9
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Karakteristik Itik Cihateup Itik Cihateup merupakan salah satu unggas air yang mempunyai sifat
fisiologik dengan kemampuan thermoregulasi yang rendah dibandingkan dengan unggas lainnya. Menurut Saraswati (2011), klasifikasi Itik Cihateup adalah sebagai berikut: Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Rumpun (tribe) Genus Spesies
: Animalia : Chordata : Aves : Anseriformes : Anatidae : Anatinae : Anatini : Anas : Anas platyrhynchos
Itik Cihateup merupakan itik yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Raja, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Itik Cihateup juga
dikembangkan di daerah Garut (Wulandari, 2005) dan mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang lebih baik dibandingkan dengan jenis itik lainnya, misalnya Itik Cirebon dan Itik Mojosari. Bulu itik Cihateup beewarna coklat, sedangkan paruh dan shanknya bewarna hitam. Warna itik jantan dewasa lebih gelap dan bulu di sekitar kepala bewarna kehitaman dibandingkan dengan itik betina yang memiliki warna yang lebih cerah.
10
Itik Cihateup memiliki lingkar dada lebih besar dibandingkan dengan itik Cirebon maupun itik mojosari. Hal ini dapat dijadikan indikator bahwa itik Cihateup ini dapat dijadikan sebagai penghasil daging yang baik. Konversi ransum itik jantan lebih baik dibandingkan dengan itik betina. Itik Cihateup betina memiliki potensi sebagai itik petelur dengan kemampuan produksi sekitar 200 butur/tahun. Itik Cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging karena kemampuan pertumbuhan bobot badan yang baik Itik Cihateup memiliki kemiripan dengan itik-itik lainnya yang ada di Jawa, sepeti itik Kerawang, itik Cirebon, maupun itik Tegal.
Walaupun demikian, secara genetik terdapat
keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani 2005). Itik Cihateup bersifat mudah panik dan mudah mengalami stress. Stres dapat didefinisikan sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu homoestasis pada hewan. Setiap ternak memilik zona nyamannya masing-masing yang disebut dengan Thermoneutral Zone (TNZ). Zona ini akan terganggu apabila terjadi stres dan tubuh akan mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Pada kisaran suhu lingkungan normal, itik akan membuang kelebihan panas yang diterima dengan cara radiasi, konveksi dan konduksi.
Pada saat suhu naik melebihi TNZ maka itik akan
mengalami stres. Ternak unggas yang stres memiliki ciri-ciri gelisah, banyak minum, dan
feed intake menurun (Tamzil., 2014).
Ternak yang menderita stres akan
mengalami panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan tingkat stres. Panting merupakan tanda klinis yang khas pada golongan unggas yang menderita heat stress secara bersamaan akan terjadi gangguan fungsi normal tubuhnya (Moares
11
dkk., 2003). Stres panas pada ternak unggas yang muncul dapat menjadi pemicu berbagai macam penyakit, laju pertumbuhan dan produksi menurun. Penurunan produksi anatara lain disebabkan oleh berkurangnya retensi nitrogen dan berlanjut ke penurunan daya cerna protein dan beberapa asam amino (Tabiri dkk., 2000). Kemampuan thermoregulasi itik menjadi rendah karena itik terbiasa dengan kolam air. Itik Cihateup merupakan jenis unggas yang menghabiskan sebagian besar waktunya di air. Pemeliharaan minim air akan menyebabkan stres panas pada itik karena salah satu cara itik untuk membuang panas dalam tubuh adalah dengan cara berenang. Saat suhu lingkungan yang terlalu tinggi dan mekanisme dingin tidak dapat mengatasinya, tubuh akan mengaktifkan hypothalamiz-pituitary-adrenal cortical system.
Stres menyebabkan hipotalamus menghasilkan corticotrophin-releasing
factor (CRF) dan merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menghasilkan hormon (ACTH). Sekresi ACTH menyebabkan sel-sel jaringan korteks adrenal berproliferasi mengeluarkan kortikosteroid.
Hormon ini kemungkinan difasilitasi oleh aksi
katekolamin yang menyebabkan katekolamin merangsang CRF yang dibebaskan dari hipotalamus, ACTH yang dibebaskan dari pituitari anterior dan korkosteroid yang dibebaskan dari korteks adrenal (Virden dan Kidd, 2010). Hormon ini berfungsi untuk membantu proses glukoneogenesis (Ewing dkk., 1999).
Tingginya kadar
hormon ini menyebabkan metabolisme tubuh menjadi menurun karena kortikosteroid merupakan hormon anti anabolisme.
Kehadiran hormon kortikosteroid dapat
menganggu fungsi kekebalan tubuh, dan jaringan limfoid ditandai dengan
12
peningkatan rasio heterofil-limfosit dalam darah (Davis dkk., 2008; Tamzil dkk.,2014). 2.2
Albumin Senyawa yang banyak terdapat di dalam plasma adalah protein. Hakekatnya
protein adalah blok bangunan dari semua sel dan jaringan tubuh, diantaranya komponen dasar enzim, berbagai hormone, antibody dana gen-agen pembekuan (Anna, 1994). Protein berperan sebagai bahan transfortasi hormon, vitamin, mineral, lemak dan bahan lainya, selain itu protein membantu menyeimbangkan tekanan osmotik darah dan jaringan.
