Seminar Nasional Peternakan clan Peteriner 2000
PENGARUH PEJANTAN, PERIODE EJAKULASI DAN KELOMPOK BOBOT INDUK SAAT DI IB TERHADAP TINGKAT KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN ANAK Ulvn ADiAn dan AGus SuPARYANTo
Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Salah satu upaya meningkatkan mutu genetik domba Garut tipe pedaging adalah dengan mengawin silangkan dengan sesama domba tropis yang memiliki performan badan yang baik. Domba St. Croix telah banyak digunakan untuk menyilangkan domba Ekor Tipis pada skala stasiun percobaan. Penelitian lapangan ini dilakukan di Desa Tenjonagara, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut (Jawa Barat) dinilai merupakan daerah sumber bibit domba Garut yang untuk tujuan daging . Diharapkan lokasi ini tidak mengganggu sumber plasma nutfah domba Garut asli yang cenderung sebagai tipe adu. J imlah petemak responden yang terlibat sebanyak 37 orang dengan kisaran jumlah induk yang diambil sampel berkisar antara 1 sampai 8 ekor. Sebelum dilakukan persilangan dilapangan maka pejantan yang akan digunakan untuk mengawini ternak telah dilakukan evaluasi dan seleksi tingkat kesuburannya di stasiun percobaan Cilebut. Sistem kawin yang digunakan dengan menggunakan inseminasi buatan, dimana terlebih dahulu temak diserentakan berahinya. Setelah menjelang umur 60 hari dari sejak di IB, temak diperiksa kebuntingannya dengan menggunakan USG dan diduga jumlah janin yang terdapat dalam kandungan ternak tersebut . Data yang terkumpul dianalisis dengan beberapa pendekatan, diantaranya untuk menguji perbedaan rataan nilai paramaeter digunakan uji T-test sedangkan untuk melihat interaksi pengaruh pejantan, periode ejakulasi dan kelompok bobot betina terhadap jumlah janin yang dikandung digunakan general linier model. Alat bantu untuk menghitung dengan menggunakan paket statisfk SAS. Hasil penimbangan ternak betina saat akan di IB memiliki rataan sebesar 25,28 t 5,94 kg, dimana bobot rataan tertinggi didapat pada induk yang di IB dengan pejantan E2, sedangkan rataan bobot betina terendah diperoleh dari induk yang di IB oleh pejantan E3 . Uji T-test terhadap rataan bobot betina yang di IB tidak menunjukkan adanya perbedaan yang kuat (P>0,05) . Kegagalan kebuntingan tertinggi dicapai pada kelompok betina dengan bobot kurang dari 20 kg. Apabila dilihat dari pejantannya maka pejantan E3 memiliki tingkat kegagalan menghasilkan induk bunting yang tertinggi yaitu 15,4%. Hal ini diduga karena pengamh transportasi semen, dimana pada pejantan E3 semen dikoleksi di Bogor. Sedangkan untuk dua pejantan lainnya dilakukan dilapangan . Tingkat keberhasilan IB mendekati angka 80%, dengan pendugaan jumlah janin sebanyak 2 ekor merupakan persentase terbesar yaitu 44,3% atau sebanyak 35 ekor domba yang diamati. Sementara untuk pendugaan anak tunggal sebesar 32,9% dan untuk anak kembar tiga sebesar 2,2%. Sisanya sebesar 20,6% mempakan pendugaan negatifatau gagal mendapatkan kebuntingan . Kata kunci: Kebuntingan, IB, domba PENDAHULUAN Temak domba merupakan komoditas spesifik lokasi yang potensial dalam membantu meningkatkan pendapatan keluarga clan mampu menyediakan lapangan kerja dipedesaan . Orientasi usaha ternak domba di Indonesia sampai saat ini masih mengarah untuk menclapatkan produksi anak yang dapat dengan segera diuangkan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan permintaan akan pasar lokal. Namun kendala utama yang dihadapi peternak adalah langkanya bibit domba yang baik . Hal ini banyak diduga sebagai penyebab akan kemunduran rataan bobot buaan domba, oleh karena adanya sifat seleksi negatif yang ditunjukkan dengan terjualnya ternak-ternak terbaiknya guna menutupi kepentingan keluarga peternak. Untuk itu dilakukan program inseminasi buatan pada domba lokal tipe pedaging yang dimaksudkan untuk meningkatkan/memperbaiki mutu genetik
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
