IDENTIFIKASI GANGGUAN REPRODUKSI PADA SAPI POTONG DI KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN (Reproductive Defects on Beef Cattle in Bumi Jaya Village, the Sub District of Plaihari, the District of Tanah Laut, South Kalimantan) TARMUDJI, HERMAWAN W. PRATOMO dan ISTIANA Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT A Survey for the identification of reproductive defects on beef cattle was carried out in the Bumi Jaya Village, the Sub district of Plaihari, the district of Tanah Laut, South Kalimantan. To get information of the reproductive aspects of cattle farmers were interviewed using questionare, diagnosis of pregnancy of cattle was carried out by rectally exploration, and samples of blood and vaginal swabs were collected from the animals suspected of suffering reproductive infections. Most of respondents were farmers who have 15 years experience of rearing beef cattle. They know how to identify oestrus of cow and when to be mated by natural mating or artificial insemination. A natural mating was preferable. On average, each farmer has five cattle. Most of the farmers (89.3%) had a little reproductive problems in male and female cattle. For one or two times of mating, their cattle normally became pregnant. Only a few respondents had problems as sterility, unestrus, abortion or difficult in parturition. The result of the pregnancy diagnosis showed that 89.7% of 39 heads of the Bali cattle were positif and 10.3% were negative and no reproductive defects were found. Sterile/infertile cattle were normally sold and replaced by the reproductive cattle.
Key words: Beef cattle, reproduction, South Kalimantan ABSTRAK Penelitian Identifikasi Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong dilakukan di desa Bumi Jaya, Kecamatan Plaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Untuk memperoleh gambaran tentang aspek reproduksi pada sapi, dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap peternak. Di lapangan, pemeriksaan kebuntingan dilakukan secara eksplorasi rektal dan pengambilan spesimen (serum darah dan swab vagina) terhadap sapi yang dicurigai menderita penyakit reproduksi. Dari 75 responden, sebagian besar (86,7%), pekerjaannya sebagai petani dan mereka telah berpengalaman lebih 15 tahun dalam beternak sapi. Mereka telah mengetahui tingkah laku sapinya yang sedang birahi dan kapan harus mengawinkannya. Umumnya mereka lebih suka mengawinkan sapinya secara alam dan setiap peternak rata-rata memiliki lima ekor sapi. Sebagian besar (89,3%) di antara mereka melaporkan bahwa tidak ada permasalahan reproduksi baik pada sapi jantan maupun betinanya. Dengan satu atau dua kali perkawinan, sapi mereka sudah menjadi bunting. Hanya sedikit responden yang mempunyai masalah reproduksi misalnya: kemajiran, tidak mau birahi, keguguran atau kesulitan melahirkan pada sapinya. Hasil pemeriksaan kebuntingan menunjukkan 89,7% dari 39 ekor sapi Bali ternyata positif dan 10,3% yang negatif dan organ reproduksinya tidak terdapat kelainan. Sampel dari sapi-sapi yang mengalami abortus ternyata negatif terhadap Brucellosis maupun Candidiasis. Untuk mengatasi sapinya infertil atau majir, mereka menjual sapinya dan menggantikan dengan sapi yang produktif.
