KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG Rohmad Budiono1 dan Rini Widiati2 Balai Pengkajian Teknoogi Pertanan Jawa Timur 2 Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta
1
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat integrasi pada sistem pertanian terpadu padi-sapi perah di Kecamatan Ngantang dan mengetahui berapa kontribusi masing-masing usahatani terhadap pendapatan petani. Penelitian dilaksanakan di desa Banjarejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang pada bulan April 2010. Pengambilan sampel menggunakan metode stratified random sampling. Hasil penelitian adalah : Usahatani yang dilakukan oleh masyarakat petani desa Banjarejo - Ngantang telah menerapkan sistem pertanian terpadu dengan tingkat integrasi rendah. Kontribusi usahatani padi sebesar 41,5%; terhadap total pendapatan usahatani. Aplikasi pupuk kandang memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi padi sebesar 1,01 t/ha atau meningkat sebesar 17,6% dibandingkan dengan cara parsial. Keterpaduan pada pola integrasi padi-sapi perah diperoleh keuntungan hanya pada peran ekonomi, sedangkan keterpaduan peran biologi atau natural belum tercapai. Kata kunci: integrasi padi-sapi perah, kontribusi, tingkat integrasi PENDAHULUAN Petani Indonesia pada umumnya berpendapatan rendah, disebabkan oleh penurunan daya dukung lahan yang diakibatkan oleh usaha pertanian dan pola budidaya yang dilakukan. Di sisi lain, daerah-daerah dengan lahan pertanian yang semakin terbatas atau sempit, usaha pertanian yang intensif dimana penggunaan pestisida dan pupuk anorganik menjadi pilihan, menyebabkan kondisi fisik tanah menjadi buruk sehingga produktivitas tanaman pertanian tidak optimal. Adanya pengurangan kandungan bahan organik pada tanah-tanah di Indonesia dewasa ini menunjukkan perlunya usaha peningkatan kandungan bahan organik tanah hingga dua kali lipat untuk mengembalikan kesehatan tanah (Haryanto, 2004). Dengan demikian penambahan bahan organik pada lahan pertanian intensif sangat perlu dilakukan guna efisiensi penggunaan pupuk anorganik sehingga produktivitas usahatani menjadi optimal. Integrasi padi dengan sapi pada pola tanam IP-300 di beberapa wilayah menunjukkan hasil dan keuntungan ekonomi yang relatif lebih tinggi, dibandingkan jika usaha tersebut dilaksanakan secara monokultur. Dwiyanto dan Haryanto (2001) menyatakan bahwa penerapan sistem ini meningkatkan penghasilan petani hampir dua kali lipat lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Sekitar 40 persen dari hasil tersebut berasal dari pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi. Hasil penelitian Haryanto et al. (1999) juga menunjukkan bahwa integrasi tanaman padi-sapi perah memberikan keuntungan Rp. 11.000/ekor/hari, karena seekor sapi perah hanya memerlukan 233
biaya pakan senilai penjualan 3-4 liter susu sedangkan rerata susu yang diproduksi 8-10 liter/hari. Mujiyanto (2003) mengemukakan bahwa ketertarikan petani terhadap investasi pada budidaya sapi perah ini disebabkan karena hasil usaha sapi perah bersifat harian ( daily income ) yang sudah ada kepastian terhadap mekanisme pembayaran susu. Dengan pola manajemen yang baik investasinya cepat kembali, karena setiap tahun peternak akan mendapatkan hasil berupa pedet, kemudian pada dua tahun berikutnya pedet anakan pertama sudah siap memberikan hasil berupa pedet baru, di samping dari pedet induk utama. Selain itu, diperoleh daging dan kulit yang berasal dari sapi yang sudah tidak produktif serta pupuk kandang yang dihasilkan dari kotoran ternak. Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat integrasi pada sistem pertanian terpadu padi-sapi perah di Kecamatan Ngantang, dan mengetahui berapa kontribusi masing-masing usahatani tanaman padi dan sapi perah terhadap pendapatan petani.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan melalaui survei pada bulan April 2010 di desa Banjarejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Lokasi penelitian ditetapkan berdasarkan data sekunder bahwa desa Banjarejo merupakan salah satu desa yang masyarakatnya berusahatani padi dan beternak sapi perah. Data dikumpulkan dari 30 petani responden. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi pertanian yang dapat dikembangkan di wilayah Ngantang adalah berbagai macam komoditas mulai tanaman pangan, tahunan dan hortikultura. Di samping itu peternakan sapi perah merupakan salah satu komoditas unggulan yang diusahakan oleh masyarakat Ngantang. Di wilayah Ngantang terdapat 9.165 ekor sapi perah dipelihara oleh 2.268 peternak, atau rerata kepemilikan 4 ekor/peternak (BPS Kabupaten Malang. 