9 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Deskripsi Domba Garut Domba dapat diklasifikan berdasarkan beberapa hal tertentu, misalnya dari
produksi daging atau wol (Kammlade dan Kammlade, 1955). Sedangkan klasifikasi domba menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Artodactyla
Famili
: Bovidae
Genus
: Ovis
Spesies
: Ovis aries Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi dengan iklim tropis dan memiliki sifat seasonal polyestroes sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Jenis domba di Indonesia terdapat tiga jenis, yaitu Jawa Ekor Tipis, Jawa Ekor Gemuk, dan Sumatera Ekor Tipis (Iniguez dkk, 1991). Jenis yang paling menonjol di Indonesia yaitu domba Ekor Tipis (DET) dan domba Ekor Gemuk (DEG) dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Sedangkan menurut Salamena (2003), domba dikelompokan
10 menjadi domba Ekor Tipis (Javanese Thin Tailed), domba Ekor Gemuk (Javanese Fat Tailed) dan domba Priangan atau dikenal juga sebagai domba Garut. Ciri khas domba Garut dengan kombinasi antara kuping rumpung atau ngadaun hiris dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong, dan dengan warna muka yang variatif. Domba Garut yang bermuka hitam bukan merupakan domba hasil persilangan antar domba lokal dengan domba-domba impor, tapi merupakan domba asli yang telah ada di Kabupaten Garut sesuai dengan keyakinan para sesepuh domba Garut, khususnya dari daerah Cibuluh, Cikeris, dan Cikandang di Kecamatan Cikajang dan Kecamatan Wanaraja (Heriyadi, 2011). Domba Cibuluh memiliki ciri yang sangat spesifik, yaitu bertelinga rumpung (rudimenter) dengan ukuran di bawah 4 cm atau ngadaun hiris dengan ukuran 4 - 8 cm (Heriyadi dan Surya, 2004).
2.2
Pencernaan Domba Domba adalah ternak ruminansia yang mempunyai perut majemuk yang
membedakannya dengan ternak non-ruminansia yang berperut tunggal seperti unggas. Ternak ini memamah kembali dan mengunyah pakannya serta telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat tinggi. Pakan yang berserat tinggi yang diberikan pada domba diubah menjadi daging dan susu, produk yang kaya protein, lemak, vitamin dan mineral untuk konsumsi manusia (Tomaszewska dkk., 1993).
11 Hewan ruminansia pada saat mengkonsumsi hijauan, hijauan itu akan dikunyah sebentar sebelum ditelan, kemudian dicampur dengan saliva di dalam mulut untuk melumasinya. Kemudian pakan itu bergerak ke esofagus menuju rumen (paunch atau ruang fermentasi), retikulum (honeycomb, waterbag, atau pace setter), omasum, abomasum (perut sejati), usus halus, caecum, usus besar dan anus (Blakely and Bade, 1985). Pakan yang ditelan pertama-tama masuk ke dalam rumen. Perkiraan kapasitas bagian saluran pencernaan domba dari total saluran pencernaan yaitu total lambung 67%, usus halus 20%, sekum 3%, dan usus besar 10%. Rumen mengandung mikroorganisme, bakteri dan protozoa yang menghancurkan bahanbahan berserat, mencerna bahan-bahan tersebut untuk kepentingan mikroba itu sendiri untuk membentuk asam lemak mudah terbang (Volatile Fatty Acids atau VFA) serta mensintesis vitamin B serta asam amino. Asam lemak mudah terbang yang dihasilkan oleh mikroorganisme dalam rumen akan diserap melalui dinding rumen melalui penonjolan-penonjolan yang menyerupai jari yang disebut vili, serta menghasilkan energi (Tillman dkk., 1998). Protein kasar yang memasuki bagian retikulo rumen berasal dari pakan dan saliva. Protein kasar terdiri dari dua jenis yaitu protein murni (terdiri dari asam-asam amino dengan ikatan peptide) dan non-protein nitrogen. Protein murni yang tidak bisa menghindari pencernaan di retikulo rumen dicerna oleh peptidase jasad renik dan diuraikan menjadi asam-asam amino yang dapat dipakai untuk sintesa protein mikrobial atau deaminasi untuk membentuk asam organik, amonia,
