PERBAIKAN REPRODUKSI PADA INDUK SAPI POTONG MELALUI PENYERTAKAN BERAHI DENGAN HORMON ESTRO-PLAN DI SULAWESI SELATAN Daniel Pasambe dan A. Nurhayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5, Makassar 90242 Indonesia Email:
[email protected],id
ABSTRAK Penelitian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Tatae dan Pekkabata, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Propinsi Sulawesi Selatan selama satu tahun yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sulawesi Selatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respron reproduksi pada induk sapi melalui pentyertakan berahi dengan hormon estro-plan Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Pengaruh penyuntikan hormon estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali memperlihatkan bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak 3 ml (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan 2 ml (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 17.11% Tingginya respon berahi pada perlakuan B ternyata juga mempengaruhi terhadap keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (85,25%) dibandingkan dengan perlakuan A (68.28%), dan dari hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) diantara kedua perlakuan. Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 17%. Lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, bobot badan dan pertambahan bobot badan harian pedet yang dihasilkan terjadinya kenaikan sesuai dengan pertambahan umur ternak dalam artian bahwa umur berkorelasi positif terhadap ukuran tubuh ternak hasil IB. Kata kunci :Inseminasi Buatan, Pembibitan, Penyertakan berahi
PENDAHULUAN Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional yang secara berencana dan bertahap telah dilaksanakan hingga sekarang ini. Oleh sebab itu pembangunan peternakan haruslah mengacu pada peningkatan pendapatan petani peternak, membuka kesempatan kerja melalui peningkatan populasi dan produksi ternak guna memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, serta peningkatan gizi masyarakat melalui penyediaan sumber protein hewani dengan tidak mengabaian sumber daya alam dan lingkungan. Dari hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan peternakan, disamping mampu memberikan hasil yang menggembirakan, juga terdapat kendala-kendala dalam meningkatkan populasi dan produksi ternak. Salah satu hal pokok yang menjadi kendala adalah ketersediaan lahan untuk ternak semakin kurang karenaperubahan struktur fungsi lahan dari lahan pertanian tanaman pangan menjadi lahan perkebunan dan pemukiman (Ella, 2000). Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong di Sulawesi Selatan adalah kecenderungan populasi yang semakin merosot, ini terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kelahiran dan permintaan semakin meningkat (Sariubang et al.,2002) dimana telah mengalami penurunan 2,6% yakni 743.374 ekor pada tahun 1998 menjadi 724.044 ekor pada tahun 2002 (Anonim 2003). Penyebab rendahnya pertambahan populasi tersebut, ada kaitannya dengan tingkat reproduksi yang juga masih rendah, seperti yang dilaporkan Sonjana, et al. (1996) bahwa calving interval atau jarak kelahiran sapi ini berkisar antara 2-3 tahun.Selain penurunan populasi juga telah terjadi penurunan kualitas dimana sapi Bali yang pada mulanya (potensi genetik) dapat mencapai berat badan 500 – 600 kg/ekor tetapi sekarang sudah sulit mendapatkan sapi Bali yang mencapai berat badan 300 10
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