dengan cara kawin silang (cross breeding) dan pencegahan penyakit yang pada akhirnya meningkatkan mutu anak domba, reproduktivitas dan produktivitas serta menambah pendapatan peternak . Pola persilangan antara domba lokal dengan domba yang berasal dari daerah temperate (beriklim sedang) menunjukkan bahwa anak yang dihasilkan memiliki laju pertumbuhan bobot badan yang cukup tinggi, namun pada saat mencapai bobot potong, domba hasil persilangan tersebut memiliki sistem perlemakan yang tinggi sehingga mengurangi preferensi konsumen. Hasil penelitian GATENBY et al. (1997) melaporkan bahwa bobot badan anak domba S (loksl Sumatera) lebih rendah dari F1 hasil persilangan antara DEG dengan lokal Sumatera. Sementara bobot badan anak Fl sendiri lebih rendah dari bobot badan anak hasil persilangan antara St. Croix dengan lokal Sumatera (H I) untuk kondisi di stasiun percobaan . Lebih jauh dijelaskan bahwa dari pengamatan sebanyak 882 total kelahiran anak domba yang berasal dari 407 ekor induk domba Sumatera menunjukkan hasil rataan bobot lahir sebesar 1,8 kg dan bobot sapih sebesar 8,7 kg. Sementara bobot sapih anak hasil persilangan antara pejantan Barbados maupun St. Croix dengan induk domba lokal Sumatera nyata lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan anak domba hasil persilangan secara statistik nyata lebih tinggi dibanding dengan anak domba lokal (GATENBY et al., 1994). Sementara KARO-KARO et al. (1995) yang mencoba melihat produktivitas silangan domba lokal Sumatra yang digembalakan di area kebun kelapa menunjukkan bahwa anak domba hasil persilangan antara induk domba lokal dengan pejantan St. Croix (H1) memiliki superioritas dibanding dengan keturunan domba lokal dalam hal bobot lahir, pertambahan bobot badan harian, bobot sapih dan daya hidup anak sampai sapih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pejantan, periode ejakulasi dan kelompok bobot induk saat di IB terhadap tingkat kebuntingan dan kelahiran pada kondisi lapangan MATERI DAN METODE Kegiatan penelitian dilakukan di Desa Tenjonagara, Keamatan Wanaraja, Kabupaten Dati II Garut dengan melibatkan peternak sebanyak 37 responden. Pertimbangan dipilihnya desa tersebut diatas, adalah (1) psda daerah tersebutjenis domba yang dipelihara ditujukan untuk produksi daging, sehingga tidak akan mencampuri domba Garut asli yang cenderung tipe adu. (2) sumber pakan hijauan yang tersedia cukup baik dan (3) secara geografis letaknya f 15 km arsh Tenggara kota Garut dengan ketinggian tempat antara 500-700 dpl merupakan lokasi yang relatif dekat dengan pasar ternak. Responden dipilih dari hasil inventarisasi ternak, dimana dasar pertimbangan pertama yaitu peternak yang memiliki ternak domba betina siap kawin terutama pada induk yang pernah beranak, dan tidak berkeberatan atas perlakukan yang dilakukan pada pelaksanaan kegiatan . Ternak jantan yang digunakan untuk diambil semennya sebagai bahan inseminasi buatan adalah sebanyak 3 ekor dari bangsa St. Croix dan telah dilakukan evaluasi terlebih dahulu di stasiun percobaan . Koleksi semen dilakukan pada saat menjelang pelaksanaan inseminasi buatan. Hal ini dimaksudkan agar semen yang diencerkan dengan zat pengencer akan masih memiliki daya kesuburan yang tinggi, sehingga mampu memberikan tingkat kebuntingan yang tinggi. Inseminasi buatan dilakukan melalui pentahapan kegiatan, dimana pada tahap pertama ternak domba betina yang akan di IB terlebih dahulu diseragamkan masa berahinya yaitu dengan pemasangan spon mengandung hormon progesteron . Lama pemasangan spon adalah 14 hsri. Setelah waktu pencabutan spon tiba maka langkah untuk tahap ke dua yang dilakukan yaitu dengan menyuntikan (injeksi) 102
Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000
preparat hormon estrogen agar ovum yang mulai membesar untuk cepat matang. Dua hari setelah diinjeksi dengan hormon maka pada hitungan jam yang ke-60 setelah pencabutan spons diperkirakan akan merupakan masa akhir berahi, pada saat tersebut baru dilaksanakan IB.
