BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Perempuan dalam Pemahaman Gender Dalam keseharian masyarakat gender sering diidentikkan sebagai jenis kelamin. Namun, pada hakikatnya gender berbeda dengan jenis kelamin atau sex. Perlu diketahui bahwa seluruh fakta biologis yang terdapat di dalam tubuh manusia baik laki-laki maupun perempuan merupakan pembedaan antara keduanya, sedangkan gender merupakan pembedaan secara sosial antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Pengenalan kata gender ini sendiri pertama kali dikenalkan oleh Ann Oakley dalam PESADA (2009:4) Moore dalam Irwan Abdullah (2003:266) menyatakan gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis dan bukanlah sebuah korelasi yang absolut. Hal ini sebabkan oleh kebudayaan yang dianut masyarakat berbeda-beda dalam penafsiran feminine atau maskulin. Secara universal perempuan memang berbeda dari laki-laki tidak hanya dilihat dari jenis kelamin tetapi dari pembawaan sifat keduanya. Gender sendiri diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan antara karateristik feminin untuk perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah pembagian peran di dalam masyarakat secara keseluruhan. Perbincangan mengenai pembagian peran perempuan dan laki-laki di tengah-tengah masyarakat saat ini menjadi penting mengingat kuatnya arus kesetaraan yang diisukan oleh perempuan itu sendiri. Berbagai kalangan masyarakat mulai dari golongan akademis, tokoh masyarakat bahkan dalam dunia politik mulai menjadikan topik
14 Universitas Sumatera Utara
15
perempuan sebagi suatu yang penting untuk diperbincangkan. Dalam banyak perbincangan tersebut kesetaraan gender menjadi sebuah wacana baru yang banyak diperdebatkan oleh beberapa gerakan perempuan. Merunut pada pembicaraan sebelumnya, kehadiran dasar pemikiran yang membedakan antara kaum laki-laki dengan perempuan ini muncul dari berbagai proses di dalam sosialisasi masyarakat, agama ataupun kultur sosial. Perbedaan ini kemudian mengalami proses yang panjang di dalam masyarakat yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dalam membedakan tindakan dan pemikiran laki-laki dan perempuan. Masyarakat sebagai sebuah satuan kelompok yang besar kemudian menciptakan pembagian sifat yang mana menjadi sebuah keharusan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sebuah budaya yang tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan ini lama kelamaan dianggap sebagai sebuah alur pemikiran yang alamiah dan normal. Sehingga bagi sebagian masyarakat yang tidak berada pada alur pemikiran tersebut dianggap tidak normal atau melanggar kodratnya. Kedudukan perempuan ini menjadi sebuah keharusan di tengah masyarakat dengan pemikiran mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Kedudukan perempuan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang ekonomi, budaya dan politis. Dari sudut pandang ekonomi, kedudukan kaum perempuan berada di bawah laki-laki yang bermula pada ketergantungan ekonomi. Charlotte P. Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women and Economic dalam Fajar Apriani (2008:118) apabila seorang perempuan kehilangan aktifitas ekonominya dan mengubahnya secara keseluruhan dari seks,
Universitas Sumatera Utara
16
menjadi semata-mata kantung telur sebuah organisme tanpa daya untuk mempertahankan rasnya. Hal ini diasumsikan Gilman bahwa sesungguhnya status sekunder perempuan lebih berdasar pada masalah ekonomi dari pada sosial dan budaya. Dari asumsi Gilman tersebut apabila ekonomi seorang perempuan lebih dominan dari laki-laki maka perempuan mampu memegang kedudukan lebih tinggi atau superior dari laki-laki. Selanjutnya Gilman manyatakan ketika seorang laki-laki mulai memberi makan dan melindungi perempuan, secara proporsional perempuan berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri. Artinya apabila seorang perempuan menurunkan kemampuan mereka untuk menghidupi serta melindungi diri sendiri maka mereka akan bergantung pada laki-laki. Sebagai konsekwensinya perempuan harus menyenangkan dan patuh terhadap laki-laki atas apa yang telah diberikan oleh laki-laki tersebut. Dilihat dari perspektif budaya, seperti yang dikemukakan oleh William dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (2009:8) budaya mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual dan estestis seorang individu, kelompok, atau masyarakat
yang menggambarkan keseluruhan cara hidup,
berkegiatan,
berkeyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang atau kelompok masyarakat. Willian berpendapat bahwa segala kegiatan serta seluruh norma yang berlaku pada masa kini adalah yang berakar pada masa silam. Haralambos dan Held dalam Fajar Apriani (2008:120) menyimpulkan bahwa norma, nilai dan peran ditentukan secara kultural dan di sampaikan secara sosial. Dilihat dari sudut pandang ini perbedaan kedudukan kaum perempuan dengan laki-laki adalan sebuah produk budaya dari pada produk biologis. Dimana masing-masing dari tiap individu mempelajari peran mereka di dalam masyarakat. Selanjutnya pembagian kerja
Universitas Sumatera Utara
17
berdasarkan jenis kelamin yang ada di dalam masyarakat kemudian dibenarkan oleh sistem kepercayaan yang mereka anut dan peran laki-laki dan perempuan yang seperti itu adalah benar, layak dan patut. Diane Elson dalam artikelnya yang berjudul Structural Adjusment : Its Effect on Women (1991:42) mengatakan bahwa hubungan antara perempuan, pasar dan negara adalah sesuatu yang kompleks.negara tidak selalu berjalan sesuai minat perempuan dan pasar tidak selalu berjalan berlawanan dengan kepentingan perempuan. Kompleksitas hubungan antara perempuan, pasar dan negara ini dapat membawa sebuah rintangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam lingkup politik. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kemadirian perempuan dalam bidang ekonomi sehingga perempuan tidak layak untuk memperoleh akses pada sumber daya seperti yang diperoleh laki-laki. Dengan demikian perempuan kehilangan posisi tawar mereka dalam dunia politik apabila mereka tidak secara ekonomi bergantung pada pihak lain.
2.1.1. Feminisme Feminisme dan perempuan merupakan kesan yang muncul ketika membicarakan gender. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu sendiri. Berbicara feminism artinya membicarakan ideologi (bukan wacana) karena bersifat gabungan dari proses kegiatan mata, hati dan tindakan yaitu dengan menyadari, melihat,
mengalami,
adanya
penindasan, hegemoni,
diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakan, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Lihat Arimbi Heroepoetri
dan
R.
