PENDAHULUAN Sektor perbankan merupakan salah satu pilar yang penting dalam perekonomian suatu negara, karena sektor perbankan memiliki peran strategis untuk
menunjang
pelaksanaan
pembangunan
nasional
dalam
rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan taraf hidup rakyat yaitu melalui penyaluran dana. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan sektor perbankan dalam struktur perekonomian nasional. Pertumbuhan sektor perbankan di Indonesia terjadi pesat sejak Pakto tahun 1988 hingga mencapai puncaknya pada akhir tahun 1996, di mana terdapat 239 bank umum dengan 7.314 kantor bank. Pertumbuhan perbankan tersebut terjadi secara pesat dikarenakan pemerintah mempermudah pendirian bank baru sampai dengan menjelang krisis perbankan tahun 1997. Krisis perbankan pada tahun 1997/1998 menjadi tonggak sejarah kelam dalam kancah bisnis perbankan, di mana dalam kurun 1997 sampai dengan Desember 2002 jumlah bank umum konvensional menurun karena adanya 18 bank yang dilikuidasi oleh pemerintah, 10 bank beku operasi , 42 bank beku kegiatan usaha, 28 bank yang melakukan merger, dan dua bank yang melakukan likuidasi atas inisiatif sendiri. Dampak terjadinya krisis keuangan global pada tahun 1997/1998 yang menyebabkan banyaknya bank umum konvensional dilikuidasi, dan merger relatif tidak berpengaruh pada kinerja perbankan syariah, khususnya Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama. Sehingga fungsi intermediasi berjalan optimal dengan tingkat pembiayaan bermasalah yang relatif rendah dan senantiasa mendukung pembiayaan sektor rill. Pertumbuhan aset dan pendanaan juga tercatat cukup tinggi dan mengesankan. Disamping itu, eksposur pembiayaan perbankan syariah yang masih didominasi oleh pembiayaan pada aktivitas perekonomian domestik turut berperan dalam memperkuat daya tahan perbankan syariah dari imbas krisis keuangan global. Krisis keuangan global pada tahun 1997/1998 kembali terjadi pada tahun 2008, meskipun demikian, sektor perbankan syariah kembali memperlihatkan kinerjanya yang tetap stabil jika dibandingkan dengan bank umum konvensional.
1
Hal ini terlihat pada peningkatan jaringan kantor perbankan syariah bertambah luas dengan berdirinya dua bank umum syariah, dua unit usaha syariah, dan penambahan jaringan kantor cabang (termasuk kantor kas, kantor cabang pembantu, dan unit pelayanan syariah) sebanyak 182 kantor. Kebijakan pembukaan layanan syariah (office channeling) juga memberikan dukungan yang berarti dalam mendorong berkembangnya volume usaha industri perbankan syariah. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah layanan syariah yang meningkat sebanyak 275 kantor menjadi 1.470 kantor pada akhir tahun 2008. Penyebaran jaringan kantor bank syariah juga telah menjangkau masyarakat di lebih 75 kabupaten/kota di 32 provinsi. Perkembangan jaringan kantor dapat mengindikasi tingginya kebutuhan permintaan masyarakat terhadap jasa pelayanan keuangan berdasarkan prinsip syariah. Kestabilan kinerja perbankan syariah di tengah krisis keuangan global disebabkan oleh manajemen bank yang baik sehingga profitabilitasnya tetap meningkat. Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba melalui kegiatan operasionalnya dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia (Bangun dan Wati, 2007: 109). Usaha sektor perbankan tersebut dalam meningkatkan kinerjanya tidak terlepas dari tujuan perusahaan secara umum didirikan adalah untuk menghasilkan laba, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Wijaya dan Hadianto, 2008). Dalam mengukur kinerja bank dari segi efisiensi penggunaan aset dapat digunakan rasio keuangan ROA, karena rasio ini menunjukkan hubungan antara earning dan assets, di mana ketika bank mampu mengelola asetnya sebaik mungkin dengan tetap mempertahankan aktiva produktif yang berkualitas, dan meningkatkan manajemen bank yang solid tentunya tingkat return atas pengelolaan asettersebut akan lebih tinggi, sehingga bank akan memperoleh earning yang besar (Astohar, 2009). Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang dapat dicapai oleh bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset(Dendawijaya, 2009: 118). Dalam meningkatkan profitabilitasnya, kestabilan kinerja perbankan perlu didukung oleh relatif terkendalinya risiko-risko keuangan yang dihadapi bank, seperti risiko rasio keuangan NPF, CAR, dan FDR.
2
Non Performing Financing (NPF) merupakan rasio keuangan yang menunjukkan risiko pembiayaan yang dihadapi bank akibat penyaluran dana, dan investasi dana bank pada portofolio yang berbeda (Sukarno dan Syaichu, 2006: 49). Pada sektor perbankan tingkat kelangsungan usaha berkaitan erat dengan aktiva produktif yang dimiliki. Oleh sebab itu, setiap penanaman atau penyaluran dana bank perlu dinilai kualitasnya dengan kriteria, yaitu lancar, dalam perhatian khusus,
kurang
lancar,
diragukan,
dan
macet
(PER
14/15/PBI/2012).
Penggolongan kualitas tersebut diperlukan untuk mengetahui besarnya cadangan minimum PPAP yang wajib dibentuk bank untuk menutupi risiko penyaluran dana. Oleh sebab itu, untuk mengatasi risiko NPF, bank perlu melakukan upaya peninjauan, penilaian, dan pengikatan terhadap agunan untuk memperkecil risiko pembiayaan (Ali, 2004). Sebab jika NPF meningkat maka bank harus memiliki kecukupan modal untuk menutupi kerugian tersebut. Kecukupan modal ini diukur dengan menggunakan rasio keuangan CAR. Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan
kemampuan
manajemen
bank
dalam
mengidentifikasi,
mengukur,
mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal bank (Sukarno dan Syaichu, 2006: 48). Besarnya CAR yang ditetapkan BI yang harus dicapai oleh bank adalah minimal 8% (PER 3/21/PBI 2001). Selain memiliki kecukupan modal, sektor perbankan juga perlu memiliki alat-alat likuid untuk memenuhi permintaan kredit, dan kewajibannya yang harus segera dipenuhi. Untuk mengukur kemampuan bank tersebut maka digunakan rasio keuangan FDR. Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya jika terjadi likuidasi, dan permintaan kredit dengan menggunakan total aset yang dimiliki bank (Nur Artwienda MS, 2009). Menurut Hasibuan (2005: 37), risiko likuiditas merupakan risiko yang dihadapi bank dalam menyediakan alat-alat likuid untuk dapat
3
memenuhi kewajiban hutang-hutangnya dan kewajiban lain serta kemampuan memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadinya penangguhan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, bank perlu mengevaluasi perkembangan kinerja keuangannya secara berkala
untuk
memberikan perbaikan dan pelaksanaannya, sehingga kegiatan operasional bank tetap berjalan secara efektif dan efesien. Oleh sebab itu, dari latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan persoalan penelitian, yaitu 1) Bagaimana kinerja keuangan PT. Bank Muamalat Indonesia selamatahun 2006-2013? 2) Bagaimana perkembangan kinerja keuangan PT. Bank Muamalat Indonesia jika dibandingkan dengan bank syariah dan bank umum selama tahun 2006-2012? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan Bank Muamalat selama delapan tahun terakhir, serta perkembangan kinerja keuangan Bank Muamalat jika dibandingkan dengan industri perbankan lainnya selama tujuh tahun terakhir. Sedangkan, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta bermanfaat bagi para pemakai laporan keuangan (investor, kreditur, pemerintah) sebagai dasar pengambilan keputusan.
