BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Karakteristik Produk (product characteristics) Menurut Kottler & Keller (2006), karakteristik produk adalah kondisi yang
berbeda dari suatu produk dibandingkan para pesaingnya yang dapat ditawarkan kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan. Setiap produk memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan setiap produsen selalu berusaha menciptakan produk yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga konsumen memiliki persepsi khusus terhadap produk tersebut. Banyaknya variasi produk yang ditawarkan oleh suatu perusahaan merupakan langkah untuk menghadapi persaingan dalam merebut pangsa pasar. Dalam industri otomotif yang semakin berkembang ini, mobil sudah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menawarkan berbagai macam variasi dan tipe, tentunya akan konsumen akan memiliki banyak pilihan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Produsen juga harus jeli dalam menangkap selera pasar lalu menuangkannya dalam produk yang dihasilkan dengan karakteristik sesuai apa yang konsumen inginkan, sehingga bisa disebut karakteristik produk merupakan salah satu faktor penting yang membuat produk tersebut diterima oleh pasar. Menurut Ryerson (2009), karakteristik suatu produk merupakan modal atau atribut penting, sejauh produk tersebut mampu memberikan keuntungan untuk
11
12
memenuhi tujuan yang lebih besar. Dengan kata lain, karakteristik produk adalah suatu pola yang akan menentukan suatu produk layak untuk di konsumsi atau tidak. Dalam industri otomotif, tiap produsen kendaraan berlomba-lomba dalam menciptakan suatu produk baru dan bertujuan untuk meraih pangsa pasar. Perusahaan yang dapat menciptakan suatu produk dengan memiliki kelebihan pada karakteristik produknya, merupakan nilai tambah yang akan membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya. Perusahaan pasti sudah menentukan target konsumennya, sepertinya halnya PT. NMI melalui produknya Nissan Livina yang memiliki beberapa tipe dan variasi sehingga bisa masuk kedalam beberapa segmen kendaraan dan tentunya disesuaikan dengan selera dan kebutuhan dari target konsumennya.
2.2
Persepsi Harga (price perception) Menurut Schiffman & Kanuk (2000) persepsi adalah suatu proses dari seorang
individu dalam menyeleksi, mengorganisasikan, dan menterjemahkan stimulusstimulus atau informasi yang datang menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Sedangkan menurut Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007), persepsi adalah sebuah proses yang diawali dengan pemaparan konsumen dan perhatian terhadap rangsangan pemasaran dan berakhir dengan penafsiran oleh konsumen. Jadi ada tiga tahap dalam menciptakan persepsi, yaitu pemaparan, perhatian, dan penafsiran. Pemaparan terjadi bila stimulus seperti iklan muncul dalam jangkauan pandangan seseorang. Perhatian akan muncul ketika stimulus (iklan) itu terlihat oleh orang tersebut. Kemudian
13
muncul penafsiran (interpretasi) yang merupakan pemaknaan dari apa yang diterima oleh seseorang tersebut. Pengertian harga menurut Monroe (2003) adalah jumlah uang yang harus dikorbankan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Sedangkan menurut Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007), harga adalah jumlah uang yang harus dibayar untuk mendapatkan hak untuk menggunakan produk. Bisa dianggap harga sebagai rasio formal yang menunjukkan jumlah uang (atau barang dan jasa) yang diperlukan untuk memperoleh kuantitas tertentu suatu barang atau jasa. Terkadang harga berfungsi sebagai sinyal kualitas. Produk dengan harga yang terlalu rendah dapat dianggap memiliki kualitas yang rendah. Memiliki barang-barang mahal juga menunjukkan bahwa pemilik produk-produk tersebut mampu membayar barang mahal. Oleh karena itu, penetapan harga memerlukan pemahaman menyeluruh tentang peran simbolik suatu harga, bahwa harga berperan dalam produk dan target pasar yang diincar. Harga menjadi panduan yang menunjukkan bagaimana sumber daya harus digunakan. Harga menentukan produk dan jasa apa yang dihasilkan dan berapa jumlahnya. Harga menentukan bagaimana produk dan jasa harus diproduksi. Dan harga menentukan untuk siapa produk dan jasa yang dihasilkan. Harga mempengaruhi pendapatan dan perilaku belanja. Untuk konsumen dengan tingkat pendapatan tertentu, harga mempengaruhi apa yang harus dibeli dan berapa banyak masing-masing produk yang dibeli. Untuk perusahaan bisnis, keuntungan ditentukan oleh perbedaan antara perbedaan antara pendapatan dan biaya, pendapatan ditentukan dengan mengalikan harga per unit dengan jumlah unit yang terjual.
