6
II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Sapi Bali Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan taksonomi
sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Sub class
: Theria
Infra class
: Eutheria
Ordo
: Artiodactyla
Sub ordo
: Ruminantia
Infra ordo
: Pecora
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos (cattle)
Group
: Taurinae
Spesies
: Bos taurus (sapi Eropa) Bos indicus (sapi India/sapi zebu) Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
Bangsa sapi Eropa antara lain Frisian Holstein (FH), sapi jersey, sapi limousin, Gallowy, Hereford, Shorthorn, dan Carolais. Sapi-sapi Amerika dan Australia merupaka keturunan sapi-sapi Eropa dan sebagian hasil persilangan dengan bangsa sapi india.
7
Bangsa sapi India sering disebut dengan sapi Zebu, bangsa sapi Zebu ini antara lain sapi Ongole, Gir, Guzarat, Sahiwal,dan Brahman yang berkembang di Amerika. Sedangkan sapi-sapi Afrika merupakan keturunan bangsa sapi Zebu dengan beberapa jenis sapi Eropa. Misalnya, sapi Nandi merupakan keturunan antara sapi Zebu dengan sapi Shorthon, Boran, Kenana dan Africander. Beberapa jenis sapi di Indonesia. Misalnya, sapi PO (Peranakan Ongole), sapi Bali dan sapi Madura. Sapi Bali merupakan sapi potong asli indonesia yang didomestikasi dari Banteng. Sapi Bali digolongkan sebagai sapi pedaging ideal ditinjau dari bentuk badan yang kompak dan serasi bahkan dinilai mempunyai keunggulan yang hampir menyerupai sapi pedaging Eropa.
Oleh karena itu,
dianggap mempunyai kemampuan beradaptasi dengan pemberian pakan yang bernilai gizi tinggi (Williamson dan Payne, 1976). Sapi Bali memiliki bibir, kaki dan ekor berwarna hitam, sedangkan warna putih ditemukan pada bagian sekitar bawah bibir, lutut ke bawah dan bokong yang berbentuk oval. Garis hitam dari bahu sampai di atas ekor, ditemukan pada punggung. Sapi Bali digunakan sebagai ternak kerja, tetapi dianggap sebagai ternak potong karena memiliki kualitas karkas yang baik.
Kepala lebar dan
pendek dengan puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan bediri. Tanduk jantan berukuran besar tumbuh ke samping kemudian ke atas dan meruncing (Williamson dan Payne., 1993). 2.2
Pendugaan Umur Ternak Umur sapi dapat diketahui dengan melihat gigi serinya. Gigi seri sapi
hanya terdapat dirahang bawah. Semenjak lahir, gigi seri sapi sudah tumbuh. Gigi secara bertahap tumbuh pada umur tertentu akan tanggal sepasang demi
8
sepasang, berganti ddengan gigi seri yang baru. Gigi seri yang pertama tumbuh disebut gigi susu, sedangkan gigi seri baru yang mengganti gigi susu disebut gigi tetap. Pemunculan setiap pasang gigi bermunculan kira-kira pada waktu yang sama dari kehidupan dan dengan demikian indikasi dari umur ternak yang mugkin yang dapat diperiksa dari gigi-gigi ternak tersebut (Williamson dan Payne., 1993). Pertumbuhan gigi sapi bisa dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase gigi susu, fase ini dimana gigi yang tumbuh semenjak lahir sampai gigi itu berganti dengan gigi yang baru, fase pergantian gigi, yaitu dari awal pergantian sampai selesai, dan fase keausan yaitu dimana gigi tetap mengalami keausan (Murtidjo, 1992). Sapi yang mengalami gigi susu semua pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar kurang lebih 1,5 tahun.sapi yang memiliki gigi tetap sepasang pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar 2 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap dua pasang pada rahang bawah mempunyai usia sekitar 3 tahun. Sapi yang memiliki gigi tetap empat pasang pada rahang bawah, mempunyaiusia sekitar 4 tahun. Sapi yang mempunyai gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 25% bagian telah aus, mempunyai usia sekitar 6 tahun. Sapi yang mempunyai gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 50% bagian telah aus, mempunyai usia sekitar 7 tahun. Sapi yang mempunyai gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 75% telah aus, mempunyai usia sekitar 8 tahun. Sapi yang mempunyai gigi tetap empat pasang, tapi semua telah aus, mempunyai usia diatas 8 tahun (Murtidjo, 1992). Gambar 1 menunjukan contoh pendugaan umur sapi.
