sinkronisasi berahi dengan hormon prostaglandin. Persentasi berahi yang tinggi pada sapi Bali induk dan dara setelah sinkronisasi Ovsynch diduga karena kondisi fisiologis kedua kelompok sapi tersebut adalah sama terutama kondisi tubuh, kondisi ovarium dan kondisi hormonal. Pada umumnya kondisi tubuh kedua kelompok sapi adalah baik. Kondisi tubuh yang baik sangat dipengaruhi oleh kebutuhan nutrisi yang terpenuhi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hastono (2000) yang menyatakan bahwa hal-hal yang dapat berpengaruh terhadap timbulnya berahi antara lain
14
metode sinkronisasi berahi, tingkat prolifikasi dan juga kondisi tubuh ternak. Achyadi (2009) menjelaskan bahwa nutrisi sangat berpengaruh terhadap siklus berahi. Faktor nutrisi merupakan faktor yang sangat kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena berahi dibanding faktor lainnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Abidin dkk., (2012) bahwa apabila ternak mengalami kekurangan asupan makanan akan berpengaruh terhadap penampilan gejala berahi yang kurang jelas karena proses sintesa dan regulasi hormon-hormon reproduksi terganggu. Kualitas dan kuantitas ransum yang baik akan meningkatkan kadar estrogen dalam darah (Suharto, 2003). Intensitas Berahi Ternak Sapi Bali yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch Intensitas menunjukkan kejelasan tanda-tanda berahi. Gejala berahi Sapi Bali Induk dan dara yang disinkronisasi dengan metode Ovsynch disajikan pada Tabel 2 Tabel 2. Gejala Berahi Sapi Bali Induk dan Sapi Bali Dara yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch
Induk
Jumlah Ternak (n) 9
Skor 1 (%) 0 (0)
Dara
12
0 (0)
Jenis Ternak
Intensitas Berahi Skor 2 Skor 3 (%) (%) 3 (33,3) 6 (66,6) 7 (58,33)
2 (16,6 )
Skor 4 (%) 0 (0) 0 (0)
Tidak Respon (%) 0 (0) 3 (25)
Keterangan : Angka yang dalam kurung menunjukkan angka persentase
Tabel 2 menunjukkan bahwa sapi Bali induk dan dara yang disinkronisasi dengan metode Ovsynch memperlihatkan gejala-gejala berahi pada skor 2 dan 3 dengan intensitas tertinggi pada sapi Bali induk. Hal tersebut diduga karena pengaruh hormon estrogen yang dihasilkan. Intensitas berahi atau derajat penampakan berahi merupakan tanda-tanda yang membedakan penampilan berahi
15
yang ditunjukkan oleh induk sapi. Perilaku berahi akan diaktualisasikan melalui intensitas berahi dan kondisi tersebut akan bergantung pada konsentrasi estrogen yang disekresikan oleh folikel de Graaf saat berahi (Yoshida dan Nakao, 2005). Lebih lanjut dijelaskan Kune dan Solihati (2007) bahwa gejala berahi lebih disebabkan oleh faktor individu yang mungkin lebih berhubungan dengan pola hormonal terutama level hormon estrogen yang berperan dalam merangsang berahi. Selain itu kemampuan menghasilkan folikel dominan juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan volume folikuler saat berahi meningkat sehingga terpenuhinya
ketersediaan
estrogen untuk
berahi
dan
kondisi
tersebut
teraktualisasi dalam intensitas berahi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hafez (2000) dan Putro (2008) bahwa hormon GnRH pada dasarnya berfungsi untuk merangsang pelepasan FSH dan LH yang bekerja sama untuk menstimulir folikel dan pembentukan korpus luteum. Pada sapi Bali dara yang disinkronisasi dengan metode Ovsynch terdapat 3 ekor yang tidak memperlihatkan gejala-gejala berahi. Hal ini disebabkan karena skor kondisi tubuh sapi rendah (kurus) sebagai akibat dari kekurangan nutrisi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kune dan Najamudin (2002)
bahwa perbedaan