KAJIAN PUSTAKA Profitabilitas Pada umumnya, tujuan perusahaan secara umum didirikan adalah untuk menghasilkan laba, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Wijaya dan Hadianto, 2008). Dalam mencari laba tentunya setiap perusahaan harus mampu mengelola asetya dengan baik, sehingga perusahaan dapat memperoleh profitabilitas yang tinggi. Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba melalui kegiatan operasionalnya dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia (Bangun dan Wati, 2007: 109).Profitability ratio umumnya terdiri dari Net Profit Margin, Return on Assets (ROA), dan Return on Equity (ROE). Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui seberapa efisien sektor perbankan dalam memanfaatkan asetnya, dan seberapa besar tingkat
4
returnyang diperoleh bank atas pengelolaan asettersebut melalui penyaluran dana maupun investasi dana bank, karena dengan mengetahui efisien tidaknya sektor perbankan dalam memanfaatkan aset, maka dapat dinilai baik buruknya kinerja sektor perbankan tersebut. Oleh sebab itu, rasio keuangan yang tepat untuk mengukur profitabilitas sektor perbankan dari segi aset yaitu dengan menggunakan ROA.
Return On Assets (ROA) Return of Assets (ROA) merupakan salah satu indikator dalam mengukur kinerja bank, karena menunjukkan hubungan antara earning dan assets, di mana ketika bank mampu mengelola asetnya sebaik mungkin dengan tetap mempertahankan
aktiva
produktif
yang
berkualitas,
dan
meningkatkan
manajemen bank yang solid tentunya tingkat return atas pengelolaan aset tersebut akan lebih tinggi, sehingga bank akan memperoleh earning yang besar (Astohar, 2009). ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan dengan memanfaatkan asetyang dimiliki. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang dapat dicapai oleh bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset (Dendawijaya, 2009: 118). Secara matematis ROA dapat dirumuskan sebagai berikut: ROA =
Laba Sebelum Pajak × 100% Total Aset
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa untuk memperoleh profitabilitas yang tinggi bank perlu menjaga dan mempertahankan aktiva produktifnya yang berkualitas, dan meningkatkan manajemen bank yang solid. Meskipun demikian, bank tentunya tidak terlepas dari adanya risiko penyaluran dana. Risiko ini muncul akibat dana yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau kredit belum tentu dapat dikembalikan oleh debitur dengan tepat waktu sesuai dengan perjanjian pembiayaan atau kredit, sehingga akan menimbulkan adanya Non Performing Financing (NPF).
5
Non Performing Financing (NPF) Tingkat kelangsungan usaha sektor perbankan berkaitan erat dengan aktiva produktif yang dimilikinya. Oleh sebab itu, setiap penanaman atau penyaluran dana bank perlu dinilai kualitasnya dengan kriteria, yaitu lancar, dalam perhatian khusus,
kurang
lancar,
diragukan,
dan
macet
(PER
14/15/PBI/2012).Penggolongan kualitas tersebut diperlukan untuk mengetahui besarnya cadangan minimum Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang wajib dibentuk oleh bank untuk menutupi risiko penyaluran dana. Risiko penyaluran dana ini disebabkan oleh adanya kemungkinan debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya dalam mengangsur pokok pinjaman beserta bunganya, dikarenakan debitur mengalami kegagalan usaha dan bangkrut, debitur berkarakter tidak baik, debitur meninggal dunia dan tidak diketahui ahli warisnya, debitur terkena bencana alam, dan sebagainya. Sehingga dari hal tersebut, memicu timbulnya Non Performing Financing. Non Performing Financing (NPF) merupakan rasio keuangan yang menunjukkan risiko pembiayaan yang dihadapi bank akibat penyaluran dana, dan investasi dana bank pada portofolio yang berbeda (Sukarno dan Syaichu, 2006:49). Semakin kecil NPF maka semakin kecil pula risiko pembiayaan yang ditanggung oleh pihak bank. Oleh sebab itu, bank perlu melakukan upaya peninjauan, penilaian, dan pengikatan terhadap agunan untuk memperkecil risiko pembiayaan (Ali, 2004). Secara matematis NPF dapat dirumuskan sebagai berikut: NPF =
Pembiayaan Bermasalah × 100% Total Pembiayaan
Besarnya NPF yang ditetapkan BI adalah sebesar 5%. Apabila bank dapat menekan rasio NPF dibawa 5%, maka potensi keuntungan yang diperoleh akan semakin besar, karena bank akan menghemat uang yang akan diperlukan untuk membentuk cadangan PPAP. Begitu pun sebaliknya, ketika nilai NPF lebih besar dari 5%, maka bank wajib membentuk cadangan PPAP yang besar pula sesuai dengan kolektibilitasnya, sehingga menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan bank untuk menutupi cadangan PPAP meningkat. Jika biaya yang dikeluarkan
6
besar, maka laba yang diterima akan semakin kecil. Hal inilah yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak bank. Oleh sebab itu, bank wajib memiliki kecukupan modal untuk menutupi kerugian tersebut. Kecukupan modal ini diukur dengan menggunakan Cas Adequacy Ratio (CAR).
Capital Adequacy Ratio (CAR) Pada umumnya, kekurangan modal merupakan gejala umum yang dialami sektor perbankan di negara-negara berkembang. Kekurangan modal tersebut disebabkan oleh jumlah modal yang dimiliki kecil, dan kualitas modal buruk. Oleh karena itu, bank harus berusaha untuk meningkatkan modalnya, baik jumlah maupun kualitasnya. Dalam mengukur kecukupan modal dapat digunakan rasio Capital Adequacy Ratio (CAR). Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan
kemampuan
manajemen
bank
dalam
mengidentifikasi,
mengukur,
mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal bank (Sukarno dan Syaichu, 2006: 48).Sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, besarnya CAR yang harus dicapai oleh suatu bank minimal 8%(PER 3/21/PBI 2001). Angka tersebut merupakan penyesuaian dari ketentuan yang berlaku secara internasional berdasarkan standar Bank for International Settlement (BIS). Sedangkan, dalam aturan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk menjadi bank umum harus memiliki CAR minimal 12%. Perhitungan CAR didasarkan atas prinsip bahwa setiap penanaman yang mengandung risiko harus disediakan jumlah modal sebesar presentase tertentu (risk margin) terhadap jumlah penanamannya. Secara matematis CAR dapat dirumuskan sebagai berikut: CAR =
Modal × 100% Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
Pada sektor perbankan, meningkatnya rasio keuangan CAR dapat memberikan peluang
bagi bank untuk memperoleh laba yang besar. Karena
dengan modal yang besar, manajemen bank dapat dengan leluasa dalam
7
menempatkan dananya kedalam aktivitas pembiayaan dan investasi yang menguntungkan. Namun, bank tidak hanya wajib memiliki kecukupan modal, tetapi juga perlu memiliki alat-alat likuid untuk memenuhi kewajibannya yang harus segera dipenuhi. Untuk mengukur kemampuan bank tersebut dalam memenuhi kewajibannya, dapat digunakan Financing to Deposit Ratio (FDR).