kg/ekor, hal ini disebabkan terjadinya perkawinan dalam satu populasi yang terus menerus (inbreeding) dan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Sariubang et al., 1992) demikian juga yang dikemukakan oleh Warwick et al., (1983) bahwa perkawinan silang dalam (inbreeding) berlangsung terlalu lama dalam suatu populasi tertutup menyebabkan proporsi lokus genetik yang homozigot. Berbarengan dengan itu terjadi depresi persedarahan yang menyebabkan menurunnya daya tahan (vigor), kesuburan dan sifat-sifat produksi lainnya. Untuk keluar dari masalah ini pemerintah perlu upaya pelestarian yang diimbangi dengan pendekatan kuantitatif yakni peningkatan populasi dan kualitatif melalui peningkatan kualitas ternak. Produktivitas sapi potong sering dikaitkan dengan faktor genetik dan lingkungan. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu dan produksi ternak di Sulawesi Selatan maupun wilayah lain di Indonesia, oleh karena dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan inseminasi pada beberapa induk yang siap kawin melalui sinkronisasi berahi (Toleng, 1977). Tiga pokok alasan memilih program IB adalah (1) IB adalah cara yang murah untuk meningkatkan mutu genetik sapi, (2) IB adalah cara cepat dalam transformasi dan konfigurasi genetik populasi ternak, (3) alternatif murah dan cepat dari program IB ini dalam skala massal. Sulawesi Selatan memiliki lahan kering dataran rendah seluas 2.523.762 ha (Kanwil pertanian Sulawesi Selatan, 1999) yang pada umumnya cocok untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Dalam mengoptimalkan usahatani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian sangat potensial sebagai sapi potong. Mangut Iman S. (2003) mengatakan bahwa hasil penelitian di lapangan menunjukkan produk-produk industri peternakan dan bisnis di sektor peternakan telah menyumbangkan angka pertumbuhan ekonomi sangat mencolok, melihat peluang strategis ini, maka pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan dan memberi kesempatan yang luas kepada usaha kecil menengah dan kelompok peternak menjadi industri biologis dimana bahan pakan yang tidak berguna yang dimiliki petani dapat diberikan kepada sapi untuk menjadi daging dan dapat diubah menjadi kotoran sapi yang dapat diolah menjadi pupuk organik yang berkualitas. Disamping pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga perlu diupayakan penanaman hijauan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukkannnya tidak bersaing dengan tanaman pangan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman pakan dan pangan. Hal ini sangat penting mengingat penyediaan sisa hasil pertanian dan industri juga mengalami fluktasi, sedangkan kita ketahui bahwa kebutuhan pakan untuk ternak ruminansia mencapai 60-70% dari hijauan (Nitis et al, 1992) Berdasarkan hal di atas perlu dikatakan pengkajian sistem pembibitan, pemanfaatan pakan lokal untuk penggemukkan, introduksi hijauan pakan unggul dan kelembagaan sapi potong agar pada masa yang akan datang Sulawesi Selatan akan menjadi gudang ternak yang utama di Indonesia terutama dalam meningkatkan pendapatan petani peternak dan PAD propinsi Sulawesi Selatan khususnya kabupaten yang menjadi sentra menjadi produk sapi potong. Pembangunan peternakan sampai saat ini tetap berorientasi pada prioritas sasaran peternakan rakyat, yang lebih dari 90% terdiri dari peternakan tradisional. Oleh karena itu kelompok ini dengan segala kelemahan dan kekurangannya perlu disiapkan menjadi pelaku aktif yang siap diri, siap kelompok dan siap hamparan untuk memasuki pembangunan ekonomi yang semakin dinamis, baik sebagai sasaran maupun sebagai peserta aktif. Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah pengembangan dan industri peternakan di Indonesia dalam lima tahun terakhir terjadi penurunan produktivitas. Upaya peningkatan produksi peternakan baik kualitas maupun kuantitas terus diupayakan melalui berbagai program, namun pertumbuhannya belum mampu memenuhi target yang diharapkan yaitu meningkatnya produktivitas usaha tani masyarakat sehingga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani.. 11