12 CO2. Amonia yang terbentuk pada deaminasi dapat dikombinasikan dengan asam organik membentuk asam amino baru, dan dapat pula diabsorbsi ke sirkulasi portal dan dibawa ke hati dan amonia tersebut digunakan untuk membentuk urea (Tillman, dkk. 1998). Sebagian besar urea difiltrasi keluar oleh ginjal dan kemudian dikeluarkan bersama urin. Namun sebagian urea masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen. Urea kemudian dirubah urease mikroba menjadi CO2 dan amonia (Tillman, dkk. 1998). Cairan retikulo-rumen mengandung bakteria dan protozoa yang masingmasing konsentarasinya yaitu bakteria kira-kira 109 setiap cc isi rumen, sedangkan jumlah protozoa bervariasi kira-kira 105 sampai 106 setiap cc isi rumen (Tillman dkk., 1998). Mikroorganisme di dalam rumen masa hidupnya singkat dan setelah mati lalu dicerna dan dilepaskan bermacam zat makanan seperti lemak, karbohidrat, protein, mineral, dan vitamin yang kemudian diserap oleh dinding usus (Blakely and Bade, 1985). Perut depan (reticulo-rumen) merupakan perut terbesar dari saluran pencernaan dimana sebagian besar pakan yang dikonsumsi akan dicerna didalamnya. Pencernaan pakan terutama dilakukan oleh mikroorganisme, terutama bakteri dan protozoa didalam suatu proses fermentasi. Selanjutnya massa mikroorganisme ini sangat bernilai sebagai sumber protein mikroorganisme, dan sangat penting untuk menyediakan ternak ruminansia tersebut sumber nitrogen dan potein untuk sistesis protein mikroorgannisme. Hasil akhir fermentasi didalam
13 rumen seperti gula sederhana, asam amino, glukosa, asam-asam lemak, monogliserida disamping mineral dan vitamin, diserap melalui membran mukosa didalam saluran pencernaan ke dalam sistem peredaran darah dan limpha terutama dalam usus halus. Sedangkan sejumlah asam lemak yang mudah menguap (VFA) dan amonia diserap didalam rumen. Peranan reticulo-rumen sangat penting dan pemenuhan kebutuhan gizi mikroorganisme rumen harus diperhatikan untuk pemanfaatan yang optimal dari pakan yang dikonsumsi (Tomaszewska dkk., 1993). Pakan yang terapung di dalam rumen bergerak di dalam suatu pola melingkar, kemudian menjadi semakin berat dan tenggelam perlahan-lahan. Gerakan tersebut semakin menjadi sangat aktif pada saat hewan ruminansia telah selesai merumput. Hewan ruminansia yang sedang istirahat akan melakukan ruminasi atau memamah biak yang disebut juga dengan istilah cud chewing. Suatu bolus (cud) terbentuk melalui kerja otot retikulum dari bahan-bahan yang masuk. Bolus itu mengalami regurgitasi dan kembali masuk ke dalam mulut untuk kembali dikunyah lebih halus, ditelan kembali, dan kemudian menuju retikulum. Wujud retikulum yang mempunyai rumah lebah mencegah benda-benda asing seperti misalnya kawat untuk tidak terus bergerak ke saluran pencernaan lebih lanjut (Blakely and Bade, 1985). Omasum menerima campuran pakan dan air, dan sebagian besar air itu diserap oleh luasnya daerah penyerapan yang terdiri dari banyak lapis. Sebagian besar pekerjaan pencernaan diselesaikan di abomasum yang disebut juga sebagai
14 perut sejati, karena kemiripannya dengan fungsi perut tunggal pada hewan nonruminansia. Unsur-unsur penyusun berbagai zat makanan (asam amino, gula, asam lemak) dihasilkan di dalam abomasum melalui kerja cairan lambung terhadap bakteri dan protozoa dan diserap melalui dinding usus halus. Bahanbahan yang tidak tercerna bergerak ke caecum dan usus besar, kemudian disekresikan sebagai feses (Blakely and Bade, 1985).
2.3
Bahan Pakan Lokal Pakan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi produktivitas ternak.
Kondisi pakan (kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan, menyebabkan produktivitas ternak menjadi rendah, antara lain ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah. Upaya untuk mencukupi kebutuhan gizi dan memacu pertumbuhan, dapat dilakukan dengan cara memberikan pakan tambahan berupa konsentrat (Ensminger dan Parker, 1986), atau memberikan hijauan leguminosa yang umumnya mengandung protein lebih tinggi daripada rumput (Mathius dkk., 1984). Pakan ruminansia banyak mengandung selulosa, hemiselulosa, pati, dan karbohidrat yang larut dalam air. Hijauan yang semakin tua umurnya, proporsi selulosa dan hemiselulosa bertambah, sedangkan karbohidrat yang larut dalam air berkurang. Selulosa juga berhubungan erat dengan lignin dan kombinasi lignoselulosa. Selulosa dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh ternak ruminansia, namun dicerna oleh mikroba rumen (Tillman, dkk. 1998).