Protein memiliki peranan penting dalam
mempertahankan secara halus keseimbangan asam-basa darah.
Tipe utama protein
yang terdapat dalam plasma dibagi menjadi 3 kelompok yaitu albumin, globulin dan fibrinogen. Albumin adalah protein yang paling banyak di dalam plasma yang merupakan protein utama yang dihasilkan oleh hati.
Albumin adalah elemen kunci dalam
regulasi tekanan osmotik dan distribusi cairan antara kompartemen yang berbeda (Roche dkk, 2008). Albumin memiliki beberapa fungsi fisiologis dan farmakologis penting.
Albumin mampu mengangkut logam, asam lemak, kolesterol, pigmen
empedu, dan obat-obatan. Albumin juga berperan penting di dalam pengikatan dan treanspor zat di dalam darahm dan bertanggung jawab pada sekitar 80% dari tekanan osmotic potensial dari plasma. Menurut Frandson hal ini disebabkan karena albumin dan protein- protein lain yang berat molekulnya tinggi tidak dapat melintasi dinding pembuluh atau dinding kapiler dan oleh karenanya akan membantu mempertahankan cairan berada di dalam sistem vaskular.
13
Fungsi penting lain albumin adalah kemampuanya mengikat berbagai ligan. Ligan-ligan tersebut mencangkup asam lemak bebas (FFA), kalsium, hormon steroid tertentu, bilirubin, dan sebagian triftopan plasma. Selain itu albumin tampaknya berperan penting dalam mengankut tembaga di tubuh (Murray, 2009). Prekursor utama albumin adalah proteindan karbohidrat dengan komposisi sebagai berikut: (1) ovalbumin 54%; (2)ovotransferrin (conalbumin) 13%; (3)ovomucid 11%; (4) ovoglobulins 8%; (5)Lysosyme 3,5%; (6) dan ovomucin 1,5-3,0 %. Sintesis albumin membutuhkan mRNA untuk translasi. Suplai asam amino yang cukup akan diaktivasi dan berikatan dengan tRNA.
Ribosom untuk
pembentukan dan energi dalam bentuk ATP. Sintesa albumin dimulai di dalam nukleus, dimana gen ditranskripsikan ke dalam messenger ribonukleic acid (mRNA). Kemudian mRNA disekresikan ke dalam sitoplasma, dimana albumin berikatan dengan ribosom, membentuk polysome yang mensintesa preproalbumin. (Bangun, 2008). Faktor utama yang mempengaruhi sintesis albumin adalah asupan pakan yang mengandung protein, tekanan osmotik koloid, aksi hormon tertentu (misalnya; hormon tiroid dan hormon glukokortikoid), dan kejadian penyakit (Busher, 1990). Konsentrasi plasma albumin mewakili keseimbangan antara sintesis dalam hati dan katabolisme (Roche dkk., 2008).
Peningkatan konsentrasi albumin
umumnya disebabkan oleh naik-turunnya volume darah.
Penurunan konsentrasi
albumin dalam darah tidak hanya disebabkan oleh penurunan sistesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ke ekstravaskuler dan asupan protein (Ballmer, 2001). Konsentrasi albumin dapat meningkat karena dehidrasi ringan, gagal jantung (Cronic Hearth Failure), gagal
14
dalam penggunaan perombakan protein, kelebihan hormon glukokortikoid, dan turunan (Kaslow, 2010). Konsentrasi albumin dapat mengalami penurunan pada dehidrasi kronis, penyakit hipotiroid, malnutrisi (defisiensi protein), polidipsi, gejala kerusakan ginjal, protein loosing enterophaty, terbakar, kegagalan fungsi hati dan ketidak cukupan hormon anabolik atau hormon pertumbuhan (Kaslow, 2010).
Rendahnya kadar
albumin menyebabkan gangguan yang serius pada tekanan osmotik intravaskuler, kehilangan albumin dapat bermanifestasi edema (Roche dkk., 2008). 2.3
Globulin Globulin merupakan salah satu fraksi utama protein dalam darah. Berguna
untuk sirkulasi ion, hormon dan asam lemak. Beberapa jenis globulin mengikat hemoglobin, beberapa lainnya mengikat zat besi, berfungsi untuk melawan infeksi, dan bertindak sebagai faktor koagulasi (Kaslow, 2010). Menurut Harper dkk. (1980) globulin merupakan bagian dari protein plasma yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam encer, basa dan garam encer, dan globulin merupakan campuran yang kompleks dan komponennya terdiri dari mukoprotein, glikoprotein, lipoprotein serta gamma globulin. Globulin diklasifikasi dalam jenis-jenis berdasarkan migrasi atau separasinya melalui elekroforesis. Jenisjenis tersebut adalah alfa-1, alfa-2, beta-2, dan gamma. Alfa- dan beta-globulin disintesis dalam hati. Gamma-globulin disintesis oleh sel plasma dan limfosit pada saat sel-sel ini dirangsang oleh antigen.