9
2.3
Pertumbuan dan Perkembangan Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukura yang meliputi
perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linier, dan konformasi tubuh termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, tulang, lemak, dan organserta kompnen seperti air, protein, dan abu pada karkas (Soeparno, 1992). Selanjutnya dinyatakan bahwa perubahan organ-organ dan jaringan tersebut berlangsung secra gradual sehingga tercapai ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan. Menurut Berg dan Butterfield (1976) pertumbuhan dapat diukur sebagai pertambahan massa tubuh persatuan waktu. Massa tubuh ini merupakan alat pengukur yang secara komersial sangat penting dan berguna dalam pertumbuhan yaitu untuk meramalkan produk-produk yang dihasilkan dan layak dikonsumsi, terutama daging yang mempunyai kualitas baik.
10
Proses pertumbuhan yang dialami ternak sapi mulai saat terjadinya pertumbuhan hingga pedet itu lahir, dan dilanjutkan sampai sapi menjadi dewasa. Selama proses ini berlangsung, pertumbuhan saat pembuahan berlangsung lambat, kemudian menjadi agak cepat pada saat menjelang kelahiran. Sesudah pedet lahir pertumbuhan semakin cepat hingga usia penyapihan. Usia penyapihan hingga pubertas laju pertubuhan masih bertahan pesat, akan tetapi dari usia pubertas sampai dewasa laju pertumbuhannya menurun. Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan adalah hasil dari pertumbuhan bagian-bagian tubuh yang berbeda-beda. Rangka atau tulang tumbuh cepat dalam waktu yang singkat sesudah hewan dilahirkan yang kemudian turun lagi. Setelah itu baru diikuti pertumbuhan otot-otot dan terakhir adalah lemak. Penimbunan lemak terjadi setelah hewan mencapai kedewasaan tubuh, yakni setelah jaringan tulang dan otot selesai. Kemudian diikuti pembentukan lemak. Oleh karena itu, sapi yang dipotong pada usia muda 1,5-2,5 tahun persentase dagingnya lebih tinggi sebab belum tertimbun lemak (Sugeng, 2003). Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear, bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu: proses-proses dasar pertumbuhan sel, diferensiasi sel-sel induk menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi.
Pertumbuhan sel
meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma (Williams, 1982; Edey, 1983) Berdasarkan waktu pengukuran bobot badan sebagai indikator laju pertumbuhan pada periode tertentu, maka petumbuhan ternak dapat digolongkan dalam tiga periode yaitu lahir, sebelum disapih, dan sesudah disapih.
11
Pertumbuhan sering didefinisikan sebagai perubahan hidup, bentuk ukuran, serta komposisi tubuhnya (Hasbullah, 2003).
Pertumbuhan biasanya dinyatakan
dengan kenaikan bobot badan. Pertumbuhan mempunyai tahap yang cepat dan tahap yang lambat. Tulang paling cepat pertumbuhannya disusul otot dan lemak paling lambat berhenti pertumbuhannya (Tillman dkk., 1991). Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) (Black, 1983). Pertumbuhan prenatal dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu periode ovum, periode embrio dan periode fetus.
Pertumbuhan pra sapih sangat
tergantung pada jumlah dan mutu susu yang dihasilkan oleh induknya (Williams, 1982). Pada domba, pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh genotip, bobot lahir, produksi susu induk, litter size, umur induk, jenis kelamin anak dan umur penyapihan.