Kata kunci : Sapi potong, reproduksi, Kalimantan Selatan
118
PENDAHULUAN Produktivitas sapi potong di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan daging secara nasional (WINUGROHO dan WIDIAWATI, 1966). Menurut PUTRO (1999) pertumbuhan populasi sapi potong yang negatif ini, sebagai akibat tidak berimbangnya antara permintaan pasar dan laju reproduksinya. Demikian pula halnya populasi sapi potong di Kalimantan Selatan, juga mengalami pertumbuhan minus 15,63% dari populasi sapi potong 170.584 ekor pada tahun 1997 menjadi 143.922 ekor pada tahun 1998 (DINAS PETERNAKAN DATI I KALIMANTAN SELATAN, 1998). Penyebab utamanya adalah jumlah permintaan daging jauh lebih besar daripada kemampuan daerah untuk menghasilkan daging . Upaya swasembada sapi potong terkendala oleh beberapa faktor antara lain: semakin menipisnya populasi, rendahnya reproduktivitas dan produktivitas ternak. Di samping itu, juga akibat gangguan reproduksi ternak. Gangguan reproduksi ini mempunyai konstribusi yang besar dalam meningkatkan penurunan populasi dan diketahui sebagai penyebab utama adalah rendahnya status kesehatan hewan maupun kesehatan reproduksinya (PUTRO, 1999). Kesehatan reproduksi mutlak diperlukan untuk berhasilnya kehidupan reproduksi ternak. Menurut TOLIHERE (1983), gangguan fungsional reproduksi adalah penyakit reproduksi yang sebagian besar dapat didiagnosis secara praktis di lapangan melalui eksplorasi rektal dan sebaliknya gangguan karena penyakit yang disebabkan oleh mikro organisme perlu di diagnosis secara laboratoris. Gangguan reproduksi yang ditandai dengan kemajiran, abortus pada kebuntingan tahap awal, pertengahan dan akhir, retensio plasenta dan luka yang mirip ring worm pada kulit fetus abortus, penyebabnya antara lain: Brucellosis, Leptospirosis , IBR, defisiensi selenium dan “Mycotic Abortion“ (DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN dan JICA, 1999). Kegagalan reproduksi dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu, pertama kegagalan karena faktor pengelolaan, termasuk teknis inseminasi, kurang makan, defisiensi mineral dan sebagainya. Kedua, faktor intern hewan dan ketiga, faktor lain yang bersifat aksidentil (kecelakaan dan kelainan). Faktor aksiden ini umumnya di ketemukan sangat sporadis, misalnya, distokia, torsio uteri dsb (PARTODIHARJO, 1987). Salah satu kawasan untuk pengembangan ternak di Kalimantan Selatan adalah di Kab. Tanah laut. Daerah ini sebagian besar merupakan daerah kering dengan populasi sapi potong sekitar 49.381 ekor pada tahun 1985 atau 31% dari total populasi sapi di Kalimantan Selatan (DINAS PETERNAKAN DATI I KALIMANTAN SELATAN, 1996). Keadaan wilayah dengan tanah yang bergunung-gunung, berhutan lebat, berdataran tinggi dengan jenis tanah organosol dan sebagian alluvial laterik (BPS KABUPATEN TANAH LAUT, 1998), sangat mendukung untuk usaha pengembangan ternak ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status reproduksi sapi potong di desa Bumi Jaya (Kecamatan Plai hari), terutama yang berkaitan dengan gangguan reproduksinya. BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan di Desa Bumi Jaya, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan dan berlangsung pada bulan Oktober 1999 sampai dengan Februari 2000, dengan metode survei terhadap responden. Sebagai respondennya adalah para anggota KUD Budi Luhur di Desa Bumi Jaya yang memiliki ternak sapi potong. Dengan menggunakan kuesioner (yang telah dipersiapkan) dilakukan wawancara kepada responden yang meliputi: Kepemilikan ternak sapi, pengetahuan tentang reproduksi, masalah penyakit, gangguan reproduksi yang pernah dialami oleh sapinya, bagaimana cara mengatasinya dan