Daniel Pasambe dan A. Nurhayu
MATERI DAN METODE Materi penelitian Bahan yang digunakan hormon estro plan, induk sapi, Semen, sabun colek, tissue, obat-obatan, vaksin dan lain-lain. Pengkajian ini dilakukan dalam hamparan 125 ekor induk sapi dengan melibatkan 80 anggota peternak yang tergabung dalam “Kelompok Tani Srimulyo” dikelurahan Tatae dan Pakkabata, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang. Prosedur penelitian Pengembangan sistem pembibitan sapi potong dilakukan melalui kegiatan Inseminasi buatan dengan memilih 14 kooperator (jumlah ternak 16 ekor) masing–masing perlakuan 8 ekor lalu dilakukan aplikasi sinkronisasi berahi dengan menggunakan hormon dengan perlakuan sebagai berikut : Perlakuan A = penyuntikan 2 ml/ekor B = penyuntikan 3 ml/ekor Penyuntikkan hormonal secara intramusculer dan dilakukan pengamatan berahi hari 2-3 setelaah itu Inseminasi dilakukan dengan cara: 1) bila berahi muncul pagi hari, inseminasi dilakukan paling lambat pada sore hari, 2) bila berahi siang hari, inseminasi dilakukan malam hari, 3) bila sore hari/malam hari, inseminasi dilakukan pada pagi hari berikutnya, 4) dan bila hari 2-3 tidak memperlihatkan tanda berahi maka dilakukan penyuntikkan pada hari ke-11 dilanjutkan pengamatan hari ke 2-3 setelah memperlihatkan berahi dilakukan inseminasi. Penentuan kebuntingan dilakukan 60-90 hari setelah inseminasi. Penentuan kebuntingan dilakukan dengan cara palpasi rektal (PKB), maupun induk yang tidak minta kawin lagi (tidak estrus) Bunting atau tidaknya bisa juga dilakukan dengan pengamatan berahi bila dalam 18-25 hari setelah inseminasi tidak memperlihatkan muncul tanda-tanda berahi maka diasumsikan bahwa tersenak tersebut bunting. Disamping kegiatan ini juga dilakukan sinkronisasi berahi pada induk-induk yang sulit dikenali waktu berahinya dan induk-induk yang kelihatan berahi segera di IB, tetapi sapi-sapi yang lepas dari pengamatan dan sudah terlanjur kawin juga diamati. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka dilakukan pencegahan tentang penyakit berupa vaksinasi terutama antraks, SE, pemberian obat cacing hati maupun penyunrikan multivitamin. Demikian juga dengan induk yang tidak bunting diadakan pemeriksaan apabila kekurangan pakan akan diberikan tambahan pakan dan apabila terlalu gemuk akan dikurangi pemberian pakan. Parameter yang diukur Service per conception (S/C) Service per conception atau jumlah pelayanan inseminasi yang diperlukan untuk mendapatkan satu kebuntingan. Angka s/c dihitung dengan membandingkan jumlah seluruh pelayanan inseminasi dengan membandingkan jumlah seluruh pelayanan inseminasi dengan jumlah ternak yang bunting. Conception rate Salah satu ukuran terbaik terhadap hasil inseminasi buatan adalah conception rate (CR) atau disebut laju kebuntungan. Laju kebuntingan menurut definisinya adalah jumlah
12
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
sapi yang bunting yang dinyatakan dengan palpasi rectal pada inseminasi pertama. Secara matematik laju kebuntingan (dalam persen) dinyatakan sebagai berikut:
conception rate (%)
Jumlah sapi yang bunting dari hasil IB pertama x 100% Jumlah seluruh sapi betina yang di inse min asi
Persentase estrus
% Estrus
Jumlah sapi yang estrus x100% Jumlah sapi estrus tidak estrus
Onset Estrus (jam)
= dihitung mulai dari penghentian perlakuan sampai muncul tandatanda berahi.
Lama Estrus (jam)
= dihitung mulai saat muncul tanda-tanda berahi sampai dengan berhentinya tanda-tanda berahi.
