9
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Peternakan Sapi Perah Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil susu. Susu didefinisikan sebagai sekresi fisiologis dari kelenjar ambing. di antara ternak perah, sapi
perah merupakan penghasil susu yang sangat dominan
dibandingkan ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan konsumsi bagi manusia (Supriat, dkk., 2002). Peternakan sapi perah merupakan subsektor yang memiliki banyak manfaat dan berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan peternakan sapi perah (Daryanto, 2007). Sapi perah yang mula-mula dikembangkan di Indonesia adalah sapi perah Fries Holland atau FH, yakni sejak pemerintahan Hindia Belanda (Siregar, dkk., 1996). Ciri khas sapi FH adalah memiliki warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih atau coklat/merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus kebawah, dan tanduk pendek dan menjurus ke depan. Produksi susu yang tertinggi di dunia menghasilkan rata-rata 6000 liter perlaktasi (Makin, 2011).
10
Menurut Toharmat (1997), satu tahapan yang sangat penting dalam pemeliharaan sapi perah adalah pemberian ransum dan manajemen anak sapi (pedet) dan sapi dara. Usaha untuk menghasilkan pedet dan sapi dara dan sapi dara yang kuat dan sehat, sangat penting agar usaha sapi perah mempunyai harapan masa depan yang baik dan menguntungkan. Peningkatan jumlah sapi yang mempunyai potensi produksi tinggi pada laktasi pertama merupakan syarat mutlak agar dapat meningkatkan produksi sapi secara keseluruhan, pada periode berikutnya. 2.2. Manajemen Pemeliharaan Pedet Betina untuk Induk Pengganti. Menurut Makin (2011), masa mendatang usaha peternakan sapi perah sangat bergantung kepada keberhasilan dalam pemeliharaan pedet dan sapi dara sebagai ternak pengganti. Sekitar 20-30% dari sapi-sapi yang berproduksi harus diganti setiap tahun. Menurut Toharmat (1997), penurunan jumlah sapi laktasi atau pengefkiran sapi oleh peternak dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu produksi susu rendah, majir, mastitis, kecelakaan atau mati. Mempertahankan atau meningkatkan jumlah sapi dan tingkat produksi susu dapat dilakukan dengan penyediaan sapi dara pengganti dalam jumlah yang cukup.
Teknik pemberian makanan merupakan faktor yang sangat
penting untuk menghasilkan sapi dara pengganti yang baik. 2.2.1. Manajemen Pemeliharaan Pedet
11
Menurut Atmadilaga (1976), pedet betina sebagai pengganti induk harus berasal dari pedet yang mempunyai berat lahir 30 kg keatas karena pedet yang mempunyai berat lahir yang tinggi akan lebih mudah pemeliharaannya. Pedet untuk pengganti induk harus berasal dari induk yang menghasilkan susu yang tinggi, dan mempunyai sifat eksterior tidak terdapat kelainan-kelainan anatomi, misalnya memiliki empat puting dan berbentuk simetris. Menurut Makin (2011), langkah pertama dalam membesarkan pedet adalah bagaimana mendapatkan pedet yang sehat, kuat dan mempunyai berat lahir yang normal, untuk selanjutnya diharapkan dapat berproduksi secara optimum.
Perlu
diketahui bahwa tingkat mortalitas anak sapi di bawah umur 3 bulan dapat mencapai sekitar 20-35%.
Pedet yang dilahirkan dalam keadaan lemah, pemeliharaannya
kurang ekonomis karena pertumbuhannya akan terhambat sehingga memerlukan waktu yang lama sampai bereproduksi. Makanan anak sapi berbeda dengan yang dewasa, karena disesuaikan dengan pertumbuhan alat pencernaannya yang belum berfungsi sebagai hewan ruminansia (Makin, 2011).
Minggu pertama pedet dilahirkan hanya boleh menerima susu
sebagai pakannya, terutama kolostrum yang diperlukan untuk memperoleh antibodi sebagai unsur kekebalan tubuhnya (Santosa, 1999). Pedet berumur 2 minggu sudah harus diajari memakan hijauan muda dan segar, dan konsentrat harus mulai diberikan pada umur 3-4 minggu
dengan jumlah awal 0,25 kg, kemudian jumlahnya
12
ditingkatkan seiring dengan pertambahan berat badan pedet (Firman, 2010). Pemberian ransum untuk pembesaran pedet harus diperhatikan kualitas maupun kuantitasnya, yakni yang dapat memberikan pertumbuhan cepat namun bukan untuk penggemukan (Subandriyo, dkk., 2009).
2.2.2. Manajemen Pemeliharaan Dara Menurut Atmadilaga (1976), pertumbuhan sapi-sapi dara sebelum melahirkan anak pertama tergantung sekali pada cara pemeliharaan makannya.