sebagainya. Pengamatan lapangan meliputi status kesehatan sapi, diagnosis kebuntingan terhadap sapi-sapi yang pernah di kawinkan dan pemeriksaan terhadap sapi-sapi yang dilaporkan mengalami gangguan reproduksi berupa keguguran karena diduga akibat penyakit tertentu. Maka untuk itu, diambil sampel darah dengan menggunakan kertas saring untuk uji serologis terhadap Brucellosis dan swab vagina untuk pemeriksaan mikotik di lab Balitvet. Bagi sapi-sapi yang sakit sewaktu pemeriksaan di lakukan pengobatan. Data yang diperoleh disajikan secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN 119
Desa Bumi Jaya merupakan salah satu Desa di Kecamatan Plai hari yang ditempati oleh orang-orang transmigran sejak tahun 1977. Sebagai daerah lahan kering, ada tiga sumber pendapatan utama bagi petani yaitu tanaman pangan, tanaman tahunan/industri dan peternakan. Konstribusi peternakan cukup besar. Bagi petani lahan kering, ternak tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan, tetapi juga berfungsi sebagi sarana investasi, tabungan modal lancar, fungsi sosial, sumber pupuk kandang dan membantu dalam pengolahan tanah (HERMAWAN et al. 1996 ). Kepemilikan ternak sapi Dari 75 orang responden yang diwawancarai, sebagian besar adalah petaniyang telah berpengalaman lebih dari 15 tahun beternak sapi yang memelihara sapinya secara tradisional. Kepemilikan sapi rata-rata relatif kecil. Kebanyakan (75% responden) memiliki 1-5 ekor sapi, 21,3% responden memiliki 6-10 ekor dan hanya 2,7% yang memiliki sapi lebih dari 10 ekor (Tabel 1). Bila dirata-ratakan setiap responden memiliki lima ekor sapi. Di tinjau dari komposisi jenis kelamin dan umur sapi yang dipelihara adalah sapi Bali betina yang telah dewasa dan melahirkan anak (68%) bahkan ada yang telah melahirkan sampai 9 kali masih dipelihara. Sedang sapi Bali jantan umumnya masih muda berumur tiga tahun atau kurang dari tiga tahun (Tabel 2). Banyaknya induk sapi dan anak ini menunjukan bahwa tujuan utama mereka memelihara sapi adalah untuk menghasilkan keturunannya. Sedang sapi jantan yang sudah dewasa atau umur tua , dijual untuk memenuhi kebutuhannya. Tabel 1. Jumlah kepemilikan sapi potong oleh peternak di Desa Bumu Jaya, Kabupaten Tanah Laut Kepemilikan Sapi 1 - 5 ekor 6 - 10 ekor > 10 ekor Jumlah
Responden (orang)
Persentase (%)
57 16 2 75
76,0 21,3 2,7 100.0
120
Tabel 2. Jumlah kepemilikan sapi potong menurut janis kelamin dan umur Jenis Kelamin Betina
Sub total Jantan
Sub total Jumlah total
Umur < 1 tahun 1–3 tahun > 3 tahun < 1 tahun 1–3 tahun > 3 tahun
Jumlah (ekor) 52 78 121 251 65 52 1 118 369
Persentase (%) 14,1 21,1 32,8 68,0 17,6 14,1 0,3 32,0 100,0
Aspek reproduksi Untuk mencapai efisiensi yang maksimal, maka seorang peternak sapi potong harus mempunyai cara yang baik untuk mengelola hewannya. Dan untuk memperoleh reproduksi yang sebaik-baiknya diperlukan perhatian yang terus menerus terhadap ternak yang dipeliharanya. Pengetahuan pemilik ternak mengenai aspek reproduksi diperlikan untuk mendeteksi waktu birahi dan kapan harus mengawinkan sapinya. Semua responden (100%) di Desa Bumi Jaya, berkat pengalamannya yang sudah bertahun-tahun memelihara sapi, sudah mengetahui apakah sapinya sedang birahi atau tidak dan kapan waktu mengawinkan sapinya. Menurut mereka, sapi yang sedang birahi antara lain memeperlihatkan tanda-tanda: tidak tenang, gelisah, kadang-kadang menguak-nguak dan nafsu makannya berkurang. Apabila dilepas di lapangan sapi tersebut mengejar sapi lainnya dan berusaha menaikinya, meskipun sama-sama betinanya. Secara visual, terlihat alat kelamin (vulvanya) membengkak kemerah-merahan, kadang-kadang mengeluarkan air jernih, agak kental dan