PENGARUH PEJANTAN TERHADAP TINGKAT KEBUNTINGAN DAN BERAT LAHIR PADA SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA SEMI-INTENSIF
SKRIPSI
Oleh :
A. ANJAR WAWO I 111 08 256
JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
PENGARUH PEJANTAN TERHADAP TINGKAT KEBUNTINGAN DAN BERAT LAHIR PEDET SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA SEMI-INTENSIF
SKRIPSI
Oleh :
A. ANJAR WAWO I 111 08 256
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
ii
HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian
:
Pengaruh Pejantan terhadap Tingkat Kebuntingan dan Berat Lahir pada Sapi Bali yang Dipelihara secara Semi-Intesif.
Nama
: A. Anjar Wawo
No. Pokok
: I 111 08 256
Program Studi
: Produksi Ternak
Jurusan
: Produksi Ternak
Fakultas
: Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc NIP. 19641231 198903 1 025
Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M. Sc NIP. 19630501 198803 1 004
Dekan Fakultas Peternakan
Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M. Sc NIP. 19520923 197903 1 002
Ketua Jurusan Produksi Ternak
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc NIP. 19641231 198903 1 025
Tanggal Lulus : Januari 2014
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertandatangan dibawah ini : Nama
: A. Anjar Wawo
Nim
: I 111 08 256
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa ; a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyatan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, Februari 2014 Ttd
A. ANJAR WAWO
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karuniaNya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Tingkat Kebuntingan dan Berat Lahir Pedet Sapi Bali Berdasarkan Umur Induk yang Dipelihara Secara Semi-Intensif “ dengan baik. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan moril maupun materil. Pada kesempatan ini dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc selaku pembimbing utama dan bapak Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc, selaku pembimbing anggota, atas segala bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan bimbingan, nasehat dan saran-saran sejak awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku dekan, bapak wakil dekan I, II, III, beserta seluruh dosen dan staf Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, yang telah bersedia menerima dan membimbing penulis sebagai mahasiswa peternakan. Pada kesempatan ini pula penulis memohon maaf yng ssebesar-besar atas segala kekeliruan yang telah penulis lakukan baik disengaja maupun tidak disengaja. 3. Ketua dan Sekertaris Jurusan Produksi Ternak beserta seluruh dosen dan staf Jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan selama penyelesaikan skripsi ini dan penelitian di Fakultas Peternakan.
v
4. Ibu Dr. Ir. Rr. Sri Rachma A. Bugiwati, M.Sc. selaku penasehat akademik yang senantiasa memberikan motivasi dan nasehat yang sangat berarti bagi penulis. 5. Sembah sujudku kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Andi Wawo dan Ibunda Andi Biddu. Keduanya telah memelihara saya sejak kecil dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang, mereka berdua tidak hentihentinya selalu mendorong anaknya bersekolah meskipun beliau berdua tidak pernah mengalaminya, tanpa do’a restunya, cita-cita saya tidak mungkin
tercapi.
Semoga
Allah
SWT
melimpahkan
rahmatNya
kepadanya, Amin. 6. Sahabat-sahabat “Bakteri 08” yang tidak sempat saya sebutkan namanya terima kasih atas segala pengorbanan, bantuan, pengertian, canda tawa serta kebersamaan selama ini, waktu yang dilalui sungguh merupakan pengalaman hidup yang berharga dan tak mungkin untuk terlupakan. Teriring dengan doa semoga rekan dan sahabatku sukses selalu. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu saya mengucapkan terimakasi atas segala bantuanya. Melalui kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran apabila dalam penyusunan skripsi ini terdapat kekurangan dan kesalahan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, Amin
Penulis
A. Anjar Wawo
vi
RINGKASAN A. Anjar Wawo (I111 08 256). Pengaruh pejantan terhadap Tingkat Kebuntingan dan Berat Lahir Pedet Sapi Bali yang Dipelihara Secara SemiIntensif. Sudirman Baco selaku Pembimbing Utama dan Lellah Rahim selaku Pembimbing Anggota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pejantan terhadap tingkat kebuntingan dan berat lahir pedet sapi Bali yang dipelihara secara semiintensif. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dengan ulangan tidak sama. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, Desember 2012 sampai Februari 2013, di Laboratorium Ternak Potong, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi penelitian menggunakan sebanyak 4 ekor pejantan sapi bali dengan umur 2,5 – 4 tahun, 12 ekor induk sapi Bali dan 55 kelahiraan pedet dari tahun 2005 sampai 2012. Sapi tersebut dikandangkan dan digembalakan sekitar 4 jam di siang hari sampai sore hari, sapi dikeluarkan dari kandang untuk latihan dan digembalakan. Di dalam kandang, sapi diberi pakan berupa rumput gajah, pakan tambahan (dedak), garam, dan air (ad-libitum). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan dan tingkat kelahiran normal pada sapi Bali dengan pemeliharaan semi-intensif adalah masing-masing 95,62% dan 86,25%. Rata-rata berat lahir pedet adalah 13,06 kg. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kebuntingan dan berat lahir dipengaruhi oleh pejantan, sedangkan tingkat kelahiran tidak berpengaruh signifikan terhadap Pejantan. Kata Kunci : Sapi Bali, Pejantan, Kebuntingan, Bobot lahir
vii
ABSTRACT
A. Anjar Wawo ( I111 08 256 ). The Effect of the Bull on Pregnancy rate and Birth Weight of Bali Cattle raised with Semi-Intensively. Sudirman Baco as Main advisor and Lellah Rahim as Advisor member. This study was to know the effect of the Bull on pregnancy rate and birth weight of Bali cattle raised with semi-intensively. This study use a completely randomized design (CRD) with four treatment with unbalance data. The study was conducted during a three mounth period of December 2012 to February 2013, at the Laboratory of beef cattle Production, Faculty of Animal Science, Hasanuddin University, Makassar. Materials of study was as 4 bulls of dams Bali cattle with age of 2.5 to 4 years, 12 Bali a dams cows and 55 calvers born from 2005 trought 2012. The animals were housed troughout the year and they were exercise and grazing, approximately 4 hours in the day time until afternoon. In the house, the animals were fed using elephant grass, additional feed (rice brian), salt , and water ad libitum. The results of this study showed that the pregnancy rate and calving rate of Bali cows raised semi-intensive ware 95.62 % and 86.25 % respectively. The average of birth weight was 13,06 kg. It can be concluded that the pregnancy rate and birth weight is affected by the males, while the calving rate no significant effect of Bull. Keywords : Bali Cattle , Bull, Pregnancy rate, Birth Weight
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL .......................................................................................... ii HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v RINGKASAN ...................................................................................................... vii ABSTRACT ........................................................................................................ viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 Tinjauan Umum Sapi Bali ................................................................................... 4 Pengaruh breed, genetik dan pejantan terhadap produktivitas ............................ 6 Kebuntingan ........................................................................................................ 9 Kelahiran ........................................................................................................... 11 Bobot Lahir........................................................................................................ 11 METODE PENELITIAN ................................................................................... 13
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 13 Materi Penelitian ............................................................................................... 13
ix
Pemeliharaan Ternak ......................................................................................... 13 Prosedur Penelitian ............................................................................................ 13 Parameter Penelitian .......................................................................................... 14 Analisis Data ..................................................................................................... 15 PEMBAHASAN .................................................................................................. 16
Tingkat Kebuntingan ......................................................................................... 16 Tingkat Kelahiran .............................................................................................. 20 Bobot Lahir Pedet Sapi Bali .............................................................................. 21 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 23
Kesimpulan ........................................................................................................ 23 Saran .................................................................................................................. 23 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24
LAMPIRAN ......................................................................................................... 27
RIWAYAT PENULIS ......................................................................................... 35
x
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1. Distribusi penggunaan Pejantan dan jumlah induk berdasarkan Tahun kelahiran anak............................................................................14 2. Tingkat kebuntingan, tingkat kelahiran dan rata-rata bobot lahir pedet sapi Bali berdasarkan pejantan yang berbeda...............................16
xi
DAFTAR GAMBAR No. 1.