intensitas berahi antar satu sapi dengan sapi lain bisa disebabkan oleh faktorfaktor non perlakuan seperti faktor kondisi ternak, faktor individu, aktivitas kerja yang dilakukan dan interaksi ternak. Lebih lanjut dijelaskan oleh Toelihere (1985) bahwa makanan diperlukan untuk fungsi endokrin yang normal. Makanan tampaknya mempengaruhi sintesa dan pelepasan hormon dari kelenjar endokrin Gangguan reproduksi akibat kondisi tubuh yang buruk akan mempengaruhi
16
produksi hormon estrogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Nessan dan King (1981) bahwa kerja dari hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitifitas organ kelamin betina yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan dari vulva tersebut. Lebih lanjut dijelaskan oleh Partodihardjo (1992) bahwa karena intensitas berahi dipengaruhi oleh hormonhormon reproduksi, maka secara tidak langsung angka intensitas berahi (AIB) juga sangat dipengaruhi oleh status nutrisi. Jelasnya gejala berahi akibat diberi hormon estrogen diperkuat oleh laporan Henrick dan Torrence (1977) bahwa dengan meningkatnya konsentrasi estrogen dalam darah, berahi yang timbul akan semakin jelas. Interval Waktu Munculnya Berahi Sapi Bali induk dan Dara Interval waktu munculnya berahi dihitung sejak injeksi hormon PGF2α dan GnRH ke-2 sampai puncak berahi, yang dihitung pada masing-masing kelompok sapi disajikan pada Gambar 3. Jam
induk
71.95
dara
69.64 47.91
47.68
2). GnRH - Puncak Berahi Gambar 3. Histogram Interval Waktu Munculnya Berahi dari penyuntikan PGF2α sampai ke Puncak Berahi (No.1) dan dari penyuntikan GnRH sampai ke Puncak Berahi (No.2) Sapi Bali Induk dan Dara dengan Metode Ovsynch
17
Gambar 3 menunjukkan interval munculnya berahi dari penyuntikan PGF2α sampai ke puncak berahi dan dari penyuntikan GnRH sampai ke puncak berahi lebih pendek pada sapi Bali induk dibanding sapi Bali dara Uji T menunjukkan bahwa interval waktu muncunya berahi dari penyuntikan PGF2α sampai ternak di IB dan dari GnRH sampai IB pada sapi Bali induk dan dara tidak berbeda nyata (P>0,05). Interval munculnya berahi baik dari penyuntikan prostaglandin maupun GnRH sampai IB lebih cepat pada sapi Bali induk. Hal tersebut diduga karena ukuran ovarium pada sapi Bali induk lebih besar. Hasil ini sesuai dengan pendapat Nalbandov (1990) bahwa ukuran ovarium tergantung pada umur dan status reproduksi ternak serta struktur yang ada didalamnya. Ovarium yang lebih besar ini diduga sel-sel dalam saluran reproduksinya
juga
sudah cukup berkembang, sehingga
mengakibatkan
responsifitas terhadap hormon prostaglandin pun semakin baik. Menurut Mahaputra dan Restiadi (1993), timbulnya berahi akibat pemberian PGF2α disebabkan lisisnya CL oleh kerja vasokontriksi PGF2α sehingga aliran darah Menuju CL menurun secara drastis, akibatnya kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun, penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH, kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada interval munculnya berahi tersebut mungkin disebabkan oleh sekresi FSH dan LH dengan konsentrasi yang sama. Hal ini sesuai dengan
18
pendapat Toelihere (1985) bahwa organ reproduksi yang normal melingkupi penyerentakan dan penyesuaian banyak mekanisme fisiologik yang mengontrol siklus berahi. Hormon FSH ini berperan penting untuk merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium dan produksi hormon estrogen. Hormon estrogen adalah hormon kelamin betina yang berfungsi untuk menimbulkan berahi (Toelihere, 1981). Korelasi Skor Kondisi Tubuh dan Deposisi Semen terhadap Intensitas Berahi Korelasi antara skor kondisi tubuh dan deposisi semen terhadap intensitas berahi Sapi Bali Induk dan dara disajikan pada Tabel 3.