menggantung dari vulvanya atau melekat pada ekornya. Setelah melihat tanda-tanda tersebut mereka segera mengawinkan sapinya. Teknik perkawinan yang banyak dilakukan adalah kawin alam (68,0%). Ada pula yang melakukan perkawinan sapinya secara alami maupun IB (25,3%) dan hanya sebagian kecil (6,7%) yang menggunakan IB saja (Tabel 3). Kecenderungan penggunaan kawin alam lebih memungkinkan karena ketersediaan pejantan di lokasi penelitian relatif masih tinggi. Sehingga ketepatan waktu dalam mengawinkan ternak untuk menjadi bunting lebih terjamin. Oleh karena itu, tingkat keberhasilan ternak untuk menjadi bunting di lokasi penelitian cukup baik yaitu hampir 90% (Tabel.4). Mereka mau menggunakan teknik IB bila sulit mendapatkan sapi pejantan, terutama setelah bulan Maulid, dimana banyak sapi pejantan yang dijual. Produktivitas ternak sapi di Desa Bumi Jaya rata-rata cukup tinggi. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil wawancara dengan petani yang menyatakan bahwa dalam satu tahun induk sapi Bali dapat menghasilkan satu ekor anak, sebab setelah melahirkan, dalam tempo 2-3 bulan kemudian dikawinkan lagi. Dan berdasarkan pengamatan dari BPPH Wilayah V Banjar baru (1996), calving interval atau jarak beranak sapi-sapi di Desa Gunung Makmur, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, pada umumnya cukup baik, hal ini dilihat dari service per conception kurang dari 2. Angka service perconception yaitu jumlah straw yang digunakan dibanding jumlah sapi yang bunting di Kabupaten Tanah Laut adalah 1,77 (DINAS PETERNAKAN DATI. I KALIMANTAN SELATAN, 1998). Secara normal suatu kelompok ternak sapi yang dikelola dengan baik menunjukan angka konsepsi 6570% pada perkawinan atau inseminasi pertama dengan jumlah inseminasi per konsepsi sebanyak 1,3-1,7. Interval kelahiran seharusnya sekitar 12-13 bulan (TOLIHERE, 1983). Sapi-sapi Bali yang diperiksa terhadap kebuntingannya adalah sapi-sapi yang berumur 2-5 tahun (41%), umur 6-8 tahun (48,5%) dan umur 9-11 tahun. Dan dari 39 ekor sapi yang telah dikawinkan baik secara alami maupun IB, ternyata 35 ekor (89,7%) yang positif bunting dengan usia kebuntingan yang bervariasi. Ada empat ekor sapi yang negatif bunting, namun dalam pemeriksaan eksplorasi rektal tidak terjadi kelainan anatomis pada organ reproduksinya (Tabel 4). Menurut pengakuan mereka ada sapinya yang pernah beranak 9 kali. Hal ini menunjukkan bahwa banyak ternak betina usia produktif yang sedang bunting dan sapi-sapi peliharaannya telah dikelola dengan baik.
121
Tabel 3 Aspek Reproduksi yang diketahui dan dipraktekkan oleh peternak di Desa Bumi Jaya serta gangguan reproduksi yang dialami oleh sapinya Uraian Mengetahui tanda-tanda sapinya Birahi: Ya Tidak Cara mengawinkan sapi a.Kawin alam b.Kawin alam/Inseminasi Buatan c.Inseminasi Buatan Frekuensi mengawinkan sapi sampai Menjadi bunting. 1 kali 2 kali 3 kali lebih dari 3 kali Waktu mengawinkan kembali setelah sapi melahirkan: 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun Gangguan Reproduksi pada sapinya : Kemajiran : Pernah Tidak pernah Keguguran : Pernah Tidak pernah Distokia : Pernah Tidak pernah
Respoden (Orang)
Persentase (%)
75 0
100 0
51 19 5
68,0 25,3 6,7
46 26 2 1
61,3 34,7 2,7 1,3
60 15
80.0 20.0
8 67 7 68 1 74
10.7 89.3 9.3 90.7 1.3 98.7
122
Tabel 4. Hasil pemeriksaan kebuntingan pada sapi induk yang telah dikawinkan Uraian Sapi yang diperiksa kebuntingan: Positif Negatif Umur sapi: 2–5 tahun 6–9 tahun 9–11 tahun Frekuensi melahirkan: 0–3 kali 4–6 tahun 7–9 tahun Umur kebuntingan: 0–3 tahun 4–6 tahun 7–9 tahun
Jumlah (ekor)
Persentase (%)
35 4
89,7 10,3
16 19 4
41,0 48,7 10,3
21 13 5
53,9 33,3 12,8
16 15 4
45,7 42,9 11,4