Kebanyakan antibodi yang telah diketahui
termasuk dalam fraksi gamma-globulin (Frandson, 1992).
15
Globulin merupakan glikoprotein yang pada pemisahan elektroforesis bergerak paling lambat karena peran sertanya pada reaksi imun, maka globulin disebut juga imunoglobin (IgG). Selain itu konsentrasi globulin dapat meningkat akibat infeksi kronis (parasit, bakteri, atau virus), penyakit hati (sirosis, penyumbatan saluran empedu), sindrom karsinoid, radang sendi atau reumatik, ulkus pada kolon, myeloma dan leukemia, penyakit autoimun dan gagal ginjal (Kaslow, 2010). Dinyatakan oleh Yusiati dkk. (2008), globulin adalah protein yang larut dalam garam serta sedikit larut dalam air sehingga globulin tidak larut sempurna dalam air. Globulin bersifat sedikit larut dalam air, laruran menggumpal bila dipanaskan dan mengendap bila ditambahkan annonium sulfat setengah jenuh (Poedjiadi, 1994) 2.4
Fructooligosaccharide (FOS) Fructooligosaccharides (FOS) merupakan bagian dari oligosakararida yang
digunakan untuk pemanis buatan atau alternatif pemanis lain.
Fruktooligosakarida
sering digunakan untuk kesehatan sumber energi (Roberfroid, 2000). FOS adalah unit beta fruktosa yang yang merupakan bagian dari sukrosa.
Struktur kimia dari
FOS tidak dapat dicerna oleh asam lambung maupun enzim yang dihasilkan dari pankreas (Cummings dkk., 2001). Frukto-oligosakarida (FOS) merupakan prebiotik yang diperoleh degan cara menghidrolisis insulin. FOS biasa dikenal dengan nama frukto oligomers dan merupakan inulin-type oligosaccaharides. FOS terbentuk dari beberapa oligosakarida homolog dari derivat sukrosa yang digambarkan dengan formula GFn yang penyusun utamanya GF2, GF3 dan GF4 dan terikat pada ikatan β2,1. Struktur kimia GF2, GF3 dan GF4 dapat dilihat pada Ilustrasi 1 (Yun, 1996; Lee dkk., 1999).
16
Ilustrasi1. Struktur 1-kestose (GF2, kiri), nystose (GF3, tengah), dan fructofuranosyl nystose (GF4, kanan) FOS dapat ditemukan pada buah-buahan, sayur-sayuran dan madu. FOS merupakan bagian dari oligomer dan polimer fruktosa yang berasal dari sukrosa. FOS akan ditemukan dalam jumlah yang banyak pada tanaman yang mengandung karbohidrat tinggi. Sumber FOS yang sudah banyak dikenal antara lain asparagus, bawang putih, bawang merah, gandum, madu, pisang, dan tomat (Sangeetha dkk., 2005; Mussatto dan Mancilha, 2007). FOS
secara
selektif
dapat
Bifidobacterium dan Lactobacillus.
memacu
pertumbuhan
bakteri
seperti
Selain dapat memacu pertumbuhan bakteri,
prebiotik juga dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen seperti E.coli, Clostridia, dan Enterobacter. FOS juga dapat memperbaiki integritas epitel usus halus, karena SCFA (Short Chain Fatty Acid) sebagai hasil fermentasi prebiotik merupakan bahan penting untuk metabolisme sel epitel usus sehingga fungsi saluran cerna dan absorbsi nutrien dapat meningkat. Fermentasi tersebut sangat erat hubungannya dengan GutAssociated Lymphoid Tissue (GALT) yang merupakan jaringan terbesar dari sistem
17
imun yaitu sekitar 60% dari total limfosit dalam tubuh (Delgado dkk., 2011; Saad dkk., 2013). Penelitian kandungan dan produksi FOS di Indonesia masih berfokus pada penggunaan beberapa bahan yang memiliki kandungan inulin sebagai sumber fruktosa (Rukmana, 2000; Widjanarko dkk., 2013), sementara penggunaan bahan pangan kaya karbohidrat belum dilakukan. Sulawesi Utara memiliki beberapa jenis bahan pangan kaya karbohidrat yang bisa digunakan sebagai media tumbuh mikroorganisme untuk produksi FOS.
Bahan pangan seperti ubi jalar (Ipomoea
batatas), pisang goroho (Musa acuminate) dan gula merah secara tradisional banyak digunakan karena memiliki nilai kesehatan. Pisang goroho merupakan jenis pisang asal Sulawesi Utara, secara tradisional digunakan sebagai sumber karbohidrat bagi penderita DM karena indeks glikemiknya yang rendah. Penelitian (Suryanto, 2011) menunjukkan bahwa pisang goroho juga mengandung senyawa fenolik, flavonoid dan tannin, serta memiliki aktifitas antioksidan. Untuk ubi jalar, selain kaya karbohidrat, merupakan bahan pangan kaya komponen penunjang kesehatan seperti β‐carotene dan antosianin. Selanjutnya gula merah yang kaya sukrosa menjadikannya sebagai media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme.