12
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Itik Cihateup Itik merupakan salah satu jenis unggasi air yang memiliki peran penting
sebagai penghasil telur dan daging. Itik lokal Indonesia merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang memiliki mutu genetik dan berpotensi sebagai penghasil telur yang produktif. Itik lokal memiliki nama yang disesuaikan dengan nama daerah tempat itik tersebut dikembangkan, salah satunya adalah itik Cihateup. Taksonomi itik diklasifikasikan sebagai berikut : Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Super ordo
: Carinatae
Ordo
: Anseriformes
Famili
: Anatidae
Genus
: Anas
Spesies
: Anas plathyrhyncos (Scanes dkk, 2004).
Itik Cihateup merupakan jenis itik lokal Indonesia yang berasal dari Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Itik Cihateup dijadikan sebagai penghasil telur yang unggul dengan produktivitasnya sangat tinggi, selain itu dapat dijadikan sebagai komoditas penghasil daging yang baik. Warna bulu bagian leher itik Cihateup jantan didominasi warna penciled dan ekor warna polos, sedangkan paruh dan shank didominasi warna hitam. Pada itik betina warna bulu bagian leher, dada, shank dan ekor sedikit berbeda dengan jantan yakni warna laced dan
13
buttercup, sementara pada shank dan paruh tetap didominasi warna hitam (Kementan, 2014; Wulandari dkk,2005) . Itik Cihateup mempunyai kapasitas produksi telur dapat mencapai 200 butir/ekor/tahun dengan lama produksi 12 ± 3 bulan dan produksi karkas pada umur potong delapan minggu sekitar 970-1.323 gram/ekor (Matittaputty dan Suryana, 2014).
2.2
Pemeliharaan Itik Intensif Secara umum pemeliharaan itik terbagi menjadi tiga sistem pemeliharaan.
Pertama adalah sistem pemeliharaan tradisional (gembala) yaitu pemeliharaan itik dengan cara menggembalakan itik ke sumber-sumber pakan dan sawah. Kedua, sistem pemeliharaan semi intensif yaitu pemeliharaan itik dalam kandang dengan tetap memperhatikan naluri itik yang menyukai air. Dalam sistem ini itik diberikan kesempatan bermain, beristirahat dan berenang di dalam kubangan yang telah disediakan di dalam dan sekitar kandang sehingga itik seperti hidup di alam bebas. Ketiga, sistem pemeliharaan intensif yaitu sistem pemeliharaan tanpa kubangan atau kandang baterai. Pada sistem ini itik dipelihara dalam kandang baterai seperti pada ayam rasa petelur, namun sistem ini masih belum banyak diterapkan oleh para peternak (Sarworini, 2002). Sistem pemeliharaan intensif memiliki berbagai keuntungan, terutama dalam mengoptimalkan produksi telur. Hal ini dikarenakan itik yang dipelihara secara intensif akan diberikan kualitas pakan yang bermutu, penggunaan bibit unggul dan kontrol terhadap kesehatan ternak yang lebih efektif (Sipora dkk, 2009; Yuwono dkk, 2012). Kemampuan produksi itik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas bibit, umur ternak, kondisi lingkungan dan kualitas pakan (Prasetyo
14
dan Ketaren, 2005). Pemeliharaan itik secara intensif juga dapat meningkatkan prioduktivitas telur, karena pada pemeliharaan ekstensif itik hanya memanfaatkan makanan yang mereka temui di alam dimana kualitasnya pun bergantung pada kesuburan dan sumber daya yang ada. Pada pemeliharaan intensif pakan yang diberikan sudah disesuaikan dengan kebutuhan itik dan kualitas yang baik sehingga produktivitas
menjadi
lebih
optimal.
Pemeliharaan
intensif
juga
memiliki
kekurangan berkaitan dengan kenyamanan ternak (animal welfare) dimana itik tidak dapat hidup secara alami, tidak dapat berkeliaran, tidak dapat makan dan berenang secara bebas. Kondisi ini dapat mengganggu fisiologi dan metabolisme tubuh itik (Ismoyowati dan Suswoyo, 2011).
2.3
Respons Fisiologis Itik pada Temperature Lingkungan Tinggi Itik Cihateup tergolong hewan homeothermic (berdarah panas) dengan ciri
spesifik tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya tertutup bulu.
Kondisi biologis seperti ini menyebabkan ternak unggas dalam
kondisi panas mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh itik. Akibatnya, ternak unggas yang dipelihara di daerah tropis rentan terhadap bahaya stres panas dan mengalami peningkatan metabolisme basal. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernapasan merupakan gambaran dari aktivitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Apabila terjadi stres, maka zona homeostasis ini akan terganggu dan tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Thermo-neutral zone untuk unggas yaitu antara 18 sampai 25 o C dan untuk itik lokal yaitu 23 sampai 25 o C (Sulistyoningsih, 2004; Tamzil, 2014; ElBadry dkk., 2009).
15
Peningkatan suhu lingkungan direspons oleh tubuh melalui suatu proses termoregulasi yang kompleks agar suhu tubuh dapat dipertahankan atau mendekati keadaan normal yang dikenal dengan istilah homeostasis (Bouchama dan Knochel, 2002; Sulistyoningsih, 2004). Setidaknya ada 3 jenis jaringan yang sangat terpengaruh dan saling berinteraksi sebagai respons adanya cekaman panas, yaitu hipotalamus, hipofisa, dan adrenal. Ketiga jenis jaringan tersebut berada dalam satu sistem yang akan menginduksi aktivasi endokrin, sistem imun, dan sistem saraf pusat. Keterkaitan ketiga jaringan tersebut pada suatu sistem biasa disebut dengan jalur
hipotalamushipofisa-adrenal
atau
biasa
disingkat
dengan
jalur
HPA
(hipothalamus-pituitaryadrenal-axis) (Hillman dkk. 2000; Borrel 2001). Keterlibatan berbagai jenis jaringan tersebut pada hewan yang mengalami cekaman panas merupakan bentuk homeostasis pengaturan suhu tubuh agar dapat bertahan hidup (Wiernusz dan Teeter, 1996). Berbagai respons cekaman tersebut adalah bagian normal aktivitas tubuh sebagai strategi terhadap perubahan keadaan lingkungannya. Telah diketahui bahwa kelenjar adrenal merupakan kunci utama reaksi hormon akibat cekaman panas. Adanya triger cekaman panas, sekresi glukokortikoid meningkat dalam darah dan peningkatan ini merupakan mekanisme endokrin terdepan pada hewan dalam mempertahankan keadaan bila ada cekaman (Downing dan Bryden, 2002; Mostl dan Palme, 2002). Tahap awal respons tubuh terhadap cekaman adalah pembentukan CRH (corticotropin releasing hormone = CRH) dan CRH akan menstimulasi pembentukan ACTH (adrenocorticotropic hormone) pada hipofisa dan ACTH ini menginduksi pembentukan
glukokortikoid
pada
kelenjar adrenal.
Pelepasan
glukokortikoid menimbulkan berbagai efek terhadap metabolisme normal tubuh,
16
seperti
gangguan
sistem
sekresi
hormon,
pertahanan
(imunitas)
tubuh,
pertumbuhan, dan aktivitas reproduksi.
Ilustrasi 1. Pengaruh Suhu Lingkungan Tinggi terhadap Aktivitas Hormonal (Guyton, 1983) Adanya stimulasi cekaman, baik dari dalam maupun luar tubuh akan menginduksi suatu seri reaksi kaskade pada sistem saraf dan endokrin, yang dimulai dengan
stimulasi hipotalamus
yang
menghasilkan
CRH.
Selanjutnya
CRH
menstimulasi hipofisa anterior untuk melepaskan ACTH, dan berakhir dengan stimulasi jaringan adrenal korteks oleh ACTH untuk meningkatkan produksi kortikosteroid.