Teks Sapi Bali
Halaman 4
xii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks
Halaman
1. Perhitungan deskriptif tingkat kebuntingan dan tingkat kelahiran............................................................................................27 2. Tabel Jumlah Kebuntingan, Kelahiran, dan rata-rata berat lahir pedet sapi Bali pada umur induk yang berbeda sejak Tahun 2004 Sampai 2012 di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin .............................................29 3. Perhitungan dan Analisis Chi-Square pada Tingkat Kelahiran......................................................................................................31 4. Hasil analisis ragam rata-rata berat lahir pedet sapi bali pada umur induk yang berbeda sejak Tahun 2004 Sampai 2012 di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin....................32 5. Dokumentasi pada saat penelitian...............................................................34
xiii
PENDAHULUAN Sapi Bali merupakan sapi pedaging asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibosbanteng) (Hardjosubroto, 1994), dan sapi asli pulau Bali (Sutan, 1988). Sapi Bali menjadi primadona sapi pedaging di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang (Putu dkk., 1998), persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Tanari, 2001). Memasuki tahun 2000 jumlah populasi sapi mencapai 718.164 ekor, tahun 2001 menjadi 722.452 ekor dan tahun berikutnya cenderung menurun, seperti pada tahun 2006 menjadi 637.128 ekor. Faktor penyebab penurunan di atas telah dibuktikan dengan kajian data tingkat pemotongan, tingkat pengeluaran sapi, tingkat pemasukan dan tingkat kelahiran pada tahun 2005. Penurunan sapi potong selama periode tahun 2002 – 2006 sebanyak 2,63% per tahun, hal ini diduga karena : 1). Tidak seimbang antara produksi dan permintaan daging 2). Tingginya angka pemotongan ternak betina produktif dan kesadaran masyarakat/peternak akan meminimalkan pemotongan betina produktif masih rendah 3). Rendahnya angka kelahiran dan panen pedet 4). Tingkat pengeluaran ternak sapi untuk tujuan perdagangan antar pulau tidak terkontrol, terutama yang dilakukan pedaging antar pulau ilegal 5). Hilangnya daerah penyangga populasi yang masuk dalam wilayah Sulawesi Barat dan 6). Tidak adanya pembibitan terprogram (Sonjaya, 2012) Penurunan populasi yang diikuti dengan penurunan produktivitas sebaiknya diatasi dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan dan reproduksi
1
dalam usaha peternakan. Dalam peternakan sapi potong manajemen pembiakan sangat menentukan keberhasilan. Tomaszewska dkk. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efisiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efisiensi reproduksinya. Produktivitas sapi potong dapat juga dilihat dari jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (Calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan (Trikesowo, dkk 1993). Pejantan
merupakan
hal
yang
harus
diperhatikan
dalam
usaha
meningkatkan populasi dan produktivitas dalam peternakan sapi potong/pedaging. Pejantan akan mengawini induk sehingga terjadi kebuntingan dan menghasilkan pedet yang baru. Bobot lahir juga tidak terlepas dari pengaruh Pejantan dimana hanya pejantan tertentu yang dapat menghasilkan bobot lahir yang tinggi. Hal inilah yang mendasari penelitian tentang pengaruh pejantan terhadap tingkat kebuntingan dan berat lahir pada sapi Bali yang dipelihara di Laboratorium Ternak Potong Unhas. Penurunan produktivitas ternak diduga disebabkan oleh tingkat kebuntingan dan tingkat kelahiran (berat lahir) yang semakin rendah. Pengaruh pejantan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam perkawinan sehingga terjadinya kebuntingan, kelahiran
dan berat lahir pedet yang tinggi. Oleh
karenanya perlu dilakukan pengkajian sejauh mana pengaruh pejantan terhadap tingkat kebuntingan dan berat lahir pedet sapi Bali.
2
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pejantan terhadap tingkat kebuntingan dan berat lahir pedet sapi Bali yang dipelihara di Laboratorium Ternak Potong. Kegunaan penelitian adalah memberikan informasi kepada peternak dan peneliti tentang pengaruh pejantan terhadap tingkat kebuntingan dan berat lahir pada sapi Bali yang dipelihara di Laboratorium Ternak Potong Unhas.
3
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibosbanteng) (Hardjosubroto, 1994), dan merupakan sapi asli Pulau Bali (Sutan, 1988). Sapi Bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang (Putu, dkk. 1998), persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Tanari, 2001). Namun ada juga beberapa kekurangannya yaitu pertumbuhannya lambat, peka terhadap penyakit Jembrana, penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan Bali ziekte (Darmadja, 1980; Hardjosubroto, 1994)
Gambar 1. Sapi Bali (Milik Laboratorium Ternak Potong Unhas)
Ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, pada paha kaki
4
bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada yang betina bentuk tanduk yang ideal yang disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit
mengarah
kebawah
dan
kedalam,
tanduk
ini
berwarna
hitam
(Hardjosubroto, 1994). Abidin (2002) menyatakan bahwa kemampuan reproduksi sapi Bali adalah terbaik di antara sapi-sapi lokal di Indonesia, karena sapi Bali bisa beranak setiap tahun.