14
Strategi harga dapat menentukan bagaimana konsumen mengkategorikan harga dari suatu merek (apakah rendah, sedang, atau tinggi), dan bagaimana perusahaan atau seberapa fleksibel mereka dalam memikirkan harga (Keller, 2008). Menurut Keller (2008) konsumen selalu mengurutkan merek berdasarkan tingkatan harga dalam kategori produk. Misalnya kategori mobil dimana pasti ada hubungan antara harga dan kualitas. Mobil yang harganya semakin mahal pasti kualitas juga semakin bagus, dan ada beberapa merek mobil yang sudah tertanam di benak konsumen bila melihat dari harga dan kualitasnya, contohnya Mercedes Benz, BMW, Jaguar, dan lain sebagainya. Dalam tingkatan harga, terdapat area dimana sebuah harga dapat diterima, disebut price bands, yang menunjukkan fleksibilitas dan pemasar dapat menerapkan harga pada merek ke dalam tingkatan tersebut. Beberapa perusahaan menjual beberapa merek agar dapat berkompetisi di beberapa kategori. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu harga. Pertama, perception of price differences (Nagle & Hogan, 2006), pembeli cenderung untuk melakukan evaluasi terhadap perbedaan harga antara harga yang ditawarkan terhadap harga dasar yang diketahui. Faktor lain yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu harga adalah Price references (Schiffman & Kanuk, 2000) yang dimiliki oleh pelanggan yang didapat dari pengalaman sendiri (Internal Price) dan informasi luar yaitu iklan dan pengalaman orang lain (external references prices). Pada intinya, harga memiliki arti yang kompleks dan bisa memainkan berbagai macam peran bagi konsumen. Pemasar perlu untuk memahami semua persepsi harga yang dimiliki konsumen terhadap merek.
15
2.3
Kesadaran akan Merek (brand awareness) Membangun brand awareness adalah cara untuk memastikan konsumen
potensial untuk mengetahui masuk kategori apa merek itu bersaing (Keller & Davey, 2001) dalam (Romaniuk, Sharp, Paech & Driesener, 2004). Menurut Aaker (1991), brand awareness sebagai salah satu kunci pilar ekuitas merek. Dan menurut Rossiter dan Percy (1991) bahwa brand awareness adalah langkah pertama dalam membangun merek. Brand awareness menurut Kotler (p.268, 2006) adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Peran brand awareness pada brand equity tergantung pada tingkat pencapaian kesadaran di benak konsumen, dan tingkatan brand awareness dapat digambarkan sebagai berikut: a. Top of Mind (puncak pikiran) Top of mind merupakan merek pertama kali disebut atau diingat oleh responden ketika yang bersangkutan ditanya tentang suatu kategori produk. Jawaban untuk pertanyaan top of mind hanya boleh satu seperti: sebutkan satu merek mobil yang muncul di benak anda. b. Brand Recall (pengingat kembali merek) Brand recall atau pengingatan kembali merek menggambarkan merek-merek yang disebut responden setelah menyebutkan merek yang pertama kali
16
disebut, jawaban untuk pertanyaan brand recall bisa lebih dari satu tanpa diberikan bantuan. c. Brand Recognition (pengenalan merek) Brand recognition merupakan pengukuran brand awareness responden dimana
kesadarannya
diukur
dengan
memberikan
bantuan
dengan
menyebutkan ciri-ciri dari produk merek tersebut. d. Brand Unaware (tidak menyadari merek) Pengukuran brand unaware merupakan pegukuran brand awareness responden dimana responden tidak mengenal sama sekali atau tidak tahu mengenai suatu produk. Kesadaran merek berada pada rentang antara perasaan yang tak pasti terhadap pengenalan suatu merek sampai dengan perasaan yakin bahwa produk tersebut merupakan satu-satunya dalam kelas produk yang bersangkutan. Jika suatu merek menjadi satu-satunya merek yang diingat oleh responden, berarti merek tersebut memiliki awareness yang tinggi dan disebut dominant brand. Agar suatu merek baru dapat
diterima,
harus
dikembangkan
kesadaran
atas
merek
tersebut
dan
mengasosiasikan dengan kelas produk tertentu. Brand awareness memberikan familiaritas yang bisa mempengaruhi pembelian untuk sejumlah produk low involvement dan membantu menentukan merek-merek mana yang diperhitungkan dalam kategori-kategori lain. Atas pertimbangan ini, merek yang telah dikenal bisa langsung dianggap sebagai keuntungan pasar.