Pertumbuhan pasca sapih (lepas sapih) sangat ditentukan oleh
bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan, umur dan bobot sapih serta lingkungan misalnya suhu udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan penyakit lainnya (Edey, 1983). Pertumbuhan dapat diukur dengan tiga cara, yakni: (1) laju pertumbuhan kumulatif (cumulative growth rate), (2) laju pertumbuhan relative (relative growth rate) dan (3) laju pertumbuhan absolut (absolute growth rate). Kurva laju pertumbuhan kumulatif adalah kurva bobot badan versus waktu, bentuk kurva ini sigmoid. Pertumbuhan sapi jantan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali dapat digambarkan sebagai kurva yang berbentuk sigmoid (Tulloh, 1978). Kurva pertumbuhan kumulatif diperoleh dengan cara menimbang bobot hidup ternak sesering mungkin, selanjutnya dibuat kurva dengan aksisnya adalah umur dan ordinatnya adalah bobot hidup. Di bawah kondisi lingkungan yang
12
terkendali, bobot ternak muda akan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai bobot badan meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan. Pertambahan bobot badan per unit waktu atau laju pertumbuhan absolut (LPA). Pada saat lahir sampai pubertas terjadi peningkatan pertambahan bobot badan yang semakin meningkat (Brody, 1945).
Setelah dicapai pubertas,
pertambahan harian menurun sampai dicapai titik nol setelah dicapainya kedewasaan. Setelah kedewasaan laju pertumbuhannya menjadi negatif (Tulloh, 1978; Edey, 1983, Aberle dkk., 2001). Perkembangan adalah perubahan konformasi tubuh dan bentuk serta perubahan macam-macam fungsi tubuh sehingga dapat digunakan secara penuh (Lawrie,1998). Pertumbuhan dan perkembangan sangat ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, manajemen pakan dan manipulasi exogenous. 2.4
Lebar Dada dan Lebar Kelangkang Parameter tubuh adalah nilai-nilai yang dapat diukur dari bagian tubuh
ternak termasuk ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979).
Indikator penilaian produktivitas ternak dapat dilihat
berdasarkan parameter tubuh ternak tersebut.
Parameter tubuh yang sering
dipergunakan dalam menilai produktivitas antara lain tinggi badan, lingkar dada dan panjang badan.
Bobot badan juga merupakan indikator penilaian
produktivitas dan keberhasilan manajemen peternakan (Blakely dan Bade, 1991).
13
Bobot badan merupakan bobot yang didapatkan selama sapi dipelihara dan dalam keadaan hidup, sedangkan bobot potong merupakan bobot yang ditimbang sesaat sebelum sapi dipotong (Natasasmita dan Mudikdjo.,1979). Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi (Kadarsih, 2003). Sapi seharusnya dipotong pada waktu yang optimum bagi peternak, yaitu saat bobot badan dan komposisi tubuh yang dihasilkan seimbang dengan pakan dan biaya yang dikeluarkan (Phillips, 2001). Perbedaan bobot badan dewasa sapi pedaging yang berbedabeda akan menghasilkan tingkat kegemukannya yang berbeda pula pada umur dan makanan yang sama (Parakkasi, 1999).
Perbedaan bobot badan tersebut
dikarenakan adanya perbedaan pertambahan bobot badan harian, rataan pakan yang dikonsumsi masing-masing individu, jumlah pertambahan otot tiap hari serta perbedaan jumlah lemak yang telah disimpan oleh tubuh. Perbedaan tersebut akan menjadikan komposisi tubuh atau frame size ternak berbeda (Field dan Taylor., 2002). Ukuran-ukuran linear tubuh merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh ternak yang pertambahannya satu sama lain saling berhubungan secara linear. Kadarsih (2003) menyatakan bahwa ukuran linear tubuh yang dapat dipakai dalam memprediksi produktivitas sapi antara lain panjang badan, tinggi badan, lingkar dada.
Ukuran linear tubuh menurut Minish dan Fox (1979) dapat
mengidentifikasi pola atau tingkat kedewasaan fisiologis ternak sehingga dapat dijadikan parameter penduga bobot badan ternak. Penentuan frame size menurut Field dan Taylor (2002) dapat ditentukan berdasarkan nilai parameter tubuh ternak tersebut. Tebal lemak pangkal ekor dan ukuran linear tubuh ternak dapat menduga besarnya komposisi karkas (Pratiwi, 1997).
