TINGKAT KEJADIAN GANGGUAN REPRODUKSI TERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN ENREKANG
SKRIPSI
Oleh: MUH IDHAM YAHYA I111 11 287
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017
i
TINGKAT KEJADIAN GANGGUAN REPRODUKSI TERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN ENREKANG
SKRIPSI
Oleh: MUH IDHAM YAHYA I111 11 287
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,Maha Pemilik dari segala pemilikkarena atas Kehendak, Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula Salam serta Salawat senantiasa penulis haturkan kepada Nabiullah Muhammad SAW sebagai Suri Tauladan umat manusia. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada: 1.
Ibunda Hj. Hartati dan Ayahanda H. Yahya yang senantiasa melimpahkan doa-doa terbaik untuk penulis. Juga sebagai motivator terbesar bagi penulis serta senantiasa melimpahkan kasih sayang dan dukungan yang tiada hentinya kepada penulis dan juga adinda Fadjrin Yahya, beserta seluruh keluarga besar yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.
2.
Ibu Rektor UNHAS, Bapak Dekan, Pembantu Dekan I,II dan III dan seluruh Bapak Ibu Dosen yang telah melimpahkan ilmunya kepada penulis, dan Bapak Ibu Staf Pegawai Fakultas Peternakan Universitas hasanuddin.
3.
Bapak Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku pembimbing utama dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi arahan serta nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4.
Ibu Dr.A. Mujnisa S.Pt, MP selaku Pembimbing Akademik. Bapak Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku pembimbing Seminar studi pustaka dan juga
v
kepada Pembimbing Praktek Kerja Lapang Bapak Sahiruddin Sabile, S.Pt, M.Si bersama Bapak Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt Kakanda Sahiruddin, S.Pt., M.Si. yang juga turut membantu penulis dalam penyempurnaan skripsi ini. 5.
Team Asisten Lab. Ternak Perah Team PKL Integraled Farming System Unit Proccessing Semen Fakultas Peternakan UNHAS, dan teman-teman KKN gel. 90 UNHAS khususnya Desa Palae Kec. Sinjai Selatan Kab. Sinjai.
6.
Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK-UH), Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (SEMA FAPETUH) dan Himpunan mahasiswa Islam (HmI), tempat penulis dalam berproses dan belajar. Lembaga yang telah banyak mengajarkan banyak hal kepada penulis.
7.
Adinda Ant 014, Larva 013, Flock Mentality 012, Teman-teman seperjuangan Solandeven 011, serta kakanda Lion 010, Merpati 09, Bakteri 08 dan Rumput 07 yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama ini.
8.
Hardianti Hasta, S.Ft Physio selaku orang yang selalu menjadi motivasi dan juga selalu memberikan semangat kepada penulis.
9.
Teman penelitian serta teman seperjuangan yang sudah banyak membantu penulis, Abdi Eriansyah, S.Pt.
10. Nurhidayat dan Dwi Aprianto selaku orang yang selalu mendukung penulis sampai terselesaikannya skirpsi ini. Dengan sangat rendah hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik serta saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi perkembangan dan kemajuan ilmu
vi
pengetahuan nantinya, terkhusus dalam bidang peternakan. Semoga makalah skripsi ini dapat memberimanfaat bagi para pembaca terutama bagi penulis. Aamiin. Akhir Qalam Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar , Februari 2017
Penulis
vii
ABSTRAK MUH IDHAM YAHYA. I111 11 287. Tingkat kejadian gangguan reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang. Dibimbing oleh Muhammad Yusuf sebagai Pembimbing Utama dan Ambo Ako sebagai Pembimbing Anggota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian gangguan reproduksi pada ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang. Sebanyak 80 ekor ternak sapi perah digunakan pada pelaksanaan penelitian ini. Seluruh ternak diperiksa secara klinis baik dengan palpasi rektal maupun secara vaginoskopi. Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah status kebuntingan, gangguan reproduksi dan tipe-tipe gangguan reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan pada sapi dara adalah 20,7%; lebih rendah dibandingkan pada induk sapi perah yakni sebesar 51,0%. Tingkat kejadian gangguan reproduksi pada ternak sapi perah betina (dara dan induk) adalah sebesar 41,7%, dengan rincian sapi dara 30,4% dan sapi induk sebanyak 52,0%. Tipe gangguan reproduksi pada sapi dara adalah anestrus sebanyak 71% dan gangguan uterus sebanyak 29%. Pada sapi induk tipe gangguan reproduksi yaitu, anestrus sebesar 31%, gangguan uterus sebesar 46%, kista 15%, serta urovagina 8%. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kebuntingan sapi dara yang sudah layak bunting masih sangat rendah dibandingkan dengan tingkat kebutingan sapi induk. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya angka kebuntingan adalah gangguan reproduksi (anestrus dan gangguan uterus).
Kata Kunci: Status kebuntingan, Sapi Perah, Gangguan reproduksi, Tipe-tipe gangguan reproduksi
viii
ABSTRACT MUH IDHAM YAHYA. I111 11 287. The incidence of reproductive disorders in dairy cattle in Enrekang Regency. Supervised by Muhammad Yusuf as main supervisor, and Ambo Ako as Co-supervisor. This study aimed to know the incidence of reproductive disorders in dairy cattle in Enrekang Regency. A total of 80 dairy cattle were used in the present study. All animals both cows and heifers were clinically examined by palpation per rectum and vaginoscopically. Parameters measured in this study were pregnancy status, the incidence of reproductive disorders, and types of reproductive disorder. The results of this study showed that pregnancy rate in dairy heifers was 20.7%; lower than in dairy cows; 51.0%. The incidence of reproductive disorders in dairy cattle (heifers and cows) was 41.7%; whereas the incidence was 30.4 in heifers and 52.0% in cows, respectively. The types of reproductive disorders in dairy heifers were anestrus and uterine disorders; 71% and 29%, respectively. In dairy cows, the types of reproductive disorders were anestrus (31%), uterine disorders (46%), cyst (15%), and urovagina (8%). It can be concluded that pregnancy rate of dairy heifers was relatively low in comparison to the dairy cows. One of the factors affecting low pregnancy rate in dairy cattle was reproductive disorders (anestrus dan uterine disorders).
Key words: Pregnancy status, Dairy cattle, Reproductive disorder, Types of reproductive disorder
ix
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i HALAMAN JUDUL .........................................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................
iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
ABSTRAK ......................................................................................................... vii ABSTRACT ....................................................................................................... viii DAFTAR ISI......................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xi
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................
3
Tinjauan Umum Sapi Perah....................................................................... 3 Efisiensi Reproduksi Sapi Perah ............................................................... 4 Manajemen reproduksi Sapi Perah ............................................................ 5 Gangguan Reproduksi Sapi Perah ............................................................ 10 MATERI DAN METODE PENELITIAN ...................................................... 19 Waktu dan Tempat .................................................................................... Materi Penelitian ....................................................................................... Metode Penelitian ...................................................................................... Parameter Penelitian .................................................................................. Analisis Data .............................................................................................
19 19 19 20 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 22 Status Kebuntingan Ternak Sapi Perah ..................................................... 22 Gangguan Reproduksi Ternak Sapi Perah ................................................. 24 Tipe – Tipe Gangguan Reproduksi Ternak Sapi Perah ............................. 27 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 31 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... 36
x
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Teks Gangguan Reproduksi Ternak Sapi perah..................................................24
2.