Teknik pelaksanaan IB menggunakan sistem disposisi semen didalam saluran servik . Alat yang digunakan untuk mendisposisikan semen dengan menggunakan kateter khusus, dimana pada ujung kateter memiliki bentuk yang bulat sehingga tidak akan melukai mulut dan dinding saluran servik. Pada pelaksanaan IB pertama sebanyak 50 ekor dengan melibatkan peternak sebanyak 20 responden. Untuk pelaksanaan IB tahap ke dua dilakukan pada betina sebanyak 42 ekor, dengan melibatkan sebanyak 17 responclen. Ternak yang telah di IB setelah mencapai umur 60 hsri dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan alat bantu USG . Parameter yang diamati meliputi: bobot betina saat di IB, pendugaan jumlah janin dan jumlah anak terlahir . Untuk membuktikan adanya perbedaan rataan bobot badan saat di IB terhadap pejantannya digunakan uji T-test. Adapun pengaruh pejantan, periode ejakulasi dan kelompok bobot induk saat di IB terhadap pendugaan jumlahjanin dalam kandungan dianalisis dengan general linier program (GLM). Untuk membantu proses perhitungannya digunakan paket program SAS . Kalimat matematiknya adalah W)kI - OLk +01+(aPI+Eu
dimana .
b j
Y(b/i) u
ai
Eti
adalah bobot badan betina saat di IB adalah pendugaan jumlahjanin berdasarkan pengamatan dari USG adalah bobot badan atau jumlah janin menurut pejantan k dan ejakulasi t adalah pejantan k adalah ejakulasi ke-1 adalah galat ke k clan ke-1 HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot kawin Rataan bobot ternak betina saat di IB pada seluruh ternak yang terambil sebagai sampel adalah 25,28 t 5,9 kg, namun apabila dikelompokkan menurut nomor pejantan hasil yang dapat adalah pejantan E1 dikawinkan dengan betina yang memiliki rataan bobot badan sebesar 25,51 t 5,28 kg. Pejantan E2 dikawinkan dengan betina yang rataan bobot badanya adalah 25,28 t 5,94 kg. Sedangkan bagi pejantan E3 telah digunakan untuk menginseminasi pada bobot badan betina dengan rataan sebesar 24,46 f 0,92 kg. Angks bobot badan yang terdapat pada E3 relatif paling rendah dibanding dengan rataan bobot betina yang di IB dengan dua pejantan lainnya. Perbedaan rataan bobot badan betina menurut pejantan yang diuji dengan T-test menunjukkan kenyataan bahwa tidak cukup data yang dapat membuktikan adanya perbeclaan yang nyata. Dengan kata lain bahwa rataan bobot betina yang di IB oleh antar pejantan secara statistik adalah tidak berbeda nyata (P>0,05). Bobot badan saat kawin memiliki pengaruh terhadap bobot badan anak yang terlahir. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kondisi bobot badan betina pada kelompok di bawah 20 kg saat akan dilakukan IB sebesar 21,7% atau sebanyak 17 ekor. Ini terjadi terutama pada pelaksanaan IB ke-II, dimana induk-induk milik peternak sudah banyak yang dikawinkan baik oleh peternak sendiri maupun oleh pelaksanaan IB pertama. 103
Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000