Valentina,
Percakapan
Tentang
Feminisme
VS
Universitas Sumatera Utara
18
Neoloberalisme, Jakarta: DebtWATCH, 2004, halaman 5-6. Dinamakan gerakan feminism (women) oleh karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Tetapi kemudian makna feminism mengalami perluasan sesuai perkembangan zaman yaitu bukan hanya membela perempuan yang tertindas tetapi siapa saja yang mengalami ketidakadilan baik laki-laki meupun perempuan. Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, hal ini pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita. Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Catatan sejarah kaum perempuan telah memberikan sebuah kenyataan bahwa sejak dahulu perempuan menjadi anggota masyarakat yang lemah, tidak berdaya, bahkan menjadi yang ke-2 setelah kaum lelaki. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil kerap diterima dalam kehidupan mereka. Diskriminasi dalam keluarga yang lebih mengutamakan lelaki, diskrimisnasi lingkungan, tidak adanya hak politik, permasalahan ekonomi dan lain sebagainya adalah beberapa wujud nyata dari posisi perempuan yang tidak menguntungkan. Berangkat dari kenyataan tersebut, muncullah beberapa gerakangerakan perempuan dengan isu anti diskriminasi. Gerakan kaum perempuan
Universitas Sumatera Utara
19
dengan isu emansipasi dan persamaan hak serta penghapusan segala bentuk diskriminasi menjadi tuntutan mereka. Tuntutan inilah yang menjadi sebuah dasar dari gerakan perempuan pada saat ini yang lebih dikenal dengan istilah feminisme yang dalam PESADA (2010:2). Selanjutnya, dalam memahami feminisme itu sendiri terdapat tiga istilah yang sering membingungkan yaitu Feminine, Feminist dan Feminism. Menurut Toril Moi (1985), Feminine diartikan sebagai kumpulan atribut yang ditujukan kepada jenis kelamin perempuan dan ini menjadi pusat kritik para peminist. Kamla Basin (1986) mengartikan feminist sebagai orang yang percaya mengenai adanya ketidak adilan
terhadap perempuan dan berusaha melakukan sesuatu
untuk meneranginya Sedangkan Rosemarie Tong (1989) mengartikan feminism sebagai segenap teori dan perspektif yang menjelaskan mengenai penindasan terhadap perempuan, mencari penyebabnya dan segenap konsekensinya serta menawarkan strategi untuk membebaskan perempuan dari penindasan tersebut dalam PESADA dvv Internasional (2009:17). Munculnya gerakan kaum perempuan saat ini bermula dari gerakan perjuangan kaum perempuan yang disebut dengan feminisme pada awal abad ke19. Tokoh yang paling terkenal pada gerakan kaum perempuan gelombang pertama pada saat itu adalah Mary Wollstencraft dengan bukunya Vindication of the Right of Women. Selanjutnya gerakan perempuan mulai meluas, sekitar tahun 60-an muncul pula gerakan kaum perempuan gelombang kedua dengan tokohnya Betty Friedan dan diterbitkannya buku dengan judul The Feminine Mystique yang di acu oleh PESADA (2009:20). Pada dasarnya kedua gerakan gelombang
Universitas Sumatera Utara
20
tersebut memunculkan teori-teori feminis. Dalam feminism terdapat empat aliran utama feminis, yaitu: 1. Feminis Liberal Feminisme liberal bermula dari teori politik liberal dimana manusia secara individu menjunjung tinggi, termasuk didalamnya nilai otonomi, nilai persamaan dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan, tidak diindoktrinasikan dan bebas memiliki penilaian sendiri. Dasar pemikiran dari munculnya feminis liberal ini berawal dari kepercayaan bahwa sumber penindasan terhadap perempuan berakar dari hambatan hukum adat yang menghalangi kaum perempuan memasuki dunia publik. Menurut Humm (1992:181) feminis liberal ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan secara hukum, politis dan sosial bagi perempuan. Selain itu, para feminis liberal beranggapan bahwa tujuan dari pembebasan perempuan adalah kesetaraan seksual dan keadilan gender. Feminisme liberal sebagai turunan teori politik liberal, pada mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan, misalnya persamaan hak pilih, perceraian dan harta benda. Akan tetapi, feminisme liberal menolak teori liberal tradisional yang menyatakan bahwa hak adalah suatu pemberian yang didasarkan pada kemampuan rasio atau akal, sehingga yang rasionya rendah tidak pantas menerima hak. Reaksi keras diajukan feminisme liberal, bahwa ketidakmamupuan atau rasio disebabkan oleh lingkungan pendidikan yang seksis dan melestarikan ideologi gender. Hal ini jelas akan menghalangi semangat perempuan untuk berkompetisi pengembangan pemikiran rsionya. Dengan demikian
Universitas Sumatera Utara
21
feminis liberal bertujuan ingin menciptakan struktur ekonomi dan politik yang adil dan menuntut adanya kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam kancah politik.
2. Feminis Radikal Aliran ini muncul setelah WF2 (adanya penindasan pada kaum perempuan dari sisi gender yang menimbulkan polemik dari kaum perempuan secara teknis.) Dalam analisis Wollstonecraft (1972, dalam A Vindication of The Rights of Woman) mengasumsikan bahwa hal yang membedakan laki dan perempuan dari sagi nalar dan moral. Salah satu aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut: a) Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya. b) Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan
dan
laki-laki.
Maka
yang
diperlukan
adalah
penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.
Universitas Sumatera Utara
22
c) Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan.
3. Feminis Sosialis Sebuah faham
yang
berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa
Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai
Universitas Sumatera Utara
23
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
4. Feminis Marxis Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Universitas Sumatera Utara
24
2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia Membicarakan tentang perkembangan gerakan kaum perempuan di Indonesia tidak terlepas dari rentetan sejarah panjang perempuan itu sendiri. Jauh sebelum adanya gerakan perempuan seperti saat ini, sebelumnya kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi masyarakat di setiap daerah. Penempatan kaum perempuan telah diatur sebagai sebuah aturan yang sah di dalam norma-norma adat istiadat setempat. Selain itu, hak dan kewajiban perempuan telah menempati posisi kedua setelah laki-laki bahkan dipandang lebih rendah. Secara umum hal in terjadi hampir merata diseluruh daerah Indonesia. Pada dasarnya gerakan kaum perempuan telah ada jauh sebelum munculnya penjajah di negeri ini. Beberapa catatan tentang perempuan dibeberapa daerah menyebutkan gerakan perempuan telah ada namun belum dilakukan secara terangterangan. Secara umum, hampir semua bentuk gerakan rakyat Indonesia yang muncul pada masa colonial Belanda bermula pada kritik seorang warga Belanda yaitu C. Th. Van Deventer (1901) yang mengkritik pemerintahan kolonial Belanda di tanah jajahannya. Kritikan van Deventer dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul Hutang Kehormatan. Kritikan inilah yang kemudian menjadi sebuah gerbang pencerahan bagi segenap masyarakat Indonesia pada saat itu. Kritik ini kemudian dikenal dengan istilah politik etis yang berisikan edukasi (pendidikan), trasmigrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi. Setelah
munculnya
pendidikan
sebagai
sebuah
pencerahan
bagi
masyarakat pribumi saat itu, baik langsung maupun tidak langsung memberikan ruang gerak bagi perempuan pribumi untuk mengecap pendidikan. Memang
Universitas Sumatera Utara
25
dalam kenyataanya tidak semua perempuan secara merata di seluruh daerah Indonesia mendapat pendidikan formal. Akan tetapi dengan adanya sedikit ruang bagi kaum perempuan untuk mengecap pendidikan formal maupun nonformal memberikan sumbangan yang cukup baik bagi awal pergerakan perempuan pada saat itu. Pelopor gerakan feminis pada masa ini adalah Kartini (1879-1904). Secara umum, nama Kartini seorang perempuan Jawa putri Bupati Jepara selalu dikaitkan sebagai tonggak awal bagi gerakan feminis di Indonesia. Setelah wafatnya Kartini tulisan-tulisan serta surat-suratnya kepada sahabat penanya di Belanda di terbitkan dengan judul Door duisternist tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Kontribusi Kartini dalam awal mula gerakan feminis adalah sebagai salah seorang
yang
mengobarkan semangat diantara kaum muda
Indonesia dan timbulnya gerakan feminis itu sendiri. Selain Kartini, terdapat Dewi Sartika (1884-1947) yang menjadi seorang pejuang pergerakan kaum perempuan. Jauh sebelum adanya gerakan feminis mengemuka dan terorganisir Dewi Sartika telah banyak ketidakadilan pembagian upah buruh antara laki-laki dengan perempuan dimana perempuan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama beratnya mereka kerjakan dalam buku yang berjudul Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian dituliskan oleh Cora Vreede-De Strures (2008:75). Kedua perempuan diatas, dianggap sebagai salah satu pelopor adanya gerakan feminis di Indonesia. Namun, masih banyak perempuan lain yang tidak pernah dikenal telah memberikan sumbangan dalam kebangkitan gerakan kaum perempuan ini.