Tipe- tipe Gangguan Reproduksi Sapi Perah..............................................27
xi
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman Teks
1. Status Kebuntingan Ternak Sapi Perah ............................................. 22
xii
PENDAHULUAN Usaha peternakan sapi baik sapi pedaging maupun sapi perah di Indonesia sampai saat ini masih menemui banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak tersebut masih rendah. Salah satu kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya pengolahan ternak yang lebih baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas ternak yang tinggi pula. (Hayati dan Choliq, 2009). Dengan demikian, untuk perkembangan ternak baik ternak sapi pedaging maupun ternak sapi perah di Indonesia kedepan dapat lebih baik, termasuk didalamnya perkembangan ternak di Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra pengembangan ternak di Indonesia. Di Sulawesi Selatan terdapat dua kabupaten sentra pengembangan sapi perah yaitu Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Sinjai. Kegiatan pengembangan sapi perah di dua Kabupaten dimulai pada bulan Desember 2001 melalui bantuan ternak sapi perah dari Direktorat Jenderal Peternakan. Kabupaten Enrekang merupakan salah satu kabupaten yang terkenal dengan peternakan sapi perah tradisional dengan hasil olahan susu yaitu dangke. Data yang tercatat pada Januari 2008 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 256 unit usaha pembuat dangke dan berdasarkan jumlah populasi yang ada sekarang. Mencermati kondisi tersebut di atas, pihak pemerintah setempat terus melakukan berbagai upaya dalam mengakomodasi permintaan pasar, penambahan populasi dan perbaikan sistem pemeliharaan terus diintroduksi dan dikembangkan
1
dalam kelembagaan peternak. Populasi sapi perah di Kabupatan Enrekang hingga 11 April 2011 sebanyak 1600 ekor, yang terdiri atas betina sebanyak 767 ekor; jantan sebanyak 65 ekor; dara sebanyak 253 ekor; anak betina sebanyak 346 ekor; dan pedet jantan sebanyak 168 ekor; dengan produksi susu rata-rata sebesar 7,82 liter/hari (Anonim, 2011a). Akan tetapi disisi lain, sampai saat ini usaha sapi perah rakyat masih menghadapi berbagai kendala, terutama yang terkait dengan rendahnya produktivitas ternak. Salah satunya adalah kendala reproduksi; memungkinkan banyaknya kasus gangguan reproduksi pada sapi perah, seperti yang terjadi pada daerah lain yang telah dilaporkan oleh Yusuf dkk (2012). Gangguan ini dapat berakibat pada kemajiran ternak betina, yang ditandai dengan rendahnya angka kelahiran (calving rate) pada ternak tersebut (Hardjopranjoto, 1995). Pada dasarnya perkembangbiakan ternak sangat dipengaruhi oleh angka kelahiran yang akan berdampak terhadap pertambahan populasi. Namun tingginya angka gangguan reproduksi akan mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi atau kesuburan serta kematian prenatal, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan populasi (Toelihere, 1981). Termasuk didalamnya usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Enrekang. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kejadian gangguan reproduksi ternak sapi perah yang ada di Kabupaten Enrekang.Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah agar dapat memberi informasi kepada peternak dan masyarakat tentang gangguan reproduksi yang terjadi pada ternak sapi perah.
2
TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Sapi perah Sapi merupakan hewan ternak penting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45%-55%) kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari family bovidae (Anonim 2011b). Untuk ternak sapi perah,domestikasi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Friesian Holstein dari Belanda, Jersey dari Inggris, Brown Swiss dari Swiss, Red Danish dari Denmark (Anonim2011b). Di indonesa sapi perah mulai dipelihara dan dikembangkan sejak abad ke 17. Pada umumnya sapi perah yang dipelihara di Indonesia ialah sapi FH dan PFH (peranakan Fries Holland). Sapi tersebut berasal dari daratan Eropa yang memiliki lingkungan hidup dengan temperatur kurang dari 22°C. Sehingga tidaklah mengherankan apabila usaha ternak sapi perah di Indonesia ini hanya terbatas di daerah-daerah yang berhawa dingin (Anonim 2010). Sapi Fries Holland sangat populer dan diperkiran merupakan jenis sapi perah yang populasinya terbanyak dan telah tersebar luas diberbagai belahan dunia, baik di negara beriklim tropis maupun subtropis. Ciri khas dari sapi fries Holland jenis ini antara lain terlihat dibagian dahinya terdapat warna kulit dan bulu yang putih dan berbentuk segitiga dengan aspek lebar dibagian dan meruncing ke bawah diantara kedua mata berukuran bervariasi luasan yang berbeda untuk masing-masing individu. Terdapat pula warna putih di bagian dada, perut bagian bawah, kaki dan ekor, warna hitam lebih dominan (Anonim, 2011c)
3
Sapi FH merupakan jenis sapi perah dengan kemampuan produksi susu tertinggi dengan kadar lemak lebih rendah dibandingkan sapi perah lainnya. Produksi susu sapi FH di negara asalnya mencapai 6000-8000 kg/ekor/laktasi, di Inggris sekitar 35% dari total populasi sapi perah dapat mencapai 8069 kg/ekor/laktasi akan tetapi produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah FH di Indoneia ternyata lebih rendah, berkisar 3000-4000 liter/ekor/laktasi. Produksi rataan sapi perah di Indonesia hanya mencapai 10,7 liter per ekor per hari (3.264 per laktasi) (Tawaf, 2011). Menurut Sutardi (1981) bahwa apabila lingkungan fisik dan iklim suatu daerah sesuai dengan habitat asalnya dan sapi diberi pakan berkualitas, maka sapi tersebut akan menampilkan semua sifat yang dimiliki secara maksimal. Suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan nafsu makan dan mengurangi konsumsi pakan seekor sapi perah sehingga menghambat produksi susu sapi tersebut. Rendahnya produksi susu sapi perah di Indonesia disebabkan kerena faktor lingkungan yang memegang peranan penting terhadap proses fisiologis dalam tubuh ternak, sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi kapasitas produksi sapi perah tersebut, diberi pakan yang berkualitas tinggi sehingga dapat berproduksi sesuai dengan kemampuannya (Sudono, 1983). Efisiensi Reproduksi Ternak Sapi Perah Efisiensi Reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak (Niazi,2003). Sedangkan menurut Hafez (1993) efisiensi reproduksi adalah penggunaan secara maksimum kapasitas reproduksi. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau pengembangan
4
teknologi praktis dan praktek-praktek manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi (Basyir, 2009). Manajemen perkawinan ternak yang baik juga merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunan. Salah satu cara untuk manajemen ternak adalah dengan cara inseminasi buatan (IB). Dengan hal ini berarti meningkatkan efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut (Wijaya, 2008). Manajemen Reproduksi Ternak Sapi Perah Pubertas Dewasa kelamin adalah periode dalam kehidupan sapi dimana alat reproduksi mulai berfungsi. Pada umumnya semua hewan akan mencapai kedewasaaan kelamin sebelum dewasa tubuh (Anonim, 1995). Perkembangan dan pendewasaan alat kelamin dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantara faktor tersebut adalah bangsa sapi dan manajemen pemberian pakan.Dalam kondisi pemberian pakan yang baik, pubertas pada sapi betina dapat terjadi pada umur 5 – 15 bulan. Bobot badan yang ideal untuk pubertas sekitar 227 -272 kg pada umur rata – rata 15 bulan (Anonim, 2011d) Deteksi Berahi Berahi bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel – folikel ovarium. Tanda – tanda sapi berahi antara lain vulva nampak lebih merah dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali diangkat. Apabila sapi di padang rumput sapi yang sedang berahi tidak suka merumput. Kunci untuk menentukan keadaan berahi dimana diantara sapi – sapi tersebut yang saling menaiki. Sapi yang berahi adalah sapi
5
betina yang tetap tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila di dalam kandang nafsu makannya jelas berkurang (Siregar, 2003). Siklus berahi pada sapi berlangsung selama kurang lebih 21 hari. Rata – rata lama behari berlangsung selama 18 jam dan ovulasi dimulai 11 jam kemudian, (Rioux dan Rajjote, 2004). Menurut prihatno (2006), bahwa pengamatan berahi/estrus merupakan salah satu faktor penting dalam manajemen reproduksi sapi perah. Kegagalan dalam deteksi estrus dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan. Problem utama deteksi estrus umunya dijumpai sapi – sapi yang subestrus atau silent heat, karena tidak semua peternak mampu mendeteksinya, untuk itu diperlukan metode untuk mendeteksi berahi. Deteksi berahi paling sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan sore/malam hari.Berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari mencapai 60%.Sedangkan pada pagi hari sampai sore hari mencapai 40 %, (Laming, 2004). Menurut Ikhas (1992), bahwa deteksi berahi umumnya dapat dilakukan dengan melihat dengan tingkah laku ternak dan keadaaan vulva. Voluntary Waiting Period Prentice (2006), mendefenisikan voluntary waiting period (VWP) sebagai interval waktu dari saat induk melahirkan hingga waktu paling tepat untuk dilakukannya perkawinan setelah melahirkan.Lebih lanjut Miller, dkk. (2007), mengemukakan VWP adalah tenggang waktu yang timbul akibat ditundanya inseminasi buatan (IB) pertama setelah kelahiran, sehingga dapat berpengaruh terhadap produksi susu pada periode selanjutnya.
