8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Deskripsi Itik Rambon Itik telah dibudidayakan dan dikembangkan masyarakat secara luas dengan bangsa serta jenis yang beragam. Setiap bangsa dan jenis itik memiliki bentuk, ukuran tubuh, warna bulu, dan sifat-sifat khas lain yang berbeda satu sama lain. Namun, pada hakikatnya bangsa itik digolongkan menjadi empat, yaitu itik petelur, pedaging, petelur dan pedaging (dwiguna) serta itik hias (Cahyono, 2011). Menurut sejarah pustaka, nenek moyang itik berasal dari Amerika Utara yang merupakan itik liar (Anas moscha) atau Wild mallaard. Selanjutnya, itik liar ini dijinakkan oleh manusia hingga menjadi itik yang dipelihara sekarang yang disebut Anas domesticus (Suharno, 2001). Sejak zaman kerajaan, ternak itik sudah dikenal dalam dunia perdagangan sebagai salah satu komoditi pertanian untuk memenuhi kebutuhan daging dan telur di Indonesia. Buktinya adalah prasasti Sangsang 907 Masehi, prasasti Puncangan, dan prasasti Prameshvara Pura 1275 yang menerangkan bahwa itik termasuk dalam komoditi pertanian bebas pajak, perizinan pemeliharaan anjing dan itik, dan penggunaan itik sebagai sesajen (Wahyuningsih, 2012). Itik Rambon tidak diketahui jelas asal-usul persilangan awalnya. Namun, itik ini telah banyak berkembang di daerah sekitar Kabupaten Cirebon seperti Indramayu dan Majalengka. Itik ini merupakan unggas penghasil telur terbesar di
9 wilayah Kabupaten Cirebon. Itik Rambon menjadi idola para peternak dibandingkan dengan itik lain karena telah mengalami proses adaptasi dan aklimatisasi yang sangat lama. Produksi telurnya cukup tinggi yaitu antara 250300 butir per ekor per tahun (Lusiana, 2013). Peternakan di wilayah Cirebon menjadi salah satu potensi pertanian penting dalam mendukung dan atau menopang ekonomi pedesaan, kebutuhan pangan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi pengangguran dan sekaligus menjadi devisa daerah yang cukup tinggi. Populasinya yang tinggi dan berada menyebar di pedesaan sepanjang wilayah pantai karena didukung oleh produk hasil ikutan yang tinggi seperti kepala ikan jambal, tenggiri, tongkol, belanak, cakalan, cucut, cangkang rajungan, remis, hingga ikan yang kurang diminati konsumen seperti petek, pirik, kuniran, tanjan. Potensi tersebut menjadi daya dukung yang tidak dimiliki wilayah lain (Lusiana, 2013). Itik Rambon memiliki bentuk tubuh langsing. Tingginya 45-50 cm dan langkahnya tegap. Jika dilihat dari arah kepala, leher, punggung, dan terus ke belakang, bentuk tubuhnya menyerupai botol dengan kepala kecil, mata terang, serta lehernya kecil bulat. Itik ini memiliki postur tubuh mirip itik Tegal dan banyak dianggap orang sebagai itik Tegal. Perbedaan utama itik Rambon dengan itik Tegal terdapat pada bulu. Itik Rambon memiliki ciri khusus yaitu pada umur 4-6 bulan memiliki bulu sayap warna putih (Wakhid, 2012). Itik Rambon jantan memiliki bobot rata-rata 1,4 kg, sedangkan yang betina 1,2 kg. Pada itik pejantan terdapat 2-3 helai bulu ekor yang mencuat keatas,
10 dinamakan bulu lancur. Sementara pada betina tidak ada. Ciri lain pejantan Rambon adalah bulunya kebanyakan berwarna coklat mengkilap dengan bulu di leher dan di kepala berwarna hitam. Paruhnya berwarna hitam panjang. Jika berdiri membentuk sudut 600 dengan bobot tubuh dewasa sekitar 2 kg (Wakhid, 2012). Itik Rambon mencapai dewasa kelamin pada umur 140 hari. Mulai bertelur pada umur 154 hari (22 minggu) dengan masa produktif selama 10 bulan per tahun. Setelah itu itik mengalami masa rontok bulu (molting) selama 2 bulan dan tidak menghasilkan telur. Produksi telur itik Rambon mencapai 256-260 butir per ekor per tahun. Bobot