Bobot dan dimensi tubuh anak Anak yang lahir diamati secara berkala meliputi bobot badan lahir, lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh penyuntikan estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali tertera pada Tabel 1. Nampak bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak 3 ml (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan 2 ml (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 17.11%. Demikianpun munculnya berahi (perlakuan B) cepat 2 jam dibandingkan dengan (perlakuan A). Munculnya berahi pertama kali pada perlakuan B sekitar 60,3 jam setelah setelah aplikasi hormone (penghentian penyuntikan), sedangkan pada perlakuan A munculnya berahi pertama kali setelah penghentian penyuntikan sekitar 62 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa berahi pada perlakuan B nyata lebih cepat (P < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan A, dengan perbedaan lama berahi diantara kedua perlakuan sekitar2 jam. Tabel 1. Tampilan reproduksi dari penyuntikan estro-plan. Parameter Respon estrus (%) Onset estrus (jam) Lama estrus (jam)
Perlakuan A 70,14 a 62,2 +5,1 a 31,1+2,9 a
B 87,25 b 60,3+ 6,0b 34,0+3,1b
Keterangan:abHuruf yang berbeda mengikuti nilai rataan pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
Tingginya respon berahi pada perlakuan B ternyata juga mempengaruhi terhadap keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai (Tabel 2) dengan lebih tingginya angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (85,25%) dibandingkan dengan perlakuan A (68.28%), dan dari hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) diantara kedua perlakuan. Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 17%. Lebih tingginya kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B dibandingkan 13
Daniel Pasambe dan A. Nurhayu
dengan perlakuan A, ternyata didukung pula oleh jumlah inseminasi per kebuntingan. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa jumlah pelayanan (inseminasi) sampai terjadi kebuntingan pada perlakuan B nyata (P < 0.05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A. Rata-rata dibutuhkan sebanyak 1.70 kali inseminasi untuk terjadi kebuntingan pada perlakuan B, sedangkan pada perlakuan A dibutuhkan inseminasi sebanyak 1.95 kali baru terjadi kebuntingan. Tabel 2. Hasil inseminasi dari penyuntikan estro-plan. Perlakuan A B S/C 1.95a 1,70b CR (%) 68,28a 85.25b a,b = huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) S/C = Service per conception CR = Conception rate Parameter
Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) sebanyak 3ml memperbaiki kinerja reproduksi induk sapi Bali dibandingkan dengan penyuntikan 2 ml. Hal ini ditandai dengan tingginya respon berahi serta kebuntingan yang diperoleh serta jumlah inseminasi yang lebih rendah. Hal yang sama dilaporkan oleh Stephens dan Rajamahendran (1998) bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi potong mampu menyerentakkkan berahi (90%) dengan angka kebuntingan yang lebih tinggi (62%) dibandingkan penyuntikan satu kali. Archbald et al. (1993) melaporkan bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi perah menghasilkan respon estrus sebanyak 91%. Sedangkan MacMillan et al. (1991) mengatakan bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak satu kali pada fase luteal ataupun dua kali selang 11 hari tanpa memperhatikan siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75%-100%. Hormon PGF-2α dan analognya telah lama digunakan dalam program sinkronisasi berahi ternak. Metode yang digunakan ada dua jenis, yaitu (1) penyuntikan satu kali, dan (2) penyuntikan dua kali selang 11 atau 12 hari. Metode pertama biasanya efektif menyerentakkan berahi ternak apabila kondisi siklus berahi ternak diketahui, terutama apabila kondisi ternak berada dalam fase luteal. Sedangkan metode kedua biasanya lebih cocok diterapkan pada kondisi lapangan dimana siklus berahi ternak sulit untuk dikontrol atau diamati. Umumnya tingkat keberhasilannya dalam menyerentakkan berahi lebih tinggi pada metode penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali selang 11 atau 12 hari dari penyuntikan pertama dibandingkan penyuntikan satu kali. Terbukti dari hasil penelitian ini, dimana penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) secara