II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Itik Cihateup Itik merupakan salah satu unggas air, ternak ini memiliki kulit yang tebal
yang disebabkan oleh adanya lapisan lemak tebal yang terdapat di lapisan bawah kulit yang biasa disebut dengan lemak abdominal. Secara taksonomi itik Cihateup sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Aves
Ordo
: Anseriformis
Famili
: Anatidae
Genus
: Anas
Spesies
: Anas platyrhynchos javanica Warna bulu bagian leher itik Cihateup jantan memiliki ciri khas yang dapat
terlihat, yaitu didominasi warna penciled dan ekor warna polos, sedangkan paruh dan shank didominasi warna hitam. Pada itik betina warna bulu bagian leher, dada, shank dan ekor sedikit berbeda dengan jantan yakni warna laced dan buttercup, sementara pada shank dan paruh tetap didominasi warna hitam (Wulandari dkk., 2005). Ukuran-ukuran tubuh itik Cihateup jantan maupun betina pada penelitian ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran tubuh itik Mojosari, Alabio, Bali, Pagagan dan Khaki Campbell yang diteliti oleh Brahmantiyo dkk. (2003).
8
2.2
Buah Makasar (Brucea javanica (L.) Merr) Buah
Makasar
merupakan
tanaman
yang
tergolong
pada
famili
Simaroubaceae, divisi Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), ordo Sapindales, kelas Magnoliopsida (Dikotil), bangsa Geraniales, serta marga Brucea (Kumala, 2007). Penyebaran tanaman obat buah makasar di Indonesia masih tergolong jarang dan banyak ditemukan di pulau Jawa dan Madura. Buah makasar terdiri atas batang, daun, bunga, biji dan akar. Batang buah makasar memiliki berkayu, bulat dan berbintik-bintik, sedangkan daunnya berbentuk majemuk lonjong tepi bergerigi, ujung runcing dan lebar daun sekitar 1.5-5 cm, dan buahnya yang umumnya digunakan sebagai obat tradisional berbentuk bulat, berwarna hijau hingga kehitaman.
Tanaman tersebut dapat
tumbuh pada ketinggian 0.05-550 meter di atas permukaan laut, dapat ditemukan dalam jati, belukar, hutan sekunder, maupun pada tepi sungai (Kumala, 2007). Buah makasar memiliki asam linoleat dengan persentase 52.89%. Asam lemak linoleat adalah asam lemak tidak jenuh berantai banyak yang tergolong asam lemak esensial. Asam linoleat penting untuk tubuh dan tidak dapat disintesis sendiri dalam tubuh, oleh karena itu harus diperoleh dari pakan. Pakan yang sumber asam linoleat antara lain minyak jagung, kacang tanah, biji kapas, dan kacang kedelai. Asam linoleat (Linoleic acid) tergolong kedalam asam lemak tidak jenuh ikatan ganda (Polyunsaturated Fatty Acid) yang esensial untuk tubuh. Asam linoleat berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol, menurunkan tekanan darah, menghambat lipogenesis hepatik, transport lipid, prekursor dalam sintesis prostaglandin, membentuk arakhidonat dan dalam proses reproduksi (Pudjiadi, 1997).