15 Bahan pakan lokal adalah bahan pakan ternak yang dapat ditemukan dilingkungan sekitar kita. Bahan pakan lokal selalu dikaitkan dengan harga yang murah. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan suatu bahan pakan seperti ketersediaan, kandungan zat makanan, harga, dan kemungkinan terdapatnya faktor pembatas seperti racun dan antizat makanan, serta perlu tidaknya bahan pakan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan ternak (Sinurat, 1999). Bahan pakan lokal dapat berasal dari limbah tanaman, namun penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan memiliki kendala yaitu nilai zat makanan yang tergolong rendah, waktu panen serta perlakuan pasca panen (Soetanto, 2001). Penggunaan pakan lokal dapat meminimalisir penggunaan pakan impor, seperti jagung, kedelai, dan tepung ikan. Berkembangnya sistem integrasi tanaman ternak yang ramah lingkungan makin meningkatkan jenis pakan yang tersedia (Kuswandi, 2011). Sumber bahan pakan lokal untuk ternak ruminansia terdiri atas hijauan sumber serat dan pakan tambahan sebagai sumber energi, protein, mineral dan vitamin. Hijauan pakan umumnya berupa rerumputan yang pada musim hujan ketersediaannya melimpah. Hijauan leguminosa digunakan sebagai pakan sumber protein (lebih dari 10%). Diantara jenis legum yang merambat, sentro dan kalopo merupakan sumber amonia yang baik untuk pencernaan dalam rumen (Kuswandi, 1988). Salah satu hijauan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah rumput lapang. Rumput lapang ini mudah didapatkan, namun kualitasnya
16 bervariasi tergantung jenis, umur, musim, dan lokasi tumbuh rumput tersebut, serta jenis tanah, pada tanah yang subur akan menghasilkan rumput lapang yang berkualitas (Ibrahim dkk., 2008). Pakan tambahan yang dapat digunakan untuk ternak ruminansia diantaranya adalah dedak padi, ampas kecap, bungkil kelapa, dan onggok. Menurut Pangestu dkk (2008), bahan pakan seperti bungkil, ampas, dedak merupakan sumber utama protein, energi, dan mineral dalam pakan, namun kandungan zat makanan, palabilitas, dan kecernaannya berbeda-berbeda.
2.4
Imbangan Protein dan Energi Protein merupakan salah satu komponen zat makanan yang diperlukan oleh
ternak muda untuk pertumbuhan (McDonald dkk., 1988). Fungsi protein dalam tubuh yaitu untuk memperbaiki jaringan, metabolisme energi, enzim-enzim yang esensial bagi tubuh, dan hormon tertentu (Anggorodi, 1994). Kekurangan protein dalam ransum, dapat berpengaruh negatif terhadap ternak. Untuk menanggulangi kekurangan protein ransum, ternak akan menggunakan cadangan protein tubuh yang ada di dalam darah, hati dan jaringan otot, dan hal ini dapat membahayakan kondisi dan kesehatan ternak (Ensminger dan Parker, 1986), menekan perkembangan mikroorganisme rumen yang bermanfaat untuk mencerna selulosa dan sebagai sumber protein bagi ternak (McDonald dkk., 1988). Selain itu kekurangan
protein
dapat
menghambat
perkembangan
reproduksi
dan
produktivitas ternak termasuk pertumbuhan (Ensminger dan Parker, 1986). Untuk
17 menghindari hal-hal negatif tersebut, maka protein di dalam ransum harus mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi (pertumbuhan). Energi makanan dibutuhkan ternak untuk aktivitas kerja fisik dan biologis dalam pembentukan jaringan otot baru (Tillman dkk., 1983). Ketersediaan energi dalam ransum yang dikonsumsi oleh ternak sangat penting karena dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan protein dalam mensintesa jaringan tubuh (McDonald dkk., 1988). Kebutuhan energi pakan akan meningkat dengan meningkatnya bobon badan ternak (Kearl, 1982). Imbangan antara protein dengan energi dalam pakan harus diperhatikan, hal ini dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan protein minimum, sebab ternak yang kekurangan energi, akan menggunakan protein yang tersedia dan dirombak menjadi energi (Anggorodi, 1995). Ternak yang kekurangan energi dalam ransumnya dapat mengurangi fungsi rumen dan menurunkan efisiensi penggunaan protein serta menghambat pertumbuhan ternak (Ensminger dan Parker, 1986). Dengan demikian, peningkatan protein di dalam ransum, perlu diimbangi dengan energi yang cukup agar ternak dapat tumbuh sesuai dengan potensi genetiknya (Martawidjaja dkk, 1999). Pemanfaatan energi oleh ternak dipengaruhi kualitas pakan yang dikonsumsi termasuk imbangan protein kasar dan Total Digestible Nutrient (Nugroho, dkk. 2013). TDN menggambarkan kebutuhan energi bagi ternak, apbila konsumsi TDN telah cukup, maka kebutuhan energi pun cukup untuk ternak tersebut (Banerjee, 1978).