telurnya mencapai 65-70 gram per butir. Pada musim hujan, produktivitas itik dalam bertelur menurun hingga 40% (Wakhid, 2012). Produktivitas telur itik Rambon termasuk baik. Hal ini didasarkan kepada data hasil penelitian sebagai berikut : umur awal berproduksi relatif cepat (169 hari atau 24 minggu), bobot telur yang tinggi (rataan 65,04 g ± 2,19) dan produksi telur yang tinggi (74,60 persen ± 4,98) (Sujana dkk., 2013). Bobot dan ukuran telur itik rata-rata lebih besar dibandingkan telur ayam. Warna kulit telurnya agak biru muda terutama pada itik Jawa seperti yang terdapat di Karawang, Tegal, Cirebon, Magelang, dan Mojosari (Sarwono, 1996)
11 Tabel 1. Perbandingan Komposisi Rata-Rata Telur Itik Dibandingkan dengan Unggas Lainnya Kadar air Protein Lemak Abu Jenis Telur Kalori (kkal) (%) (%) (%) (%) Itik : Bagian Edible 70,5 13,3 14,5 1,0 835 Putih Telur 87,0 11,1 0,03 0,8 203 Kuning Telur 45,8 16,8 36,2 1,2 1.683 Ayam : Bagian Edible 73,7 13,0 10,5 1,0 672 Putih Telur 86,2 12,3 0,2 0,6 231 Kuning Telur 49,5 15,7 33,3 1,1 1.643 Angsa : Bagian Edible 69,5 13,8 14,4 1,0 829 Putih Telur 86,3 11,6 0,02 0,8 211 Kuning Telur 44,1 17,3 36,2 1,3 1.793 Sumber : USDA Kandungan gizi telur itik hampir sama nilainya dengan telur ayam. Bedanya, telur itik mudah menyerap air dan dilekati kotoran. Terlebih jika telur tersebut diletakan di tempat yang lembab dan banyak kotoran sekelilingnya. (Sarwono, 1996). Menurut Suharno (2001), jika dibandingkan dengan unggas jenis lainnya, itik mempunyai keunggulan sebagai berikut :
Mampu mempertahankan produksi telur lebih lama dibandingkan ayam.
Bila dipelihara dengan sistem pengelolaan yang sederhana sekali pun, itik masih mampu berproduksi dengan baik.
Tingkat kematian (mortalitas) itik umumnya kecil.
Itik lebih tahan terhadap penyakit.
12
Itik selalu bertelur di pagi hari. Dengan demikian, kegiatan pengambilan
telur hanya dilakukan sekali sehari, sehingga peternak bisa melakukan kegiatan lainnya.
Dengan pakan berkualitas rendah, itik masih dapat berproduksi.
2.2. Kualitas Telur Menurut Sudaryani (2006) faktor yang mempengaruhi kualitas telur adalah sebagai berikut :
Kelas, strain, dan famili individu
Kandungan zat gizi pakan
Penyakit
Umur induk
Suhu lingkungan Pada suhu 500 -600F, kelembaban berkisar antara 70%, sedangkan pada
suhu 600-700 F, kelembaban berkisar antara 80% (Benjamin dkk, 1960). Menurut Suharno (2001), beberapa kriteria yang perlu dipenuhi oleh induk itik penghasil telur tetas adalah sebagai berikut :
Umur induk berkisar antara 1-2 tahun.
Tidak menggunakan induk yang berumur muda terlebih yang baru bertelur
(umur 6 bulan) karena biasanya tidak dapat ditetaskan secara sempurna, mutunya kurang baik, dan mudah terserang penyakit.
13
Jangan menggunakan unduk yang berumur terlalu tua, yaitu yang berusia
lebih dari 3,5 tahun karena induk yang tua biasanya menghasilkan telur dengan kerabang yang tebal sehingga tingkat kegagalan penetasannya tinggi.
Jangan menggunakan telur tetas dari induk yang baru pulih dari masa
rontok bulu (molting) karena kuning telurnya kecil sehingga anak itik yang dihasilkan kondisinya lemah dan kerdil.
Telur tetas yang digunakan adalah telur tetas yang dihasilkan pada saat
hampir seluruh itik sedang bertelur (produksi puncak). Sama seperti pendapat Sudaryani (2006) bahwa pakan merupakan faktor penentu kualitas telur. Peternak harus mengetahui kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan itik agar produktivitas itik dapat meningkat secara optimal. Wakhid (2012) menyatakan bahwa kebutuhan zat gizi itik petelur pada masing-masing periode pemeliharaan sangat berbeda seperti yang dipaparkan tabel dibawah ini.
