Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
IMPLEMENTASI SINKRONISASI OVULASI MENGGUNAKAN GONADOTROPHIN RELEASING HORMONE (GNRH) DAN PROSTAGLANDIN (PGF2α) PADA INDUK SAPI BALI (The Effects of Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH) and Prostaglandin (PGF2α) in Synchronization of Bali Cattle) DIAN RATNAWATI dan L. AFFANDHY Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan, Grati, Pasuruan
ABSTRACT The reduction of beef cattle population in Indonesia needs to be overcome. The Bali cattle is one of potential products to be developed through innovation of reproductive technology. The purpose of the present study was to investigate the effects of synchronization using GnRH and PGF2α on the reproduction efficiency in Bali cattle. The experiment was conducted to 16 heads of Bali cattle with body condition score between 5 to 7. The study was undertaken in 2008 at BPTU Pulukan, Bali. Synchronizations were applied at day 1 injected with GnRH, day 8 with PGF2α and day – 10 with GnRH, the one day later the cattle were artificial inseminated. Recording on reproductive performance was undertaken before treatment (oestrus synchronization using prostaglandin). The pregnancy test was conducted 2 month after being inseminated. The data were analysed by post and ante analysis and parameters included S/C (service per conception), CR (conception rate) and CI (calving internal). The results showed that the s/c ratio was not different between pre and after treatment : 1 (after treatment) and 1.1 (before treatment). The synchronization CR was higher (93.8%) than before treatment (87.5%). The CI value of after treatment was shorter (P < 0,01) : 369.5 + 8.7 days than pre-treatment (451.2 + 125.6 days) it is concluded that synchronization using GnRH and PGF2α in Bali cattle was more effective than oestrus synchronization with prostaglandin. Key Words: Synchronization Ovulation, Cattle, GnRH, PGF2α ABSTRAK Penurunan ternak sapi potong nasional membutuhkan suatu solusi. Sapi Bali dengan banyak keunggulannya merupakan produk yang potensial untuk dikembangkan melalui inovasi teknologi reproduksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek sinkronisasi ovulasi dengan GnRH (Gonadotrophin Releasing Hormone) dan PGF2α (Prostaglandin) terhadap efisiensi reproduksi induk sapi Bali. Penelitian ini dilakukan pada 16 induk sapi Bali dengan skor kondisi tubuh 5-7. Penelitian dilakukan pada tahun 2008 di BPTU Pulukan, Bali. Metode penelitian: hari ke-1 sapi induk diinjeksi dengan GnRH, hari ke-8 diinjeksi dengan PGF2α dan hari ke-10 diinjeksi dengan GnRH, kemudian satu hari sesudahnya sapi induk di-IB. Dilakukan recording performans reproduksi sebelum perlakuan (sinkronisasi estrus dengan prostaglandin). Deteksi kebuntingan dilakukan setelah 2 bulan dari perkawinan. Data yang diperoleh dianalisis dengan post and ante analysis dan parameter meliputi S/C (service per conception), CR (conception rate) dan CI (calving interval). Hasil menunjukkan bahwa S/C sebelum dan sesudah perlakuan tidak berbeda, yaitu 1 (sesudah perlakuan) dan 1,1 (sebelum perlakuan). CR perlakuan sinkronisasi ovulasi lebih tinggi (93,8%) daripada sebelum perlakuan (87,5%). Nilai CI setelah perlakuan lebih pendek (P < 0,01): 369,5 ± 8,7 hari daripada sebelum perlakuan: 451,2 ± 125,6 hari. Disimpulkan bahwa sinkronisasi ovulasi dengan hormon GnRH dan PGF2α pada induk sapi Bali lebih efektif daripada sinkronisasi dengan estrus dengan prostaglandin. Kata Kunci: Sinkronisasi Ovulasi, Induk, GnRH, PGF2α
72
