II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Usaha Ternak Sapi Perah Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari
sejarah perkembangannya dan kebijakan pemerintah sejak zaman Hindia Belanda. Usaha peternakan sapi perah pada awalnya dimulai untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Belanda dan diusahakan oleh nonpribumi, dan baru pada tahun 1925 diperkirakan berdiri suatu perusahaan sapi perah pribumi yang pertama (Prawirokusumo, 1979 dalam Santosa dkk, 2009). Perkembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, salah satunya akibat peningkatan permintaan susu dan daging. Peningkatan permintaan ini sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap gizi seimbang akan sumber protein hewani. Pada lain pihak harus diakui bahwa produksi susu dalam negeri masih rendah jika dibandingkan dengan permintaan nasional (Santosa dkk, 2009). Lebih dari 95% susu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sapi perah, hanya sebagian kecil saja susu yang diproduksi oleh ternak lain seperti kerbau dan kambing perah. Sapi perah yang mula-mula dikembangkan di Indonesia adalah sapi Fries Hollands atau FH, yakni sejak pemerintahan Hindia Belanda. Berdasarkan sejarah sapi perah di Indonesia, sapi FH merupakan sapi yang lebih diminati oleh peternak sapi perah di Indonesia karena sifatnya yang jinak. Hanya sebagian kecil jenis sapi perah lainnya yang dipelihara (Siregar dkk, 1996). Sapi-sapi perah yang terdapat di Pulau Jawa, tersebar di daerah-daerah Jawa Barat 27,2%, Jawa Timur 36,8%, Jawa Tengah 30,5%, DKI Jakarta 0,9% dan DI Yogyakarta 1,9%. Sementara itu, jumlah sapi perah yang berada di luar Pulau Jawa yang terbanyak adalah di Sumatera Utara, yakni sebanyak 76,1% dari jumlah populasi sapi perah yang terdapat di luar Pulau Jawa (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007).
9
10
Setiap peternak sapi perah menginginkan dan berupaya untuk memelihara sapi perah dengan produksi susu tinggi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sapi-sapi perah dalam berproduksi susu. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah genetik, pakan (kuantitas dan kualitas), tatalaksana pemeliharaan dan lingkungan. Faktor atau keadaan lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap produksi susu, sedangkan komponen iklim berupa suhu udara dan kelembapan dapat mempengaruhi secara langsung terhadap produksi susu. 2.2
Skala Kepemilikan Ternak Skala kepemilikan dapat juga disebut dengan jumlah kepemilikan ternak.
Jumlah kepemilikan sapi perah merupakan indikator keberhasilan suatu usaha peternakan sapi perah. Meningkatnya jumlah ternak yang dimiliki seorang peternak, akan meningkatkan produktivitas hasil ternak sehingga berdampak terhadap pendapatan peternak (Murwanto, 2008). Suryadi, dkk. (1989) menyatakan bahwa skala usaha peternakan rakyat dibedakan atas tiga skala usaha yakni: (1) skala usaha kecil, dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 1-3 ekor, (2) skala usaha menengah, dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 4-6 ekor, (3) skala usaha besar, dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak ≥ 7 ekor. Skala kepemilikan sapi perah di Indonesia di dominasi oleh usaha ternak sapi perah skala kecil dan menengah. Menurut Erwidodo (1993) dalam Ratnawati (2002), skala kepemilikan sapi perah di Indonesia memiliki komposisi peternak skala kecil (kurang dari 4 ekor sapi perah) mencapai 80 persen, peternak skala menengah (4-6 ekor sapi perah) mencapai 17 persen, dan peternak skala besar (7 ekor atau lebih sapi perah) sebanyak 3 persen, dengan rata-rata kepemilikan sebanyak 3-5 ekor per peternak, serta tingkat efisiensi usahanya masih rendah. Apabila skala kepemilikan ternak tersebut ditingkatkan menjadi 7 ekor per
