OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG PROVINSI SULAWESI SELATAN
HASNI YULIANTI AZIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
Hasni Yulianti Azis NIM. C261050101
ABSTRACT HASNI YULIANTI AZIS. Optimized seaweed resources management in the coastal region of Bantaeng Regency, South Sulawesi Province. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN and WIDODO FARID MA’RUF. Seaweed culture has been growing fast in Bantaeng Regency as it creates benefits with small capital and low risks, making fishermen and fish farmers change their works to be seaweed farmers. Main problem in seaweed culture management is high enthusiasm of coastal community cause the uncontrolled seaweed culture development without concerning suitability principles and capacity region for seaweed culture. Besides un-optimum harvesting. The aims of the study were to evaluate suitability and carrying capacity of region; to study sustainability of seaweed culture management; to optimize seaweed culture management. The study was conducted in two disctricts within Bantaeng Regency, namely Bantaeng District and Bissapu District. Survey method was applied to evaluate biophysic characteristic of seaweed culture region as a basis for suitability and capacity determination of seaweed culture. Region suitability was analyzed by GIS and carrying capacity was measured based on two approaches, that are region capacity approach and N assimilation approach; optimized utilization with dynamic system and sustainability analysis with RAP-RL, modification of RAPFISH. Results of the study revealed that suitable region for seaweed culture in the study area was 2 313.29 ha, consisted of highly suitable region of 415.31 ha and conditional suitable region of 1 897.99 ha. Aquatic carrying capacity with marine waters capacity approach was 1 203.23 ha, which was equal to 5 942 units. Meanwhile, with assimilation capacity approach was 1 650.64 ha or 6 603 units for brown Kappaphycu alvarezii (doty) and 2 073.72 ha or 8 295 culture units for green Kappaphycu alvarezii (doty). Optimization analysis showed in optimistic scenario was anthropogenic waste input to the coastal waters environment of Bantaeng and Bissapu Districts increased 50% from beginning condition (current condition), and this provided best result compared to increased 10% and 25% anthropogenic waste input from beginning condition, either in production, income, income contribution to the government, and labour use aspects. Analysis results from RAP-RL showed that sustainability value index of ecology dimension was 67.95% and economy dimension was 67.95% (enough sustainable); socio-culture dimension was 56.47% (enough sustainable); technology dimension was 32.42% and institution dimension was 39.83% (less sustainable). While, index value of sustainable multidimensions was 54.11% (enough sustainable). Key words: seaweed cultivation, area suitability, carrying capacity, Optimized and sustainable.
RINGKASAN HASNI YULIANTI AZIS. Optimasi Pengelolaan Sumberdaya RL di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G BENGEN, dan WIDODO FARID MA’RUF. Potensi budidaya rumput laut wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng tidaklah terlalu besar jika dibandingkan dengan potensi beberapa Kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun mempunyai kontribusi yang besar bagi masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat umumnya bahkan Pemda Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen Kappaphycus alvarezii. Panjang garis pantainya secara keseluruhan hanya 21 km dan khusus untuk wilayah kajian panjang garis pantainya hanya 10.6 km. Permasalahan utama dalam pengelolaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng adalah antusiasme masyarakat yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan pengembangan usaha budidaya rumput laut sangat pesat sehingga tidak terkendali akibatnya hampir semua wilayah pesisir telah ditanami rumput laut, menjorok ke laut hingga 3-4 km. Dan yang mengkhawatirkan bagi keberlanjutan usaha budidaya rumput laut ini adalah pengelolaan yang tidak memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya. Hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan lahan yang optimal dan pengelolaan budidaya rumput laut lebih ke arah peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, menentukan daya dukung lingkungan, optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut untuk keberlanjutan usaha budidaya rumput laut. Metoda dalam penelitian meliputi : (i) survei lapang untuk menilai kelayakan biofisik wilayah kajian; (ii) kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS); (iii) daya dukung kawasan menggunakan 2 pendekatan; (iv) optimasi dengan sistem dinamik; dan (v) keberlanjutan dengan Rapfish. Hasil pengukuran parameter kualitas air masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut. Sementara kondisi oseanografi (kec.arus dan gelombang) hanya layak pada musim Barat dan musim Transisi. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) = 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) = 1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha. Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas perairan adalah 1 203.23 ha. Dan jumlah unit usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh daya dukung kawasan sebesar 1 650.64 ha atau 6 603 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 2 073.72 ha atau 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Penggunaan dua varietas rumput laut yakni
rumput laut berwarna coklat dan berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput laut tersebut. Untuk analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut digunakan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Biaya investasi Rp19 135 457; biaya operasional Rp3 324 764; biaya pemeliharaan Rp382 052; Pendapatan Rp33 659 130. Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75% memberikan nilai Rp18 040 887. Hasil perhitungan BCR memberikan nilai 9.58 Skenario yang paling optimal adalah skenario ke 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir wilayah kajian mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 978.03 ha–2 815.16 ha atau 7 912 unit– 11 261 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2 485.03 ha–3 536.73 ha atau 9 940 unit–14 147 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan menjadi 1 312.94 ton/hari–1 868.59 ton N/hari. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16 013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23 492.29 ton. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat: jarak tanam 25 cm sebesar Rp7 217 626 176.22–Rp10 272 233 877.83; jarak tanam 35 cm sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30; jarak tanam 45 cm sebesar Rp7 274 921 213.44–Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78; Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73; Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45 Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii hijau: jarak tanam 25 cm sebesar Rp9 067 611 041.88; jarak tanam 35 cm sebesar Rp9 144 455 203.25– Rp13 014 525 862.06; jarak tanam 45 cm sebesar Rp9 139 591 648.73 – Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp906 761 104.19–Rp1 290 516 009.85; Rp914 445 520.32– Rp1 301 452 586.21; dan Rp913 959 164.87–Rp1 300 760 397.83 Tingkat serapan tenaga kerja untuk K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672–810 766.44 HOK/th. Sedangkan K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820–42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th. Hasil analisis Rap-RP (adaptasi dari Rapfish) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 67.95%, ekonomi sebesar 67.95%, sosial-budaya 56.47% dengan status cukup berkelanjutan, teknologi sebesar 32.42% dan kelembagaan
39.84% dengan status kurang berkelanjutan. Sedangkan nilai indeks multi-dimensi sebesar 54.11 % dengan status cukup berkelanjutan. Kata kunci: rumput laut, kesesuaian kawasan, daya dukung perairan, Optimasi dan keberlanjutan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG, PROVINSI SULAWESI SELATAN
HASNI YULIANTI AZIS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Ujian Tertutup Tanggal 22 November 2010 Penguji Luar Komisi: 1. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB) 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si (Staf Pengajar Departemen MSP IPB)
Ujian Terbuka Tanggal 24 Januari 2011 Penguji Luar Komisi: 1. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB) 2. Prof. Ir. Nurdin Abdullah, MSc., Ph.D (Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bantaeng)
Judul Disertasi
:
Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan
Nama
:
Hansi Yulianti Azis
NIM
:
C261050101
Laut
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota
Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc. Ph.D Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian 22 November 2010
Tanggal Lulus....................
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ” Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan”. Disertasi ini memuat 9 bab yang terdiri atas pendahuluan; tinjauan pustaka; metodologi penelitian; kondisi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi; kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya; optimasi pemanfaatan wilayah pesisir; keberlanjutan usaha budidaya rumput laut; arahan pengelolaan sumberdaya rumput laut dan kesimpulan dan saran. Bagian dari disertasi ini akan dimuat pada buletin penelitian Seri Sosial Budaya dan Humaniora serta jurnal Nusa Esda. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : o Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing serta Prof.Dr.Ir.Dietriech G. Bengen, DEA dan Bapak Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc., Ph.D masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebaikan dan kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. o Keluarga Bapak Drs.H.Nurland/Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MSi, Ketua Pusat Studi Gender Universitas Hasanuddin dan Keluarga Prof. Dr. Ir. H. Restu, Msi. Dekan Fak. Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala doa, semangat dan bantuan materi selama penulis dalam proses pendidikan Doktoral. o Bapak Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Sc. sekeluarga, Bupati Bantaeng atas segala fasilitas dan bantuan dana selama penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Bantaeng. o Bapak Ir. Muh. Kasang, Msi, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelauatan Kabupaten Bantaeng; Bapak Ir. Edy Wahyudi, KaSubdin Perikanan Kabupaten Bantaeng, atas segala bantuan dan kemudahan yang penulis alami selama penelitian. o Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS selama tiga tahun. o Coremap yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi o Pimpinan Universitas Hasanuddin dan Dekan FIKP Unhas yang telah memberikan izin studi. o Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas perkenannya sehingga saya bisa kuliah di sini. o Ketua Departemen MSP dan Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf Program Studi SPL atas segala pelayanan akademik yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi SPL. o Rekan-rekan di FIKP Unhas yang selalu menyemangati supaya cepat selesai. Juga kepada Nur Ikhsan (Iccank) yang telah membatu selama survey dan pengambilan sampel di Laut serta Baharuddin yang sangat lihay mengendalikan
perahunya sehingga penulis tetap bisa mengukur dan mengambil sampel di tengah gelombang. o Rekan – rekan pada Program Studi SPL dan terkhusus kepada Pak David Hermawan, Ibu Fatmawati, dan Ibu Nirmala atas segala persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan di SPL serta adik Awir, Ir. Muh Yusuf Halim, MSi, Dr. Rahman Kurniawan, Dr. Muhammad Hery Riyadi Alauddin, Dr. Alimuddin Laapo, Ir. Dori Rachmawani, MSi atas segala bantuannya selama proses analisis data serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi ini. o Kepada Ibu Nadiarti, Kel. Bapak Haris Bahrun, Kel. Bapak Arif Nasution, Kel. Ibu Rosmawaty Anwar, teman dalam suka dan duka selama pendidikan. o Khusus kepada “Pahlawanku” dan “Teladanku”, Ibundaku tercinta, Hanisa (almarhumah), yang single parent, dalam kondisi ekonomi yang sangat jauh dari mencukupi, berjuang dengan sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi semoga semuanya menjadi amal ibadah Ibunda disisiNya; untuk Ayahanda tercinta Abd. Azis (almarhum) yang telah pergi mendahului sejak kami kecil, atas semangat juang yang diwariskan kepada anak-anaknya; kepada Bapaknya anak-anak Ir. Syamsul Holiq dan anak-anakku tersayang Arga Probowisesa, Sudewo Were ri Langi dan Rio Priantoro, adik-adikku Ir. Muh. Natsir Azis sekeluarga dan Haslinda Azis, SE sekeluarga; keluarga besar Bapak Mayor (Purnawirawan) H.P. Jaya dan seluruh keluarga yang lain atas dukungan moril/materil, pengertian, kesabaran, doa, dan kasih sayang selama penulis mengikuti pendidikan di IPB serta yang tak kalah besar peranannya, Bi Tinah, yang setia membantu membereskan segala urusan rumah tangga sejak kami di Bogor. Saya menyadari bahwa penelitian dan disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran untuk perbaikannya sangat kami hargai. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bisa diaplikasikan oleh masyarakat nelayan rumput laut umumnya dan khususnya nelayan rumput laut Kabupaten Bantaeng.
Bogor, Januari 2011
Hasni Y. Azis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada 27 Juli 1964. Merupakan sulung dari tiga bersaudara, putri pasangan Hanisa (almarhumah) dan Abd. Azis (almarhum). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perikanan Universitas Hasanuddin dan Magister sains di Program Sistem-Sistem Pertanian Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Kemudian melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) di IPB sejak tahun 2005. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi budidaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1991.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
ix
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xxvii
I
II
III
PENDAHULUAN………………………………………...…………
1
1.1 Latar Belakang …………………….…..………………………..
1
1.2 Rumusan Masalah …………………………….……...…………
3
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………….………………
4
1.3.1 Tujuan Penelitian ………………………….……………
4
1.3.2 Kegunaan Penelitian ………………………….…………
4
1.4 Kerangka Pikir …………………………………………………
5
1.5 Novelty Penelitian ………………………………………………
7
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………
9
2.1 Pengertian Wilayah Pesisir ……………………………………..
9
2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ………………………………
10
2.3 Rumput Laut …………………………………………………..
20
2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii……………………….
20
2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut …….…
22
2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut………………………
22
2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut ..
23
2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut Indonesia …
25
2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut …….………….
27
2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut….……………
29
2.6 Pemodelan Sistem Dinamik ……………………………………
31
METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………
37
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………
37
3.2 Tahapan Penelitian ……………………………………………
38
3.3 Metode Penelitian ………………………………………………
38
xv
IV
V
3.3.1 Sumber Data dan Prosedur Penelitian ……………………
38
3.3.2 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir …………………
38
3.4 Analisis Data ……………………………………………………
40
3.4.1 Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut .....
40
3.4.2 Analisis Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut..
42
3.4.3 Analisis Kelayakan Usaha.................................................
44
3.4.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut dengan Pendekatan Sistem Dinamik ..................................
45
3.4.5 Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut ....................
52
KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG ………………………………………
59
4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) .....................................................
59
4.1.1 Administrasi ......................................................................
59
4.1.2 Topografi ...........................................................................
60
4.1.3 Iklim ..................................................................................
60
4.1.4 Kondisi Oseanografi ..........................................................
63
4.1.5 Parameter Kualitas Air ......................................................
66
4.2 Aspek Sosial-Budaya ..................................................................
73
4.2.1 Penduduk ...........................................................................
73
4.2.2 Pendidikan..........................................................................
75
4.2.3 Kesehatan...........................................................................
78
4.2.4 Kelembagaan .....................................................................
79
4.3 Aspek Perekonomian ..................................................................
83
4.3.1 Sumberdaya Perikanan.......................................................
84
4.3.2 Kegiatan Usaha Budidaya Rumput Laut............................
87
KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT ………………………………………………….
91
5.1 Kesesuaian Kawasa Budidaya Rumput Laut................................ 5.2 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut ........................ 5.2.1 Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut..........................
xvi
91 93 96
VI
OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG ………………………………….……
99
6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ………………….
101
6.2 Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut ……………
102
6.3 Sub Model Ekonomi ……………………………………………
103
6.4 Sub Model Tenaga Kerja ……………………………………….
104
6.5 Simulasi Skenario Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut ……………………………………….
104
KEBERLANJUTAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT ……
129
7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ........................................
129
7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ......................................
132
7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya..............................
135
7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi.....................................
137
7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan...............................
141
7.6 Status Keberlanjutan Multi-Dimensi............................................
144
VIII ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT………………………………………………………………..
149
IX
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………
155
5.1 Kesimpulan …………………………………………………….
155
5.2 Saran ……………………………………………………………
155
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
157
VII
xvii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kondisi dan persyaratan tumbuh Kappaphycus alvarezii.............................
22
2
Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 ...............................
25
3
Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun 2001-2004 ........................................................................
26
Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten. Bantaeng Tahun 2001-2008 ........................................................................................
27
5
Jenis, alat/cara analisis dan sumber data dalam rencana penelitian..............
38
6
Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line. ......................................................................................................
40
Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kab. Bantaeng ...................................................................................
46
Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng .........................................................
50
Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng..........................................................................
50
10 Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ......................................................................................................
51
11 Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ....................................................................................
52
12 Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan …..
54
13 Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut ……………………………..
56
14 Luas Wilayah Daratan dan Pembagian Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007 ...........................................................................
59
15 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007 .........................................................
77
16 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007...........................................................
77
17 Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009.....
78
4
7
8
9
xviii
18 Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut Kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007 .............................................................................................
84
19 Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008..................
85
20 Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008 ........................................................................................................................
87
21 Hasil analisis usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009 ….
96
22 Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……………………………………………………..…………… 100 23 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo.............................................................................................................. 147 24 Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²)…..
xix
147
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Alur Pikir Optimasi Pengelolaanan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng……………………………….
6
2
Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)...............
15
3
Kappaphycus alvarezii (doty) (Doty, 1985) ..........................................
21
4
Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010).............................................
24
5
Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007................
26
6
Peta lokasi penelitian .............................................................................
37
7
Tahapan rencana penelitian ..................................................................
38
8
Skema unit budidaya rumput laut. …………………………………….
43
9
Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng..............................................................................
47
10
Diagram input-output (Hartrisari, 2007)................................................
48
11
Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998) ..............................................
49
12
Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng....................................................................
51
Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut …………………………………………………………..
56
Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha rumput lautn di Kabupaten Bantaeng………………………………………………….
57
Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng.................................................................................................
61
Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng................................................................................................
62
17
Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……………
64
18
Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…………………….
66
19
Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng….
67
20
Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……..
68
21
Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..
69
13
14
15
16
xx
22
Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..
70
23
Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…
71
24
Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…
72
25
Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun 2003-2007 ..............................................................................................
74
Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di Kabupaten Bantaeng …………………………………………………
76
Persentase mata pencaharian masyarakat pesisir yang menjadi responden…………………………………………………………..
87
28
Persentase kisaran usia responden. ……………………………………
88
29
Peta kesesuaian lahan budidaya rumput Laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………………………………………………….
93
30
Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut …………………………
101
31
Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut …………………....
102
32
Sub Model Ekonomi Rumput Laut ……………………………..….…
103
33
Sub Model Tenaga Kerja budidaya Rumput Laut ………………..…..
104
34
Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………...
106
Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…………………………………………………
106
26
27
35
36
37
38
39
Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………..……..
107
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….
107
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
108
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
108
xxi
40
41
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
108
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)…………………………………………………………………..
109
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) …………………………………………………………………..
110
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……………………………
110
Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min– maks.)……………………………………………………………….
111
Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……………………………………………………………
111
Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………...
112
Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………………..
112
Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………….
112
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….
113
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
113
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….
114
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
xxii
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
114
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25cm)
115
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) …………………………………………………………………...
115
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah …………………………….
116
Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut 5jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……………………………………………………………
116
Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……………………………………………………………
117
Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………...
117
Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………………
118
Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………………..
118
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….
119
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
119
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………...
119
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam
xxiii
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan …………………………………………………
120
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)……
121
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)………
121
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……………………………
121
Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……………………………………………………………
122
Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) ……………………………………………………………
122
Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………...
123
Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi peraira pesisir Kabupaten Bantaeng ……………...
123
Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………………..
124
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan …………………………………………………..
124
Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
125
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
125
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………….……………..
125
xxiv
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitasasimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm) ………………………………………...……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) …………………………………………………. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……………………………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Indeks keberlanjutan dimensi ekologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ..……………………………… Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS).................................................. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).................................................... Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………… Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)..................................... Indeks keberlanjutan dimensi teknologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………. Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)....................................... Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………………………….. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan
xxv
126
127
127
128
128
130
131
133
134
136
137
138
142
143
92
93
94
dalam bentuk nilai root mean square (RMS)......................................... Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng .............................................................................. Indeks keberlanjutan multidimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ………………………………………………… Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)...................................................
xxvi
144
145
146
147
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Produsen dan jumlah produksi K.alvarezii dunia.................................
165
2
Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng ............................................................................
165
Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng ...............................................................................................
166
Data oseanografi dan kualitas air wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng 2009 …………………………………………………………………...
166
Unit pelayanan kesehatan menurut Kecamatan di Kabupaten. Bantaeng, 2007 ……………………………………………………
167
Perkembangan personil lingkup kesehatan di Kabupaten Bantaeng 2002-2007 ……………………………………………..……………..
167
Produksi Subsektor Rumput Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000-2004 ...........................................................................................
168
8
Identitas nelayan budidaya rumput laut (responden) ..........................
169
9
Luas lahan budidaya rumput laut per responden di Kabupaten Bantaeng 2009 ……………………………………………………….
170
Layer/peta tematik analisis kesesuaian kawasan budidaya rumput alut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu……………………………………………………………......
171
Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan kapasitas perairan ……………………………………….
175
Estimasi luas kawasan budidaya ruput laut berdasarkan kapasitas asimilasiperairan pesisir Kabupaten Bantaeng……………………….
176
13
Biaya investasi budidaya rumput laut ………………………..………
182
14
Biaya operasional budidaya rumput laut ……………………….……
183
15
Biaya pemeliharaan budidaya rumput laut per panen ………………..
185
3
4
5
6
7
10
11 12
xxviii
16
Analisis Biaya usaha budidaya rumput laut ………………….………
188
17
Analisis B/C Ratio budidaya rumput laut………………………….…
189
18
Model matematis sub produksi rumput laut..........................................
191
19
Model matematis sub daya dukung rumput laut...................................
194
20
Model matematis sub ekonomi rumput laut.........................................
197
21
Model matematis sub tenaga kerja usaha budidaya rumput laut........
199
xxix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif jika ditinjau dari berbagai macam peruntukannya (Supriharyono 2000) dan sumberdaya yang dimilikinya (Dahuri 2001). Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir antara lain; pemukiman, industri, pengilangan minyak, rekreasi dan pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap (Bengen 2005), dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya nir-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati terdiri dari berbagai jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nir-hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (Undang undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007). Realitas sebagaimana dikemukakan di atas juga dijumpai di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, diantaranya saat ini masyarakat memanfaatkan wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut berkembang seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan serta mahalnya biaya operasional akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus naik. Perkembangan kegiatan rumput laut yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng bisa dilihat dari produksi dan area budidaya yang terus meningkat. Pada tahun 2001, luas area yang dimanfaatkan sebesar 505.2 ha dengan total produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar 120.1 ton, sedangkan pada tahun 2008 luas areal yang dimanfaatkan telah bertambah menjadi 3 792 ha dengan produksi 7 677.55 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 2009). Dengan demikian, dalam kurun waktu dari tahun 2001-2008 untuk luas areal budidaya telah bertambah menjadi 3 286.8 ha (657%) dan untuk produksi rumput laut yang dihasilkan telah bertambah menjadi 7 557.44 ton (630%).
2
Terjadinya peningkatan budidaya rumput laut diantaranya diakibatkan oleh meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap karagenan (Ma’ruf 2005). Karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii (K.alvarezii). Permintaan pasar karagenan pada tahun 2005 adalah 260 571.05 ton dan diproyeksikan pada tahun 2008 permintaan akan mencapai 1 643 561 ton. Karagenan diperlukan sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi pada industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 1996) dan menurut Ma’ruf (2005), dari jumlah kebutuhan tersebut pada saat ini produsen rumput laut dunia baru dapat memenuhi sekitar 70%. Dengan demikian, seiring dengan pertambahan penduduk dunia, yang tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhkan pangan, obat-obatan dan industri lainnya, maka pasar karagenan semakin terbuka lebar baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik. Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Adapun Provinsi Sulawesi Selatan merupakan Provinsi penyumbang rumput laut K.alvarezii terbesar di Indonesia, memiliki luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut sekitar 250 000 ha dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581 Ton berat kering. Menurut Subdin Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 2006, dari produksi Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, Kabupaten Bantaeng menyumbang sekitar 720.4 ton berat kering yang diproduksi dari lahan seluas 1 875 ha Hasil penelitian Crawford (2002) di Sulawesi Utara dan Filipina, mendapatkan kegiatan budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. Demikian halnya dengan masyarakat pesisir Kabupaten Bantaeng. Saat ini kegiatan rumput laut bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, akan tetapi telah menjadi salah satu mata pencaharian utama. Bahkan kegiatan rumput laut menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan mereka yang selama ini identik dengan kemiskinan.
3
Kegiatan budidaya rumput laut K.alvarezii dipilih oleh masyarakat karena beberapa kelebihannya, antara lain: 1) masa panen relatif singkat yaitu 45 hari, tanpa menggunakan pupuk dan bibit yang khusus, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi tanpa merusak lingkungan, 2) budidaya mudah dan biaya rendah, dan 3) pasar tersedia, terutama melalui ponggawa (Ma’ruf 2005). Selain itu, antusiasme masyarakat terhadap kegiatan rumput laut juga dipacu dengan tingginya harga rumput laut. Pada bulan Juli 2008, harga rumput laut kering di tingkat petani Kabupaten Bantaeng, mencapai Rp8 000,- /kg berat kering dan naik lagi menjadi sekitar Rp12 000,-/kg berat kering pada Mei 2010 (komunikasi pribadi). Kondisi tersebut di atas, mengakibatkan kegiatan rumput laut di pesisir Kabupaten Bantaeng, menjadi tidak terkendali. Masyarakat memanfaatkan setiap jengkal laut pesisir untuk budidaya rumput laut, sehingga sepanjang garis pantai Kabupaten Bantaeng, telah ditanami rumput laut hingga lebih 3 km ke arah laut yang diduga tanpa memperhitungkan azas kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Apabila hal ini terus berlanjut maka kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan yang bisa menurunkan produktivitas dan kualitas rumput laut yang dihasilkan sehingga kegiatan rumput laut yang saat ini telah menjadi harapan baru bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraannya, diduga bisa terancam keberlanjutannya. Karena itu, penelitian tentang kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut, perlu dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah utama dalam upaya optimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, sebagai berikut: 1. Pengembangan yang tidak terencana dengan baik 2. Meningkatnya harga rumput laut akibat permintaan pasar 3. Dasar pengelolaan yang belum tepat
4
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang dilakukan adalah: 1. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk pengembangan rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng 2. Mengoptimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. 3. Menelaah keberlanjutan pengelolaan kegiatan rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. 1.3.2
Kegunaan Penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
1. Ilmu Pengetahuan. Selama ini penelitian tentang kegiatan rumput laut dilakukan secara parsial, sedangkan penelitian ini dilakukan dengan melihat berbagai dimensi secara menyeluruh, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosialbudaya, teknologi dan kelembagaan. Karena itu, diharapkan dapat menjadi acuan yang lebih komprehensif bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi dalam pengembangan kegiatan rumput laut yang berkelanjutan. 2. Nelayan rumput laut. Pengembangan kegiatan rumput laut oleh masyarakat akan disesuaikan dengan daya dukung lahan, sehingga kegiatan mereka dapat optimal dan berkelanjutan. 3. Pengusaha. Akan diperoleh bahan baku yang memiliki kualitas, kuantitas dan kontinyuitas yang terjamin untuk industri pengolahan rumput laut. 4. Pemerintah. Pertama, suatu referensi tentang tata ruang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; kedua, mendukung pemerintah di dalam penentuan produk unggulan daerah; dan ketiga, sebagai bahan acuan dalam merumuskan kebijakan pada pengembangan kegiatan rumput laut agar menjadi basis yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, utamanya bagi petani rumput laut yang selama ini masih hidup dalam kemiskinan.
5
1.4 Kerangka Pikir Kegiatan rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan luas lahan budidaya rumput laut setiap tahun, yakni pada tahun 2001 baru 505.2 ha; tahun 2002 menjadi 885.2 ha; tahun 2003, 1 875 ha; tahun 2004, 1952 ha; dan pada tahun 2005 telah mencapai 1965 ha (Subdin Perikanan dan Kelautan 2006). Akan tetapi pengelolaannya belum optimal, baik dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologinya maupun kelembagaannya. Penanaman rumput laut yang dilakukan di sepanjang wilayah pesisir yang lebarnya mencapai 3-5 km ke arah laut tidak memperhatikan unsur kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan sehingga bisa berakibat terjadinya degradasi lahan budidaya jika dilihat dari dimensi ekologi. Efek selanjutnya kemungkinan produktivitas dan kualitas bisa menurun yang berarti akan mempengaruhi dimensi ekonomi dengan menurunnya pendapatan yang diperoleh petani rumput laut. Menurunnya tingkat pendapatan akan mempengaruhi kesejateraan keluarga petani sehingga sulit memenuhi kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya dan kesehatan keluarga. Budidaya yang memanfaatkan wilayah pesisir secara maksimal tanpa menyisakan jalur lalu lintas perahu dan ruang untuk kegiatan memancing kadang-kadang menimbulkan konflik diantara stakeholder. Sampai saat ini, belum ada kelembagaan yang bisa memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses modal, keterampilan budidaya, peningkatan kualitas produk dan informasi pasar. Permasalahan rumput laut sampai saat ini di Kabupaten Bantaeng adalah pemanfaatan lahan yang tidak terkendali akibat antusiasme masyarakat yang sangat tinggi terhadap kegiatan rumput laut. Apabila hal ini terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, dikhawatirkan akan mengakibatan terlampauinya daya dukung perairan terhadap budidaya rumput laut yang bisa menyebabkan degradasi lahan yang pada akhirnya bisa berpengaruh terhadap produktivitas, kualitas dan kontinuitas produksi rumput laut. Lebih ke belakang lagi, faktor-faktor penyebab permasalahan ini disebabkan karena para stakeholder belum terkoordinir serta belum mempunya visi yang sama pada pengelolaan kegiatan rumput laut, mulai dari petani rumput laut sebagai produsen, pedagang pengumpul (ponggawa),
6
pedagang besar hingga ke pengusaha pengolah chip dan powder serta semua jasa pendukungnya dalam rangka kemajuan bersama.