9
2.3
Stres Ternak unggas tergolong hewan homeothermic (berdarah panas) dengan
ciri spesifik tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu. Kondisi biologis seperti ini menyebabkan ternak unggas dalam kondisi panas mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Akibatnya, ternak unggas yang dipelihara di daerah tropis rentan terhadap bahaya stres panas. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang menyebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun dari dalam tubuh ternak (Ewing dkk., 1999). Stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu homeostasis pada hewan, bahkan setiap stresor yang menyebabkan dampak negatif pada kesejahteraan binatang dapat dikategorikan sebagai stres (Moberg, 2000) mendefinisikan stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu homeostasis pada hewan, bahkan setiap stresor yang menyebabkan dampak negatif pada kesejahteraan binatang dapat dikategorikan sebagai stres. Bila pemeliharaan dilakukan di atas kisaran suhu nyaman, ternak akan menderita stres karena kesulitan membuang suhu tubuhnya ke lingkungan (Cooper
&
Washburn
1998). oleh aksi katekolamin yang menyebabkan
katekolamin merangsang corticotrophin-releasing factor yang dibebaskan dari hipotalamus,
sedangkan
ACTH dibebaskan
dari
pituitari,
sementara
kortikosteroid dibebaskan dari korteks adrenal (Siegel 1995; Virden & Kidd 2009). Distribusi dan pengiriman kortikosteroid ke jaringan, setidaknya dikontrol oleh corticosteroid-binding globulins. Menurut Virden dan Kidd (2009) kortisol adalah kortikosteroid yang paling utama pada mamalia, sedangkan kortikosteron
10
adalah kortikosteroid utama pada bangsa burung. Kortisol dan kortikosteron merupakan salah satu dari adrenal cortical hormone major yang tergolong glucocorticoids yang berfungsi dalam proses glycolysis, gluconeogenesis dan lipolysis (Ewing dkk., 1999). Selama fase alarm, hormon yang berasal dari hipotalamus ikut berperan. Hipotalamus mensekresikan Corticotropin Releasing Factor (CRF) ke hipofisa anterior. Selanjutnya, hipofisa anterior mensintesis ACTH dan selanjutnya disekresikan ke seluruh pembuluh darah. Jaringan kortikoadrenal bertanggung jawab atas sintesis ACTH dengan peningkatan dan pelepasan hormon steroid (Virden dan Kidd 2009). 2.4
Kematian Sel Ketika sel mengalami gangguan, maka sel akan berusaha beradaptasi dengan
jalan hipertrofi, hiperplasia, atrofi, dan metaplasia supaya dapat mengembalikan keseimbangan tubuh. Namun, ketika sel tidak mampu untuk beradaptasi sel tersebut akan mengalami jejas atau cedera. Jejas tersebut dapat kembali dalam keadaan normal, apabila penyebab jejas hilang (reversible). Tetapi ketika jejas tersebut berlangsung secara kontinu, maka akan terjadi jejas yang bersifat irreversible (tidak bisa kembali normal) dan selanjutnya akan terjadi kematian sel (Kumar; Cotran dan Robbins, 2007). Mekanisme cedera secara biokimia adalah sebagai berikut (Kumar; Cotran dan Robbins, 2007): 1. Deplesi ATP ATP penting bagi setiap proses yang terjadi dalam sel, seperti mempertahankan osmolaritas seluler, proses transport, sintesis protein, dan
11
jalur metabolik dasar. Hilangnya sintesis ATP menyebabkan penutupan segera jalur homeostasis. 2. Deprivasi oksigen Kekurangan oksigen mendasari patogenesis jejas sel. 3. Hilangnya homeostasis kalsium Kalsium bebas sitosol normalnya dipertahankan oleh transpor kalsium yang bergantung pada ATP. Iskemia atau toksin menyebabkan masuknya kalsium ekstrasel diikuti pelepasan kalsium dari deposit intrasel. Peningkatan kalsium sitosol akan menginaktivasi fosfolipase (pencetus kerusakan membran), protease
(katabolisator
protein
membran
dan
struktural),
ATPase
(mempercepat deplesi ATP), dan endonuklease (pemecah materi genetik). 4. Defek permeabilitas membran plasma Membran plasma dapat langsung dirusak oleh toksin bakteri, virus, komponen komplemen, limfosit sitolitik, agen fisik maupun kimiawi. Perubahan permeabilitas membran dapat juga disebabkan oleh hilangnya sintesis ATP atau aktivasi fosfolipase yang dimediasi kalsium. 5. Kerusakan mitokondria Peningkatan kalsium sitosol, stress oksidatif intrasel dan produk pemecahan lipid menyebabkan pembentukan saluran membran mitokondria interna dengan
kemampuan
konduksi
yang
tinggi.