Financing to Deposit Ratio (FDR) Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya jika terjadi likuidasi, dan permintaan kredit dengan menggunakan total aset yang dimiliki bank (Nur Artwienda MS, 2009). Menurut Hasibuan (2005: 37), risiko likuiditas merupakan risiko yang dihadapi bank dalam menyediakan alat-alat likuid untuk dapat memenuhi kewajiban hutang-hutangnya dan kewajiban lain, serta kemampuan memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadinya penangguhan. Rasio FDR menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan pembiayaan atau kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi FDR menunjukkan semakin tinggi dana yang disalurkan, dan semakin rendah FDR menunjukkan kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan pembiayaan atau kredit. Secara matematis FDR dapat dirumuskan sebagai berikut: FDR =
Total Pembiayaan × 100% Total dana pihak ketiga
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif yang menggunakan data sekunder berupa rasio keuangan PT. Bank Muamalat Indonesia, rasio keuangan bank syariah, dan rasio keuangan bank umum yaitu Return On Assets (ROA), Non Performing Financing (NPF), Capital Adequacy Ratio (CAR), dan Financing to Deposit Ratio (FDR). Data ini diperoleh dari laporan keuangan
8
publikasi Bank Muamalat pada websiteresmi Bank Indonesia dan website resmi Bank Muamalat itu sendiri selama tahun 2006-2013. Sedangkan, rasio keuangan bank syariah dan bank umum diperoleh dari Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) pada website Bank Indonesia. Laporan keuangan Bank Muamalat yang diperoleh terdiri dari neraca, laba/ rugi, kualitas aktiva produktif, dan Kewajiban Penyediaan Modal Minimun (KPMM).
Teknik Analisis Data dan Langkah-Langkah Analisis Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis komparatif yang berupa analisis vertikal dengan mengidentifikasi pos-pos dominan yang dapat mempengaruhi perkembangan kinerja keuangan Bank Muamalat selama tahun 2006-2013, dan teknik analisis perbandingan kinerja keuangan industri perbankan selama tahun 2006-2012. Sedangkan langkahlangkah analisis yang digunakan yaitu: 1) Menentukan ROA, NPF, CAR, dan FDR Bank Muamalat; 2) Mengidentifikasi pos-pos yang dominan dalam laporan keuangan Bank Muamalat yang dapat menghambat atau meningkatkan kinerja bank; 3) Menganalisis kinerja keuangan Bank Muamalat yang tercermin dalam rasio keuangan dengan memperhatikan pos-pos dominan dalam laporan keuangan yang dapat mempengaruhi perkembangan kinerja bank dari tahun ke tahun selama tahun 2006-2013; 4) Membandingkan kinerja keuangan Bank Muamalat dengan bank syariah dan bank umum dari tahun ke tahun selama tahun 2006-2012.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Objek Penelitian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan pada 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 Nopember 1991, diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawwal 1412 H atau 1 Mei 1992. Bank Muamalat mendapatkan dukungan dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim, serta
9
menerima dukungan dari masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham perseroan senilai Rp 84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian perseroan. Selain itu, pada acara silaturahmi peringatan pendirian tersebut di istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp 106 miliar. Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Hal ini semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Objek yang difokuskan dalam penelitian ini adalah rasio keuangan Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laporan keuangan Bank Muamalat yang terdiri dari neraca, laba/ rugi, kualitas aktiva produktif, dan Kewajiban Penyediaan Modal Minimun (KPMM). Sedangkan, Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) pada bank syariah dan bank umum.
Hasil Analisis Data dan Pembahasan Perkembangan Rasio Keuangan Bank Muamalat Tabel 1 Rasio Keuangan Bank Muamalat Rasio
2006
2007
2008
ROA
2.10
2.27
2.60
0.45
NPF
5.76
2.96
4.33
CAR
14.56
10.79
FDR
83.60
99.16
(%)
2009
2010
2011
2012
2013
1.36
1.52
1.54
1.37
4.73
4.32
2.60
2.09
1.35
11.44
11.15
13.32 12.05
11.70
17.55
104.41
85.82
91.52
94.15
99.99
85.18
Sumber: Laporan keuangan publikasi PT. Bank Muamalat Indonesia tahun 2006-2013 pada website BI, dan website Bank Muamalat.
Return On Assets (ROA) Perkembangan profitabilitas Bank Muamalat selama tahun 2007-2008 terus meningkat. Indikator tersebut dapat dilihat dari kenaikan Return On 10
Assets(ROA) sebesar 0.17% dari 2.10% (2006) menjadi 2.27% (2007). Kenaikan tersebut didominasi dari kemampuan manajemen bank dalam mengelola aset yang berkaitan dengan penempatan pada Bank Indonesia berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), penyaluran dengan prinsip jual beli Murabahah, jasa layanan Bank Muamalat, serta adanya penurunan beban kerugian komitmen dan kontinjensi yang cukup besar,sehingga laba tahun berjalan yang diperoleh meningkat sebesar Rp 50,565 miliar dari Rp 161,473 miliar (2006) menjadi Rp 212,038 miliar (2007). Sedangkan, ROA tahun 2008 meningkatmenjadi sebesar 2.60% dari tahun sebelumnya dengan didominasi oleh kenaikan pendapatan jual beli Murabahah, pendapatan bagi hasil Musyarakah, pendapatan Jasa layanan Bank Muamalat, turunnya biaya personalia, dan beban penyisihan penghapusan aktiva yang cukup besar sehingga laba tahun berjalan yang diperoleh meningkat menjadi sebesar Rp 301,169 miliar. Namun, perkembangan ROA di tahun 2009 setelah krisis moneter tahun 2008 mengalami penurunan menjadi sebesar 0.45%. Hal ini jelas terlihat pada penurunan laba tahun berjalan yang diperoleh hanya sebesar Rp 236,444 miliar jika dibandingkan tahun 2008. Penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya pendapatan bagi hasil Mudharabah yang berasal dari pihak ketiga bukan bank, maupun dari bank-bank lain di Indonesia, serta penurunan pendapatan Istishna yang terjadi secara terus menerus. Selain itu, meningkatnya bebab-beban operasional seperti beban penyisihan penghapusan aktiva, beban kerugian komitmen dan kontinjensi, beban bonus titipan wadiah, biaya personalia, dan beban-beban non operasional. Pada tahun 2010-2012, ROA Bank Muamalat kembali mengalami peningkatan meskipun peningkatan tersebut tidak sebesar pada tahun 2006-2008. Peningkatan ROA tersebut masing-masing menjadi sebesar 1.36% (2010) dengan laba tahun berjalan yang diperoleh Rp 231,076 miliar, 1.52% (2011) dengan laba tahun berjalan Rp 371,670 miliar, dan 1.54% (2012) dengan laba tahun berjalan Rp 521,841 miliar. Kenaikan ROA selama tahun 2010-2012, secara umum masih didominasi oleh peningkatan pendapatan Murabahah, pendapatan Musyarakah, serta jasa layanan Bank Muamalat. Selain itu, beban bonus titipan wadiah turun di
11
tahun 2010, pendapatan Istishna, pendapatan Mudharabah, serta bonus SWBI meningkat di tahun 2011, dan beban non operasional yang mengalami penurunan di tahun 2012. Pada tahun 2013, ROA Bank Muamalat kembali turun menjadi sebesar 1.37% dengan laba tahun berjalan sebesar Rp 653,621 miliar. Turunnya ROA tersebut dikarenakan oleh kenaikan beberapa pendapatan yang disertai dengan kenaikan beban-beban non operasional dan beban operasional bank seperti beban penghapusan aktiva, beban kerugian komitmen dan kontinjensi, beban operasional lainnya yang didominasi oleh biaya personalia, serta beban administrasi dan umum. Selain itu, besarnya akumulasi penyusutan beberapa aset tetap Bank Muamalat mengakibatkan aset tersebut menjadi kurang produktif.