Dengan manajemen yang baik penambahan berat badan harian bisa
mencapai 0,7 kg per hari. Keunggulan yang lain bahwa sapi Bali mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru, sehingga sering disebut ternak perintis. Dalton (1987) menyatakan bahwa produktivitas merupakan hasil pengaruh genetik dan lingkungan terhadap komponen-komponen produktivitas serta interaksi antara keduanya. Dalam bentuk paling sederhana produksi sapi pedaging merupakan fungsi dari reproduksi dan laju pertumbuhannya, yaitu berapa pedet dilahirkan per tahun untuk jumlah induk yang tersedia dan seberapa cepat sapisapi tersebut tumbuh hingga mencapai berat jual, jika dua komponen ini dapat dimaksimalkan dengan masukan dan biaya minimal maka suatu sistem produksi sapi daging yang efisien tercapai. Selanjutnya Warwick dan Lagetes (1979) menyatakan bahwa performan seekor ternak merupakan hasil dari pengaruh faktor
5
keturunan dan pengaruh komulatif dari faktor lingkungan yang dialami oleh ternak bersangkutan sejak terjadinya pembuahan hingga saat ternak diukur dan diobservasi. Hardjosubroto (1994) dan Astuti (1999) menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedang faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Ditegaskan pula bahwa seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik dimana ternak hidup atau dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin panampilan apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik. Trikesowo et al. (1993) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Pengaruh breed, genetik dan pejantan terhadap produktivitas Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994). Potensi produktivitas ternak dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan arifin, 2009). Bangsa (breed)) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, ternak-ternak tersebut dapat dibedakan dengan ternak lainnya meskipun masih dalam jenis hewan (species) yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Pejantan yang dipilih haruslah pejantan yang tetap mampu menjaga kesuburan reproduksi dan mampu kawin dengan pakan
6
kualitas rendah. Sapi betina yang tidak bunting dikawinkan dengan pejantan subur dengan pakan kualitas rendah sebaiknya segera dikeluarkan dari populasi (Praptomo, 2010). Faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh sesekor ternak sedang faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Ditegaskan pula bahwa seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik dimana ternak hidup atau dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin penampilan apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik (Anonim, 2012). Pemilihan pejantan yang unggul secara genetik menjadi sangat penting untuk meningkatkan produksi ternak baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengaruh bangsa ternak terhadap pertumbuhan anaknya telah dilaporkan oleh Baker (1996). Disamping pemilihan bangsa pejantan, penilaian performa pejantan yang bersangkutan juga diperlukan antara lain : kondisi kaki, testes, penis, internal genitalia melalui palpasi rektal, kualitas semen dan cacat. Testes yang kecil dan lunak merupakan indikasi produksi semen yang rendah. Hubungan antara luas testes dan kualitas semen sudah ditunjukan oleh Reddy et al. (1996). Faktor lain yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kondisi pejantan yang prima karena disamping memproduksi semen juga harus mempunyai libido yang tinggi dan fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi berahi dan mengawini betina (Chenoweth, 1981). Pemberian pakan yang baik, sehinggga total konsumsi mencapai 12-16 TDN, 1,32-2,37 protein tercerna, 35-45.000 IU carotein dan 1820 mg phosphor per hari selama 90-100 hari sebelum penyatuan pejantan dengan
7
kelompok betina, dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan produksi anak (O'marry dan Dyer ,1978). Disamping kualitas genetik pejantan perbandingan pejantan, dengan betina sangat mempengaruhi produktivitas. Penentuan perbandingan antara jantan dan betina dipengaruhi banyak faktor, antara lain keadaan topografi padang penggembalaan, umur pejantan, kondisi pastura, pakan dan sumber air yang tersedia dan lama perkawinan. Topografi yang jelek, keadaan pastura dan air yang terbatas, memerlukan jumlah pejantan yang lebih banyak. Perbandingan jantan dan betina antara 30-60 telah dipraktekkan secara luas (Hafez, 1993), dan nisbah yang lebih kecil yaitu 1: 25 untuk waktu perkawinan yang lebih singkat, yaitu 6090 hari (O'marry and Dyer 1978). Disamping perbandingan jantan betina, jumlah pejantan per satu kelompok perkawinan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan daya kompetisi pejantan untuk mengawini ternak betina ataupun sistem rotasi dimana selalu satu ekor pejantan per satuan jangka waktu tertentu. Kedua sistim perkawinan alam ini mempunyai
kelebihan
dan
kekurangan.