Gangguan reproduksi dan kesehatan hewan Kurang lebih 95% variasi interval kalahiran dan efisiensi reproduksi ditentukan oleh faktor-faktor non genetik yang mempengaruhi organ kelamin betina. Hal ini berarti kegagalan reproduksi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terutama meliputi manajemen dan pemberian makanan yang buruk dan kurangnya peranan dokter hewan dalam menanggulangi penyakit reproduksi (TOLIHERE, 1983). Menurut DJOJOSUDARMO (1983), gangguan atau hambatan proses reproduksi pada sapi dapat bermanifestasi dalam bentuk: kegagalan memperlihatkan gejala birahi, kegagalan menjadi bunting, kegagalan memelihara proses kebuntingan dan kegagalan memelihara/membesarkan anak. Dari hasil wawancara dengan responden, kegagalan sapinya memperlihatkan tanda-tanda birahi jarang terjadi dan yang kadang-kadang dialami oleh peternak adalah setelah sapinya birahi dan dikawinkan, pada siklus birahi berikutnya masih memperlihatkan tanda-tanda birahi lagi. Kegagalan sapi menjadi bunting (majir) dikemukakan oleh delapan oleh responden (10,7%). Apabila sapi telah berulang kali dikawinkan (lebih dari empat kali), namun sapinya tidak menjadi bunting mereka menganggapnya majir. Untuk mengatasinya, mereka jual sapi tersebut dan digantikan dengan sapi yang produktif dan persoalannya selesai. Kegagalan fungsional semacam ini dapat disebabkan oleh ketidak seimbangan hormonal , kausa nutrional dan kausa kongenital. Yang perlu di ingat bahwa kegagalan reproduksi adalah suatu hasil interaksi berbagai kausa komplek yang menimpa ternak secara individual atau kelompok (TOLIHERE, 1983 ). Sebagian besar (89,3%) responden menyatakan sapinya tidak pernah majir, namun ada gangguan dalam memelihara proses kebuntingan atau keguguran sebanyak 9,3% (Tabel 3). Keguguran yang dialami sapinya umumnya kebuntingan yang sudah berumur 6-9 bulan. Menurut DJOJOSOEBAGIO (1996), penyakitpenyakit yang dapat mengakibatkan sterilitas dan abortus adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman Brucella. Dari hasil pemeriksaan terhadap Brucellosis dari 4 sampel darah sapi yang pernah mengalami keguguran ternyata hasilnya “negatif“. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan darah sapi di desa Bumi Jaya sebelumnya yang dilakukan oleh BPPH WILAYAH V BANJAR BARU (1997 dan 1998) selama lima kali surveillance di desa tersebut pada tahun 1997 dan 1998, dari 700 sampel darah sapi yang diperiksa dengan cara Complement Fixation Test (CFT) terhadap Brucellosis, ternyata semua hasilnya negatif. Selanjutnya, dari 4 ekor sapi yang pernah mengalami abortus juga diambil sampelnya untuk pemeriksaan mikro organisme (mikotik), ternyata juga negatif Candida sp. Hal ini menunjukan bahwa, keguguran tersebut kemungkinan tidak disebabkan oleh penyakit melainkan faktor lain, misalnya faktor mekanik. Diduga akibat terlalu banyak bergerak atau terlalu banyak dipekerjakan, karena kasus ini terjadi secara individual. Di samping keguguran, distokia (sulit melahirkan) juga pernah terjadi pada sapi, namun kasusnya jarang sekali. Kasus ini biasanya akibat dari posisi sungsang dari fetus atau fetusnya terlalu besar. Distokia pada 123