Grafik 1: Perkembangan ROA Bank Muamalat 3.00 2.60 2.50 2.10 2.27
ROA (%)
2.00
1.54
1.36
1.50
1.52
1.37
1.00 0.50
0.45
0.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Laporan keuangan publikasi PT. Bank Muamalat Indonesia tahun 2006-2013 pada website BI, dan website Bank Muamalat.
Non Performing Financing (NPF) Kualitas kredit (NPF) Bank Muamalat di tahun 2006di atas standar Bank Indonesia (5%) yaitu sebesar 5.76%. Peningkatan NPF diantaranya didominasi
12
oleh besarnya kualitas kredit kurang lancar sebesar Rp 223,407 miliar dan kredit macet sebesar Rp 124,999 miliar yang disebabkan oleh faktor mikro dan makro ekonomi yang belum kondusif, serta diperburuk oleh bencana alam yang terjadi di beberapa daerah. Dalam memperbaiki kualitas kredit bermasalah di tahun 2006, Bank Muamalat terus melakukan upaya restrukturisasi kredit agar kualitas kredit bermasalah tidak terus meningkat, sehingga pada tahun 2007 NPF dapat ditekan menjadi 2.96 % (2007), di mana kualitas kredit kurang lancar turun sebesar Rp 157,141 miliar menjadi sebesar Rp 66,266 miliar, dan kredit diragukan turun sebesar Rp 13,045 miliar menjadi Rp 28,737 miliar apabila dibandingkan tahun 2006. Pada tahun 2008-2009, kualitas kredit bermasalah kembali meningkat, di mana NPF naik sebesar 1.37% menjadi 4.33% (2008) dan naik sebesar 0.4% menjadi 4.73% (2009) apabila dibandingkan tahun sebelumnya. Meningkatnya NPF tersebut disebabkan oleh kredit kurang lancar tahun 2008 naik sebesar Rp 223,906 miliar menjadi Rp 290,172 miliar dan kredit diragukan naik sebesar Rp 134 miliar menjadi Rp 28,871 miliar jika dibandingkan tahun 2007, dan kredit diragukan tahun 2009 naik sebesar Rp 372,994 miliar menjadi 401,865 dari tahun 2008. Meningkatnya NPF Bank Muamalat tersebut disebabkan oleh krisis yang terjadi pada tahun 2008 membawa pengaruh terhadap portofolio pembiayaan di segmen bisnis korporasi. Perkembangan NPF tahun 2010-2013 berangsur-angsur mulai membaik setelah krisis moneter sepanjang tahun 2008. Hal ini jelas terlihat pada NPF Bank Muamalat yang turun menjadi sebesar 4.32% (2010), 2.60% (2011), 2.09% (2012). Membaiknya kualitas kredit tersebut dikarenakan kualitas kredit diragukan turun sebesar Rp 359,249 miliar menjadi Rp 42,616 miliar (2010), dan kualitas kredit kurang lancar, diragukan, dan macet tahun 2011 turun masingmasing sebesar Rp 4,654 miliar menjadi Rp 326,220 miliar, turun sebesar Rp 8,406 miliar menjadi Rp 34,210 miliar, dan turun sebesar Rp 111,809 miliar menjadi Rp 204,228 miliar, serta kualitas kredit kurang lancar di tahun 2012 turun sebesar Rp 249,405 miliar menjadi Rp 76,815 miliar. Sedangkan, perkembangan NPF Bank Muamalat tahun 2013 sangat mengesankan karena mampu ditekan
13
hingga turun sebesar 0.74% menjadi 1,35%, dengan didominasi oleh penurunan kualitas kredit kurang lancar sebesar Rp3,455 miliar menjadi Rp 73,360 miliar dan kredit macet turun sebesar Rp 125,536 miliar menjadi Rp 445,001 miliar. Turunnya NPF tersebut disebabkan oleh Bank Muamalat secara intensif menangani portofolio pembiayaan yang bermasalah dengan mengedepankan proses restrukturisasi fasilitas pembiayaan, dan fokus pada proses penagihan pada fasilitas-fasilitas yang secara teknis tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan restrukturisasi. Selain itu, terkait dengan pengelolaan risiko pada pembiayaan segmen bisnis korporasi, Bank Muamalat melakukan strategi menumbuhkan pembiayaan melalui skema sindikasi sehingga Bank Muamalat dapat menangkap peluang-peluang pembiayaan baru, termasuk untuk nasabah loyal yang secara volumebisnisnya telah tumbuh besar dalam skala proyek yang lebih besar, sementara tetap menjaga konsentrasi risiko dan juga jumlah pembiayaan pada tingkat yang dapat diserap oleh Bank Muamalat.
Grafik 2: Perkembangan NPF Bank Muamalat 7.00 6.00
5.76 4.73
NPF (%)
5.00
4.33
4.32
4.00 3.00
2.96 2.60
2.00
2.09
1.00
1.35
0.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Laporan keuangan publikasi PT. Bank Muamalat Indonesia tahun 2006-2013 pada website BI, dan website Bank Muamalat.