Pori
nonselektif
ini
memungkinkan gradien proton melintasi membran mitokondria sehingga mencegah pembentukan ATP 2.5
Nekrosis Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi
setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan
12
pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar; Cotran & Robbins, 2007). Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup. Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan menunjukkan perubahanperubahan tertentu baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna hematoksilin, sering pucat (Pringgoutomo, 2002). Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil dari digesti enzimatik dan denaturasi protein yang terjadi secara bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim hidrolitik dapat berasal dari sel itu sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom sel radang penginvasi (heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007). Pada nekrosis, perubahan terutama terletak pada inti. Memiliki tiga pola, yaitu (Lestari, 2011) : 1. Piknosis Yaitu pengerutan inti, merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan eosinofil, DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat. 2. Karioreksis Inti terfragmentasi (terbagi atas fragmen-fragmen) yang piknotik. 3. Kariolisis Pemudaran kromatin basofil akibat aktivitas DNAse.
13
Macam-macam nekrosis: 1. Nekrosis koagulatif Terjadi akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel yang disebabkan oleh hambatan kerja sebagian besar enzim. Enzim sitoplasmik hidrolitik juga dihambat sehingga tidak terjadi penghancuran sel (proses autolisis minimal). Akibatnya struktur jaringan yang mati masih dipertahankan, terutama pada tahap awal (Sarjadi, 2003). Terjadi pada nekrosis iskemik akibat putusnya perbekalan darah. Daerah yang terkena menjadi padat, pucat dikelilingi oleh daerah yang hemoragik. Mikroskopik tampak inti-inti yang piknotik. Sesudah beberapa hari sisa-sisa inti menghilang, sitoplasma tampak berbutir, berwarna merah tua. Sampai beberapa minggu rangka sel masih dapat dilihat (Pringgoutomo, 2002). Contoh utama pada nekrosis koagulatif adalah infark ginjal dengan keadaan sel yang tidak berinti, terkoagulasi dan asidofilik menetap sampai beberapa minggu (Kumar; Cotran & Robbins, 2007). 2. Nekrosis likuefaktif (colliquativa) Perlunakan jaringan nekrotik disertai pencairan. Pencairan jaringan terjadi akibat kerja enzim hidrolitik yang dilepas oleh sel mati, seperti pada infark otak, atau akibat kerja lisosom dari sel radang seperti pada abses (Sarjadi, 2003). 3. Nekrosis kaseosa (sentral) Bentuk campuran dari nekrosis koagulatif dan likuefaktif, yang makroskopik teraba lunak kenyal seperti keju, maka dari itu disebut nekrosis perkejuan. Infeksi bakteri tuberkulosis dapat menimbulkan nekrosis jenis ini (Sarjadi, 2003). Gambaran makroskopis putih, seperti keju didaerah nekrotik sentral. Gambaran mikroskopis, jaringan nekrotik tersusun atas debris granular amorf, tanpa struktur
14
terlingkupi dalam cincin inflamasi granulomatosa, arsitektur jaringan seluruhnya terobliterasi (tertutup) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007). 4. Nekrosis lemak Terjadi dalam dua bentuk : a. Nekrosis lemak traumatik Terjadi akibat trauma hebat pada daerah atau jaringan yang banyak mengandung lemak (Sarjadi, 2003). b. Nekrosis lemak enzimatik Merupakan komplikasi dari pankreatitis akut hemorhagika, yang mengenai sel lemak di sekitar pankreas, omentum, sekitar dinding rongga abdomen. Lipolisis disebabkan oleh kerja lypolytic dan proteolytic pancreatic enzymes yang dilepas oleh sel pankreas yang rusak (Sarjadi, 2003). Aktivasi enzim pankreatik mencairkan membran sel lemak dan menghidrolisis ester trigliserida yang terkandung didalamnya. Asam lemak yang dilepaskan bercampur dengan kalsium yang menghasilkan area putih seperti kapur (makroskopik) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007). 5. Nekosis fibrinoid Nekrosis ini terbatas pada pembuluh darah yang kecil, arteriol, dan glomeruli akibat penyakit autoimun atau hipertensi maligna. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan nekrosis dinding pembuluh darah sehingga plasma masuk ke dalam lapisan media. Fibrin terdeposit disana. Pada pewarnaan hematoksilin eosin terlihat masa homogen kemerahan (Sarjadi, 2003).