Kawasan Pesisir Kabupaten Bantaeng
Analisis Pengelolaan RL di Kawasan pesisir Kab. Bantaeng 1. 2. 3. 4.
Teknologi BD Pascapanen SDM Kelembagaan
Kesesuaian Biofisik
Akar Permasalahan 1. Antusiasme masyarakat 2. Pengelolaan belum tepat
Analisis: 1. Kelayakan Kegiatan 2. Teknologi BD 3. Kelembagaan 4. Kebutuhan
Kesesuaian Oseanografi
1. Konflik Pemanfaatan Tata Ruang 2. Pencemaran
Kesesuaian Kualitas Air
Analisis Kesesuaian
Daya Dukung Kawasan
Keberlanjutan
Ekologi
Ekonomi
Sosial-Budaya
Kelembagaan
Teknologi
MODEL OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBEDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG
Gambar 1 Alur Pikir Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng
7
Pengelolaan yang optimal dan terpadu diantara semua stakeholder, merupakan salah satu konsep yang bisa mengatasi permasalahan tersebut dari akarnya. Dan agar semua stakeholder bisa dikoordinir maka konsep pengelolaan tersebut harus bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap stakeholder. Konsep pengelolaan yang terpadu dan bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap stakeholder, dengan dukungan data dari berbagai hasil analisis seperti hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan, ekonomi, sosial budaya, supply-demand, teknologi budidaya dan pasca panen, diharapkan akan bisa menjamin keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut masyarakat, baik dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi maupun kelembagaan. 1.5 Novelty Penelitian: Hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, diperoleh informasi bahwa penelitian rumput laut yang telah dilakukan sudah sangat banyak, seperti yang telah dilakukan oleh Syahputra (2005) tentang pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan dan jarak tanam yang berbeda; tentang pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii (Amarullah 2007); Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara (Kusdi HI Iksan 2005); Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT (Kamlasi 2008); Kajian ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara (Lukas Lotharius Jansen Josef Mondoringin 2005); Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan rumput laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari Kepulauan Seribu (Amiluddin 2007) serta Kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sallata 2007). Penelitian yang telah dilakukan tersebut, adalah penelitian aspek-aspek budidaya, ekonomi, ekologi, penanganan pascapanen dan pengolahan pasca panen
8
yang dilaksanakan secara parsial pada setiap aspek. Belum dilakukan secara menyeluruh pada setiap aspek. Lokasi dari setiap penelitian di atas merupakan daerah terlindung, seperti teluk, sesuai dengan referensi bahwa salah satu kriteria/persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah wilayah yang terlindung atau perairan pulau-pulau kecil yang tidak terlalu dipengaruhi oleh gelombang dan arus kuat, pencemaran antropogenik dan limpasan air tawar dari aliran sungai. Berbeda dengan wilayah kajian yang merupakan peraian terbuka yang berada pada wilayah pesisir pulau besar. Ditinjau dari aspek produksi rumput laut yang dihasilkan, produksi pada perairan terbuka pada musim timur sama atau bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan terlindung. Produktivitas pada wilayah kajian adalah 2-3 ton//ha/panen sementara hasil penelitian Kamlasi 2008, menemukan 1.5 ton/ha/panen; Budiyono 2003, mendapatkan 40-60 ton berat basah/ha/Tahun; Mondoringi 2005, mendapatkan 3 093 ton berat kering/ha/panen Novelty dari penelitian ini adalah: 1. Dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dari berbagai aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan mulai dari tahap budidaya sampai tahap pemasaran. 2. Lokasi penelitian yang merupakan perairan terbuka menurut panduan teknis budidaya tidak memenuhi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut ternyata produktivitasnya sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan perairan yang terlindung 3. Lokasi penelitian merupakan perairan pulau besar (main land).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Wilayah Pesisir Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, berdasarkan beberapa literatur terdapat kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross shore). Dalam Undang Undang No. 27 Tahun 2007, disebutkan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Hampir sama dengan yang telah didefinisikan oleh Bengen (2004a), yakni wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak tergenang tetapi masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang dipengaruhi proses-proses laut seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Demikian juga menurut
Carter (1988) dalam Haslett (2000) bahwa
wilayah pesisir adalah area arah ke darat yang masih dipengaruhi laut dan batas ke arah laut yang masih dipengaruhi daratan serta menurut Beatley et al. (1994) dalam Dahuri (2001) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Kay dan Alder (2005) melaporkan bahwa ada beberapa definisi yang digunakan oleh berbagai organisasi/pemerintahan internasional dan nasional, yanng secara garis besar dapat dipilah dalam dua kecenderungan, yaitu: definisi berdasarkan pendekatan biofisika dan definisi berdasarkan pendekatan kebijakan. Ditinjau dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif (Supriharyono 2000). Menurut Rokhmin (2001), Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi
10
daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat. Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait (stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Bila konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya sehingga sumberdaya pesisir akan mengalami degradasi biofisik. Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih (overfishing), terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong; meningkatnya laju pencemaran, berkembangnya erosi pantai, meluasnya sedimentasi serta intrusi air laut (Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Sebab itu, untuk mengeliminir degradasi biofisik di kawasan pesisir yang terus berlangsung diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu. 2.2
Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki
fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
11
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007). Selanjutnya, Dahuri (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui dengan jelas. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain dan Knecht (1998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe (2002)
menyatakan
bahwa
Konsep
pembangunan
berkelanjutan
adalah
pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht, 1998; Kay dan Alder, 2005; Chua, 2006). Laporan ini sering disebut Laporan Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland. Di dalam laporan tersebut terdapat definisi
12
pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey, 1989; Daly, 1994; Dixon dan Fallon, 1989; Turner et al., 1993; Tiesdal, 1991; Cicin-Sain, 1993 dalam Haq, 1997). Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 2003). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 1988 dalam Charles 2001). Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders) sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001). Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan (Chua 2006). Young (1992) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan adanya 3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: 1) Integritas lingkungan; 2) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi budaya selain dimensi ekonomi. Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia,
13
khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe 2002). Budiharsono (2006) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal (2002) bahwa dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik serta hukum–kelembagaan (Dahuri 2001). 1) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial; (ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan
14
suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 1996). 2) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. 3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini, maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. 4) Dimensi hukum dan kelembagaan . Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang–undangan yang berwibawa dan konsisten
serta
dibarengi
dengan
penanaman
etika
pembangunan
berkelanjutan Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada empat faktor yaitu (1) terpadunya konsep ”equity ’ lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya. Selanjutnya Reid (1995) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu: 1) integrasi antara konservasi dan pengembangan; 2) pemenuhan kebutuhan dasar manusia; 3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi; 4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan; 5) penghormatan dan dukungan terhadap keragaman budaya;
15
6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan sikap percaya diri; dan 7) memelihara integritas ekologi. Pitcher
dan
Preikshot
(2001)
membagi
komponen
pembangunan
berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika.
Sedangkan
Charles (2001)
mengemukakan
konsep
pembangunan
berkelanjutan mengandung dimensi :1) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara keberlanjutan
stok/biomass
sehingga
melewati
daya
dukungnya,
serta
meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, 2) Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3) Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan,
dan
4)
Keberlanjutan
kelembagaan,
yakni:
menyangkut
pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan pada Gambar 2. KEBERLANJUTAN EKOLOGI
KEBERLANJUTAN INSTITUSI
KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI
KEBERLANJUTAN KOMUNITAS
Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)
Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak
16
tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002). Bengen dan Rizal (2002) mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia, yaitu: 1) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan; 2) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan; 3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan; 4) laut dikelola secara co-management; 5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat; 6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global. Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan jasajasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan ekonomi (Haq 1997). Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi merupakan
dimensi
kunci
karena
arahan
pembangunan
berkelanjutan
mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan. Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 2003) diuraikan sebagai berikut: Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya,
17
misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis). Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial. Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan
18
pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut, adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga keuangan, informasi pasar dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Bengen dan Rizal (2002) menyatakan bahwa kearifan masyarakat adat telah menjadi pilar yang mampu mempertahankan kelestarian sumberdaya alam. Dimensi ekologi (lingkungan), ekonomi, sosial dan kelembagaan merupakan
empat
dimensi
yang
harus
seimbang
dalam pembangunan
berkelanjutan (Charles 2001). Dan pada akhirnya, keberhasilan suatu pengelolaan wilayah pesisir sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang telah dibuat (Susilo, 2003). Beberapa indikator ekosistem wilayah pesisir dapat digunakan sebagai salah satu cara memonitor keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (1993), indikator-indikator tersebut adalah: 1. Parameter fisik: luas lahan yang masih alami; luas lahan pemukiman, industri, komersial, dan rekreasi; volume dan luas pembuangan sampah, reklamasi, dan drainase tahunan; tingkat ekstraksi tahunan dari mineral, pasir, kerikil, gas, dan minyak bumi; perubahan volume pasir pantai; tingkat abrasi pantai; perubahan tingkat permukaan laut; 2. Parameter kimia/biologi: indikator kualitas air; kandungan klorofil; distribusi vegetasi wilayah pesisir; persen habitat alami yang dilindungi; jumlah species terancam punah; 3. Parameter Sosial: kepadatan populasi penduduk; perlindungan terhadap situs yang bernilai budaya dan arkeologi; rasio lahan yang telah dikembangkan terhadap yang belum dikembangkan; tingkat infrastruktur yang ada; peluang akses publik terhadap pantai; partisipasi publik dan dunia usaha (industri) dalam penentuan kebijakan dan tujuan pengelolaan; dan kemauan politik pemerintah dan politikus. Sedangkan yang diadaptasi dari Charles (2001) dan Susilo (2003), atribut-atribut untuk rumput laut adalah:
19
1) Dimensi Ekologi: biofisik lingkungan, pertumbuhan rumput laut, kandungan karagenan, luasan areal yang sesuai, ketersediaan dan mutu bibit. 2) Dimensi Ekonomi: keuntungan, kontribusi terhadap PAD, sistem permintaan pasar (lokal, nasional dan internasional). 3) Dimensi Sosial budaya: kualitas SDM (tingkat pendidikan, persepsi masyarakat), penyerapan tenaga kerja, sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (gender, kemandirian, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya, jumlah rumah tangga petani rumput laut), alternatif usaha selain menanam rumput laut. 4) Dimensi Kelembagaan: Perda tentang rumput laut, aturan adat/agama, koperasi/kelompok tani rumput laut. Bengen (2004) menyatakan bahwa, selain memiliki potensi sumberdaya yang besar, wilayah pesisir juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas yang dimaksud adalah 1) penentuan wilayah pesisir baik ke arah darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal kawasan tersebut; 2) adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan kawasan lahan atas dan laut lepas; 3) memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa lingkungan,
sehingga
menghadirkan
berbagai
penggunaan/pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor pembangunan; 4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; 5) adanya sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan ancaman terhadap sumberdaya tersebut; dan 6) sistem sosial budaya masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaannya adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut. Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir, maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar tidak saling mematikan sehingga pengembangan rumput laut dapat berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.
20
2.3 Rumput Laut Rumput laut merupakan salah satu komoditi sub-sektor perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena menghasilkan alginat, agar-agar dan karaginan. Alginat, agar-agar dan karaginan mempunyai tingkat kegunaan tinggi dalam berbagai bidang, seperti industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Seiring dengan berkembangnya industri tersebut, menyebabkan permintaan rumput laut terus meningkat baik untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor. Secara ekonomi rumput laut dapat memberikan sumbangan devisa bagi negara dan meningkatkan pendapatan nasional. Di samping itu budidaya rumput laut ternyata mampu mengubah tingkat sosial-ekonomi masyarakat pantai dan meningkatkan pendapatan serta dapat melindungi sumberdaya pesisir melalui pengalihan kegiatan yang dapat merusak lingkungan misalnya pengambilan karang dan penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan (Madeali et al. 1999). Perairan Indonesia memiliki sumberdaya plasma nutfah rumput laut kurang lebih 555 jenis (Basmal 2001). Beberapa jenis rumput laut tersebut telah mampu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri. Rumput laut yang dikembangkan di Kabupaten Bantaeng adalah jenis K.alvarezii. Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena merupakan penghasil karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan, karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat, yakni digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak et al. 1990). 2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii Menurut Doty (1985), K.alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi K.alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut K.alvarezii . Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Klasifikasi K.alvarezii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :
21
Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma Species : Kappaphycus alvarezii (Doty) Ciri fisik K.alvarezii adalah mempunyai tallus silindris, permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan. Duriduri pada tallus runcing memanjang agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari tallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996) (Gambar 3). Rumput laut bereproduksi dengan tiga cara, yaitu: vegetatif, generatif dan pembelahan sel. Berbagai faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut seperti suhu, salinitas, cahaya, arus, dan unsur hara (Departemen Pertanian 2001).
Gambar 3 Kappaphycus alvarezii (Doty) (Sumber gambar: Yulianda 2003).
22
2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut Lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya rumput laut. Faktorfaktor lainnya adalah teknis budidaya atau penanaman, bibit unggul, sosial ekonomi dan pemasaran. Wilayah perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, secara umum dapat dikatakan cukup memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut, walaupun berhadapan langsung dengan Laut Flores sehingga pada bulan Desember-Februari ombak besar. Hal tersebut terbukti dengan semakin berkembangnya usaha rumput laut di wilayah tersebut. Pertumbuhan K.alvarezii membutuhkan kondisi perairan seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Kondisi dan persyaratan tumbuh K.alvarezii No.
Parameter
Kondisi/Persyaratan Tumbuh
1.
Kec. Arus (m/det.)
0.2-0.3
2.
Substrat dasar
Pasir, pecahan karang
3.
Salinitas (‰)
28-34
4.
Keterlindungan
Terlindung
5.
Tinggi gelombang (m)
0.20-0.30
6.
Suhu (0C)
28-30
7.
Kecerahan (%)
80-100
8.
Derajat keasaman
7.5-8.5
9.
Kedalaman (m)
2-10
Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Sulistijo (1996); Aslam (1998); FAO (2008). 2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut Di dalam teknik budidaya ada dua hal yang perlu diperhatikan. yaitu pemilihan bibit dan metoda budidaya. Dikenal lima metode budidaya rumput laut, yaitu: metode lepas dasar, metode rakit apung, metode long line, metode jalur dan metode keranjang (kantung) (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 2006). Penerapan metode tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan dimana rumput laut akan dibudidayakan. Di Kabupaten Bantaeng petani rumput laut menggunakan metode long line karena dianggap cocok dengan kondisi
23
biofisik perairan serta biaya konstruksinya lebih murah bila dibandingkan dengan metode lainnya. Metode long line menggunakan tali panjang yang dibentangkan, pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 m diberi pelampung utama yang berupa drum plastik/styrofoam. Aji dan Murdjani (1986) menyebutkan bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik untuk budidaya tambak dapat dicapai produksi sebanyak 1 000 sampai dengan 1 500 kg berat kering/ha/panen atau sekitar 6-9 ton/ha/tahun. Untuk budidaya dengan sistem rakit dapat mencapai produksi sekitar 2 kg/m 2 /tahun. Sedangkan untuk metode long line, rumput laut yang dipanen pada umur 45 hari menghasilkan rumput laut basah antara 25 600 kg-51 200 kg/ha atau setara dengan 2 800-5 600 kg/ha rumput laut kering (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya 2006).
2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut Secara umum ada beberapa permasalahan pengembangan rumput laut di Indonesia, antara lain: 1) sumberdaya manusia yang tersedia walaupun dalam jumlah cukup namun dalam hal mutu masih relatif rendah akibatnya rumput laut yang dihasilkan, produktivitas dan kualitasnya rendah; 2) belum menguasai teknologi untuk mengolah rumput laut menjadi karaginan agar bisa memperoleh nilai tambah; dan 3) petani rumput laut umumnya kesulitan dalam hal permodalan karena belum tersentuh oleh lembaga keuangan yang ada sehingga kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Disisi lain, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan rumput laut karena didukung oleh potensi kawasan yang sesuai untuk budidaya hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan total luas lahan perairan yang potensial dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut jenis K.alvarezii seluas 1 471 532 ha (Ma’ruf 2010). Bahkan Master Plan Budidaya Laut tahun 2004 (Nurdjana 2006) menyatakan bahwa potensi indikatif mencapai 4 720 000 ha dan potensi efektif 2 350 000 ha. Kemudian, sinar matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tersedia sepanjang tahun dan sumberdaya manusia yaitu nelayan juga cukup tersedia, maka Indonesia
24
berpotensi besar untuk menimba untung dari bisnis ini. Proyeksi pengembangan rumput Laut 2006-2009 adalah sebagai berikut (Tabel 2). Sulawesi Selatan memiliki potensi budidaya laut sekitar 600 500 Ha. Dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Anonim 2004). Jenis K.alvarezii merupakan salah satu komoditas ”unggulan perikanan” Sulawesi Selatan yang cenderung mengalami peningkatan produksi dan volume ekspor. Pada tahun 2003 volume ekspor mencapai 15 339 ton dengan nilai US$ 5.7 juta dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada sektor produksi, pengolahan dan pemasaran.
Gambar 4 Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010). Kabupaten Bantaeng sebagai salah satu produsen rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai potensi lahan sekitar 6 000 ha dan sudah dikelola seluas 1 965 ha. Adapun produksi rumput laut yang dihasilkan antara 1 000-1 500 kg/ha/siklus berat kering pada musim baik (Maret-Juli) dan dari segi kualitas, rendemen yang dihasilkan berkisar 25-30% (Subdiskan Bantaeng 2006).
25
Tabel 2 Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 Tahun No Parameter 2006 2007 2008 2009 1 Produksi (ton) 1 120 010 1 343 696 1 611 911 1 900 000 - Gracillaria sp. 235 800 282 880 339 360 400 000 - K.alvarezii. 884 210 1 060 816 1 272 631 1 500 000 2 Luas lahan (ha) 18 220 21 453 25 336 29 283 - Pengembangan Gracillaria sp. 5 895 7 072 8 484 10 000 - Pengembangan K.alvarezii. 8 842 10 608 12 726 15 000 - Tambahan Pengembangan 3 483 3 773 4 126 4 283 K.alvarezii. Pengembangan Kebun Bibit 3 1 474 1 767 2 121 2 500 Rumput Laut - Gracillaria sp. 590 707 848 1 000 - K.alvarezii. 884 1 060 1 273 1 500 4 Investasi dan Modal Kerja 46 231 54 747 65 662 70 484 - Gracillaria sp. (Rp. Juta) 1 912 1 765 2 118 2 274 - K.alvarezii. (Rp. Juta) 44 319 52 982 63 544 68 210 Kebutuhan Mesin Pre-Processing 5 88 106 127 150 (unit) 6 Tenaga kerja (Orang) 150 315 180 336 216 342 255 000 Sumber: Nurdjana 2006. 2.3.5
Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di
dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Peningkatan produksi setiap tahun sangat signifikan. Pada tahun 2002 produksi Indonesia baru 25 700 ton, merupakan 25 % dari produksi Filipina tetapi pada tahun 2007 produksi K.alvarezii Indonesia sudah hampir menyamai jumlah produksi Filipina (Gambar 5 dan Lampiran 1). Produk rumput laut Indonesia mayoritas diekspor dalam bentuk kering tanpa olahan lebih lanjut. Padahal beberapa pabrik pengolahan di dalam negeri masih kekurangan bahan baku dan kebutuhan Indonesia terhadap produk olahan rumput laut baik karaginan, alginat maupun agar-agar sangat tinggi (DKP 2006) Kebutuhan karaginan untuk beberapa industri di Indonesia pada tahun 2002 adalah sebesar 1 864 ton dan baru sebagian kecil (740 ton) yang bisa dipasok oleh industri pengolahan karaginan dalam negeri. Sisanya diimpor dari luar negeri (DKP 2006). Tingginya pemanfaatan karaginan menyebabkan permintaan terhadap rumput laut juga cenderung meningkat setiap tahun (Tabel 3)
26
120000
Produksi (Ton)
Filipina 102,820 96,600 96,120 92,700 100000 94,960 93,000 92,000Indonesia 86,000
80000 62,300
Malaysia
60000 45,000 36,150
40000 25,700
Afrika Timur China
20000
Vietnam Gambar 4 Produsen rumput laut (K.alvarezii) tahun 2002-2007
0 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007
India
Gambar 5 Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007. Tabel 3 Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun 2001-2004 Volume Ekspor Nilai Ekspor No. Tahun Produksi (Ton) (Ton) (US$ 1000) 1. 2001 212 478 27 874 17 230 2. 2002 223 080 28 560 17 230 3. 2003 231 927 40 162 20 511 4. 2004 410 570 51 011 25 296 Sumber: Nurdjana 2006. Potensi lahan budidaya untuk lingkup Provinsi Sulawesi Selatan ± 600 500 Ha, dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Pemanfaatan lahan di Sulawesi Selatan sampai saat ini masih kurang dari 50% dengan produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581 ton kering atau baru 20% dari produksi nasional. Produksi dan luas lahan Kabupaten Bantaeng sejak tahun 2001 – 2008 tertera pada Tabel 4.
27
Tabel 4 Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008 No. Tahun Produksi (ton) Luas Lahan (ha) 1 2001 120.10 505.20 2 2002 360.50 885.20 3 2003 720.40 1 875.00 4 2004 999.40 1 952.00 5 2005 1 395.00 1 965.00 6 2006 3 521.95 2 377.00 7 2007 5 700.25 3 102.00 8 2008 7 677.55 3 792.00 (Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009). 2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno 2001). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno 2001). Proses penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut dengan kualitas lahan pesisir. Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat penggunaan lahan tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan tergantung pada letak geografis (Diadaptasi dari FAO 1976). Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis, ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.
28
Langkah awal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi ekologi. Akan tetapi menurut Aji dan Murdjani (1986), sangat sulit untuk menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan rumput laut yang optimal. Karena faktor-faktor ekologis ini sangat bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus air berperan dalam membawa nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut dan membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel. 2) Perairan terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras. 3) Airnya jernih dengan kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan
terhadap
sinar
matahari
untuk
proses
fotosintesis
bagi
pertumbuhan rumput laut. 4) Pada saat surut terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 30-60 cm agar rumput laut tidak mengalami kekeringan. 5) Dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang namun tidak ada endapan dan kotoran. 6) Tidak terdapat hewan-hewan pemangsa (ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu babi). 7) Terdapat bentos, teripang, kerang-kerangan dan lain-lain, yang tumbuh dengan baik. 8) Perubahan kadar garam tidak telalu besar. 9) Kaya akan nutrien. 10) Derajat keasaman air antara netral sampai agak basa (pH 7-8). 11) Bebas dari aliran bahan pencemar. Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus diperhatikan (Deptan DKI, 2001), adalah sebagai berikut: 1) lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah jalur pelayaran lalu lintas laut.
29
2) lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan kegunaan usaha lain. 3) tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut merupakan usaha yang padat karya. 4) Mudah terjangkau dengan alat transportasi. Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan, tersedianya lembaga yang dapat membantu petani rumput laut dalam hal permodalan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, informasi pasar dan lainlain, akan berdampak terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang berkelanjutan.
2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sebagian besar permasalahan yang bertalian dengan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir, seperti pencemaran, overfishing, erosi dan sedimentasi pantai, kepunahan jenis, dan konflik penggunaan ruang, merupakan akibat dari terlampau tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk beserta segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap lingkungan wilayah pesisir yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri 2001). Daya dukung lingkungan atau kawasan sendiri didefinisikan sebagai kapasitas yang dimiliki oleh suatu area yang penggunaan berbagai sumberdayanya tetap berlanjut (aktivitas pembangunan) (Clark 1992). Atau menurut Turner (1988), daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Sedangkan Quano (1993), menyatakan daya dukung adalah kemampuan perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan. Mirip dengan pernyataan Krom (1986),
30
bahwa daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi empat macam, yaitu: 1. Daya dukung ekologis, yaitu tingkat maksimum (jumlah dan volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi; 2. Daya dukung fisik, adalah jumlah maksimum pemanfatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik; 3. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan; 4. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu suatu sumber daya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Daya dukung lingkungan menurut Scones (1993) dalam Asbar (2007) dibagi atas dua, yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta tidak terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi dari usaha yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam (SDA) dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah
pesisir
dapat
ditentukan/diperkirakan
(assessed)
dengan
cara
menganalisis: (1) kondisi (variabel) biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan SDA dan jasa lingkungan, dan (2) variabel sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi
31
berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan SDA dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir (Dahuri, 2001). Lebih lanjut Dahuri (2001) menyatakan bahwa daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan (demand) manusia akan SDA dan jasa lingkungan (goods and service). Daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam. Atau, dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper), masukan teknologi, dan impor (perdagangan). Ketika SDA dan jasa lingkungan suatu wilayah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, maka keuntungan pembangunan dari wilayah tersebut secara keseluruhan mulai menurun, yang selanjutnya akan mengakibatkan menurunnya perekonomian (economic decline) wilayah, serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan, dan devisa. Fenomena yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, dimana masyarakat begitu antusias dalam pengembangan rumput laut menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya. Sehingga kemungkinan hal tersebut di atas, yakni menurunnya keuntungan pembangunan wilayah secara keseluruhan yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan perekonomian wilayah serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan devisa, bisa terjadi.
2.6 Pemodelan Sistem Dinamik Sistem didefiniskan sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain (Eriyatno dan Sofyar 2007). Menurut Eriyatno (1998), sistem adalah totalitas himpunan elemenelemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan (goals). Pengertian sistem menurut Marimin (2007), adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Menurut Handoko (2005), sistem adalah suatu mekanisme dari interaksi berbagai komponen sebagai
32
suatu cara untuk membentuk sebuah fungsi. Dalam suatu sistem setiap komponen dan fungsinya dapat diidentifikasi seperti interaksi diantara komponen dan di dalam komponen. Demikian juga menurut Hartrisari (2007), bahwa sistem dapat didefinisikan sebagai sekumpulan elemen (komponen) yang saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dijelaskan bahwa sistem dapat digolongkan pada 2 jenis, yaitu: •
Sistem terbuka (open system)
•
Sistem tertutup (closed system)
Sistem terbuka adalah sebuah sistem di mana output yang dihasilkan merupakan tanggapan dari input, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap input. Atau Sistem yang
tidak
menyediakan
sarana
koreksi,
sehingga
perlakuan
koreksi
membutuhkan faktor eksternal. Sedangkan Sistem tertutup adalah sistem di mana output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input, dan perilaku sistem akan dipengaruhi output tersebut. Atau sistem yang menyediakan sarana koreksi di dalam sistem itu sendiri dalam rangka pencapaian tujuan sistem Para ahli sistem memberikan batasan permasalahan yang solusinya sebaiknya menggunakan teori sistem adalah yang memenuhi karakteristik, 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; 2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno dan Sofyar 2007). Manfaat utama dari sistem dinamik menurut Coyle (1996) dalam Eriyatno dan sofyar (2007) adalah mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja dan sistem yang dapat dikelola. Langkah pertama untuk melakukan permodelan sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model. Perilaku model dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses tersebut di masa depan. Dalam pendekatan analisis sistem dinamis, struktur suatu sistem dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh ini akan
33
memberikan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor yang ada (Eriyatno dan sofyar 2007). Hubungan sebab akibat yang dinyatakan dalam suatu diagram (causal loop diagram) dapat menjelaskan dinamika yang berlaku pada sistem tersebut. Hubungan sebab akibat dibedakan dua macam, yaitu: 1. Hubungan positif, dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibat. 2. Hubungan negatif, yaitu makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat. Dapat pula akibat dari suatu sebab mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan sebab akibat yang lain. Sehingga terbentuk suatu untaian tertutup, yang disebut loop. Akibat dicatu balikkan ke penyebabnya, maka terbentuk untaian catu balik atau feed back loop. Konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya. Sehingga kaitan antara faktor-faktor ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan politik makin lama makin erat sehingga gerakan disalah satu faktor akan mempunyai pengaruh pada faktor lain (Marimin 2007). Model merupakan representasi dari sistem. Model yang dibangun tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi (Forrester 1965 dalam Hartrisari 2007). Pemodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan model. Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1998). Model memperlihatkan hubunganhubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik yang diistilahkan sebab akibat. Karena suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks dari pada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai dimensi dari realitas yang sedang dikaji.