2003). Karakteristik petani responden Salah satu penentu produktivitas kerja adalah umur. Umur kurang dari 15 tahun adalah usia sekolah, belum termasuk usia kerja, sedangkan umur lebih dari 65 tahun merupakan usia tidak produktif karena tidak lagi mampu melakukan kerja berat sehingga kualitas dan produktivitas kerjanya turun. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semakin tua seseorang (umur di atas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Lebih lanjut Lionberger (1960 dalam Pambudy, 1999) menyatakan karakteristik individu atau personal yang perlu diperhatikan meliputi: umur, pendidikan petani dan karakteristik psikologis. Termasuk dalam karakteristik psikologis ialah rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatis, orientasi pada usahatani sebagai bisnis dan kemudahan dalam menerima inovasi. 234
Kondisi umur petani responden sangat beragam dengan kisaran 20-60 tahun (Tabel 1). Rerata petani yang memiliki umur produktif (41-50 tahun) paling tinggi (50%) dari jumlah responden. Berdasarkan potensi umur produktif yang relatif besar, kemungkinan untuk lebih meningkatkan kegiatan usahatani dengan memasukkan inovasi baru spesifik lokasi cukup besar. Di samping itu, rendahnya persentase petani pemula (umur 20-30 tahun), menjadi bahan pertimbangan bagi instansi terkait untuk memikirkan bagaimana caranya agar tertarik pada pertanian sehingga keberlanjutannya dapat terjamin. Tabel 1. Keragaan umur dan pendidikan responden di Banjarejo Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, 2010 Uraian Umur (tahun) 20-30 31-40 41-50 ≥ 51 Pendidikan SD SMP SLT
Jumlah ( % ) 4,5% 22,7% 50,0% 22,7% 77,3% 22,7% 0%
Tingkat pendidikan petani relatif sangat rendah, yakni rerata 77,3% berpendidikan SD. Menurut Hanafi (2002), tinggi rendahnya tingkat pendidikan petani akan berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi. Lebih lanjut Roger (1983 dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa orang-orang yang mengadopsi suatu inovasi pada tahap awal dalam proses difusi yaitu mereka yang cenderung lebih berpendidikan dan mengelola pertanian lebih luas, memiliki status sosial lebih tinggi dan mau menggunakan kredit lebih banyak daripada pengadopsi lambat. Dari aspek pengalaman berusahatani dan beternak, 91,8% petani responden telah melakukan usahatani tanaman dan beternak sapi perah lebih dari lima tahun. Dari jumlah tersebut, 13,6% responden memiliki pengalaman bertani dan beternak selama 1-2 tahun; 4,5% responden memiliki pengalaman 3-4 tahun, dan 81,8% responden memiliki pengalaman ≥ 5 tahun (Tabel 2). Jumlah dan usia anggota keluarga merupakan sumber tenaga kerja potensial yang tersedia. Potensi tersebut tergantung pada keterlibatan anggota keluarga dalam berbagai aktivitas usahatani keluarganya. Tabel 2 menunjukkan rerata jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani adalah laki-laki 1,9 orang (kisaran 1-6 orang) dan perempuan 1,4 orang (kisaran 0-5 orang). Berdasarkan wawancara dan kondisi di lapang diketahui bahwa di wilayah penelitian kegiatan usahatani lebih dominan dilakukan oleh tenaga keluarga.
235
Tabel 2. Rerata pengalaman petani dan jumlah keterlibatan anggota keluarga dalam berusahatani, Ngantang, 2009 Uraian Pengalaman (tahun) 1-2 3-4 ≥5 Anggota keluarga yang bekerja Laki-laki Perempuan ( ) kisaran
Rerata 13,6% 4,5% 81,8% 1,9 (1-6) 1,4 (0-5)
Keragaan penguasaan lahan Di desa Banjarejo pemilikan lahan sawah rerata 0,51 ha dengan (kisaran 0,20-1,0 ha), dan lahan kering rerata 0,30 ha (kisaran 0-1 ha). Penguasaan areal lahan sawah paling banyak dimiliki oleh petani yang berusia produktif (4150 tahun) yaitu rara-rata satu ha, diikuti oleh usia ≥51 tahun (0,5 ha), usia 31-40 tahun (0,394 ha) dan pemula yang berusia 20-30 tahun dengan rata-rata penguasaan lahan 0,145 ha (Tabel 3). Banyaknya lahan sawah dikuasai petani yang berusia produktif berpotensi untuk dioptimalkan. Lahan kering/tegal banyak dikuasai oleh petani yang berusia ≥ 51 tahun. Hal ini disebabkan karena di lahan kering/tegal tidak membutuhkan aktifitas yang tinggi dibandingkan di lahan sawah. Tabel 3. Rerata luas penguasaan lahan oleh petani responden, Ngantang 2009 Umur petani 1. 20-30 2. 31-40 3. 41-50 4. ≥ 51