14
Pengukuran dimensi tubuh sangatlah penting dilakukan namun seringkali para peternak sapi Bali tidak mengetahui dengan pasti perkembangan tubuh ternak sapinya dari awal kelahiran, pemeliharaan hingga saat penjualan sehingga tidak diketahui dengan pasti produktivitas ternak dan keuntungan nominalnya yang akan dan seharusnya diperoleh (Bugiwati, 2007). Menurut Djagra (1994) pengukuran dimensi dimaksudkan pelaksanaan dengan mengukur dimensi tubuh luar ternak atau ukuran statistik yaitu : Lebar dada, jarak terbesar pada yang diukur tepat di belakang antara kedua benjolan siku luar, yaitu tepat pada tempat mengukur lingkar dada.
Lebar
kelngkang, bagian terluar paha kanan sampai bagian terluar paha kiri. 2.5
Bobot Potong Ternak Bobot potong merupakan bobot yang ditimbang sesaat sebelum sapi
dipotong. Sedangkan bobot badan yang biasa ditimbang biasanya untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan ternak yang diamati disebut sebagai bobot hidup (Natasasmita dan Mudikdjo., 1979). 2.6
Berat Karkas dan Persentase Karkas Karkas ternak ruminansia diperoleh dari ternak yang telah dipototng,
dipisahkan dari kepala, keempat kakinya pada bagian lutut, kulit, dan jeroannya (kecuali ginjal) serta darah yang keluar selama pemotongan. Pada ternak sapi selanjutnya karkas tersebut dibagi dua secara simetris menjadi belahan karkas kiri dan belahan karkas kanan. Kemudian karkas kiri atu karkas kanan ini dibagi menjadi peempat bagian karkas, yaitu fore quarter yang bagian depan dan hind quarter yang bagian belakang, pembagian perempat karkas dilakukan antara
15
tulang rusuk 12 dan 13, walaupun di beberapa tempat atau negara ada juga yang memotongnya di antara rusuk 10-11 (Santosa, 1995). Estimasi komposisi karkas dapat dilakukan dengan memprediksi jumlah produk yang layak dimakan (edible product). Hasil tersebut terdiri atas proporsi daging, lemak dan tulang, Keseluruhan proporsi karkas tersebut ditentukan oleh pertumbuhan jaringannya. Besarnya jumlah edible product yang dihasilkan ini juga ditentukan oleh keahlian dari orang yang men\angani rangkaian pemotongan ternak (jagal) serta kesukaan konsumen dalam memilih bagian-bagian potongan dari produk tersebut setelah diperdagangkan.
Perbedaan yang menjadi
hubungannya dalam hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar lemak dan tulang yang terdapat dalam jaringan daging dapat diterima oleh konsumen sebagai edible product.
Daging dalam hal ini merupakan komponen karkas yang
terpenting sehingga dalam penerapannya, total daging secara kuantitatif dipergunakan sebagai titik akhir sarana penduga atau pengukur komposisi karkas (Berg dan Butterfield., 1976). Bobot karkas adalah bobot badan ternak setelah dipotong dikurangi kepala, kulit, keempat kaki bagian bawah (dari carpus sampai tartus), darah dan jerioan (Cole, 1975). Karkas yang dihasilkan oleh suatu ternak sangat dipengaruhi oleh bobot potong, jenis kelamin serta keadaan ternak sebelum dipotong (Bowker, dkk., 1975). Bobot karkas penting digunakan dalam sistem evaluasi karkas. Penggunaan bobot karkas perlu dikombinasikan dengan indikator-indikator lainnya agar evaluasi karkas menghasilkan penilaian yang akurat. Hal tersebut dikarenakan bobot karkas dipengaruhi oleh variasi tipe, bangsa, nutrisi dan jenis dalam pertumbuhan jaringan.
Keragaman tersebut dapat diperkecil dengan
16
mengkombinasikan bobot karkas dengan tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk dalam mengevaluasi karkas (Johnson et al., 1992). Bobot karkas juga sangat dipengaruhi oleh bobot potong, berdasarkan Herman et al. (1983) semakin tinggi bobot potong maka bobot karkas juga akan bertambah. Kauffman (2001) menjelaskan bahwa bobot karkas sebagian besar dipengaruhi oleh bobot otot dan perototan sangat menentukan kondisi tubuh ternak.