34
Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah. Lebih lanjut Eriyatno (1998), menyatakan bahwa model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi (1) model ikonik, adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda misalnya: foto, peta, prototip, alat; (2) model analog, dapat mewakili situasi dinamik, yaitu keadaan yang berubah menurut waktu, contohnya: kurva permintaan; (3) model simbolik, pada hakekatnya ilmu sistem memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik dapat berupa angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan (equation). Sedangkan (Handoko 2005), membagi tipe model menjadi: (1) Fisik vs. mental . Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), seperti boneka, prototipe pesawat terbang dan mobil sedangkan model mental menggambarkan sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis; (2) Deskriptif vs. numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep sementara model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga mempunyai kemampuan prediksi; (3) Empirik vs. mekanistik. Model empirik juga disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut ‘black box’ karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sebaliknya model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada level model tersebut. Model yang tingkatannya lebih tinggi akan menjadi model ‘empirik’ jika dibandingkan model dengan tingkat yang lebih rendah. Tidak ada model yang benar-benar (100 %) mekanistik; (4) Statis vs. dinamis. Model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah,
tidak ada fungsi waktu
sebaliknya model dinamis memperhitungkan waktu sebagai variabel.
Dalam
model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut ‘parameter’
35
atau ‘konstanta’ dan; (5) Deterministik
vs. stokastik. Model deterministik
menghasilkan keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian berbagai faktor eksternal berbeda dengan keluaran model stokastik, dengan masukan (input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model semacam ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output) model. Dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap yang saling berhubungan yang perlu diperhatikan (Djojomartono 1993), sebagai berikut : 1) Identifikasi dan definisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan definisi masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang lingkup sistem. 2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi didalam sistem. Dalam tahap ini, sistem dapat dinyatakan diatas kertas dengan beberapa cara, yaitu : (i) diagram lingkar sebab akibat dan diagram kotak; (ii) menghubungkan secara grafis antara peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model. 3) Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan kedalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model.
36
4) Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Ditetapkan periode waktu simulasi. 5) Evaluasi model. Berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameterparameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi. 6) Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup penggunaan model dalam menguji dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Gambar 6). Penelitian dilaksanakan pada Februari 2009-Maret 2010.
815000
82000
825000
83000
835000
84000
PEMERINTAH KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN
845000
940500
940500
PETAWILAYAHADMINISTRASI KABUPATENBANTAENG SULAWESISELATAN
Legenda :
Pattaneteang
Bont o Lojong
Sungai
Labbo
940000
940000
Tompobulu Ulu Ere
Batas Kecamatan
Pa'bumbungang
Bont o Tappalang
Batas Desa
Ereng Ereng
Balumbung
Jalan
Bont o Marannu Bont o Bontoa
Bont o Tangnga Parang Loe Campaga Bany orang Kayuloe
939500
Bont o Daeng
939500
Kampala
Eremerasa Lembang Gantareng Keke
Pa'bentengang
Sinoa
W
Bont o Bullaeng
Bont o Karaeng
N
Pattallas sang
Barua
E
Bont o Tallasa Ont o
Gantareng Keke
Bont o Mac cini
Mappilawing Mamampang
Bont o Majannang
939000
S
Gantarangkeke
Baji Minasa
Tanah Loe Lonrong
Bont o Mat e'ne
Biang Loe
Bont o Tiro
Bont o Rannu
939000
Kaloling
Tombolo Ulugalung Bont o Salluang Batu Karaeng
Bissappu
Bont o J aya
Bont o Loe
Bont o Cinde
Karatuang Bont o Sunggu Bont o At u
Bont o Rita
Bantaeng Mallilingi
Bont o Manai Bont o Langkasa Bont o Lebang
Nipa Nipa
Pallantikang Tappanjeng Let ta
Lamalaka
Rappoa
Lembang
Lay oa
Biang keke Lumpangang
Pa'jukukang
938500
Pa'jukukang
938500
Borong Loe Papan Loe
Bont o J ai
Kab. Bantaeng Baruga
Lokasi penelitian
Laut Flores 938000
815000
82000 Skala : 2
0
2
825000 4
6
83000 8
Gambar 6 Peta lokasi penelitian.
835000 10
12
14
16
84000 18
20
938000 845000 22 Kilometers
38
3.2 Tahapan Penelitian Penelitian akan dilaksanakan dalam beberapa tahap seperti tertera pada Gambar 7 berikut. Analisis Biofisik Penentuan Kesesuaian Lahan Penentuan Daya Dukung Lahan Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut
Penentuan Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut Gambar 7 Tahapan rencana penelitian.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Sumber Data dan Prosedur Penelitian Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui observasi, pengukuran langsung di lapangan maupun analisa di laboratorium dan dari hasil wawancara langsung di lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan penelitian ini. 3.3.2 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir. Parameter biofisik yang akan diamati, seperti tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis, alat/cara analisis, dan sumber data dalam rencana penelitian No. Jenis data I. Data Primer 1. Kelayakan lahan - Suhu - Kecerahan - Salinitas - pH air - Kecepatan arus - Kedalaman
Alat /cara analisis
Water Quality Checker Secchi disk Water Quality Checker Water Quality Checker Layang-layang arus Eikman Grab
Sumber
In situ In situ In situ In situ In situ In situ
39
No.
2..
II. 1. 2.
Jenis data - Substrat - Tinggi gelombang - Hama/predator rumput laut Aspek ekologi - mutu dan ketersediaan bibit - pertumbuhan RL - luasan areal yang sesuai Aspek konomi - Kelayakan usaha - Keuntungan - Pendapatan petani - Sistem permintaan Pasar (Domestik dan Ekspor), Aspek Sosial-budaya - Tingkat pendidikan, - Jumlah RT petani - Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut - Kemandirian petani, - Partisipasi keluarga - Sosialisasi pekerjaan - Alternatif usaha - Pemberdayaan masyarakat Aspek Teknologi - Sarana dan prasarana - Standarisasi mutu - Teknologi pengolahan - Ketersediaan informasi rl - Tingkat penguasaan teknologi budidaya rl Aspek Kelembagaan. - Ada tidaknya kelompok tani - Zonasi peruntukan lahan/perairan - Ketersediaan Perda - Ketersediaan hukum adat/agama - Adanya tokoh masyarakat - Ada tidaknya lembaga keuangan/sosial Data Sekunder Citra Landsat ETM 7 Tahun 2005 Peta : - Peta rupa bumi - Peta lingkungan pantai
Alat /cara analisis Eikman Grab/analisis tanah
Wawancara langsung (kuesioner)
Sumber In situ In situ In situ Sampling
Er Mapper 6.0 dan Arc Biotrop,BPPT View 3.3. Arc View 3.3.
Bakosurtanal, BPN, BPPT,
40
No. 3.
Jenis data (LPI) Peta kemampuan lahan Peta batimetri Peta administrasi
Alat /cara analisis
Pustaka yang terkait dengan penelitian ini.
Sumber Puslitanak, BMG Maritim Makassar, Bappeda Instansi terkait
3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Analisis
kesesuaian
lahan
kawasan
pesisir
Kabupaten
Bantaeng
dikhususkan pada kesesuaian lahan bagi peruntukan budidaya rumput laut jenis K.alvarezii melalui analisis kondisi lingkungan perairan. Parameter lingkungan perairan merupakan faktor pembatas dan menjadi pertimbangan utama dalam penentuan tingkat kesesuaian lahan bagi budidaya rumput laut dengan metode long line, seperti di tampilkan pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line. Kriteria Kesesuaian No. 1.
Parameter Kec. Arus (m/det.)
Sangat Sesuai 0.2-0.3
Sesuai Bersyarat
Tidak sesuai <.10; >0.40
0.10-<0.20; >0.30-≤0.40 2. Substrat dasar Pasir,pecahan Pasir sedikit berlumpur karang berlumpur 3. Salinitas (‰) 28-34 25-<28; >34-≤35 <25; >35 4. Keterlindungan Terlindung Cukup terlindung terbuka 5. Tinggi gelombang (m) 0.20-0.30 0.10-<0.20; <0.10>0.30-≤0.40 ≥0.40 6. Suhu (0C) 28-30 26-<28; >34-≤35 <26; >35 7. Kecerahan (%) 80-100 60- <80 <60 8. Derajat keasaman 7.5-8.5 6.5-<7.5 <6.5->8.5 9. Kedalaman (m) 2-10 1-<2; >10-≤30 <1; >30 Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Hidayat (1994); Sulistijo (1996); Aslam (1998); Effendi (2004); FAO (2008). Secara umum terdapat lima tahapan dalam melakukan analisis kesesuaian lahan, yaitu: 1). Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter yang menentukan diberikan bobot terbesar sedangkan kriteria
41
yang sesuai diberikan skor tertinggi; 2). Penghitungan nilai dengan skor (S) dijumlah secara keseluruhan sehingga didapat total nilai bobot-skor maksimal dikurangi total nilai bobot-skor minimal, kemudian dibagi tiga kategori skor; 3). Pembagian kelas lahan dan nilainya. Pada penelitian ini kelas kesesuaian lahan akan dibedakan pada tiga tingkatan kelas dan didefinisikan sebagai berikut: Kelas S1 : Sangat sesuai. Lahan atau kawasan yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut tanpa adanya faktor pembatas yang berarti, dimana parameter-parameter fisika kimia dan biologi perairan memenuhi persyaratan atau ketentuan yang ideal, atau memiliki faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan menurunkan produktivitasnya secara nyata terhadap kegiatan atau produksi hasil. Lahan kelas S1 memiliki nilai sebesar 99-135 dari nilai maksimum peruntukan budidaya rumput laut. Kelas S2 : Sesuai Bersyarat. Lahan atau kawasan mempunyai pembatas (Penghambat) yang serius, pembatas tersebut akan mengurangi aktivitas/produktivitas
rumput
laut
dan
keuntungan
serta
meningkatkan masukan yang diperlukan dimana parameter fisika, kimia dan biologi perairan tidak terlalu memenuhi persyaratan / ketentuan yang ideal. Di dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan (input) teknologi dan tingkatan perlakuan. Lahan kelas S2 memiliki nilai sebesar 62-98 dari nilai maksimum peruntukan budidaya rumput laut. Kelas S3 : Tidak Sesuai. Lahan atau kawasan yang tidak sesuai diusahakan untuk budidaya rumput laut yang lestari karena mempunyai faktor pembatas yang berat/bersifat permanen dimana parameter tidak memenuhi persyaratan/ketentuan yang ideal. Lahan kelas S3 memiliki nilai di bawah 61
dari nilai maksimum peruntukan
budidaya rumput laut. Sesuai dengan faktor pembatas dan tingkat keberhasilan yang dimiliki oleh masing-masing kelas lahan, semakin kecil faktor pembatas dan semakin besar peluang keberhasilan atau produksi suatu lahan, semakin besar pula nilainya; 4). Membandingkan nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan. Pada
42
cara ini, kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya rumput laut diperoleh; 5). Pemetaan kesesuaian lahan yang dilakukan dengan program spasial Arc View 3.3. untuk memetakan kawasan ketiga kelas lahan tersebut dilakukan operasi tumpang susun (overlaying) dari setiap tema yang dipakai sebagai kriteria. Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing coverage tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap penentuan kesesuaian budidaya rumput laut. Hasil akhir dari analisa SIG melalui pendekatan indeks overlay model adalah diperolehnya rangking (urutan) kelas kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut tersebut.
3.4.2 Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Budidaya Rumput Laut Analisis daya dukung perairan untuk pengelolaan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N. Pertama; pendekatan kapasitas lahan sesuai dengan metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan tersebut menurut Rauf (2007), adalah: a. Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dengan menggunakan SIG. b. Kapasitas perairan Kapasitas perairan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus yang secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak mengganggu ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini dianalisis dengan formula sebagai beriut:
Keterangan: KK = Kapasitas Perairan ℓ1 = lebar unit budidaya ℓ2 = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya p1 = panjang unit budidaya p2 = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya
43
P2 p1 ℓ2
ℓ1
L2
L1
10m
Gambar 8 Skema unit budidaya rumput laut. Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas perairan yang sesuai kali 100%. Luas unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya yang ada di Kab. Bantaeng, yaitu 45x45 m. Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya (L2) ditentukan berdasarkan hasil survey lapang. Daerah yang berwarna biru merupakan jarak antara unit budidaya yang diasumsikan 10 m yaitu 2 x lebar maksimal badan perahu dengan penyeimbangnya yang dipakai petani rumput laut dalam melakukan aktivitasnya di Kab. Bantaeng. c. Luasan unit budidaya Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit budidaya rumput laut dengan setiap luasan unit budidaya berbeda-beda tergantung dari metode budidaya yang diterapkan. Dalam kajian ini luasan satu unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 45 m x 45 m = 2 025 m2 atau 0.2025 ha. d. Daya dukung perairan Daya dukung perairan menunjukkan kemampuan maksimal lahan untuk mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan pendekatan tersebut diatas maka daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: DDPRL = LPS x KP
44
Keterangan: DDP RL = Daya dukung perairan budidaya rumput laut (ha) LPS = Luas perairan yang sesuai (ha) KP = Kapasitas perairan (ha) Perhitungan berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh perairan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, digunakan persamaan, sebagai berikut: JUB RL = DDK/LUB Keterangan: JUB RL = jumlah unit budidaya rumput laut (unit) DDP = daya dukung perairan (ha) LUB = luas unit budidaya (unit/ha)
Kedua; pendekatan kapasitas asimilasi N perairan
dengan rumus:
(N BM x V tot x FT) x 10 -6 Keterangan : N BM = N Baku Mutu (Kep.Men LH 2004) : 1.0 mg/l V tot = V ps x2 FT = 1/D, D=koefisien flushing 3.4.3 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut Analisis kesesuaian ekonomi dilakukan pada pemanfaatan existing sumberdaya di wilayah pesisir. Penekanan tujuan analisis ini pada kelayakan usaha yang dilakukan, meliputi penentuan biaya investasi, biaya operasional, dan penerimaan. Analisis ini menggunakan: -
Benefit Cost Ratio (R/C), Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana usaha budidaya rumput laut tersebut menguntungkan, dengan menggunakan rumus : R/C = TR/TC Keterangan: TR = Total penerimaan usaha (Rp/ha/tahun) TC = Total biaya usaha (Rp/ha/tahun) Kriteria pengambilan keputusannya adalah : R/C > 1, usaha budidaya menguntungkan R/C = 1, usaha budidaya impas (break even point) R/C < 1, usaha budidaya rugi.
45
Selanjutnya, untuk menetukan kelayakan pengembangan usaha budidaya rumput laut dilakukan penghitungan besar penerimaan (benefit) dan besarnya biaya (cost) yang dihitung berdasarkan nilai kini (present value). Kriteria kelayakan yang digunakan adalah: - Net Present Value (NPV) NPV adalah nilai kini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa yang akan datang, dengan menghitung selisih antara manfaat dan biaya kini. Menggunakan persamaan sebagai berikut : n
NPV = ∑
Bt - Ct t t =1 (1 + i)
Keterangan : B t = benefit kotor tahunan, selama t tahun. Ct = biaya kotor tahunan, selama t tahun. 1/(1+i)t = discount factor (DF) i = tingkat suku bunga bank (Discount rate) n = Umur ekonomis dari unit usaha r = discount rate t = 0, 1, 2, 3, …… tahun ke n Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: NPV > 0 ; budidaya rumput laut layak diusahakan NPV = 0 ; budidaya rumput laut impas (break even point) NPV < 0 ; budidaya rumput laut tidak layak diusahakan 3.4.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut Analisis optimasi pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng untuk pengembangan budidaya rumput laut dilakukan dengan pendekatan sistem dinamik. Model sistem dinamik ini dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada data–data empiris sistem teknologi budidaya yang ada, faktor-faktor ekologis perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut, faktor-faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi pengembangan rumput laut, faktor kelembagaan. Model sistem dinamik ini digunakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan di Kabupaten Bantaeng. Metode analisis data dalam model sistem dinamik optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut terdiri atas analisis kebutuhan, formulasi masalah,
46
identifikasi sistem melalui diagram causal loop dan diagram input-output, simulasi model, dan verifikasi dan validasi model. a) Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam pemanfataan rumput laut. Berdasarkan observasi dilapangan, stakeholders yang terlibat seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7 No.
Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng Stakeholders Kebutuhan
1.
Petani/Masyarakat
2.
Pemerintah
3.
Pedagang pengumpul/
4.
Pedagang besar /Pengusaha
5.
Lembaga keuangan
6.
Industri pengolahan
7.
Penyedia jasa transportasi
8.
LSM
1.1 .............................. 1.2 .............................. 1.3 .............................. 2.1 .............................. 2.2 .............................. 2.3 .............................. 3.1 .............................. 3.2 .............................. 3.3 .............................. 4.1 ............................. 4.2 ............................. 4.3 ............................. 5.1 ............................ 5.2 .............................. 5.3 ............................... 6.1 ............................... 6.2 ................................ 6.3 ................................ 7.1 ................................ 7.2 ................................. 7.3 ................................ 8.1 ................................ 8.2 ................................ 8.3 ................................
b) Formulasi Masalah Formulasi masalah merupakan identifikasi dari kebutuhan stakeholders yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan konflik pada pencapaian tujuan (Hartrisari, 2007). Contoh kebutuhan stakeholders yang kontradiktif sehingga bisa menimbulkan konflik adalah masalah harga komoditas rumput laut. Petani rumput
47
laut menginginkan harga yang tinggi sementara disisi lain, pedagang pengumpul/pengusaha menginginkan harga yanng rendah.
c) Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Hubungan antara faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) seperti terlihat pada Gambar 9, kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box) atau diagram input-output (Gambar 10). Dalam menyusun black box, jenis informasi dikategorikan kedalam tiga golongan yaitu peubah input, peubah output dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. salinitas
kecerahan
kecepatan
kontribusi + + terhadap PAD
+ +
+ daya dukung +
luas unit usaha + +
pasar domestik
+
harga RL + +
+ + pertumbuhan RL +
++ +
kontinyuitas +
+ + produksi +
musim pemeliharaan mutu bibit
penerimaan petani RL + +
luas lahan + yang sesuai
+
+ +
pasar ekspor
+ +
status kesehatan +
tingkat pendidikan
berat awal bibit +
kuantitas RL+ + +
kualitas RL ++ + jarak tanam
lama pemeliharaan +
+
penyerapan + tenaga kerja + +
+ + jumlah RT petani RL +
pekerjaan alternatif
pemberdayaan + masyarakat Ket: Sub model ekologi (daya dukung) Sub model ekonomi Sub model sosial Sub model teknologi
Gambar 9 Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kab. Bantaeng.
48
Input Lingkungan Input Tak Terkendali •Pencemaran non-point source •Arus dan gelombang •Penyakit
• Perda • Aturan lokal •UU No. 27/2007
Output yang Dibutuhkan •Kualitas RL baik •Produksi RL kontinyu •Kesejahteraan masy. meningkat •Ketrampilan dan wawasan nelayan RL meningkat
Pengelolaan Budidaya RL Input Terkendali • • • •
Output yg tidak dibutuhkan • Konflik antar stakeholder • Produksi RL tidak kontinyu • Kualitas produksi RL menurun
Jumlah pop. manusia Limbah domestik Masa tanam Grazing oleh ikan
Umpan Balik
Gambar 10 Diagram input-output (Hartrisari 2007).
d) Simulasi Model Simulasi model merupakan peniruan perilaku dari suatu proses atau kecenderungan yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Tahapan-tahapan dalam simulasi model adalah: penyusunan konsep, pembentukan model, simulasi, dan validasi hasil simulasi.
e) Verifikasi dan Validasi Model Uji validasi perlu dilakukan untuk memenuhi kaidah keilmuan pada model sistem. Validasi merupakan penilaian keobjektifan dari status pekerjaan ilmiah. Validasi model akan menggambarkan sejauh mana status model dapat menirukan fakta. Tahapan-tahapan pendekatan sistem secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 11.
49
Gambar 11 Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998).
f) Analisis Prospektif Analisis prospektif dilakukan untuk menghasilkan skenario pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal dengan menetukan faktor yang dominan yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor diberikan skor dengan menggunakan pedoman penilaian analisis perospektif seperti pada Tabel 8 di bawah ini.
50
Tabel 8 Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng Skor
Keterangan
0
Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh kecil
2
Berpengaruh sedang
3
Berpengaruh sangat kuat
Adapun pedoman pengisian pengaruh antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut: 1.
Apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain. Jika ya, beri nilai 0.
2.
Jika tidak, apakah pengaruhnya sangat kuat. Jika ya, beri nilai 3.
3.
Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, atau sedang = 2. Pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks
seperti pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9 Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Dari terhadap
A
B
C
D
E
F
A B C D E F
Kemungkinan-kemungkinan
masa
depan
yang
terbaik
dapat
ditentukan
berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari berbagai faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut
51
yang menuntut untuk segera dilakukan tindakan. Adapun cara menentukan faktor kunci, dapat dilihat seperti Gambar 12, di bawah ini.
P e n g a r u h
Faktor penentu INPUT
Faktor penghubung STAKES
Faktor bebas UNUSED
Faktor terikat OUTPUT
Ketergantungan Gambar 12 Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng. Hasil analisis berbagai faktor seperti pada Gambar 12 di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berada pada kwadran I berupa INPUT dan pada kwadran II berupa STAKES, dapat dijadikan acuan dalam pengambilan tindakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di masa yang akan datang. Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor tersebutsebagai alternatif penyusunan skenario pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal, seperti disajikan pada Tabel 10. Tabel 10
Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.
Faktor
1A
Keadaan 1B
1C
2A
2B
2C
3A
3B
3C
nA
nB
nC
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor n
52
Berdasarkan Tabel 10 di atas, maka dibangun skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Selanjutnya disusun tiga skenario yang mungkin terjadi di masa depan seperti terlihat pada Tabe 11. Tabel 11 Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng No. Skenario Urutan faktor 1.
Konservatif-pesimistik
1A-2A-3A-4A
2.
Moderat-optimistik
1B-2B-3B-4B
3.
Progresif-optimistik
1C-2C-3C-4C
3.4.5 Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut Análisis keberlanjutan usaha rumput laut dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut RAP-RL yang merupakan pengembangan dari metode RAPFISH yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot 2001; Kavanagh and Pitcher 2004). Analisis keberlanjutan dinyatakan dalam indeks keberlanjutan budidaya rumput laut (ikb-RL). Analisis dilakukan melalui tiga tahapan: 1). Penentuan atribut usaha rumput laut yang mencakup lima dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan; Pada setiap dimensi dipilih beberapa atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi memang sangat banyak tetapi untuk memudahkan analisis selanjutnya maka dipilih yang benar-benar secara kuat mewakili dimensi yang bersangkutan, tidak tumpang tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya. Adapun atribut-atribut dari setiap dimensi yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan usaha rumput laut adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Charles, 2001) : (1) Dimensi Ekologi: • •
Kualitas lingkungan Mutu bibit, dan pertumbuhan RL
53
•
Luasan areal yang sesuai
(2) Dimensi Ekonomi: • • •
Keuntungan Pendapatan petani rumput laut Sistem permintaan Pasar (domestik dan ekspor),
(3) Dimensi Sosial budaya: • • • •
Kualitas SDM (tingkat pendidikan) Penyerapan tenaga kerja, Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya,,jumlah RT petani rumput laut,) Alternatif usaha selain menanam rumput laut,
(4) Dimensi Teknologi: • Tingkat penguasaan teknologi budidaya RL • Ketersediaan informasi RL • Ketersediaan industri pengolahan hasil RL • Standarisasi mutu produk RL • Dukungan sarana dan prasarana (5) Dimensi Kelembagaan: • • • • •
Lembaga ekonomi/sosial yang ada, Adanya kelompok petani rumput laut Ketersediaan Perda/aturan adat/ kepercayaan/agama Adanya tokoh masyarakat yang disegani Zonasi peruntukan lahan/perairan
2). Penilaian setiap atribut dalam skala ordinasi berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; berdasarkan pengamatan di lapangan ataupun data sekunder yang tersedia, yang sesuai dengan scientific judgment dari pembuat skor, maka setiap atribut diberikan skor yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi usaha rumput laut tersebut. Rentang skor berkisar antara 0-3 atau tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang dimulai dari nilai buruk (0) sampai baik (3). Nilai ”buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya nilai ”baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan bagi keberlanjutan pembangunan. Diantara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara, tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut akan sangat ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menetukan jumlah peringkat.
54
Tabel 12 Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan Atibut Kualitas lingkungan:
- Kecepatan arus
- Salinitas (ppt)
Skor Baik Buruk Keterangan Dimensi Ekologi (bobot: 5) Mengacu pada Puslitbangkan, 1991. (0)tidak sesuai (< 20 m/dtk, atau >40 m/dtk) 0; 1; 2 2 0 (1) sesuai (20-40 m/dtk) 0; 1; 2
(0) tidak sesuai (<26; >35); (1) cukup sesuai (25-<28; >34-35); (2) sesuai (28-34)
2
0
- Kedalaman air pada 0; 1 saat surut (m)
2
0
(0) tidak sesuai (<1; >30); (1)cukup sesuai (1-<2; >10<30); (2) sesuai (2-10)
- Substrat Dasar
0; 1; 2
0
2
(0) lumpur; (1) pasir sedikit berlumpur (2) pasir, pecahan karang, karang, lamun.
- Kecerahan (m)
0; 1; 2
2
0
0) tidak sesuai (<0.60); (1) cukup sesuai (0.60- <0.80); (2) sesuai (0.80-0.10)
- keterlindungan
0; 1
1
0
0) tidak terlindung; (1) terlindung (Puslitbankan, 1991)
Mutu bibit
0; 1; 2
2
0
(0) jelek ; (1) sedang ; (2) baik
ketersediaan bibit
0; 1; 2; 3 3
0
(0) tidak tersedia; (1) jarang tersedia; (2) sering tersedia ; (3) selalu tersedia Pertumbuhan RL 0; 1; 2 2 0 (0) jelek ; (1) sedang ; (2) baik Luasan areal yang 0; 1; 2; 3 3 0 (0)<25%; (1) 26%-%50%; sesuai untuk RL (2) 51%-75%; (3) >76% Dimensi Ekonomi (bobot: 3,5) Kelayakan usaha 0; 1; 2 2 0 Mengacu pada..... (0) tidak layak Net B/C=<1 (1) impas; (2) untung Kontribusi terhadap 0; 1 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) pendapatan asli daerah tinggi Pemasaran 0; 1; 2 2 0 (0) lokal; (1) nasional; (2) internasional (RAPFISH)
55
Atibut Skor Baik Buruk Keterangan Rantai pemasaran 0; 1; 2 2 0 (0) tidak efisien; (1)cukup rumput laut efisien; (2) sangat efisien Dimensi Sosial (bobot: 3,5) Kualitas SDM: (0) tidak tamat SD; (1) tamat 0; 1; 2; 3 3 0 SD-SMP; (2) tamat SMA; (3) - Tingkat pendidikan S0-S1 jumlah rumah tangga 0; 1; 2 2 0 (0) <1/3; (1) 1/3-2/3; (2) >2/3; petani rumput laut dari total rumah tangga komunitasnya (RAPFISH) Sistem sosial dalam 0; 1; 2 2 0 (0) individual, (1) melibatkan pengelolaan budidaya keluarga; (2) kelompok rumput laut: kemandirian petani,
0; 1; 2
2
0
Partisipasi keluarga 0;1; 2 dalam usaha rumput laut
2
0
(0) sangat tergantung; (1) sedang; (2) mandiri
(0) tidak berpartisipasi; (1) sebagian berpartisipasi; (2) semua berpartisipasi (0) individual; (1) kerjasama Sosialisasi pekerjaan 0; 1; 2 2 0 keluarga; (2) kerjasama kelompok Alternatif usaha selain (0) tidak ada; (1) sedikit; (2) menanam rumput laut, 0; 1; 2; 3 3 0 sedang; (3) banyak; (RAPFISH) Pemberdayaan 0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) sedikit;(2) masyarakat tinggi Dimensi Kelembagaan (bobot: 1) Ada tidaknya 0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada kelompok tani Zonasi peruntukan 0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; lahan/perairan (1) ada tapi tidak lengkap (2) baik/lengkap (RAPFISH) Ketersediaan Perda 0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi tidak lengkap (2) baik/lengkap (RAPFISH) Ketersediaan aturan 0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi adat dan tidak lengkap; (2) agama/kepercayaan baik/lengkap (RAPFISH) Adanya tokoh panutan 0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada yang disegani Ada tidaknya lembaga 0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada keuangan/lembaga sosial (Diadaptasi dari Sulistijo (1996); Aslan (1998); Chales, AT (2001) dan Susilo, 2003).