Sekresi ACTH terjadi di bawah kontrol beberapa faktor
hipotalamushipofisiotropik
dan
glukokortikoid.
Glukokortikoid
menghambat
pelepasan ACTH sebagai bentuk umpan balik negatif (Siegel, 1995; Scanes, 2000).
17
Glukokortikoid berfungsi sebagai metabolisme perantara glukoneogenesis karena menambah produksi glukosa hati dengan cara meningkatkan kecepatan glukoneogenesis, melepas asam amino dan menyebabkan hormon lain untuk merangsang proses metabolik kunci, termasuk glukoneogenesis dengan efisiensi maksimal (Lukman, 2008).
Glukoneogenesis merupakan lintasan pembentukan
glukosa dari prekursor non karbohidrat yang akan berdampak terhadap terpakainya sebagian
kolesterol.
Peningkatan
glukoneogenesis
terjadi
kebutuhan energi bagi ternak dalam kondisi stres oksidatif.
untuk
memenuhi
Kondisi ini dapat
menyebabkan kerugian pada produksi telur, karena prekursor utama dalam vitellogenesis guna membentuk yolk adalah kolesterol (Mushawwir dan Latipudin, 2013).
2.4
Asam Urat Darah Asam urat adalah senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme
purin baik dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam deoksiribonukleat DNA ). Asam urat sebagian besar dieksresi melalui ginjal dan hanya sebagian kecil melalui saluran cerna (Syukri, 2007). Asam urat adalah produk akhir atau produk bunga yang dihasilkan dari metabolisme atau pemecahan purin.
Asam urat
merupakan senyawa alkaloida turunan purin (xanthine) yang terdiri dari carbon, nitrogen, oxygen dan hydrogen dengan formula C5 H4 N4 O3 .
Produk purin
dikonversi menjadi asam urat melalui xanthin dalam reaksi yang dikatalisis oleh xanthin oksidase. Kemudian xanthin teroksidasi menjadi asam urat dalam reaksi selanjutnya yang dikatalisis oleh enzim xanthin oksidase.
Senyawa ini berperan
sebagai antioksidan pada manusia dan hewan, tetapi jika jumlahnya berlebihan
18
dapat menjadi prooksidan dan saat mencapai kadar saturated akan mengalami pengkristalan dan menimbulkan gout (Lelyana, 2008; Yunarto, 2013).
Ilustrasi 2. Struktur Asam Urat Peristiwa peningkatan kadar asam urat tidak terlepas dari peran serta enzim xantin oxidase yang mampu mengubah asam urat melalui reaksi oksidasi. Xantin oksidase memiliki peranan penting dalam proses pembentukan asam urat dengan mengkatalisis berturut-turut hipoxantin menjadi xantin kemudian asam urat. Pada reaksi tersebut dihasilkan pula radikal superoksida yang bereaksi dengan air membentuk asam peroksida (Millar dkk, 2002; Hile, 2006). Medulla adrenal mensekresikan ephinefrin yang berfungsi sebagai second messenger bagi adenilat cyclase.
Adenilat cyclase mengkatalisis terbentuknya cAMP, selanjutnya cAMP
akan mengaktivasi protein kinase A.
Protein kinase A berperan dalam regulasi
enzim metabolisme dan transkripsi gen, salah satunya yaitu memicu glikogenolisis. Peningkatan cAMP yang dapat meningkatkan asam urat yang terbentuk, hal ini disebabkan karena peningkatan cAMP dapat meningkatkan sintesis AMP, AMP merupakan salah satu nukleotida purin, AMP selanjutnya dideaminasi menjadi inosin yang kemudian
dihidrolisis menghasilkan
hipoxantin
dan
D-ribosa,
hipoxantin menjadi xantin lalu asam urat oleh xantin oksidase. Stres yang pendek maupun berkepanjangan memicu laju sekresi epinefrin sehingga meningkatkan pengaktifan beberapa lintasan protein seperti cAMP dan cGMP. Lintasan ini akan
19
meningkatan residu basa purin.