14 Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Pakan Itik Petelur pada Berbagai Umur Pemeliharaan Uraian
Umur (minggu)
Pakan per ekor per Hari
Kebutuhan Protein (%)
Energi (kkal/kg)
C (%)
P(%)
DOD-1
15
18
2.900
0,65-1
0,63
1-2
41
18
2.900
0,65-1
0,63
2-3
67
18
2.900
0,65-1
0,63
3-4
93
18
2.900
0,65-1
0,63
4-5
108
18
2.900
0,65-1
0,63
5-6
115
18
2.900
0,65-1
0,63
6-7
115
18
2.900
0,65-1
0,63
7-8
120
18
2.900
0,65-1
0,63
Anak itik
(Total)
4,72 kg per ekor per pemeliharaan (selama 2 bulan) 8-9
130
22
2.900
0,60-1
0,62
9-15
145
14
2.900
0,60-1
0,60
15-20
150
14
2.900
0,60-1
0,60
Dara (Grower)
12,25 kg per ekor per pemeliharaan periode grower (selama 3 bulan)
(Total) Dewasa
>20
160-180
15-18
2.700
2,75-3,05
0,60
Sumber : Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor Kebersihan merupakan prioritas utama untuk menjaga kualitas telur itik agar selalu dalam kondisi yang baik. Menjaga kulit telur bibit agar tetap selalu bersih adalah cara perawatan yang paling tepat. Salah satu caranya adalah dengan membersihkan dan mengatur sarang telur pada posisi yang sebaik-baiknya. Bila masih terdapat telur bibit yang terkena kotoran yang menempel sebaiknya dikerik dengan menggunakan silet atau pisau tajam. Pengerikan harus dilakukan dengan
15 hati-hati pada saat kotoran yang akan dikerik sudah kering benar. (Sarwono, 1996). Telur bibit yang kulit luarnya masih kotor dapat juga ditetaskan, asalkan kotoran-kotoran yang menempel belum terlalu lama melekat dan cepat-cepat dibersihkan. Kulit telur yang kotor bila dicuci akan mengakibatkan selaput lendir larut. Sisa lendir, cairan, dan kotoran akan menutupi lubang pori-pori. Dalam campuran semacam ini akan berkembang biak bakteri-bakteri dan kuman-kuman perusak yang akan masuk kedalam rongga telur, selanjutnya akan merusak isi telur. Untuk itu, pencucian kulit yang terkena kotoran harus dilakukan dengan hati-hati dan harus dijaga jangan sampai pori-pori kulit yang bentuknya seperti corong akan tertutup permukaannya oleh butir-butir kotoran yang lembut (Sarwono, 1996). Lapisan kutikula merupakan lapisan paling luar yang menyelubungi seluruh permukaan telur. Lapisan kutikula tipis sekali. Pada telur itik tebal lapisan ini berksar antara 3-10 mikron (satu mikron = 0,001 mm). Bahan atau zat yang membentuk lapisan ini adalah protein yang disebut musin. Lapisan kutikula yang melapisi permukaan telur ini tidak mempunyai pori-pori yang terbuka. Namun demikian, lapisan ini dapat dilalui gas. Oleh karena itu, uap air dan CO 2 masih dapat keluar dari isi telur (Sarwono, 1996). Perubahan kualitas telur akan menyebabkan telur rusak. Kerusakan yang timbul dapat berupa kerusakan fisik, kimiawi, dan mikrobiologi. Kerusakan fisik yaitu pecah dan retak. Kerusakan kimiawi berupa keluarnya uap air dari dalam
16 telur sehingga menyebabkan penurunan bobot telur, haugh unit, dan specific gravity.
Sedangkan
kerusakan
mikrobiologi
diakibatkan
oleh
serangan
mikroorganisme yang masuk melalui pori-pori telur. Mikroorganisme yang dapat mengontaminasi telur dapat berasal dari kotoran ternak, debu, wadah penyimpanan telur, manusia dan hewan lain yang terkontaminasi mikroba dapat menyebabkan kebusukan telur.
2.3. Parameter Karakteristik Telur Tetas Telur tetas yang dihasilkan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut merupakan akumulasi dari faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas telur tetas. Untuk mengidentifikasi bagaimana karakteristik telur tetas diperlukan parameter tertentu diantaranya bobot telur, bentuk telur dilihat dari shape index, specific gravity, dan kedalaman rongga udara. 2.3.1. Bobot Telur Telur merupakan bahan makanan yang mengandung banyak gizi penting terutama protein. Terdapat 3 komponen utama penyusun telur yaitu putih telur, kuning telur, dan kerabang. Bobot telur total merupakan manifestasi dari 3 komponen utama penyusun telur tersebut. North (1978) menyatakan bobot telur dipengaruhi oleh besar kuning telur, semakin besar kuning telur semakin besar pula bobot telurnya. Anggorodi (1994) menyatakan bahwa bobot telur dipengaruhi selain oleh faktor pakan juga dipengaruhi oleh faktor genetik, tingkat dewasa kelamin dan obat-obatan.