56
3). Penyusunan indeks dan status keberlanjutan usaha rumput laut. Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan usaha rumput laut yang dikaji relatif terhadap titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilhat pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut Status Keberlanjutan Nilai Indeks
Kategori
<50 50 – 75 >75 Budiharsono (2002)
Melalui
metode
buruk baik Sangat baik
MDS,
maka
posisi
titik
keberlanjutan
dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan ≥50% maka sistem dikatakan berkelanjutan dan jika nilai indeks ≤50% berarti tidak berkelanjutan. Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 13, di bawah ini.
0% (buruk)
50%
100%(baik)
Gambar 13 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut Nilai indeks keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layanglayang (kite diagram) seperti pada gambar 14.
57
Gambar 14 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Análisis sensivitas dapat memperlihatkan atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan usaha rumput laut dengan melihat perubahan bentuk root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu x. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan usaha rumput laut. Dalam análisis tersebut akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena pemahaman terhadap atribut atau kondisi lapangan yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian peneliti, proses análisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan tingginya nilai stres (nilai stres dapat diterima jika nilainya <25% (Kavangh 2001; Fauzi dan Anna 2002). Untuk menganalisis nilai galat pada pendugaan nilai ordinasi optimasi pemanfaatan sumberdaya rumput laut digunakan análisis Monte Carlo.
IV. KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG 4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) 4.1.1 Administrasi Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak ± 120 km arah selatan Kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dengan posisi 50 21’13” – 5o 35’ 26” lintang selatan dan 119o 51’ 42” – 120o 05’ 27”bujur timur. Wilayah administratifnya di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Bulukumba, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto. Luas wilayahnya 539.3 km2, terdiri atas daratan seluas 395.83 km2 dan lautan seluas 144 km2 yang terbagi dalam 8 kecamatan, 111 Desa dan 42 kelurahan (Tabel 14). Tiga kecamatan diantaranya terletak di wilayah pesisir, yaitu Kecamatan Bissapu, Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Pa’jukukang dengan panjang garis pantai ± 21.5 km. Dalam penelitian ini wilayah yang menjadi kajian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan panjang garis pantai 10,6 km. Tabel 14 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Luas wilayah daratan dan pembagian wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007 Kecamatan Luas (km2) Jumlah Desa/Kelurahan Bissapu 32.84 11 Bantaeng 28.85 9 Tompobulu 76.99 10 Uluere 67.29 6 Pajjukukang 48.90 10 Ere Merasa 45.01 9 Sinoa 43.00 6 Gantarang Keke 52.95 6 Jumlah 395.83 78
Sumber : BPS 2008. Secara administratif Kecamatan Bantaeng beribu kota di Kelurahan Pallantikang. Kecamatan Bantaeng memiliki batas sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Eremerasa’, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Eremerasa’ dengan Kecamatan Pa’jukukang, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bissapu. Sedangkan
Kecamatan Bissapu batas wilayah administrasinya adalah sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Uluere’, sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Bissapu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bantaeng dan Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Uluere’ dan Kabupaten Jeneponto (BPS Kecamatan 2008).
4.1.2
Topografi Kondisi topografi Kabupaten Bantaeng terdiri atas pegunungan, lembah,
daratan dan pesisir pantai. Ketinggian wilayahnya antara 0 – 1 000 m di atas permukaan laut, mulai dari tepi laut Flores sampai ke pegunungan sekitar Gunung Lompobattang. Wilayah pesisir dengan ketinggian 0 -25 m di atas permukaan laut, berada pada areal bagian selatan dengan luas sekitar 10.3 %, ketinggian 26-99 m sekitar 19.5%, ketinggian 100-500 m sekitar 29.6 % dan ketinggian di atas 500 seluas 40.6 % dari luas daratan Kabupaten Bantaeng. Wilayah dengan kelerengan 0-2 % hanya seluas 14.9 %, kelerengan 2–15 % seluas 42.64 %, kelerengan 15-40 % 20.77 % sedangkan wilayah yang berlereng di atas 40%, tidak diusahakan, seluas 21.69 % dari wilayah Kabupaten Bantaeng. Wilayah Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, masing-masing dialiri 6 dan 4 sungai. Sungai yang mengalir di Kecamatan Bantaeng adalah sungai Kassi-Kassi, Kayu Loe, Kariu, Calindu, Bialo dan Sungai Bolong Sikuyu, sedangkan sungai yang mengalir di Kecamatan Bissapu adalah Sungai Tino, Cabodo, Batu Rinring dan Sungai Lamosa.
4.1.3
Iklim Iklim dipengaruhi oleh musim. Secara umum pergantian musim di
Kabupaten Bantaeng berlangsung dua kali, yaitu musim barat pada bulan Oktober-Maret dan musim timur pada bulan April-September. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 71.8 mm/bulan dan jumlah hari hujan berkisar 64 hari pada tahun 2007. Berdasarkan pencatatan Subdin Pengairan Dinas PU Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Bantaeng pada tahun 2007, khusus untuk Kecamatan Bantaeng curah hujan sekitar 770 mm dengan rataan 10.40 mm/bulan, jumlah hari hujan 74 hari dan puncak curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Di Kecamatan Bissapu jumlah curah
hujan adalah 414 mm dengan jumlah hari hujan 107. Jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari dan Desember tetapi curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret. Rincian jumlah curah hujan di Kabupaten Bantaeng tahun 2002-2007 memperlihatkan pada tahun 2002 curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan curah hujan tahun yang lain (Lampiran 2). Diantara data curah hujan selama enam tahun, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2005. Curah hujan pada tahun 2005 berpuluh kali lipat tingginya dibandingkan dengan curah hujan tiga tahun sebelumnya maupun curah hujan dua tahun setelahnya. Curah hujan tertinggi cenderung terjadi pada Januari, Februari dan Desember. Curah hujan rendah cenderung terjadi pada Agustus, September, Oktober dan November, bahkan pada September tahun 2002, 2006 dan 2007 tidak ada curah hujan sama sekali (Gambar 15). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan dengan musim, yang ditunjukkan curah hujan rendah terjadi pada bulan musim timur/kemarau. Pada bulan yang cenderung curah hujan rendah tersebut merupakan musim timur/kemarau.
Gambar 15
Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng.
Selain curah hujan, jumlah hari hujan setiap bulan juga berpengaruh terhadap kondisi perairan. Rincian hari hujan dalam enam tahun terakhir (Lampiran 2), jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 2005, jauh lebih tinggi dari pada tahun-tahun yang lainnya. Frekuensi hari hujan umumnya tinggi pada bulan
Januari, Februari dan Desember dan cenderung rendah pada bulan Agustus, September, Oktober dan November (Gambar 16). Apabila dicermati, terdapat kesamaan antara jumlah curah hujan dengan jumlah hari hujan, yakni bulan dengan curah hujan cenderung tinggi/rendah maka jumlah hari hujan juga demikian. Fenomena ini terjadi tiap tahun. Akan tetapi tetap ada pergeseran waktu puncak tertinggi curah hujan dan jumlah hari hujan tiap tahun. Informasi tentang jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan pergeseran waktu curah hujan tertinggi yang merupakan prediksi dari hasil analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) wajib disampaikan pemerintah kepada nelayan rumput laut agar mereka bisa mengantisipasi kondisi tersebut.
Gambar 16 Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng. Data curah hujan yang akurat, penting dan sangat dibutuhkan oleh nelayan rumput laut untuk menentukan jadwal tanam. Curah hujan terkait erat dengan salinitas perairan, khususnya di perairan Bantaeng yang menjadi muara banyak sungai. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan salinitas perairan turun ke level yang tidak sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Apabila nelayan menanam pada bulan yang curah hujannya relatif tinggi maka produksinya akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan menanam pada bulan yang curah hujannya lebih rendah. Selain itu, musim hujan menyebabkan peningkatan dinamika laut yang ditunjukkan oleh arus kuat dan gelombang tinggi yang dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Nelayan rumput laut akan menyesuaikan
jadwal tanam dengan kondisi alam sehingga tidak akan mengalami kegagalan dalam kegiatan budidaya rumput laut. 4.1.4 Kondisi Oseanografi Kondisi oseanografi merupakan salah satu faktor yang menjadi persyaratan untuk keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut. Kondisi oseanografi, dalam hal ini gelombang dan arus, terkait dengan konstruksi unit budidaya dan pertumbuhan rumput laut. Arus dan gelombang merupakan bentuk pergerakan air di laut. Namun dibandingkan dengan gelombang, pergerakan air yang disebabkan oleh arus dianggap lebih baik karena arus lebih dapat diprediksi arah dan kekuatannya dan tidak terlalu merusak (Nugroho et al. 1986). Pertumbuhan rumput laut yang baik membutuhkan kecepatan arus dan gelombang tertentu. 4.1.4.1 Gelombang Ketinggian gelombang yang diperoleh dari hasil pengukuran pada Musim Timur berkisar antara 0.05 m sampai 0.45 m (Gambar 17). Pengukuran ini dilakukan pada musim timur. Sedangkan pada musim barat gelombang bisa mencapai ketinggian 1.5-2 meter yang berarti 3-4 kali lebih tinggi dari pada musim timur. Tingginya gelombang ini disebabkan wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng posisinya terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya penghalang. Sehingga gelombang yang berasal dari arah laut dalam (Laut Flores) akan berpengaruh pada kondisi perairan pantai. Kondisi ini menyebabkan ketinggian gelombang meningkat pada musim barat. Gelombang yang ketinggiannya melebihi dari persyaratan tumbuh rumput laut bisa merusak budidaya rumput laut dan konstruksi unit budidaya. Budidaya rumput laut membutuhkan gelombang dalam batas ketinggian tertentu. Tinggi gelombang yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah 0.200.30 m sangat sesuai; 0.10 m-<0.20 m; >0.30 m-≤0.40 m sesuai dan tidak sesuai adalah 0,10 m->0.40 m (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Aslan 1998; Efendi 2004; FAO 2008). Di lapangan ditemukan hal yang agak berbeda dengan referensi di atas. Pada lokasi yang tinggi gelombangnya melebihi 0.40, pertumbuhan rumput laut justru lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Doty 1971 dalam Sulistijo 2002 bahwa semakin cepat pergerakan air semakin
cepat pertumbuhan rumput laut. Pergerakan air dalam bentuk gelombang dan arus, merupakan faktor yang penting dalam mempegaruhi pertumbuhan rumput laut sebab gelombang dan arus memegang peranan penting dalam transportasi unsur hara, menghidari adanya fluktuasi temperatur, pH, salinitas, oksigen terlarut dan lain-lain.
Gambar 17 Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. 4.1.4.2 Arus Kecepatan arus yang terjadi di perairan Bantaeng pada musim timur berkisar antara 0.104-0.566 m/detik. Dinamika kecepatan arus berbeda sesuai dengan lokasi titik sampling. Semakin jauh lokasinya ke arah laut semakin tinggi kecepatan arus dan sebaliknya semakin mendekati pantai semakin berkurang kecepatannya. Hal ini terjadi karena pengaruh jarak tempuh arus ke pantai dan teredam oleh hamparan budidaya rumput laut (Gambar 18). Rumput laut memerlukan kecepatan arus tertentu untuk pertumbuhannya. Menurut Sulistijo 1997, kecepatan arus antara 0.20-0.30 m/detik adalah sangat sesuai, sedangkan 0.30-0.40 m/detik adalah kategori sesuai. Arus yang terlalu cepat akan mematahkan rumput laut dan merusak bentangan sedangkan arus yang sangat lambat bisa menyebabkan rumput laut kekurangan nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan akan menyebabkan kotoran dan organisme pengganggu (hama) gampang menempel. Organisme pengganggu atau hama bisa memakan rumput laut atau bersaing dalam penggunaan nutrien sedangkan kotoran yang
menempel akan menyebabkan proses fotosintesa tidak maksimal karena menghalangi penetrasi cahaya matahari sampai ke thallus. Namun yang ditemukan di lapangan, pada kecepatan arus sekitar 0.57 m/detik pun pertumbuhan rumput laut masih bagus dengan unit budidaya yang juga tetap stabil. Hasil penelitian Mansyur (2010) juga menemukan laju pertumbuhan harian tertinggi rumput laut adalah pada bagian terjauh dari pulau yang berarti lebih tinggi terpapar arus yang kecepatannya lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap nelayan rumput laut di wilayah kajian. Menurut para nelayan rumput laut, pada musim timur pertumbuhan rumput laut yang berada pada unit budidaya di bagian luar arah ke laut, lebih bagus pertumbuhannya bila dibandingkan dengan rumput laut yang ditanam di pinggir pantai karena yang terdapat pada bagian luar selalu bergerak terkena arus dan gelombang. Temuan ini sesuai dengan pendapat Doty 1971 dalam Sulistijo 2002, bahwa semakin besar pergerakan air akan semakin cepat pertumbuhan rumput laut, karena proses difusi makin banyak sehingga proses metabolisme bertambah cepat. Difusi yang dimaksud adalah masuknya nutrien ke dalam sel tanaman dan keluarnya hasil metabolisme.
Gambar 18 Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
4.1.5 Parameter Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu penentu utama keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut, selain kondisi oseanografis. Kualitas air juga akan menetukan daya dukung perairan terhadap kegiatan budidaya rumput laut. Kualitas air yang rendah akan menyebabkan daya dukung perairan juga rendah. Pada lokasi penelitian dari hasil pengukuran, didapatkan hasil sebagai berikut:
4.1.5.1 Kecerahan Perairan Kondisi kecerahan daerah penelitian tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara 0.2-2.98 m. tingkat kecerahan perairan semakin jauh ke arah laut semakin tinggi. Di beberapa titik sampling terdapat kekeruhan terutama pada daerah yang lebih dekat dengan pantai, hal ini dapat terlihat pada kondisi kecerahan yang paling rendah yaitu hanya 0.2 m (Gambar 19). Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, selain absorpsi cahaya itu sendiri oleh air (Nybakken 1988). Kecerahan tidak berdampak langsung pada pertumbuhan rumput laut akan tetapi secara tidak langsung melalui penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya ke dalam perairan yang menyebabkan proses foto sintesis semakin tinggi jika semakin tinggi tingkat kecerahannya semakin efektif untuk pertumbuhan rumput laut. Tingkat kecerahan di kelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni sangat sesuai 0.80-1.00 meter, sesuai bersyarat 0.60-0.80 meter dan tidak sesuai jika kecerahan sudah di bawah 0.60 meter. (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Efendi 2004; FAO 2008).
Gambar 19 Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
4.1.5.2 Salinitas. Hasil pengukuran di lapangan diperoleh data salinitas yang berkisar antara 26.7-30.6 ‰. Salinitas rendah terdapat pada daerah sekitar muara sungai dan semakin ke tengah perairan salinitas semakin tinggi walaupun perbedaannya relatif kecil (Gambar 20). Salinitas pada wilayah perairan Kabupaten Bantaeng penting untuk diperhatikan perubahannya pada musim hujan karena banyaknya aliran sungai yang bermuara pada perairan tersebut. Sepanjang 21 km garis pantai terdapat 11 muara sungai dan khusus untuk wilayah kajian, pada dua kecamatan tersebut mengalir 10 sungai sehingga pada musim hujan salinitas bisa turun sangat rendah khususnya pada muara sungai dan bagian permukaan perairan. Salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut. Apabila salinitas rendah, jauh di bawah batas toleransinya maka rumput laut akan berwarna pucat, gampang patah dan lunak akhirnya membusuk. Rumput laut jenis K.alvarezii membutuhkan kisaran salinitas untuk pertumbuhan maksimal 2934‰. (doty 1987), 28-35‰ (Ditjenkan Budidaya 2005), 30-37‰ (Kadi dan Atmadja 1988, Sulistijo 1997).
Gambar 20 Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
4.1.5.3 Suhu Suhu perairan Kabupaten Bantaeng berkisar antara 29.5–32.7 °C. Perbedaan suhu diantara titik sampling tidak berbeda jauh, hanya sekitar 2.2 °C, suhu tertinggi terdapat pada daerah sekitar pantai (Gambar 21). Suhu secara tidak langsung berhubungan dengan kedalaman. Makin dangkal perairan maka cenderung semakin cepat terjadi perubahan suhu sebab dengan sumber panas yang sama besarnya, perairan dangkal yang memiliki volume air yang lebih kecil akan lebih cepat panas. Fenomena ini juga terjadi di perairan Bantaeng dimana perairan di dekat pantai yang lebih dangkal memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Nontji (1987), menyebutkan bahwa suhu air di perairan nusantara berkisar antara 28–38 °C dan suhu di dekat pantai lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di laut lepas. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme organisme. Setiap organisme memiliki suhu optimal yang berbeda untuk pertumbuhannya. Menurut Yulianda et al, (2001) untuk rumput laut jenis K.alvarezii kisaran suhu air laut antara 27-30 ºC, sesuai dengan pendapat Kadi dan Atmadja (1988), bahwa rumput laut, khususnya K.alvarezii tumbuh dengan baik pada suhu 27-30 °C. Jadi secara
umum suhu perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng berada dalam kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut.
Gambar 21 Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
4.1.5.4 Derajat Keasaman (pH) Hasil pengukuran pH di perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, berkisar antara 6.82-8.14. Pada daerah sekitar muara sungai pHnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (Gambar 22). Temuan ini menarik karena umumnya daerah muara sungai mempunyai pH lebih rendah akibat penguraian bahan organik yang biasanya menumpuk pada dasar muara sungai. Hal ini berarti bahwa pada daerah muara sungai tidak terjadi penumpukan dan penguraian bahan organik yang bersifat masam. Kemungkinan hal ini terjadi karena wilayah kajian adalah perairan terbuka yang mempunyai waktu pembilasan (flushing time) relatif cepat sehingga bahan organik tidak sempat menumpuk pada muara sungai sudah mengalami pembilasan. Data substrat dasar juga menunjang penjelasan ini sebab pada muara sungai di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, substrat dasar umumnya berupa karang, pecahan karang dan pasir bukan lumpur (bahan organik). Setiap organisme membutuhkan kondisi pH tertentu untuk kelangsungan hidupnya, kondisi yang sama juga terjadi pada rumput laut jenis K.alvarezii. Untuk pertumbuhan yang optimal, rumput laut K.alvarezii membutuhkan pH
antara 7-9 dengan kisaran optimum 7.3-8.2 (Zatnika dan Angkasa 1994). Sehingga sebaiknya perairan budidaya mempunyai pH antara 7.8-8.2 (Indriani dan Sumiarsih 1999).
Gambar 22 Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
4.1.5.5 Substrat Dasar Substrat dasar perairan Bantaeng umumnya terdiri dari karang, pecahan karang dan pasir. Hanya sebagian kecil yang berupa lumpur. Hal yang menarik dari hasil pengamatan dan analisis laboratorium adalah substrat dasar pada bagian muara sungai bukan berupa lumpur seperti umummnya muara sungai akan tetapi terdiri atas karang, pecahan karang dan pasir (Gambar 23). Substrat dasar berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat yang berupa lumpur apabila kedalamannya rendah gampang teraduk oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan kekeruhan. Selanjutnya kekeruhan bisa menghambat penetrasi cahaya matahari yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan. Karena itu untuk pertumbuhan rumput laut yang baik bagi lokasi budidaya yang tidak terlalu dalam, disyaratkan substrat dasarnya berupa karang, pecahan karang, pasir atau campuran ke tiganya. Sementara untuk lokasi budidaya yang mempunyai kedalaman tinggi, substrat dasar tidak terlalu berpengaruh atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali karena relatif stabil dari pengaruh pengadukan oleh gelombang maupun arus laut.
Gambar 23 Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. 4.1.5.6 Kedalaman. Hasil pengukuran kedalaman perairan pada kawasan budidaya rumput laut di lokasi penelitian didapatkan kedalaman dari 1-21 m. Kedalaman tertinggi cenderung berada pada perairan sebelah Barat kawasan dan perairan yang dangkal berada pada bagian Timur arah ke pantai (Gambar 24). Kedalaman berhubungan dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut. Dengan penggunaan metode long line pertambahan kedalaman perairan tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan rumput laut, karena tanaman rumput laut tetap berada disekitar permukaan bagaimanapun dalamnya perairan tersebut, berbeda apabila menggunakan metode lepas dasar. Pada perairan yang dalam, pertumbuhannya malahan lebih baik sebab airnya jernih sehingga penetrasi sinar matahari ke dalam perairan yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut untuk proses fotosintesa tidak terhalang. Namun dari aspek ekonomi, tidak terlalu ideal karena membutuhkan biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi. Setiap metode budidaya rumput laut membutuhkan persyaratan kedalaman yang berbeda. Metode lepas dasar membutuhkan kedalaman 0.3 – 0.6 m, metode rakit 0.6-2 m dan metode long line 2-10 m (Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI 2002). Sedangkan menurut Yulianda et al, (2001) kedalaman perairan untuk jenis
K.alvarezii yaitu kedalaman air pada waktu surut terendah 50-100 cm, dan tidak
lebih dari 200-300 cm pada waktu pasang.
Gambar 24 Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng Pada metode long line, kedalaman perairan di kawasan budidaya tersebut merupakan kisaran kedalaman yang masih sesuai untuk budidaya rumput laut dari dimensi ekobiologi. Namun dari aspek ekonomi kisaran kedalaman tersebut tidak terlalu ideal. Kedalaman yang tinggi tidak ekonomis karena membutuhkan biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi. Kebutuhan terhadap bahan konstruksi bentangan juga lebih banyak seperti tali, pelampung, dan pemberat. Dalam hal aksespun lebih sulit dan lebih jauh dari pantai sehingga membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih besar. Namun secara biologis tidak berpengaruh buruk pada pertumbuhan rumput laut. Kedalaman juga berhubungan dengan kecerahan. Pada perairan yang dangkal besar kemungkinan terjadi pengadukan sampai ke dasar oleh gelombang dan arus, sehingga bisa menyebabkan kekeruhan apabila dasar perairan berupa lumpur. Kekeruhan yang terjadi menghambat menetrasi matahari ke dalaam perairan sehingga bisa mengganggu proses fotosintesa pada rumput laut. Hal ini sesuai dengan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara bahwa semakin keluar lokasi unit budidaya yang berarti semakin dalam perairannya maka
semakin baik pertumbuhan rumput laut, dengan syarat budidaya dilakukan pada musim Timur. 4.1.5.7 Keterlindungan Wilayah pesisir Bantaeng merupakan daerah terbuka yang berhadapan langsung dengan laut Flores tanpa ada penghalang seperti pulau atau gusung. Jika hanya dilihat dari aspek ini, kawasan tersebut tidak ideal untuk budidaya rumput laut. Karena pada musim Barat areal budidaya rumput laut tidak terlindung sama sekali dari hempasan gelombang dan arus yang kuat. Pada hal menurut Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Aslam 1998; Efendi 2004; FAO 2008, salah satu persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah harus terlindung dari hempasan gelombang atau arus yang kuat. Sehingga umumnya lokasi budidaya rumput laut berada pada teluk atau perairan yang dihadapannya terdapat pulau kecil atau gusung. Kondisi perairan wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng yang terbuka ternyata tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini merupakan pertanda bahwa kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan tetap menguntungkan. Namun nelayan rumput memang tidak bisa melakukan budidaya rumput laut sepanjang tahun, mereka harus menyesuaikan jadwal tanamnya dengan kondisi alam yang memenuhi persyaratan tumbuh rumput laut. Yakni pada musim Timur dan musim transisi pada saat dimana kondisi kecepatan arus dan gelombang memuungkinkan untuk budidaya rumput laut. Data pengukuran oseanografi dan kualitas air secara lengkap terdapat pada Lampiran 4.
4.2 Aspek Sosial-Budaya 4.2.1 Penduduk Penduduk merupakan faktor produksi dalam memanfaatkan potensi sumberdaya perairan. Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng pada tahun 2007 tercatat sebanyak 173 308 jiwa. Penduduk perempuan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki, yakni 89 165 jiwa perempuan dan penduduk laki-laki 84 143 jiwa (BPS 2008) (Gambar 25). Berdasarkan catatan kependudukan Kecamatan Bantaeng dalam Angka 2008, bahwa jumlah penduduk Kecamatan Bantaeng sekitar 33 694 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 16 314 jiwa dan perempuan sebanyak 17 380 jiwa pada tahun 2007. Diantara jumlah penduduk tersebut terdapat penduduk usia kerja
sebanyak 22 331 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10 577 jiwa dan perempuan 11 754 jiwa. Penduduk Kecamatan Bissapu berjumlah 29 617 yang terdiri dari perempuan 15 302 jiwa dan laki-laki 14 315 jiwa dan diantaranya terdapat penduduk usia kerja sebanyak 21 652 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10 183 jiwa dan perempuan 11 469 jiwa. Mata pencaharian dari penduduk Kecamatan Bantaeng sebagian besar adalah nelayan rumput laut dan yang lainnya sebagai pedagang, tukang batu, buruh bangunan, pegawai negeri sipil dan penjual makanan, demikian juga dengan mata pencaharian penduduk Kecamatan Bissapu (BPS Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dalam Angka 2008).
Gambar 25 Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun 2003-2007. Rumah tangga perikanan (RTP) di Kabupaten Bantaeng pada tahun 2002 sekitar 1 630 yang terdiri atas 8 032 jiwa yang tersebar pada tiga kecamatan yaitu kecamatan Bissapu, kecamatan Bantaeng dan kecamatan Pajjukukang. Diantara RTP tersebut, sebagian besar yaitu 1 448 (89 %) merupakan RTP penangkapan (nelayan tangkap) dan sisanya, yakni 160 orang (11 %) adalah RTP nelayan rumput laut. Enam tahun kemudian, yakni pada tahun 2008, RTP nelayan rumput laut telah meningkat lebih dari 1 500 % menjadi 2.458 RTP (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009). Konsekwensi dari semakin meningkatnya jumlah RTP nelayan rumput laut adalah bertambahnya luasan kawasan budidaya rumput laut. Apabila pertambahannya tidak terkendali dan tidak dikelola dengan
baik maka akan berdampak buruk terhadap kualitas kawasan budidaya yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kegiatan budidaya rumput laut. 4.2.2 Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu penentu dari kualitas sumberdaya nelayan rumput laut. Pendidikan formal maupun nonformal merupakan modal dasar bagi nelayan rumput laut untuk dapat mengakses informasi melalui berbagai media sehingga memudahkan mereka menyerap suatu perubahan atau inovasi yang berhubungan dengan perilaku. Kemampuan dan keterampilan untuk berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sangat ditentukan oleh faktor pendidikan
yang
dimiliki.
Pendidikan
merupakan
proses
pengetahuan,
keterampilan maupun sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga diperoleh perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Slamet (2003), mendefinisikan pendidikan sebagai kegiatan untuk menghasilkan perubahanperubahan pada perilaku manusia. Kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Bantaeng, jika dilihat dari tingkat pendidikan masih tergolong rendah. Penduduk usia 10 ke atas yang tidak sekolah atau belum pernah sekolah persentasenya cukup tinggi, yakni 19.43%, Sekolah Dasar 8.36 %, Sekolah Menengah Pertama 4.77 %, Sekolah Menengah Atas 3.14%, Perguruan Tinggi 1.19% dan tidak bersekolah lagi 63.10% (Gambar 26).
Gambar 26 Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di Kabupaten Bantaeng.
Jika diasumsikan bahwa penduduk yang tidak sekolah atau belum pernah sekolah tidak bisa baca tulis latin berarti angka tingkat buta huruf di Kabupaten Bantaeng cukup tinggi, minimal 19.43%. Penduduk yang tidak sekolah/belum pernah sekolah itu lebih dari 50% adalah perempuan, yakni 15 849 perempuan dan 10 922 adalah laki-laki. Selain angka yang tidak/belum pernah sekolah cukup tinggi, angka tidak bersekolah lagi (drop out) pun sangat tinggi, yakni mencapai 63.10%. Angka drop out ini tidak dirinci pada jenjang pendidikan apa yang paling tinggi, apakah drop out pada jenjang SD, SMP, atau pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jumlah perempuan juga lebih besar yang drop out dibandingkan dengan laki-laki. Namun yang cukup menggembirakan pada level perguruan tinggi, jumlah perempuan jauh lebih tinggi (954 jiwa) dibandingkan dengan lakilaki (694 jiwa) (Tabel 15). Dengan pendidikan yang lebih tinggi maka kesempatan perempuan berkiprah pada rana publik akan lebih terbuka pada masa yang akan datang. Tabel 15 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan Tidak/blm pernah sekolah SD/MI SLTP SMU/SMK Perguruan Tinggi Tidak bersekolah lagi Jumlah Sumber data: BPS 2008
Laki 10 922 5 775 2 736 2 054 694 42 145 64 326
Perempuan 15 849 5 736 3 840 2 271 954 44 778 73 428
∑ (Orang) 26 771 11 511 6 576 4 325 1 648 86 923 137 754
Angka buta huruf atau tidak dapat membaca usia 10 tahun ke atas ternyata lebih besar, yakni 29 920 orang dari pada penduduk yang tidak/belum pernah sekolah yakni 26 771 orang. Selisih ke dua angka tersebut, yakni 3 149 orang, bisa berarti bahwa penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak bersekolah lagi (drop out) tidak punya kemampuan baca/tulis (buta huruf). Hal ini merupakan angka buta huruf yang cukup tinggi, dan sekali lagi jumlah penduduk buta huruf lebih banyak perempuan yakni 17 654 orang dan laki-laki hanya berjumlah 12 266 orang (Tabel 16).