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PENDAHULUAN Populasi ternak sapi potong nasional selama periode 1994 – 2002 mengalami penurunan sebesar 3,1%/tahun, hal tersebut dibuktikan dengan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi sebesar 1,75 kg/kapita/tahun negara kita masih mengalami defisit sebesar 112,9 ribu ton atau setara dengan 912 ribu ekor sapi hidup. Penurunan populasi tersebut akibat laju pemotongan ternak ruminansia jauh melebihi laju pertumbuhan populasi, sehingga untuk memenuhi permintaan daging, diperlukan impor daging dan ternak potong (bakalan) (SOEHADJI, 1995). Produktivitas sapi potong sangat erat kaitannya dengan produktivitas betina sapi potong. Permasalahan yang sering terjadi pada usaha ternak sapi potong, diantaranya tingginya service per conception (S/C >2) (PRIHANDINI et al., 2006; RIADY, 2006), conception rate (CR <60%) dan panjangnya calving interval (CI >13 bulan). Sapi Bali merupakan sapi asli indonesia yang mempunyai keunggulan dibanding sapi potong lainnya, yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan (fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi dan berkembang dibeberapa wilayah di Indonesia (ROMJALI dan AINUR, 2007). Performans reproduktivitas yang tinggi pada sapi Bali ditandai dengan aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah melahirkan (TALIB et al., 2001). Aktivitas ovarium pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan, tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi). Kinerja reproduksi sapi Bali bervariasi, hal ini diduga karena pengaruh faktor lingkungan terutama gizi ternak dan tata laksana yang diterapkan peternak. TOLIEHERE (1983) melaporkan bahwa kegagalan reproduksi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor pengelolaan, yaitu kurang gizi, defisiensi mineral, teknik inseminasi dan faktor internal ternak itu sendiri. Sinkronisasi birahi merupakan cara untuk menyeragamkan program perkawinan dalam periode tertentu dan dapat diramalkan pada sekelompok hewan (WENKOFF, 1986). Mekanisme kerja hormon yang dapat digunakan diantaranya: mencegah kejadian birahi dan memperpanjang siklus estrus (Progestins). Mekanisme kerja yang lain adalah
mendukung kejadian estrus atau mempersingkat masa siklus estrus (Prostaglandins) dan mendorong ovulasi atau mendukung perkembangan folikel ovarium (GnRH). Sinkronisasi estrus dan ovulasi pada sapi betina sering menggunakan kombinasi dari dua atau tiga hormon tersebut. Dampak yang terjadi dengan adanya sinkronisasi estrus dan ovulasi tersebut diantaranya: kelahiran lebih awal dimusim kelahiran, mengurangi distokia, pemanfaatan pejantan unggul dan meningkatkan bobot sapih pedet (HALL, 2008). Dengan adanya sinkronisasi tersebut maka mempermudah dalam manajemen pemeliharaan (birahi/perkawinan, kelahiran maupun penyapihan pedet). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan hormon GnRH dan Prostaglandin terhadap efisiensi reproduksi induk sapi Bali. MATERI DAN METODE Penelitian sinkronisasi ovulasi dilakukan pada induk sapi Bali bekerjasama dengan BPTU Pulukan Bali pada tahun 2008. Materi yang digunakan 16 ekor induk sapi Bali dengan SKT berkisar 5-7. Induk sapi bali diinjeksi hormon Gonadotrophin Releasing Hormon (GnRH) dan Prostaglandin. Sebagai pembanding adalah performans reproduksi induk sebelumnya (sinkronisasi estrus dengan hormon prostaglandin). Mekanisme pemberian hormon untuk sinkronisasi ovulasi adalah sebagai berikut: hari ke-1 dinjeksi GnRH sebanyak 1 cc secara intra muskular , hari ke-8 dinjeksi Prostaglandin sebanyak 5 cc secara intra muskular dan hari ke-10 diinjeksi GnRH sebanyak 1 cc secara intra muskular, kemudian pada hari ke-11 di IB. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal dua bulan setelah IB. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan post and ante analysis, dengan parameter yang diukur meliputi: Service per Conception (S/C), conception rate (CR) dan calving interval (CI). Dilakukan juga pengamatan terhadap performan kondisi tubuh (berat badan, PBBH, ukuran linear dan Skor Kondisi Tubuh), konsumsi pakan (bahan kering dan protein kasar ) dan analisa ekonomi.