17 Sedangkan faktor terpenting dalam pakan yang mempengaruhi bobot telur adalah protein dan asam amino yang cukup, karena kurang lebih 50% dari bahan kering telur adalah protein maka penyediaan asam amino untuk sintesis protein adalah penting untuk produksi telur. Irwan (1995) menyatakan bahwa perbedaan bobot telur memberikan perbedaan pertumbuhan embrio, baik dalam hal jumlah sel maupun ukurannya. Bobot telur yang menetas dan bobot anak itik pada waktu menetas sangat bervariasi. Bobot telur merupakan faktor terpenting dalam menentukan bobot tetas dan antara bobot telur dengan bobot tetas terdapat hubungan yang positif, ini berarti semakin besar bobot telur maka semakin besar pula bobot tetasnya (Nurcahyani, 1986). 2.3.2. Bentuk Telur (Shape Index) Bentuk telur yang baik adalah proporsional, tidak berbenjol-benjol, tidak terlalu lonjong, dan juga tidak terlalu bulat (Sudaryani, 1996). Kualitas telur bagian luar mudah diketahui secara visual dengan melihat kebersihan kulitnya. Bentuk, tekstur, dan keutuhan kulit telur pada umumnya dipengaruhi oleh umur ternak. Semakin tua umur ternak, kinerja kelenjar-kelenjar hormonnya semakin tidak sempurna. Akibatnya, telur yang diproduksi akan memiliki kulit yang tipis dan mudah retak atau pecah. Hal yang sama juga dapat terjadi bila suhu lingkungan kandang terlalu tinggi sehingga ternak terlalu banyak minum (Sarwono, 1996).
18 Faktor-faktor yang berperan dalam memberikan bentuk telur menurut Jull (1977) adalah :
Jumlah putih telur yang disekresikan dalam oviduct.
Ukuran lumen pada isthmus.
Aktivasi, kekuatan otot dinding isthmus dan bagian lain yang dilalui telur.
Kemungkinan terjadi perubahan kondisi uterus.
Tingkat produktivitas telur. Menurut Jull (1977) shape index ditentukan oleh sekresi putih telur dalam
magnum serta ukuran relatif magnum dan isthmus. Kelainan bentuk telur yang sering terjadi disebabkan karena kondisi abnormal pada isthmus atau uterus, sedangkan menurut Card (1973) shape index lebih banyak ditentukan ketika telurtelur tersebut berada di dalam isthmus. Selanjutnya, Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa shape index dapat ditunjukkan dengan perbandingan antara panjang dan lebar telur. Percobaan yang dilakukannya menghasilkan rumus dasar indeks yang terkait pada dua diameter telur tersebut. Sependapat dengan Jull dan Hayes (1925), Sharma (1970) menyatakan bahwa shape index didefinisikan sebagai perbandingan nilai antara lebar dengan panjang telur kemudian dikalikan seratus. Menurut Suharno (2009) bentuk telur berhubungan erat dengan usia itik yang memproduksinya. Itik usia muda kebanyakan menghasilkan telur berbentuk lonjong, sedangkan itik tua menghasilkan telur yang cenderung lebih bulat. Telur
19 yang berbentuk oval sempurna biasanya dihasilkan oleh itik yang berusia produktif. 2.3.3. Specific Gravity Nilai specific gravity merupakan nilai perbandingan antara berat jenis suatu zat dengan berat jenis air pada suhu standar (Yuwanta, 1997). Pengukuran specific gravity dilakukan dengan merendam telur dalam air garam berkonsentrasi 10%. Telur segar yang masih baru akan langsung tenggelam ke dasar wadah. Apabila telur sudah tersimpan lama, bagian tumpul akan terangkat keatas karena ruang udara membesar dan banyak penguapan air serat gas CO2 dari dalam telur. (Sarwono, 1996). Telur segar yang telah disimpan lebih dari 14 hari di ruang suhu kamar, jika dimasukkan kedalam air garam akan segera muncul ke permukaan air dalam kedudukan berdiri. Hal ini disebabkan telur sudah berkurang berat jenisnya. (Sarwono, 1996). 2.3.4. Kedalaman Rongga Udara Menurut Sarwono (1996) telur segar adalah telur yang baru dikeluarkan induk unggas diatas sarangnya. Telur segar mempunyai daya simpan yang pendek. Tanda-tanda telur segar yang masih baru adalah kulit telurnya mulus, kuning telurnya berada di tengah-tengah dan tidak bergerak bebas, serta rongga udaranya kecil. Telur yang baru keluar dari tubuh induknya belum terdapat ruang udara. Akan tetapi, dalam waktu singkat ruang udara tersebut akan membesar sekitar 3
20 mm dan akan bertambah besar lagi jika telur diletakkan di tempat yang hangat dan kering. Semakin besar ruang udaranya, semakin bertambah rendah mutu telurnya (Sarwono, 1996). Pengukuran rongga udara
merupakan salah satu metode untuk
mengidentifikasi karakteristik telur. Untuk mengukur rongga udara secara sederhana dapat menggunakan cermin atau teropong cahaya (senter). Rongga udara dipengaruhi oleh temperatur penyimpanan, kelembaban, dan pendinginan sampai 100 C serta perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2010).