Tabel 16 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007 Kemapuan baca/tulis Laki-laki Perempuan Jumlah Huruf latin 512 453 55 293 106 746 Huruf lainnya Tidak dapat Jumlah
607
481
1 088
12 266
17 654
29 920
64 326
73 428
137 754
Sumber : BPS 2008. Secara khusus, pendidikan dasar nelayan rumput laut lebih rendah dibandingkan tingkat pendidikan masyarakat Bantaeng secara umum yakni: tidak pernah sekolah-Sekolah Dasar (SD) 76.1%, Sekolah Menengah Pertama 6.52%, Sekolah Menengah Atas 13.04% dan Dipl-S1 4.35% (Tabel 17). Hal ini sesuai dengan hasil survey Bina Mitra (2004) yang mendapatkan, tingkat pendidikan kepala keluarga nelayan rumput laut rata-rata tidak lulus Sekolah Dasar-lulus Sekolah Dasar (57%), lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (33%), lulus Sekolah Lanjutan Atas 10%.
Tabel 17 Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009 Jenis kelamin Jumlah Tingkat pendidikan Laki-laki perempuan orang % Tidak pernah sekolah-SD 33 2 35 76.10 SMP 3 3 6.52 SMA 6 6 13.04 Dipl-S1 2 2 4.35 Total 44 2 46 100 Sumber data: Hasil wawancara responden nelayan rumput laut Kabupaten Bantaeng 2009. Tingkat
pendidikan
masyarakat
selain
sebagai
penentu
kualitas
sumberdaya manusia, juga merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin kecil angka buta huruf dan semakin besar angka partisipasi sekolah masyarakat serta semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan yang ditempuh. Dalam rangka meningkatkan partisipasi sekolah masyarakat maka pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, baik untuk pendidikan formal maupun non formal. Di Kabupaten
Bantaeng terdapat TK 39 buah, SD Negeri dan Swasta 143, SD Luar Biasa 1, SLTP 61, SLTP Terbuka dan SLTA 38 yang ditunjang oleh Laboratorium dan Perpustakaan. 4.2.3 Kesehatan Aspek kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin tinggi derajat kesehatannya. Masyarakat yang sudah sejahtera berarti kebutuhan primernya sudah terpenuhi, termasuk aspek kesehatan. Kalaupun mereka sakit, mereka punya kemampuan pendanaan untuk berobat. Pembangunan bidang kesehatan di Kabupaten Bantaeng diarahkan agar pelayanan kesehatan meningkat lebih luas, lebih merata dan lebih terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih tinggi. Dan pada akhirnya setiap orang bisa hidup lebih produktif secara sosial maupun secara ekonomis. Penyediaan sarana pelayanan kesehatan berupa rumah sakit puskesmas dan tenaga kesehatan semakin ditingkatkan sesuai dengan rencana pentahapannya. Demikian juga dengan penyediaan obat-obatan, alat kesehatan, pemberantasan penyakit menular dan peningkatan penyuluhan dibidang kesehatan. Sarana unit pelayanan kesehatan yang tersedia sudah cukup memadai, dan lokasinya sudah menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Bantaeng ( Lampiran 5). Demikian juga dengan berbagai jenis tenaga dalam lingkup kesehatan. Dilihat dari jumlah dan jenisnya sudah cukup lengkap sesuai dengan kelas unit pelayanan yang tersedia (Lampiran 6). Selain itu. juga terdapat terdapat aspek penunjang di bidang kesehatan yakni apotek 5 buah dan toko obat 18 buah. Baik personil lingkup kesehatan maupun unit pelayanannya cukup memadai dan akses ke lokasinya terjangkau oleh transportasi umum. 4.2.4 Kelembagaan Cooley dalam Soemardjan dan Soemardi (1964) mendefinisikan lembaga sebagai Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap. Menurut Kartodiharjo et al. (1999), kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup idiologi, hukum adat-istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan
oleh individu atau perorangan maupun organisasi. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur hubungan antara individu. Sesuai dengan rumusan tersebut di atas maka kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan modern berupa Perda maupun kelembagaan tradisional yang berupa aturan adat dan kehidupan sosial masyarakat. Kelembagaan yang berhubungan langsung dengan kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng berupa Peraturan Pemerintah (Perda) dan aturan lokal . Dalam bentuk Perda yakni Perda No. 5 Tahun 2004 tentang perizinan dan retribusi kegiatankegiatan di wilayah perairan Kabupaten Bantaeng. Perda ini belum secara spesifik mengatur tentang budidaya rumput laut,dalam hal zonasi, waktu menanam agar masyarakat tidak mengalami kerugian akibat musim yang tidak cocok untuk budidaya rumput laut, ataupun hal-hal yang bisa berkontribusi untuk mengembangkan dan memajukan kegiatan budidaya rumput laut. Perda tersebut hanya terbatas pada peraturan pemungutan retribusi saja. Setiap lahan kegiatan budidaya rumput laut seluas satu ha dikenakan retribusi Rp50 000/tahun. Aturan lokal yang ada dan disepakati oleh nelayan rumput laut hanya mengatur tentang ganti rugi. Nelayan rumput laut yang lahannya ataupun budidaya rumput lautnya rusak akibat kelalaian pihak lain, karena tertabrak perahu misalnya, akan diganti oleh orang yang menyebabkan kerusakan tersebut dengan nilai sesuai harga yang dirusak dan hasil kesepakatan. Lembaga (institusi) adalah sistem, norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan kebiasaan atau tata kelakuan yang berkisar pada suatu pokok manusia. (Horton dan Hunt 1991; Cohen 1992). Lembaga (institusi) lingkungan yang dikemukakan oleh Alikodra (2004) mencakup berbagai organisasi yang ada, seperti lembaga formal yang memiliki fungsi dan peranan dibidang lingkungan, LSM, norma dan nilai-nilai sosial, termasuk frame-work politik, program-program lingkungan, pola komunikasi dan gerakan-gerakan sosial. Ada beberapa macam lembaga yang berkaitan dengan kegiatan budidaya rumput laut antara lain, lembaga sosial, lembaga ekonomi dan lembaga penyuluhan. Lembaga sosial di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng yang berkaitan dengan kegiatan budidaya rumput laut adalah kelompok nelayan rumput laut.
Kelompok nelayan rumput laut terbentuk pertama kali pada tahun 1999 di kecamatan Bissapu dengan nama kelompok nelayan rumput laut Mattoanging. Namun kelompok nelayan rumput laut ini hanya aktif pada awal terbentuknya dan pada saat akan ada bantuan dari pemerintah. Selebihnya hanya tinggal nama saja. Kemudian pada tahun 2004, Mitra Bahari, salah satu LSM di Kabupaten Bantaeng membentuk kelompok nelayan rumput laut untuk mewadahi pemberdayaan masyarakat khususnya nelayan rumput laut yang difasilitasi oleh Bappenas dalam bentuk program pengembangan masyarakat pesisir dan nelayan kecil (marginal fishing community development pilot). Namun kelompok yang telah terbentuk ini tidak bertahan lama. Nama kelompok nelayan rumput laut tetap ada akan tetapi aktifitas kelompok tani rumput laut ini tersendat setelah proyek berakhir. Kelembagaan ekonomi, seperti koperasi simpan pinjam, koperasi yang menyediakan peralatan budidaya rumput laut, atapun lembaga perkreditan rakyat, yang sangat dibutuhkan oleh nelayan rumput laut sampai saat ini belum tersedia. Seperti umumnya masyarakat nelayan dan nelayan rumput laut di Indonesia, nelayan rumput laut di Kabupaten Bantaeng juga mengalami kendala permodalan untuk mengembangkan kegiatan budidayanya. Lembaga keuangan umum yang ada seperti Bank sangat sulit bahkan tidak mungkin diakses oleh nelayan rumput laut. Di samping karena persyaratan administrasi yang rumit juga karena harus punya agunan. Nelayan rumput laut hanya punya lahan yang sampai saat ini masih berupa hak pakai sehingga tidak ada nilai agunanannya. Sebab itu untuk memenuhi segala kebutuhannya baik dalam hal permodalan, pemenuhan kebutuhan sehari-hari ataupun bahan untuk konstruksi areal budidaya rumput laut, nelayan rumput laut umumya meminjam pada rentenir dan pedagang pengumpul rumput laut. Cara ini sebenarnya memberatkan dan merugikan nelayan rumput laut karena mereka menjadi terikat, dalam menjual hasil produksi rumput laut. Mereka harus menjualnya kepada sipemberi pinjaman dan harga produksi rumput laut ditentukan oleh si pemberi pinjaman. Tingkat penguasaan nelayan rumput laut terhadap teknologi kegiatan budidaya rumput laut terbilang cukup lumayan. Tanpa mengurangi peran pemerintah dalam membantu nelayan rumput laut untuk mengelola kegiatan budidaya rumput lautnya, nelayan lebih banyak belajar secara otodidak dan belajar dari sesama nelayan rumput laut. Mereka bisa melakukan hal-hal yang
benar untuk menyelamatkan kegiatan budidaya mereka. Misalnya pada saat musim hujan mereka akan menenggelamkan bentangan rumput laut mereka dengan cara mengisi air pada botol pelampungnya. Namun untuk masalah yang lebih rumit dan pengetahuan yang masih baru mereka memerlukan penyuluh budidaya rumput laut untuk membantu mereka. Akan tetapi sampai saat ini pemerintah belum menyediakan tenaga kerja penyuluh yang khusus untuk budidaya rumput laut. Informasi yang didapatkan dari hasil wawancara terhadap responden, bahwa sistem sosial dalam kegiatan budidaya rumput laut masih memiliki ikatan yang sangat kuat. Secara umum kebiasaan bergotong royong dalam melakukan suatu pekerjaan masih terpelihara dengan baik. Hanya sebagian kecil saja nelayan rumput laut yang tidak mau repot, terutama yang mempunyai modal lumayan, yang mengupahkan sebagian besar kegiatan budidayanya. Beberapa jenis kegiatan dalam kegiatan budidaya rumput laut umumnya masih dilakukan secara gotong royong oleh sesama nelayan rumput laut, misalnya, pemasangan bentangan bibit (penanaman) pada areal budidaya dan pemanenan dilakukan dengan cara bergiliran diantara para nelayan rumput laut tersebut. Pemilik yang sedang dikerjakan lahannya hanya menyiapkan makanan, kopi dan rokok untuk para nelayan rumput laut yang membantu. Pekerjaan lainnya seperti penjemuran dan pengepakan rumput laut ke dalam karung, dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya, sehingga yang diupahkan hanya pekerjaan pengikatan bibit pada bentangan. Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng telah menjadi mata pencaharian utama ribuan RTP sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Kegiatan budidaya juga sangat baik ditinjau dari aspek sosial karena mampu mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya nelayan rumput laut dan berkontribusi terhadap PAD walaupun masih kecil nilai nominalnya. Hal yang tak kalah pentingnya, kegiatan budidaya rumput laut mampu diandalkan dalam upaya konservasi sumberdaya laut dengan mengalihkan mata pencaharian yang selama ini merusak sumberdaya laut tersebut. Sebagai mata pencahariaan utama, tingkat ketergantungan masyarakat wilayah pesisir khususnya nelayan rumput laut terhadap kegiatan budidaya
rumput laut cukup tinggi. Hal ini disebabkan relatif masih kurangnya pekerjaan alternatif di wilayah pesisir. Selain itu, saat ini kegiatan budidaya rumput laut merupakan mata pencaharian yang paling menguntungkan dan menjadi harapan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya nelayan rumput laut di masa depan. Budidaya rumput laut juga telah mengubah salah satu aspek sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari kegiatan penangkapan ikan yang menjadi mata pencaharian utama, seperti perempuan, anak-anak dan orang tua, kini bisa terlibat dan mendapat manfaat langsung dalam kegiatan budidaya rumput laut. Mereka mengerjakan pengikatan bibit rumput laut pada bentangan yang akan ditanam. Upahnya memang relatif kecil namun bagi mereka yang selama ini tidak berpendapatan, sudah sangat berarti untuk membantu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu mereka juga memungut sisa panen yang banyak tercecer pada saat pemindahan rumput laut dari perahu ke tempat penjemuran, kemudian dijual ke pedagang pengumpul. Waktu mereka terisi dengan sesuatu yang produktif. Selama mereka mau bekerja tidak ada lagi waktu yang terbuang percuma yang sebelumnya hanya diisi dengan duduk-duduk tanpa penghasilan. Hasil wawancara dengan nelayan rumput laut yang ditunjang dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya rumput laut memberikan keuntungan dan berkontribusi besar terhadap tingkat kesejahteraan mereka. 4.3 Aspek Perekonomian Kondisi perekonomian suatu daerah/wilayah sangat tergantung pada potensi dan sumberdaya alam yang dimiliki dan kemampuan daerah itu untuk mengembangkan segala potensi yang dimilki. Dalam untuk mengembangkan potensi tersebut, pemerintah Kabupaten Bantaeng telah melakukan berbagai upaya, langkah dan kebijakan. Semua kebijakan dan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bantaeng telah menunjukkan hasil yang memadai. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai PDRB yang terus meningkat, yakni pada tahun 2006 nilai PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp899.1 milyar. Nilai PDRB pada saat penelitian sebesar Rp781.9 milyar, sehingga jika dibandingkan dengan tahun 2005, terjadi kenaikan sebesar 15%.
Struktur perekonomian Kabupaten Bantaeng masih didominasi oleh sektor pertanian yang salah satu diantaranya adalah dari sub sektor perikanan, termasuk komoditas rumput laut. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan total PDRB tahun 2006 sebesar 57.62%, urutan ke dua sektor jasajasa sebesar 12.75% dan urutan ke tiga sektor perdagangan sebesar 10.07%. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah/daerah adalah PDRB perkapita. PDRB perkapita penduduk Kabupaten Bantaeng dari tahun 2001-2006
telah berkembang. Pada tahun 2001 PDRB
perkapita penduduk Kabupaten Bantaeng hanya mencapai Rp2 826 321 dan pada tahun 2006 telah meningkat menjadi Rp5 267 781 (BPS 2008). Walaupun PDRB telah meningkat dengan cepat yang berarti ada perbaikan dan peningkatan kesejahteaan penduduk, namun jika dilihat dari angka keluarga prasejahtera maka tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bantaeng, masih tergolong rendah. Angka keluarga pra-sejahtera relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan keluarga sejahtera I, II dan III apalagi dengan keluarga sejatera III+ ( Tabel 18).
Tabel 18 Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007 Sejaht No. Kecamatan Pra sejaht Sejaht I Sejaht II Sejaht III III+ 1. Bissapu 2 828 1 844 1 496 1 246 727 2. Bantaeng 1 340 2 243 3 382 1 324 375 3. Tompo bulu 1 546 1 773 1 677 1 133 367 4. Ulu ere’ 797 1 057 635 301 21 5. Pa’jukukang 3 620 1 906 1 242 655 184 6. Eremerasa 2 518 1 285 557 371 151 7. Sinoa 1 438 965 600 283 26 Gantarang 8. 1 240 1 631 1 072 717 148 keke Jumlah 15 327 12 704 10 661 6 030 1 999 Sumber : BPS 2008. 4.3.1 Sumberdaya Perikanan Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan di wilayah Kabupaten Bantaeng terdapat pada bagian selatan dengan garis pantai sepanjang ±21.5 km dan luas wilayah perairan ± 144 km2. Wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng mencakup tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bissapu, Kecamatan Bantaeng dan
Kecamatan Pa’jukukang. Hasil kajian penggunaan lahan perairan pada wilayah studi lebih dominan pada penggunaan untuk budidaya rumput laut. Hanya sebagian kecil lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya tambak, itupun tidak intensif dikelola pada saat ini. Produksi perikanan laut pada tahun 2003 tercatat sebanyak 3 661 ton dengan nilai produksi Rp9 152 milyar sementara produksi budidaya 124 ton dengan nilai Rp5 580 milyar (Subdin Perikanan Dinas Peternakan Kabupaten Bantaeng 2003). BPS 2008, mencantumkan data nilai produksi budidaya air payau dan budidaya kolam, masing-masing sebesar Rp3 172 000 000 dan Rp51 450 000 (BPS 2008). Data dari Dinas Perikanan Kabupaten Bantaeng (2009), selain mencantumkan data produksi perikanan payau dan tawar juga memasukkan data produksi rumput laut (Tabel 19). Baik BPS Kabupaten Bantaeng 2008 maupun Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009, tidak mencantumkan data tentang produksi ikan laut. Tabel 19 Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008 Tahun (Ton)
Sumberdaya perikana
2001
2002
Bandeng udang windu Ikan air tawar Rumput laut
45.0 39.9 120.1
58.5 65.3 360.5
2003
2004
2005
65.0 72.0 67.1 69.3 0.5 1.5 170.4 988.4
70.1 69.2 3.5 2 334.6
2006
2007
202.6 131.7 97.8 50.74 1.7 0 3 521.95 5 700.25
2008 104.9 31.3 0 7677.5
Sumber data: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009. Data produksi ikan laut tidak tercatat sebab memang sudah tidak ada hasil tangkapan yang didaratkan pada TPI di Kabupaten Bantaeng. Jumlah nelayan tangkap yang melaut semakin sedikit dengan jumlah trip yang juga semakin kecil karena umumnya sudah beralih menjadi nelayan rumput laut. Para nelayan tangkap Kabupaten Bantaeng yang melautpun, hasil tangkapannya hanya untuk dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, jumlahnya sedikit dan pembeli langsung mendatangi dan membelinya dipantai tempat pendaratan nelayan di luar TPI, sehingga tidak tercatat. Hal yang menarik dari hasil wawancara dengan masyarakat pesisir, bahwa setelah beberapa tahun kegiatan rumput laut berjalan terjadi perubahan pada keberadaan ikan di perairan pantai. Spesies ikan yang selama ini sudah jarang bahkan sudah beberapa tahun tidak ditemukan, kembali bisa ditangkap dan itu
disekitar kawasan budidaya rumput laut. Ditemukannya kembali spesies ikan-ikan yang pernah menghilang diduga ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, budidaya rumput laut menyebabkan kondisi perairan lebih baik. Munculnya kembali spesies ikan-ikan tersebut merupakan salah satu indikator membaiknya atau pulihnya kondisi habitat. Kedua, selama ini spesies ikan-ikan tersebut sebenarnya tetap ada pada wilayah perairan tersebut, hanya populasinya sangat sedikit akibat tekanan penangkapan yang tinggi sehingga kemungkinan tertangkapnya sangat kecil. Begitu
intensitas kegiatan penangkapan jauh
berkurang karena beralihnya nelayan menjadi nelayan rumput laut maka spesies ikan-ikan tersebut bisa merecovery keberadaannya sehingga populasinya besar kembali. Atau kemungkinan penyebabnya adalah kedua-duanya. Produksi
perikanan
Kabupaten
Bantaeng
dari
Tahun
2001-2008
berfluktuasi. Mulai tahun 2007 produksi ikan Bandeng dan Udang windu menurun. Bahkan produksi ikan air tawar sudah menurun sejak tahun 2006 dan tidak ada lagi produksi yang tercatat pada tahun 2007-2008. Hanya produksi rumput laut yang terus meningkat sampai saat ini (Tabel 19). Produksi perikanan payau maupun perikanan tawar yang menurun tersebut secara tidak langsung berkaitan erat dengan semakin meningkatnya produksi rumput laut. Kegiatan rumput laut yang lebih menguntungkan dengan resiko kegagalan yang lebih kecil menyebabkan masyarakat yang sebelumnya memelihara Bandeng, udang windu dan ikan air tawar beralih memelihara rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari data RTP rumput laut yang meningkat, yakni 160 RTP rumput laut pada tahun 2002 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2003) dan telah menjadi 2 458 RTP pada tahun 2008 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009). Aktifitas kegiatan perikanan telah mengalami pergeseran orientasi dari kegiatan penangkapan ikan ke kegiatan budidaya rumput laut sejak tahun 2002. Dari hasil survey Bina Mitra (2004) yang tidak dipublikasikan didapatkan data pada tahun 2002, sekitar 86% nelayan beralih profesi menjadi pembudidaya rumput laut. Hal ini disebabkan semakin menurunnya hasil tangkapan dan semakin tingginya biaya opersional melaut. Temuan Bina Mitra (2005) tersebut ditunjang dengan data dari Balitbangda (2005) tentang produksi subsektor rumput laut di Kabupaten Bantaeng yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada
periode tersebut. Pada tahun 2002 produksi rumput laut hanya 39.4 ton dan meningkat dengan tajam pada tahun 2003 menjadi 421.0 ton (Lampiran 3). Pada daerah studi, hanya satu jenis rumput laut yang dibudidayakan, yaitu K.alvarezii dengan metode budidaya yang hanya satu juga, yakni long line. Luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng sekitar 5 375 Ha dan sampai dengan tahun 2008 sudah dikelola seluas 3 792 Ha dengan jumlah nelayan rumput laut sebanyak 2 458 RTP. Khusus untuk wilayah kajian yaitu Kecamatan Bissapu dan Kecamatan Bantaeng, luas lahan yang potensial adalah 2 525 ha dan yang sudah dikelola seluas 1 214.7 ha (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009) (Tabel 20). Tabel 20 Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008 Panjang garis Potensi Sudah Jumlah No. Wilayah pantai (km) (ha) dikelola (ha) RTP 1. Kec. Bissapu 5.9 1 475 531.7 409 2. Kec. Bantaeng 4.2 1 050 683.0 899 3. Kec. Pa’jukukang 11.4 2 850 2 577.3 1 150 Sumber data: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009.
4.3.2 Kegiatan Budidaya Rumput Laut Kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan nelayan rumput laut di wilayah pesisir Bantaeng diperoleh melalui survey terhadap rumah tangga nelayan rumput laut. Masyarakat pesisir dalam penelitian ini, semuanya merupakan nelayan rumput laut yang umumnya menjadikan kegiatan budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian utama. Dan untuk menopang kehidupannya, beberapa masyarakat pesisir melakukan pekerjaan tambahan, seperti menangkap ikan, membuat batu merah, buruh bangunan dan menjual makanan kecil . Hanya beberapa nelayan yang mata pencaharian utamanya bukan kegiatan budidaya rumput laut, seperti tertera pada Gambar 27, di bawah ini.
Gambar 27 Persentase mata pencaharian utama masyarakat pesisir yang menjadi responden. Dilihat dari segi usia dalam hubungannya dengan usia produktif, usia responden berberkisar antara 14–64 tahun (Lampiran 7). Terdapat seorang nelayan rumput laut yang masih berusia 14 tahun sehingga tergolong masih anakanak. Responden yang masih tergolong anak-anak ini bekerja di bawah bimbingan dan pantauan bapaknya dalam mengelola kegiatan budidaya rumput laut. Namun bertanggung jawab dan mengelola kegiatan budidayanya sendiri. Kemudian satu responden berusia di atas 60 tahun. Akan tetapi secara umum masih usia produktif yakni 44 responden (95.5%), 1 orang (2.2%) responden yang berusia 14 tahun dan 1 orang (2.2%) berusia di atas 60 tahun ( Gambar 28).
Gambar 28 Persentase kisaran usia responden.
Luas kepemilikan lahan kegiatan budidaya rumput laut berkisar antara 60–1 000 bentang dan panjang satu bentangan adalah 15 meter dan jarak antar bentangan 0.5-0.6 meter, diantara beberapa bentangan atau antara bentangan satu pemilik dengan pemilik lain terdapat jalur perahu dengan lebar sekitar 10 m. Sehingga setiap ha lahan berisi antara 300-350 bentangan. Rata-rata luas lahan budidaya adalah 301 bentangan atau sekitar satu ha/orang (Lampiran 8) Lahan budidaya rumput laut tersebut umumnya hanya diusahakan pada musim Timur dan musim Transisi, dimana kondisi lingkungan terutama kecepatan arus dan tinggi gelombang memungkinkan untuk melakukan budidaya. Adapun nelayan rumput laut yang tetap menanam pada musim Barat, biasanya hanya untuk persiapan bakal bibit pada musim berikutnya agar tidak mengalami kesulitan bibit pada saat musim tanam. Sampai saat ini, belum ada kegiatan pembibitan yang bisa mensuplai bibit unggul untuk kegiatan budidaya rumput laut. Para nelayan rumput laut hanya menggunakan bibit dari hasil panen yang disisihkan, secara terus menerus, sehingga mutu bibit yang baik, yang merupakan salah satu faktor produksi, tidak terpenuhi. Sebagaimana rekomendasi dari hasil penelitian Mubarak (1978), bahwa penggunaan bibit rumput laut maksimal 4 kali sudah harus diganti dengan bibit yang baru, sebab pemakaian lebih dari 4 kali akan menyebabkan produktivitas rumput laut cenderung menurun. Nelayan rumput laut mengetahui bahwa bibit unggul akan memberikan produksi yang lebih tinggi akan tetapi mereka kesulitan mendapatkan bibit unggul tersebut pada saat musim tanam. Kadang-kadang tersedia bibit unggul namun harganya relatif mahal karena didatangkan dari Maumere, Nusa Tenggara Timur dan jumlahnyapun tidak mencukupi kebutuhan. Produktivitas rumput laut dalam sekali panen di kabupaten Bantaeng ratarata 500 kg berat kering/unit budidaya atau 2 000 kg berat kering/ha. Produktivitas ini masih bisa ditingkatkan apabila menggunakan bibit unggul, teknik budidaya dengan menggunakan berat bibit yang cukup yakni 100 g-125g/rumpun, sesuai dengan hasil penelitian Iksan 2005, yang mendapatkan produksi tertinggi dihasilkan dari penggunaan bibit seberat 125 g/rumpun, dan pemeliharaan yang benar, panen pada umur 45 hari dan perlakuan pasca panen yang sesuai. Panen dilakukan rata-rata 4 kali dalam setahun.
V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang optimal dari kegiatan tersebut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan aspek ekobiologinya (persyaratan tumbuhnya), seperti pemilihan bibit yang bagus, perairan yang cukup tenang dan terlindung dari pengaruh angin, gelombang dan arus yang kuat serta tingkat kecerahan perairan yang tinggi. Kondisi ini biasanya ditemukan pada teluk-teluk yang agak tertutup atau di sekitar gugus pulau-pulau kecil (Puslitbangkan 1991). Kondisi yang ideal ini tidak ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng merupakan laut terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya pelindung. Pada musim Barat sangat dipengaruhi oleh angin, gelombang dan arus yang kuat. Untuk menyiasati kondisi ini maka nelayan rumput laut umumnya hanya menanam pada musim Timur dan musim transisi. Karena itu wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng jika dilihat dari aspek keterlindungan maka dikategorikan ke dalam sesuai bersyarat dimana persyaratannya adalah waktu penanaman harus pada musim Timur atau musim transisi. Bengen (2005) menyatakan bahwa proses penentuan kesesuaian lahan harus dilakukan dengan membandingkan kriteria faktor-faktor penentu kesesuaian lahan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan analisis tubular dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Selanjutnya hasil analisis kesesuaian lahan menjadi bahan bagi analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut. Analisis kesesuian lahan yang dilakukan tidak mencakup seluruh Kecamatan yang mempunyai garis pantai dan areal budidaya rumput laut. Diantara tiga Kecamatan yang mempunyai areal budidaya rumput laut, hanya dilakukan pada dua Kecamatan yakni Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu. Panjang garis pantai kedua Kecamatan tersebut masing-masing Kecamatan Bissapu 5.9 km dan Kecamatan Bantaeng 4.2 km.