14
Perkembangan Capital Adequacy Ratio (CAR) Pertumbuhan permodalan (CAR) Bank Muamalat tahun 2006 sebesar 14.56% dengan jumlah modal Bank Muamalat tercatat sebesar Rp 929,190 miliar dan ATMR sebesar Rp 6,382,784 triliun. Besarnya modal tersebut dikarenakan adanya penambahan modal dasar melalui keputusan rapat umum pemegang saham di mana Bank Muamalat berhasil melakukan pendekatan kepada investor internasional dari kalangan muslim Timur Tengah untuk menanamkan dananya dalam jumlah yang cukup signifikan melalui HMETD (Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu) ditengah keraguan investor menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, pada tahun 2007 CAR Bank Muamalat turun menjadi10.79% dengan total modal sebesar Rp 942,467 (2007) miliar dan ATMR sebesar Rp 8,737,641 triliun (2007). Meskipun presentase CAR mengalami penurunan tetapi modal Bank Muamalat masih tetap meningkat berkat kenaikan saldo laba ditahan atas perolehan laba bersih perseroan.Di tengah krisis moneter 2008, Bank Muamalat dapat meningkatkan CAR menjadi sebesar 11.44%, dengan total modal sebesar Rp 1,233,251 triliun dan ATMR sebesar Rp 10,796,962 triliun. Perkembangan CAR Bank Muamalat tahun 2009 sedikit mengalami penurunan akibat krisis moneter di tahun 2008 yang tidak dapat dihindari sehingga CAR turun menjadi sebesar 11.15%, dengan total modal bank sebesar Rp 1,273,151 triliun dan ATMR sebesar Rp 11,419,026 triliun. Turunnya CAR tersebut diantaranya disebabkan oleh kebijakan pencadangan guna mengantisipasi risiko pembiayaan yang berdampak pada peningkatan beban operasional. Pada tahun 2010, CAR Bank Muamalat meningkat menjadi sebesar 13.32% dari tahun sebelumnya. Kenaikan CAR tahun 2010 ini merupakan perkembangan CAR terbesar selama tiga tahun terakhir dengan total modal bank sebesar Rp 2,080,570 triliun dan ATMR sebesar Rp 15,610,762 triliun. Meningkatnya CAR tersebut didukung oleh peningkatan ekuitas Bank Muamalat yang diperoleh dari tambahan modal hasil Penawaran Umum Terbatas (PUT) IV, serta tambahan modal disetor (agio) yang juga meningkat. Sedangkan, dua tahun berikutnya CAR mengalami penurunan secara berturut-turut menjadi sebesar 12.05% (2011), dan 11.70% (2012), dengan total modal bank masing-masing sebesar Rp 2,415,629 triliun
15
(2011) dan Rp 3,635,287 triliun (2012), serta ATMR sebesar Rp 20,038,816 triliun (2011) dan Rp 31,082,798 triliun (2012). Penurunan CAR tersebut sebagai akibat ekspansi pembiayaan yang cukup agresif. Meskipun, dua tahun sebelumnya CAR Bank Muamalat turun, tetapi di tahun 2013 kembali mampu meningkatkan CAR sebesar 5.85% menjadi 17.55% apabila dibandingkan dengan tahun 2012. Peningkatan CAR tersebut merupakan kenaikan CAR terbesar selama tujuh tahun terakhir dengan total modal bank Rp 5,943,244 triliun dan ATMR sebesar Rp 33,864,606 triliun, di mana peningkatan CAR disebabkan oleh kualitas pertumbuhan ekonomi meningkat yang tercermin dari meningkatnya peran investasi baik dalam negeri maupun luar negeri. Data penanaman modal asing (PMA) menurut Bandan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) masih tumbuh baik sejalan dengan penanaman modal dalam negeri.
Grafik 3: Perkembangan CAR Bank Muamalat 18.00 17.55 17.00 16.00 CAR (%)
15.00
14.56
14.00
13.32
13.00 12.00
11.44
11.00
2006
2007
11.70
11.15
10.79
10.00
12.05
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Laporan keuangan publikasi PT. Bank Muamalat Indonesia tahun 2006-2013 pada website BI, dan website Bank Muamalat.
16
Financing to Deposit Ratio (FDR) Sepanjang tahun 2006-2013, kondisi likuiditas Bank Muamalat relatif terjaga sebagaimana tercermin dari tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) yang terus meningkat dari tahun 2006-2008. Hal ini jelas terlihat pada kenaikan FDR Bank Muamalatdari 83.60%(2006) menjadi 99.16% (2007) hingga 104.41% (2008). Peningkatan FDR tersebut tercermin dari pertumbuhan pembiayaan yang lebih cepat dari pada pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Di mana, total pembiayaan sebesarRp 7,874,316 triliun (2006), Rp 9,944,583 triliun (2007), Rp 11,642,598 triliun (2008), dan DPK sebesar Rp 6,837,431 triliun (2006), Rp 8,691,328 triliun (2007), Rp 10,073,953 triliun (2008). Pertumbuhan pembiayaan tersebut didorong oleh kondisi makroekonomi yang relatif stabil, sehingga membuka peluang lebih banyak bagi kegiatan usaha terutama yang berkaitan dengan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Selain itu, pertumbuhan
investasi
didukung
oleh
membaiknya
persepsi
investor,
meningkatnya imbalan hasil investasi, dan ketersediaan pembiayaan yang memadai. Pada tahun 2009, FDR Bank Muamalat mengalami penurunan sebesar 18.59% menjadi 85.82% dari tahun sebelumnya. Walaupun secara persentase terdapat penurunan, namun secara nominal pertumbuhan pembiayaan dan DPK tahun 2009 lebih besar yaitu Rp 15,083,200 triliun dan Rp 13,353,849 triliun dibandingkan tahun 2008. Turunnya FDR tersebut merupakan strategi dari manajement Bank Muamalat dalam rangka perbaikan kualitas pembiayaan, di mana pembiayaan lebih difokuskan pada pasar domestik dengan harapan menjadi penopang pertumbuhan pembiayaan karena pasar global masih berisiko akibat dampak krisis moneter pada tahun 2008.Secara umum strategi peningkatan DPK dikarenakan oleh manajemen Bank Muamalat yang berhasil menerapkan strategi penghimpunan dana yang terkait pada perluasan jaringan layanan, peningkatan kualitas layanan melalui implementasi FAST services, penguatan kualitas teknologi informasi, dan benefit based promotion yang didukung dengan pengembangan kapasitas sumberdaya manusia.Sedangkan, pada tahun 2010 FDR Bank Muamalat kembali meningkatmenjadi sebesar 91.52% dengan total
17
pembiayaan terus meningkat menjadi sebesar Rp 19,881,169 triliun dan DPK sebesar Rp 18,574,217 triliun apabila dibandingkan pada tahun 2009. Pertumbuhan pembiayaan ini didominasi oleh pembiayaan Musyarakah karena kebutuhan nasabah akan skema pembiayaan yang lebih menguntungkan untuk menambah porsi modal sesuai dengan kemampuan nasabah.Sementara DPK juga masih didominasi oleh deposito Mudharabah disusul Giro Wadiah. Namun pada tahun 2011, perkembangan FDR Bank Muamalat kembali turun menjadi sebesar 85.18% apabila dibandingkan dengan tahun 2010. Dengan total pembiayaan sebesar Rp 31,095,375 triliun, dan DPK sebesar Rp 29,126,650 triliun. Sedangkan, pada tahun 2012-2013, FDR kembali meningkat, yaitu sebesar 8.97% menjadi 94.15% (2012), dan 5.84% menjadi 99.99% (2013). Dengan total pembiayaan masing-masing sebesar Rp 43,066,061 triliun (2012), Rp 53,713,374 triliun (2013), dan DPK sebesar Rp 39,422,307 triliun (2012), Rp 45,022,858 triliun (2013).