Dara
Induk
Tabel 3. Korelasi Skor Kondisi Tubuh (BCS) dan Deposisi terhadap Intensitas Berahi sapi Bali Induk dan Dara Hubungan Intensitas SKT Deposisi Semen Berahi Intensitas Berahi 0,316* 0,750** SKT
0,316*
-
0,593**
Deposisi Semen
0,750**
0,593**
-
Intensitas Berahi
-
0,478**
0,323*
SKT
0,478**
-
0,540**
Deposisi Semen
0,323*
0,540**
-
Keterangan: ** Menunjukkan angka berkorelasi sedang * Menunjukkan angka berkorelasi lemah
Tabel 3 menunjukkan terdapat korelasi antara intensitas berahi terhadap skor kondisi tubuh dan deposisi semen pada sapi Bali induk dan dara yang disinkronisasi
dengan
metode
Ovsynch. Hasil
analisis
spearman
rank
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara intensitas berahi terhadap deposisi semen pada sapi Bali induk (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor intensitas berahi maka semen akan dideposisikan
19
semakin baik. Sebaliknya pada sapi Bali dara korelasi yang ditunjukkan adalah korelasi rendah. Ketepatan berahi yang diketahui melalui kejelasan tanda-tanda berahi menjadi dasar untuk mendeposisikan semen. Hal ini sesuai dengan pendapat O’Connor dan Peters (2003) bahwa waktu yang tepat untuk inseminasi merupakan dasar bagi deposisi semen ke dalam organ reproduksi induk. Pelaksanaan inseminasi yang baik dilakukan pada12-18 jam yang dihitung dari sejak awal berlangsungnya berahi. Penentuan waktu tersebut didasarkan pada kemampuan spermatozoa dapat hidup dengan baik pada saluran reproduksi betina selama 18-24 jam, waktu ovulasi sel telur dan daya hidup sel telur untuk dapat dibuahi 10-20 jam. Dirjen Peternakan (2010) menyatakan bahwa faktor yang paling penting dalam menunjang keberhasilan IB adalah mendeteksi berahi karena tanda-tanda berahi sering terjadi pada malam hari. Oleh karena itu petani diharapkan dapat memonitor kejadian berahi dengan baik dengan mencatat siklus berahi semua sapi betinanya (dara dan dewasa) dan Petugas IB harus mensosialisasikan cara-cara mendeteksi tanda-tanda berahi. Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sedang antara intensitas berahi dan skor kondisi tubuh pada sapi Bali induk dan dara. Hal tersebut menunjukkan bahwa skor kondisi tubuh turut berpengaruh terhadap penampilan reproduksi sapi Bali induk dan dara termasuk intensitas berahi. Hal ini sesuai dengan pendapat Astuti (2004) bahwa skor kondisi tubuh memiliki hubungan dengan reproduksi ternak seperti kesuburan, kebuntingan, proses kelahiran, laktasi, semua akan mempengaruhi sistem reproduksi. Berbagai kelompok hewan bentuk tubuh (ukuran), usia, jenis kelamin dan keturunan juga
20
akan memiliki pengaruh yang kuat pada sistem reproduksi, apabila ternak memiliki bobot badan kurang dari ideal akan berdampak pada sistem reproduksi. Untuk mencapai performa reproduksi yang optimal, skor sapi potong ideal adalah BCS 5-7 Kelompok ternak dengan BCS 4 akan memiliki kinerja reproduksi yang buruk dibandingkan kelompok ternak dengan BCS ≥ 5 (Mulliniks dkk., 2012). Gangguan reproduksi tersebut akan berdampak pada produksi hormon estrogen yang bertugas untuk memperlihatkan gejala-gejala berahi.