Luas penguasaan (ha) Sawah Tegal 0,145 0,028 0,394 0,175 1,000 0,00 0,500 1,000
Keragaan kepemilikan sapi perah Tujuan petani memelihara sapi perah adalah: (1) sebagai tambahan penghasilan (hasil penjualan susu), (2) sebagai tabungan (berupa pedet), (3) daging dari sapi perah yang tidak produktif/afkir, (4) mendapatkan pupuk kandang, dan (5) memanfaatkan limbah tanaman dari usahataninya sebagai pakan. Populasi ternak sapi perah dihitung menggunakan satuan yang disebut Satuan ternak (ST), yaitu ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan ternak yang dimakan (Dirjen PLA, 2009). Sapi dewasa umur > 2 th = 1 ST, sapi muda umur 1-2 th = 0,5 ST dan anak sapi umur < 1 th = 0,25 ST. Ada kecenderungan jumlah sapi perah yang dimiliki berhubungan dengan luas lahan yang dikuasai oleh petani. Rerata populasi sapi perah pada masing236
masing strata umur adalah 1,27 ST; 2,0 ST, 4,0 ST dan 6,0 ST berturut-turut pada strata 1, 2, 3 dan strata 4 (Tabel 4). Menurut Mathius (2010) setiap tahun peternak sapi menghasilkan limbah berupa feses, urine dan sisa pakan yang mengandung bahan kering (BK) 1.872 kg; N 59,9 kg atau Urea 129,2 kg. Tabel 4. Keragaan kepemilikan ternak sapi perah pada masing-masing strata umur, di Banjarejo - Ngantang, Kabupaten Malang 2009 Umur petani ( tahun ) 1. 20-30 2. 31-40 3. 41-50 4. ≥ 51 * ST: satuan ternak
Rerata kepemilikan sapi perah (ST) 1,27 2,00 4,00 6,00
Kontribusi pendapatan pada pola usahatani integrasi tanaman-sapi perah di Ngantang MT. 2009/2010 Kontribusi usahatani sapi perah terhadap total pendapatan petani sebesar 58,5 %, sedangkan dari usahatani tanaman padi hanya berkontribusi sebesar 41,5 % (Tabel 5). Hal ini membuktikan bahwa usahatani ternak sapi perah tidak hanya sebagai usaha sampingan, akan tetapi merupakan cabang usaha sendiri yang sangat mendukung perekonomian petani. Hal ini sejalan dengan pendapat Soehadji (1995) dan Saragih (2000) yang menyatakan bahwa usahatani ternak dikatakan sebagai cabang usaha jika dapat memberikan keuntungan sebesar 30-70 % terhadap pendapatan total suatu usahatani. Tabel 5. Kontribusi tanaman dan ternak dalam sistem pertanian terpadu tanaman - sapi perah terhadap pendapatan petani. Ngantang 2009 Aspek Pendapatan (Rp.000) Kontribusi (%)
Sumber Tanaman 5.046,38 41,5
Ternak 7.102,09 58,5
Jumlah 12.148,47 100
Usahatani ternak sapi perah di lokasi penelitian sudah merupakan suatu cabang usaha dari usaha pertanian, tetapi keterpaduannya lebih banyak didasarkan pada pengertian terpadu dalam peran ekonomi. Sebaliknya secara natural (biologi) belum menunjukkan suatu keterpaduan, terlihat dari limbah ternak berupa kotoran ternak dan limbah pakan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai pupuk kandang/kompos untuk usahatani padi, dan limbah tanaman belum dimanfaatkan secara maksimal untuk pakan sapi perah. KESIMPULAN 1. Petani Ngantang telah menerapkan sistem pertanian terpadu dengan tingkat integrasi yang berbeda. Penentuan tingkat integrasi didasarkan pada 237
keterpaduan dalam peran ekonomi dan peran secara biologi. Pola integrasi padi-sapi perah dengan tingkat integrasi rendah 2. Masing-masing pola integrasi memberikan kontribusi yang berbeda terhadap pendapatan total petani. Kontribusi usahatani padi terhadap pendapatan petani yang menerapkan pola integrasi padi-sapi perah adalah 41,5% DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Malang dalam angka. Diwyanto, K. dan B. Haryanto. 2003. Pakan alternatif untuk pengembangan peternakan rakyat. Rakor Pengembangan Model Kawasan Agribisnis Jagung TA. 2002. Direktorat Jendral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta, 29 April 2002 Haryanto et al. 1999. Laporan Penelitian Optimasi IP Padi 300 Berbasis Usaha Pemeliharaan Sapi Melalui pemanfaatan Jerami Padi sebagai Sumber Bahan Organik. Puslibangnak. Bogor. Kusuma Diwyanto dan Haryanto. 2011. Makalah disampaikan pada acara Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Mathius 2010. Dalam Pedoman teknis pengembangan usaha integrasi ternak sapi dan tanaman. Kementrian Pertanian. Direktorat jendral peternakan. Direktorat budidaya ternak ruminansia, 2010. Mujiyanto.2003. Upaya-Upaya Untuk Mencapai Efisiensi Pada Usaha Sapi Perah. Gabungan Koperasi Susu Indonesia ( GKSI) Jawa tengah. Pambudy, R., 1999. Karakteristik Personal, Prilaku Komunikasi, Prilaku Wirausaha dan Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
238