Grafik 4: Perkembangan FDR Bank Muamalat
105.00
104.41 99.99
FDR (%)
100.00
99.16
95.00 91.52
94.15
90.00
85.00
85.82
85.18
83.60 80.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Laporan keuangan publikasi PT. Bank Muamalat Indonesia tahun 2006-2013 pada website BI, dan website Bank Muamalat.
18
Perbandingan Kinerja Keuangan Bank Muamalat dengan Bank Syariah dan Bank Umum Tabel 2 Rasio Keuangan Bank Syariah dan Bank Umum Rasio 2006 (%) Bank Syariah
2007
2008
2009
2010
2011
2012
ROA
2.06
2.10
1.40
1.50
1.67
1.79
2.14
NPF
4.75
4.10
4.00
4.00
3.02
2.52
2.22
CAR
13.00
10.70
12.80
10.80
16.25
16.63
14.14
FDR
98.90
99.80
103.70
89.70
89.67
88.94
99.99
2.60
2.80
2.30
2.60
2.86
3.03
3.08
NPL
7.00
4.60
3.80
3.80
2.56
2.17
1.87
CAR
20.50
19.30
16.20
17.40
17.17
16.07
17.32
64.70
69.20
77.20
74.50
75.50
79.00
83.96
Bank Umum ROA
LDR
Sumber: Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) tahun 2006-2012 pada website BI.
Perkembangan Return On Assets (ROA) Profitabilitas Bank Muamalat dari sisi ROA pada tahun 2006 (2.10%) lebih besar dari bank syariah (2.06%) dan lebih kecil dari bank umum (2.60%). Besarnya ROA bank umum dikarenakan efisiensi membaik yang ditunjukkan oleh menurunnya rasio BOPO. Sedangkan, laju pertumbuhan laba bank syariah sedikit tertahan dengan semakin banyaknya porsi pendapatan operasional yang dialokasikan pada bagi hasil deposan dalam upaya mempertahankan daya saing, serta semakin meningkatnya beban pembentukan cadangan dalam rangka mengantisipasi peningkatan risiko pembiayaan. Pada tahun 2007ROA Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum sama-sama mengalami kenaikan yang disebabkan oleh meningkatnya penyaluran dana. Namun dari segi persentase ROA Bank Muamalat (2.27%) lebih kecil dari ROA bank umum (2.80%), dan lebih besar dari pada ROA bank syariah (2.10%). Sedangkan, tahun 2008 ROA
19
Bank Muamalat masih tetap meningkat, sementara ROA bank syariah dan bank umum mengalami penurunan sehingga Bank Muamalat unggul dengan ROA 2.60% lebih besar jika dibandingkan ROA bank syariah (1.40%), dan ROA bank umum (2.30%). Perkembangan ROA Bank Muamalat pada tahun 2009 mengalami penurunan, sedangkan bank syariah dan bank umum mengalami peningkatan, sehingga ROA Bank Muamalat ( 0.45%) lebih kecil jika dibandingkan bank syariah (1.50%), dan bank umum (2.60%).Meningkatnya ROA bank umum disebabkan oleh sumber utama laba bank berasal dari pendapatan bunga yang tercermin dari peningkatan NII, di mana tingginya NII tidak terlepas dari besarnya spread antara suku bunga pinjaman dan suku bunga dana, sejalan dengan lambatnya penurunan suku bunga kredit, serta adanya perbaikan efisiensi perbankan yang ditunjukkan oleh penurunan rasio BOPO. Sedangkan, peningkatan ROA bank syariah berasal dari peningkatan pendapatan atas pembiayaan yang dilakukan bank syariah pada tahun 2009, dan kontribusi utama pendapatan tersebut bersumber dari piutang murabahah tinggi dari keseluruhan total total pendapatan bank syariah. Pada tahun 2010 sampai 2012, ROA Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum sama-sama mengalami peningkatan. Di mana, dari segi presentase ROA Bank Muamalat yaitu 1.36% (2010), 1.52% (2011), 1.54% (2012) lebih kecil jika dibandingkan ROA bank syariah sebesar 1.67% (2010), 1.79% (2011), 2.14% (2012), dan ROA bank umum sebesar 2.86% (2010), 3.03% (2011), 3.08% (2012). Peningkatan ROA disebabkan oleh penyaluran kredit perbankan yang berkontribusi positif terhadap peningkatan laba khususnya laba operasional, pertumbuhan aset produktif yang cukup tinggi, dan tingkat pengembalian investasi.
20
Grafik 5: Perkembangan ROA Industri Perbankan 3.50 3.03
3.00 2.60
2.50
ROA (%)
2.86
2.80 2.60 2.60
2.27 2.10
2.00
2.06
3.08
2.14
2.30 2.10
1.67
1.79 1.54
1.50
1.50
1.52
1.40
1.36
1.00 0.50
Bank Muamalat Bank Syariah Bank Umum
0.45
0.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) tahun 2006-2012 pada website BI.
Perkembangan Non Performing Financing (NPF) / Non Performing Loans (NPL) Pada tahun 2006, besarnya NPF Bank Muamalat dan NPL bank umum melebihistandar maksimal NPL yang ditetapkan Bank Indonesia yaitu sebesar 5%, sedangkan besarnya NPF bank syariah masih di bawah standar ketetapan BI. Di mana, NPF Bank Muamalat (5.76%) lebih kecil dari pada NPL bank umum (7.00%), dan lebih besar dari pada NPF bank syariah (4.75%). Besarnya kredit bermasalah tersebut disebabkan oleh pertumbuhan penyaluran dana yang masih cukup tinggi dalam kondisi sektor rill yang belum kondusif sehingga mengakibatkan penurunan kualitas pembiayaan. Perkembangan NPF Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum di tahun 2007 sama-sama mengalami penurunan, di mana dari segi presentase NPF Bank Muamalat (2.96%) lebih kecil jika dibandingkan NPF bank syariah (4.10%), dan NPL bank umum (4.60%). Penurunan kualitas aktiva produktif yang bermasalah tersebut disebabkan oleh
21
tumbuhnya kredit yang pesat, perbaikan kualiatas kredit didukung oleh dilaksanakannya restrukturisasi kredit korporasi dan hapus buku kredit pada bank perseroan. Sedangkan, pada tahun 2008 NPF Bank Muamalat meningkat, sementara bank syariah dan bank umum turun sehingga NPF Bank Muamalat (4.33%) lebih besar apabila dibandingkan NPF bank syariah (4.00%), dan NPL bank umum (3.80%). Perkembangan NPF Bank Muamalat di tahun 2009 terus meningkat, sedangkan, bank syariah dan bank umum tetap sehingga NPF Bank Muamalat (4.73%) lebih besar apabila dibandingkan NPF bank syariah (4.00%), dan NPL bank umum (3.80%). Pada tahun 2010 sampai 2012 NPF Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum sama-sama mengalami penurunan. Di mana dari segi presentase pada tahun 2010 dan 2011, NPF Bank Muamalat lebih besar yaitu3.32% (2010), 2.60% (2011) jika dibandingkan dengan NPF bank syariah yaitu 3.02% (2010), 2.52% (2011), dan NPL bank umum yaitu 2.56% (2010), 2.17% (2011). Sedangkan di tahun 2012, NPF Bank Muamalat (2.09%) lebih kecil dari pada NPF Bank Syariah (2.22%), dan lebih besar dari pada NPL bank umum (1.87%). Turunnya kualias kredit bermasalah tersebut sejalan dengan meredahnya tekanan krisis dan berangsur pulihnya kondisi perekonomian yang berdampak positif bagi perbaikan kredit bermasalah di perbankan, serta dengan peningkatan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit perbankan. Selain itu, turunnya NPF dipengaruhi oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang cukup kuat didukung oleh perbaikan daya beli masyarakat karena meningkatnya pendapatan masyarakat yang tercermin dari meningkatnya pendapatan per kapita.