Jumlah temak domba dengan bobot saat di IB berkisar antara 25 ssmpai dengan di bawah 30 kg merupakan kelompok yang paling tinggi persentasenya yaitu 32,1% . Kelompok bobot badan terbew kedua diperoleh pada bobot kisaran antara 20 kg sampai dengan di bawah 25 kg yaitu 30,1%. Tingginya kelompok bobot induk ini terutarna terjadi pada pelaksanaan IB pertama, dimana peW nak merasa yakin bila ternak yang telah dikawinkan tidak menghasilkan kebuntingan. Akibat kesalahan intepretasi dalam menduga kebuntingan dini maka telah terjadi keguguran sebanyak 1 ekor induk pada saat beberapa hari setelah dilakukan pemasangan spon. Disamping itu, juga terdapat keguguran pada hari kelima belas setelah pelaksanaan IB. Kejadian keguguran pertama lebih banyak diakibatkan oleh pengaruh penggunaan spon pada kondisi ternak bunting muda, sedangkan pada kagus ke dua diduga lebih banyak disebabkan oleh kecelakan temak dalam kandang baik diakibatkan oleh adanya benturan antar temak maupun kejadian lain yang bukan teimis abbat pelaksanaan IB. Tabel 1. Distribusi jumlah clan persentase kelompok bobot betina saat III menurut pejantan Kisaran Bobot (kg)
< 20
20-> 25 25-< 30 2:30
Jumlah pengamatar, (ekor)
Total 17
22 27 13
El 9
8 17 7
E2 5
10 6 4
E3 3 4
4 2
Rataan 21,7 30,1 32,1 16,1
Persentase El
22,0 19,5 41,4 17,1
E2
20,0
40,0
24,0 16,0
E3
23,1
30,8 30,8 15,3
Induk domba dengan bobot badan saat akan di IB yang mencapai 30 kg ke atas hanya sebesar 16,1% dari jumlah ternak yang terambil sebagai sampel . Induk dengan bobot ini meupakan kelompok induk yang persentasenya paling rendah, hal ini dapat dimengerti bahwa induk-induk yang telah mencapai bobot tinggi merupakan induk tua yang telah melewati bobot dewasa tubuh. Tingkat kegagalan bunting Dari hasil pemeriksaan kebuntingan menunjukkan bahwa tingkat kegagalan betina untuk bunting setelah di IB hanya sebesar 20,3% (16 ekor) . Ini berarti bahwa pendugaan terhadap keberhasilan IB menclekati angka 80 atsu tepatnya 79,7%. Hasil ini ternyata sedikit lebih tinggi dari hasil yang dilaporkan oleh PUSLrrBANG PETERNAKAN (1997) dimana teknik IB dengan intra-uterin pada periode I telsh menghasilkan tingkat kebuntingan sebesar 72,9% dengan jumlah ternak yang di IB sebanyak 85 ekor. Sementara pada tahap ke dus dengan jumlah ternak hanya 15 ekor mencapai tingkat kebuntingan 93,3% . Hasil ini membuktikan bahwa teknik IB dengan cara intra-uterin dapat dihindarkan karena kurang praktis dan diduga ticlak disenangi peternak karena dilakukan operasi kecil. Tingkat kegagalan untuk menghasilkan kebuntingan tertinggi didapat pada pejantan E3 yaitu 15,4% dari 13 ekor betina . Hal ini dapat dipahami karena sistem koleksi pada pejantan E3 dilakukan di , Bogor baru kemudian semen dibawa kelapangan untuk di IB-kan. Pejantan El tingkat kegagalannya adalah 9,5% dsri 42 ekor betina yang ter IB. Dilihat dari kelompok bobot badan menurut pejantannya seperti yang tersaji pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kegagalan kebuntingan cenderung terjadi pada kelompok bobot betina di bawah 20 kg. Pada kelompok bobot badan ini, terdapat kecenderungan bahwa pejantan E3 (66,7%) memiliki tingkat kegagalan yang tertinggi, kemudian disusul oleh pejantan E1 (44,4%) clan terendah dari pejantan E2 (20,0%) . 104
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000