6
VWP umumnya berlangsung selama 40 – 70 hari (Printice, 2006); 60-80 hari (Inchaisridkk.,2010) atau 45 hari (Honarvar dkk., 2010). Panjang pendeknya masa VWP secara mendasar berangkat dari pertimbangan utama yaitu pertimbangan fisiologi dan ekonomi. Secara fisiologi, Prentice (2006) mengemukakan, bahwa VWP memberi kesempatan berlangsung involusi uterus atau pemulihan kondisi organ reproduksi induk setelah melahirkan hingga induk siap kembali untuk proses reproduksi selanjutnya. Pertimbangan ekonomi dilakukan berdasarkan pengaruh VWP terhadap tingkat konsepsi, kebuntingan, efesiensi tenaga kerja dan produktivitas susu induk. Aspek reproduksi dan hubungan antara kerugian ekonomi dengan VWP dapat ditunjukkan. Setiap VWP diatas 6 minggu (42) hari selalu memberikan kehilangan nilai ekonomi setiap tahunnya, namun VWP yang optimum adalah VWP yang kurang dari 10 minggu (70 hari ) atau 6 – 10 minggu. Lebih tepatnya VWP selama minggu (49 hari) menghasilkan kehilangan nilai ekonomi 2,20€/tahun dari sekitar 27% populasi induk (Prentice,2006). Pada diagnosa kebuntingan hari ke – 71, terlihat proporsi induk yang tidak bunting sekitar 80% pada induk dengan VWP 50 hari, sementara induk dengan VWP 71 hari baru diinseminasi. Walaupun denganVWP yang lebih panjang tingkat kebuntingan yang terjadi pada hari ke – 80 adalah sama pada induk (Adams, 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa VWP 71 hari memiliki S/C yang lebih baik dibandingkan dengan induk dengan VWP 50 hari. Sinkronisasi Berahi/Induksi Berahi Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha peternakan bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi. Sinkronisasi atau
7
induksi estrus adalah tindakan menimbulkan berahi.Sinkronisasi ini diharapkan diikuti dengan ovulasi fertil pada sekolompok atau individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi atau kebuntingan. Angka konsepsi atau kebuntingan yang optimum merupakan tujuan dari aplikasi sinkronisasi estrus ini (Salverson dan Perry, 2007). Menurut Patterson, dkk.(2005), metode pertama sinkronisasi estrus dengan pemberian sediaan berbasis progestin. Hormon ini bekerja dengan kemampuannya menimbulkan pengaruh umpan – balik negatif ke hipotalamus, sehingga penghentian pemberiannya
akan menyebabkan pembebasan GnRH dari
hipotalamus, diikuti ovulasi. Sediaan implan progesteron yang kini masih banyak digunakan adalah implan progesteron intravagina controlled internal drug release (CIDR, eazibreedTM, InterAg, Hamilton, New Zealand). Pemberian progesteron lebih dari 14 hari akan menyebabkan sinkronisasi estrus. Metode kedua sinkronisasi estrus dengan pemberian estrus dengan sediaan berbasis PGF2a. Prostaglandin F2a yang bekerja melisiskan korpus luteum yang berakibat turunnya kadar progesteron plasma dengan tiba – tiba. Lisisnya korpus luteum diikuti dengan penurunan progesteron yang dihasilkan, akibatnya terjadi pembebasan serentak GnRH dari hipotalamus, diikuti dengan pembebasan FSH dan LH dari pituitary anterior, sehingga terjadilah estrus dan ovulasi. Keberhasilan sinkronisasi estrus tergantung dari penurunan serentak kadar progesteron dalam darah, serta perkembangan dan ovulasi dari folikel ovaria. Prostaglandin F2a hanya efektif bila ada korpus luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus; sedangkan penurunan progesteron eksogen
8
hanya efektif bila terjadi regresi korpus luteum secara alami atau induksi (Salverson dan Perry, 2007). Sinkronisasi Ovulasi sebagai Upaya Peningkatan Efisiensi Reproduksi Prinsip dasar dari sinkronisasi ovulasi adalah memanipulasi fenomena siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi ovulasi adalah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi. Tingkat keberhasilan dari inseminasi buatan (IB) dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu melahirkan induk bersamaan (Hafez dan Hafez, 2000). Sinkronisasi ovulasi mempunyai potensi dalam memperpendek musim kelahiran,
meningkatkan
keseragaman
umur
pedet,
dan
mempertinggi
kemungkinan penggunaan IB. Penghambat utama dalam sinkronisasi berahi dan pencapaian kebuntingan optimum pada sapi potong menyusui adalah merangsang berahi setelah melahirkan (Larson dkk. 2006). Sapi merupakan hewan poliestrus, setelah mencapai usia pubertas siklus estrus berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun, kecuali pada saat hewan bunting, siklus estrusnya terhenti sementara. Panjang siklus estrus normal pada sapi induk 21 + 3 hari dan sapi dara 20 +2 hari, walaupun ada sedikit variasi bangsa sapi. Kebanyakan bangsa sapi mempunyai rerata lama estrus 12 jam dengan variasi normal antara 8 sampai 16 jam. Waktu ovulasi pada sapi umumnya terjadi sekitar 12 jam dari akhir estrus (Marawali, 2001).
9
Salah satu aspek yang penting dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak betina adalah peningkatan persentase berahi pada satu kawanan/populasi betina sehingga jumlah betina yang siap kawin jumlahnya meningkat, dan diharapkan dapat meningkatkan jumlah anak yang lahir per ekor induk per tahun. Berbagai metode telah banyak dilakukan di negara- negara yang sudah maju, baik hormonal misalnya penggunaan hormon gonadotropin eksogen : GnRH, hCG, immunisasi terhadap steroid, dll (Chenault dkk., 1990); maupun non hormonal (seleksi, perbaikan kualitas pakan, dll) untuk meningkatkan efisiensi reproduksi. Perlakuan sinkronisasi diberikan untuk menentukan waktu IB (Cerri dkk., 2004).
Perlakuan
yang
mengkombinasikan
sinkronisasi
menyebabkan
kemunculan folikel ovarium, regresi corpus luteum, dan menyebabkan hasil ovulasi serupa atau rata-rata perkawinan yang agak rendah tetapi service rates yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan untuk sinkronisasi berahi perlakuan tersebut biasanya meningkatkan rata-rata kebuntingan pada sapi dengan rata-rata berahi yang dideteksi rendah (Cerri dkk., 2004). Gangguan Reproduksi pada Ternak Sapi Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dari reproduksi. Salah satunya adalah abortus yang menunjukkan ketidakmampuan fetus sapi untuk bertahan hidup sebelum waktunya dilahirkan, namun proses organogenesis pada fetus tersebut telah selesai. Jika kebuntingan berakhir sebelum terjadinya organogenesis, prosesnya dinamakan kematian embrio dini.Jika fetus mati sesaat setelah dilahirkan, prosesnya dinamakan kelahiran mati.Kebuntingan pada sapi terjadi selama 9 bulan. Abortus yang terjadi sebelum bulan kelima masa
10
kebuntingan tidak disertai dengan retensi plasenta, tetapi abortus yang tejadi sesudah bulan kelima seiring disertai dengan retensi plasenta (Anonim 2011 e ). Beberapa gangguan reproduksi yang sering terjadi pada ternak sapi perah di Indonesia (Anonim,2011e) adalah sebagai berikut : 1. Nimfomania (berahi setiap hari) Penyebab dari nimfomania itu sendri karena produksi susu yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan nutrisi (intake nutrisi rendah) sehingga kekurangan hormone LH (Luteinizing hormone). Jika dilakukan palpasi per rektal pada bagian ovarium maka akan terasa salah satu ovarium atau kedua-duanya membesar dan terdapat cairan, dindingnya tipis, diameter lebih dari 2,5 cm serta gejala berahi terus menerus. Penanganan kasus ini sapi akan diberikan hormon LH (Luteinizing hormone) sebanyak 3 ml. Hormon tersebut akan disuntikkan secara intauteri menggunakan gun plastik. 2. Endometriris (Lendir infeksi) Infeksi edometriris merupakan peradangan pada bagian uterus yang paling ringan.Pada umunya disebabkan oleh infeksi jasad renik yang masuk ke dalam uterus melalui cerviks dan vagina. Kuman – kuman yang sering masuk melalui cerviks dan vagina adalah strepthoccus,staphylococcus, Coli ( berasal dari feses, mungkin pada waktu inseminasi buatan, atau pertolongan distokia dan retensio. Edometriris ditandai dengan sapi yang siklus berahinya normal, hanya saja saat dikawinkan sulit bunting, sedangkan pada gejala endometriris klinis ditunjukkan dengan adanya leleran (lendir) yang berwarna keruh atau keputihan. Banyak sekali macam dan cara pengobatannya yang dilakukan dan pada umumnya berhasil baik. Pengobatan yang dilakukan dengan menyuntikkan OTC
11
(oxytetracyclin) untuk menstimulir organ reprodksi betina lalu membasmi jasad renik yang meradang dalam uterus. 3. Brucellosis Salah satu ancaman penyakit yang dapat menghambat pengembangan populasi
dan
produktivitas
ternak
sapi
perah
adalah
penyakit
brucellosis.Brucellosis pada ternak sapi disebabkan oleh kuman Brucella abortus. Ternak yang terinfeksi kuman Brucella dapat mengalami abortus, retensi plasenta, orchitis dan epididimitis serta dapat mengekskresikan kuman ke dalam uterus dan susu (Noor, 2006). Kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui penetrasi membran mukosa saluran pencernaan, mulut, saluran reproduksi dan selaput lendir mata (Plommet dan Plommet, 1988).Brucellosis pada sapi merupakan penyakit hewan menular yang ditandai oleh abortus (keluron) pada kebuntingan tua.Kejadian abortus pada sekelompok sapi yang sedang bunting dapat mencapai 5-90%, tergantung pada frekuensi penularan, virulensi kuman, kondisi inang dan sebagainya (Subronto, 1985). Infeksi Brucellosis pada hewan terjadi persisten seumur hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan didalam darah, urin, susu dan semen. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar (Rp. 138,5 Milyar/tahun) akibat penurunan angka kelahiran karena abortus, penurunan produksi susu, gangguan reproduksi (infertilitas dan sterilitas), penurunan prestasi kerja akibat nyeri pada persendian lutut, penurunan nilai jual susu dan nilai jual sapi (Dijennak, 1981). Gejala yang utama dari brucellosis pada sapi adalah abortus pada umur kebuntingan 6-7 bulan ke atas.Abortus sendiri terjadi karena rapuhnya pertautan placenta fetalis dengan placenta maternalis sehingga terpisah sebagai akibat
12
bersarangnya kuman Brucella di tempat itu.Setelah abortus 2-3 kali biasanya infeksi menjadi menetap atau kronis, tidak memperlihatkan tanda-tanda klinis dan sapi yang bersangkutan dapat kembali bunting normal. Akan tetapi sapi-sapi demikian tubuhnya terus menerus mengeluarkan kuman Brucella (carrier) yang bersifat patogen bagi sapi lain maupun bagi manusia (Ristic dan Mcintyre, 1981). 4. Leptospirosis Leptospirosis
adalah
penyakit
yang
disebabkan
oleh
bakteri
Leptospira,gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari demam, ikterus, hemoglobinuria dan infeksi dapat bersifat subklinis yang dapat menyebabkan keguguran pada hewan bunting, sampai dengan hepatitis dan nephritis yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya (Nurhayati dkk., 2008) Titik sentral penyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi leptospira yang mencemari lingkungan.Penularan penyakit dapat terjadi melalui kulit lecet atau melalui selaput lendir mata, hidung dan saluran pencernaan.Pembawa utama penyakit adalan rodentia.Percikan air kemih penderita di atas lantai kandang yang keras dapat menyebabkan infeksi lewat pernapasan.Infeksi lewat kulit dengan mudah terjadi bila ternak terkena air yang terkontaminasi leptospira. Setelah masuk dalam tubuh, leptospiraakan menimbulkan leptospiremia dan kemudian ada kecenderungan untuk menetap di hati, ginjal atau selaput otak. Dalam kasus perakut dapat menyebabkan kematian yang cepat.Pada sapi dewasa dapat berbentuk akut, sub akut, atau kronik.Dalam bentuk akut gejala yang menonjol adalah ikterohemoglobinuria, disertai demam dan anemia, kematian terjadi setelah 24 hari. Ternak yang sedang laktasi mengalami
13
penurunan produksi, susu bercampur darah. Produksi susu kembali normal setelah dua minggu, namun seringkali terjadi kerusakan ambing yang permanen. 5.Anestrus Anestrus adalah suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala berahisecara klinis dalam waktu lama. Anestrus dikatakan normal jika pada alat reproduksi tidak terjadi kelainan sehingga proses reproduksi tidak terganggu, meliputi : a. Anestrus prapubertas. Dari berat badan dewasa serta didukungdengan pemberian pakan yang cukup dan berkualitas baik.Keadaan dimana hewan betina yang masih dara gagal memperlihatkan gejala berahi pertama pada umur sekitar 6 - 13 bulan. b. Anestrus umur tua Anestrus pada hewan yang sudah tua terjadi karena fungsi endokrin dari kelenjar hipofisa anterior dan ovarium sudah mengalami penurunan dan sudah tidak berfungsi secara baik. c.Anestrus pada periode laktasi Pada periode laktasi atau menyusui kadar hormon prolaktin tinggi dalam darah dan menyebabkan terjadinya korpus luteum persisten disertai gejala anestrus. d. Anestrus diluar musim kawin Pada hewan betina yang dipelihara di negara dengan empat musim, berahi hanya muncul pada musim kawin yaitu musim dimana ketersediaan pakan dan suhu udara serasi untuk mendukung terjadinya proses reproduksi.
14
e. Anestrus pada periode kebuntingan. Kondisi anestrus diperlukan untuk menjaga kelangsungan kebuntingan sampai saat proses kelahiran berlangsung. f. Anestrus pasca kelahiran. Anestrus berlangsung antara 30 - 35 hari pasca melahirkan karena pada periode ini uterus mengalami involusi yaitu uterus kembali menjadi normal setelah mengalami kebuntingan dankelahiran sebelumnya. 6. Pyometra Pyometra berasal dari dua kata, yaitu pyo yang artinya nanah dan metra yang artinya uterus. Pyometra merupakan penyakit dimana terjadi penimbunan nanah pada uterus akibat terjadinya endometritis kronis. Untuk memastikan apakah sapi tersebut bunting atau mengalami pyometra, sebaiknya dilakukan pengamatan fisik dan pemeriksaan, tepatnya eksplorasi rektal. Pada
pemeriksaan
fisik,
sapi
yang
mengalami
pyometra
akan
menunjukkan pembesaran perut yang simetris. Hal ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi kedua kornua. Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi berbaring, akan keluar kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Sebaliknya yang terjadi pada sapi yang bunting. Pembesaran perut mengarah ke kanan, karena di sebelah kiri terdapat rumen, sehingga pertumbuhan fetus akan ke kanan. Badan kelihatan gemuk dengan bulu yang mengkilat. Selain itu, tidak ada kotoran yang keluar dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal menunjukkan bahwa penyebab pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah karena nanah mengisi kedua kornua uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari normal, dan jika uterus ditekan akan
15
berfluktuasi karena ada tekanan balik dari cairan dalam uterus. Tidak ditemukannya karunkula, arteri uterina mediana tidak teraba dan tidak ditemukannya fetus dalam uterus. Beda halnya jika sapi tersebut bunting, melalui eksplorasi rektal akan ditemukan fetus yang hanya tumbuh pada salah satu kornua, dan kornua lainnya tetap kecil. Dinding uterus menipis, mengikuti pertumbuhan fetus. Arteri uterina mediana teraba dan karunkulapun teraba pada dinding uterus. 7. Kista Ovarium (ovaria, folikuler dan luteal) Status ovarium dikatakan sistik
apabila mengandung satu atau lebih
struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya kista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormone LH). Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem sosial dan diet protein. Adanya kista tersebut menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibat sapi-sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (berahi/kawin terus). Penanganan yang dilakukan yaitu dengan :(1)Sista ovaria : prostaglandin (jika hewan tidak bunting); (2)Sista folikel : Suntik HCG/LH (Preynye, Nymfalon) secara intramuskuler sebanyak 200 IU; (3)Sista luteal : PG 7,5 mg secara intra uterine atau 2,5 ml secara intramuskuler, selain itu juga dapat diterapi dengan PRID/CIDR intra uterina (12 hari). Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan berahi.
16
8. Urovagina dan Servisitis Kedua gangguan reproduksi ini biasanya merupakan dampak lebih lanjut dari penyakit-penyakit kompleks metritis atau juga dapat disebabkan oleh tindakan penanganan gangguan reproduksi yang tidak tepat seperti efek samping dari fetotomi. Penamaan servisitis dipakai jika peradangan terjadi pada serviks sedangkan vaginitis untuk peradangan pada vagina. Tanda-tanda servisitis dan vaginitis keduanya sama mulai dari leleran lendir keruh dan hyperemia mukosa (mukosa kemerahan) sampai nekrosis mukosa (kematian jaringan mukosa) disertai pengejanan terus-menerus hingga terjadinya septicemia (multiplikasi bakteri dalam darah) (Affandhy dkk., 2007). Baik melalui metode palpasi rektal maupun ultrasonografi, temuan servisitis dan vaginitis akan menunjukkan hasil yang sama dengan temuan pada penyakit-penyakit kompleks metritis, sehingga sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui metode vaginoskopi untuk diagnosis positif kedua penyakit tersebut. Parameter Reproduksi Non-return rate (NR); salah satu ukuran yang sering dipakai adalah disebut non-return rate atau persentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 atau 60 sampai 90 hari. Jadi nilai NR pada 60 sampai 90 hari adalah perbandingan jumlah sapi- sapi di inseminasi dengan jumlah sapi- sapi tersebut yang kemudian kembali minta diinseminasi (repeat Breeder) dalam periode tersebut (Partodihardjo, 1985). Jumlah inseminasi per kebuntingan atau Service per Conception (S/C). Untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi di antara individu – individu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau perhitungan
17
jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai S/C yang normal berkirsara antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan – hewan betina dalam kelompok tersebut. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut ( Salisbury, 1985).
18
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April - Juli 2016 pada usaha peternakan sapi perah rakyat yang ada di Kabupaten Enrekang. Materi Penelitian Ternak sapi perah Sebanyak 80 ekor sapi perah betina dari 12 peternak yang dipelihara dengan sistim pemeliharaan intensif yaitu pemeliharaan yang dikandangkan digunakan pada penelitian ini. Peralatan/bahan yang digunakan Dalam penelitian ini peralatan/bahan yang digunakan seperti perangkat peralatan palpasi rektal yang terdiri dari sarung tangan dan pelicin (vaselin), gelas vaginoskop (panjang 35 cm dengan diameter 4 cm dan tebal 4 mm), kapas, alkohol, iodium 2%, senter, syringe 25 mL dan 50 mL, perti dish, sheath IB, dan format catatan pemeriksaan reproduksi. Metode Penelitian Pemeriksaan secara klinis Pemeriksaan secara klinis dilakukan pada lokasi penelitian yaitu kesehatan reproduksi secara umum, pemeriksaan kebuntingan, pemeriksaan gangguan reproduksi, pengukuran skor kondisi tubuh (body condition score = BCS; skala 15) (Edmonson dkk., 1998). Palpasi rektal terhadap organ reproduksi dilakukan untuk menilai struktur ovarium dan kondisi uterus. Ternak yang diagnosa sedang bunting apabila diindikasikan terdapat perkembangan uterus. Sebaliknya, apabila tidak menunjukkan perkembangan uterus namun terdapat corpus luteum (CL) atau 19
folikel dominan (DF) pada ovarium dapat dipalpasi maka dinyatakan sebagai ternak bersiklus normal. Kista ovarium didefenisikan sebagai salah satu atau lebih struktur seperti folikel dengan diameter >25 mm. Ovarium tanpa struktur (folikel ovarium >10 mm dan/atau adanya CL) diindikasikan sebagai ovarium yang tidak aktif (Yusuf, dkk., 2012). Ternak-ternak yang tidak bunting, dilanjutkan dengan pemeriksaan vaginoscopy dengan menggunakan vaginoskop. Untuk pemeriksaan dengan vaginoscopy, ternak-ternak diikat di dalam kandang, kemudian ekor diikat satu sisi untuk memudahkan pemeriksaan. Vulva dibersihkan dengan air bersih kemudian dilap dengan tissue sampai kering, dilanjutkan dengan menyemprotkan iodium. Vulva kemudian dilap dengan menggunakan kapas berarkohol sebelum memasukkan vaginoskop ke dalam vagina melalui vulva sampai pada bagian depan tulang serviks (Gautam dkk., 2010). Dengan bantuan penerangan (senter) kondisi internal vagina dapat diperiksa. Apabila terdapat lendir pada bagian anterior vagina, lendir tersebut kemudian diaspirasi dengan menggunakan syringe 25 mL dan 50 mL dan kemudian dimasukkan ke dalam petri dish (Gautam dkk., 2010). Lendir dinyatakan normal apabila terlihat jernih tanpa nanah dan tidak berbau busuk, sebaliknya, dinyatakan tidak normal yakni endometritis (Yusuf dkk., 2010). Apabila terdapat urin di dalam vagina dengan atau tanpa bercampur dengan lendir dinyatakan sebagai urovagina (Gautam dkk., 2010).
20
Parameter Yang Diukur Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah : 1. Proporsi ternak yang bunting dan yang tidak bunting. 2. Proporsi ternak yang mengalami gangguan reproduksi pada ternak yang tidak bunting. 3. Tipe – tipe gangguan reproduksi seperti : anestrus, sista (cyst) baik sista folikel maupun sista luteal, gangguan pada uterus seperti pyometra, dan metritis, gangguan serviks (servicitis), urovagina dll. Analisis Data Data pada penelitian ini, disajikan dalam bentuk persentase dan rata-rata serta standar deviasi (SD) dengan menggunakan metode stastistik deskriptif. Persentase ternak sapi yang bunting dan yang tidak bunting, ternak yang mengalami gangguan reproduksi pada ternak yang tidak bunting, tipe – tipe gangguan reproduksi, bersiklus normal dan ovarium yang tidak aktif di hitung dengan membagi jumlah ternak sapi keseluruhan dikalikan dengan 100. Tingkat kejadian gangguan reproduksi antara ternak sapi dara dan induk di uji dengan Chisquare.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Status Kebuntingan Ternak Sapi Perah Pada pelaksanaan penelitian ini telah digunakan sebanyak 80 ekor ternak sapi perah dari 12 peternak sapi perah dengan tingkat kepemilikan ternak sapi dara dan induk antara 2 sampai 14 ekor dengan rata-rata (±SD) 6,7 ± 3,4 ekor.Dari 80 ternak sapi perah yang diperiksa, status kebuntingan disajikan pada Gambar 1. 90.0
79.3
Jumlah Ternak (%)
80.0
Bunting
70.0 60.0
Tidak Bunting 51.0
50.0
49.0
40.0 30.0
20.7
20.0 10.0 0.0 Dara
Induk
Jenis Ternak
Gambar1. Status kebuntingan ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang yang sudah insiminasi buatan (IB). Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa dari 80 ternak sapi perah betina yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat 29 ekor ternak sapi dara dan 51 ekor induk dengan paritas yang berbeda antara satu sampai lima kali melahirkan. Dari 29 jumlah ternak sapi perah dara, yang bunting sebanyak 6 ekor (20,7%) sedangkan yang tidak bunting sebesar 23 (79,3%). Proporsi induk sapi perah yang bunting yaitu 26 ekor (51,0%) sedangkan yang tidak bunting sebesar 25 ekor (49,0%). Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa persentase dara yang bunting lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang tidak bunting, sedangkan induk 22
yang bunting lebih tinggi dibandingkan yang tidak bunting. Kondisi tersebut mungkin saja disebabkan oleh menejemen pemeliharaan dan menejemen reproduksi berhubungan dengan kondisi fisiologis tubuh, tidak terkecuali dengan aspek reproduksi. Pola manajemen yang baik akan berdampak pada kondisi fisiologis organ-organ reproduksi,majemen yang baik dan sempurna merupakan kunci sukses bagi usaha peternakan sapi perah. Dalam hal ini termasuk perlakuan yang diberikan seorang peternak terhadap ternaknya, misalnya lama kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, gangguan reproduksi, frekuensi pemerahan, jarak perkawinan (service periode), dan jarak melahirkan (calving interval) (Saleh, 2004). Nilai S/C yang semakin tinggi menyebabkan semakin panjangnya nilai DO dan CI. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya umur induk yang berhubungan langsung dengan status fisiologi ternak tersebut. Ternak yang terlalu muda saat perkawinan pertama akan sulit terjadinya kebuntingan karena perkembangan fisiologi ternak tersebut belum sempurna. Selain itu, kinerja hormon masih belum sempurna sehingga biasanya dalam deteksi berahi kurang jelas dan ternak akan mengalami kesulitan ketika melahirkan dan memiliki resiko gangguan reproduksi yang cukup tinggi (Zainuddin, dkk., 2015). Cadangan energi tubuh dapat dinilai dengan metode penilaian visual yang dikenal sebagai body condition score (BCS) atau skor kondisi tubuh. Skor relatif yang didapatkan dari metode BCS membantu peternak dalam memperoleh gambaran mengenai level cadangan otot dan lemak tubuh dari setiap ekor ternak sapi. Skor tersebut berkisar pada skala 1-5 (Lowman et al., 1976; Pennington, 2003) atau skala 1-9 (Henneke et al., 1983; Holmes et al., 1987). Skala 1-9 umum
23
diterapkan pada ternak sapi dan kuda, dimana 1 berarti sangat kurus dan 9 mengalami obesitas (Morriss et al. 2002). Cadangan energi dalam bentuk lemak dan otot sangat penting untuk keberhasilan reproduksi. Beberapa studi menemukan bahwa skor kondisi tubuh (BCS) pada saat calving dan pada awal musim kawin adalah indikator yang paling penting terhadap kinerja reproduksi (Perry et al, 1991; Spitzer et al, 1995). Skor kondisi tubuh pada saat calving memiliki efek yang paling besar terhadap tingkat kehamilan (pregnancy rate) dalam penerapan kontrol terhadap musim kawin (Lalman et al., 1997). Menurut Glaze (2009), terdapat hubungan antara BCS dengan interval beranak, persentasi kebuntingan, persentasi kebuntingan pasca penyapihan, dan kekuatan anak untuk berdiri segera setelah lahir. Gangguan Reproduksi Pada Ternak Sapi Perah Gangguan reproduksi pada ternak sapi merupakan hal yang secara umum menghambat terjadinya kebuntingan yang pada akhirnya mempengaruhi efisiensi reproduksi ternak secara umum. Gangguan reproduksi pada ternak sapi perah baik dara maupun induk pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Gangguan reproduksi pada ternak sapi perah
Jenis Ternak Dara
Jumlah Ternak yang Diperiksa
Gangguan Reproduksi (%)
23
7 (30,4)
Nilai P
> 0,05 Induk
25
13 (52,0)
Total
48
20 (41,7)
24
Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa tingkat kejadian gangguan reproduksi pada ternak sapi perah betina (dara dan induk) adalah sebesar 41,7%. Pada ternak sapi perah dara, dari 23 ekor yang diperiksa, yang mengalami gangguan reproduksi sebanyak 7 ekor (30,4%), sedangkan pada sapi induk sebanyak 13 ekor (52,0%) dari 25 ekor yang diperiksa. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) antara tingkat kejadian reproduksi pada ternak sapi dara dan ternak induk. Tingkat gangguan reproduksi ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang tergolong tinggi. Tinggi rendahnya produksi ternak tergantung bagaimana reproduksinya. Secara keseluruhan penurunan daya reproduksi dan kematian merupakan masalah reproduksi yang belum bisa ditangani dengan baik.Beberapa gangguan reproduksi secara umum dipengaruhi oleh lingkungan, hormonal, genetik (anatomi), dan penyakit/infeksi, serta keterampilan petugas IB. Hal ini sesuai dengan pendapat (Diwyantodkk., 1998) yang menyatakan bahwanilai indikator produktivitas ternak ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (1) kondisi induk, (2) kualitas semen, (3) faktor manajemen serta (4) keterampilan petugas. Hal-hal yang berhubungan dengan faktor tatalaksana pemeliharaan sapi perah yaitu mutu genetik sapi yang dipelihara, pakan yang diberikan (sejak pedet/anak sampai dewasa), pengelolaan reproduksi (deteksi berahi, pengetahuan peternak, ketepatan waktu kawin dan keahlian inseminator). Kesalahan dalam tatalaksana pemeliharaan juga dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan pada ternak tersebut, sehingga ternak akan mengalami kelainan-kelainan pada alat reproduksinya. Semua kegiatan tersebut harus mendapat perhatian dan pengawasan yang intensif, dengan sistem pencatatan yang akurat.