21
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Metode Ovsynch sangat efektif diterapkan terhadap sapi Bali induk dan dara dengan persentase berahi untuk sapi induk mencapai 100 %, sedangkan sapi dara mencapai 75 % 2. Intensitas berahi sapi induk lebih jelas dibandingkan dengan sapi dara. 3. Interval munculnya berahi dari penyuntikan PGF2α dan GnRH lebih pendek pada sapi Bali induk dibandingkan dengan sapi Bali dara 4. Terdapat korelasi antara skor kondisi tubuh (SKT) dan deposisi semen terhadap intensitas berahi pada sapi Bali induk dan dara Saran Disarankan aplikasi sinkronisasi berahi menggunkan metode Ovsynch untuk mengetahui respon berahi sapi Bali induk dan dara, dibandingkan dengan hanya menggunakan prostaglandin tunggal, yang disertai skor kondisi tubuh yang baik.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. Y., S. Ondho dan B. Sutiyono. 2012. Penampilan Berahi Sapi Jawa Berdasarkan Poel 1, Poel 2, dan Poel 3. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Achyadi, K. R. 2009. Deteksi Berahi pada Ternak Sapi. Tesis. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Astuti, M. 2004. Potensi keragaman sumberdaya genetik sapi peranakan ongole (PO). Jurnal Wartazoa 14(3) 96-106. Cartmill, J. A., El-Zarkouny, S. Z., Hensley, B. A., Lamb, G. C and Stevenson, J. S. 2001. Stage of cycle, Incidence and timing of ovulation and pregnancy rate in dairy cattle after Three Timed Breeding Protocols. J. Dairy Sci. 84: 1051-1059. Davendra, C.T. K., Lee and Pathmasingam. 1973. The Productivity of Bali cattle in Malaysia. Agricultural Journal 49: 183-197. Foster, H.J.C., Whittier, P.D., Burns, J., Breummer, T., Field and T.W. Geary. 2001. Half dose GnRH does not affect pregnancy rates with the Co-Synch synchronization protocol. J. Anim. Sci. 79(Suppl. 2):132. Gomes, W. R. 1978. The estrous cyle. Dalam “Physiology of Reproduction and Artificial Insemination of cattle”,2nd edition (G.W Salisburry., N.L van Demark dan J.R. Lodge,) h.52-90. W.H. Freeman and Co.San Fransisco. Gordon, I. 1996. Controlled Reproduction in Cattle and Buffaloes. Cab International, Wallington, UK. Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Yogyakarta. Hafez, E. S. E. 1993. Reproduction in Farm Animals Sixth Ed. Lea and Fibiger. Philadelphia. EGC. Jakarta Hafez, E. S. E and B. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Lea and Febiger. Philadelphia. USA. Hastono. 2000. Penyerentakan berahi pada domba dan kambing. J. Animal Production 2(1):1-8. Henrich, D.M. and A. X. Torrence. 1977. Endogenous estrogen in bovine tissues. J. Anim. Sci. 45: 63.