Tobel 2. Pendugaan jumlah janin dan persentasenya pada masing-masing kelompok bobot badan betina dan pejantan Pejantan
El
E2
E3
Keterangan :
Kelompok Bobot Badan
0
Dugaan jumlah janin (ekor) 2 1
<20 4 44,4 1 11,1 25,0 20 - > 25 2 25,0 2 25 -.< 30 3 18,8 4 25,0 0 0 5 62,5 2 30 20,0 < 20 1 20,0 1 0 0 5 41,7 20 - > 25 25-<30 0 0 4 100 0 0 2 50 2 30 2 66,7 0 0 < 20 20 - > 25 0 0 2 50,0 2 50,0 0 0 25 - < 30 2 100 0 0 2 30 diamati dan diduga bunting % adalah n adalahjumlah betina yang bobot induk yang diduga bunting
3
44,4 0 0 4 0 4 50,0 0 56,3 0 0 9 2 12,5 2 25,0 3 60,0 0 0 8,3 6 50,0 1 0 0 0 0 0 2 50 0 0 1 33,3 0 2 50,0 0 0 2 50,0 0 0 0 0 0 0 distribusi pementase etas kelompok
Kelompok bobot betina di atas 30 kg pada pejantan E3 dari 2 ekor yang di IB semuanya ada kecenderungan mengalami kegagalan kebuntingan. Kondisi pemeriksaan kebuntingan menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini diduga terkait dengan masalah kondisi semen maupun kesuburan betina, baik yang diakibatkan oleh kegemukan maupun oleh umur yang relatif tua . Hal ini perlu adanya pengamatan lebih lanjut padajumlah sampel yang lebih banyak. Pendugaan jumlah janin Hasil perhitungan terhadap nilai rataan menurut kelompok pejantan tersirat adanya kemampuan induk untuk menghasilkan anak kembar cukup tinggi. Hal ini dapat dibuktikan secara empiris dari data lapangan menunjukkan bahwa rataan jumlah anak yang diduga lewat pengamatan USG dari hasil IB menurut pejantan yang dipakai memiliki angka di atas 1 ekor. Secara statistik rataan yang didapat yaitu 1,29 t 0,82 ekor, namun demikian dengan melihat masih tingginya angka standar deviasinya maka keragaman jumlah anak masih cukup tinggi . Gejala adanya pendugaan jumlah janin di bawah satu terjadi pada pejantan E3 yaitu 0,92 f 0,95 ekor, angka ini mengisyaratkan bahwa pada kelompok pejantan ini masih tinggi terdapat angka kegagalan kebuntingan . Pendugaan jumlah janin tertinggi didapat pada pejantan E2, dimana rataan pendugaan jumlah janin adalah 1,48 f 0,65 ekor. Besarnya rataan pendugaan jumlah janin pada induk yang ter-IB dari pejantan E1 adalah sebesar 1,29 f 0,84 ekor. Hasil pendugaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan domba lokal Garut yang berasal dari kecamatan Wanaraja memiliki peluang untuk menghasilkan anak kembar dua, ssangat tinggi . Tingkat kegagalan pejantan E2 untuk menghasilkan kebuntingan terhitung paling rendah diantara dua pejantan lainnya. Besarnya tingkat kegagalan bunting yang di IB dari pejantan E2 adalah sebesar 4% dari 25 betim yang di IB. 105
Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000
Pendugaan jumlah anak yang clikandung berclasarkan hasil pengamatan USG pacla induk domba tersaji pada Gambar 1 dan 2. Dari sajian tersebut tampak bahwa penclugaan jumlah yang terkandung dengan anak kembar dua memiliki persentase yang terbesar yaitu 44,3% dengan jumlah ternak sampel sebanyak 35 ekor, dimana hasil keturuan pada pejantan El sebesar 46,3% (19 ekor) kemudian diikuti oleh pejantan E2 dengan 44% (11 ekor) dan pejantan E3 sebesar 38,5% (5 ekor) .