17
2.3.1 Keuntungan Brand Awareness Menurut Keller (2008), ada tiga keuntungan dalam menciptakan brand awareness, yaitu sebagai berikut: a. Learning advantages Brand awareness mempengaruhi kekuatan sebuah asosiasi/perusahaan yang akan menciptakan brand image. Untuk menciptakan brand image, tenaga pemasar harus memunculkan merek ke dalam memori konsumen terlebh dahulu. Langkah itu juga merupakan langkah pertama dalam menciptakan brand equity. Jika elemen merek yang tepat dipilih, maka tugas selanjutnya akan lebih mudah. b. Consideration advantages Meningkatkan brand awareness meningkatkan juga kemungkinan bahwa merek tersebut akan masuk dalam pertimbangan pembelian, termasuk dalam beberapa merek yang menjadi pertimbangan serius untuk dibeli oleh konsumen. Karena biasanya konsumen hanya mempertimbangkan beberapa merek untuk pembelian, jadi harus bisa memastikan bahwa merek tersebut masuk dalam pertimbangan pembelian dan membuat merek lain cenderung kurang dianggap atau diingat. c. Choice advantages Keuntungan ketiga dalam menciptakan brand awareness yang tinggi adalah dapat mempengaruhi pilihan diantara beberapa merek yang masuk dalam pertimbangan. Kemungkinan menjadi merek yang terpilih akan semakin
18
besar apabila merek yang masuk dalam pertimbangan pembelian hanya sedikit dan pengetahuan akan salah satu merek lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya.
2.3.2 Menciptakan Brand Awareness Menciptakan brand awareness berarti meningkatkan keakraban merek melalui pemaparan yang berulang-ulang, meskipun hal ini biasanya lebih efektif untuk pengenalan merek daripada untuk mengingat merek. Semakin banyak pengalaman konsumen dengan suatu merek, seperti dengan melihat, mendengar, atau memikirkannya, semakin besar kemungkinan ia menanamkan merek ke memori dengan kuat. Dengan demikian, melalui nama merek, simbol, logo, karakter, kemasan, atau slogan termasuk iklan dan promosi, sponsor, kegiatan pemasaran, publisitas, humas dan periklanan, sedikit banyak akan meningkatkan kesadaran dan familiaritas sebuah merek. Ditambah dengan unsur-unsur pemasaran yang baik tentunya akan lebih memperkuat. Pengulangan meningkatkan pengenalan lebih jauh, tetapi meningkatkan brand recall juga membutuhkan hubungan dalam memori untuk kategori produk yang sesuai atau pembelian yang lainnya. Elemen merek yang lain seperti logo, simbolsimbol, karakter, dan kemasan juga membantu menambahkan brand recall. Singkatnya, brand awareness dapat diciptakan dengan meningkatkan keakraban merek melalui pemaparan yang berulang-ulang (untuk pengenalan merek) dan
19
menjalin hubungan yang kuat dengan kategori produk yang sesuai atau pembelian yang relevan (untuk brand recall).