intramuskuler sebanyak dua kali selang 11 hari memberikan respon berahi dan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. Hal ini mungkin disebabkan setelah penyuntikan kedua semua ternak telah berada dalam fase luteal. Apabila ternak sudah berada dalam fase luteal berarti telah memiliki CL. Akibatnya hormon ini langsung bereaksi dengan melisiskan CL yang terbentuk. Lisisnya CL ini menyebabkan kadar progesteron menurun, yang mengakibatkan hilangnya hambatan terhadap hormon gonadotropin, yang selanjutnya diikuti dengan pertumbuhan dan pematangan folikel, timbul berahi dan ovulasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Larson dan Ball (1992) bahwa penggunaan hormon PGF-2α untuk program sinkronisasi berahi ternak hanya efektif bila ternak tersebut telah memiliki CL. Selanjutnya Kune (1998) mengatakan bahwa pemberian PGF-2α akan menekan konsentrasi progesteron dalam darah sehingga rasio antara konsentrasi estrogen dan progesteron meningkat, akibatnya ternak akan memperlihatkan pola tingkah laku berahi. 14
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Rendahnya respon berahi dan tingka kebuntingan pada penyuntikan PGF-2α satu kali kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ternak belum memiliki CL dalam ovarium, ternak mengalami berahi pendek (sub estrus) ataupun mengalami gejala hipofungsi ovarium. Toelihere (1981) dalam Herdis (1999) mengatakan bahwa adanya batas ambang optimal PGF-2α dalam CL, dan bila melebihi ataupun tidak mencukupi batas ambang tersebut maka ternak tidak akan berespon terhadap penyuntikan hormon tersebut dan akibatnya pengaruh yang diharapkan gagal diekspresikan. Dengan melihat munculnya berahi pada sikronisasidengan menggunakan hormon estroplan disebabkan kadar progesteron dalam darah akan meningkat, disisi lain, kadar hormon gonadotropin sangat rendah dan memacu lagi kinerja estrus secara periodik dimana memperlihatkan munculnya berahi sekitar 2 hari sampai 3 hari setelah aplikasi yaitu sekitar 48-75 jam atau sekitar 63,2 jam, sejalan yang dikemukakan oleh Teolihere (1985) bahwa angka kebuntingan hasil IB di Indonesia berkisar antara 40-70%. Angka ini semakin meningkat seiring bertambahnya keterampilan para inseminator dan bertambahnya tingkat perhatian petani terhadap kondisi reproduksi ternaknya (pengamatan berahi). Pengembangan sapi melalui program IB adalah salah satu jalan untuk meningkatkan produktivitas sapi. Tiga pokok alasan memilih program ini IB yang dikemukakan adalah (1) IB adalah yang murah dalam meningkatkan mutu genetik (2) IB adalah cara tercepat dalam transfigurasi mutu genetik populasi ternak, (3) alternatif murah dan cepat dari program IB ini dapat diterapkan secara massal. Selanjutnya Tolleng (1997) mengatakan bahwa teknik IB salah satu alternatif mempercepat populasi oleh karena dalam waktu bersamaan dapat dilakukan inseminasi pada beberapa induk yang siap kawin melalui sinkronisasi berahi. Menurut Lompengeng et. al. (1998) bahwa sinkronisasi pada ternak sapi Bali dengan menggunakan sponge yang dipasang pada alat kelamin betina dapat meningkatkan estrus 93% dan tingkat kebuntingan 90% (Ella et al., 1999). Efisiensi reproduksi digambarkan sebagai ukuran kemampuan ternak untuk menjadi bunting banyak anak/keturunan (Peter and Ball, 1987). Menurut Yusuf dan Haryani, (2004) menyatakan bahwa reproduksi merupakan faktor vital dalam menentukan efisisensi rerpoduksi yang sering digunakan yakni service for conception (S/C), calving Rate (tingkat kebuntingan). Untuk meningkatkan reproduksi melalui induksi hormonal kombinasi gonadothopin releasing hormone (GnRH) dan Prostaglindin (PGF) 2@ Hafez, 2000) yang bertujuan meperpendek kelahiran seperti yang dilakukan Yusuf dan Tolleng (2001) menunjukkan angka 75% pada sapi bali. Thakur and Bhat (1999) yang menggunakan 85,7%. Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa lama estrus pada penyutikkan kedua berkisar antara 25-48 jam sejalan dengan hasil penelitian Pane (1991) mengatakan bahwa kisaran berahi 27-48 jam pada observasi terhadap 250 induk sapi. Berdasarkan ukuran tubuh hasil Inseminasi Buatan yang didapatkan di lokasi kajian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Tampilan ukuran Tubuh hasil Inseminasi Buatan. Ukuran Tubuh Lingkar Dada (cm) Panjang Badan (cm) Tinggi Pundak (cm) Bobot Badan(kg) Pertambahan Bobot Badan Harian(kg) N = 5 ekor (2 Limousin dan 3 Simental)