23
Inounu, I. 2011. Pembentukan Domba Komposit melalui Teknologi Persilangan dalam Upaya Peningkatan Mutu Genetik Domba Lokal. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(3): 218-230. Jainudeen, M. R and E. S.E. Hafez. 2000. Cattle and Buffalo. In B. Hafezand E.S.E. Hafez (Eds.). Reproduction in Farm Animals. Vol. I No. 1, November 2012 Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia. Halaman : 159-171. Kune, P dan Najamudin. 2002. Respon estrus sapi potong akibat pemberian progesterone, prostaglandin PGF2α dan estradiol benzoat dalam kegiatan sinkronisasi estrus. Jurnal Agroland. 9 (4): 380-384. Kune, P dan N.Solihati. 2007. Tampilan berahi dan tingkat kesuburan sapi Bali Timor yang diinseminasi. Jurnal Ilmu Ternak. Juni 2007.Vol. 7 No. 1-5 Larson, J. E., G. C. Lamb., J. S. Stevenson., S. K. Johnson., M. L. Day., T. W. Geary., D. J. Kesler., J. M. Dejarnette., F. N. Schrick., A. Dicoztanzo and J .D. Arseneau. 2006. Synchronization of estrus in sucled beef cows for detected estrous and artificiali insemination using gonadotroping-releasing hormone, prostaglandin and progesteron. J. Anim. Sci. 71:61. Mahaputra, L dan T. I. Restiadi. 1993. ProfilProgesteron selama Sinkronisasi Berahi dan Ovulasi dalam Upaya EmbrioTransfer. Forum Komunikasi Hasil Penelitian bidangPeternakan. 22-24. Yogyakarta Maisdawar. 2007. Efisiensi Superovulasi pada Sapi melalui Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi. Tesis. Program Pascasarjana Institute Pertanian Bogor. Bogor. Mulliniks, J.T., S.H. Cox., M.E. Kemp., R.L. Endecott., R.C. Waterman., D.M. Van Leeuwen and M. K. Petersen. 2012. Relationship between body condition score at calving and reproductive performance in young postpartum cows grazing native range. J Anim. Sci. 90:2811-2817. Murtidjo, B.A. 1990. Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta. Nalbandov, A. V. 1990. FisiologiReproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Universitas Indonesia. Jakarta. Nessan, G.K dan G.J. King. 1981. Sexual behavior in ovariectomized cows treated with oestradion benzoat and testosterone propionate. J. Reprod. 61 :171-178.
24
O’Connor, M dan Jana Peters. 2003. Reviewing Artificial Insemination Technique. Department of Dairy Science and Animal Science. The Pennsylvania State University Pane, I. 1990. Upaya Meningkatkan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. 20-22 September. No: 42. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-1. Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Pastika, M dan D. Darmadja. 1976. Performans Reproduksi Sapi Bali. Prosiding Seminar Reproduksi Sapi Bali, Denpasar, Bali. Universitas Udayana. Peters, A. R and Lamming, G. E. 1983. Hormone Patterns and Reproduction in Cattle. In Practice 5: 153-157. Pursley, J. R., M. W. Kosorokand M. C. Wiltbank. 1997. Reproductive management of lactating dairy cows using synchronization of ovulation. J. Dairy Sci. 80:301–306. Putro, P. P., R. Wasito., H. Wuryastuty dan S. Indar julianto. 2008. Dinamika perkembangan folikel dan profil progesteron plasma selama siklus estrus pada sapi perah. Animal Reproduction. 10 (02) : 73-77. Ratnawati, D dan L. Affandi. 2008. Implementasi Sinkronisasi Ovulasi Menggunakan Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH) dan Prostaglandin (PGF2α) pada induk sapi Bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Grati. Puslitbang Peternakan. Grati. Hal 72- 76. Sonjaya, H. 2006. Bahan Ajar Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Sugeng. B. 1993. Sapi Potong. Penerbit Penebar. Swadaya. Jakarta. Sugeng. B. 2008. Sapi Potong. Penerbit Penebar. Swadaya. Jakarta. Suharto, K. 2003. Penampilan Potensi Reproduksi Sapi Perah Frisien Holstein Akibat Pemberian Kualitas Ransum Berbeda dan Infusi Larutan Iodium Povidon 1% Intra Uterin. Tesis Program Studi Magister Ilmu Ternak Universitas Diponegoro, Semarang.