Brahman Cross relatif menghasilkan bobot karkas yang lebih tinggi
karena ukuran saluran pencernaan sapi tersebut relatif lebih kecil (Brahmantiyo, 1996). Penilaian yang umum terhadap ternak sapi penggemukan dilakukan terhadap persentase karkas dan indeks perdagingan. Persentase karkas yaitu berat karkas dibagi dengan bobot potong dikalikan 100 persen (Santosa, 1995). Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi (Arka, 1984). Dengan demikian semakin tinggi bobot karkas per satuan bobot badan maka akan semakin tinggi persentase karkasnya, sehingga semakin tinggi nilai karkas tersebut. Persentase karkas sapi berkisar antara 50-60 persen. Bangsa sapi yang mempunyai pertumbuhan yang cepat dan bobot tubuh yang besar dengan semakin berat tubuhnya maka bobot karkas akan meningkat (Williamson dan Payne, 1971).
Persentase karkas dihitung berdasarkan
perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong dikalikan dengan bobot potong dikalikan seratus persen (forrest dkk, 1975; Tulloh, 1978). Persentase karkas seekor ternak dipengaruhi oleh umur, bangsa, jenis kelamin dan bobot karkas. Persentase karkas cenderung menurun pada sapi tua (Bowker, 1978). Pertambahan bobot badan yang selaras dengan bertambahnya umur akan
17
mempengaruhi persentasi karkas (Tulloh, 1978). Perbedaan jenis kelamin pada ternak biasanya akan berpengaruh terhadap persentase karkas. Pada jenis kelamin yang berbeda, laju pertumbuhan juga berbeda.
Dibandingkan dengan ternak
betina, ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat adan pada umur yang sama mempunyai bobot tubuh lebih berat (Chaniago dan Boyes, 1980; Hammond dkk., 1984). Bobot karkas meningkat sejalan dengan meningkatnya bobot badan yang disertai meningkatnya lemak, sehingga persentase menghasilkan persentase karkas yang tinggi (Jones, 1985). Ternak yang gemuk akan mempunyai persentase karkas yang tinggi dari pada ternak yag kurus karena berkaitan dengan persentase daging yang dihasilkan. Hafid dan Rugayah (2009) menyatakan bahwa rata-rata persentse karkas sapi Bali 53-56%. 2.7
Regresi dan Korelasi Regresi adalah hubungan yang terjadi antara variabel tertentu dengan satu
atau lebih variabel bebas. Regresi berganda adalah persamaan regresi dengan peubah yang tak bebas (Y) dengan lebih dari satu peubah bebas (X). Variabel bebas yang digunakan misalnya lebar dada (X1) dan lebar kelangkang (X2). Secara umum data pengamatan Y terjadi akibat variabel bebas, sehingga diperoleh regresi Y=a+b1x1+b2x2 (Laya, 2005). Korelasi adalah hubungan timbal balik yaitu saling bergantungnya dua variabel. Misalnya antara Y1 dan X2 , koefisien korelasi sebesar +1 artinya bahwa korelasinya adalah positif dan sempurna, apabila korelasinya 0 menunjukan tidak ada hubungan antara dua variabel.
18
Nilai korelasi berkisar antara -1 sampai kurang lebih 1. Korelasi dikatakan sedang bila kecil dari 0,25 – 0,5 dan berkorelasi tinggi bila lebih dari 0,50 (Chrisnawati, 2009). Nnilai korelasi (r) menurut Hasan (2003) sebagai berikut: 1. Nilai korelasi = 0, tidak ada korelasi 2. 0 < Nilai korelasi ≤ 0,20, korelasi sangat rendah/lemah sekali 3. 0,20 < Nilai korelasi ≤ 0,40, korelasi rendah 4. 0,40 < Nilai korelasi ≤ 0,70, korelasi yang cukup berarti 5. 0,70 < Nilai korelasi ≤ 0,90, korelasi yang tinggi atau kuat 6. 0,90 < Nilai korelasi ≤ 1,00, korelasi sangat tinggi/kuat sekali 7. Nilai korelasi = 1, korelasi sempurna