2.4
Minat Pembelian (purchase intention) Menurut Belch dan Belch (2007, p.119) minat pembelian adalah
menyesuaikan motif pembelian dengan atribut dan karakter dari merek (termasuk didalamnya, motivasi, persepsi, attitude formation, dan integrasi. Konsumen memiliki lima sub-keputusan sebelum menentukan pembelian, yaitu brand, dealer, quantitiy, timing, dan cara pembayaran. Pembelian untuk produk yang digunakan setiap hari melibatkan lebih sedikit keputusan dan pertimbangan (Kotler dan Keller, 2006) Tidak ada pembelian yang terjadi jika konsumen tidak pernah menyadari kebutuhan dan keinginannya. Pengenalan masalah (problem recognition) terjadi ketika konsumen melihat adanya perbedaan yang signifikan antara apa yang dia miliki dengan apa yang dia butuhkan. Berdasarkan pengenalannya akan masalah, selanjutnya konsumen mencari atau mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang produk yang dia inginkan. Terdapat dua sumber informasi yang digunakan ketika menilai suatu kebutuhan fisik, yaitu persepsi individual dari tampilan fisik dan sumber informasi luar seperti persepsi konsumen lain. Selanjutnya informasiinformasi yang telah diperoleh digabungkan dengan informasi yang telah dimiliki sebelumnya. Semua input berupa informasi tersebut membawa konsumen pada tahap dimana dia mengevaluasi setiap pilihan dan mendapatkan keputusan terbaik yang
20
memuaskan dari perspektif dia sendiri. Tahapan terakhir adalah tahap di mana konsumen memutuskan untuk membeli atau tidak membeli produk. Solomon (2004) membagi 5 (lima) tahapan dalam pengambilan keputusan konsumen, seperti pada Gambar berikut ini.
Need Recognition and Problem Awareness Information Search Evaluation of Alternatives Product Choice Outcomes Sumber:Michael R. Solomon (2004). Consumer Behavior – Buying, Having and Being, 6th Edition. New Jersey: Pearson Education International, pg.293 Gambar 2.1. Stages in Consumer Decision Making
Secara umum, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi konsumen dalam tahap pengambilan keputusan pembelian, yaitu: 1. Pengaruh bauran pemasaran: produk, harga, promosi, tempat. 2. Pengaruh psikologis: motivasi, kepribadian, persepsi, pembelajaran, nilai, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. 3. Pengaruh sosial budaya: pengaruh individu, grup referensi, keluarga, kelas sosial, budaya, sub-budaya. 4. Pengaruh situasional: fungsi pembelian, lingkungan sosial, lingkungan fisik, efek temporer.
21
Dalam mengambil keputusan pembelian, konsumen juga cenderung menghubungkan tipe dari produk dengan tipe konsumen itu sendiri (Solomon, 2004), yang terbagi atas: 1. Self-concept attachment; produk membantu membangun identitas pengguna 2. Nostalgic attachment; produk membawa/mengingatkan kembali memori masa lalu 3. Interdependence; produk merupakan bagian dari rutinitas pengguna sehari-hari 4. Love; produk membawa ikatan emosional bagi pengguna Dalam tahap evaluasi, konsumen membentuk preferensi diantara merekmerek yang masuk dalam pilihan. Konsumen juga bisa membentuk minat pembelian untuk membeli merek yang disukai. Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi minat beli dan keputusan untuk membeli sebuah produk (Kotler, 1994), yaitu: 1. Sikap konsumen lain, dimana terdapat tingkatan sikap konsumen (pihak ketiga) lain yang akan mempengaruhi preferensi konsumen yang berminat untuk membeli sebuah produk: a. Intensitas dari sikap negatif konsumen lain (pihak ketiga) terhadap preferensi dari alternatif konsumen yang berminat untuk membeli sebuah produk. b. Motivasi konsumen untuk menyetujui sikap konsumen lain (pihak ketiga) tersebut. 2. Faktor situasional yang tidak terantisipasi yang dapat muncul dan mengubah minat untuk membeli sebuah produk seperti kenaikan gaji, promosi, PHK, dll. Preferensi dan minat untuk membeli tidak sepenuhnya merupakan prediksi yang dapat diandalkan secara penuh dari perilaku membeli. Ketika konsumen telah
22
mengambil keputusan, faktor situasional tersebut mampu merubah minat pembelian. Keputusan konsumen untuk menunda atau membatalkan pembelian sangat dipengaruhi oleh resiko-resiko. Harga yang mahal tentu memiliki resiko dalam pembelian. Konsumen tidak bisa yakin dengan hasil pembeliannya, sehingga menghasilkan kecemasan. Konsumen bisa melakukan rutinitas untuk mengurangi resiko tersebut, seperti menghindari keputusan yang terlalu cepat dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai merek tersebut. Pemasar harus memahami faktor-faktor yang memicu munculnya kecemasan pada konsumen dan memberikan informasi dan dukungan yang akan mengurangi resiko yang dirasakan.