Kelebihan
sistem
rotasi
dapat
mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan dimana pejantan mendapat kesempatan untuk istirahat, pemulihan kondisi dengan suplementasi makanan dan peningkatan produksi dan deposito semen. Kekurangannya adalah memerlukan extra tenaga kerja, dan penanganan pejantan selama pengeluaran dari kelompok yang tidak sempurna dapat merupakan stress tambahan untuk pejantan, dan akan mempengaruhi kualitas semen (Hunter 1982). Pada sapi potong dengan program perkawinan secara alam, peranan pejantan menjadi sangat besar artinya dalam menentukan berapa banyak telah
8
terjadi kebuntingan dan kelahiran. Pejantan harus mampu menghasilkan mani (spermatozoa) dengan tingkat kesuburan yang tinggi yang didukung oleh nafsu untuk mengawini (libido) yang tinggi pula serta stamina dan fisik yang baik. Diperkirakan 1 dari 5 pejantan (20 persen) menderita masalah kesuburan. Masalah yang terlihat antara lain keluarnya penis yang berlebihan, kelemahan atau gangguan pada alat gerak, kegagalan turunnya testis pada tempat yang normal, menurunya libido karena faktor pemeliharaan. Pemeriksaan pejantan untuk program perkawinan menurut Hunter (1982) diperlukan sedikitnya 3 syarat yaitu : 1. Penampilan fisik termasuk alat kelamin Seekor pejantan yang baik secara fisik harus terlihat mampu bekerja, berjalan dengan baik, melihat, mencium, dan memiliki kemampuan untuk melayani setiap betina berahi. 2. Kualitas semen Penilaian kualitas semen didasarkan atas pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis semen. Pemeriksaan makroskopis meliputi volume, warna, konsistensi, bau dan pH. Sedangkan mikroskopis terdiri dari gerakan massa, motilitas, jarak antar kepala, konsentrasi dan abnormalitas sperma. 3. Nafsu mengawini betina (libido) Dalam keadaan normal pejantan harus mampu melayani betina yang berahi antara 3-5 menit. Kebuntingan Kebuntingan adalah periode dimana anak sedang berkembang pada uterus dimulai dari pembuahan ovum, implantasi, perkembangan membrane fetus dan
9
pertumbuhan fetus. Periode kebuntingan pada sapi adalah 292 hari atau 9 bulan lebih (Frandson, 1992). Awal kebuntingan pada ternak sapi sulit ditentukan, karena sapi tidak memperlihatkan perubahan kadar hormon yang terpakai untuk pengujian biokimia atau biologi terhadap kebuntingan seperti halnya pada kuda, manusia, dan hewan lainnya. Tidak kembalinya estrus merupakan satu-satunya tanda tentang terjadinya kebuntingan dini. Sesudah 40-60 hari baru dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan secara klinik. Adanya corpus luteum di ovarium dan pembesaran arteri uterinemedia merupakan tanda-tanda yang menguatkan, namun tidak memastikan adanya kebuntingan (Salisbury dan Fandenmark, 1985). Angka kebuntingan pada pengelolaan populasi sapi potong tergantung fertilitas sapi potong jantan dan betina serta kualitas manajemen perkawinan. Biasanya seekor ternak sapi potong jantan melayani beberapa sapi potong betina fertilitas sapi jantan adalah faktor penting, karena dapat menghasilkan keuntungan yang besar bagi peternak bila terjadi kebuntingan pada waktu yang tepat. Sebaliknya, waktu perkawinan yang salah cenderung kurang menunjang keberhasilan. Keberhasilan sapi potong adalah keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi yang tepat melalui pakan. Nutrisi tersebut akan menjamin kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kesehatan (Jakob, 1994). Salah satu penyebab rendahnya tingkat kebuntingan sapi potong adalah manajemen perkawinan yang kurang tepat (Jakob, 1994), yakni : 1. Pola perkawinan yang kurang tepat 2. Pengamatan birahi dan waktu kawin yang tidak tepat
10
3. Rendahnya kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan pejantan dalam kawin alam 4. Kurang terampilnya beberapa petugas 5. Rendahnya pengetahuan peternak tentang kawin suntik atau IB Kelahiran Angka kelahiran adalah persentase anak sapi lahir hidup per induk sapi kelompok umur produktif dalam satu tahun. Dari 3.554 induk sapi berumur 3,5 tahun ke atas tercatat 1.999 anak sapi yang dilahirkan selama satu tahun. Ini berarti angka kelahiran sapi Bali adalah 56,2 % (Soeharsono dkk, 1983). Sapi Bali adalah jenis sapi yang sampai saat ini dipandang sangat subur di Indonesia. Payne dan Rollinson (1973) memberikan taksiran bahwa angka kelahiran sapi Bali adalah 80%. Pastika dan Darmaja (1976), mengemukakan dalarn penelitiannya bahwa dari 31 ekor pejantan dengan 1.707 perkawinan mernberikan angka kelahiran untuk sapi Bali di pulau Bali sebesar 83,40%. Hal ini lebih dikuatkan lagi oleh penelitian Darmaja (1980), yang mendapatkan angka kelahiran rata-rata sapi Bali sebesar 81,87% untuk kelahiran pertama, kedua dan ketiga pada daerah dengan pola pertanian padi-padi, padi-palawija dan palawija. Sedangkan untuk ketiga pola tanam tersebut masing-masing adalah padi-padi 74,66 %, padi-palawija 84,82% dan palawija 86,12% . Bobot Lahir Bobot lahir merupakan salah satu hal penting dalam pola pertumbuhan karena anak sapi dengan bobot yang lebih besar dari rataan dan lahir normal mampu mempertahankan hidup. Akan tetapi bobot yang besar dari rataan erat
11
hubungannya dengan kesukaran kelahiran serta jumlah kematian anak yang tinggi pada waktu lahir atau mendekati lahir (Warwick dan Legatas, 1979). Bobot lahir merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan pedet. Sapi dengan bobot lahir yang besar dan lahir secara normal akan lebih mampu mempertahankan kehidupannya. Bobot lahir anak sapi Bali adalah 18,4±1,6 kg. Bobot lahir antara pedet jantan dan pedet betina sangat bervariasi. Kisaran bobot lahir pedet jantan antara 10,5-22 kg dengan rata-rata 18,9±1,4 kg. Sementara pedet betina memiliki kisaran bobot lahir antara 13-26 kg dengan rataan 17,9±6 kg (Prasojol dkk, 2010). Terdapat korelasi fenotipe dan genotip antara berat lahir dengan berat sapih. Tiap peningkatan
sebanyak satu
kg berat lahir akan menghasilkan
pertambahan berat badan 1,9 kg pada umur 180 hari. Data yang lain yaitu setiap satu kg peningkatan berat lahir akan meningkatkan berat badan 0,012 kg/hari sampai disampai disapih (Wello, 2011).
12
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu pada bulan Desember 2012 sampai Februari 2013 di Laboratorium Ternak Potong, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi Penelitian Adapun materi penelitian ini yaitu menggunakan sapi Bali yang terdiri dari: 4 ekor pejantan, 12 ekor induk dan 55 ekor pedet
yang dipelihara di
Laboratorium Ternak Potong, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Data dikumpulkan mulai dari tahun 2005 – 2012 dari catatan dan pengamatan langsung. Pemeliharaan Ternak Manajemen pemeliharaan sapi Bali di Laboratorium Ternak Potong adalah pemeliharaan semi-intensif yakni kombinasikan antara perkandangan dan pengembalaan. Sistem perkawinan dilakukan secara alami (dengan menggunakan pejantan). Distribusi penggunaan pejantan dapat dilihat pada Tabel 1. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data yang diperoleh dari catatan Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Berdasarkan catatan tersebut diperoleh data kebuntingan induk, kelahiran, dan bobot lahir anak, dari masing-masing pejantan setiap tahunnya. Pejantan yang digunakan ada 4 ekor dari tahun 2006 – 2012 (Tabel 1).