10
11
peternak, maka diharapkan akan dapat meningkatkan efisiensi usaha sekitar 30 persen (Swastika et al., 2000). Taslim (2011) menyatakan bahwa, skala kepemilikan sapi perah dibawah 7 ekor per peternak hasilnya tidak optimal dengan produktivitas rendah, berakibat kehidupan peternak yang stagnan, bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. 2.3
Kebutuhan Informasi Davis (1997) mendefinisikan informasi sebagai data yang telah diolah
menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan saat ini atau mendatang. Sebuah pesan memiliki informasi hanya bila ia relevan bagi sesuatu keputusan yang akan diambil saat ini atau di masa mendatang pada penerimanya. Yusuf (1995) memaknai informasi dapat berupa data atau fakta, tetapi bisa juga bukan. Oleh karena itu, informasi tidak sama dengan data atau fakta. Informasi bisa jadi hanya berupa kesan pikiran seseorang atau bisa sebagai data yang tersusun rapi. Dervin (1992) mendefinisikan informasi sebagai sebuah jawaban yang diperlukan individu di saat mengalami situasi bermasalah dalam melintasi ruang dan waktu. Informasi pada definisi ini dipandang dalam paradigma kognitif yaitu sebagai sesuatu yang diciptakan dalam pikiran individu dan berada di dalam individu internal. Pengertian tersebut dikaitkan dengan pernyataan Ihsaniyati (2010) yang menyatakan bahwa informasi merupakan jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang muncul di saat petani berada dalam situasi bermasalah, yang mengurangi ketidakpastian, dan bermanfaat dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Pengertian informasi dalam penelitian ini merupakan jawaban yang berguna bagi peternak sapi perah untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha ternak sapi perah sehingga dapat memberikan manfaat dan dapat meningkatkan produktivitas hasil sapi perah.
11
12
Masyarakat membutuhkan informasi yang berkaitan erat dengan masalah yang dihadapi, kesenjangan atau ketidakberdayaan seseorang dari tuntutan pekerjaan, kehidupan, atau lingkungan. Kebutuhan informasi
merupakan kesenjangan dalam pengetahuan
pengguna saat ini. Krikelas (1983) mendefinisikan kebutuhan informasi sebagai pengakuan tentang adanya ketidakpastian dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk mencari informasi. Upaya menemukan informasi selalu berkaitan dengan tugas dan masalah yang dihadapi seseorang dalam pekerjaan (Belkin, 1982). Nicholas (2000) menyatakan bahwa kebutuhan informasi terdiri dari tiga macam. Pertama kebutuhan yang tidak disadari dimana kebutuhan ini dialami oleh mereka yang seringkali tidak mengetahui informasi apa yang mereka butuhkan. Kedua, kebutuhan informasi yang tidak diekspresikan, dimana kebutuhan ini tidak dialami oleh mereka yang sadar membutuhkan informasi tertentu, tetapi tidak dapat atau tidak mau melakukan sesuatu untuk memnuhinya. Ketiga, kebutuhan informasi yang diekspresikan yaitu kebutuhan yang disadari dan diupayakan dipenuhi oleh mereka yang sadar akan kesenjangan antara pengetahuan dan keinginan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap orang memiliki watak, kebiasaan, kemampuan, kecerdasan, dan minat yang berbeda, baik dilihat dari segi psikologi umum, sosial, maupun dari segi-segi lainnya. Orang dengan pendidikan lebih tinggi, lebih banyak mempunyai kebutuhan dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih rendah (Yusuf, 1995). Setiap orang mempunyai kebutuhan dan keinginan tertentu sesuai dengan harapan-harapannya memperoleh keuntungan dari pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkannya (Yusuf, 1995). Menurut Belkin (1986), perilaku penemuan informasi dimulai dari adanya kesenjangan dalam diri pencari infomasi antara pengetahuan dan kebutuhan informasi yang diperlukannya. Kebutuhan informasi muncul akibat kesenjangan pengetahuan yang ada dalam diri seseorang dengan kebutuhan informasi yang