25
Talib, C. A., Bamualim dan A. Pohan. 2001. Pengaruh Perbaikan Pakan pada Pola Sekresi Hormon Progesteron Induk Sapi Bali Bibit dalam Periode Post Partus. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 79 – 84. Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Wartazoa 12 (3). Tambing, S. N., Toelihere, M. R dan Yusuf, T. L. 2000. Optimasi Program Inseminasi pada Kerbau. Wartazoa Vol. 10 No. 2. Thatcher, W., W. Moreira, W and Risco, C. A. 2001. Srategies to optimized reproductive efficiency by regulation of ovarian function. J.Anim. Endocrin.23: 243-254. Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa Bandung. Toelihere, M. R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung Williamson, G dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis (Diterjemahkan oleh S.G.N.D. Darmadja). Edisi ke-1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Yoshida, C and Nakao, T. 2005. Response of plasma cortisol and progesterone eafter ACTH challenge in ovariectomized lactating dairy cows. Journal of Reproduction and Development, Vol.51, No. 1. Z, Samir and Zarkouni. 2010. Conception rates for standing estrus and fixed-time insemination in dairy heifers synchronized with GnRH and PGF2α. J. Anim Sci. 34 (3): 243-248.
26
LAMPIRAN 1 DOKUMENTASI PENELITIAN
1. Prosedur Sinkronisasi dengan Metode Ovsynch A
B
C
C
Keterangan:
D
Pada prosedur sinkronisasi berahi terlebih dahulu sapi dimasukan ke dalam kandang jepit ( Gambar 1 A,1 B). Setelah itu dilakukan palpasi rectal untuk mengetahui kondisi fisiologi sapi yang akan disinkronisasi (Gambar 1 C). Setelah mengetahui kondisi fisiologis sapi, dilakukan penyuntikan hormon (Gambar 1D).
27
2. Prosedur Pengamatan Tanda -Tanda Berahi A
B
CD C
D
D
Keterangan: Pada prosedur pengamatan tanda-tanda berahi dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi vulva (Gambar 2 A) apakah telah bengkak (Gambar 2 B) vulva merah ( Gambar 2 C) atau telah mengeluarkan lendir (Gambar 2 D).
28
3. Prosedur Inseminasi Buatan A
C
B
D
Keterangan: Pada prosedur inseminasi buatan diawali dengan memasukkan ternak sapi Bali yang berahi ke dalam kandang jepit (Gambar 3 A). Setelah itu dilakukan palpasi rectal oleh inseminator untuk mengetahui kondisi fisiologis uterus dan servix (Gambar 3 B). Kemudian melakukan inseminasi dengan memasukkan gun inseminasi yang berisi semen ke dalam organ reproduksi betina (Gambar 3 C,3 D).
29
LAMPIRAN II DATA MENTAH KELOMPOK TERNAK YANG DISINKRONISASI MENGGUNAKAN METODE OVSYNCH
Tabel 4. Identitas Ternak, BCS, Deposisi Semen, Intensitas Berahi dan Interval Munculnya Berahi pada Sapi Bali Induk yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch
No
Identitas ternak
BCS
Deposisi Semen
Intensitas Berahi
Interval Munculnya Berahi PGF-IB
GnRH2-IB
1
9051
6
4
3
61,40
47,38
2
0045
5
1
2
72,00
48,5
3
1774
5
4
3
61,39
47,34
4
0838
5
0
2
72,26
48,26
5
0039
6
4
3
71,18
47,16
6
17513
6
4
3
7156
47,33
7
17516
6
4
2
72, 31
47,36
8
Hafid
6
4
3
71,52
47, 41
9
17706
5
4
3
71,24
47,34
Keterangan: Interval waktu munculnya berahi dalam menit
30
Tabel 5. Identitas Ternak, BCS, Deposisi Semen, Intensitas Berahi dan Interval Munculnya Berahi pada Sapi Bali Dara yang Disinkronisasi dengan Metode Ovsynch No
Identitas