13
Tabel 1.Distribusi penggunaan Pejantan dan jumlah induk berdasarkan Tahun kelahiran anak. Pejantan Tahun Kelahiran 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 6 P1 7
P2
9 8
P3
9
11 13
P4
Parameter Penelitian Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Tingkat Kebuntingan Tingkat kebuntingan adalah jumlah ternak yang bunting dalam satu tahun. Indikator untuk mengukur tingkat kebuntingan yang sering digunakan yaitu jumlah induk yang bunting dalam 1 tahun dibagi jumlah betina dalam produktif. 2. Tingkat Kelahiran Tingkat kelahiran atau crude birt rate (CBR) adalah rata-rata jumlah ternak yang lahir dalam setiap tahun. Tingkat kelahiran dihitung dengan rumus CBR = N/R X 100%, N adalah jumlah kelahiran pada tahun tersebut dan R adalah jumlah induk betina yang bunting dalam populasi. 3. Bobot lahir Bobot lahir merupakan hasil penimbangan dari pedet yang baru lahir. Bobot lahir diperoleh dengan menimbang anak sapi paling lambat 1 hari (24 jam) setelah lahir.
14
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL ) dengan 4 perlakuan dan ulangan yang tidak sama. Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilakukan uji lebih lanjut untuk membedakan pengaruh perlakuan. Analisis data yang digunakan menurut (Gasperz, 1991) adalah model matematiknya sebagai berikut:. Yi j = μ + αi + εi j Keterangan : Yijk = Hasil pengamatan untuk faktor pejantan ke-i dan pada ulangan ke-j. μ
= Nilai tengah umum.
αi
= Pengaruh faktor pejantan ke-i ( i = 1, 2, 3, 4).
εij
= Pengaruh acak (galat percobaan) pada taraf ke-i (faktor pejantan) dan pada ulangan ke-j (j = 1,2, 3,…. n). Dalam analisis ini data tingkat kebuntingan, kelahiran dan kematian
dianalisis berdasarkan analisa deskriptif dan Chi-kuadrat. Analisis data
yang
digunakan menurut (Gasperz, 1991) adalah model matematiknya sebagai berikut: Rumus Chi Square : X² = Σ (fo – fh)² fh Di mana :
X² = Chi Square ; fo = frekuensi yang diobservasi fh = frekuensi yang diharapkan
15
PEMBAHASAN Tingkat Kebuntingan Tingkat kebuntingan pada induk sapi Bali pada tahun 2006 – 2012 berdasarkan pejantan sejak tahun 2006 sampai 2012 di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dapat dilihat pada Tabel 1. Table2. Tingkat kebuntingan, tingkat kelahiran dan rata-rata bobot lahir pedet sapi Bali berdasarkan pejantan yang berbeda. Pejantan (P) P1 P2 P3 P4 Rataan
N 6 16 28 13
Tingkat kebuntingan (%) 100 93,75 96,43 92,31 95,62
Tingkat kelahiran (%) 66,66 86,67 100 91,67 86,25
Rata-rata bobot lahir (kg) 12,5 ± 1,3bc 11,92 ± 1,3c 14,37 ± 1,4a 14,23 ± 2,1ab 13,06 ± 1,8
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) P1= Pejantan pertama, P2= Pejantan kedua, P3= Pejantan ketiga, dan P4= Pejantan keempat
Berdasarkan Tabel 2. Menunjukkan bahwa persentase tingkat kebuntingan induk dari pejantan yang berbeda. Pada P1 merupakan tingkat kebuntingan induk tertinggi yaitu mencapai 100%, hal ini disebabkan karena semua induk yang dikawinkan dengan P1 terjadi kebuntingan. Meskipun semua induk bunting namun tingkat kelahiran normal paling rendah yaitu 66,66%, hal ini disebabkan oleh adanya induk yang abortus (keguguran). Sementara untuk tingkat kebuntingan yang terendah adalah P4 yaitu 92% dan tingkat kelahiran 91,66%, ini disebabkan oleh beberapa induk yang dikawinkan dengan P4 tidak semua terjadi kebuntingan dan induk yang bunting terjadi abortus (keguguran) sehingga tingkat kebuntingan dan kelahiran tidak mencapai 100%. Demikian halnya dengan P2, meskipun tingkat kebuntingannya lebih tinggi dari P4 yaitu 93,75% namun
16
tingkat kelahirannya lebih rendah. Sementara pada P3, tingkat kebuntingan 96,43% namun tingkat kelahiran mencapai 100% dikarenakan semua induk yang bunting terjadi kelahiran. Berdasarkan persentase tingkat kebuntingan pada Tabel 2, diketahui bahwa terdapat 3 kelompok pejantan yang persentase tingkat kebuntingannya kurang dari 100%. Rendahnya tingkat kebuntingan pada induk yang dikawinkan dengan P2 dan P4 dibandingkan dengan induk lain disebabkan karena adanya seekor induk yang tidak bunting pada tahun itu dan induk tersebut baru bunting pada tahun berikutnya karena terjadi kawin berulang. Rataan tingkat kebuntingan yang diperoleh dalam penelitian yaitu 95,55%, hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Sudarmaji dkk., (2004) yang menyatakan bahwa angka kebuntingan sapi Bali mencapai 83,33%. Sapi kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981). Menurut Zemjanis (1980) secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu :
1. Kegagalan pembuahan/fertilisasi
Termasuk dalam faktor ini adalah: kelainan anatomi saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sperma yang abnormal dan kesalahan pengelolaan reproduksi.
17
2. Kematian embrio dini
Penyebab terpenting kematian embrio dini adalah kelainan genetik, infeksi penyakit, lingkungan saluran reproduksi yang tidak baik dan gangguan hormonal.