18 Efisiensi fermentasi dalam rumen yang optimal dihasilkan dari rasio protein dengan energi yang sesuai, dalam hal ini energi pakan yang dimanfaatkan untuk proses tumbuh akan optimal (Ginting, 2005). Kebutuhan rasio protein dengan energi pakan lebih besar pada ternak ruminansia muda yang sedang tumbuh dengan cepat (Soeparno, 2005). Efisiensi fermentasi selain dipengaruhi oleh kandungan zat makanan pakan, ditentukan juga oleh laju degradasi zat makanan terutama protein (N) dan energi. Efisiensi fermentasi akan meningkat apabila degradasi N dan karbohidrat berlangsung harmonis selama proses fermentasi. Degrabilitas protein dan energi yang terjadi secara simultan dan sesuai (harmonis) dapat meningkatkan produksi protein mikroba sebagai sumber utama protein bagi produksi ruminansia (Ginting, 2005).
2.5
Konsumsi dan Kecernaan Pakan Konsumsi pakan merupakan pakan yang dikonsumsi oleh ternak pada
periode waktu tertentu yang merupakan faktor penting yang akan menentukan fungsi dan respon ternak serta penggunaan zat makanan yang ada di dalam pakan (Van Soest, 1994). Konsumsi dipengaruhi oleh kandungan air dan serat kasar yang ada di dalam pakan, apabila kandungan air dan seratnya tinggi (81,50% dan 33,10%) akan menyebabkan penurunan pada konsumsi pakan (Martawidjaja dkk., 1999). Hal ini dikarenakan kapasitas tampung rumen terbatas dan laju lintas pakan (rate of passage) rendah, sehingga konsumsi bahan kering termasuk zat-zat
19 makanan yang lainnya menjadi rendah (McDonald dkk., 1988). Sedangkan faktorfaktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah energi pakan, serat kasar, kerapatan jenis atau kepadatan pakan, dan lemak kasar (Parakkasi, 1990). Konsumsi ransum dipengaruhi juga oleh genetik, sex, berat badan, imbangan energi dan protein dalam ransum serta temperatur (Aipipidely, dkk,. 2006). Konsumsi sendiri akan mempengaruhi kecernaan dari zat makanan. Pakan yang berkualitas dapat diketahui dari imbangan protein dan energi dalam ransum. Kecernaan zat makanan dapat ditentukan dengan asumsi bahwa zat makanan yang telah dikonsumsi tidak terdapat lagi di dalam feses, zat makanan tersebut tercerna dan terabsorbsi di dalam tubuh (Tillman dkk., 1998). Faktorfaktor yang mempengaruhi kecernaan zat makanan yaitu komposisi kimia, pengolahan pakan, jumlah makanan yang diberikan, dan jenis ternak (Maynard dan loosli, 1983). Kecernaan suatu zat makanan penting untuk diketahui, karena hal tersebut berguna dalam mempertinggi efisiensi konversi makanan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu suhu, laju perjalanan melalui pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya, misalnya penambahan molases ke dalam ransum akan sedikit menrunkan daya cerna, karena mikroba rumen akan mencerna terlebih dahulu gula dibandingkan serat kasar dan sisa karbohidrat lainnya dalam ransum yang sulit dicerna (Anggorodi, 1994).
20 Faktor yang mempengaruhi kecernaan menurut Tillman (1998), yaitu komposisi makanan, daya cerna semu protein kasar, lemak, komposisi ransum, penyiapan makanan, faktor ternak, dan jumlah makanan. Daya cerna suatu bahan bahan makanan atau ransum tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, pada ternak ruminansia apabila tidak terdapat satu dari zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba rumen maka daya cernanya akan berkurang.