sapi yang pernah dialami peternak di Desa Bumi Jaya, sebagai akibat induk sapi Bali yang diinseminasi dengan semen sapi Brahman Cross. Di samping keunggulan sapi Bali yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan daya reproduksinya yang tinggi, sapi Bali juga mempunyai kelemahan, yakni peka terhadap penyakit Jembrana dan penyakit lainnya. Berdasarkan informasi dari kepala Sub Dinas Kesehatan Hewan Kabupaten Tanah Laut, pada bulan Nopember 1999 telah dilaporkan adanya kasus kematian 2 ekor sapi dengan gejala penyakit di daerah Batakan, Kecamatan Panyipatan, yang berdekatan dengan Kecamatan Plai hari. Kematian terus berlanjut hingga 25-30 ekor sapi mati pada bulan Desember 1999, penyakit tersebut tidak spesifik reproduksi, tetapi keberadaan penyakit menular tersebut perlu di waspadai karena bisa berakibat fatal. Kasus lain yang sering muncul adalah mencret-mencret disertai lendir bercampur darah. Kematian akibat diare berdarah ini di laporkan delapan ekor terutama pada anak sapi yang berumur 3-4 bulan. Kemungkinan penyebabnya adalah virus atau bakteri sedangkan gejala mencret-mencret pada sapi dewasa akibat diberi makanan rumput muda. KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebgai berikut: Daya reproduksi ternak sapi potong (sapi Bali) di Desa Bumi Jaya cukup baik. Dengan satu atau dua kali mengawinkan sapinya, baik kawin alam maupun inseminasi buatan, sudah bisa menghasilkan kebuntingan. Gangguan reproduksi pada sapi yang dimanifestasikan dalam bentuk kegagalan memperlihatkan gejala birahi, kegagalan menjadi bunting, kegagalan memelihara proses kebuntingan, dan kegagalan memelihara/membesarkan anak relatif sedikit dan hanya bersifat individual. Kegagalan memelihara proses kebuntingan atau keguguran tidak disebabkan oleh penyakit infectious/menular melainkan akibat faktor lain yang bersifat aksidentil diduga akibat kelelahan fisik atau traumatik. Namun kematian anak sapi dengan diare berdarah kemungkinan akibat penyakit viral atau bakterial.
124
DAFTAR PUSTAKA Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah V Banjarbaru. 1996. Laporan PengamatanReproduksi sapi di Kalimantan Selatan. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah V Banjarbaru. 1997. Peta Penyakit Hewan Kalimantan 1997. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah V Banjarbaru. 1998. Peta Penyakit Hewan Kalimantan 1998. BPS KABUPATEN TANAH LAUT. 1998. Kabupaten Tanah Laut dalam Angka. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Diagnostik Penyakit Hewan.
DAN
JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY. 1995. Manual standar
DINAS PETERNAKAN PROPINSI/DATI I KALIMANTAN SELATAN. 1996. Laporan Tahunan 1995/1996. DINAS PETERNAKAN KABUPATEN/DATI II TANAH LAUT. 1998. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Laut Tahun Anggaran 1997/1998. DJOJO SOEBAGIO, S. 1996. Peningkatan produktivitas ternak melalui penerapan bioteknologi. Pros. Sem. Nas Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan, Bogor. pp. 273-304. Djojosudarmo, S. 1983. Kegagalan reproduksi dan masalah-masalahnya pada sapi .Ceramah Ilmiah Pengelolaan Tatalaksana makanan dan kesehatan sapi perah. PDHI Cabang Jawa Barat II. HERMAWAN, A., C. SETIANI dan T. PRASETYA. 1996. Implementasi introduksi tanaman pakan sebagai upaya pengembangan peternakan rakyat di lahan kering. Pros. Temu Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Ciawi Bogor, 9-11 Januari 1995. PARTODIHARDJO, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan . Mutiara Sumber Widya , Jakarta. PUTRO, P. P. 1999. Peningkatan peran kesehatan hewan dalam mencapai swasembada daging sapi tahun 2005. Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah. Direktoran Bina Kesehatan Hewan. Dir Jen Peternakan, Dep. Pertanian. Yogyakarta, 3-4 Nopember 1999. TOLIHERE, M. R. 1983. Tinjauan tentang penyakit reproduksi ruminansia besar di Indonesia. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, 6-9 Desember 1983. Puslitbang Peternakan, Bogor. WINUGROHO, M. dan Y. WIDYAWATI. 1996. Peningkatan produktivitas sapi potong menunjang pengadaan daging nasional. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor, 7-8 Nopember 1995. Puslitbang Peternakan.
125