Dalam kondisi yang bersamaan diketahui bahwa
cekaman panas menurunkan aktivitas enzim XOR, sehingga kondisi ini dapat dipastikan akan menghasilkan dampak terhadap peningkatan kadar asam urat dalam darah (Settle dkk, 2012; Jayani, 2012).
Ilustrasi 3. Pembentukan Asam Urat (Yunarto, 2012) Kadar asam urat berubah berdasarkan purin dan jumlahnya meningkat dalam darah. Selain itu, peningkatan konsentrasi asam urat juga dipengaruhi oleh temperature lingkungan (Koelkebeck dan Odom, 1995). Asam Urat dalam darah terdapat sekitar 4,86 mg/dL saat ayam bertelur (Favlík dkk., 2007). Kadar asam
20
urat pada itik manila berumur 9 minggu yang dipelihara pada suhu 32 – 35o C adalah 4,38 ± 0,51 mg/dL. Sedangkan itik yang dipelihara pada suhu 38 o C memiliki kadar asam urat 5,69 ± 0,51 mg/dL (El-Badry dkk., 2009).
2.5
Urea Darah Urea merupakan produk akhir dari metabolisme zat bernitrogen termasuk
protein yang berperan penting dalam metabolisme senyawa yang mengandung nitrogen.
Pada unggas, biosintersis urea berlangsung dalam 4 tahap, yaitu
Transaminase, deaminasi oksidatif glutama, transport ammonia dan reaksi siklus urea (Muray dkk, 2009). Urea dibentuk di dalam hati dari metabolisme protein (asam amino). Senyawa tersebut berasal dari penguraian protein yang berasal dari pakan.
Profil urea dalam tubuh berkaitan dengan protein (katabolisme protein).
Setelah protein diubah menjadi asam-asam amino, asam amino tersebut masuk ke dalam pembuluh darah melalui proses absorpsi melalui dinding usus (Poedjiadi, 1994).
Urea berasal dari makanan yang mengandung protein. Tinggi rendahnya
kadar urea dalam darah mencerminkan tinggi dan rendahnya protein dalam makanan atau ekspansi volume plasma darah. Profil urea dalam darah mampu menunjukkan keterkaitan yang erat untuk menerangkan pemanfaatan protein (asam-asam amino), antara lain untuk pembentukan glukosa (Husada, 2013; Guzik dkk., 2005; Dean dkk., 2006).
Ilustrasi 4. Struktur Urea (Anton, 2012)
21
Urea dibentuk didalam hati, dari katabolisme asam-asam amino dan merupakan produk ekskresi metabolisme protein yang utama. Konsentrasi urea dalam plasma darah terutama menggambarkan keseimbangan antara pembentukan urea dan katabolisme protein serta ekskresi urea oleh ginjal. Pembentukan urea terjadi di hati melalui siklus urea atau juga dikenal sebagai siklus ornithine dan siklus Krebs-Henseleit. Produksi urea diawali dengan sintesis karbamoilfosfat dari bikarbonat dan amonia. NH3 dilepaskan dari asam amino melalui reaksi transaminasi dan deaminasi. Pada reaksi transaminasi gugus -NH2 yang dilepaskan diterima oleh suatu asam keto, sehingga terbentuk asam amino baru dan asam keto lain, sedangkan pada reaksi deaminasi, gugun -NH2 dilepaskan dalam bentuk amonnia yang kemudian dikeluarkan dalam tubuh dalam bentuk urea (Poedjiadji, 1994). Bikarbonat diperoleh dari hidrasi karbon dioksida, dikatalis oleh karbonik anhidrase sedangkan amonia diperoleh dari darah portal atau dari produksi intramitochondrial amonia dari glutamine dan dikatalis oleh glutaminase.