12
13
diperlukan, kondisi kesenjangan tersebut mendorong orang untuk mencari informasi guna mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Kebutuhan informasi peternak sapi perah dalam penelitian ini diartikan sebagai keinginan peternak untuk mengakses dan mendapatkan informasi terkait usaha ternak sapi perah, meliputi informasi-informasi sapta usaha peternakan, seperti bibit dan reproduksi, pakan, pemeliharaan, perkandangan, pengendalian penyakit, pasca panen, dan pemasaran, yang muncul karena peternak memiliki masalah dan keterbatasan dalam kegiatan usaha ternak namun tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. 2.3.1
Sapta Usaha Peternakan Sapi Perah Andajani (1989) menyatakan, usaha-usaha di dalam meningkatkan
produktivitas, guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak telah lama dilakukan. Namun, sejauh itu masuh banyak hal-hal yang perlu diperhatikan secara terpadu. Demi meningkatkan produksi maupun produktivitas di sektor peternakan yang sesuai dengan tujuan pembangunan, pemerintah telah menetapkan program peternakan yaitu sapta usaha peternakan sapi perah. Sapta usaha peternakan sapi perah merupakan tujuh macam usaha di bidang budidaya sapi perah yang meliputi bibit dan reproduksi, pakan, pemeliharaan,
perkandangan,
pengendalian
penyakit,
pasca
panen,
dan
pemasaran. 1)
Bibit dan Reproduksi Sifat-sifat reproduksi sapi perah mempunyai hubungan langsung dengan
jumlah produksi susu yang dihasilkan. Hal tersebut penting diketahui untuk menggambarkan tingkat keberhasilan tatalaksana reproduksi yang dijalankan oleh peternak yang secara tidak langsung mempengaruhi tingkat pendapatan peternak. Tatalaksana pemeliharaan sapi perah sangat bergantung kepada peternaknya sendiri, dimana tingkat pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman beternak akan sangat menentukan keberhasilan usaha ternak.
13
14
Sosroamidjojo dan Soeradi (1990) mengemukakan bahwa pemilihan bibit ternak yang baik adalah suatu keharusan dalam usaha peternakan, karena bibit merupakan salah satu faktor utama untuk keberhasilan suatu usaha peternakan. Bibit yang baik dan disertai dengan pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan yang baik pula akan membawa keberhasilan usaha ternak. Bibit yang baik menjadi modal utama seorang peternak sapi perah. Menurut Dinas Peternakan (1991), cara menyeleksi bibit dapat dilihat dari produksi susu, silsilah dan bentuk luar (fisik). Memilih sapi betina dapat dilakukan berdasarkan produksi susu dengan cara melihat catatan produksi susu yang lengkap dengan memperhatikan sudah berapa bulan sapi tersebut menghasilkan susu sejak beranak yang terakhir. Perkawinan dilakukan saat sapi betina menunjukkan birahi. Selain dikawinkan dengan pejantan, anak sapi dapat diperoleh dengan metode Inseminasi Buatan (IB). Hafez (1993) menyatakan bahwa inseminasi buatan adalah proses pemasukan semen ke dalam saluran kelamin betina dengan tujuan untuk membuat bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa program IB tidak hanya mencakup pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi betina tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan ternak betina, bimbingan dan penyuluhan pada ternak. Pengertian IB menjadi lebih luas yang mencakup reproduksi dan pemuliaan, sehingga istilahnya menjadi perkawinan buatan. Tujuan dari IB itu sendiri yaitu sebagai metode yang diciptakan manusia untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak secara kuantitatif dan kualitatif (Toelihere, 1985).