Universitas Sumatera Utara
26
Berkaitan dengan perjuangan untuk meraih emansipasi perempuan muncullah beberapa kelompok atau organisassi perempuan yang terorganisir dengan baik. Pada tahun 1912 berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta. Organisasi ini berdiri memberikan bantuan kepada kaum perempuan agar dapat bersekolah dan melanjutkan sekolahnya serta memberikan semangat dan rasa percaya diri untuk berperan aktif di dalam masyarakat. Selain itu muncul pula beberapa organsasi perempuan dibeberapa daerah lain seperti Putri Budi Sedjati di Surabaya, Keutamaan Istri di Sunda, Kerajinan Amai Setia pada tahun 1914 di Kota Gadang Sumatera Barat dan lain sebagainya. Pada masa ini berdirnya sebuah organsasi perempuan bertujuan meningkatkan martabat perempuan dengan memberikan pendidikan di bidang rumah tangga, jahit-menjahit, kursus tentang cara merawat dan mendidik anak dan lan-lain yang di acu oleh Cora Vreede-De Strures (2008:87). Selain lembaga tersebut beberapa organisasi berbasis agama pun turut serta memberikan sumbangan bagi bangkitnya gerakan perempuan. Dua organisasi berbasis agama tersebut adalah Muhammadiyah yang didirkan oleh H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 dan Sarikat Islam. Pada masa kolonial ini pencapaian gerakan perempuan sangatlah baik, banyaknya muncul organisasi perempuan diberbagai daerah kemudian melahirkan kongres perempuan. Kongres perempuan pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Kongres ini dihadiri oleh hampir tiga puluh perkumpulan perempuan dari berbadai daerah. Dalam kongres tersebut pembicaraan mengenai masalah politik dibatasi, kongres lebih mengutamakan masalah pendidikan dan perkawinan. Hasil terpenting dari adanya kongres ini adalah pendirian Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang berniat mengembangkan posisi sosial
Universitas Sumatera Utara
27
perempuan dan kehidupan keluarga. Beberapa hasil dari kesepakatan di dalam PPI mengajukan permintaan jumlah sekolah untuk perempuan harus ditingkatkan, penjelasan resmi mengenai taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan dan peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai negeri sipil harus dibuat. Selanjutnya tanggal 22 Desember adalah tanggal diadakannya kongres perempuan pertama dan dikukuhkan sebagai Hari Ibu di Indonesia. Selanjutnya kongres perempuan rutin diadakan setiap tahun. Namun, pergerakan perempuan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia hanya mendapat sedikit peluang untuk berkembang. Satu-satunya organisasi yang diizinkan berdiri adalah Funjikai (perkumpulan perempuan). Perkumpulan ini berdiri dengan tujuan memerangi buta huruf dan ikut serta dalam aktivitas sosial. Dengan adanya aktivitas tersebut berbagai kalangan perempuan dapat berbaur dan lebih dekat. Selanjutnya pasca kemerdekaan Indonesia kaum perempuan mempunyai peran yang penting dimana mereka bersatu untuk membantu para pejuang digaris terdepan. Di bentuknya Palang Merah Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia berperan penting membentuk tim perawat yang sangat dibutuhkan pada masa itu. Selain PMI perkumpulan yang populer pada masa ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Terlepas dari sejarah panjang kaum perempuan dalam berbagai kelompok yang terorganisir atau tidak dari masa ke masa memberikan sedikit gambaran bahwa gerakan feminis telah ada di Indonesia sejak dulu. Namun, perlu pula dianalisis bahwa gerakan perempuan yang ada dari masa ke masa tentu saja mempunyai tuntutan yang berbeda disetiap generasinya. Walaupun pada dasarnya
Universitas Sumatera Utara
28
semua gelombang gerakan perempuan itu menuntut kesejahteraan bagi kaum mereka. Pada saat ini, gelombang gerakan perempuan telah mempunyai kebebasan dalam menyuarakan tuntutan mereka. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju, saat ini banyak pula perempuan yang tidak sepenuhnya terkait budaya kuno yang menempatkan posisi mereka berada dibawah laki-laki. Perempuan tidak lagi berada dibalik bayang-bayang laki-laki ketika mereka berada dalam kelompok masyarakat. Diberbagai aspek kehidupan, perempuan mulai berdiri sendiri secara mandiri mengelola kehidupan mereka. Terkait dengan gerakan perempuan pada saat ini, tentu saja tuntutan kaum perempuan berbeda dengan masa sebelumnya. Beberapa gerakan perempuan terfokus pada tuntutan mereka tentang anti diskriminasi, kesetaraan gender, kebebasan dalam berpolitik dan beberapa tuntutan lainnya. Perkembangan gerakan kaum perempuan saat ini telah menjadi sebuah gerakan yang mampu memberikan sebuah kekuatan baru dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Secara umum, perempuan mulai berpolitik, berkarir secara mandiri dalam bidang ekonomi tanpa ketergantungan terhadap laki-laki, berani untuk menyuarakan argumen mereka bahkan mampu berdiri sejajar dengan barisan laki-laki. Dalam panjangnya catatan perkembangan gerakan feminis di Indonesia, wacana perempuan dalam gerakan memperjuangkan hak mereka yang rampas banyak pula dibicarakan. Seorang perempuan telah mempunyai kewajiban layaknya seorang laki-laki dalam berbagai gerakan yang menyangkut diskriminasi dalam masyarakat. Seperti halnya wacana konflik agraria yang akan dibahas selanjutnya, perempuan pun harus mampu mengambil bagian di dalamnya. Sebuah gerakan perempuan memang tidak selalu akan menjadi sebuah gerakan
Universitas Sumatera Utara
29
feminis seperti apa yang telah ada sebelumnya. Namun, adanya sebuah kesadaran terhadap perampasan hak mereka merupakan sebuah tujuan dari feminism yang menginginkan adanya kesadaran setiap perempuan dalam memperjuangkan hak mereka.
2.2. Teori Konflik Sebelum mengurai tentang teori konflik, terlebih dahulu kita mengurai arti konflik tersebut. Konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang mengandung arti saling memukul. Sementara secara sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Selanjutnya, Gunawan wiradi yang di acu dalam catatan ringkas Ridha Wahyuni Penelitian Mengenai Konflik Agraria (2013:1) berpendapat bahwa konflik selalu menjadi pusat perhatian dalam ilmu-ilmu sosial, berskala luas dan dampaknya juga luas. Dilihat dari dampak konflik yang terjadi, para ahli telah mengemukakan jenis-jenis konflik yang timbul dalam masyarakat. Salah satunya menurut Wirawan (2010) yang di acu oleh Yumi dkk (2012:8) mengemukakan beberapa jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek: 1. Aspek subyek yang terlibat dalam konflik a. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan;
Universitas Sumatera Utara
30
b. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar personal dalam suatu organisasi, dimana pihak-pihak dalam organisasi saling bertentangan; c. Konflik of interest berkembang dari konflik interpersonal dimana para individu dalam organisasi memiliki interest yang lebih besar dari
interest
organisasi,
sehingga
mempengaruhi
aktivitas
organisasi.
2. Aspek substansi konflik a. Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidak sepahaman/ pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi ataupun voting; b. Konflik non realistis adalah konflik yang tidak ada hubungan dengan substansi/obyek konflik, hanya cenderung mau mencari kesalahan
lawan
baik
dengan
cara
kekuasaan,
kekuatan,
agresi/paksaan.
3.
Aspek keluaran a. Konflik
konstruktif
yaitu
konflik
dalam
rangka
mencari
danmendapatkan solusi; b. Konflik destruktif yaitu konflik yang tidak menghasilkan atau tidak berorientasi pada solusi, mengacaukan, menang sendiri dan hanya saling menyalahkan.
Universitas Sumatera Utara
31
4. Aspek bidang kehidupan Konflik bidang kehidupan antara lain bidang ekonomi, termasuk SDA merupakan konflik yang terjadi lebih dipicu oleh keterbatasan sumber daya alam, manusia cenderung berkembang dan terjadi perebutan atas akses ke sumber-sumber ekonomi, perebutan penguasaan atas sumbersumber eknomi dan dapat saja memicu konflik-konflik bidang kehidupan lainnya yaitu konflik sosial, politik dan budaya.