25
Kegagalan reproduksi karena faktor internal ternak dapat disebabkan oleh kerusakan alat-alat reproduksi karena penyakit, kelainan fungsi hormonal, dan kelainan bentuk anatomis dari alat-alat reproduksi, sehingga kurang/tidak berfungsi. Jadi inti dari faktor internal ini sebenarnya adalah fertilitas. Fertilitas diartikan sebagai daya atau kemampuan untuk memproduksi keturunan dari seekor hewan/ternak, banyak faktor yang berpengaruh sangat komplek serta saling terkait. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas masih bersifat dugaan, walaupun ada yang sudah diketahui secara pasti. Untuk meningkatkan fertilitas kita perlu pengetahuan tentang anatomi dan fungsi reproduksi ternak tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas antara lainnfaktor anatomis, fisiologis serta nutrisi (Anonim, 2011f). Kegagalan reproduksi dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu, pertama kegagalan karenafaktor pengelolaan, termasuk teknis inseminasi, kurang makan, defisiensi mineral dan sebagainya. Kedua,faktor intern hewan dan ketiga, faktor lain yang bersifat aksidentil (kecelakaan dan kelainan). Faktoraksiden ini umumnya di ketemukan sangat sporadis, misalnya, distokia, torsio uteri dsb (Partodiharjo,1987). Kurang lebih 95% variasi interval kalahiran dan gangguan reproduksi ditentukan oleh faktor-faktor nongenetik yang mempengaruhi organ kelamin betina. Hal ini berarti kegagalan reproduksi sebagian besardipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terutama meliputi manajemen dan pemberian makanan yang buruk dan kurangnya peranan dokter hewan dalam menanggulangi penyakit reproduksi (Tolihere, 1983). Menurut reproduksi
pada
Djojosudarmo (1983), sapi
dapat
gangguan atau hambatan proses
bermanifestasi
dalam
bentuk
kegagalan
26
memperlihatkan gejala birahi, kegagalan menjadi bunting,kegagalan memelihara proses. Untuk mencapai performa reproduksi yang optimal, skor sapi perah ideal adalah BCS 1-5 (Mulliniks et al., 2012). Kelompok ternak dengan BCS ≤ 4 akan memiliki kinerja reproduksi yang buruk dibandingkan kelompok ternak dengan BCS ≥5 kebuntingan dan kegagalan memelihara/membesarkan anak. Ternak dengan BCS 5 atau lebih dapat menjamin tingkat kebuntingan yang tinggi selama faktor-faktor lain seperti penyakit dan lain-lain tidak mempengaruhi angka konsepsi. Sapi dengan BCS kurang dari 5 kemungkinan tidak memperoleh energi serta protein dengan tingkat yang memadai dari total pakan yang dikonsumsi, meskipun faktor-faktor lain seperti mineral (fosfor) dan juga gangguan parasit mungkin terlibat. Kombinasi dari masalah gizi tersebut merupakan faktor yang paling sering terjadi pada ternak dengan BCS rendah (Herd and Sprott, 1996). Tipe – Tipe Gangguan Reproduksi Pada Ternak Sapi Perah Tipe-tipe gangguan reproduksi ternak sapi perah pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.Tipe-tipe gangguan reproduksi ternak sapi perah Jenis Ternak
Jumlah Ternak
Dara
7
Induk
13
Tipegangguan reproduksi
Jumlah (%)
Anestrus (Hipofungsi)
5 (71)
Gangguan Uterus
2 (29)
Anestrus
4 (31)
Gangguan Uterus*
6 (46)
Kista
2 (15)
Urovagina
1 (8)
*Gangguan uterus berupa infeksi uterus seperti pyometra dan metritis.
27
Tabel 2 menujukkan bahwa jumlah sapi dara yang mengalami gangguan reproduksi sebanyak 7 ekor dengan berbagai tipe gangguan reproduksi antara lain, anestrus 5 ekor (71%), gangguan uterus 2 ekor (29%). Sedangkan pada induk yang mengalami gangguan sebanyak 13 ekor sapi, dengan tipe gangguan reproduksi yaitu, anestrus 4 ekor (31%), gangguan uterus 6 ekor (46%), kista 2 ekor (15 %), serta urovagina 1 ekor (8%). Anestrus dapat terjadi pada sapi perah dara maupun induk.Anestrus pada sapi dara disebabkan karena pemberian pakan yang kurang berkualitas dan juga terdapat keadaan dimana hewan betina yang masih dara gagal memperlihatkan gejala berahi pertama pada umur sekitar 6 - 13 bulan.Sedangkan anestrus pada sapi perah induk terjadi karena fungsi endokrin dari kelenjar hipofisa anterior dan ovarium sudah mengalami penurunan dan sudah tidak berfungsi secara baik.Sapi perah induk dapat mengalami gangguan anestrus pasca melahirkan selama 30-35 hari karena pada periode ini uterus mengalami involusi yaitu uterus kembali menjadi normal setelah mengalami kebuntingan dankelahiran sebelumnya. Gangguan pada uterus disebabkan oleh bakteri non spesifik dan bakteri spesifik. Bakteri non spesifik dapat menyebabkan metritis, menghalangi proses fertilisasi, implantasi, dan kebuntingan. Sering tidak diikuti adanya gejala klinis sehingga sering tidak terdeteksi. Akibat yang dapat ditimbulkan antara lain penurunan angka kelahiran, penurunan produksi susu dan berat badan. Sedangkan bakteri
spesifik
dapat
menyebabkan
berbagai
penyakit
lainnya
yaitu
Campilobacteriosis (Vibriosis), Brucellosis, Leptospirosis, dan Listeriosis . Dalam penelitian ini juga ditemukan sapi perah yang mengalami kista.Penyebab terjadinya kista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin
28
(rendahnya hormone LH).Adanya kista tersebut menjadikan volikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran volikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulose dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibat sapi-sapi menjadi anestrus atau berpotensi menjadi nymphomania (kawin terus). Gangguan lain yang juga dialami sapi perah induk adalah urovagina. gangguan reproduksi ini biasanya merupakan dampak lebih lanjut dari penyakitpenyakit kompleks metritis atau juga dapat disebabkan oleh tindakan penanganan gangguan reproduksi yang tidak tepat seperti efek samping dari fetotomi. Merupakan
peradangan
pada
vagina,
biasanya
sebagai
penjalaran
dari metritis dan pneumo vagina atau dapat disebabkan oleh tindakan penanganan masalah reproduksi yang tidak tepat seperti tarikan paksa/ fetotomi. Penyebab vaginitis diantaranya virus IBR-IPV dan penyakit – penyakit kelamin. Tanda tanda
vaginitis
bervariasi,
mulai
dari
leleran
lendir
keruh
dan hyperemia mukosa (mukosa kemerahan) vagina sampai nekrosis mukosa (kematian jaringan mukosa) vagina disertai pengejanan terus –menerus dan septikemia. Penanganan kasus vaginitis ini ditujukan untuk menghilangkan iritasi, menghentikan pengejanan dengan anastesi epidural, koreksi operatif dari defek vulva dan urovagina serta pengobatan antibiotik sistemik.
29
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tingkat kebuntingan sapi dara yang sudah layak bunting masih sangat rendah (20,7%). Sedangkan Persentase kebutingan sapi induk lebih tinggi yang bunting dibandingkan sapi yang tidak bunting (51,0 %) 2. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya angka kebuntingan adalah gangguan reproduksi (anestrus dan gangguan uterus).
Saran
Untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah populasi sapi perah di Kabupaten Enrekang, maka kepada peternak dan instansi terkait dalam hal ini Dinas Peternakan perlu memperhatikan tatalaksana pemeliharaan sapi perah dan memperhatikan faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas sapi perah, seperti tingginya angka gangguan reproduksi.
30
DAFTAR PUSTAKA Adams, R. 2008. Voluntary Waiting period.Vol.8.no.3. Affandhy, L., W.C. Pratiwi, dan D. Ratnawati. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan. Anonim.1995, Betenak Sapi Perah Yayasan Kanisius.Yogyakarta. Anonim.2010. Pedoman Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi.Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta Anonim.2011a. Data Statistik Dines Peternakan Kabupaten Enrekang 2010/2011.Dinas Peternakan Peternakan Enrekang Sulawesi Sealatan. Anonim.2011b.Budidaya Ternak Sapi Perah.BPP Pendayagunaan Dan Pemesyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknolgi. Jakarta. http//ebookgratisan.net/budidaya-terak-sapi-perah(diakses pada tanggal 24 desember 2015). Anonim 2011c.About Our Cattle.CV Lemboepasang Dairy Farm. http://www.lemboepasang.com/index.php?option=com_content&task=vie w&id=20&intemid=33 (diakses pada tanggal 24 desember 2015). Anonim 2011d . Perkembangan Sapi Perah. Indonesia. http:// boger co/index.php/1995/10/07/Sapi perah litbang/. Diakses pada 25 desember 2015. Anonim 2011e. Penyakit Pedet. George Milner, Ellinbank© Stasa Of Victoria Department of primay industrie. Anonim.2011f. Kelainan Reproduksi Sapi Perah.http://www.iasa.pusat.org.com (Diakses, 27 Februari 2011). Anonim. 2012. Anestrus. http://placusi23.blogspot.co.id/2012/04/anestrus.html. diakses pada 28 November 2016. Basyir, A. 2009. Meningkatkan Efesiensi Reproduksi Melalui Kelahiran Pedet Kembar. http/vet-indo.com. Diakses 25 Desember 2015. Cerri.R.L.A., J.E.P. Santos, S.O. Juchem, K.N. Galvao, and R.C. Chebel. 2004. Timed artificial insemination with estradiol cypionate or insemination at estrus in high-producing dairy cows. J.Dairy Sci. 87: 3704-3715.