2.6
Serat Kasar Serat kasar merupakan bagian dari karbohidrat yang telah dipisahkan dari
bahan ekstrak tanpa nitrogen (Tillman dkk,. 1989). Serat kasar dimanfaatkan oleh ternak ruminansia sebagai sumber energi. Serat kasar sendiri terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Apabila diklasifikasikan berdasarkan kelarutannya dalam larutan detergent dengan menggunakan analisis Van Soest (1994), serat kasar ini terbagi menjadi dua bagian yaitu NDF dan ADF. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik serat dalam pakan ternak yaitu serat kasar berdasarkan Weende (Henneberg dan Stohman, 1859), serat kasar berdasarkan Van Soest (Van Soest, 1973), dan Total Dietary Fiber atau TDF (Johnston dkk., 2003). Metode Weende dan Van Soest merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menggambarkan fraksi karbohidrat yang tercerna dalam pakan ternak (Bach-Knudsen, 1997).
21 Kemampuan ternak ruminansia untuk mencerna serat kasar dipengaruhi oleh kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar, dan aktivitas mikroorganisme (Maynard dkk., 2005). Aktivitas bakteri selulolitik didalam rumen berlangsung pada pH 6,0 ke atas, sedangkan untuk pH rumen yang normal berkisar diantara pH 6,0 - 7,0. Kondisi rumen dengan pH dibawah 5,3 dapat menyebabkan kerja bakteri selulolitik menjadi terhambat (Mourino dkk., 2001). Pencernaan serat kasar pada ternak ruminansia terjadi pada bagian rumen dengan bantuan dari mikroorganisme yang ada di dalamnya. Serat kasar yang dikonsumsi oleh ternak memiliki hubungan yang negatif dengan kecernaan. Semakin rendah serat kasar, maka kecernaan akan lebih tinggi (Despal, 2000).
2.7
Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF) Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF) merupakan
bagian dari serat kasar yang dibedakan berdasarkan kelarutannya dalam larutan detergent. Bagian yang tidak larut dalam larutan detergent neutral yaitu Neutral Detergent Fiber (NDF), sedangkan yang bagian yang larut yaitu isi sel yang terdiri atas protein, karbohidrat non struktural, dan lemak. Kemudian apabila NDF dilarutkan kembali dalam larutan dertergent asam maka bagian yang tidak terlarutnya dikenal sebagai Acid Detergent Fiber (ADF) yang terdiri atas selulosa, lignin, dan silika (Van Soest, 1994). Peningkatan NDF dan ADF dalam pakan dapat menurunkan nilai kecernaan, asupan zat makanan, dan performa ternak (Van Soest., 1994). Pakan ternak dengan konsentrasi serat kasar yang tinggi
22 didalamnya dapat menyebabkan pertambahan bobot badan harian yang rendah pada ternak (Nyamukanza dan Scogings, 2008).
2.7.1 NDF NDF merupakan fraksi zat makanan yang berkorelasi dengan asupan bahan kering ruminansia (Mertens, 1993). NDF merupakan faktor pembatas dari asupan bahan kering (Teixeira dkk, 2014). NDF merupakan serat kasar yang tidak larut yang merangsang proses ruminasi yang penting untuk menjaga ekosistem rumen dan proses pencernaan di dalam rumen (Abeysekara, 2003). Kecernaan ruminal NDF terkait dengan produksi VFA dan keseimbangan pH rumen (NRC, 2001). Ukuran partikel hijauan sangat mempengaruhi dari laju pencernaan hijauan di dalam sistem pencernaan ternak. Karena mikroba rumen memerlukan waktu yang cukup untuk mencerna serat kasar dari hijauan dengan cara fermentasi (Abeysekara, 2003).
2.7.2 ADF ADF berhubungan erat dengan kecernaan, karena ADF merupakan faktor pembatas dari kecernaan(Parakkasi,1999). ADF memberikan pengaruh yang negatif pada semua jenis spesies, ADF memberikan pengaruh yang negatif terhadap kecernaan bahan kering. Efek tersebut jelas terlihat pada kambing, kemudian diikuti domba dan sapi. Biasanya domba lebih mampu untuk mencerna pakan dengan kualitas rendah dengan konsentrasi serat kasar yang tinggi (Riaz,
23 2014). Nilai kecernaan NDF dan ADF domba lebih tinggi dibandingkan kambing (Brown and Johnson, 1985).