Pada sumber yang sama, sumber konflik menurut Suporahardjo (2000) adalah adanya perbedaan, dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada tataran antara lain: (1) perbedaan persepsi; (2) perbedaan pengetahuan;(3) perbedaan tata nilai; (4) perbedaan kepentingan; dan (5) perbedaan pengakuan hak kepemilikan (klaim). Lebih lanjut berbicara mengenai teori konflik, menurut Marx yang di acu oleh Janu Murdiatmoko (2000:39) konflik bermula ketika dalam masyarakat terdapat dua kelompok kelas yaitu kelas yang mempunyai kepentingan untuk mempertahankan sistem sosial dan kelas yang mempunyai kepentingan untuk mengubahnya. Dalam hal ini berkaitan dengan kaum borjuis sebagai yang mempertahankan dan kaum ploletar yang ingin mengubah. Ketegangan yang terjadi antar dua kelas ini menurut Marx menyangkut sistem produksi yang terjadi pada saat itu. Munculnya kesadaran dalam diri kaum ploletar yang menyangkut ekploitasi terhadap diri mereka mendorong terbentuknya gerakan sosial besar. Gerakan ini memunculkan konflik antara dua kelas yang saling bertikai. Sejalan
Universitas Sumatera Utara
32
dengan penjelasan Marx di atas, Dahrendrof yang di acu oleh Lasarus Jemahat (2011:74) berkesimpulan bahwa konflik yang terjadi dalam masyarkat dikarenakan adanya perbedaan otoritas, kepentingan dan wewenang antara kelompok superordinat dan subordinat. Dimana kelompok superordinate selalu mempertahankan
status
sosial
sedangkan
subordinat
cenderung
iangin
mengubahnya . Coser yang di acu oleh Novri Susan (2009:54) memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik tersebut yang bersumber pada keagresifan atau permusuhan dalam diri orang. Perilaku permusuhan inilah yang menyababkan masyarakat mengalami konflik. Selain itu, Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu konflik realistis dan non realistis. Konflik realistis menurut Coser memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Sedangkan konflik nonrealistis didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konlik seperti ini biasanya terjadi antar agama, antaretnis dan lain sebagainya. Salah satu pengertian konflik dikemukakan oleh Johnson dan Dunker (1993) yang di acu oleh Mitchell (2000) konflik adalah pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Karenanya konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan yang dapat bersifat positif atau bersifat negatif.
Universitas Sumatera Utara
33
2.2.1. Faktor-faktor Konflik 1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbedabeda.
Universitas Sumatera Utara
34
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
2.3. Agraria Lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan Kolonial Belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip
Universitas Sumatera Utara
35
domein verklaring yaitu semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah Belanda. UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembahasan mengenai agraria telah dikemukakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Menurut budi Harsono dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia (1999:6-7) menyatakan, bahwa pengertian agraria dalam UUPA menganut arti luas yaitu, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut dalam UUPA bermakna bahwa pengaturan/hukum mengenai agraria dan tidak hanya mengatur satu bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masingnya
berkaitan
dengan
penguasaan
Sumber
Daya
Alam.
Diantaranya mencakup tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber daya alam lainnya. Kecenderungan pengelolaan atas Sumber Daya Alam yang memiliki nilai ekonomis serta keterbatasan jumlah menimbulkan adanya persaingan untuk memilikinya. Terkait dengan tanah sebagai sebuah Sumber Daya Alam yang terbatas dan merupakan sumber mata pencaharian masyarakat
dengan
mengelolanya mengakibatkan timbulnya persaingan. Dari permasalahan ini timbul pula pertentangan antara dua orang atau lebih untuk memilikinya. Pada saat masalah ini sudah masuk ke tataran sosial yang luas maka akan menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
36
konflik atau yang lebih dikenal dengan istilah konflik agraria terdapat pada artikel Ridha Wayuni dalam Teori Konflik dan Konflik Agraria (2013:1). Lebih lanjut, James Scoutt yang di acu oleh Rizca Yunike (2012:27) mengemukakan pada konteks agraris yang rapuh dan eksploitatif, umumnya merupakan produksi interaksi antara tiga kekuatan yaitu perubahan demografis, produksi untuk pasar dan pertumbuhan negara. Potensi eksploitatif dari tiga kekuatan tersebut hanya dapat direalisasikan sepenuhnya di dalam konteks monopoli paksaan terhadap petani sebagai penggarap lahan pertanian
2.4. Teori Peranan Peranan menurut Poerwadarminta adalah ―tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa‖ (1995:751). Peranan adalah tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan, dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sedangkan menurut Soerjono Soekanto (2002: 243) pengertian peranan adalah aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan. Scott et al. dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu: 1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu. 3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity) 4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa perubahan perilaku utama. 5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran. Maksud dari peran gender menurut Hubeis (2010): ―Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks tertentu (jenis kelamin tertentu) dan masyarakat tertentu.
Sementara itu, lebih terperinci lagi, Mugniesyah yang diacu oleh Aini (2014) mengemukakan bahwa peranan gender adalah suatu perilaku yang diajarkan dalam masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan sosial. Definisi ini menunjukkan bahwa peran gender disuatu wilayah akan berneda dari peran gender lainnya sesuai dengan karakterisktik wilayahnya. Secara universal peran gender antara laki-laki dan perempuan diklasifikasikan ke dalam tiga peran pokok, yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan peran sosial (masyarakat), Hubeis (2010):
Universitas Sumatera Utara
38
1) Peran Reproduktif (domestik) Merupakan peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan. Tidak jarang kegiatan reproduktif ini tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang konkret dan tidak diperhitungkan sebagai kerja produktif yang menghasilkan pendapatan. 2) Peran Produktif Merupakan peran yang menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya laki-laki identik melakukan pekerjaan yang berat dengan menggunakan bantuan mesin, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang ringan. 3) Peran Masyarakat (sosial) Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat banyak yang bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan. Sedangkan kegiatan politik di masyarakat terkait dengan status dan kekuasaan seseorang, sehingga pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Terdapat klasifikasi tiga peran gender (Hubeis 2010): Peranan perempuan meliputi banyak hal, baik dalam rumah tangga, bidang pertanian, perkebunan, dan gerakan-gerakan sosial. Wahyuni (2007) menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja menjadi bagian tersebesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan pertanian. Secara tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih padi yang baik dan
Universitas Sumatera Utara
39
menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya. Perempuan juga mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian. Mereka juga mampu memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan. Kemampuan tersebut dipelajari para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup keluarganya. Kodrat perempuan sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi produsen primer dan pekerja pemeliharaan. Peran perempuan diidentifikasi dengan alam dan pemelihara kehidupan, sedangkan laki-laki identik dengan pengelola kebudayaan. Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik, mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik, mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan sektor produksi. Kemudian Sukesi (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan tebu rakyat, wanita menunjukkan peran kerja yang nyata, baik pekerjaan pengelolaan maupun pekerjaan fisik. Keterampilan kerjanya tidak berbeda dengan pekerja pria, namun ruang geraknya dibatasi oleh nilai-nilai gender di rumah tangga dan di perkebunan tebu. Curahan kerja wanita diperlukan terutama dalam kedudukan sebagai pekerja keluarga dan buruh tani. Di rumah tangga, wanita mendominasi pekerjaan rumah tangga dan melakukan pekerjaan jasa bagi terlaksananya produksi tebu, namun kurang mendapat perhatian. Kekuasaan wanita nyata tetapi sebatas rumah tangga dan pengelolaan tanaman pangan yang subsisten. Di sisi lain, perempuan juga berperan dalam gerakan petani. Hafid (2001) menyatakan bahwa masuknya perempuan dalam kelompok elit petani telah mendorong semangat perjuangan petani. Partisipasi kaum perempuan telah mendorong petani untuk terjun dalam kancah perjuangan hak milik tanahnya. Dalam kasus tanah Jenggawah, terlihat bahwa perempuan juga ikut andil dalam
Universitas Sumatera Utara
40
proses pengambilan keputusan, dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan pertimbangan hati nurani. Sehingga komposisi antara laki-laki dan perempuan akan melahirkan komposisi strategis yang harmonis. Perempuan juga berperan dalam mobilisasi massa dan dalam mengomunikasikan perjuangan-perjuangan yang mereka lakukan kepada sesama perempuan lainnya. Selain itu, kehadiran perempuan juga memperkuat kesan bahwa persoalan menuntut hak oleh petani Jenggawah bukan hanya persoalan kaum pria saja. Perjuangan tersebut tidak semata persoalan politis, tetapi sudah masuk pada persoalan keluarga dan urusan perut anak-anaknya. Dari penjelasan kasus di atas, terlihat bahwa peranan perempuan pada nyatanya sangat esensial dan beragam. Terlihat bahwa perempuan berperan dalam proses pengembangan pertanian, beperan dalam bidang perkebunan, gerakangerakan petani dan gerakan-gerakan sosial. Peranan perempuan di berbagai bidang ini menggugat pemikiran-pemikiran pihak yang mengsubordinatkan peranan perempuan.