2.5
Model Konseptual dan Hipotesis
2.5.1 Model Konseptual Penelitian ini akan menganalisis tentang sejauh mana karakteristik produk, persepsi harga serta kesadaran akan merek mempengaruhi keputusan pembelian konsumen.
23
Persepsi Harga H1(+) H4(+) H5(+) Karakteristik Minat Produk Pembelian H2(+) H3(+) Kesadaran Merek
Gambar 2.2. Model Konseptual
2.5.2 Hipotesis Minat beli konsumen terhadap suatu produk dapat terwujud setelah individuindividu konsumen menerima produk yang sesuai dengan harapan mereka. Beberapa faktor yang mempengaruhi minat beli pelanggan antara lain adalah karakteristik produk, persepsi akan harga produk itu sendiri, dan tingkat kesadaran akan merek. Dalam merumuskan hubungan antara karakteristik produk, persepsi harga, kesadaran merek terhadap minat pmebelian dapat dilihat melalui penjelasan dibawah ini: Pentingnya
karakteristik
produk
khususnya
pada
produk
otomotif
menyebabkan perusahaan berusaha untuk selalu konsisten dengan trend yang ada termasuk dalam penambahan fitur dan mendesain tampilan agar lebih fresh dan tidak ketinggalan jaman. Hal ini juga dimaksudkan agar konsumen tertarik dengan mobil yang dipasarkan sehingga mengambil keputusan untuk membeli. Dalam model rerangka penelitian ditunjukkan adanya hubungan langsung antara karakteristik
24
produk dengan persepsi harga dari konsumen. Penambahan dan perbaikan fitur dianggap penting oleh konsumen karena konsumen sangat mengandalkan nilai dan manfaat mobil dalam menunjang aktivitas mereka. Tetapi apakah karakteristik produk yang dimiliki sebuah mobil akan berpengaruh pada persepsi harga oleh konsumen. Bisa saja dengan beragam fitur yang ditawarkan sebuah mobil, konsumen akan beranggapan bahwa harga mobil tersebut akan semakin mahal, begitu pula sebaliknya, semakin minim fitur yang dimiliki sebuah mobil bisa jadi konsumen akan beranggapan harga mobil tersebut haruslah lebih murah. Dalam industri otomotif, value for money bisa menjadi penentu dalam keputusan suatu pembelian. Value for money dalam hal ini adalah, dengan beragam fitur, kelengkapan dan manfaat yang diberikan dari sebuah mobil, bisa didapatkan dengan harga yang relatif lebih murah ataupun sama bila dibandingkan dengan pesaingnya. Tentunya setiap konsumen ingin memiliki mobil yang mempunyai fitur lengkap sehingga lebih memudahkan dan meningkatkan kenyamanan, tetapi faktor harga kembali menjadi penentu pembelian konsumen juga karena disesuaikan dengan budget dan kemampuan konsumen masing-masing. Khusus untuk produk Nissan Livina, pada akhir tahun 2009 pihak PT. NMI memberikan penambahan fitur pada tipe Grand Livina 1,5 XV tetapi harga yang ditawarkan tidak berubah. Penambahan fitur itu berupa sensor parkir dan spion elektrik, dan tersedianya varian tipe Grand Livina 1,5 Ultimate yang menawarkan fitur terlengkap. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan value for money produk tersebut, dimana Grand Livina 1,5 XV merupakan tipe Livina yang paling laku di pasaran. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka hipotesis pertama adalah sebagai berikut :
25
Hipotesis 1: Karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap persepsi harga konsumen.
Karakteristik produk akan membentuk kesadaran merek dari suatu produk dimata konsumen. Karakteristik dari suatu produk dapat menentukan nilai dari produk tersebut sehingga konsumen akan memiliki kesadaran akan merek dari produk tersebut dan tentunya berpengaruh langsung kepada minat beli konsumen dan loyalitas mereka kepada produk yang diberikan perusahaan. Karakteristik produk yang positif akan meningkatkan kesadaran akan merek dan mendorong keputusan pembelian dan menciptakan loyalitas terhadap produk yang ditawarkan. Setiap mobil dari merek yang berbeda-beda pasti memiliki karakteristik yang berbeda pula, hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam memilih mobil. Terkadang konsumen sudah hapal dengan karakteristik suatu mobil sehingga menjadi loyal dalam satu merek saja. Jadi karakteristik suatu mobil sudah tentu akan menciptakan brand awareness dari merek mobil tesebut. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 2: Karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap kesadaran atas merek.