Faktor kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin berulang sapi. Meskipun kegagalan pembuahan terjadi pada hewan betina namun faktor penyebab juga terjadi pada hewan jantan atau dapat disebabkan karena faktor manajemen yang kurang baik (Zemjanis, 1980). Berdasarkan hasil analisis Chi-kuadrat (X2hitung < X2α=0.05 = 0,96 < 9,49 ), menunjukkan bahwa pejantan berpengaruh nyata terhadap tingkat kebuntingan. Ini berarti bahwa
pejantan
berkaitan dengan tingkat kebuntingan. Hal ini
dikarenakan pejantan termasuk dalam suatu faktor genetik yang mempengaruhi erat dalam perkawinan untuk menghasilkan keturunan seperti halnya fertilitas pejantan,
manajemen
perkawinan,
ketersedian
pakan,
dan
tatalaksana
pemeliharaan yang lebih memberikan pengaruh terhadap tingkat kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Jakob (1994) yang menyatakan bahwa tingkat kebuntingan pada pengelolaan populasi sapi potong tergantung fertilitas sapi potong pejantan dan betina serta kualitas manajemen perkawinan. Hal ini dikuatkan oleh Salisbury dan Vandenmark (1985) bahwa pengaruh pejantan terhadap fertilitas sapi betina dan sapi jantan sulit untuk diketahui karena faktor penyebabnya sangat kompleks dan banyak. Faktor lingkungan seperti musim setiap tahunnya, faktor tatalaksana dan faktor makanan lebih berpengaruh terhadap sapi tertentu daripada terhadap pejantan.
18
Sperma yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan proses pembuahan karena sperma yang bentuknya abnormal mencapai 24-39% pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan 12-13% pada sapi dara yang menderita kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995). Susilawati, dkk (1993) menyatakan bahwa pejantan yang berumur 2 sampai 7 tahun dapat menghasilkan semen terbaik dengan angka kebuntingan yang tinggi pada betina yang dikawini dibandingkan dengan pejantan umur diluar interval tersebut. Sementara Johnson et al., (1998); Paul, (1999) juga menyatakan bahwa kualitas semen pejantan yang digunakan sebagai sumber bibit juga dapat mempengaruhi keberhasilan kebuntingan terutama yang berhubungan dengan umur pejantan dan keabnormalan spermatozoa. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas semen diantaranya adalah umur, bangsa ternak, sifat genetik, suhu dan musim, libido, frekuensi ejakulasi, dan makanan. Pejantan yang terlalu muda (umur kurang dari 1 tahun) atau terlalu tua menghasilkan semen yang lebih sedikit. Selain itu pejantan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) umur sekitar 4- 5 tahun, (b) memiliki kesuburan tinggi, (c) daya menurunkan sifat produksi yang tinggi kepada anak-anaknya, (d) berasal dari induk dan pejantan yang baik, (e) besar badannya sesuai dengan umur, kuat, dan mempunyai sifatsifat pejantan yang baik, (f) kepala lebar, leher besar, pinggang lebar, punggung kuat, (g) muka sedikit panjang, pundak sedikit tajam dan lebar, (h) paha rata dan cukup terpisah, (i) dada lebar dan jarak antara tulang rusuknya cukup lebar, (j)
19
badan panjang, dada dalam, lingkar dada dan lingkar perut besar, serta (k) sehat, bebas dari penyakit menular dan tidak menurunkan cacat pada keturunannya. Tingkat Kelahiran Tingkat kelahiran anak sapi merupakan ukuran yang paling sesuai untuk mengetahui kesuburan ternak. Anak sapi yang dihasilkan dapat digunakan baik sebagai pengganti induk maupun sebagai produk utama yakni penghasil daging. Kondisi yang paling baik akan memungkinkan induk menghasilkan satu anak sapi per tahun (Ball dan Peters, 2004). Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa tingkat kelahiran dari induk yang dikawinkan dengan P1, P2, dan P4 tidak mencapai 100%. Hal ini disebabkan pada P1 dan P4 terdapat beberapa ekor induk yang abortus (keguguran) dikarenakan oleh perbedaan genetik pejantan. Berdasarkan hasil analisis Chikuadrat (X2hitung >
X2α=0.05 = 12,63 > 9,49), menunjukkan bahwa pengaruh
pejantan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kelahiran. Ini berarti bahwa penelitian terhadap tingkat kelahiran lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik, walaupun pengaruh pejantan hanya sedikit tapi tetap berperan dalam kelahiran. Kematian embrio dini pada sapi betina sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk jantan maupun betina akan lebih sering muncul pada turunannya (Hardjopranjoto, 1995). Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir dari implantasi (Hafez, 1993).
20
Rataan tingkat kelahiran yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 86,25%. Tingkat kelahiran ini termasuk angka kelahiran yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian tingkat kelahiran sapi Bali yang dilakukan sebelumnya. Seperti pendapat Wahyuni (2000) yang menyatakan bahwa angka kelahiran sapi Bali mencapai 83,4%. Pastika dan Darmaja (1976), mengemukakan dalam penelitiannya bahwa angka kelahiran untuk sapi Bali di Pulau Bali sebesar 83,40%. Hal ini lebih dikuatkan lagi oleh penelitian Darmaja (1980), yang mendapatkan angka kelahiran rata-rata sapi Bali sebesar 81,87% untuk kelahiran pertama, kedua dan ketiga pada daerah dengan pola pertanian padi-padi, padi-palawija dan palawija. Bobot Lahir Pedet Sapi Bali Bobot lahir merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan pedet sapi. Sapi dengan bobot lahir yang besar dan lahir secara normal akan lebih mampu mempertahankan kehidupannya. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5), menunjukkan bahwa pejantan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot lahir pedet (P<0,01). Seperti yang telah dinyatakan oleh Muzani (2004) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi bobot lahir antara lain pejantan, bangsa, genetik, jenis kelamin pedet, lama kebuntingan, umur induk dan berat induk. Azzam dan Neilsen (1987) juga menerangkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bobot lahir antara lain adalah bangsa pejantan dan jenis kelamin pedet. Sedangkan dengan hasil penelitian Karnaen dan Arifin (2010), yang menyatakan bahwa masa kelahiran menunjukkan pengaruh terhadap berat lahir anak sapi (pedet) dengan kata lain berat lahir antara periode kelahiran yang satu dengan yang lain berbeda nyata.