2.5. Perempuan dalam Pembangunan Perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, mengalami ketertinggalan diberbagai bidang pembangunan dan kehidupan. Ketertinggalan perempuan sebagai populasi terbesar dari penduduk dalam berbagai aspek pembangunan akan membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi keseluruhan pembangunan jika tidak diperbaiki. Karena itulah peningkatan peran perempuan dalam pembangunan merupakan kesepakatan dunia yang mana
Universitas Sumatera Utara
41
perempuan sebagai tonggak pertama pencanangan peranan perempuan untuk kemanfaatan pembangunan. Wacana atau isu tentang peranan perempuan dalam pembangunan mendapat perhatian yang cukup besar. Diskriminasi yang ditunjukkan pada perempuan sebagai sebuah pemahaman norma dalam wilayah tertentu mempengarui perilaku masyarakat. Dalam berbagai kasus, salah satunya peningkatan teknologi pertanian pada masa revolusi hijau di mana perempuan sebelumnya menggunakan sistem ani-ani menjadi sistem potong sabit yang biasa dilakukan oleh laki-laki sehingga perempuan pun kehilangan pekerjaannya. Kehilangan pekerjaan ini dikarenakan oleh kurang terampilnya perempuan dalam menggunakan system potong sabit. Seharusnya gerakan revolusi hijau yang dicanangkan pemerintah sebagai salah satu upaya meningkatkan pembangunan dibarengi dengan pemberdayaan perempuan yang lebih matang. Akhirnya, dikarenakan tidak adanya upaya untuk meningkatkan kinerja perempuan oleh pemerintah maka perempuan kembali ke rumah dan pendapatan ekonomi pun berkurang. Menurut Vandana Shiva yang dalam Budi Winarno (2013:122) berpendapat bahwa perempuan menjadi orang pertama yang mengalami kemunduran sebagai akibat pembangunan kapitalis berorientasi pertumbuhan. Selanjutnya, Vandana menjelaskan penyebab terjadinya kemunduran tersebut dikarenakan oleh dua hal, yaitu pekerjan kaum perempuan bekerja sama dengan proses-proses alam dan karena pekerjaan yang memenuhi kebutuhan dasar dan menjamin keberlangsungan hidup secara umum dianggap rendah.
Universitas Sumatera Utara
42
Lebih lanjut, Vandana mengungkapkan penderitaan perempuan sebagi proyek pembangunan disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama struktur masyarakat yang didominasi oleh ideologi patriarki. Ideologi ini mempengarui pemikiran masyarakat yang menganggap perempuan sebagai warga kelas dua sehingga dampak pembangunan tidak bisa dilepaskan dari strukur dominan tersebut. Kedua sejalan dengan ideologi patriarki pembangunan kapitalis menciptakan ketimpangan pembangunan bagi perempuan. Pembangunan kapitalis dengan pemahaman yang sejalan dengan ideologi patriarki ini membuat penempatan perempuan dalam pekerjaan berada di sektor yang tidak menguntungkan. Banyaknya
keterlibatan
perempuan
dalam
wacana
pembangunan
kapitalisme modern diperlihatkan oleh perempuan yang dijadikan sebagai buruhburuh kasar sementara kaum laki-laki menempati posisi yang lebih strategis. Perempuan menghadapi persoalan yang membuat kondisi hidupnya tidak memungkinkan mendapat perlakuan adil dalam sistem kapitalis yang eksploitatif. Hal ini disebabkan oleh marginalisasi dan subordinasi yang melekat pada perempuan berdasarkan jenis kelamin yang menempatkan mereka pada posisi pekerjaan yang kurang menguntungkan. Lebih jauh lagi, perempuan sebagai penyedia pangan untuk produksi kehidupan dianggap mempunyai hubungan khusus dengan alam. Hal ini dikarenakan perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengkonsumsi apa yang tumbuh dialam, namun mereka membuat segala sesuatunya tumbuh. Hal ini mengasumsikan perempuan sebagai produsen nafkah kehidupan yang pertama dan secara tidak langsung menunjukkan perempuan sebagai pencipta hubungan-hubungan sosial.
Universitas Sumatera Utara
43
Peran perempuan dalam pembangunan sebagai seseorang yang mengalami ketertinggalan menurut Saptari dan Holzner (1997) disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan keterbelakangan yang dialami oleh perempuan tersebut. Perempuan dianggap tidak tanggap terhadap tantangan pembangunan oleh karena itu merekalah yang dituntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan bukan pembangunan yang diubah agar sesuai dengan kebutuhan kaum perempuan. Pentinganya pemahaman gender menjadi sebuah kebutuhan mendasar terhadap partisipasi perempuan dalam pembangunan. Karena pada kenyatannya, keadaan perempuan yang menjadi generasi kedua dalam pembangunan tidak didasari oleh tidak memadainya mereka namun keadaan mereka yang terbelakang tersebut dikarenakan oleh partisipasi mereka yang paksakan dan tidak seimbang. Keberadaan perempuan sebagai salah satu aspek yang penting dalam pembangunan haruslah mendapat perhatian yang besar dalam meningkatkan daya saing mereka. Kesetaraan gender dalam pembangunan dianggap sebagi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas perempuan yang berdaya saing serta meningkatkan kedudukan mereka di mata masyarakat. Dengan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, pembangunan yang dianggap sebagi salah satu upaya peningkatan taraf hidup masyarakat didalam suatu negara akan semakin meningkat pula. pembangunan Gerakan petani dalam konflik agraria sering kali mengabaikan peranan perempuan sehingga perempuan dalam konflik agraria berada dalam bayang-bayang budaya patriarki maka diperlukan kesetaraan gender sebagai penyeimbang dalam sebuah konflik agraria yang melibatkan peranan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
44
2.6. Gerakan Sosial 2.6.1. Pengertian Gerakan Sosial Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar untuk menuntaskan sebuah proses perubahan sosial. Dalam prakteknya suatu gerakan sosial dapat diketahui terutama lewat banyak organisasi baru yang terbentuk, dan bertambahnya anggota dalam suatu organisasi gerakan. Dengan demikian gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah manifestasi kepentingan orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan dari adanya kekuasaan secara struktural negara. Sehingga mengambil jalan untuk mewujudkan tuntutan dengan berbagai macam metode perlawanan yang disajikan, mulai dari yang bersifat taat asas hukum sampai kepada sebuah usaha yang radikal progresif dalm payung hukum yang abnormal dalam implementasinya. Walaupun nantinya konsekuensinya yang terjadi harus melibatkan semua potensi material yang dimiliki oleh para pelaku gerakan sosial itu sendiri. Baik harta, tenaga maupun nyawa sekalipun untuk mewujudkan harapan keadilan bagi semua orang.