15
Nekrosis dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Iskemia Terjadi akibat anoksia (hambatan total pasokan oksigen) atau hipoksia seluler (kekurangan oksigen pada sel). Dapat disebakan oleh berbagai hal seperti berikut ini (Sarjadi, 2003): a. Obstruksi aliran darah b. Anemia (eritrosit pembawa oksigen berkurang jumlahnya) c. Keracunan karbon monoksida d. Penurunan perfusi jaringan dari darah yang kaya oksigen e. Oksigenasi darah yang buruk, sebagai akibat penyakit paru, obstruksi saluran nafas, konsentrasi oksigen udara yang rendah. 2. Agen biologik Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah dan trombosis. Toksin biasanya berasal dari bakteri yang virulensinya tinggi baik endogen maupun eksogen. Virus dan parasit juga dapat mengeluarkan berbagai enzim dan toksin yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi jaringan dan menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo, 2002). 3. Agen kimia Natrium dan glukosa merupakan zat kimia yang berada dalam tubuh. Namun ketika konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis akibat gangguan keseimbangan osmotik sel. Beberapa zat tertentu dapat pula menimbulkan nekrosis ketika konsentrasinya rendah (Pringgoutomo, 2002). Respon jaringan terhadap zat kimia berbeda. Misalnya, sel epitel pada tubulus ginjal dan sel beta pada pulau Langerhans mudah rusak oleh alloxan. Gas yang
16
digunakan pada perang seperti mustard dapat merusak jaringan paru, gas kloroform dapat merusak parenkim hati serta masih banyak lagi (Pringgoutomo, 2002). 4. Agen fisik Trauma, suhu yang ekstrim (panas maupun dingin), tenaga listrik, cahaya matahari, dan radiasi dapat menimbulkan kerusakan inti sehingga menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo, 2002). 5. Hipersensitivitas Hipersensitivitas (kerentanan) pada seorang individu berbeda-beda. Kerentanan ini dapat timbul secara genetik maupun didapat (acquired) dan menimbulkan reaksi imunologik kemudian berakhir pada nekrosis. Sebagai contoh, seseorang yang hipersensitif terhadap obat sulfat ketika mengonsumsi obat sulfat dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal (Pringgoutomo, 2002). 2.6
Apoptosis Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death),
adalah suatu komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga keseimbangan pada organisme multiseluler. Informasi genetik pemicu apoptosis aktif setelah sel menjalani masa hidup tertentu, menyebabkan perubahan secara morfologis termasuk perubahan pada inti sel. Kemudian sel akan terfragmentasi menjadi badan apoptosis, selanjutnya fragmen tersebut diabsorpsi sehingga sel yang mati menghilang. Kematian sel terprogram di mulai selama embriogenesis dan terus berlanjut sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan apoptosis meliputi isyarat hormon, rangsangan antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang mengidentifikasi sel yang menua atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan seringkali menyebabkan apoptosis, yang akhirnya yang mengakibatkan
17
kematian virus dan sel penjamu (host). Hal ini merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup untuk melawan infeksi virus. Virus tertentu (misalnya; Virus EpsteinBarr yang bertanggung jawab terhadap monunukleosis) pada gilirannya menghasilkan protein khusus yang menginaktifkan respons apoptosis. Defisiensi apoptosis telah berpengaruh pada perkembangan kanker dan penyakit neuro degeneratif dengan penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit Alzheimer dan sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis yang dirangsang-antigen dari sel imun (sel T dan sel B) sangat penting dalam menimbulkan dan mempertahankan toleransi diri imun (Elizabeth J. Corwin, 2009). Apoptosis ditimbulkan lewat serangkaian kejadian molekuler yang berawal dengan berbagai cara yang berbeda tapi pada akhirnya berpuncak pada aktivasi enzim kaspase. Mekanisme apoptosis secara filogenetik dilestarikan; bahkan pemahaman dasar kita tentang apoptosis sebagian besar berasal dari eksperimen cacing nematoda Caenorhabditis elegans; pertumbuhan cacing ini berlangsung melalui pola pertumbuhan sel yang sangat mudah direproduksi, diikuti oleh kematian sel. Penelitian terhadap cacing mutan menemukan adanya gen spesifik (dinamakan gen ced singkatan dari C. elegans death; gen ini memiliki homolog pada manusia) yang menginisiasi atau menghambat apoptosis. Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi aktif) dan fase eksekusi, ketika enzim mengakibatkan kematian sel. Inisiasi apoptosis terjadi melalui dua jalur yang berbeda tetapi nantinya akan menyatu (konvergen), yaitu: jalur ekstrinsik atau, yang dimulai dari reseptor, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria (Mitchell; Kumar; Abbas & Fausto, 2007).