14
15
2)
Pakan Pemberian pakan secara praktis kepada ternak harus disesuaikan dengan
keperluan ternak dalam memenuhi kebutuhannya meliputi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi, dan laktasi. Menurut Dasuki, dkk. (1981), makanan pokok bagi ternak-ternak sapi perah terdiri dari hijauan dan konsentrat. Hijauan kaya akan kandungan vitamin dan tinggi kadar serat kasarnya, sedangkan konsentrat kaya akan kandungan protein, lemak, dan mineral, sehingga kedua jenis bahan pakan tersebut mutlak diperlukan dalam ransum. Suharno dan Nazaruddin (1994) menyatakan adapun pakan berupa rumput atau hijauan dapat diberikan diluar waktu pemerahan. Frekuensi pemberian pakan baik pakan penguat maupun pakan hijauan diatur dua kali sehari. Jumlah pakan yang diberikan biasanya sekitar 10% dari bobot sapi. Air minum harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, dengan persyaratan air minum harus bersih, segar, dan jernih. Sapi yang sedang laktasi membutuhkan jumlah air minum yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang tidak laktasi. Kebutuhan air minum pada sapi perah adalah 3−4 liter untuk memproduksi satu liter air susu, atau keseluruhan air minum yang diperlukan setiap harinya berkisar antara 37−45 liter. 3)
Tatalaksana Pemeliharaan Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu adalah lingkungan
yang terdiri dari makanan dan tatalaksana pemeliharaan. Menurut Makin, dkk. (2011), badan sapi harus dibersihkan dan disikat agar susu yang dihasilkan dapat benar-benar bersih dari kotoran maupun rambut yang rontok. Kulit sapi mudah sekali kotor terutama karena kotorannya sendiri. Oleh karena itu, sapi sebaiknya dimandikan dan disikat sebelum pemerahan. Kandang sapi juga sebaiknya dibersihkan setiap hari dari kotoran dan sisa-sisa makanan. Terutama pada saat akan diperah, ambing harus dibersihkan dengan air hangat (48,8o − 57o C) untuk menstimulasi keluarnya air susu dan mengurangi timbulnya mastitis. Terdapat tiga cara pemerahan dengan tangan, yaitu dengan lima jari (legeartes), kunevelens, dan
15
16
voipens (strip model). Frekuensi pemerahan pada umumnya dua kali sehari, tetapi lebih bergantung pada kemampuan produksi sapi, makanan dan pemeliharaan. Menurut Dinas Peternakan (1991), sapi yang sedang laktasi dua bulan sebelum melahirkan harus dikeringkan. Hal ini perlu dilaksanakan untuk memberi kesempatan istirahat pada sel-sel ambing untuk mempersiapkan produksi susu yang akan datang. Suharno dan Nazaruddin (1994), menyatakan bahwa sapi betina yang sedang laktasi perlu dirawat secara teratur. Pemberian pakan dan pemerahan harus dijadwal teratur, hal ini penting dilakukan karena perawatan yang tidak teratur dapat mengurangi produksi susu. Produksi susu dari sejak melahirkan hingga hari ke-4 berupa kolostrum yang penting untuk kesehatan anak sapi. Keberhasilan dalam pengaturan perkawinan dapat ditentukan dengan memiliki catatam, yaitu: (1) catatan keadaan, umur, tanda-tanda, serta keturunan dari sapi miliknya, (2) catatan sifat birahi masing-masing sapi, (3) catatan kegiatan reproduksi seperti waktu dikawinkan, waktu beranak, keguguran, keadaan anak saat dilahirkan, (4) catatan pejantan yang digunakan atau nomor straw jantan, (5) catatan kesehatan. Di samping itu, diperlukan juga catatan produksi serta catatan biaya pemasukan dan pengeluaran selama pemeliharaan. 4)
Perkandangan Sapi Perah Kandang yang efektif untuk sapi perah harus direncanakan untuk
memenuhi
kebutuhan
kesehatan
dan
kenyamanan
ternak,
aman
dan
menyenangkan bagi karyawan, efisien dalam menggunakan tenaga kerja dan peralatan, serta mudah dalam pengontrolan penyakit. Menurut Dinas Peternakan (1991), kandang sapi letaknya harus jauh dari pemukiman (minimal 5 meter), lalu lintas umum, dan pembuangan sampah atau kotoran. Sinar matahari dapat masuk, ventilasi baik, lantai kandang yang lebih tinggi 20−30 cm dari tanah, terdapat saluran pembuangan air dan kotoran (drainase), dan memiliki tempat penampungan kotoran. Ukuran kandang untuk sapi induk panjang 1,6 meter dan lebar 1,35 meter.