21
Dari Tabel 2. dapat dilihat rata-rata bobot lahir dari pejantan yang berbeda yaitu P1, P2, P3 dan P4 adalah masing-masing 12,5; 11,92; 14,37 dan 14,23 kg. Hal ini memperlihatkan pejantan yang baik atau unggul akan menghasilkan keturunan yang baik pula. Sementara rataan bobot lahir yang diperoleh adalah 13,06 kg, hasil ini tidak berbeda jauh dengan yang diperoleh dari penelitian Asrullah (2012), yang dilakukan dari 2002 - 2012 di kampus Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, rataan bobot lahir sapi Bali 13,5 ± 1,8 kg. Angka ini lebih tinggi dari penelitian Sumbung, dkk (1978), hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 1975 – 1977 di kampus Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, rataan bobot lahir sapi Bali 12,6 ± 2,6 kg. Sutan (1988) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang mempunyai hubungan dan mempengaruhi bobot lahir antara lain bangsa induk (betina/pejantan), jenis kelamin anak, lama bunting induk, umur atau paritas induk dan makanan induk sewaktu mengandung. Selain itu tingginya rata-rata berat lahir yang diperoleh karena adanya perbaikan manajemen dan pakan.
22
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kebuntingan induk dan berat lahir pedet sangat dipengaruhi oleh pejantan pada sistem pemeliharaan semi-intensif. Saran Dalam sistem pemeliharaan sapi potong, pejantan merupakan salah satu faktor penunjang untuk mendapatkan tingkat kebuntingan dan bobot lahir yang maksimal sehingga seleksi pejantan harus dilakukan dengan benar.
23
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2012. Mutu Genetik. http//staff.unud.ac.id/~sampurna/wpcontent/uploads/2012/04/bab-1-1 tinjauan-pustaka.doc. Diakses pada 28 Desember 2012. Abidin, Z. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta. Astuti, M. 1999. Pemuliaan Ternak, Pengembangan dan Usaha Perbaikan Genetik Ternak Lokal. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Pemuliaan Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Baker, J.F. 1996. Effect of Tuli, Brachman, Angus and Pooled Hereford sire breeds on birth and weaning traits of offspring.J. Anim. Sci. Suppl. 74: 124. Chenoweth, P.J. 1981. Libido and mating behaviour in bulls, boars and rams. Theriogenology 16:155. Dalton, C. 1987. An Introduction to Practical Animal Breeding. English Language Book Society. Longman. Darmadja, S.G.N.D. 1980. Setengah abad peternakan sapi tradisional dalam ekosistem pertanian di bali. Disertasi. Universitas Padjajaran. Bandung. Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gaspersez, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung. Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in farm animals. 6th Ed. Lea & Febiger Philadelphia, USA. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Hunter, R.H.F. 1995. Fisologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB Bandung. Bandung. Jakob, T. N. 1994. Budidaya Ternak Potong. Kanisius. Yogyakarta. Karnaen dan J. Arifin. 2009. Korelasi nilai pemulian produksi susu sapi perah berdasarkan test day laktasi 1, laktasi 2, laktasi 3, dengan gabungannya. J. Anim. Production 11:135-42. O'mary, C.C. and A.J. Dyer. 1978. Commercial beef cattle production. 2nd Ed. Lea & Febiger Philadelphia, USA.
24
Pastika, M. dan D .Darmaja, 1976. Performan reproduksi sapi Bali. Pros. Seminar Reproduksi dan Performance Sapi Bali. Dinas Peternakan Daerah TK I Bali. Denpasar. Pane, I. 1990. Upaya meningkatkan mutu genetik sapi Bali di P3 Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali 20–22 September. hlm: A42. Payne, W.J .A. and D.H .L. Rollinson, 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7: 13-21 . Prasojol, G. Arifiantini, I. dan Mohamad, K. 2010. Korelasi antara lama kebuntingan, bohot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi Bali. Institut Pertanian Bogor. Bogor Praptomo, S. dan Dwi. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Umum Pembiakan Ternak Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ntb. Mataram. Putu,
I-G., P. Situmorang, P. Lubis, T.D. Chaniago, E. Triwulaningsih, T. Sugiarti, I-W. Mathius dan B. Sudaryanto.1998. Pengaruh pemberian pakan konsentrat tambahan selama dua bulan sebelum dan sesudah kelahiran terhadap performan produksi dan Reproduksi Sapi Potong. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Bogor 1 – 2 Desember 1998. Puslibang Peternakan, Bogor. hlm. 279 – 286.
Reddy, M., M.E. Davis, and R.C.M. Simmen. 1996. Correlated response in scrotal circumferences, semen trends and reproductive performance due to selection for increased or decreased blood serum IGF-I concentration in Angus beef cattle. J. Anim. Sci Suppl. 74: 108. Salisbury, G. W. dan Vandermark, N. L. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soeharsono, D.H.A. Unruh, I.G Sudana, M. Gunawan, N.D. Dharma, A.A.G Putra, T. Syafrianti, S. Witino, I.G. Kartayadnya, K.S.A. Putra, G.M.A. Ekaputra, dan M. Malole. 1983. Sebuah pengamatan terhadap dinamika populasi sapi Bali di Bali. Hemera Zoa 71 (2). Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI, Denpasar. Sonjaya, H. 2012. Mengkaji program sejuta ekor sapi di provinsi Sulawesi Selatan.http://saintis-akademis.blogspot.com. Diakses pada tanggal 2 Desember 2012. Sumbung, F. P., J. T. Batosama, B. R. Ronda dan S. Garantjang. 1978. Performans Reproduksi Sapi Bali. Prosidings Seminar Ruminansia Besar. Direktorat Jenderal Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
25
Sutan, SM. 1988. Perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, peranakan Ongole dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta, Sumatra selatan. Disertasi. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Susilawati, T., P. Srianto, Hermanto dan E. Yuliani. 2003. Inseminasi buatan dengan spermatozoa beku hasil sexing pada sapi untuk mendapatkan anak dengan jenis kelamin sesuai harapan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. Tanari, M. 2001. Usaha pengembangan sapi Bali sebagai ternak lokal dalam menunjang pemenuhan kebutuhan protein asal hewani di Indonesia.http:// rudyct.250x. com/ sem1_012/m_tanari. Tomaszewska, M., T.D. Chaniago dan I.K. Sutama. 1988. Reproduction in relation to Animal production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor Australia projet. Bogor. Trikesowo, N., Sumardi dan Suyadi., 1993. Kebijakan riset di bidang pengembangan dan perbaikan mutu sapi potong dengan teknik ladang ternak dan feedlot. Forum komunikasi hasil penelitian bidang peternakan, Yogyakarta. Wahyuni, D. 2000. Sapi Bali di Ambang Kepunahan. Bisnis Indonesia. Warwick, E. J. and Legates. 1979. Breeding and Improvement of Farm Animals. 7thEd. Tata McGraw-Hill Pulishing Co., Ltd., New Delhi. Wello, B. 2011. Manajemen Ternak Sapi Potong. Masagena Press. Makassar.