73
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi sinkronisasi ovulasi dengan hormon GnRH dan Prostaglandin terhadap performans reproduksi induk sapi Bali di BPTU Pulukan Kab Jembrana, Bali tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Performans reproduksi induk sapi Bali sebelum dan sesudah perlakuan sinkronisasi ovulasi menggunakan hormon GnRH dan Prostaglandin Parameter
Sinkronisasi ovulasi Sebelum
Setelah
16
16
Service per conception (kali)
1,1 ± 0,3
1,0 ± 0,0
Conception rate (%)*
87,5
93,8
Jumlah sapi (ekor)
Calving interval (bulan)
451,2 ± 125,6a 369,5 ± 8,7b
ab
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01) *data tidak dianalisa
Performans reproduksi induk sapi Bali sebelum perlakuan merupakan performans reproduksi induk dengan perlakuan sinkronisasi estrus menggunakan hormon prostaglandin. Perlakuan sinkronisasi ovulasi pada induk sapi Bali pasca beranak menunjukkan tingkat kebuntingan (conception rate) 93,8%; lebih tinggi daripada sebelum perlakuan (87,5 %). Calving interval setelah perlakuan menunjukkan waktu yang lebih pendek (P < 0,01), yaitu 369,5 ± 8,7 hari daripada sebelum perlakuan hormon, yaitu 451,2 ± 125,6 hari (Tabel 1). Sedangkan nilai S/C antara sebelum dan sesudah perlakuan tidak menunjukkan perbedaan. Program sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan hormon GnRH dan Prostaglandin menjamin hewan ovulasi dengan atau tanpa gejala birahi yang muncul. Gonadothropin Releasing Hormon (GnRH) dihasilkan oleh sel-sel neuron endokrin pada hipothalamus bagian median eminentia dan preoptik. GnRH ditransportasikan melalui Hypothalamus-hipophyseal portal system menuju kelenjar pituitari anterior (GANONG, 1980 disitasi HERNAWAN, 2003). Pelepasan
74
GnRH dari terminal syaraf dan median eminence ke dalam hipophyseal portal darah merupakan sinyal neuroendokrin untuk terjadinya proses ovulasi (KARCH et al., 1992 disitasi HERNAWAN, 2003). GnRH akan menstimulasikan sel-sel gonadotroph kelenjar pituitari untuk mensekresikan Follicle Stimullating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH). FSH dan LH akan bekerja pada sel target dari gonad, FSH akan menstimulasikan sel-sel granulosa untuk memfasilitasi proses oogenesis dan bertanggungjawab atas perkembangan dan pematangan folikel dan LH berfungsi untuk ovulasi. Perlakuan sinkronisasi oestrus atau ovulasi akan memperbesar peluang bertemunya ovum setelah ovulasi dengan sperma karena umur ovum atau sperma dalam saluran kelamin betina sangat terbatas untuk beberapa jam. Hal tersebut juga didukung dengan data S/C 1 kali, yang berarti bahwa induk hanya butuh satu kali kawin untuk dapat bunting. S/C yang rendah berefek pada pendeknya days open (DO). Keberhasilan fertilisasi mmpercepat induk untuk beranak kembali, sehingga diperoleh jarak beranak yang lebih pendek, yaitu 369,5 ± 8,7 hari. Nilai CI tersebut lebih rendah/pendek dengan hasil yang dinyatakan oleh ROMJALI dan AINUR (2007) yaitu rata-rata 388,6 hari. Dari sebanyak 102 ekor sapi induk yang diamati memiliki sebaran frekuensi jarak beranak adalah tertinggi diatas 14 bulan (33%), disusul >13 – ≤ 14 bulan (22%), > 12 – ≤ 13 bulan (27%) dan ≤ 12 bulan (18%) (ROMJALI dan AINUR, 2007). Sedangkan menurut LUBIS dan SITEPU (1998) menyatakan bahwa jarak beranak sapi Bali di wilayah breeding stock di Kabupaten Lampung Utara antara 290 – 566 hari, dengan frekuensi terbesar (27%) antara 411 – 440 hari. Dengan demikian pemberian hormon ovulasi dengan kombinasi hormon GnRH dan Prostaglandin pada sapi induk lebih efektif sesuai dengan hasil penelitian (RETTMER et al., 1992; LEMASTER et al., 2001), melaporkan bahwa penggunaan sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan kombinasi hormon GnRH dan Prostaglandin memperoleh tingkat lebih baik daripada hanya menggunakan sinkronisasi estrus. Kombinasi pemberian Gonadotrophin Releasing Hormon (GnRH) dengan prostaglandin juga dapat menstimulasi kejadian birahi dan ovulasi (STEVENSON et al.,