Penilaian kesesuaian lahan sebagai faktor penentu dalam pengembangan kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian sebagai berikut: kecepatan arus, kedalaman, kecerahan, gelombang, pH, salinitas, substrat, keterlindungan dan suhu perairan (Lampiran 10). Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) seluas 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) seluas 1 897.99 ha. Gambar 29, memperlihatkan hasil analisis kesesuaian lahan pada dua Kecamatan lokasi studi penelitian, yakni Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu. Kawasan perairan pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha. Walaupun kawasan yang sesuai untuk budidaya rumput laut masih cukup luas belum dikelola akan tetapi untuk pengembangan budidaya rumput laut ke depan yang perlu diperhitungkan adalah daya dukung perairan. Sebab apabila daya dukung kawasan budidaya terlampaui maka kegiatan budidaya rumput laut yang kini menjadi andalan masyarakat pesisir untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka tidak akan berkelanjutan. Luas kawasan yang sesuai secara ekologis untuk budidaya rumput laut tidak digunakan semua untuk budidaya akan tetapi tetap disiapkan peruntukan bagi kebutuhan stakeholders lainnya. Karena untuk keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut bukan hanya dimensi ekologi saja yang berperan namun dimensi-dimensi yang lainpun berperan tidak kalah pentingnya. Kalau dari aspek ekologi sudah sesuai akan tetapi terjadi konflik diantara sesama stakeholders karena tidak jelasnya zonasi dan aturan main dalam budidaya rumput laut maka pada akhirnya kegiatan budidaya rumput laut tersebut akan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu semua dimensi perlu disinergikan untuk pengelolaan budidaya rumput laut.
119°55'30"
119°57'00"
# Y # Y
Peta Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Di Pesisir Kab. Bantaeng
119°58'30"
BONTO LEBANG
Kec. Bantaeng
MALLILINGI
N
BONTO SUNGGU
Kec. Bissapu
PALLANTIKANG
W
TAPPANJENG
BONTO MANAI
LEMBANG
E
LAMALAKA
S
1
0
1 km
5°33'00"
5°33'00"
5°34'30"
LETTA
5°34'30"
Keterangan : Garis Pantai Batas Kecamatan Batas Desa/Kelurahan Kesesuaian Budidaya Rumput Laut: Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Peta Tunjuk :Sulawesi Selatan
Y #
Makassar Bantaeng
5°36'00"
5°36'00"
Hasni Yulianti Azis NRP. C261050101
119°55'30"
119°57'00"
119°58'30"
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sumber Peta : 1. Peta Digital Baseline Sulawesi Selatan 2. Survei Lapangan
Gambar 29 Peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, Kabupaten Bantaeng. 5.2 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut Melihat perkembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng begitu pesat maka untuk pengembangan kawasan ke depan perlu dibuat modelmodel estimasi daya dukung yang disesuaikan dengan kondisi wilayah. Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Konsep daya dukung yang dikembangkan dalam budidaya rumput laut adalah konsep daya dukung ekologis dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang lain. Penentuan
daya
dukung
perairan
secara
ekologis
ini
tetap
mempertimbangkan status pemanfaatan, dimana dalam analisa spasial dapat menghitung luasan dan jumlah unit budidaya maksimum dengan memperhatikan dimensi teknologi dengan menyesuaikan antara metode budidaya yang digunakan dengan kondisi kawasan budidaya, memperhatikan dimensi sosial-budaya dan ekonomi seperti alur pelayaran, areal penangkapan/pemancingan ikan, arena olah raga laut dan kawasan pelabuhan. Dengan maksud agar budidaya rumput laut tidak mengganggu alur pelayaran dan akses nelayan pergi dan pulang melaut serta
pengguna lain sehingga menghindari terjadinya konflik kepentingan diantara sesama stakeholders. Daya dukung perairan sangat menentukan keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut tersebut. Apabila kegiatan budidaya tersebut melampaui daya dukung kawasan maka akan terjadi degradasi terhadap kualitas perairan kawasan tersebut yang pada akhirnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan rumput laut untuk bertumbuh. Analisis Daya dukung perairan pada daerah kajian menggunakan dua pendekatan, yakni (1) pendekatan kapasitas perairan dan (2) pendekatan kapasitas asimilasi N. Para peneliti sebelumnya, umumnya menggunakan pendekatan kapasitas perairan dalam menghitung daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut. Pendekatan kapasitas perairan dipengaruhi oleh luas areal budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai bersyarat) dan metode budidaya yang diterapkan. Namun kondisi lokasi penelitian yang unik yakni merupakan perairan yang terbuka tanpa terlindung, berbeda dengan lokasi budidaya yang dikenal selama ini yakni, terlindung atau berada di daerah teluk, menimbulkan ide untuk menggunakan pendekatan asimilasi dalam menghitung daya dukungnya. Analisis daya dukung dengan pendekatan asimilasi N memperhitungkan flushing time. Dan perairan terbuka memiliki flushing time yang lebih singkat dibandingkan dengan perairan yang terlindung sehingga akan menghasilkan daya dukung yang lebih besar. Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas perairan adalah 1 203.23 ha (Lampiran 10). Jumlah unit kegiatan budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N, diperoleh daya dukung kawasan sebesar 1 650.64 ha atau 6 603 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 2 073.72 ha atau 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Jika luas lahan yang sudah dikelola dikonversi ke dalam unit budidaya maka jumlah unit budidaya yang operasional di wilayah kajian saat ini adalah sekitar 4 856. Penggunaan dua varietas rumput laut yakni rumput laut berwarna coklat dan berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput laut tersebut.
Daya dukung perairan juga dapat diestimasi dengan mengkonversinya ke dalam produksi rumput laut yang dihasilkan per unit budidaya. Estimasi produksi rumput laut di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dapat dihitung dari jumlah produksi rumput laut per unit budidaya. Setiap unit budidaya berisi 75-90 bentangan dan setiap bentangan umumnya menghasilkan 5 kg berat kering rumput laut. Beberapa nelayan rumput laut bahkan bisa menghasilkan 7 kg berat kering per bentangan, dengan catatan mereka menggunakan bibit yang baik dengan berat 100-125 gram/ikatan serta dipanen pada saat cukup umur (45 hari). Jumlah unit budidaya rumput laut yang dapat didukung tanpa menurunkan kualitas kawasan budidaya adalah 5 942 unit budidaya atau dengan produksi 375-450 kg berat kering perunit maka total produksi kawasan budidaya adalah 2 228 193.75-2 673 900 kg/panen. Frekuensi panen dalam setahun rata-rata empat kali panen. Sehingga daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan kapasitas perairan jika dikonversi ke dalam jumlah produksi tanpa menurunkan kualitas perairan adalah 8 912 775-10 695 600 kg berat kering rumput laut pertahun atau 8 912.78-10 695.6 ton/tahun. Sedangkan jika menggunakan analisis daya dukung perairan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N diperoleh 9 903.84 ton berat kering/tahun untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 12 442.35 ton berat kering/tahun untuk K.alvarezii (doty) hijau. 5.2.1 Kelayakan Kegiatan Budidaya Rumput Laut Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya Rumah Tangga Perikanan (RTP) rumput laut, yakni sebanyak 2 458 dan bukan berarti yang terlibat hanya 2 458 orang itu sebab dari hasil wawancara pada responden, hampir semua anggota keluarga terlibat. Kemudian tenaga lepas yang bukan termasuk RTP nelayan rumput laut akan tetapi terlibat dalam proses budidaya sebagai pengikat bibit rumput laut. Juga yang terlibat secara tidak langsung,yakni pedagang pengumpul, penjual alat dan bahan konstruksi bentangan, pembuat konstruksi unit budidaya dan sebagainya. Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng mulai dilakukan sejak tahun 1998 dan pada tahun 2001 mulai berkembang. Jenis rumput laut yang diusahakan hanya satu jenis yaitu K.alvarezii dengan metode budidaya juga hanya satu yaitu long line. Pemilihan jenis rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan
rumput laut berdasarkan hasil dari pengalaman mereka selama ini. Produksi terbaik dan menguntungkan diantara jenis rumput laut yang pernah mereka budidayakan adalah jenis K.alvarezii. Demikian juga dengan pemilihan metode budidaya. Mereka memilih metode long line, karena menurut mereka metode ini lebih murah biaya investasinya, lebih mudah mendapatkan bahan konstruksi dan pembuatan konstruksi unit budidayanya, serta lebih mudah pemeliharaannya. Sementara itu harga rumput laut di tingkat nelayan rumput laut saat ini mencapai Rp12 000/kg berat kering (komunikasi pribadi, 23 Mei 2010). Saat ini kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat hal ini dapat dilihat dari pertambahan luasan areal budidaya dan semakin banyaknya RTP nelayan rumput laut (Tabel 4 dan Tabel 19). Untuk mengetahui sejauh mana kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat ini menguntungkan sehingga layak dikegiatankan atau merugi secara ekonomi, dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan kegiatan budidaya rumput laut. Untuk analisis kelayakan kegiatan budidaya rumput laut harus didukung oleh data-data yang memadai seperti data pengeluaran untuk berbagai sarana produksi, upah, biaya pemeliharaan dan ongkos yang lainnya dan data-data pemasukan. Analisis yang digunakan meliputi analisis Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). (1) Net Present Value (NPV) Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75% memberikan nilai yang sangat signifikan keuntungannya. Nilai NPV yang diperoleh adalah Rp18 040 887.11 (Tabel 21). Tabel 21 Hasil analisis kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009 No. 1.
2. 3. 4. 5. 6. (2)
Aspek a. biaya investasi b. Biaya operasional c. Biaya pemeliharaan Total biaya (a+b+c) Pendapatan discount rate present value Net present value (10 tahun) B/C Benefit Cost Ratio (BCR)
Biaya Rp19 135 457 Rp3 324 764 Rp382 052 Rp22 842 273 Rp33 659 130 7.75% Rp22 842 273.74 Rp18 040 887.11 9.58
BCR menunjukkan ukuran berapa kali lipat keuntungan (benefit) yang akan diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Hasil perhitungan BCR kegiatan budidaya rumput laut di Bantaeng memberikan nilai BCR 9.58 (Tabel 21). Jadi kegiatan budidaya rumput laut memberikan keuntungan yang berlipat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.. Sebab itu hal yang sangat wajar apabila nelayan tangkap maupun nelayan pembudidaya ikan dan udang di Kabupaten Bantaeng beralih menjadi nelayan rumput laut. Adapun perhitungan biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan, analisa biaya kegiatan dan analisa B/C Ratio masing-masing di Lampiran 9, 10, 11, 12 dab 13.
VI. OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Pendekatan sistem dinamik ini digunakan sebagai alat analisis untuk dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan dalam memformulasikan pengembangan budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai dengan kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng. Sistem dinamik dikembangkan dengan mengacu dari beberapa parameter ilmiah yang diperoleh melalui hasil penelitian serta menggunakan data dari referensi yang terkait. Sistem dinamik ini dioperasionalkan pada berbagai skala waktu dan intensitas kegiatan budidaya rumput laut sehingga dapat diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem yang dipelajari akibat intervensi manusia. Oleh karena itu, sistem dinamik dapat digunakan untuk pemahaman, pendugaaan, dan alokasi budidaya rumput laut pada batas maksimum dan minimum kapasitas asimilasi perairan pesisir, resiko kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng dapat dilihat pada Tabel 22. Beberapa asumsi yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, yaitu : ◊
Tipe model yang digunakan adalah kompartemen yaitu variabel didefinisikan dan dikuantifikasi dimana waktu sebagai faktor penentu.
◊
Berat biomassa rumput laut (awal tanam), lama pemeliharaan dan pertumbuhan rumput laut sesuai yang terdapat dilokasi penelitian
◊
Buangan limbah antropogenik (external loading) di sekitar wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng memberikan pengaruh terhadap kapasitas asimilasi perairan untuk pengembangan rumput laut (San Diego- McGlone et al. 1999)
◊
Rumput laut mempunyai kemampuan penyerapan terhadap beban limbah N sehingga dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir dan daya dukung rumput laut
◊
Kapasitas asimilasi didasarkan pada nilai baku mutu air laut N minimal (0.5 mg/l) dan maksimal (1.0 mg/l) untuk kegiatan budidaya (Kep Men LH 2004).
◊
Dinamika yang ada merupakan nilai hasil pengamatan dari setiap parameter selama penelitian. Sub model pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir
Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dapat dilihat pada Gambar 30-33 dan model persamaan matematisnya pada Lampiran 18-21. Tabel 22
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
9. 10. 11. 12.
Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
Parameter Luas lahan layak Kedalaman perairan Pola pasang surut
Nilai Sumber data 2 313.29 Penelitian ini 9.73 m (rata-rata) Penelitian ini 2 kali pasang dan 2 kali Penelitian ini surut Volume total perairan pesisir 438 251 599.40 m3 Penelitian ini (V tot ) Pasang tertinggi (spring tide) 0.966 m Penelitian ini (pt) Surut terendah (st) 0.21 m Penelitian ini Berat RL awal tebar : a. Jarak tanam 25 cm 125 gram Penelitian ini b. Jarak tanam 35 cm 125 gram Penelitian ini c. Jarak tanam 45 cm 125 gram Penelitian ini Laju penyerapan rumput laut 18.43779 mg/g berat Pong-Masak K.alvarezii kering/jam (jenis coklat) (2007); Herlinah (2008) 14.67609 mg/g berat Pong-Masak kering/jam (jenis hijau) (2007); Herlinah (2008) Biaya produksi RL Rp4 150 Penelitian ini Harga jual RL di tingkat Rp6 500 Penelitian ini pembudidaya Tenaga kerja aktual 2 – 3 orang per unit RL Penelitian ini Jam kerja efektif (JKE) 8 jam/hari Hasil wawancara
6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ( SM PRL) Sub model ini dibangun berdasarkan bobot (biomassa) rumput laut, laju pertumbuhan rumput laut, SR, lama pemeliharaan dan jarak tanam. SUB MODEL PRODUKSI
~
~ Rearing Period
Wt 25 cm
wt35 cm
Panen RL1 coklat BM Maks
Rearing Period Panen RL 2 BM Maks
LBRL1 coklat BM Maks
LBRL coklat BM Maks
~ LPH35cm
~ LPH 25 cm DDL RL Coklat BM Maks
Rearing Period
~ wt 45 cm
Panen RL3 BM Maks
LBRL2 coklat BM Maks ~
~
~
Wt 25 cm
LPH35cm
~
~
LPH45 cm
wt35 cm
LPH 25 cm
Panen RL 2 BM min Panen RL 1 coklat BM Min
LBRL1 coklat BM Min
LBRL coklat BM Min
~ DDL RL Coklat BM Min
~
~ Wt 25 cm
wt 45 cm
LPH45 cm
Panen RL 3 BM Min
~
LBRL2 coklat BM Min
LPH 25 cm
LPH35cm
~
Panen RL1 hijau BM Maks
LBRL1 hijau BM Maks
Panen RL hijau BM Maks
~ wt35 cm DDL RL Hijau Maks
LBRL hijau BM Maks
Panen RL1 hijau BM Min ~ Panen RL 3 hijau BM Maks
~
wt35 cm
wt 45 cm ~ LBRL 2 hijau BM Maks ~ Wt 25 cm
~ Panen RL hijau BM Min DDL RL Hijau Min
LBRL hijau BM Min
~
LPH35cm
wt 45 cm
LBRL 1hijau BM Min
LPH45 cm Panen RL2 hijau BM Min ~
~ LPH 25 cm
LBRL 2 hijau BM Min
Gambar 30 Konsep sub model produksi budidaya rumput laut.
LPH45 cm
6.2 Sub Model Daya Dukung Rumput Laut (DD RL) Sub model ini dibangun berdasarkan volume total air laut tersedia (V tot ), kisaran pasang surut, frekuensi pasang surut, kemampuan penyerapan rumput laut, kapasitas
asimilasi
perairan,
baku
mutu
lingkungan,
masukan
limbah
antropogenik (external loading). Sub model ini menggambarkan kapasitas asimilasi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut. SUB MODEL DDL RUMPUT LAUT
KLP N
KLS N
LA 1
T2
KLT1 N
T1
T3
KLT2 N
KLT3 N
LA Perikanan KLPerik N
KLPt N
LA pertanian
TL Perikanan N
TRT N
TL Pertanian N
TLT N
Antropogenik N Kum N Antropogenik KABM Maks KL Det Antropogenik 1 KABM Min KLP P
LA 1
KLS P
KLT1 P
T1
T2
KLT2 P
KLT3 P
T3
LA Perikanan
KL Perik P LA pertanian
KLpt P
TRT P TLT P
TL Perikanan P
TL Pertanian P
Pct Antropogenik Antropogenik P Kum P antropogenik
Kum P antropogenik
Pasut nt Antropogenik 2
FT
Kum N Antropogenik Total Antropogenik Konv m2
Luas SIG
Volume surut
Dillution Rate Kdlm
Pasut St Volume pasang NBM Maksimal Kapasitas asimilasi maksimal BM
Vtot
Frekuensi pasut
KPRL Hijau
Penurunan KA Maks
NMB Minimal Kapasitas asimilasi minimal BM
EC
KPRL Coklat
Penurunan KA Min Peny RL Hijau
JTL Hijau Maks
Pen RL Coklat DDL RL Hijau Min
Kapasitas RL Hijau
L Peny e RL Coklat
L peny e RL Hijau
JTL Hijau Min
Kapasitas RL Coklat
Unit hijau BM Maks JTL Coklat BM Maks
JTL Coklat BM Min
Kg RL per ha DDL RL Coklat BM Maks
Unit coklat BM Maks
Unit hijau BM Min Kg RL per ha
DDL RL Hijau Maks DDL RL Coklat BM Min
Gambar 31 Konsep sub model daya dukung lingkungan.
Unit coklat Bm Min
6.3 Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi (pendapatan kegiatan) dibangun untuk memberikan gambaran tingkat keuntungan (pendapatan kegiatan) budidaya rumput laut selama satu siklus pemeliharaan (MT) yang dipengaruhi oleh tingkat produksi rumput laut, biaya produksi (total cost), dan harga rumput laut ditingkat pembudidaya. SUB MODEL EKONOMI
Harga RL
Biay a Produksi RL
LBRL coklat BM Maks
LBRL coklat BM Min
Biay a Produksi RL
Prof it RL coklat 25 cm BM Min
Total pendapata RL
Total biay a produksi
PPH PD 25 cm coklat Min
Prof it coklat 25 cm BM Maks
PD 25 cm coklat Maks
Biay a Produksi RL Biay a Produksi RL
Harga RL
LBRL1 coklat BM Maks
Harga RL LBRL1 coklat BM Min
Harga RL Prof it Coklat 35 cm BM Min
PD 35 cm coklat Min Prof it coklat 35 cm BM Maks
LBRL2 coklat BM Min PPH PD 35 cm coklat Maks
Biay a Produksi RL Prof it Coklat 45 cm BM Min Harga RL
Harga RL Biay a Produksi RL LBRL2 coklat BM Maks PD 45 cm coklat Min
PPH PD 45 cm coklat Maks
Harga RL
Prof it coklat 45 cm BM Maks Biay a Produksi RL
LBRL hijau BM Min
Harga RL Biay a Produksi RL
LBRL hijau BM Maks Prof it hijau 25 cm BM Min
PD 25 cm hijau Min
Harga RL
PPH Prof it hijau 25 cm BM Maks LBRL 1hijau BM Min Biay a Produksi RL
PD 25 cm hijau Maks
Prof it hijau 35 cm BM Min
Harga RL LBRL1 hijau BM Maks Biay a Produksi RL
PPH PD 35 cm hijau BM Min
Pf of it hijau 35 cm BM Maks
Harga RL PD 35 cm hijau BM Maks Biay a Produksi RL
LBRL 2 hijau BM Maks
LBRL 2 hijau BM Min
Harga RL
Biay a Produksi RL
PD 45 cm hijau BM Maks
Prof it hijau 45 cm BM Min
Prof it hijau 45 cm BM Maks PD hijau 45 cm BM Min
Gambar 32 Konsep sub model ekonomi.
6.4 Sub Model Tenaga Kerja Sub model ini dibangun untuk menggambarkan total tenaga kerja (orang) atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan budidaya rumput laut yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan tenaga kerja aktual per ha, luas luas rumput laut, jumlah musim tanam per tahun, dan lama pemeliharaan (rearing period).
SUB MODEL TENAGA KERJA
TK1
KTK ha
JMT ha th JKE
KTK ha
DDL RL Coklat BM Maks
JKE
TK RL 2
JMT ha th
DDL RL Coklat BM Min
TK RL 1
TK2 KTK ha
JKE
TK3
JMT ha th KTK ha
JKE
JMT ha th
DDL RL Hijau Maks
TK4
TK RL 4 DDL RL Hijau Min
TK RL 3
Gambar 33 Konsep sub model tenaga kerja. 6.5 Simulasi Skenario Pemanfatan Wilayah Pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengembangan Budidaya Rumput Laut Skenario sebagai dasar pengambilan keputusan dilakukan dengan simulasi sebagai rancangan kebijakan yang mungkin dilakukan dalam kondisi nyata (real world) berdasarkan pada model sistem dinamik yang dibuat. Dalam hal ini dilakukan perubahan pada peubah tertentu yang terdapat di dalam model sistem dinamik, sehingga skenario yang dibuat dapat disimulasikan. Variabel indikator (indicator variable) dalam simulasi model sistem dinamik yaitu perubahan luasan
rumput laut, produksi rumput laut (sub model produksi rumput laut), pendapatan kegiatan dan pendapatan daerah (sub model ekonomi), dan tenaga kerja (sub model tenaga kerja). Variabel pembatas (limiting variable) adalah kapasitas asimilasi perairan (sub model daya dukung lingkungan). Variabel keputusan (decision variable) adalah beban limbah antropogenik (external loading). Alasan yang mendasari beban limbah antropogenik (external loading) yang menjadi komponen dalam skenario pengembangan budidaya rumput laut karena masukan limbah antropogenik (external loading) dapat memberikan pengaruh terhadap kapasitas asimilasi perairan pesisir untuk pengembangan budidaya rumput laut. Beberapa skenario yang dilakukan dalam simulasi sistem dinamik ini yaitu: Skenario 1. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir pada kondisi saat ini Skenario 2. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 10 % dari kondisi saat ini Skenario 3. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 25 % dari kondisi saat ini Skenario 4. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 50 % dari kondisi saat ini. Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut : Skenario 1. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik
ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 252.43 ton. Masukan limbah antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 217.43 ha–2 054.56 ha atau 4 870 unit–8 218 unit sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau seluas 1 529.48 ha–
2 581.18 ha atau 6 118 unit–10 325 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu menjadi 808.08 ton/hari–1 363.74 ton N/hari. 1: Penurunan KA Maks 1: 2:
1150 650
2: Penurunan KA Min
1 2 1 2
1: 2:
750 200
1
2
1
1: 2:
2
350 -250 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 7:11 AM
56.00 Tue, Aug 10, 2010
Untitled
Gambar 34 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari)
1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 1: 2:
2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1400 850
1
1: 2:
1250 700
1
1
1: 2:
1100 550
1 0.00
Page 1
2
2
2
2 14.00
28.00 Day s
42.00 7:19 AM
56.00 Tue, Aug 10, 2010
Untitled
Gambar 35 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
1: DDL RL Coklat BM Maks 1: 2: 3: 4:
2: DDL RL Coklat BM Min
3: DDL RL Hijau Maks
4: DDL RL Hijau Min
2150 1300 2600 1550
4 3
2 4 3 1: 2: 3: 4:
1900 1050 2350 1300
1
2 1 4 3 2 1 4
1: 2: 3: 4:
1650 800 2100 1050
2
3
1 0.00
14.00
28.00
Page 1
42.00
Day s
56.00 7:12 AM
Tue, Aug 10, 2010
Untitled
Gambar 36 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari masa pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 7 374.25–12 473.39 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 7 701.12–13 026.29 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 8 100.15–13 701.23 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 9 264.38–15 670.50 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 9 675.04–16 365.12 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 10 176.34–17 213.06 ton.
1: LBRL coklat BM Maks 1: 2: 3:
2: LBRL1 coklat BM Maks
3: LBRL2 coklat BM Maks
20000
3 1: 2: 3:
1
2
3
2
10000 1 3 2 1
1: 2: 3:
1 0.00
Page 1
2
3
0 14.00
28.00 Day s
42.00 7:32 AM
56.00 Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Gambar 37 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
1: LBRL coklat BM Min
2: LBRL1 coklat BM Min
3: LBRL2 coklat BM Min
8000
1: 2: 3:
2
9000
3
1 2
3
1 1: 2: 3:
4000 4500 2
3
1 1: 2: 3:
0 0
1
2
3
0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 7:43 AM
56.00 Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Gambar 38 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan. 1: LBRL hijau BM Maks
2: LBRL1 hijau BM Maks
3: LBRL 2 hijau BM Maks
20000
1: 2: 3:
3 2 3
1
2 1
1: 2: 3:
10000 3 2 1
1: 2: 3:
1
2
3
0 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 7:45 AM
56.00 Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Gambar 39 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan. 1: LBRL hijau BM Min 1: 2: 3:
2: LBRL 1hijau BM Min
3: LBRL 2 hijau BM Min
9500 10500 1
3 2
3 2 1 1: 2: 3:
5000 5500 3 2 1
1: 2: 3:
500 500
1 0.00
Page 1
2
3 14.00
28.00 Day s
42.00 7:47 AM
56.00 Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Gambar 40 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp5 580 903 051.72 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp558 090 305.17– Rp941 845 210.84. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar Rp5 628 198 840.29–Rp9 498 269 499.11 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp562 819 884.03–Rp949 826 949.91. Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp5 626 205 435.95– Rp9 493 217 765.52
dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp562 819 884.03–Rp949 321 776.55. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp4 442 280 526.48– 7 496 888 228.09 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp444 228 052.65–Rp749 688 822.81. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 35 cm) sebesar Rp4 479 926 971.62–Rp7 560 421 179.17 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp447 992 697.16–Rp756 042 117.92. Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp4 477 544 285.22–Rp7 556 400 106.32 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp447 754 428.52–Rp755 640 010.63.
1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 1: 2: 3: 4:
8e+009. 5e+009. 800000000 500000000
1: 2: 3: 4:
4e+009. 2.5e+009 400000000 250000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
Page 1
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 25 cm coklat Maks
4
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 25 cm coklat Min
4 3 2 1 42.00 56.00 11:48 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 41 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).
1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 1: 2: 3: 4:
8e+009. 5e+009. 800000000 500000000
1: 2: 3: 4:
4e+009. 2.5e+009 400000000 250000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 35 cm coklat Maks
4
Page 1
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 35 cm coklat Min
1 2 3 4 42.00 56.00 11:49 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 42 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) 1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 1: 2: 3: 4:
8e+009. 5e+009. 800000000 500000000
1: 2: 3: 4:
4e+009. 2.5e+009 400000000 250000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
Page 1
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 45 cm coklat Maks
4
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 45 cm coklat Min
4 1 2 3 42.00 56.00 11:50 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 43 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah.
Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat sebanyak 14 609–24 654 orang atau 350 620–591 714.08
HOK/thn. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 18 353–30 974 orang atau 440 489– 743 379 HOK/thn.
1: TK1
2: TK2
1: 2: 3: 4:
30000 20000 600000 400000
1: 2: 3: 4:
15000 10000 300000 200000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 1
1 14.00
2
3
4
Page 1
1 28.00 Day s
4: TK RL 2
2
3
4
1 2 3 4 42.00 56.00 11:50 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 44 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min– maks.) 1: TK3
2: TK4
1: 2: 3: 4:
40000 20000 800000 500000
1: 2: 3: 4:
20000 10000 400000 250000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
Page 1
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 3
1 14.00
2
3
4
1 28.00 Day s
4: TK RL 4
2
3
4
4 3 1 2 42.00 56.00 11:50 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 45 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
Skenario 2. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik
ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 353.40 ton. Masukan limbah antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir wilayah kajian untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal–maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 369.55–2 206.68 ha atau 5 478.20–8 826.73 unit sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau seluas 1 720.59–2 772.29 ha atau 6 882.35– 11 089.15 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng menjadi 909.05 ton N/hari–1 464.71 ton N/hari.