26
LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan deskriptif tingkat kebuntingan dan tingkat Kelahiran a. Tingkat Kebuntingan Pejantan 1
= 100% Pejantan 2
= 93,75% Pejantan 3
= 96,43% Pejantan 4
= 92%
27
b. Tingkat Kelahiran Pejantan 1
= 66,66% Pejantan 2
= 86,67% Pejantan 3
= 100% Pejantan 4
= 91,67%
28
Lampiran 2. Tabel Jumlah Kebuntingan, Kelahiran, dan Rata-Rata Berat Lahir Pedet Sapi Bali pada Umur Induk yang Berbeda Sejak Tahun 2004 Sampai 2012 di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Variabel Kebuntingan Kelahiran
Rata-rata berat Lahir
Pejantan P2 P3
P1
P4
6 4
13 13
29 29
12 11
12.5
11.08
14.16
12.40
Lampiran 3. Perhitungan dan Analisis Chi-Square pada Tingkat Kebuntingan Tahun pejantan 1 pejantan 2 pejantan 3 pejantan 4 Jumlah
Umur Induk (Thn) pejantan 1 pejantan 2 pejantan 3 pejantan 4 Jumlah
Kebuntingan tidak Bunting bunting
6 13 29 12
Jumlah induk
6 14 30 13
0 1 1 1 3
60
Kebuntingan bunting tidak bunting o11 o21 o12 o22 o13 o23 o14 o24 60 3
29
63
Jumlah 6 14 30 13 63
Analisis Data ij 11 12 13 14 21 22 23 24
Eij E11 E12 E13 E14 E21 E22 E23 E24
εbarisXεkolom 5.71 13.33 28.57 12.38 0.29 0.67 1.43 0.62
Oij O11 O12 O13 O14 O21 O22 O23 O24
Oij-Eij 6 13 29 12 0 1 1 1
0.29 -0.33 0.43 -0.38 -0.29 0.33 -0.43 0.38 X2
db α0.05 α0.01
3 7,81 11,3
30
(Oij-Eij)2 0.082 0.111 0.184 0.145 0.082 0.111 0.184 0.145
(Oij-Eij)2/Eij 0.014 0.008 0.006 0.012 0.286 0.167 0.129 0.234 0.856
Lampiran 3. Perhitungan dan Analisis Chi-Square pada Tingkat Kelahiran Pejantan pejantan 1 pejantan 2 pejantan 3 pejantan 4 Jumlah
Pejantan pejantan 1 pejantan 2 pejantan 3 pejantan 4 Jumlah
Kelahiran Lahir tidak lahir
4 13 29 11
2 0 0 1 3
57
Lahir o11 o12 o13 o14 57
Jumlah Induk bunting 6 13 29 12 60
Kelahiran tidak lahir o21 o22 o23 o24
Jumlah
3
6 13 29 12 60
Analisis Data εbarisXεkolom ij 11 12 13 14 21 22 23 24
Eij E11 E12 E13 E14 E21 E22 E23 E24
5.70 12.35 27.55 11.40 0.30 0.65 1.45 0.60
Oij O11 O12 O13 O14 O21 O22 O23 O24
4 13 29 11 2 0 0 1
db α0.05 α0.01
(OijOij-Eij Eij)2 -1.70 2.890 0.65 0.423 1.45 2.103 -0.40 0.160 1.70 2.890 -0.65 0.423 -1.45 2.103 0.40 0.160 X2
3 7.81 11.3
31
(Oij-Eij)2/Eij 0.507 0.034 0.076 0.014 9.633 0.650 1.450 0.267 12.632
Lampiran 4. Hasil analisis ragam rata-rata berat lahir pedet sapi bali pada umur induk yang berbeda sejak Tahun 2004 Sampai 2012 di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Descriptive Statistics Dependent Variable:berat lahir
Pejantan
Mean
Std. Deviation
N
P1
12.5000
1.29099
4
P2
11.9231
1.32045
13
P3
14.3667
1.35164
27
P4
14.2273
2.03671
11
Total
13.6255
1.80772
55
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:berat lahir Type III Sum of Source
Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
61.559
3
20.520
9.108
.000
Intercept
6179.368
1
6179.368
2.743E3
.000
pejantan
61.559
3
20.520
9.108
.000
Error
114.905
51
2.253
Total
10387.380
55
Corrected Total
176.464
54
a
a. R Squared = .349 (Adjusted R Squared = .311)
32
Post Hoc Tests pejantan Multiple Comparisons Dependent Variable:berat lahir (I)
pejanta pejanta
LSD
95% Confidence Interval
(J) Mean
n
n
Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
P1
P2
.5769
.85824
.504
-1.1461
2.2999
P3
-1.8667
*
.80418
.024
-3.4811
-.2522
P4
-1.7273
.87640
.054
-3.4867
.0322
P1
-.5769
P2
P3
P4
.85824
.504
-2.2999
1.1461
.50671
.000
-3.4609
-1.4263
P3
-2.4436
*
P4
-2.3042
*
.61492
.000
-3.5387
-1.0697
P1
1.8667
*
.80418
.024
.2522
3.4811
P2
2.4436
*
.50671
.000
1.4263
3.4609
P4
.1394
.53691
.796
-.9385
1.2173
P1
1.7273
.87640
.054
-.0322
3.4867
P2
2.3042
*
.61492
.000
1.0697
3.5387
P3
-.1394
.53691
.796
-1.2173
.9385
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2.253. *. The mean difference is significant at the .05 level.
33
Lampiran 5. Dokumentasi pada saat penelitian
Pejantan yang digunakan dalam penelitian
Induk sapi Bali yang digunakan dalam penelitian
Pedet sapi Bali, salah satu keturunan dari pejantan penelitian
34
RIWAYAT PENULIS A. Anjar Wawo, lahir pada tanggal 10 Oktober 1989 di Pujo Kabupaten Sidrap. Penulis adalah anak Pertama dari empat bersaudara. Anak dari pasangan suami istri Andi Wawo dan Andi Biddu. Penulis mengawali pendidikan di di SD Negeri 5 Tanrutedong pada tahun 1995 sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Duapitue, lulus pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Duapitue, lulus SMA pada tahun 2007. Pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan ke Universitas Hasanuddin Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak.
35