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
2000; LAMB et al., 2001; LEMASTER et al., 2001). Performans kondisi tubuh dan pakan induk sapi Bali sebelum dan sesudah perlakuan hormon tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Performans kondisi tubuh dan pakan induk sapi Bali sebelum dan sesudah sinkronisasi ovulasi menggunakan hormon GnRH dan Prostaglandin. Parameter
Sinkronisasi ovulasi Sebelum
Setelah
Berat awal (kg)
275,7 ± 29,6
265,3 ± 29,5
Berat akhir (kg)
287,8 ± 32,0 254,6 ± 26, 8
PBBH (kg/hari)
0,2 ± 0,1
-0,2 ± 0,3
Kondisi tubuh*)
7
6-7
Ukuran tubuh Lingkar dada (cm) 167,6 ± 23,3
156,8 ± 6,4
Panjang badan (cm)
121,6 ± 5,4
118,9 ± 6,6
Konsumsi pakan BK (kg/ekor/hari)
10,0
8,2
PK (kg/ekor/hari)
1,3
1,1
*) Berdasarkan NICHOLSON dan BUTTERFORTH (1986)
Secara umum, performans kondisi tubuh sapi induk meliputi: berat badan, skor kondisi tubuh dan ukuran linear tubuh sebelum diberikan perlakuan hormon lebih baik daripada sesudah pemberian hormon. Hasil menunjukkan berat badan akhir lebih rendah daripada berat badan awal, terbukti dengan tingkat PBBH -0,2 kg/hari, hal ini mungkin terjadi karena induk masih dalam masa laktasi/menyusui. Meskipun demikian, skor kondisi tubuh (SKT) induk sapi Bali cukup baik yaitu 6-7, sehingga tidak berpengaruh terhadap performans reproduksinya. Didukung pula tercukupinya kebutuhan pakan sesuai dengan standar KEARL (1984), yaitu BK 8,2 kg/ekor/hari dan PK 1,1 kg/ekor/hari. Nutrisi atau pakan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fungsi reproduksi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktivitas rendah (infertilitas). Mekanisme yang terjadi adalah nutrisi yang
rendah akan mempengaruhi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah, akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi). Pengaruh yang lainnya diantaranya gangguan ovulasi, transpor sperma, fertilisasi, pembelahan sel dan perkembangan embrio/fetus. Analisa ekonomi Analisa ekonomi perlakuan snkronisasi ovulasi dengan menggunakan hormon GnRH dan Prostaglandin tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Analisa ekonomi sinkronisasi ovulasi menggunakan hormon GnRH dan Prostaglandin pada induk sapi Bali Keterangan
Sinkronisasi ovulasi Sebelum
Sesudah
Perkiraan pedet yang lahir
14 ekor
15 ekor
Harga jual pedet (@: 3 juta)
42.000.000
45.000.000
Total pendapatan
42.000.000
45.000.000
2.208.000
2.432.000
Biaya perkawinan (@: 50 ribu)
55.000
50.000
Total pengeluaran
2.263.000
2.482.000
Keuntungan
39.737.000
42.518.000
Pendapatan
Pengeluaran Biaya untuk hormon (16 ekor)
Kenaikan pendapatan
2.781.000
Persentase kenaikan pendapatan
6,9%
Perkiraaan pendapatan diperoleh dari jumlah perkiraan kelahiran pedet, yaitu sebelum perlakuan, tingkat CR mencapai 87,5%, yang artinya perkiraan kelahiran mencapai 14 ekor. Demikian juga dengan perkiraan pedet sesudah perlakuan, tingkat CR mencapai 93,8%, yang artinya perkiraan kelahiran mencapai 15 ekor. Perkiraan pedet yang lahir dikalikan dengan perkiraan harga pedet (3 juta), didapatkan perkiraan pendapatan, yaitu 42 juta (sebelum perlakuan) dan 45 juta (sesudah perlakuan). Pengeluaran terdiri dari biaya untuk pembelian hormon dan perkawinan (IB). Sebelum perlakuan, sinkronisasi
75