Kerapkali
pemeliharaan pedet lepas sapih diabaikan, sehingga pertumbuhan sapi-sapi dara akan terhambat, maka pada waktu sapi-sapi betina beranak untuk pertama kali besar badannya tidak normal (kecil), selain itu sapi akan beranak pertama terlambat sampai 3 tahun atau lebih, dengan demikian halnya juga dengan produksi susu tidak akan sesuai sebagaimana yang diharapkan, karena itu, pertumbuhan sapi-sapi dara harus diperhatikan dengan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan pada pedet supaya tetap mempertahankan kecepatan tumbuhnya. Menurut Toharmat (1997), pemberian ransum untuk dara pengganti terdiri dari 3 tahap, yaitu : 1. Penyapihan (usia 12 minggu) sampai usia satu tahun
13
Pemberian konsentrat umumnya sebanyak 2 kg, agar pertumbuhan dan kondisi badan pedet baik, namun pemberian konsentrat dapat dibatasi pada umur 10 bulan. Pada periode ini sapi dara diberi hijauan dengan cara bebas pilih, kualitas konsentrat yang di berikan tergantung pada kualitas hijauan. 2. Usia satu tahun sampai 2 bulan menjelang melahirkan Menjelang umur satu tahun sapi tidak oleh terlalu gemuk dan diberi makan berlebihan, sebab akan mengganggu/menghambat perkembangan kelenjar sekretoris ambing. Pada periode ini sangat diperlukan banyak konsentrat, jika rumput dibrikan legih banyak, maka zat makanan akan lebih rendah dari yang diperlukan oleh sapi dan pertumbuhan akan lebih rendah dari yang diharapkan. 3. Dua bulan masa kebuntingan pertama Keberhasilan pemberian makan pada periode ini akan mempengaruhi tingkat produksi air susu setelah melahirkan.
Menjelang melahirkan, sapi perlu diberi
konsentrat sebanyak 1% dari bobot badan.
Pemberian pakan berlebihan akan
mengakibatkan distokia (kesulitan melahirkan).
2.3. Manfaat Finansial Usaha Pembesaran Pedet Betina Sapi Perah Beberapa metode dapat dilakukan dalam menguantifikasi keuntungan ekonomi pada sistem usaha tani, diantaranya yang umum dipakai adalah partial-farm analysis meliputi partial budget analysis dan break even analysis (Priyanti, dkk., 2009).
14
Partial budget analysis yang juga disebut dengan partial budget analysis adalah tabulasi dari tambahan nilai yang diharapkan dan kerugian yang ditimbulkan akibat suatu perubahan dalam sistem usaha tani.
Hal ini merupakan metode untuk
mendapatkan keseimbangan antara tambahan nilai atau keuntungan yang diperoleh dengan kerugian atau biaya yang ditimbulkan jika keputusan untuk mengubah akan diambil (Priyanti, dkk., 2009). Analisis anggaran parsial (partial budget analysis) dilakukan dengan tujuan mengevaluasi akibat-akibat yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam metode produksi atau organisasi usahatani (Soekarwati., dkk, 1986).
2.4. Faktor penentu usaha sapi perah Menurut Suherni (2006) faktor pendukung dan penghambat pengembangan peternakan sapi perah adalah : 1. Sumberdaya Manusia 1. Umur Peternak, peternak yang berada pada umur produktif menunjukan bahwa peternak merupakan pekerja yang potensial sehingga memungkinkan bagi peternak untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam beternak sapi. 2. Tingkat Pendidikan. 3. Lama Beternak, semakin lama pengalaman beternak seorang peternak maka semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
15
4. Mata Pencaharian. 5. Jumlah Anggota keluarga.
Jumlah anggota keluarga akan memunculkan
tanggung jawab peternak akan usahanya, karena semakin banyak tanggungan keluarga maka akan semakin banyak pula biaya yang hidup yang harus dikeluarkan. 6. Populasi Sapi Perah. 7. Pemasaran Susu. 8. Penyediaan Bibit Sapi Perah. 9. Kelembagaan.
Merupakan kebijakan-kebijakan serta pembinaan yang
dilakukan oleh pemerintah maupun koperasi dalam pengembangan peternakan sapi perah. 10. Potensi Pasar.
Menurut sarpintono (2013), perkembangan usaha sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong. Faktor pendorong tersebut adalah: 1. Faktor ekonomis, karena usaha ternak sapi perah cukup memberikan keuntungan, usaha sapi perah memberikan hasil ikutan berupa tenaga, pupuk, dan hasil sapi afkir. 2. Bimbingan dan motivasi (usaha sapi perah menyangkut breeding, feeding, serta manajemen, usaha ini tidak mudah sebab memerlukan penanganan yang tekun, cermat, dan skill yang memadai).
16
3. Penyediaan makanan dan bibit (limbah pertanian seperti limbah tanaman pangan, perkebunan, dan pakan hijauan ternak serta bibit unggul, pejantan dan semen beku). Selain faktor pendorong dalam kegiatan budidaya terdapat faktor penghambat perkembangan usaha. Faktor-faktor penghambat perkembangan usaha sapi perah yaitu: 1. Iklim (temperatur yang tinggi bertentangan dengan kehidupan sapi perah, kondisi susu juga mudah rusak pada tempeatur tinggi). 2. Permodalan (modal finansial dan skill) modal finansial rendah tidak mampu membeli bibit yang baik (unggul), pakan konsentarat/obat-obatan, walaupun pakan hijauan tersedia. 3. Pemasaran, ada pemasaran terkendala pesaing (susu kaleng yang bahan bakunya 80% masih impor dari luar, dengan harga yang lebih murah dari produk dalam negeri). 4. Daya beli rakyat masih rendah, akibat pendapatan rendah dan kesadaran gizi. 5. Hygiene produksi air susu dari peternak rakyat belum handal, dan tentang jamiman mutu belum bisa dipertanggungjawakan. 6. Hasil jual produk susu rendah tidak sesuai dengan harga makanan, ongkos, tenaga kerja. 7. Kekurangan tenaga ahli/skill dibidang persusuan, maka produk susu rakyat kurang berkembang. 8. Komunikasi (transportasi seperti jalan masih sulit dilalui kendaraan, kesulitan dalam pemasaran air susu dan informasi teknologi.