Umur (hari) 0 67,4 47,6 68,5 25,2 -
30 80,1 71,3 81,5 45,6 0,68
Lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, bobot badan dan pertambahan bobot badan harian pedet yang dihasilkan terjadinya kenaikan sesuai dengan pertambahan umur 15
Daniel Pasambe dan A. Nurhayu
ternak dalam artian bahwa umur berkorelasi positif terdap ukuran tubuh ternak hasil IB. Sejalan yang dikemukakan Talib (1989) bahwa rataan bobot lahir dari hasil persilangan Bos Taurus X Bos Banteng yaitu antara 24,4 sampai 26,6 kg. KESIMPULAN Pengaruh penyuntikan estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali memperlihatkan bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak 3 ml (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan 2 ml (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 17.11%. Tingginya respon berahi pada perlakuan B ternyata juga mempengaruhi terhadap keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (85,25%) dibandingkan dengan perlakuan A (68.28%), dan dari hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) diantara kedua perlakuan. Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 17%. Lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, bobot badan dan pertambahan bobot badan harian pedet yang dihasilkan terjadi kenaikan sesuai dengan pertambahan umur ternak dalam artian bahwa umur berkorelasi positif terdap ukuran tubuh ternak hasil IB. DAFTAR PUSTAKA Ella, A. 1993. Evaluasi beberapa Jenis Rumput dan Leguminosa Pohon Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Sub Balitnak Gowa. Ella, A. A.B.Lompengang dan R. Haryani. 2005 Evaluasi Produksi dan Kualitas beberapa Spesies Hijauaj Pakan Ternak pada Agrokeologi yang berbeda. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Idris, Y. M., 2003. Respon Pertumbuhan dan Produksi Berbagai jenis Hijauan Pakan di Bawah Naungan Pada Musim Hujan dan Kemarau dengan Interval Defoliasi di Lahan Tegalan Kab. Barru. Thesis. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Kune, P. 1998. Sinkronisasi Estrus Memakai Progesteron, Prostaglandin F2 Alfa dan Estrogen Dalam Menimbulkan Estrus dan Konsepsi pada Sapi Potong. Tesis. Program Pascasarjana-IPB, Bogor. Larson, L.L. and P.J.H. Ball. 1992. Regulation of estrus cycles in dairy cattle : a review. Theriogenology. 38 : 255-267. Lompengeng, A. B., GatotKartono, Fadri Djufry, Nur Imah Sidiq dan M. A. Mustaha, 2000. Pola pengembangan Pakan Ternak pada Lahan Kering Alang – Alang. Laporan Pertemuan Teknis Tim Komisi Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. Badan Litbang Pertanian. Depatemen Pertanian. Lompengeng, A. B., A. Ella dan D. Pasambe, 2004. Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kambing Ditinjau dari Ketersediaan Pakan di Sulawesi Selatan. Proseding Lokakarya Kambing Nasional. Pulibangnak. Badan Litbang Pertanian Mangut Imam, S. 2003. Strategi Pengmbangan Peternakan yang Berkesinambungan Proc. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor. Nitis, I.M., K. Lana I.B Sudana dan N. Sutji. 1992. Pengaruh Klasifikasi Wilayah terhadap Komposisi Botani Hijauan yang diberikan pada Kambing di Bali di Waktu Musim Kemarau Pro.Seminar Penelitian Peternakan, Bogor. Sariubang, M., Chalidijah, A.Prabowo dan U. Abduh. 1992. Hubungan Antara pertambahan bobot badan dan ukuran lingkar dada sapi bali betina yang diberikan perlakuan pakan. Pros. Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan. Sub Balai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan. 16
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Suryana. A. 2000. Harapan dan Tantangan bagi Subsektor Peternakan dalam meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Proc. Seminar Nasional. Peternakan dan Veteriner 2000. Puslitbangnak Bogor. Tolleng, H. dan A. Effendi. 1993. Penampilan dan Kondisi Peternakan Sapi Bali di Daerah Pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Buketin Ilmu Peternakan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Warwick, E. J., M. Astuti dan A. Wartomo. 1983. Pemulihan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Yasin. S.dan S. H. Dilaga. 1993. Peternakan Sapi Bali dan Permasalahannya. Edisi I. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
17