2.4. Pemeliharaan Minim Air Di era modern saat ini perubahan alih fungsi tanah, dari areal persawahan berubah menjadi areal pemukiman, daerah industri, atau fungsi lainnya manjadi sebab sistem tradisional semakin berkurang. Kemudian munculah sistem intensif yang tidak memerlukan areal panen untuk menghidupi sekelompok itik. Semakin hari dapat diketahui kelemahan dari sistem tradisional yang digembalakan. Hal yang mendasar adalah produktivitas telur pada sistem tradisional ini yang lebih sedikit. Berdasarkan beberapa data, produktivitas dari sistem tradisional dengan cara digembalakan adalah 80-100 butir per tahunnya. Adapun jika dengan cara intensif maka produksi dapat ditingkatkan menjadi 250-300 butir per tahunnya. Pemeliharaan itik intensif sama sekali tidak mengenal kata digembalakan, dan memfokuskan pada pemeliharaan itik sistem terkurung. Itik sehari-harinya berada didalam kandang, tidak dikeluarkan sama sekali (Wahyuningsih, 2003).
21 Beternak itik tanpa air merupakan pemeliharaan itik dengan cara dikandangkan. Itik tidak lagi digembalakan untuk mencari makan sendiri, tetapi tetap di kandang. Pakan dan minum disediakan di kandang. Dalam kandang tidak diberi air untuk berenang agar itik hanya memanfaatkan energinya untuk produksi telur (Windhyarti, 2007). Produksi telur itik yang dipelihara dengan cara digembalakan rata-rata 130 butir/ekor/tahun. Adapun dalam pemeliharaan sistem intensif, produksi telurnya bisa mencapai 200-250 butir/ekor/tahun. Dengan kata lain,
itik yang
dikandangkan mampu menghasilkan telur yang lebih stabil dan lebih bermutu daripada itik yang digembalakan (Windharti, 2007). Sistem beternak secara intensif pada peternakan itik diarahkan untuk mencapai produktivitas yang optimal sesuai dengan tujuan pemeliharaan itik. Pada sistem ini semua kebutuhan itik diatur dengan cermat (air, pakan, vitamin, vaksinasi, dan obat-obatan). Di dalam sistem pemeliharaan intensif, itik dipelihara dalam kandang hingga akhir pemeliharaan (Wakhid, 2012). Dalam pemeliharaan itik secara intensif, segalanya harus diatur dan dilakukan dengan baik, mulai dari perkandangan, pakan, tatalaksana pemeliharaan sampai dengan pencegahan penyakit atau program kesehatan. Guna mendapatkan produksi yang baik salah satu syaratnya ternak harus sehat. Oleh karena itu sudah menjadi suatu kewajiban peternak untuk menjaga ternaknya dari serangan penyakit. Karena penyakit adalah salah satu wabah yang banyak merugikan dalam usaha peternakan untuk mencapai keuntungan yang optimal.
22 Kandang untuk pemeliharaan itik yang intensif harus cukup memberikan kenyamanan dan keamanan. Lokasi kandang harus di tempat yang relatif sepi dan jauh dari lalu lintas. Model kandang juga harus mampu melindungi ternak dari gangguan cuaca (hujan, angin, danterik sinar matahari). Selain itu, kandang yang baik harus terhindar kontak langsung antara ternak dengan pemeliharanya (Tim Karya Tani Mandiri, 2013).