1: Penurunan KA Maks 1: 2:
1150 650
2: Penurunan KA Min
1 2 1 2
1: 2:
800 250
1 2
1
1: 2:
2
450 -150 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 11:27 AM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 46 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari). 1: DDL RL Coklat BM Maks 1: 2: 3: 4:
2: DDL RL Coklat BM Min
3: DDL RL Hijau Maks
4: DDL RL Hijau Min
2250 1400 2800 1750
4 3 2 1 4
1: 2: 3: 4:
2
1950 1100 2450 1400
3
1 4 2
3
1 4 1: 2: 3: 4:
1650 800 2100 1050
2
3
1 0.00
14.00
28.00
Page 1
42.00
Day s
56.00
11:28 AM
Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 47 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng. 1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 1: 2:
2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1500 950
1
1: 2:
1300 750
1
1
1: 2:
1100 550
1 0.00
Page 1
2
2
2
2 14.00
28.00 Day s
42.00 11:29 AM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 48 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 7 792.50 – 12 588.93 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 8 651.51–13 976.67 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 9 099.78–14 700.86 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 9 789.89–15 815.80 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 10 869.02–17 559.10 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 11 432.19–18 468.91 ton.
1: LBRL coklat BM Maks
2: LBRL1 coklat BM Maks
3: LBRL2 coklat BM Maks
20000
1: 2: 3:
3 2 3
1
2
1: 2: 3:
10000
1 3 2 1
1: 2: 3:
1
2
3
0 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 11:30 AM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 49 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
1: LBRL coklat BM Min 1: 2: 3:
2: LBRL1 coklat BM Min
3: LBRL2 coklat BM Min
8000 9000 10000
1
2
2
3
3
1 1: 2: 3:
4000 4500 5000 2
3
1
1: 2: 3: Page 1
0 0 0
1 0.00
2
3 14.00
28.00 Day s
42.00 11:31 AM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 50 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
1: LBRL hijau BM Maks
2: LBRL1 hijau BM Maks
3: LBRL 2 hijau BM Maks
20000
1: 2: 3:
3 2 3
1
2 1
1: 2: 3:
10000 3 2 1
1: 2: 3:
1
2
3
0 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 11:32 AM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 51 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan. 1: LBRL hijau BM Min 1: 2: 3:
2: LBRL 1hijau BM Min
3: LBRL 2 hijau BM Min
10500 20000 1
1 1: 2: 3:
5500 10000
2
3
3 2
1 1: 2: 3:
500 0
1 0.00
2
3 2
3 14.00
Page 1
28.00 Day s
42.00 11:32 AM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 52 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat jarak tanam 25 cm sebesar Rp4 997 349 656.43– Rp8 051 957 358.04 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp499 734 965.64–Rp805 195 735.80; jarak tanam 35 cm sebesar Rp5 039 700 077.24–Rp8 120 194 284.80 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp503 970 007.72–Rp812 019 428.48. Sedangkan jarak tanam 45 cm sebesar Rp5 037 019 670.75– Rp8 115 875 491.97 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp503 701 967.09 – Rp811 587 549.20. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp6 278 244 649.75–
Rp10 115 793 706.39 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp627 824 464.98–Rp1 011 579 370.64. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar Rp6 331 450 112.88–Rp10 201 520 771.70 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp633 145 011.29–Rp1 020 152 077.17. Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp6 328 082 678.51–Rp10 196 095 008.07 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp632 808 267.85–Rp1 019 609 500.81. 1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 1: 2: 3: 4:
9e+009. 5e+009. 900000000 500000000
1: 2: 3: 4:
4.5e+009 2.5e+009 450000000 250000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 25 cm coklat Maks
4
1 28.00 Day s
Page 1
2
3
4
4: PD 25 cm coklat Min
4 1 2 3 42.00 56.00 11:42 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 53 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm). 1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 1: 2: 3: 4:
9e+009. 6e+009. 900000000 600000000
1: 2: 3: 4:
4.5e+009 3e+009. 450000000 300000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
Page 1
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 35 cm coklat Maks
4
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 35 cm coklat Min
1 2 3 4 42.00 56.00 11:41 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 54 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)
1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 1: 2: 3: 4:
9e+009. 6e+009. 900000000 600000000
1: 2: 3: 4:
4.5e+009 3e+009. 450000000 300000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 45 cm coklat Maks
4
Page 1
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 45 cm coklat Min
4 3 2 1 42.00 56.00 11:39 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 55 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii coklat sebanyak 16 434–26 480 orang atau 394 430–635 524 HOK/th.
Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 20 647–33 267 orang atau 495 529–798 418 HOK/th.
1: TK1
2: TK2
1: 2: 3: 4:
30000 20000 700000 400000
1: 2: 3: 4:
15000 10000 350000 200000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
Page 1
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 1
1 14.00
2
3
4
1 28.00 Day s
4: TK RL 2
2
3
4
1 2 3 4 42.00 56.00 11:44 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 56 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
1: TK3
2: TK4
1: 2: 3: 4:
40000 30000 800000 500000
1: 2: 3: 4:
20000 15000 400000 250000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 3
1 14.00
2
Page 1
3
4
1 28.00 Day s
4: TK RL 4
2
3
4
1 2 3 4 42.00 56.00 11:45 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 57 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal). Skenario 3. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik
ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 504.86 ton. Masukan limbah antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal–maksimal) untuk jenis coklat seluas 1 597.73–2 434.86 ha atau 6 390.92–9 739.45 unit sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau seluas 2 007.25–3 058.95 ha atau 8 029.01–12 235.81 unit.
Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng menjadi 1 060.51 ton/hari–1 616.17 ton N/hari.
1: Penurunan KA Maks 1: 2:
2: Penurunan KA Min
1200 650 1 2
1 2 1: 2:
900 350 1 2
1 2 1: 2:
600 50 0.00
Page 1
14.00
28.00 Day s
42.00 12:49 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 58 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari).
1: DDL RL Coklat BM Maks 1: 2: 3: 4:
2: DDL RL Coklat BM Min
3: DDL RL Hijau Maks
4: DDL RL Hijau Min
2450 1600 3100 2050
4 3
2 1 4 3
2 1: 2: 3: 4:
2050 1200 2600 1550
1 4 2
3
1
4 1: 2: 3: 4:
1650 800 2100 1050
2
3
1 0.00
14.00
28.00
Page 1
42.00
Day s
56.00
12:50 PM
Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 59 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng
1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 1: 2:
2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1700 1150
1 1: 2:
1400 850
1
1
1: 2:
1100 550
1 0.00
Page 1
2
2
2
2 14.00
28.00 Day s
42.00 12:50 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 60 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 9 076.54–13 872.97 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 10 077.08–15 402.25 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 15 599.22–16 200.30 ton. Sedangkan untuk jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 11 402.99–17 428.81 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 659.99–19 350.07 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 315.96–20 352.68 ton.
1: LBRL coklat BM Maks
2: LBRL1 coklat BM Maks
3: LBRL2 coklat BM Maks
20000
1: 2: 3:
3 2 3
1
2
1: 2: 3:
10000
1
3 2 1 1: 2: 3:
1
2
3
0 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 12:51 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 61 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan 1: LBRL coklat BM Min 1: 2: 3:
2: LBRL1 coklat BM Min
3: LBRL2 coklat BM Min
10000 11000 20000 2
1
2 1: 2: 3:
1
5000 5500 10000
3 3 2 1
1: 2: 3:
0 0 0
1
2
3
3
0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 12:52 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 62 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan 1: LBRL hijau BM Maks 1: 2: 3:
2: LBRL1 hijau BM Maks
3: LBRL 2 hijau BM Maks
20000 2
30000 1 2
3 1 1: 2: 3:
3
10000 15000 2 1
1: 2: 3:
0 0
1 0.00
Page 1
2
3
3 14.00
28.00 Day s
42.00 12:52 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 63 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
1: LBRL coklat BM Min 1: 2: 3:
2: LBRL1 coklat BM Min
3: LBRL2 coklat BM Min
10000 11000 20000 1
2
2 1: 2: 3:
1
5000 5500 10000
3 3 2 1
1: 2: 3:
0 0 0
1 0.00
2
3
3 14.00
Page 1
28.00 Day s
42.00 12:52 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 64 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam
( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii coklat (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp5 829 953 351– Rp8 884 561 052.04 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp582 995 335.13–Rp888 456 105.30. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 35 cm) sebesar Rp5 879 359 735.68–Rp8 959 853 943.29 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp587 935 973.57–Rp895 985 394.32. Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp5 876 232 749.33– Rp8 955 088 570.43 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp587 623 274.93–Rp895 508 857.04 Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp7 324 257 046.80 –Rp11 161 806 103.44 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp732 425 704.68 – Rp1 116 180 610.34. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar Rp7 386 327 021.77–Rp11 256 397 680.59 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp738 632 702.18–Rp1 125 639 768.06. Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp7 382 398 542.34–Rp11 250 410 871.91 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp738 239 854.23–Rp1 125 041 087.19
1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 1: 2: 3: 4:
9e+009. 6e+009. 900000000 600000000
1: 2: 3: 4:
4.5e+009 3e+009. 450000000 300000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
1 28.00 Day s
4
Page 1
2
3
4: PD 25 cm coklat Min
1 2 3 4 42.00 56.00 12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
4
Untitled
Gambar 65 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm). 1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 1: 2: 3: 4:
9e+009. 6e+009. 900000000 600000000
1: 2: 3: 4:
4.5e+009 3e+009. 450000000 300000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 35 cm coklat Maks
1 28.00 Day s
4
Page 1
2
3
4
4: PD 35 cm coklat Min
1 2 3 4 42.00 56.00 12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 66 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm). 1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 1: 2: 3: 4:
9e+009. 6e+009. 900000000 600000000
1: 2: 3: 4:
4.5e+009 3e+009. 450000000 300000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
Page 1
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 45 cm coklat Maks
4
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 45 cm coklat Min
4 3 2 1 42.00 56.00 12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 67 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah
Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat sebanyak 19 172–29 218 orang atau 460 146–701 240
HOK/th. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 24 087–36 707 orang atau 578 088– 880 978 HOK/th.
1: TK1
2: TK2
1: 2: 3: 4:
30000 20000 800000 500000
1: 2: 3: 4:
15000 10000 400000 250000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 1
1 14.00
2
3
4
Page 1
1 28.00 Day s
4: TK RL 2
2
3
4
1 2 3 4 42.00 56.00 12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 68 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
1: TK3
2: TK4
1: 2: 3: 4:
40000 30000 900000 600000
1: 2: 3: 4:
20000 15000 450000 300000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
Page 1
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 3
1 14.00
2
3
4
1 28.00 Day s
4: TK RL 4
2
3
4
4 3 2 1 42.00 56.00 12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 69 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
Skenario 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik
ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Masukan limbah antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1978.03 ha–2815.16 ha atau 7912.12 unit– 11 260.65 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2485.03 ha–3536.73 ha atau 9940.11 unit–14 146.92 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng menjadi 1312.94 ton/hari– 1868.59 ton N/hari. 1: Penurunan KA Maks 1: 2:
2: Penurunan KA Min
1150 600 1 2 1 2
1: 2:
1000 450
1 2
1 2 1: 2:
850 300 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 3:03 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 70 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari). 1: DDL RL Coklat BM Maks 1: 2: 3: 4:
2: DDL RL Coklat BM Min
3: DDL RL Hijau Maks
4: DDL RL Hijau Min
3500 2500 4000 3000
3
4
2 1: 2: 3: 4:
2500 1500 3000 2000
2
3
4
1
1
2 3
4
1 2 1: 2: 3: 4:
1500 500 2000 1000
3 1
0.00 Page 1
4
14.00
28.00 Day s
42.00
56.00 3:04 PM
Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 71 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.
1: Kapasitas asimilasi maksimal BM
2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1900 1350
1: 2:
2 1
. 1500 950
1: 2:
1
2
2 1
1100 550
1: 2:
2
1 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 3:05 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 72 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16 013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23 492.29 ton. 1: LBRL coklat BM Maks 1: 2: 3:
2: LBRL1 coklat BM Maks
3: LBRL2 coklat BM Maks
20000 3 2 3
1
2 1: 2: 3:
1
10000 3 2 1
1: 2: 3:
1 0.00
Page 1
2
3
0 14.00
28.00 Day s
42.00 3:06 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 73 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
1: LBRL coklat BM Min 1: 2: 3:
2: LBRL1 coklat BM Min
3: LBRL2 coklat BM Min
20000
3 2
1: 2: 3:
10000
3
1
2 1 3 2 1
1: 2: 3:
0
1
2
3
0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 3:07 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 74 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan. 1: LBRL hijau BM Maks
2: LBRL1 hijau BM Maks
3: LBRL 2 hijau BM Maks
30000
1: 2: 3:
3 2 3 1: 2: 3:
1
2
15000 1 3 2 1
1: 2: 3:
1
2
3
0 0.00
14.00
28.00 Day s
Page 1
42.00 3:07 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 75 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan. 1: 2: 3:
1: LBRL hijau BM Min 20000
2: LBRL 1hijau BM Min
3: LBRL 2 hijau BM Min
3 2 3 1: 2: 3:
1
2
10000 1 3 2 1
1: 2: 3: Page 1
1 0
0.00
2
3 14.00
28.00 Day s
42.00 3:07 PM
56.00 Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 76 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp7 217 626 176.22–Rp10 272 233 877.83 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 35 cm) sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73. Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii coklat (jarak tanam 45 cm) sebesar Rp7 274 921 213.44 – Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45 Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp9 067 611 041.88 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp906 761 104.19– Rp1 290 516 009.85. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar Rp9 144 455 203.25–Rp13 014 525 862.06 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp914 445 520.32–Rp1 301 452 586.21. Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp9 139 591 648.73 –Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp913 959 164.87 – Rp1 300 760 397.83 1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 1: 2: 3: 4:
2e+010. 8e+009. 2e+009. 800000000
1: 2: 3: 4:
1e+010. 4e+009. 1e+009. 400000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
Page 1
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
4
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 25 cm coklat Min
1 2 3 4 42.00 56.00 3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 77 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).
1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 1: 2: 3: 4:
2e+010. 8e+009. 2e+009. 800000000
1: 2: 3: 4:
1e+010. 4e+009. 1e+009. 400000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
3
3: PD 35 cm coklat Maks
4
1 28.00 Day s
Page 1
2
3
4
4: PD 35 cm coklat Min
1 2 3 4 42.00 56.00 3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 78 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm). 1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 1: 2: 3: 4:
2e+010. 8e+009. 2e+009. 800000000
1: 2: 3: 4:
1e+010. 4e+009. 1e+009. 400000000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
1 14.00
2
Page 1
3
3: PD 45 cm coklat Maks
4
1 28.00 Day s
2
3
4
4: PD 45 cm coklat Min
4 3 2 1 42.00 56.00 3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 79 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah.
Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672– 810
766.44
HOK/th.
Sedangkan
tingkat
serapan
tenaga
kerja
untuk
pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820– 42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th.
1: TK1
2: TK2
1: 2: 3: 4:
40000 30000 900000 600000
1: 2: 3: 4:
20000 15000 450000 300000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 1
1 14.00
2
3
4
1 28.00 Day s
Page 1
4: TK RL 2
2
3
4
1 2 3 4 42.00 56.00 3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 80 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal). 1: TK3
2: TK4
1: 2: 3: 4:
50000 30000 2000000 800000
1: 2: 3: 4:
25000 15000 1000000 400000
1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
1 0.00
2
3
4
3: TK RL 3
1 14.00
2
3
4
Page 1
1 28.00 Day s
4: TK RL 4
2
3
4
1 2 3 4 42.00 56.00 3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Gambar 81 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal). Hasil simulasi ke 4 skenario memperlihatkan peningkatan limbah antropogenik yang masuk ke dalam kawasan budidaya rumput laut belum berpengaruh negatif terhadap budidaya rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan
produksi
biomassa
secara
linear
sesuai
dengan
semakin
meningkatnya limbah antropogenik. Ini bisa diasumsikan bahwa rumput laut masih mampu menyerap limbah yang masuk dan memanfaatkannya sebagai sumber nutrient. Sebab itu, sampai batas tertentu rumput laut mampu meningkatkan kapasitas asimilasi perairan, sehingga skenario ke 4 merupakan kondisi yang paling optimal.
VII. KEBERLANJUTAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Analisis keberlanjutan kegiatan rumput laut dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut Rap-RL. Rap-RL ini merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot 2001). Hasil analisis keberlanjutan ini dinyatakan dalam indeks keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut (ikb-RL), dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut yang sedang diteliti berdasarkan kondisi yang ada (existing). Nilai indeks berkelanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring pada masingmasing dimensi yang merupakan hasil dari pendapat pakar. Nilai skoring indeks berkelanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0 -100% dengan kriteria tidak berkelanjutan (buruk) jika nilai indeks terletak antara 0–24.99%, kurang berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 25–49.99, cukup berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 50–74.99 dan berkelanjutan (baik) jika nilai indeks terletak antara 75–100%. Penelitian optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, indeks keberlanjutannya ditetapkan dalam lima dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan dengan atribut dan nilai skoring hasil pendapat pakar.
7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap-RL (MDS) terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 67.95% dengan status cukup berkelanjutan (Gambar 82). Nilai indeks keberlanjutan ini menunjukkan bahwa apabila pengelolaan dan pemanfaatan tetap seperti saat ini maka kegiatan budidaya rumput laut, dilihat dari aspek ekologinya akan tetap bisa berkelanjutan tanpa mendegradasi kualitas kawasan perairan. Karena itu, atribut-atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan aspek ekologi yang berdampak positif tetap harus dijaga atau bahkan ditingkatkan dan atribut yang berdampak negatif ditekan.
Gambar 82 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari sepuluh atribut, yakni: (1) kecepatan arus; (2) substrat dasar; (3) salinitas; (4) keterlindungan; (5) Ketinggian gelombang; (6) kecerahan; (7) kedalaman; (8) mutu bibit; (9) ketersediaan bibit dan (10) ketersediaan bibit bermutu baik. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Berdasarkan hasi analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu (1) keterlindungan; (2) kecerahan dan (3) mutu bibit. Hasil analisis Leverage (Gambar 83).
Gambar 83 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Berdasarkan hasil survey, wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng merupakan perairan terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya pelindung
seperti
pulau
kecil
atau
gusung.
Hasil
analisis
Leverage
mengindikasikan bahwa keterlindungan adalah atribut yang paling sensitif untuk memberikan pengaruh pada nilai indeks keberlanjutan apabila dilakukan treatment. Akan tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan teknologi yang bisa berfungsi sebagai pelindung seperti pulau atau gusung. Adapun solusi dari masalah ini adalah dengan menjadwalkan waktu tanam, yakni melakukan penanaman pada musim timur dan peralihan yang kondisi kecepatan arus dan ketinggian
gelombangnya
masih
dalam batas-batas
yang
sensitif untuk
yang
sesuai
untuk
nilai
indeks
pertumbuhan rumput laut. Atribut
selanjutnya
mengubah
keberlanjutan dimensi ekologi adalah kecerahan. Secara umum kecerahan pada lokasi penelitian tinggi, hanya ada beberapa spot yang mengalami sedikit kekeruhan. Namun ternyata hal ini menjadi atribut yang sensitif. Tingkat kecerahan yang rendah berada pada posisi sekitar pantai yang kedalaman perairannya rendah sehingga pengadukan terjadi sampai ke dasar perairan. Atribut mutu bibit bisa dipahami kalau menjadi atribut yang perlu dibenahi sebab sampai
saat ini belum ada kegiatan pembibitan yang mampu menyiapkan bibit yang bermutu baik. Masyarakat hanya menggunakan bibit yang disisihkan dari hasil panen dan digunakan berulang-ulang. Pada hal Mubarak (1978) memperkirakan bahwa paling lama 6 bulan bibit sudah harus diganti dengan bibit yang baru sebab menggunakan bibit lebih dari 6 bulan produksi cenderung menurun. Salah satu faktor produksi yang menentukan keberhasilan suatu kegiatan budidaya adalah penggunaan bibit yang bermutu baik. Kalau nelayan rumput laut atau pihak swasta belum mampu membuat pembibitan untuk menyiapkan bibit yang bermutu, seharusnya pihak pemerintahlah dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kalautan Kabupaten Bantaeng yang menanganinya. Upaya perbaikan tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi akan tetapi juga diupayakan mempertahankan atau meningkatkan atribut-atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi kegiatan budidaya rumput laut untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan.
7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis Rap-RL terhadap enam atribut dari dimensi ekonomi memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 67.95% dengan status cukup berkelanjutan (Gambar 84). Posisi titik nilai indeks keberlanjutan ekonomi berada pada kwadran positif, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan selama ini cenderung ke arah yang baik. atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan nilai indeks keberlanjutan tersebut maka. Atribut yang diperkirakan sensitif memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi adalah (1) kelayakan kegiatan budidaya rumput laut; (2) keuntungan kegiatan budidaya rumput laut; (3) kontribusi terhadap PAD; (4) pasar rumput laut; (5) rantai pemasaran; dan (6) jumlah pasar.
Gambar 84 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atributatribut keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas. Atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi. Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi ekonomi, yaitu (1) kontribusi terhadap PAD; (2) pasar rumput laut; dan (3) rantai pemasaran. Hasil analisis Leverage ditampilkan pada Gambar 85.
Gambar 85
Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS).
Kontribusi budidaya rumput laut terhadap pendapatan asli daearah (PAD) merupakan atribut yang paling sensitif. Melihat kondisi di lapangan, hal ini bisa difahami. Sampai saat ini, kontribusi kegiatan budidaya rumput laut terhadap PAD Kabupaten Bantaeng masih rendah. Kontribusi langsung kegiatan budidaya rumput laut hanya berupa retribusi lahan sebesar Rp50 000/ha/tahun dan retribusi angkutan produksi rumput laut sebesar Rp20 000/truk dan satu truk berisi 10-12 ton rumput laut kering. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang bisa membantu pengembangan kegiatan budiaya rumput laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap PAD. Sebaiknya rumput laut diolah dulu menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi sebelum dijual sehingga ada nilai tambah bagi Pemda Kabupaten Bantaeng. Jika dilihat pada aspek pasar, komoditas ini tidak perlu dipasarkan jauh-jauh karena pembeli siap mendatangi nelayan rumput laut yang sudah panen setiap waktu. Masalahnya adalah cara pembeli atau pedagang pengumpul mengendalikan harga komoditi. Nelayan rumput laut yang meminjam uang pada pedagang pengumpul harus menjual rumput lautnya pada pedagang tersebut. Harga penjualan ditentukan oleh pedagang pengumpul dan umumnya dengan harga yang lebih rendah dibandingkan jika nelayan menjual ke pedagang lain. Nelayan rumput laut tidak memiliki posisi tawar sebab selain mereka telah
berhutang mereka juga tidak mempunyai akses terhadap informasi harga komoditas. Rantai pemasaran rumput laut masih tergolong panjang sehingga keuntungan yang ada harus dibagi ke lebih banyak pihak. Untuk sampai ke pabrik pengolahan, rumput laut mengalami beberapa kali pindah tangan baru kemudian sampai di tangan eksportir atau pabrik pengolahan di Kabupaten Takalar atau Makassar. Sebagai akibatnya nelayanlah menjadi pihak yang paling sedikit menikmati pembagian keuntungan tersebut.
7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya Dimensi sosial budaya yang telah dianalisis dengan Rap-RL memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 56.47% dengan status cukup berkelanjutan (Gambar 86). Posisi titik nilai indeks yang berada pada sumbu x, merupakan indikasi bahwa pengelolaan yang dilakukan sekarang cenderung ke arah yang kurang baik walaupun masih dalam kategori cukup berkelanjutan. Karena itu perlu upaya pengelolaan yang lebih baik untuk memperbaiki atribut-atribut yang berpengaruh negatif terhadap nilai indeks tersebut. Sedangkan artribut yang berpengaruh positif terhadap nilai indeks keberlanjutan harus dipertahankan atau bahkan lebih ditingkatkan. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi social-budaya, adalah: (1) tingkat pendidikan; (2) jumlah rumah tangga nelayan rumput laut; (3) sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut; (4) kemandirian nelayan; (5) partisipasi keluarga dalam pengelolaan budidaya rumput laut; (6) alternatif kegiatan selain budidaya rumput laut; (7) tingkat pemberdayaan nelayan rumput laut. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya, yakni: (1) sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut; (2) kemandirian nelayan; dan (3) jumlah rumah tangga nelayan rumput laut. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya meningkat pada masa yang akan datang.
Gambar 86
Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Hasil analisis Leverage untuk dimensi sosial-budaya, dapat dilihat pada Gambar 87. Sistem sosial-budaya dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng umumnya masih mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yakni gotong royong. Sebagian besar pekerjaan dilakukan masih secara gotong royong. Kecuali pada jenis kegiatan tertentu dalam kegiatan budidaya, seperti pengikatan bibit pada bentangan.
Gambar 87 Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Bagi masyarakat pesisir, tidak terlalu banyak pilihan pekerjaan yang bisa diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecuali jika nelayan rumput laut mencari pekerjaan diluar wilayahnya sehingga tingkat ketergantungan terhadap kegiatan budidaya rumput laut cukup tinggi. Saat ini, pekerjaan yang paling memberikan harapan perbaikan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir adalah kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh mata pencaharian lain antara lain, modal relatif kecil, teknologi yang digunakan sederhana dan pasarnya selalu tersedia. Karena itu jumlah rumah tangga nelayan rumput laut setiap tahun semakin bartambah banyak. Hasil penelitian menunjukkan populasi RTP nelayan rumput laut lebih 75% dari komunitas penduduk wilayah pesisir. Pertambahan RTP nelayan rumput laut ini harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Hasil analisis Rap-RL dari enam atribut dimensi teknologi memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 32.42% dengan status kurang berkelanjutan (Gambar 88). Nilai indeks keberlanjutan yang rendah ini menunjukkan perlunya
segera dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang berpengaruh negatif terhadap nilai indeks. Tanpa perbaikan yang signifikan maka kegiatan budidaya rumput laut di masa yang akan datang akan mengalami stagnasi dalam upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan nelayan rumput laut.
Gambar 88 Indeks keberlanjutan dimensi teknologi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi teknologi, adalah (1) Tingkat penguasaan teknologi budidaya RL; (2) Ketersediaan teknologi informasi RL; (3) Ketersediaan industri pengolahan hasil RL; (4) Standarisasi mutu produk RL; (5) Standarisasi mutu produk RL; dan (6) Dukungan sarana dan prasarana. Analisis Leverage dilakukan untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Hasilnya diperoleh tiga atribut yang paling sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan sebagai berikut: (1) Dukungan sarana dan prasarana; (2) Ketersediaan teknologi informasi RL; dan (3) Ketersediaan industri pengolahan hasil RL. Kondisi sarana dan prasarana untuk menunjang perkembangan kegiatan budidaya rumput laut masih minim di Kabupaten Bantaeng. Namun satu keuntungan bagi wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng karena dilewati oleh sarana
jalan antar kabupaten dan provinsi. Tetapi parasarana jalan ini hanya terbatas pada jalanan poros, tidak menjangkau sampai ke jalan-jalan desa sehingga tetap diperlukan prasarana jalan-jalan yang menjangkau sampai ke sentra produksi rumput laut untuk mempermudah transportasi produksi. Ketersediaan teknologi informasi khusus untuk kegiatan budidaya rumput laut, sampai saat ini belum tersedia. Nelayan rumput laut melakukan kegiatannya berdasarkan naluri, kebiasaan dan informasi sesama nelayan rumput laut yang belum tentu benar. Informasi tentang harga pasar terhadap komoditas yang mereka hasilkan tidak ada akibatnya, harga sangat ditentukan oleh pembeli. Nelayan hanya menerima harga tersebut tanpa berdaya untuk menegosiasikannya. Melihat perkembangan kegiatan budidaya rumput laut yang pesat dan produksi yang dihasilkan cukup lumayan maka pemerintah seharusnya membangun pabrik pengolahan rumput laut. Dengan adanya pabrik pengolahan rumput laut di Kabupaten Bantaeng maka akan ada nilai tambah untuk Pemerintah Daerah dan masyarakat di wilayah pesisir. Bagi nelayan rumput laut, harga komoditasnya bisa lebih tinggi dihargai oleh pedagang karena tidak lagi diperhitungkan ongkos transportasi. Di samping itu, produksi rumput laut dari kabupaten tetangga seperti dari Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Selayar dan Kabupaten Jeneponto, yang juga belum memiliki sarana pengolahan rumput laut, dan selama ini mengolahnya di Kabupaten Takalar atau di makassar bisa beralih mengolahnya di Kabupaten Bantaeng. Tingkat penguasaan nelayan rumput laut terhadap teknologi kegiatan budidaya rumput laut cukup memadai di Kabupaten Bantaeng. Menyiasati kondisi perairan yang tidak kondusif mereka telah memiliki pengetahuan sendiri, misalnya pada saat curah hujan tinggi sehingga kemungkinan salinitas akan turun ke level yang tidak aman bagi budidaya rumput laut, mereka akan mengisi air pada botol-botol pelampung sehingga bentangan yang berisi rumput laut tenggelam pada kedalaman yang tidak dipengaruhi air tawar (air hujan). Pengalaman mereka menunjukkan bahwa kedalaman air tawar berkisar 10-20 cm pada bagian permukaan. Mereka bisa membedakan antara lapisan air tawar dengan lapisan air laut dari perbedaan suhu kedua lapisan tersebut, suhu air tawar lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu air asin.