16
17
Kandang dibuat berjauhan dengan rumah tinggal dan diusahakan menghadap ke arah terbitnya matahari. Kandang dibuat sistem drainase atau pengaliran air, agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar. Apabila berada di daerah yang berangin kencang, dinding kandang dapat diganti dengan menanam pepohonan didekat kandang. Lantai diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air dan tidak licin. Atap sebaiknya menggunakan genting. Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat pakan dan minum serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember (Fauzi, 2015). 5)
Pengendalian Penyakit Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994), serangan penyakit pada sapi
perah sedapat mungkin dicegah. Itulah sebabnya penting bagi peternak untuk selalu menjaga kebersihan kandang dan ternak serta memberikan pakan yang cukup. Ternak yang sakit sebaiknya dipisahkan ke dalam kandang karantina dan diobati hingga sembuh. 6)
Pasca Panen Makin (2011) menyatakan bahwa susu adalah produk utama yang
diharapkan dari sapi perah, maka dari itu pemerahan sebaiknya dilakukan sevara intensif. Pemerahan dapat dilakukan dua kali, tiga kali atau lebih dalam sehari tergantung produktivitas sapi. Perubahan jadwal pemerahan dapat mengubah pola produksi susu. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum pemerahan berlangsung adalah pembersihan ruangan atau kandang. Kandang yang kotor dapat menurunkan mutu susu yang dihasilkan sapi dan menjadi sumber penularan penyakit. Memandikan dan membersihkan sapi, terutama di bagian sekitar ambing akan mengurangi resiko terkontaminasinya susu oleh mikroorganisme (Dinas Peternakan, 1991). Peternak perlu menyiapkan peralatan seperti ember sebagai wadah penampung susu, sabun dan sikat, tempat duduk pemerah, serta akan lebih baik
17
18
apabila terdapat pakaian kerja khusus. Alat-alat yang digunakan haruslah bersih. Lap hangat diperlukan untuk merangsang pengeluaran air susu. Susu yang telah diperah kemudian dapat dimasukkan ke dalam ember susu (milk can) sehingga kebersihannya terjamin. Susu yang telah diperah dapat diolah menjadi berbagai produk olahan susu seperti yoghurt, keju, es krim, dan sebagainya. Hasil sampingan dari ternak sapi perah selain susu adalah kotoran sapi perah. Kotoran sapi perah dapat diolah dengan bantuan mikroorganisme melalui metode fermentasi. Hasil pengolahan kotoran sapi perah dapat dijadikan pupuk kandang, pupuk organik cair, dan biogas. 7)
Pemasaran Susu Firman (2010) menyatakan bahwa, peternakan sapi perah merupakan
usaha yang dijalankan dari hulu hingga ke hilir, dengan tujuan akhir yaitu mendapatkan keuntungan dari usaha ternak sapi perah tersebut. Keuntungan didapatkan dengan memasarkan produk utama dari ternak sapi perah yaitu susu. Susu yang akan dipasarkan haruslah memiliki kualitas baik, yang telah melewati standar pengujian kualitas susu seperti pengujian total solid, kandungan lemak, dan berat jenis susu. Pemasaran susu memiliki rantai tersendiri yang berbeda-beda antara peternak satu dengan yang lainnya.
18