18
2.7
Radikal Bebas Radikal bebas merupakan atom atau gugus atom yang memiliki satu atau
lebih elekrtron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas dapat merusak komponen-komponen sel. Radikal bebas memiliki kontribusi terhadap beragam jenis penyakit, seperti kanker, penyakit degeneratif, dan jantung koroner (Southorn dan Powis 1988, Winarsi, 2007). Radikal bebas memiliki reaktivitas yang tinggi, hal ini ditunjukkan dengan sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Makhluk hidup sangat rentan terhadap radikal bebas, radikal bebas dapat terbentuk secara alami sebagai respons normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel (endogen). Radikal bebas juga dapat terbentuk dari pengaruh eksternal, seperti radiasi ionisasi (eksogen) contohnya polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit (Winarsi, 2007). Radikal bebas di dalam tubuh dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen dan eksogen. Secara endogen atau alamiah, radikal bebas terbentuk sebagai akibat dari berbagai proses biokimiawi dalam tubuh, berupa hasil samping proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung ketika bernapas, metabolisme sel, olahraga yang berlebihan, dan peradangan. Secara eksogen, radikal bebas terjadi ketika tubuh terpapar polusi lingkungan, seperti asap kendaraan, asap rokok, bahan pencemar, dan radiasi matahari (Winarsi, 2007; Putra, 2008). Radikal bebas merupakan penyebab berbagai keadaan patologis, seperti penyakit hati, jantung koroner, kanker, diabetes, katarak, penyakit hati dan berbagai proses penuaan dini. Contoh radikal bebas adalah superoksida (O2), hidroksilOH), nitroksida (NO), hidrogen peroksida hipoklorit (HOCI), dan lain-lain.
19
Derajat kekuatan setiap radikal bebas berbeda, senyawa paling berbahaya adalah radikal hidroksil (OH-) karena memiliki reaktivitas paling tinggi (Putra, 2008). Radikal bebas dibentuk melalui tiga tahapan reaksi sebagai berikut (Winarsi, 2007): a. Tahap insiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas. b. Tahap propagansi, yaitu pemanjangan rantai radikal bebas. c.Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkapan radikal, sehingga propagansinya rendah. Dalam tubuh terdapat empat target kelompok biomakromolekul yang menyusun sel, yaitu protein,asam nukleat, lemak,dan polisakarida. Biomakromolekul tersebut secara individu maupun kelompok mendukung fungsi biologis, jika terjadi kerusakan pada salah satunya akan menganggu organ lainnya (Winarsi, 2007). Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh, lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh. Serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai, kemudian menghasilkan senyawa radikal baru. Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas bermacam-macam, mulai dari kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif, (Winarsi, 2007). Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat mengakibatkan berbagai kerusakan antara lain pada asam lemak tak jenuh ganda dapat merusak membran sel. Akibatnya dinding sel menjadi rapuh. Radikal bebas pada bagian dalam pembuluh darah dapat dirusak sehingga meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis. Senyawa radikal bebas berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika, dan berlanjut pada pembentukan
20
sel kanker. Pada jaringan lipid oleh radikal bebas akan dirusak sehingga terbentuk peroksida yang memicu munculnya penyakit degeneratif (Winarsi, 2007). Sasaran radikal bebas dan akibat yang ditimbulkan (Winarsi, 2007): 1. Merusak
asam
lemak
tak
jenuh
ganda
pada
membran
sel,
sehingga menyebabkan dinding sel menjadi rapuh. 2. Merusakbagian dalam pembuluh darah, sehingga meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis. 3. Merusak basa DNA sehingga mengganggu sistem informasi genetika dan mengakibatnya pembentukan sel kanker. Pada kondisi tertentu senyawa oksigen reaktif diperlukan untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan yang melengkapi kekebalan dalam tubuh. Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat melalui tiga cara berikut (Winarsi, 2007): 1. Mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas baru. 2. Menginaktivasi atau menangkap radikal dan memotong propagasi (pemutusan rantai). 3. Memperbaiki (repair) kerusakan oleh radikal bebas. Stres oksidatif, yang diinduksi oleh radikal, diketahui sebagai salah satu faktor penyebab penyakit degeneratif. Tubuh tidak memiliki sistem pertahanan antioksidatif yang berlebihan, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih, maka tubuh memerlukan antioksidan eksogen. 2.8