22
Grafik 6: Perkembangan NPF/NPL Industri Perbankan 8.00 7.00
NPF/NPL (%)
7.00 6.00
5.76
5.00
4.75
4.60
4.73 4.32
4.33 4.00
4.00
4.00
4.10
3.80
3.80
3.02
3.00
2.60 2.52
2.96
2.22
2.56
2.00
2.09
2.17 1.87 Bank Muamalat (NPF) Bank Syariah (NPF) Bank Umum (NPL)
1.00 0.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) tahun 2006-2012 pada website BI.
Perkembangan Capital Adequacy Ratio (CAR) Pada tahun 2006, CAR Bank Muamalat (14.56%) lebih besar dari CAR bank syariah (13.00%), dan lebih kecil dari CAR bank umum (20.50%). Di mana besarnya CAR bank umum antara lain bersumber dari pertumbuhan laba, sementara CAR pada bank syariah turun karena semakin meningkatnya beban pembentukan cadangan dalam rangka mengantisipasi peningkatan risiko pembiayaan. Perkembangan CAR Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum di tahun 2007 mengalami penurunan. Di mana, dari segi presentase CAR Bank Muamalat (10.79%) lebih besar dari CAR bank syariah (10.70%), dan lebih kecil dari CAR bank umum (19.30%). Penurunan tersebut akibat kenaikan kredit yang lebih tinggi dari modal, meski mengalami penurunan tetapi CAR perbankan Indonesia tersebut masih tergolong salah satu rasio permodalan industri perbankan yang tertinggi di Asia. Sedangkan, pada tahun 2008 CAR Bank Muamalat meningkatsementara bank syariah dan bank umum mengalami penurunan, namun
23
dari segi presentase CAR Bank Muamalat (11.44%) lebih kecil dari pada bank syariah (12.80%), dan bank umum (16.20%). Perkembangan CAR Bank Muamalat dan bank syariah pada tahun 2009 mengalami penurunan, sedangkan bank umum mengalami peningkatan sehingga CAR Bank Muamalat (11.15%) lebih kecil jika dibandingkan dengan bank umum (17.40%), sementara CAR Bank Muamalat dan bank syariah yang sama-sama mengalami penurunan apabila dibandingkan dari segi presentaseCAR Bank Muamalat (11.15%) lebih besar dari pada bank syariah (10.80%). Meningkatnya CAR bank umum dikarenakan struktur permodalan yang kuat dengan semakin banyaknya bank umum yang mencapai modal inti minimum sebesar Rp 100 miliar. Pada tahun 2010, CAR Bank Muamalat dan bank syariah meningkat namun jika dibandingkan CAR Bank Muamalat (13.32%) lebih kecil dari pada CAR bank syariah (16.25%). Sedangkan CAR bank umum mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan CAR Bank Muamalat secara presentase CAR bank umum (17.17%) lebih besar dari Bank Muamalat. Capital Adequacy Ratio Bank Muamalat dan bank umum di tahun 2011 mengalami penurunan, sedangkan CAR bank syariah meningkat. Dilihat dari presentase CAR Bank Muamalat (12.05%) lebih kecil apabila dibandingkan dengan bank umum (16.07%), sedangkan jika dibandingkan dengan CAR bank syariah (16.63%) CAR Bank Muamalat lebih kecil. Perkembangan CAR Bank Muamalat dan bank syariah di tahun 2012 kembali mengalami penurunan, namun jika dibandingkan CAR Bank Muamalat (11.70%) lebih kecil dari bank syariah (14.14%), sementara CAR bank umum (17.32%) meningkat dan lebih besar dari CAR Bank Muamalat. Peningkatan CAR bank umum antara lain disebabkan oleh terdapatnya penambahan modal yang berasal dari kelompok bank swasta nasional dan perseroan. Selain itu, struktur permodalan dengan komponen modal inti yang lebih kuat menjadi indikator peningkatan ketahanan bank dalam menyerap potensi risiko yang berasal dari aktivitas usaha bank atau perubahan lingkungan bisnis.
24
Grafik 7: Perkembangan CAR Industri Perbankan 22.00 20.50 20.00
19.30 17.40
18.00
CAR (%)
16.63
17.32
16.25
16.00
16.20
14.56 14.00
17.17
13.00
12.00
13.32
12.80
10.70
14.14 11.15
10.79
10.00
16.07
12.05
11.44
11.70
10.80 Bank Muamalat Bank Syariah Bank Umum
8.00 6.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) tahun 2006-2012 pada website BI.
Perkembangan Financing to Deposit Ratio (FDR)/ Loans to Deposit Ratio (LDR) Pada tahun 2006, FDR Bank Muamalat (83.60%) lebih kecil dari bank syariah (98.90%), dan lebih besar dari LDR bank umum (64.70%). Besarnya FDR bank syariah dikarenakan penurunan suku bunga terhadap produk bank umum sejak paruh kedua tahun 2006 sehingga DPK meningkat dan mendorong upaya peningkatan pembiayaan secara optimal ke berbagai sektor produksi di tengah kondisi
perbankan
nasional
yang
masih
menghadapi
kesulitan
dalam
meningkatkan penyaluran dana. Perkembangan FDR Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum di tahun 2007 sampai 2008 meningkat. Di mana dari segi presentase FDR Bank Muamalat 99.16% (2007) lebih kecil dari bank syariah (99.80%), dan lebih besar dari LDR bank umum (69.20%). Sedangkan di tahun 2008, FDR Bank Muamalat (104.41%) lebih besar apabila dibandingkan FDR bank syariah (103.70%), dan LDR bank umum (77.20%).Meningkatnya FDRbank
25
syariah dikarenakan peran kinerja perbankan syariah terus meningkat dengan dukungan program akselerasi pengembangan perbankan syariah dan perluasan jaringan kantor yang cukup ekspansif, serta pertumbuhan Pembiayaan yang Diberikan (PYD) yang tinggi dari pertumbuhan DPK mendorong peningkatan FDR bank syariah. Sedangkan, peningkatan LDR bank umum juga didukung oleh DPK yang tetap meningkat meskipun suku bunga cenderung turun. Penurunan suku bunga ikut mendorong akselerasi pertumbuhan kredit yang lebih cepat, khususnya pertumbuhan kredit konsumsi terutama dari kredit kendaraan bermotor, kredit kepemilikan kepemilikan rumah (KPR), dan kredit kepada sektor industri pengolahan. Perkembangan FDR Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum pada tahun 2009 turun. Namun, apabila dibandingkan FDR Bank Mumalat (85.82%) lebih kecil dari bank syariah (89.70%), dan lebih besar dari LDR bank umum (74.50%). Penurunan LDR bank umum tersebut disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang melambat terutama karena penurunan kredit valas yang dipengaruhi oleh apresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD dan turunnya aktivitas ekspor/ impor. Pada tahun 2010, FDR Bank Muamalat dan LDR bank umum meningkat, sementara FDR bank syariah mengalami penurunan. Di mana, FDR Bank Mumalat (91.52%) lebih besar dari LDR bank umum (75.50%), dan FDR bank syariah
(89.67%).