Total
El
E2
E3
Tkak Bunting
Tunggal
Gambar 1. Pendugaan jumlah anak dalam kandungan hasil pemeriksaan dengan USG Pendugaan jumlah anak tunggal diperoleh pada jumlah sampel sebanyak 26 ekor (32,9%) dimana keturunan dari pejantan E2 memiliki jumlah pengamatan yang tertinggi yaitu 12 ekor (48%) kemudian diikuti oleh pejantan E1 sebanyak 12 ekor (29,3%) clan E3 sebanyak 2 ekor (15,4%) . Pada pendugaan anak kembar tiga persentase rataannya cukup renclah yaitu 2,2% (2 ekor induk), dimana 1 ekor (2,4%) induk berasal dari hasil IB pejantan El clan 1 ekor (4%) berasal dari induk yang di IB oleh pejantan E2. Gambar 2 di atas tampak bahwa persentase induk yang tidak bunting sebagian besar berasal dari pejantan E3. Demikian juga pada pejantan tersebut belum memberikan kebuntingan dengan anak kembar dua . Rendahnya kemampuan pejantan E3 untuk dapat memberikan tingkat kebuntingan yang tinggi diduga disebabkan oleh terjadinya daya kemampuan semen akibat sistem transportasi yang cukup jauh. Hal ini dapat dimaklumi dimana semen pejantan E3 dikoleksi dari Bogor sedangkan pada pejantan E1 dan E2 dikoleksi dilapangan. Analisis regresi Hasil analisis GLM menunjukkan bahwa tidak cukup data untuk menunjukkan adanya pengaruh pejantan, periode ejakulasi dan kelompok bobot induk yang digunakan dalam IB terhadap pendugaan jumlah janin dalam kandungan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 3 bahwa nilai F hitung sebesar 106
Seminar Nasionat Peternakan dan Veteriner 1000
1,22 .dan probabiltas F hitung terhadap F tabel sebesar 0,27. Nilai regresi kuadrat yang dihasilkan dari analisis ini adalah RZ = 0,43
Kembar Tip Kembar dua Anak Tunggal Tidak Bunting
Rataan
E1
E3
Gambar 2. Pendugaan persentase jumlah anak dalam kandungan hasil pemeriksaan dengan USG Efek pejantan, periode ejakulasi dan kelompok bobot badan betina saat di IB tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pendugaan kebuntingan dan jumlah janin yang ada dalam kandungan . Hal ini dapat dipahami karena pejantan yang digunakan telah melalui evaluasi kesuburan pejantan, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor pejantan bukan menjadi penyebab kegagalan . Sementara meskipun kelompok betina tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap jumlah janin, namun pada Tabel 2 di atas terdapat kecenderungan tingginya kegagalan kebuntingan pada kelompok induk di bawah 20 kg. Hasil ini juga menggambarkan bahwa keberhasilan IB untuk mendapatkan kebuntingan sangat dipengaruhi faktor lain seperti kesuburan betina, posisi mulut servik yang tidak normal dan penanganan pasca IB. Dari Tabel 3, tainpak pula adanya kondisi dimana hasil interaksi dari dua parameter atau lebih yang dianalisis tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap jumlah janin yang ada. Hal ini diduga oleh terbatasnya jumlah sampel yang diamati, karena apabila dilihat dari kelompok bobot badan domba betina saat di IB terdapat kecenderungan bahwa ternak betina yang memiliki bobot di bawah 20 kg mendapatkan tingkat kegagalan untuk bunting yang tinggi . Keragaan anak yang terlahir Tingkat hubungan antara jenis pejantan dan periode ejakulasi terhadap jumlah anak terlahir secara statistik tidak memiliki hubungan yang tidak nyata (P>0,05) . Hal ini diduga disebabkan oleh masih belum tingginya tingkat keberhasilan IB untuk dapat melahirkan anak-anak domba. 107
Seminar Nasional Peternakan darn Veteriner 2000
Penggunaan nilai kelahiran anak dari induk yang tidak bunting adalah nol (0) memberikan kontribusi yang tinggi atas hasil akhir analisis regresi. Kondisi ini sangat didukung dari nilai RZ yang rendah yaitu 0,092959 (Tabel 4). Tabel 3 .