Menurut Rossiter dan Percy (1991), kesadaran merek merupakan langkah pertama untuk membangun sebuah merek. Hal-hal yang mempengaruhi kesadaran atas merek (Brand awareness) antara lain adalah latar belakang individu-individu
26
konsumen itu sendiri. Dikarenakan adanya keterikatan emosional, pengalaman yang memuaskan atas produk yang digunakan, rasa kepercayaan yang besar kepada suatu merek, latar belakang historis dan faktor-faktor lain yang menyebabkan konsumen memiliki minat beli yang besar terhadap suatu produk. Faktor-faktor tersebut sedikit banyak mempengaruhi minat beli konsumen, yang pada akhirnya mempengaruhi loyalitas konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 3: Kesadaran atas merek memiliki pengaruh positif terhadap minat beli pelanggan.
Pengaruh persepsi konsumen atas harga sangatlah berpengaruh terhadap minat pembelian konsumen itu sendiri. Suatu produk dengan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi mayoritas konsumen tentu minat pembelian konsumen pun akan tinggi. Di negara berkembang seperti Indonesia yang perekonomiannya sedang berkembang juga, masyarakatnya memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda-beda pula. Mobil masih dianggap sebagai barang yang mahal dan mewah untuk dimiliki, tapi seiring dengan perkembangan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, mobil saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok dalam kegiatan sehari-hari. Sehingga muncul peluang bagi produsen otomotif dalam menciptakan mobil dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat level menengah hingga menengah kebawah. Penelitian yang dilakukan oleh Espey & Nair (2005), variasi harga pada mobil-mobil baru dapat dijelaskan melalui perbedaan pada karakteristik produk seperti tenaga mesin,
27
kapasitas mesin, kecepatan, dan fitur-fitur keselamatan. Lalu muncul mobil yang masuk dalam segmen low, seperti contohnya Toyota Avanza, Daihatsu Xenia, Suzuki APV, dan lain-lain, yang merupakan mobil keluarga dengan kapasitas tujuh orang penumpang tetapi harga yang ditawarkan sangat terjangkau. Bisa dilihat mobil-mobil dari segmen inilah yang memadati jalanan di Indonesia saat ini. Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 4: Persepsi atas harga memiliki pengaruh positif terhadap minat beli konsumen.
Produk yang memiliki karakteristik yang unik, superior dan sulit untuk ditiru akan menciptakan sebuah diferensiasi produk yang akhirnya membawa kepada keunggulan kompetitif (Kotler & Keller, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Simamora (2003) tentang motivasi variasi menjelaskan bahwa perilaku pembelian muncul karena selalu mencari variasi dan keinginan mencoba banyak merek. Dalam memilih sebuah kendaraan, konsumen pasti melihat karakteristik dari produk yang akan dibelinya, apakah itu dari segi desainnya, kapasitas mesinnya, luas kabinnya, kelengkapan atau fitur-fiturnya, dan lain sebagainya. Kemudian konsumen bisa melakukan
test
drive
guna
merasakan
langsung
mobil
tersebut
dengan
mengendarainya, baru kemudian karakteristik berkendaranya seperti, akselerasinya, kenyamanan suspensinya, sampai tingkat kebisingannya dapat dirasakan. Dengan merasakan karakteristik dari beberapa mobil yang menjadi pilihan untuk dibeli, konsumen akan sampai pada satu keputusan pembelian.
28
Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 5: Karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap minat beli konsumen.
Hipotesis-hipotesis yang telah diajukan merupakan dugaan awal dari penelitian ini yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara variabel-variabel yang diuji secara signifikan, baik melalui pengujian masing-masing maupun secara bersama-sama. Pada bagian analisis, setiap hipotesis yang diajukan diatas akan diuji sehingga terbukti sejauh mana kebenarannya.