Meningkatnya
LDR
bank
umum
ditunjukkan
oleh
meningkatnya penyaluran kredit dan DPK. Pertumbuhan kredit didominasi oleh kredit produktif seperti sektor industri pengolahan, pertambangan, pertanian, listrik air dan gas, dan sektor jasa dunia usaha. Financing to Deposit Ratio Bank Mumalat dan bank syariah di tahun 2011 mengalami penurunan, sedangkan LDR bank umum meningkat. Secara presentase FDR bank Muamalat (85.18%) lebih besar apabila dibandingkan LDR bank umum (79.00%), dan lebih kecil dari FDR bank syariah (88.94%). Sedangkan pada tahun 2012, FDR Bank Mumalat, bank syariah, dan bank umum meningkat. Di mana, dari presentase FDR Bank Muamalat (94.15%) lebih besar apabila dibandingkan LDR bank umum (83.96%), dan lebih kecil dari FDR bank syariah (99.99%). Peningkatan FDR/LDR tersebut masih tetap didukung oleh
26
pertumbuhan penyaluran dana positif dengan sumber DPK yang terus meningkat yaitu pada giro, tabungan, dan deposito. Peningkatan DPK sejalan dengan peningkatan aktivitas dunia usaha dan relatif tingginya minat masyarakat untuk menempatkan dananya di bank.
Grafik 8: Perkembangan FDR/LDR Industri Perbankan 110.00
100.00
99.80
98.90
104.41 103.70
99.99
99.16 89.70
FDR/LDR (%)
90.00
91.51
94.15 88.94
89.67 83.60
85.82
80.00
83.96 85.18
77.20 79.00 69.20
70.00
74.50
75.50
64.70
60.00
Bank Muamalat Bank Syariah Bank Umum
50.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) tahun 2006-2012 pada website BI.
27
2012
PENUTUP Kesimpulan Perkembangan kinerja keuangan Bank Muamalat tahun 2006-2013 yaitu ROA dan NPF mengalami penurunan, di mana turunnya ROA mencerminkan buruknya profitabilitas Bank Muamalat yang disebabkan oleh meningkatnya beban-beban, sementara turunnya NPF mencerminkan semakin baiknya kualitas pembiayaan Bank Muamalat. Perkembangan CAR dan FDR mengalami peningkatan yang mencerminkan semakin baiknya kemampuan permodalan dan likuiditas Bank Muamalat. Sedangkan, jika dibandingkan dengan kinerja keuangan industri perbankan tahun 2006-2012, maka perkembangan kinerja keuangan Bank Muamalat dari sisi ROA turun jika dibandingkan Bank Umum dan Bank Syariah. Perkembangan NPF Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum sama-sama mengalami penurunan, namun penurunan NPF Bank Muamalat lebih tinggi dari bank syariah dan lebih rendah dari bank umum.Perkembangan CAR Bank Muamalat turun jika dibandingkan bank syariah, dan penurunan CAR Bank Muamalat lebih rendah dari pada bank umum. Sedangkan, perkembangan FDR Bank Muamalat, bank syariah, dan bank umum sama-sama mengalami peningkatan, namun peningkatan FDR Bank Muamalat lebih tinggi dari pada bank syariah dan lebih rendah dibandingkan bank umum. Faktor penyebab kinerja keuangan mengalami penurunan yaitu karena dampak dari ketidakstabilan kondisi perekonomian secara global yang ikut mempengaruhi kondisi perkembangan perekonomian dalam negeri.
Keterbatasan Penelitian Perkembangan perekonomian domestik yangdipengaruhi olehdampak krisis perekonomian global terbatas pada informasi makroekonomi sehingga faktor-faktor lainyang menyebab turunnya kinerja keuangan Bank Muamalat sulit untuk diidentifikasi secara detail.
28
Saran 1. Bank Muamalat perlu memperhatikan besarnya penyaluran dana yang diberikan kepada nasabah, dan ketika dana telah disalurkan bank perlu meningkatkan kontrol secara berkala terhadap kualitas pembiayaan produktif agar tidak berkembang menjadi pembiayaan bermasalah yang dapat berpengaruh pada besarnya laba dan modal bank. Selain itu, untuk mengantisipasi tingginya risiko pembiayaan Bank Muamalat perlu menerapkan pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek. 2. Bank Muamalat perlu memperhatikan dan meningkatkan setiap jenis pembiayaannya agar pembiayaan tersebut tidak didominasi oleh beberapa jenis pembiayaan tertentu saja.
29
DAFTAR PUSTAKA Ali, M. 2004. Manajemen Risiko: Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Bangun, N., dan Wati, S. 2007. Analisis Pengaruh Profitabilitas dan Kebijakan Dividen terhadap Nilai Perusahaan Perdagangan, Jasa, dan Investasi yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi, Vol. 11, No. 02 Mei: 107-120. Dendawijaya, Lukman. 2009. Manajemen Perbankan. Ghalila Indonesia, Jakarta. Hasibuan, SP. Malayu. 2005. Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produktivitas. Bumi Aksara, Jakarta. Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kasmir. 2011. Manajemen Perbankan, Edisi Pertama. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sukarno, K.W., dan Syaichu, M. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Bank Umum di Indonesia. Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi, Vol. 3, No. 2 Juli: 46-49. Wijaya, M. S. V. dan Hadianto, B. 2008. Pengaruh Struktur Aktiva, Ukuran, Likuiditas, dan Profitabilitas terhadap Struktur Modal Emiten Sektor Ritel di Bursa Efek Indonesia: Sebuah Pengujian hipotesis Pecking Order. Jurnal Ilmiah Akuntansi, Vol. 7, No. 1 Mei: 71-84. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/21/PBI/2001, Tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Peraturan Bank Indonesia Nomor: 14/15/PBI/2012, Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum http://www.bi.go.id http://www.bankmuamalat.co.id
30