Antioksidan Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen reaktif (Lautan,1997). Penggunaan senyawa antioksidan juga anti radikal saat
21
ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arteriosclerosis, kanker, serta gejala penuaan. Masalah-masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu pencetus penyakit-penyakit di atas (Tahir dkk., 2003). Fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan
dalam
makanan,
memperpanjang
masa
pemakaian
dalam
industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan (Hernani dan Raharjo, 2005). Antioksidan tidak hanya digunakan dalam industri farmasi, tetapi juga digunakan secara luas dalam industri makanan, industri petroleum, industri karet dan sebagainya (Tahir, dkk., 2003). Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkan (Sofia, 2006). Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan non enzimatis, keduanya bekerja sama memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stresoksidatif dapat dihambat oleh kerja enzimenzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non-enzimatik (Winarsi, 2007). Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam (Suhartono, 2002). Berdasarkan sumber perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik) (Dalimartha dan
22
Soedibyo, 1999). Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan (Rohdiana, 2001; Sunarni, 2005). Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidae lipid pada makanan. Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun terakhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya (Sunarni, 2005). Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten dan asam askorbat (vitamin C) yang banyak didapatkan dari tanaman dan hewan (Sofia, 2006). Kekurangan salah satu komponen tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan status antioksidan secara menyeluruh dan berakibat perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas melemah, sehingga terjadilah berbagai macam penyakit. Pemeriksaan status antioksidan tubuh sekarang menjadi suatu piranti diagnostik yang penting. Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui pengukuran yaitu Status
Antioksidan
total,
Superoksida
Dismutase
dan
Peroksidase sekaligus untuk memeriksa status selenium (Wijaya, 1997).
Glutation
23
Antioksidan akan menghentikan reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh bergantung pada jenis antioksidannya. Kelompok antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi menjadi tiga, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan antioksidan tersier. Mekanisme kerja antioksidan berdasarkan kelompoknya : 1.
Antioksidan primer yang disebut juga antioksidan enzimatis, meliputi
enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase (GSH-Px) dan protein pengikat logam. Mekanisme kerja antioksidan primer adalah menghambat radikal bebas dengan cara memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal bebas pembentukan radikal bebas baru dengan cara mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang kurang mempunyai dampak negatif sehingga memutus reaksi berantai (polimerisasi) dan mengubah senyawa radikal menjadi lebih stabil. Kelompok antioksidan ini disebut chain-breakingantioxydant (Winarsi, 2007). 2.
Antioksidan
sekunder
disebut
juga
antioksidan
non
enzimatis, banyak terdapat sebagai komponen nutrisi sayuran dan buah-buahan. Mekanisme kerja antioksidan sekunder adalah dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya, sehingga radikal bebas tidak bereaksi dengan komponen sel (Winarsi, 2007). 3. Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA repair dan metionin sulfoksidase reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekul yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007).