Universitas Sumatera Utara
45
Beberapa ciri yang terdapat pada gerakan sosial adalah: 1. Sesuai dengan istilahnya yaitu gerakan sosial, maka pelaku gerakan adalah rakyat atau kalangan masyarakat tertentu, termasuk dalam hal ini yang lebih khusus yaitu petani. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar untuk menuntaskan atau untuk menghalangi, sebuah proses perubahan sosial. Selanjutnya gerakan sosial ini gelombang pergerakan dari individu-individu, kelompok, dan berbagai organisasi,
yang
mempunyai tujuan yang sama yaitu suatu perubahan sosial.Gerakan tersebut dapat bersifat terorganisir secara ketat atau hanya sebagai perkumpulan yang longgar, dengan berbagai variasinya. Gerakan sosial pada varian yang lain adakalanya untuk pertama sekali dijalankan oleh penyelenggara negara lalu dalam prosesnya menjadi gerakan sosial di masyarakat. Varian lain mengatakan bahwa bisa saja pada awalnya dilakukan
oleh
rakyat
kemudian
diadopsi
dan
dijalankan
oleh
penyelenggara negara. Proses adopsi oleh penyelenggara negara ini di satu sisi juga dapat bersifat kooptasi sehingga menyimpang dari tujuan dan maksud semula. Namun bagaimanapun bentuk variasinya maka yang utama adalah masyarakat atau petani lah dalam hal ini yang menjadi subyek atau pelakunya. 2. Memiliki tafsir dan analisa sosial tersendiri dalam melihat dan menilai realitas (baik realitas ide maupun material). Tafsir dan analisa sosial ini selalu
digunakan
dalam
melihat
segala
aspek
kehidupan
(baik
politik,sosial,ekonomi,budaya,bahkan agama,dan lain-lain). Gerakan sosial semakin kuat jika semakin banyak komunitas pendukungnya yang
Universitas Sumatera Utara
46
mempunyai kesadaran, analisa, tujuan ,keterampilan,serta pengetahuan praktis melakukan analisa yang sama. Jika semakin praktis penggunaan analisa sosial maka semaking banyak pendukung yang mampu menggunakannya. Berdasarkan pisau analisa sosial yang digunakan SPI misalnya masalah kaum tani peyebab utamanya atau akar masalahnya adalah penerapan paham neoliberalisme disektor pertanian dan seluruh bidang kehidupan. Analisa sosial merupakan alat kaum tani untuk dapat memeriksa, mengkritisi, dan menelanjangi motif-motif, maksud-maksud, tipu muslihat dan idiologi tersembunyi dari kaum neoliberal yang sangat membuai dan membius. Lihatlah pada apa yang mereka maksudkan dengan Bantuan Pangan (Food aid Programme) yang seolah-olah membantu membuat mereka bak dewa penolong. Padahal maksudnya untuk menghancurkan kedaulatan petani dan bangsa ini. Lihatlah yang mereka maksud dengan ―bantuan‖ yang sebutulnya adalah menyediakan jerat bagi leher kita dengan hutang. Dengan analisa sosial yang sama akan ditemukan musuh bersama,dapat di identifikasi siapa pendukung musuhmusuh itu, serta strategi dan taktik apa yang mereka gunakan, termasuk kemungkinan lahirnya ―gerakan sosial tandingan‖ dari kaum neoliberalis itu. Analisa sosial juga berguna untuk melihat siapa kawan taktis dan strategis kaum tani. 3. Berdasarkan analisa sosial yang telah dimiliki itu, jika kita melihat sifat dari penindasan saat ini, maka gerakan sosial, khususnya gerakan kaum tani semestinya memiliki gagasan-gagasan, identitas, prinsip, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan yang radikal semenjak dari awal kemunculannya
Universitas Sumatera Utara
47
hingga tercapainya tujuan itu sendiri. Gerakan sosial berusaha menghilangkan akar struktural dari penindasan itu secara lansung maupun tidak langsung dan menggantinya dengan gagasan yang sesuai dengan pelaku gerakan sosial itu. Jika akar struktural masalah kaum tani adalah neoliberalisme, maka lakukanlah perlawanan semesta (menyeluruh) terhadap neoliberalisme itu! Lawanlah kebijakannya, teori-teorinya, organisasinya, budayanya, gaya hidupnya, komprador-kompradornya, hingga produk-produknya. 4. Mempunyai gagasan-gagasan (basis ide) dan alternatif praktis (basis material) sebagai penjabaran kongkrit dunia baru yang dicita-citakan, sehingga tidak terjebak dengan angan-angan semata. harus mempunyai gagasan yang mampu secara konseptual mengganti konsepsi dunia pertanian yang dipaksakan oleh kalangan neoliberalisme. Contoh sederhana
adalah
kalangan
neoliberalisme
menggunakan
konsep
Ketahanan Pangan (food security), maka konsep perlawanannya adalah Kedaulatan Pangan
(food
Sovereignty),
atau misalnya
kalangan
neoliberalisme menggunakan standar baku konsep Pengelolaan dan Pengembangan Sumberdaya Alam (Natural Resources Management) maka kita kaum tani menggunakan konsep Reforma Agraria yang Sejati (Genuine
Agrarian
Reform).
Jika
kalangan
neoliberalisme
mengkampanyekan Rekayasa Genetika mereka petani melawannya dengan konsep pertanian mereka sendiri. Jika kita menolak pasar bebas (Free Trade) misalnya, maka harus ada dilakukan contoh perlawanannya di tingkat praktis.Tidak menggunakan pestisida dan bibit buatan Monsanto
Universitas Sumatera Utara
48
merupakan contoh aksi. Lebih baik lagi jika aksi itu jaga ditambah dengan kemampuan petani memproduksi benih,membuat pestisida alami dan pupuknya sendiri.Tidak menggantungkan diri pada bank komersial,uluran dana dari perusahaan dan lembaga donor pendukung neoliberalisme, tapi memobilisasi kemampuan diri sendiri. Memang berat untuk melawan neoliberalisme karena sudah merasuk dam menimbulkan ketergantungan misalnya dalam hal ketergantungan terhadap produknya. 5. Mempunyai komunitas atau massa pengusung utama gagasan-gagasan tersebut dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Massa pengusung ini harus bertambah jumlahnya dan kualitasnya serta senantiasa berusaha untuk memperbesar pendukung gagasannya. Jika disatu sisi, saat ini para pendukung Neoliberalisme berada baik di struktur negara (eksekutif,yudikatif,dan legislati,bahkan militer), dimasyarakat sipil sendiri, apalagi pengusaha. Organisasi akan cepat hancur jika dipaksa bergerak kearah yang belum mampu dia lakukan. Masa juga harus bergerak jika dibutuhkan oleh organisasi, mau mematuhi aturan dan seruan yang dikeluarkan secara resmi oleh organisasi. Serta yang tak kalah pentingnya adalah mempunyai kesetiaan secara keorganisasian terhadap organisasi, yang nampak dari sikap lebih mementingkan seruan atau sikap organisasinya
daripada
organisasi.