SKT
Deposisi Semen
Intensitas berahi
Interval Munculnya Berahi PGF-IB
GnRH2-IB
2 3
72,24
48, 19
72,11
48,29
2 2 2 2
72,16
47,56
71,51
47,39
72,38
48,38
71,14
47,14
72,4
47,52
71, 4
47,4
71,52
48,00
1
006
6
1
2
Anto/0017
6
4
3
0207
6
0
4
0503
6
4
5
0504
6
4
6
Telinga kiri berlobang
5
0
7
Sidung / 0025
6
2
8
Rusli/0005
6
3
2 3
9
Abdulla/0089
6
2
2
10
Syamsudiin
3
Tidak respon
11
08
3
Tidak respon
12
0975
3
Tidak respon
Keterangan: Interval waktu munculnya berahi dalam menit
31
LAMPIRAN 3 DATA ANALISIS PERHITUNGAN DENGAN SPSS
1. Hasil Analisis Persentase Berahi dengan Uji C Square Case Processing Summary
Valid Metode_Ovsynch SapiIndukNCount Percent % within Metode_Ovsynch * 21 100.0% Metode_Ovsynch Respon_Birahi Dara
Count
Value Continuity Correction Likelihood Ratio
b
75.0%
25.0% 100.0%
18
% within Metode_Ovsynch
Pearson Chi-Square
9
100. .0% 21 100.0% 0% 3 12
100.0% 0 .0%
Count % within Metode_Ovsynch
Total
Cases Respon_Birahi Missing Total Birahi TidakBirahi Total Perc 9 0 N Percent N ent9
85.7%
Df
2.625a
1
.105
.980
1
.322
3.729
1
.053
N of Valid Casesb
14.3% 100.0%
.229 2.500
21
Exact Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Sig. (1(2-sided) sided) sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
3
1
.165
.114
21
32
2. Hasil analisis Uji T-Independent Interval Waktu Munculnya Berahi dari Penyuntikan PGF2α sampai Puncak Berahi
Group Statistics Kelompok PGF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Sapi Induk
9
69.6400
4.54178
1.51393
Sapi dara
9
71.9489
.51972
.17324
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of
F PEqual variances assumed G Equal variances not F assumed
13.577
Sig.
T .002
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
Difference
Difference
the Difference Lower
Upper
-1.515
16
.149
-2.30889
1.52381
-5.53921
.92143
-1.515
8.209
.167
-2.30889
1.52381
-5.80724
1.18947
33
3. Hasil Analisis Uji T-Independent Interval Waktu Munculnya Berahi dari Penyuntikan GnRH-2 sampai Puncak Berahi
Group Statistics Kelompok
N
GnRH2 Sapi Induk Sapi dara
Std. Deviation
Mean
Std. Error Mean
9 47.6822
.36269
.12090
9 47.9056
.53229
.17743 Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances F GnRH2 Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig.
1.292 .272
t-test for Equality of Means Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
t
Df
Sig. (2tailed)
-1.040
16
.314
-.22333
.21470
-.67848 .23181
-1.040
14.111 .316
-.22333
.21470
-.68348 .23682
Lower
Upper
34
5.
Korelasi Deposisi Semen dan Skor Kondisi tubuh (SKT) terhadap Intensitas Berahi
Correlations INDUK intensitas Spearman's rho
intensitas
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N deposisi Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N SKT Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Correlations DARA Intensitas Spearman intensitas Correlation 1.000 's rho Coefficient Sig. (2-tailed) . N 9 deposisi Correlation .323 Coefficient Sig. (2-tailed) .397 N 9 SKT Correlation .478 Coefficient Sig. (2-tailed) .193 N 9
Deposisi
SKT
*
.316
. 9
.020 9
.407 9
.750*
1.000
.593
.020 9
. 9
.092 9
.316
.593
1.000
.407 9
.092 9
. 9
1.000
.750
deposisi
SKT
.323
.478
.397 9
.193 9
1.000
.540
. 9
.133 9
.540
1.000
.133 9
. 9
37
37