Standarisasi mutu rumput laut belum berjalan di Kabupaten Bantaeng. Nelayan rumput laut tidak mengetahui dengan pasti perbedaan penampilan fisik rumput laut yang bermutu baik atau yang bermutu jelek tetapi informasi yang mereka peroleh dari pemerintah mereka tahu bahwa rumput laut yang dipanen pada masa pemeliharaan 45 hari lebih bagus mutunya dibandingkan dengan yang dipanen pada masa pemeliharaan 40 hari atau kurang. Masalahnya bagaimanapun kondisi/kualitas rumput laut yang mereka hasilkan pedagang pengumpul tetap membelinya dengan harga yang sama, rumput laut yang dipanen tepat waktu atau 45 hari masa pemeliharaan dengan yang dipanen 40 hari masa pemeliharaan atau bahkan kurang dari itu harganya tetap sama demikian juga dengan rumput laut yang dijemur menggunakan para-para sehingga pengeringannya lebih baik dan lebih bersih dibandingkan dengan yang dijemur di atas pasir begitu saja tanpa alas, harganya juga tetap sama. Karena itu nelayan rumput laut akan memanen lebih awal apalagi kalau dipicu dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari yang mendesak. Akibatnya nelayan rumput laut tidak terlalu mementingkan masa pemeliharaan dan cara penjemuran sehingga mutu produk yang dihasilkanpun bermutu rendah. Fenomena ini terjadi sebab nelayan rumput laut masih fokus pada rumput laut sebagai komoditas belum melihat rumput laut sebagai bahan baku industri sehingga yang dipentingkan adalah bobot produksi bukan kualitasnya. Pada hal untuk prospek ke depan, budidaya rumput laut harus lebih berorientasi kepada kualitas karagenan yang dihasilkan untuk bahan baku industri agar bisa bersaing dengan produksi Filipina dan China. Pada saat ini karagenan produksi Filipina dan China yang dijual di Indonesia harganya lebih murah dibandingkan dengan karagenan produksi Indonesia, padahal bahan baku rumput lautnya berasal dari Indonesia. Hal ini bisa terjadi sebab kegiatan rumput laut dari hulu sampai ke hilir di Filipina dan China disuport secara total oleh semua lini dan sektor mulai dari unsur pemerintah dari berbagai departemen yang ada kaitannya dengan segala proses rumput laut menjadi karagenan sampai kepada pemasaran, perbankan dan swasta. Sehingga produksi karagenan dan produksi hilir rumput laut lainnya harganya bisa lebih murah. Sementara di Indonesia rumput laut hanya mendapat perhatian khusus dari kemeterian Dinas Kelautan dan Perikanan. Sektor lain
seperti Kementerian perindustrian dan perdagangan, Perhubungan, Perbankan, swasta dan stakeholders lain saat ini belum betul-betul terlibat secara intensif. Apabila atribut-atribut tersebut dikelola dengan baik maka nilai indeks keberlanjutan bisa lebih meningkat dari status kurang berkelanjutan menjadi status berkelanjutan. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang memberikan dampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Hasil analisis Leverage untuk dimensi teknologi, dapat dilihat pada Gambar 89.
Gambar 89
Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan dengan tujuh atribut yang telah dianalisis Rap_RL menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 39.84% dengan status kurang berkelanjutan (Gambar 90). Walaupun posisi titik nilai indeks keberlanjutan berada pada kwadran positif yang berarti kecenderungan pengelolaan sekarang ke arah baik, akan tetapi nilai indeks yang rendah yang berada pada status kurang berkelanjutan mengindikasikan adanya atribut-atribut yang perlu perbaikan dengan segera. Apabila hal ini tidak dilakukan maka kegiatan budidaya rumput laut yang eksis saat ini bisa mengalami penurunan nilai manfaat.
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan, adalah (1) Ketersediaan lembaga kelompok tani RL; (2) Ketersediaan zonasi peruntukan lahan wilayah pesisir; (3) Ketersediaan Perda; (4) Ketersediaan aturan adat dan agama/kepercayaan; (5) Adanya tokoh panutan yang disegani; (6) Ketersediaa lembaga keuangan/sosial; (7) Keberadaan Balai Penyuluh pertanian untuk rumput laut.
Gambar 90 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Analisis Leverage dilakukan untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh tiga atribut paling sensitif diantara atribut lainnya, yakni (1) Ketersediaan Perda; (2) Ketersediaan lembaga kelompok tani; dan (3) Ketersediaan lembaga ekonomi/sosial (Gambar 91). Secara khusus, belum ada Perda di Kabupaten Bantaeng yang mengatur kegiatan budidaya rumput laut padahal kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat. Sehingga perlu aturan-aturan agar ke depan kegiatan budidaya rumput laut bisa berkembang dan berkelanjutan tanpa menimbulkan konflik yang bisa merugikan bukan hanya bagi nelayan rumput laut itu sendiri tapi
juga masyarakat umum dan pemerintahan secara keseluruhan. Perda yang sudah ada hanya mengatur pemungutan retribusi. Belum ada Perda yang mengatur zonasi peruntukan perairan pesisir agar semua stakeholders bisa mengakses perairan tersebut secara adil dan bisa berkelanjutan, khususnya dalam pengelolaan kegiatan budidaya rumput laut. Tata letak unit budidaya rumput laut belum teratur, jalur-jalur untuk lalu lalang perahu nelayan dan untuk para nelayan rumput laut sendiri serta stakeholders lainya belum ditata dengan baik. Sehingga kadang-kadang menyulitkan bagi stakeholders lain untuk memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir. Untuk mengeliminir konflik yang bisa terjadi, terdapat aturan adat yang mengatur tentang ganti rugi bagi nelayan rumput laut yang rusak lahan maupun rumput lautnya karena kelalaian pihak lain, misalnya tertabrak perahu nelayan atau perahu sesama nelayan rumput laut. Ganti rugi disesuaikan dengan nilai kerusakan yang disepakati bersama diantara mereka. Namun aturan lokal ini belum cukup memadai, dibutuhkan Perda yang lebih mengikat dan komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.
Gambar 91 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
7.6 Status Keberlanjutan Multidimensi Perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terutama terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan perlu ditingkatkan agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan ke dua dimensi tersebut berada pada status kurang berkelanjutan. Bukan hanya nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan yang perlu diperbaiki akan tetapi nilai indeks keberlanjutan tiga dimensi yang lain juga masih bisa ditingkatkan sehingga statusnya berubah dari cukup berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis RapRL seperti disajikan pada Gambar 92, di bawah ini.
Gambar 92 Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Hasil analisis Rap-RL multidimensi keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng berdasarkan kondisi yang ada, diperoleh nilai 54.11 % yang berarti termasuk kedalam status cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 36 atribut dari 5 dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan. Posisi titik nilai indeks keberlanjutan tersebut berada pada kwadran positif yang berarti pengelolaan berjalan ke arah yang baik. Nilai indeks keberlanjutan tersebut
disajikan pada Gambar 93. Nilai indeks keberlanjutan sudah cukup bagus namun tetap harus ada upaya untuk memperbaiki atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan serta mempertahankan bahkan meningkatkan atribut-atribut yang selama ini telah berdampak positif terhadap nilai indeks keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut.
Gambar 93 Indeks keberlanjutan multidimensi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis Leverage dari kelima dimensi sebanyak 16 atribut (Gambar 94). Perbaikan pada atribut-atribut tersebut perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut. Atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan ditingkatkan kapasitasnya dan sebaliknya menurunkan atau menekan kapasitas atribut yang berdampak
negatif terhadap nilai indeks
keberlanjutan. Hasil analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rap-RL. Hal ini berarti bahwa kesalahan analisis dapat diperkecil dalam hal skoring setiap atribut, variasi
pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, dan kesalahan dalam memasukka data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 23.
Gambar 94 Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Tabel 23 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo Nilai indeks keberlanjutan (%) Dimensi keberlanjutan MDS Monte Carlo perbedaan Ekologi 67.94 65.85 2.09 Ekonomi 67.54 65.83 1.71 Sosial-budaya 56.47 56.35 0.12 Teknologi 32.41 31.20 1.21 Kelembagaan 39.62 39.13 0.49 Multi-Dimensi 54.11 53.43 0.68 Hasil analisis Rap-RL menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut cukup akurat. Ini terlihat dari nilai stress yang berkisar antara 12-15 % dan nilai koefisien determinasi (R²) berkisar antara 0.91-0.95. Hasil analisis cukup memadai apabila
nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25 %) dan nilai R² mendekati nilai 1.0, (Fisheries 1999), (Tabel 24). Tabel 24 Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²) Parameter Dimensi keberlanjutan A B C D E F Stress 0.14 0.14 0.15 0.15 0,15 0,12 R² 0.92 0.92 0.91 0.94 0.94 0.95 Iterasi 3 3 3 2 2 2
VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang telah memenuhi sepanjang wilayah laut pesisir sejauh 3-5 km ke arah laut dan produksinyapun cenderung terus meningkat setiap tahun. Kesesuaian lahan merupakan hal penting dan pertama yang harus diperhatikan sebelum melakukan budidaya rumput laut. Kesuksesan usaha budidaya sangat tergantung dari faktor tersebut dan beberapa faktor lain. Bagaimanapun bermutunya bibit yang digunakan kalau lahannya tidak sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan oleh rumput laut maka hasilnya pasti tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) seluas 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) seluas 1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha. Dilihat dari aspek kesesuaian kawasan, masih cukup luas lahan yang belum dikelola, akan tetapi untuk pengembangan budidaya rumput laut ke depan yang perlu diperhitungkan adalah daya dukung perairan. Apabila daya dukung kawasan budidaya terlampaui maka usaha budidaya rumput laut yang kini menjadi andalan masyarakat pesisir untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka tidak akan berkelanjutan. Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Konsep daya dukung yang dikembangkan dalam budidaya rumput laut adalah konsep daya dukung ekologis dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang lain. Dua pendekatan digunakan untuk menghitung daya dukung perairan daerah kajian, yakni pendekatan kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N. Daya dukung perairan yang dihitung
dengan pendekatan kapasitas perairan adalah tersebut
sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh daya dukung kawasan sebesar 6 603 unit budidaya untuk K.alvarezii (Doty) coklat dan 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (Doty) hijau. Areal budidaya yang sudah
150
dikelola menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng (2009) adalah 1 214.7 ha. Dilihat dari tingkat produktifitas, masih jauh dibawah daya dukung produksi. Produktifitas rumput laut di Kabupaten Bantaeng pada tahun 2008 baru 2 ton/ha/tahun atau produksi 7 677.55 ton dari luas lahan 3 792 ha (Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 2009) dan dari hasil wawancara dengan responden nelayan rumput laut, produktivitas sekitar 6-8.4 ton/ha/tahun. Sementara daya dukung produksi sekitar 9 ton berat kering/ha/tahun dengan pendekatan luas kawasan, bahkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N daya dukung mencapai sekitar 12 500 ton berat kering/ha/tahun. Analisis optimasi dengan menggunakan sistem dinamik memberikan hasil paling optimal pada skenario 4. Berbeda dengan komoditas perikanan lainnya yang memberikan limbah pada proses budidayanya, rumput laut justru memanfaatkan limbah organik yang masuk ke perairan sebagai nutrient. Secara umum usaha budidaya rumput laut berada pada taraf berkelanjutan, namun perlu perbaikan pada aspek/dimensi teknologi dan kelembagaan yang nilai indeks keberlanjutannya berada pada status tidak berkelanjutan. Berbagai
alat
analisis
yang
digunakan
tersebut
pada
akhirnya
memperlihatkan bahwa usaha budidaya rumput laut di wilayah kajian secara umum berada pada status cukup berkelanjutan walaupun dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan belum cukup berkelanjutan. Dengan mengacu pada atribut-atribut yang sensitif dari hasil analisis Leverage maka untuk pengembangan kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng, arahan pengelolaannya, adalah: a. Dimensi Ekologi 1. Penyediaan bibit bermutu baik dan cukup melalui pengadaan pembibitan yang profesional baik oleh pemerintah maupun swasta dan LSM. Sampai saat ini nelayan rumput laut hanya menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen yang disisihkan padahal bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu budidaya. Itulah sebabnya produktivitas rumput laut di wilayah kajian masih tergolong rendah. 2. Menyiasati kondisi perairan yang tidak terlindung dengan mengatur jadwal tanam pada musim Timur dan peralihan. Sebab pada musim barat kecepatan
151
arus dan tinggi gelombang melampaui kondisi persyaratan tumbuh rumput laut. Hal tersebut bisa menyebabkan rumput laut yang dibudidayakan patahpatah demikian juga dengan konstruksi unit budidaya. 3. Tidak menanam rumput laut pada perairan yang tingkat kecerahannya tidak memenuhi syarat tumbuh rumput laut. Pertumbuhan rumput laut pada perairan yang keruh tidak akan maksimal sebab cahaya matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesa tidak optimal. b. Dimensi Ekonomi Ada beberapa solusi yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah ini, antara lain: 1. Koperasi. Koperasi rumput laut yang didirikan beranggotakan nelayan rumput laut. Berfungsi untuk memberikan pinjaman modal kepada nelayan rumput laut dan membeli semua produksi rumput laut dengan harga yang menguntungkan bagi nelayan rumput laut. Namun dengan syarat produksi rumput laut yang dihasilkan bermutu baik. Hal ini bisa memotong rantai pemasaran rumput laut dan sekaligus berdampak pada jual beli yang lebih adil bagi para pelaku; 2. Pembangunan dan perbaikan prasarana jalan dan transportasi agar memperlancar pendistribusian bahan-bahan kebutuhan yang berkaitan dengan kegiatan budidaya rumput laut dan pengangkutan produksi rumput laut. 3. Pabrik pengolahan. Pemerintah ataupun swasta membangun pabrik pengolahan rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Hal ini akan menyebabkan efek ganda. Antara lain, mengurangi pengangguran, biaya trasportasi untuk mengangkut produksi rumput laut ke pabrik/eksportir bisa berkurang sehingga harga yang diperoleh nelayan rumput laut bisa lebih tinggi, pemerintah daerah bisa mendapatkan nilai tambah dari pajak pertambahan nilai, kegiatan industri makanan kecil dari bahan rumput laut yang sudah diolah bisa tumbuh dan berkembang, tercipta kegiatan informal untuk menunjang keberadaan karyawan pabrik, seperti pemondokan, penjual makanan dan minuman serta kebutuhan sehari-hari yang lain. Sehingga perekonomian masyarakat bisa berkembang.
152
4. Kebijakan. Pemerintah mengintervensi pasar rumput laut dengan menentukan harga dasar rumput laut, mendorong kemajuan budidaya rumput laut sehingga bisa berkontribusi lebih besar terhadap PAD, kebijakan pemberian bantuan modal atau mempermudah nelayan rumput laut mengakses sumber modal (misalnya, Bank Pembangunan Daerah) sehingga mengurangi peranan tengkulak/ponggawa dan nelayan rumput laut bisa lebih mandiri dalam menjual dan mempunyai posisi tawar terhadap tengkulak dalam menentukan harga komoditasnya. c. Dimensi Sosial-Budaya 1. Sifat gotong royong diantara para nelayan tetap harus dijaga agar kesejahteraan sosial masyarakat bisa tercapai 2. Perlu diciptakan alternatif pekerjaan selain budidaya rumput laut untuk mengurangi ketergantungan masyarakat secara langsung terhadap kegiatan budidaya rumput laut 3. Anggota keluarga diupayakan terlibat secara aktif dalam kegiatan budidaya rumput laut agar tercipta suasana yang harmonis. d. Dimensi Teknologi 1. Perlu ketersediaan prasarana jalan yang bisa menjangkau kesemua sentra produksi rumput laut untuk mempermudah transportasi dan pemasaran. 2. Informasi teknologi tepat guna bagi pengelolaan kegiatan budidaya rumput laut
perlu
disiapkan
untuk
mempermudah
nelayan
rumput
laut
mengaksesnya. 3. Industri pengolahan rumput laut perlu diupayakan ketersediaannya agar nelayan rumput laut tidak lagi menjual produksinya hanya dalam bentuk rumput laut kering dan ada nilai tambah bagi Pemda. e. Dimensi Kelembagaan 1. Perlu Perda yang bisa mengatur kegiatan budidaya rumput laut baik dari segi zonasi
maupun
pengaturan
unit-unit
budidaya
untuk
mengatisipasi
kemungkinan terjadinya konflik kepentingan diantara stakeholders.
153
2. Kelompok tani yang sudah ada perlu diaktifkan dan diberdayakan untuk mempermudah kegiatan penyuluhan dan tukar menukar informasi tentang masalah-masalah dan kemajuan-kemajuan yang mereka alami. 3. Koperasi khusus untuk nelayan rumput laut untuk membantu kebutuhan permodalan bagi pengembangan kegiatan budidaya rumput laut maupun kebutuhan sehari-hari nelayan rumput laut.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1
Kesimpulan
1. Kawasan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada wilayah kajian adalah 2 313.29 ha dan sudah dikelola seluas 1 214.70 ha. 2. Daya dukung kawasan kajian adalah 5 941.85 unit budidaya atau setara dengan produksi rumput laut 8 912.77 ton berat kering/tahun dengan pendekatan kapasitas lahan. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N, diperoleh daya dukung perairan sebesar 6 603 unit setara 9 903.84 ton bk/thn untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 8 295 unit budidaya yang setara dengan 12 442.35 ton berat kerig/tahun untuk K.alvarezii (doty) hijau. 3. Optimalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya rumput laut memberikan hasil yang paling optimal pada skenario ke empat, yakni asumsi penambahan limbah organik ke dalam perairan sebesar 50% dari kondisi saat ini. 4. Dimensi teknologi dan kelembagaan nilai indeksnya belum berkelanjutan dan atribut yang harus diperbaiki pada: dimensi teknologi : sarana dan
prasarana,
informasi teknologi tepat guna dan industri pengolahan dan dimensi kelembagaan : ketersediaan Perda, kelompok nelayan RL dan lembaga ekonomi & sosial
9.2 Saran 1. Masih memungkinkan penambahan sekitar
1 000-3 400 unit budidaya namun
sebaiknya lebih difokuskan kepada peningkatan produktivitas dan kualitas rumput laut 2. Perlu Perda untuk mengatur zonasi, tata letak unit budidaya dan harga dasar rumput laut 3. Perlu pengadaan bibit bermutu dalam jumlah yang cukup untuk meningkatkan produktivitas rumput laut 4. Perlu disusun kriteria persyaratan lokasi budidaya, khusus untuk budidaya rumput laut pada kawasan perairan terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Aji, N dan M. Murdjani. 1986. Budidaya Rumput Laut. Indonesian Fisheries Information System, manual seri no. 32. Direktorat Jenderal PerikananInternational Development Research Center. Jakarta. Amarullah. 2007. Pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Amiluddin. 2007. Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan rumput laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari Kepulauan Seribu. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Anggadiredja, J., Zatnika, A dan Istini, S. 1996. Potensi dan Manfaat Rumput Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput laut. Jakarta. Asbar, 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Aslan, LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. Atmadja, WS, A. Kadi, Sulistijo dan R Satari. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseonologi Lipi. Jakarta. Basmal, J. 2001. Perkembangan Teknologi Riset Penanganan Pasca Panen dan Industri Rumput Laut. Forum Rumput Laut. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Bengen, DG. 2002. Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Penyunting: DG, Bengen. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Bengen, DG. 2004a. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bengen, DG. 2004b. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Eko-sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor. Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Pembangunan Wilayah Pesisir: Antara Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan. Warta Pesisir dan Lautan, No. 02/ Th. IV.
158 Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan.INCUNE,No. 01/Th. II: 2-5. Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menelusuri Peran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Warta Pesisir dan Lautan, No. 04/Th. III. Bengen, DG., A. Tahir, dan B. Wiryawan. 2003. Program Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan: Tinjauan Aspek Keberlanjutan, Akuntabilitas dan Replikabilitas. Proyek Pesisir PKSPL-IPB. Bengen, DG. 2005. Pentingnya Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Kesesuaian Lingkungan bagi Keberlanjutan Pembangunan Kelautan. Perspektif Keterpaduan dalam Penataan Ruang Darat-Laut. Merajut Inisiatif Lokal Menuju Kebijakan Nasional. Mitra Pesisir (CRMP II). Jakarta. BPS (Biro Pusat Statistik) Sulawesi Selatan. 2002. Kabupaten Bantaeng dalam Angka. BPS Provinsi Sulawesi Selatan. Budiharsono, S. 2006. Konsep Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan. Dalam: Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekjen DKP Jakarta. Charles, AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. Balckwell Science. Saint Mary’s University Halifax, Nova Scotia, Canada. Chua, TE. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical Application in Sustainable Coastal Development in East Asia. Partnership in Enviromental Management for the Seas of East Asia. Cicin-Sain, B dan RW Knecht. 1998. Integrated Coartal and Ocean Management. Island Press, Washington DC. Crawford, B. 2002. Seaweed Farming: An Alternative Livelihood Small-Scale Fishers? Working Paper. Coastal Resources Center, Unversity of Rhode Island. http://www.google.com. (Tgl. 01 September 2008). Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita. Dahuri, R. 2005. Potensi Ekonomi Kelautan (Menyambut Hari Nusantara 13 Desember). Republika, Selasa, 13 Desember 2005. http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16 Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Kebijakan DKP: Pengelohan dan Pemasaran. Produk Olahan Rumput Laut Indonesia. www.dkp.go.id. Departemen Perdagangan. 1989. Ekspor Rumput Laut Indonesia. Jakarta
159
Departemen Pertanian Kanwil DKI. 2001. Rumput Laut: Cara Budidaya dan Pengolahannya. Jakarta. Djojomartono, M. 1993. Pengantar umum analisis sistem. Makalah pelatihan analisis sistem dan informasi pertanian. Kerjasama BPP TeknologiFakultas Teknologi Pertanian IPB. 29 Juni – 26 Juli 199 Doty, MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp. Nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia In. I.A Abbot and J.N. Norris Eds. Taxonomy Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program. Doty, MS. 1987. The Production and Uses of Eucheuma Di dalam: Doty MS, Caddy JF, Santelices B (editors). Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. FAO Fish Techn. Paper 281. Rome. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. FAO, 2008. Cultured Aquatic Species Information Programme: Eucheuma spp. Fisheries and Aquaculture Department. Fauzi, A. dan Anna, S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4930. Fisheries. 1999. Rapfish Softwere for Exel. The Fisheries Centre, University of British Columbia, Fisheries Center Research Reports. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids. Vol 2. CRC Press, Inc.Florida. Handoko. 2005. Quantitative Modelling of System Dynamics for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Haq, SM. 1997. Ecology and Economic: Implication for Integrated Coastal Zone Management. Dalam: Bilal UH, SM Haq, G.Kullemberg dan JH. Stel (Editor): Coastal Zone Management Imperative for Maritime Developing Nations. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Hardjowigeno S, Widiatmaka, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Fakultas Pertanian . IPB. Hartrisari, 2007. Sistem dinamik. Konsep system dan pemodelan untuk industri dan lingkungan. SEAMEO BIOTROP Haslett, SK. 2000. Coastal Systems. Routledge Introductions to Environment Series. London and New York.
160
Herlinah. 2008. Laju Penyerapan Nitrat dan Fosfat oleh Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) di Perairan Kabupaten Takalar. Tesis Program Pascasarjana UNHAS. Iksan, Kusdi HI. 2005. Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Kay, R. dan J. Alder. 2005. Coastal Planning and Management. Taylor and Francis. London and York. (KPP RI) Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2003. Bahan Pembelajaran Analisis Gender dalam Rangka Penyusunan Kebijakan, Program, Proyek dan Kebijakan yang Responsif Gender. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Kadi,A. dan Atmadja, WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae: Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kamlasi. 2008. Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software For Rapfish: A Technique For the Rapid Appraisal of Fisheries Status. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall. Fisheries Centre Research Reports 12(2). Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10-2002 - Pedoman Umum Perencanaan. www.dkp.go.id. Krom, MD. 1986. An Evaluation of the Concept of assimilative Capacity as Appliedto Marine water. Ambio XV (4). Luthfy S. 1988. Mempelajari ekstraksi karagenan dengan metode semi refined. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ma’ruf, WF. 2005. Alih Teknologi Industri Rumput Laut Terpadu. Pusat Riset dan Pengelolaan Produk dan Sosial ekonomi Kelautan dan Perikanan (PRPPSE), Departemen Kelautan dan Perikanan. Ma’ruf, WF. 2007. Klaster Industri Perumputlautan untuk Produk Karagenan yang Kompetitif. craby & starky, Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Edisi juli 2007.
161 Ma’ruf, FW. 2010. Isu Aktual Industri Rumput Laut Internasinal. Makalah pada SEABFEX III. Surabaya. Madeali, M.I, M. Amin, dan E. Ratnawati. 1999. Budidaya Rumput Laut Eucheuma sp dengan Sistem Rakit dan Lepas Dasar Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Balai Penelitian Perikanan Pantai. Maros. Mansyur, Akhmad. 2009. Pengelolaan perairan pesisir gugus pulau Kaledupa untuk usaha budidaya rumput laut. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor. Mondoringin, Lukas Lotharius Jansen Josef. 2005. Kajian ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Moser, CON. 1993. Gender Planning and Developmen. Theory, Practice and Training. Routledge. London. Mubarak, H. 1975. Budidaya Rumput Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Mubarak, 1978. Kemungkinan-Kemungkinan Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Aru, Maluku. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. Jakarta. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. BadanLitbang Pertanian Departemn Pertanian. Mubarak H, Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangkan. IDRC-INFIS. Munasinghe, M. 2002. Environmental Economic and Sustainable development. World Bank Environment Paper No. 3 The World Bank. Washington. Nurdjana, Made.L. 2006. Kebijakan dan Program Menuju Kejayaan perikanan Budidaya. Makalah. Disampaikan pada Kuliah Umum di Departemen Budidaya, IPB. OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). 1993. Coastal Zone management: Integrated Policies. Organization for Economic Co-operation and Development. Paris. Pamungkas, KT. 1987. Mempelajari Hubungan antara Umur Panen dengan Kandungan Karagenan dan Senyawa-Senyawa Lainnya pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spnosum. [skripsi]. Bogor. Jurusan Pengelolaan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Pitcher TJ dan D.Preikshot. 2001. RAPFISH: a Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49
162 Pong-Masak PR. 2007. Hubungan Penyerapan Nitrogen dan Fosfat dalam Tallus Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut di Perairan Kabupaen Bantaeng, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. Pusat Penelitian Oseanografi. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Alga Makro/Seaweed) di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2001. Laporan Forum Rumput Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Puslitbangkan,1991. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp) Dengan Rakit dan Lepas Dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Jakarta. 9 hal. Quano, 1993. Training Manual on Assesment of the Quantity ang Type of Land Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environmental, UNEF. Bangkok. Rauf, Abd. 2007. Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya dukung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Sallata. 2007. Kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Slamet,M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Pembangunan. Editor. Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor. IPB Press. Sulistijo, Atmajaya WS. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Jakarta. Puslitbang-Oseanografi LIPI. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gamedia Pustaka Utama. Jakarta. Suryaningrum, TD. 1988. Kajian sifat-sifat mutu komoditas rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan eucheuma spnosum. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sushil 1993. Systems dynamics. A practical approach for managerial problems. Wiley Eastern Limited, New Delhi. Susilo, SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepualauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
163 Syahputra (2005). Pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan dan jarak tanam yang berbeda. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Turner, GE. 1988. Codes of Practice and Manual of Procedures for Consideration on Introduction and Transfer of Marine and Freshwater Organisms, EIFAC/CECPI, Occasional Paper No. 23. Undang-Undang Republik Indonesia No. 27.Tahun 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Winarno, FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Yulianda, F. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Lautan. Materi Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Zatnika, A dan Angkasa, WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah pada Seminar Pekan Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta. Jakarta. .