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin 1 – 2 kali sehingga kisaran biaya apabila dikalikan dengan jumlah materi (16 ekor) maka berjumlah Rp. 2.308.000. Sementara itu, pada perlakuan sinkronisasi ovulasi menggunakan hormon GnRH (2 kali) dan Prostaglandin mencapai kisaran biaya Rp. 2.432.000. Keuntungan yang didapat diperoleh dari total pendapatan dikurangi dengan total pengeluaran. Keuntungan mencapai Rp. 39.737.000 pada saat sebelum perlakuan dan mencapai Rp. 42.518.000 pada saat sesudah perlakuan. Dengan demikian kenaikan pendapatan yang diperoleh mencapai 6,9%. KESIMPULAN Sinkronisasi ovulasi dengan hormon GnRH dan PGF2α pada induk sapi Bali lebih efektif daripada sinkronisasi estrus dengan hormon prostaglandin. DAFTAR PUSTAKA HALL, J.B., A. LILES and W.D. WHITTIER. 2008. Estrus Synchronization for Heifers. Department of Animal and Poultry Sciences and Department of Large Animal Medicine, Virginia Tech Publication Number hlm. 400 – 302. HERNAWAN, E. 2003. Peningkatan Kinerja Reproduksi Pada Phase Kebuntingan Melalui Tehnik Superovulasi Pada Ternak Domba. Bogor. http://tumoutou.net. (17 Oktober 2008). KEARL. 1984. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. LAMB, G.C., J.S. STEVENSON, D.J. KESLER, H.A. GARVERICK, D.R. BROWN and B.E. SALVEN. 2001. Influsion of an intravaginal progesterone insert plus GnRH and protaglandin F2alpha for ovulation control in postpartum suckled beef cows. J. Anim. Sci. 79, Issue 9: 2253 – 2259. LEMASTER, J.W., J.V. YELICH, J.R. KEMPFER, J.K. FULLENWIDER, C.L. BERNETT, M.D. FANNING and J.P. SELPH. 2001.Effectiveness of GnRH plus prostaglandin F2alpha for estrus synchrozation in cattle of Bos indicus breeding. J. Anim. Sci. 79, Issue 2: 309 – 316.
76
LUBIS, A.M. dan P. SITEPU. 1998. Performans reproduksi sapi Bali dan potensinya sebagai breeding stock di Kecamatan Lampung Utara. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1 – 2 Desember 1998. Pulitbang Peternakan, Bogor. NICHOLSON, M.J. and M.N. BUTTERWORTH. 1986. A Guide to Condition Scoring of Zebu Cattle. International Livestock Centre for Africa. Addis Ababa. pp. 26. PRIHANDINI, P.W., W.C. PRATIWI., D. PAMUNGKAS dan L. AFFANDHY. 2006. Identifikasi pola perkawinan sapi potong di wilayah sentra perbibitan dan pengembangan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor: hlm. 168 – 175. RETTMER, I., J.S. STEVENSON and L.R. CORAH. 1992. Pregnancy rates in beff cattle after administering a GnRH agonist 11 to 14 days after insemination. J. Anim. Sci. 70, Issue 1: 7 – 12. RIADY, M. 2006. Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010. Strategi dan Kendala. Pros.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 5 – 6 September, 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. ROMJALI, E. dan R. AINUR. 2007. Keragaan reproduksi sapi Bali pada kondisi peternakan rakyat di Kabupaten Tabanan Bali. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. STEVENSON, J.S., K.E. THOMPSON, W.L. FORBES, G.C. LAMB, D.M. GRIEGER and L.R. CORAH. 2000. Synchronizing estrus and (or) ovulation in beef cows after combinations of GnRH, norgestomet, and prostaglandin F2alpha with or withaout timed insemination. J. Anim. Sci. 78, Issue 7: 1747 – 1758. SOEHADJI. 1995. Pengembangan bioteknologi peternakan: Keterkaitan penelitian, pengkajian dan applikasi. Makalah Disajikan pada Lokakarya Nasional Bioteknologi Peternakan. Ciawi, Bogor. WENKOFF, M. 1986. Estrus Synchronisation in cattle. Dalam Current Therapy in Theriogenology 2. MARROW, D.A. (Ed). W.B. Saunders Co., Philadelpia. WINUGROHO, M. and E. TELENI. 1993. Feeding and Breeding Strategies Draught Animal System and Management on Indonesia Study, ACIAR, Australia pp. 60 – 72.