31
Chenault, J. R., D.D Kratser, R.A Rzepkowski, and M.C. Goodwin. 1990. LH and FSH response of Holstein Heifer To Fertirelin Acetate, Gonadrelin And Buserin. Theriogenology 53:1407–1414. Direktorat Jenderal Peternakan. 1981. Penyakit keluron menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Bina Produksi Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan. Jakarta. Djojosudarmo, S. 1983. Kegagalan reproduksi dan masalah-masalahnya pada sapi .Ceramah Ilmiah PengelolaanTatalaksana makanan dan kesehatan sapi perah.PDHI Cabang Jawa Barat II. Gautam G., T. Nakao, K. Koike, S.T. Long, M. Yusuf, R.M.S.B.K. Ranasinghe, and A. Hayashi.2010. Spontaneous recovery or persistence of postpartum endometritis and risk factors forits persistence in Holstein cows. Theriogenology, 73: 168-179. Hafez , E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animal. 6th Ed. Philadelpia: Lea & Febiger. Part 4: Reproduction Failure. Hafez E.S.E. and Hafez, B. 2000. Reproduction In Farm Animal. 7 thedition .Leafebiger. Philadelphia. Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu kemajiran pada ternak.Airlangga Universitas Press. Surabaya. Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Henneke, D., G.D. Potter, J.L. Kreider, and B.F. Yeated. 1983. Relationship between Condition Score, Physical Measurements and Body Fat Percentage in Mares. Equine Veterinary Journal 15(4): 371-372. Herd, D.B., and L.R. Sprott.1996. Body Condition, Nutrition and Reproduction of Beef Cows. AgriLIFE EXTENSION. Texas A&B System, B-1256 Ikhas, A. K.1992. Budiadaya Ternak Sapi Perah. Angkasa, Jakarta. Laming, S. 2004.Forformans Reproduksi Sapi Perah dan Sahiwal Croos di kabupaten Enrekang.Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Larson, J.E., G.C. Lamb, J.S. Stevenso, S.K. Johnson, M.L. day, T.W Geary, D.J.kesler, J.M. Dejarnette, F.N Schrick, A. DiCoztanzo and J.D. Arseneau.2006. Synchronization Of Estrus In Sucled Beef Cows For Detected Estrous And Artificial Insemination Using GonadotropingReleasing Hormone, Prostaglandin F2α, And Progesteron. J. Anim. Sci. 71:61. Lowman, B.G., N.A. Scott, and S.H. Sommerville. 1976. Condition Scoring of 32
Cattle. Bulletin East of Scotland College of Agriculture. No: 6. Marawali,A. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Jakarta Miller, R. H,. Norman, H. D., Khun, M. T., Clay, J. S., and Hutchison, J. S. 2007. Voluntary Waiting Period and Adobtion of Synchronized Breeding in Dairy herd Improvement Herds. Animal Improvwment Programs Laboratory, agricultural Research Service, USDA, Beltsville. J. Dairy Sci.90: 1594 :1606. Morriss, S.T., P.R. Kenyon, and D.L. Burnham. 2002. A Comparison of Two Scales of Body Condition Scoring in Hereford x Friesian Beef Breeding Cows. Institute of Veterinary, Animal and Biomedical Sciences, Massey University, Palmerston North. http://www.grassland.org.nz/publications/ nzgrassland_publication_470.pdf. 1 Desember 2013 (04.37) Mulliniks, J.T., S.H. Cox, M.E. Kemp, R.L. Endecott, R.C. Waterman, D.M. VanLeeuwen, and M. K. Petersen. 2012. Relationship between Body Condition Score at Calving and Reproductive Performance in Young Postpartum Cows Grazing Native Range. J ANIM SCI. 90:2811-2817. Niazi, A. A. K. 2003. Comparative Studies on the Reproductive Efficiency of Imported and Local Born Friesian Cows in Pakistan. Journal of Biological Sciences, 3. Noor, S.M. 2006. Brucellosis: Penyakit zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 (1): 31-39. Nurhayati, I.S., R.A. Saptati, E. Martindah. 2008. Penanganan Gangguan Reproduksi Guna Mendukung Pengembangan Usaha Sapi Perah. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta. Partodihardjo, S. 1985. Ilmu Produksi Hewan. Produksi Mutiara, Jakarta. Patterson, D. J., Smith, M. F., and Scafer, D. J. 2005. New opportunities to synchronize estrus and facilitate fixed-time AI, Division of Animal Sciences, University of Missouri-Columbia. Perry, R.C., L.R. Corah, R.C. Cochran, W. E. Beal, J.S. Stevenson, J.E. Minton, D.D. Simms, and J.R. Brethour. 1991. Influence of Dietary Energy on Follicular Development, Serum Gonadotropins, and First Postpartum Ovulation in Suckled Beef Cows. J.Anim.Sci. 69: 3762. Plomment, M and A.M,.Plommet. 1988. Virulences of brucella: Bacterial growth and decline in mice. Annal.Rech. Vet. 19 (1) 65-67.
33
Prentice, D. 2006. The Voluntary Waiting Period. Abs Techical Service Condsultan. http://animal science- extencion. tamu. edu /dairy /wdn. html /www. absglobal.com. Prihatno, A. 2006. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta. Rioux , H. U., dan Rajjote, W., G. 2006. Veterinary Reproduction and Obstetric.6th Ed.The English Language Book Society and Baillere Tinda London. P:86. Ristic, M. And I. Mcintyre. 1981. Disease of cattle in tropics. Economic and zoonotic relevan. Martinus Nijhoff Publisher Boston, London. Salverson, R. and Perry, G. 2007. Understanding Estrus Synchronization of Cattle. South Dakota State University-Cooperative Extension ServiceUSDA, Pp 1-6. Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Siregar, S. B. 2003. Sapi Perah, Jenis, Teknik, Pemeliharaan dan Analisis Usaha. PT. Penebar Swadaya. Jakarta Subronto. 1985. Ilmu penyakit ternak. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.
Sudono. 1983. Tatalaksana Produksi Susu. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi.1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Toelihere.M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Ternak. Penerbit Angkasa Bandung, Bandung. Tawaf, R. 2011. Sapi Perah Fries Holland. http://www.nusantaraku.org/ forum/animal-forum/126720-sapi-perah-fries-holland.html (diakses pada tanggal 24 Desember 2015). Wijaya, I. 2008. Ilmu Reproduksi Ternak Mata Kuliah Peternakan. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Bali. Yusuf M., Rahim L., Hasbi, Aliyah N. 2012. The incidence of reproductive disorders in a dairy herd: a case study in Sinjai Regency. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan, Vol. 2 No. 1: 1-9.
34
Yusuf, M., T. Nakao, R.M.S.B.K. Ranasinghe, G. Gautam, S.T. Long, C. Yoshida, K. Koike, and A. Hayashi. 2010. Reproductive performance of repeat breeders in dairy herds. Theriogenology, 73: 1220-1229. Zainuddin, M., M. N. Ihsan dan Suyadi. 2015. Efisiensi reproduksi sapi PFH pada berbagai umur di CV. Milikindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang
35
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Muh Idham Yahya lahir pada hari Selasa tanggal 24 April 1994 di Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara, dari pasangan Bapak H. Yahya dan Ibu Hj. Hartati Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis yakni: SD 40 Cilallang Tahun 1999-2005; SMP 2 Belopa Tahun 2005-2008; SMA Negeri 1 Belopa Tahun 2008-2011 dan pada tahun 2011-2016 penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Peternakan Program Studi Ilmu Peternakan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Adapun pengalaman organisasi yang telah ditempuh oleh penulis adalahsebagai Pengurus Osis SMP Negeri 1 Belopa periode 2006-2007;Pengurus Osis SMA Negeri 1 Belopa periode 2009-2010; Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (SEMA FAPETUH) periode 2014-2015; Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO) Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK-UH) periode 2014-2015 dan Pengurus Himpunan mahasiswa Islam (HmI) Komisariat Peternakan Cabang Makassar Timur periode 2015
36