Pembentukan karbamoilfosfat
memerlukan jumlah amonia
yang
signifikan, maka peran glutaminase dalam mitokondria adalah untuk meningkatkan konsentrasi amonia. Glutaminase diaktifkan oleh produk akhirnya yaitu amonia, menciptakan "nitrogen feed-forward activation" dan memungkinkan meningkatkan konsentrasi amonia ke tingkat yang diperlukan untuk sintesis urea (Dean dkk., 2006). Pembentukan
karbamoilfosfat
terjadi di
mitokondria,
dikatalisi
oleh
karbamoil fosfat sintetase I (CPS I). Reaksi ini membutuhkan magnesium adenin trifosfat (MgATP) dan melepaskan Mg2+, dengan N-acetylglutamate sebagai alosterik activator. CPS I adalah enzim pembatas dari siklus urea. Arginin
22
mengaktifkan produksi N-acetylglutamate dan dengan demikian memberikan kontrol tambahan atas produksi urea (Murray, 2009).
Ilustrasi 5. Siklus Urea (Hakim dan Wafi, 2016) Gugus karbamoilfosfat dipindahkan ke ornitin sehingga terbentuk sitrulin, reaksi ini dikatalisis oleh enzim ornitin transkarbamoilase yang terdapat di mitokondria. Sitrulin yang terbentuk kemudian meninggalkan mitokondria masuk ke dalam sitosol dengan proses difusi pasif, karena dalam sitosol inilah reaksi pembentukan urea berlangsung. Kemudian terjadi pengikatan sitrulin pada gugus amino dari aspartat dan memerlukan 1 molekul ATP yang kemudian dikatalisis oleh enzim argininosuksinat sintetase yang menghasilkan argininosuksinat, AMP + Ppi. Aspartat diperoleh dari oksaloasetat (siklus asam sitrat) dan nitrogen disumbangkan dari glutamat. Argininosuksinat kemudian dipecah menjadi arginin, melalui reaksi yang dikatalisis oleh ezim argininosuksinase yang terdapat dalam jaringan hati dan ginjal. Fumarat yang terbentuk pada reaksi ini diubah menjadi oksaloasetat oleh enzim fumarat
dan
malat
dehidrogenase.
Setelah
oksaloasetat
mengalami
23
transaminasi, terbentuk kembali aspartat. Arginin dipecah oleh arginase menjadi urea dan ornitin. Urea dilepaskan ke dalam sirkulasi dan ornitin masuk kembali ke dalam siklus urea. (Cox dan Nelson, 2010; Kolmstetter dan Ramsay, 2000). Kadar urea darah normal pada Nigerian ducks adalah 5.76 ± 3.13 mmol/L (Funsho, dkk., 2006).
2.6
Kitosan Iradiasi Chitosan (2-asetamida-deoksi-1,4-D-glukosa) merupakan kitin deasetilasi,
tersebar luas di alam berasal dari eksoskeleton artropoda seperti kepiting, udang, serangga, dan makhluk laut lainnya dalam keluarga crustacea (Crini, 2005; Huang dkk., 2007; dkk., 2009). Kitosan adalah salah satu biopolimer derivat karbohidrat diperoleh dari deasetilasi chitin. Jika kitosan dibandingkan dengan karbohidrat lainnya, kitosan berkeunggulan antara lain biokompatibel, biodegradable, tidak toksis dan bersifat fungsional bakterostatik, fungisida dan antioksidan (Duta dkk., 2009; Sudarshan dkk., 1992;. Xie dkk., 2001; Jia dkk., 2002; Xie dkk., 2001; Jeon dkk., 2003).