Hasii analisis pengaruh pejantan, periode ejakulasi clan kelompok bobot betina terhadap besarnya pendugaan jumlah janin
Sumber Db Jumlah Kusdrat Kuadrat Tengah F hitung Model 30 22.60379747 0.75345992 1 .22 Galat 48 29.70000000 0.61875000 Total 78 52.30379747 RZ 0.432164 Type I SS Jtn 2 2.65291567 4.36497410 1 .32645783 2.12 Ejk 5 2.09344739 0.87299482 1 .39 Jtn*Ejk 2 1 .20142289 1.04672369 1 .67 Bbt 3 3.02701695 0.40047430 0.65 Jtn*Bbt 6 8.89275269 0.50450283 0.82 Ejk*Bbt 9 0.37126779 .98808363 0 1 .60 Jtn*Ejk*Bbt 3 0.12375593 0.20 Type III SS Jtn 2 2.03057209 1 .01528604 1 .62 Ejk 5 3.62673334 0.72534667 1 .16 Jtn*Ejk 2 2.09344739 1 .04,672369 1 .67 Bbt 3 1 .79018311 0.59672770 0 .96 1 .57117391 0.52372464 Jtn*Bbt 6 0.85 Ejk*Bbt 9 8.90066502 0.988%278 1 .60 Jtn*Ejk*Bbt 3 0.37126779 0.12375593 0.20 Keterangan : An - jantan, Ejk - periode ejakulasi, Bbt = kelanpok bobot badan betina
Probabilitas 0.2663
0.1279 0.2371 0.1954 0.5885 0.5634 0.1432 0.8959 0.2050 0.3384 0.1954 0.4172 0.4753 0.1428 0.8959
Lebih jauh dapat dilaporkan pula bahwa semua parameter yang diduga memiliki keterkaitan terhadap jumlah anak yang dilahirkan ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05). Parameter utama seperti jenis pejantan clan periode ejakulasi tidak memberikan faktor keterkaitan yang nyata. Hasil keterkaitan yang sedikit lebih baik ditunjukkan dari korelasi jenis pejantan dengan periode ejakulasi, meskipun clemikian parameter tersebut belum menampakkan adanya keterkaitan yang nyata (P>0,05).