Pendukung-pendukung
gagasan
tersebut melaksanakan kegiatan atas inisiatifnya sendiri sesuai garis yang telah ditetapkan atau yang telah dipahaminya walaupun dimanapun ia berada. Inisiatif ini dilakukan bukan atas perintah, tetapi atas kesadarannya sendiri bahwa menyebarkan gagasan gerakan petani merupakan tugas suci
Universitas Sumatera Utara
49
dan tugas sejarah baginya(..).Mulailah dengan satuan terkecil dari dunia pertanian, petani dan anggota keluarganya! Karena keluarga petani merupakan sel-sel tempur dalam melawan Neoliberalisme. 6. Unsur Berkesinambungan, Artinya semakin radikal atau mendasar atau semakin tinggi tingkat perubahan yang diperjuangkan maka semakin panjang rentang waktu yang dipergunakan. Maka harus ada strategi agar berkesinambungan. 7. Mempunyai dua strategi utama untuk menhancurkan tatanan yang tidak adil; pertempuran didunia ide, dan pertempuran dibasis material. Pengertian strategi adalah cara dan panduan umum tentang bagaimana mencapai tujuan jangka menengah dan jangka panjang.Strategi tidak boleh berubah-ubah. Hanya karena adanya situasi dan keadaan politik dan ekonomi yang besar dan dasyatlah yang boleh diperhitungkan untuk merubah strategi. Sedangkan secara taktis biasanya terbagi tiga yaitu : kooperatif, kooperatif dalam rangka non kooperatif, dan non kooperatif. Semakin bersifat kooperatif semakin mudah terkooptasi. 8. Mempunyai sikap dan pandangan yang jelas dalam memandang negara khususnya pemerintahan. 9. Terorganisir. 10. Secara umum gerakan sosial muncul dalam rangka memperkuat massa itu sendiri
Universitas Sumatera Utara
50
2.6.2. Gerakan Petani Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya masih menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian. Oleh karena itu lahan memegang peranan penting bagi kesejahteraan masyarakat. Lahan merupakan hal yang paling esensial dan keberadaannya seringkali diperebutkan oleh berbagai pihak, pada umumnya diwakili oleh tiga aktor yakni, masyarakat, negara, dan pihak swasta. Lahan merupakan bagian dari kajian agraria. Berbicara mengenai agraria di Indonesia tidak pernah terlepas dari historis Indonesia sejak dari zaman kolonialisme, era orde lama hingga orde baru. Era orde lama ditandai dengan lahirnya UUPA. Fauzi (1999) menyatakan bahwa berlakunya UUPA berusaha mengatasi dualisme hukum agraria masa kolonial, yakni: hukum yang berasal dari penjajah (kolonial), disebut juga Hukum Barat, dan hukum yang berasal dari adat asli Indonesia. Dengan UUPA, pemerintah, dan masyarakat pasca kolonial melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria untuk pemenuhan tujuan-tujuan pendirian negara bangsa sebagaimana tercantum pada dokumen-dokumen dasar negara: Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. UUPA beserta peraturan-peraturan jabarannya, ingin mengubah kenyataan yang berkembang di masa kolonial. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkassa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Usaha ini disebut juga sebagai pembaruan agraria (land reform). Wolf dan Moore dalam Landsberger (1984) mengatakan terdapat tiga karakteristik yang mencirikan petani, diantaranya adalah subordinasi legal, kekhususan kultural, dan khususnya ‗pemilikan de facto‘ atas tanah. Sepuluh
Universitas Sumatera Utara
51
tahun kemudian Wolf dalam monografnya, mendefiniskan peasants sebagai tukang cocok tanam pedesaan yang surplusnya dipindahkan kepada kelompok penguasa yang dominan. Bukan pemilikan, tetapi lepasnya penguasaan terhadapnya dan penguasaan atas tenaga kerjanya sendiri. Dengan kata lain telah ditutupi oleh sistem lain dimana kontrol atas alat-alat produksi, termasuk penentuan tenaga kerja manusia, berpindah-pindah dari tangan produsen primer kepada kelompok-kelompok yang tidak melakukan proses produktif itu sendiri. Namun kemudian Wolf juga mendefinisikan petani sebagai penduduk yang secara ekstensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam, mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka. Landsberger dan Alexandrov (1984) mendefinisikan bahwa petani adalah para tukang cocok tanam pedesaan yang menduduki posisi yang relatif rendah pada berbagai dimensi yang penting. Dimensi penting yang dimaksudkan disini adalah dimensi ekonomi dan politik. Dimensi ekonomi dan politik dapat dibagi ke dalam tiga rangkaian dimensi yang setara yakni pengendalian atas masukan ekonomi dan politik yang relevan, pengendalian proses transformasi dalam ekonomi dan politik, dan dimensi yang berkaitan dengan tingkat faedah dari keluaran (output) dari masing-masing sektor ini di masyarakat. Suatu contoh dalam hal masukan ekonomi, para tukang cocok tanam desa dapat diukur dari (1) jumlah masukan yang mereka kendalikan (tanah, modal, tenaga kerja); dan (2) kepastian dengan mana mereka mengendalikan masukan itu. Dalam hal proses transformasi, petani dapat melakukan partisipasi, kurang lebih dalam perumusan
Universitas Sumatera Utara
52
nyata keputusan-keputusan politik. Pada akhirnya petani, sedikit atau banyak, memperoleh keuntungan dari isi keputusan yang dibuat. Namun
seringkali
posisi
petani
disubordinatkan.
Petani
sering
dianalogikan sebagai masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merubah struktur, pasrah terhadap kondisi yang menimpa mereka dan patuh terhadap aturan-aturan yang ada. Petani seringkali hanya dijadikan obyek-obyek pembangunan lewat program-program yang terlihat revolusiener, padahal terkadang sama sekali tidak menyuntuh kebutuhan petani. Kondisi-kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dalam diri petani. Landsberger dan Alexandrov (1984) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis situasi yang seringkali memainkan peranan dalam merangsang ketidakpuasan petani, diantaranya yakni inkonsistensi status, kemorosaan relatif dari status lama seseorang atau dari harapan orang tentang statusnya yang sekarang dan perasaan adanya ancaman terhadap status di masa depan. Inkonsistensi status didefinisikan sebagai kedudukan yang relatif baik menurut satu karakteristik sementara tetap rendah menurut karakteristik lain, yang merupakan salah satu pencetus pemberontakan petani di Inggris di tahun 1831 dan di Perancis di tahun 1789. Dalam kedua kasus tersebut, perbaikan nasib petani telah terjadi dalam berbagai hal, namun di sisi lain justru hal tersebut lah yang membuat ketaksanggupan yang masih ada seperti dalam hal pajak perkawinan dan kerja bakti yang menyulitkan petani. Kemudian, kedudukan yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan yang lain –kemorosotan relatifsedikitnya memainkan peranan di Mexico, dimana meningkatnya kontak dengan Amerika Serikat memungkinkan petani untuk membandingkan nasibnya dengan tetangganya dan akibatnya menjadi tidak puas. Dan yang terakhir adalah
Universitas Sumatera Utara
53
kemorosotan sehubungan dengan masa lalu atau yang diharapkan sekarang ataupun ancaman terhadapnya di masa depan, sebagaimana terjadi dalam kasus pemberontakan Pugachev. Salah satu perubahan masyarakat yang dapat menghasilkan ketidakpuasan petani adalah penggusuran petani dan komunitas petani yang telah ada sebelumnya, pencaplokan hak-hak meraka oleh tuan-tuan tanah dan negara dalam suatu proses feodalisasi, yang akan membawa kepada perasaan merosotnya status petani. Kebijaksanaan pencaplokan serupa itu mungkin dicetuskan oleh perangsang-perangsang seperti keinginan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan komersial dan teknik yang baru, atau dari tekanan negatif pada elite politik dan ekonomi, seperti kekalahan perang. Rasa ketidakpuasan yang timbul tersebut kemudian mendorong petani untuk
melakukan
gerakan-gerakan
perlawanan
terhadap
kondisi
yang