Ilustrasi 6. Struktur Kitosan (Warastuti dkk, 2011)
24
Kitosan tidak larut dalam air namun larut dalam asam karena memilki viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan. Adapun berbagai solvent yang digunakan umumnya tidak beracun untuk aplikasi dalam bidang makanan. Solvent yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam format/air, asam asetat/air, asam laktat/air dan asam glutamate/air (Thariq dkk, 2016). Sekitar 60-70% bagian dari udang yang digunakan dalam pembuatan chitosan. Sifat chitosan yang memiliki gugus amina bebas bermuatan positif dapat berikatan dengan muatan negatif pada dinding sel bakteri. Hal tersebut membuat chitosan banyak digunakan dalam berbagai bidang terutama sebagai anti bakteri. Kitosan dibentuk melalui proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi khitin. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat. Mineral dalam kulit kepiting dapat mencapai 40 – 50% tiap berat bahan kering. Dalam
proses
demineralisasi
menggunakan
larutan
asam
klorida
encer.
Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan atau melepas ikatan-ikatan antara protein dan kitin. Langkah berikutnya adalah proses deproteinasi,
proses
deproteinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia seperti mereaksikannya dengan basa kuat NaOH dengan komposisi tertentu maupun dengan cara menggunakan bantuan mikroba. Protein dalam kulit udang mencapai sekitar 21% dari bahan keringnya. Protein tersebut berikatan kovalen dengan kitin. Dalam proses ini kulit kepiting direaksikan dengan larutan natrium hidroksida panas dalam waktu yang relatif lama. Langkah terakhir pada pembuatan kitosan adalah proses deasetilasi.
Deasetilasi merupakan proses pemutusan gugus asetil
pada kitin untuk menghasilkan kitosan. Metode yang biasa digunakan untuk proses deastilasi kitin adalah dengan menggunakan larutan alkali NaOH. Hilangnya gugus
25
asetil dari kitin ini lah yang dinamakan dengan derajat deasetilasi (Thariq dkk, 2016). Berat molekul dan derajat deasetilasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan kitosan dalam aplikasinya. Salah satu metode untuk mengurangi berat molekul kitosan dapat dilakukan dengan cara iradiasi gamma pada kitosan yang dapat menyebabkan terjadinya pemutusan
rantai molekul kitosan
sehingga
menghasilkan kitosan dengan rantai molekul yang lebih pendek dan iradiasi juga dapat berguna sebagai proses sterilisasi kitosan tersebut (Pusat Diseminasi Iptek Nuklir).
Iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian radiassi
secara sengaja dan terarah atau proses yang kejadiaanya berlangsung karena adanya perlakuan khusus terhadap suatu obyek yang dilakukan secara sengaja dengan sinar gamma dapat menjadi awet dan tidak cepat membusuk ataupun rusak (Leswara, 2005).
Proses iradiasi terhadap kitosan menggunakan sumber iradiasi gamma
Cobalt-60. Kitosan iradiasi meningkatkan daya hambat pertumbuhan bakteri lebih baik dibandingkan dengan kitosan tanpa iradiasi.
Meningkatnya daya hambat
kitosan yang diiradiasi, karena iradiasi menyebabkan degradasi rantai panjang kitosan, sehingga dengan berat molekul yang lebih rendah mampu menembus porin channel pada bakteri gram negatif dan mampu berikatan dengan penisilin binding protein yang spesifikdimiliki bakteri gram negatif (Gatot dan Adjat, 2016). Kitosan dengan bobot molekul rendah dapat memudahkan proses pelarutan dan memudahkan pada proses pencetakan benang. Adanya iradiasi dapat menurunkan bobot molekul kitosan dari kitin iradiasi. Bobot molekul kitosan dari kitin iradiasi lebih rendah (2,2 x 10 3 g/mol) sedangkan kitosan dari kitin tanpa iradiasi (9,0 x 103 g/mol) (Anjayani, 2009). Selain itu iradiasi juga mampu meningkatkan derajat deasetilisasi. Tingginya derajat deasitilisasi meningkatkan
26
kelarutan kitosan yang diakibatkan semakin tinggi derajat deasetilisasi maka semakin banya
gugus asetaamida
yang berubah
menjadi amida
sehingga
mengurangi ikatan hidrogen antara gugus asetaamida dan hidroksil (Gatot, 2013).