Seminar Nasional Peternakan dan I'eteriner 1000
Tabel 4. Hasil analisis pengaruh pejantan dan periode ejakulasi terhadap jumlah anak lahir
Sumber Model Galat Total
Db 9
69 78
R2
Type I SS Jtn Ejk Jtn*Ejk Type III SS Jtn Ejk Jtn*Ejk
Jumlah Kuadrat 8.43687462
82 .32261905 90.75949367
Kuadrat Tengah
F hitung
Probabilitas
0.16293633 0.71761792
0.14
0.8726
1.14933862 0.82110219
0.96
0.93743051 1.19308144
0.79
0.6302
0.092959 2. 5 2
2 5 2
0.32587266 3 .58808961 4.52291235
2.29867725 4 .10551096 4.52291235
2.26145618
2.26145618
0.60 1 .90
0.69 1.90
0.6989 0.1580
0 .3867 0.6340 0 .1580
Keterangan : An =jantan, Ejk = periode ejakulasi, Ank =jumlah anak terlahir KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil yang tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa persilangan dengan bangsa baru dilapangan dapat dilakukan dengan teknik inseminasi buatan dengan tingkat kebuntingan yang cukup baik yaitu 79,4%. Pejantan yang ada distasiun percobaan Balitnak masih cukup baik untuk digunakan sebagai pejantan donor dalam teknik IB. Rataan bobot badan domba betina saat di IB adalah 25,28 t 5,94 kg dengan distribusi induk kelompok bobot badan induk terbesar 32,1% pada kelompok bobot 25-<30 kg dan 30,1% pada kelompok dengan bobot antara 20-<25 kg. Tingkat kegagalan kebuntingan untuk kelompok bobot betina cenderung didapat pada bobot di bawah 20 kg, sedangkan untuk kelompok jantan didapat pada pejantan E3. Pendugaan jumlah janin hasil pemeriksaan USG rataannya adalah 1,29 f 0,82 ekor. Pendugaan kebuntingan dengan anak kembar dua ternyata memiliki persentase yang paling tinggi yaitu 44,3% dan yang terkecil adalah anak kembar tiga yang hanya 2,2%. Pengaruh pejantan, periode ejakulasi dan kelompok bobot betina yang di IB tidak memberikan pengaruh terhadap keberhasilan induk untuk mendapatkan jumlah anak tertentu . Interaksi dua atau lebih parameter yang terukur tidak memberikan pula pengaruhnya terhadap jumlah janin yang ada dalam kandungan induk domba. Mengingat bahwa tingkat kebuntingan yang terendah didapat pada kelompok betina di bawah bobot 20 kg maka disarankan agar pelaksanaan perkawinan khususnya pada domba Garut, baik menggunakan kawin alam maupun dengan IB sebaiknya telah mencapai bobot 20 kg. DAFTAR PUSTAKA GATENHy, R.M., M. DoLoKsARmu, and E. RomAu. 1994 . The potential ofhair sheep for the humid tropics of Southeast Asia. In: Subandriyo and R.M . Gatenby (Eds) Strategic Development for Small uminant
109
Seminar Nasional Peternakan den
Vetermer 2000
Production in Asia nad the Pasific. Proc. Of a Symposium Held in Conjunction with 7th Asian. Australasian Association of Animal Production Societies Congress, Denpasar, Bali. hal. 25-36. GA7ENBY, R .M., G.E . BRADFORD, M. DOLOKSARIBU, E. ROM7At t, A.D . PrroNO, and H. SAKUL. 1997, Comparison of Sumatera sheep and three hair sheep crosbreds. I. Growth, mortality and wool cover of Fl
lambs. Small Ruminant Research 25 :1-7.
KARo-KARo, S ., M. DotoKAAStusu, dan E. SENBWNG. 1995 . Produktivitas silangan domba lokai Sumatera
yang digembalakan Ji area kebun kelapa. J. Penelitian Peternakan Sungai Putih 1(5) :19-23 .
PusLrrBANo PErmNAKAN. 1997. Program, Prioritas dan Hasil Utama Penelitian dan Pengembangan Petemakan
pada Pelita VI. Repat Kerja II . Pembehasan Hasil-Hasil Utama Penelitian dan Pengembangan Petemakan. Unpublish
SAs. 1987. SAS/STAT Guidefor Personal Computers. Version 6 Edition. SAS Institute Inc. Cary, NC .