memarginalkan mereka. Landsberger dan Alexandrov (1984) mendefinisikan gerakan sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah. Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani yang posisinya selalu termarginalkan dari berbagai aspek, baik ekonomi maupun politik. Rasa-rasa ketidakpuasan inilah yang juga mendasari gerakan-gerakan petani yang ada di Indonesia seperti dalam kasus Serikat Petani Pasundan, SPPQT, kasus tanah Jenggawah, dan kasus petani di Desa Cisarua. Di negara-negara lain kondisi ini juga terlihat dalam gerakangerakan petani yang ada di negara India, Zimbabwe, dan Filipina. Landsberger dan Alexandrov (1984) menggambarkan gerakan petani dengan menggunakan dimensi-dimensi tertentu, yakni: (1) tingkat adanya kesadaran bersama tentang nasib yang dialami; (2) tingkat dimana aksi itu bersifat
Universitas Sumatera Utara
54
kolektif baik dalam lingkup orang yang terlihat dan
tingkat koordinasi dan
organisasi aksi (sampai kepada titik yang tinggi yakni ketika diorganisasikan dengan cara yang kompleks); (3) lingkup dimana aksi itu bersifat instrumental, yang berarti dirancang untuk mencapai sasaran di luar aksi itu sendiri dan dilaksanakan karena gratifikasi yang terkandung di dalam aksi itu sendiri; dan (4) tingkat dimana reaksi itu didasarkan secara eksklusif atas kerendahan status sosial, ekonomi dan politik memainkan peranan murni yang merdeka. Pada dimensi pertama, tingkat kesadaran, hal-hal yang harus dikaji adalah penilaian kasar mengenai jumlah petani yang mungkin menyadari kebersamaan persoalan mereka dan mutu dari kesadaran itu, misalnya apakah ada visi mengenai sistem sosial secara keseluruhan, dibandingkan dengan jumlah yang betul-betul sadar dan tingkat mutu yang paling tinggi. Selanjutnya, dimensi kedua yakni tingkat kolektifitas aksi. Titik puncak dari dimensi ini terjadi bila koordinasi tugas dan pembagian kerja dan beberapa penugasan wewenang dibentuk secara eksplisit.Pengukuran
tingkat
kolektivitas
dapat
dilakukan
dengan
memperhitungkan keluasan lingkup aksi kolektif tersebut, misalnya pertanyaan, dari semua petani yang mungkin bereaksi dengan cara yang sama, berapa petani yang melakukan aksinya; dan tingkat eksplisit organisasi dapat dijabarkan melalui pertanyaan dari mereka yang bereaksi dengan cara yang sama, berapa proporsi yang sengaja mengkoordinasi reaksinya dengan pihak lain. Kemudian, dimensi ketiga yakni orientasi instrumental, lawan ekspresif dan soal rasionalitas. Kelakuan ‗ekspresif‗ dalam banyak kolektivitas dianggap terjadi bila anggota-anggotanya mencari kepuasan dalam proses menjadi anggota itu. Kepuasan ini dapat berjenis ‗positif‘–sosiabilitas dan pengakuan dalam
Universitas Sumatera Utara
55
bergabung bersama—atau berjenis ‗negatif‘. Kelakuan instrumental, di pihak lain merupakan kata sifat yang dilekatkan bila suatu perkumpulan
atau gerakan
mengejar sasaran yang terletak di luar kegiatan langsung mereka, dan dimana kegiatan itu dilakukan pertama-tama untuk mencapai hasil akhir yang akan mereka capai: perubahan dalam penguasaan tanah atau upah yang lebih tinggi. Selanjutnya, dimensi keempat yakni status rendah sebagai basis gerakan. Dalam hal ini status rendah digambarkan sebagai petani, yakni kaum yang terpinggirkan. Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi lahirnya permasalahan agraria juga dapat dipengaruhi oleh adanya adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam bentuk proyek-proyek pembangunan, sebagaimana yang terjadi di India. Routledge (2005) menyatakan bahwa pergolakan di India terjadi bersamaan dengan pembangunan waduk raksasa, yang diasosiasikan sebagai wujud pembangunan berkelanjutan mengenai penanggulangan kemarau. Penerapan pembangunan kerap didahului oleh penciptaan abnormalitas di suatu tempat. Masalah-masalah
ini
karenanya
membutuhkan
profesionalisasi
dan
institusionalisasi praktek-praktek pembangunan. Hal ini terjadi melalui wacana pakar-pakar pembangunan, kolonisasi proses pembangunan oleh otoritas seperi otoritas Kontrol Narmada serta diperkuat dengan iming-iming manfaat dan kegunaan bagi calon pengguna dan penerima manfaat. Berdasarkan kasus-kasus di atas, jelas petani adalah pihak yang selalu dijadikan obyek pembangunan dan paling dirugikan dari program-program pembangunan yang ada. Petani menjadi kaum mayoritas yang terpinggirkan di tanahnya sendiri. Petani sering berada di posisi yang tersudutkan dan tertekan. Tekanan-tekanan ini datang dari berbagai pihak mulai dari kebijakan pemerintah
Universitas Sumatera Utara
56
yang tidak berpihak kepada petani hingga pengambilalihan dan penguasaan lahan secara besar-besaran oleh pemilik modal. Hal ini lah yang mendorong petani untuk melakukan perlawanan-perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan nyata, yang sering disebut sebagai gerakan petani. Petani secara mandiri mengorganisir dan melakukan perlawanan-perlawanan.
2.7. Teori Moral Ekonomi Petani Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, James Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana ―etika subsistensi‖ (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka. Itulah yang disebut sebagai ―moral ekonomi‖, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan ―moral ekonomi‖ itu dan menyebabkan kaum tani berontak. Mahakarya kedua Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membawa topik di atas selangkah lebih jauh. Scott mendokumentasikan penelitian bertahun-tahunnya tentang perlawanan keseharian kaum tani yang tak tercatat sejarah. Buku Perlawanan Kaum Tani mengusung tema serupa. Namun demikian, buku ini bukan terjemahan langsung dari buku Scott, melainkan terjemahan kumpulan
Universitas Sumatera Utara
57
artikel Scott yang disunting oleh Prof. Sajogyo. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah menjelaskan posisi dan perilaku politik kaum tani. Sejak zaman kolonial, protes dan perlawanan kaum tani dipandang bukan sebagai gerakan terorganisir, melainkan sekedar pelampiasan kemarahan secara destruktif dan membabi buta akibat eksploitasi yang kelewatan, misalnya pajak yang teramat tinggi. Namun pada kehidupan sehari-hari, kaum tani nampak pasrah, nrimo dan tergantung pada alam. Tidak nampak revolusioner sama sekali. Penelitian Scott atas petani Asia Tenggara mematahkan mitos ini. Ia membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai ‗kepasrahan kaum tani‘ bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam yang berlangsung saban harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur. Dari Scott diperoleh analisa yang jenius tentang apa yang disebutnya ‗bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian‘ (Brechtian modes of resistance), yakni "senjatasenjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan: menghambat, berpura-pura, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase,dan sebagainya" dalam buku yang berjudul Perlawanan Kaum Tani (1993: 271).
2.8. Penelitian Terdahulu Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada BAB Pendahuluan, masalah konflik agraria merupakan sebuah masalah yang sukar untuk diselesaikan dengan tidak menimbulkan ketimpangan antara dua kelompok dalam konflik tersebut. Rentetan konflik agraria di Indonesia memang telah dimulai sejak dulu dan telah
Universitas Sumatera Utara
58
menjadi sebuah konflik yang diwarisi mulai dari masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan hingga saat ini. Keberadaan konflik agraria sebagai sebuah wacana yang banyak diperbincangkan oleh kalangan masyarakat menimbulkan minat banyak peneliti untuk mengetaui lebih jauh tentang permasalahan tersebut. Dalam hal ini, penelitian sebelumnya dilakukan oleh Tim LPTP (Lembaga Pengembangan Masyarakat Pedesaan) Solo yang berjudul Agenda Perempuan dalam Gerakan Petani. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga tersebut membicarakan perjuangan petani perempuan untuk menghadapi globalisasi. Lebih lanjut penelitian ini membahas tentang agenda gerakan petani perempuan untuk merebut wacana globalisasi, perdagangan bebas, corporate farming, atapun keamanan dan kedaulatan pangan. Namun, dalam kehidupan mereka masih belum menyentuh wacana gender sebagai mainstreming. Indikasi kuat dari penelitian ini menunjukkan absennya pertanyaan gender pada setiap gerakan petani perempuan berakibat negatif bagi petani perempuan itu sendiri. Dengan kata lain, tanpa mempertimbangkan implikasi gender suatu perjuangan dan gerakan petani dalam memperjuangan hak-hak petani akan melanggengkan ketidakadilan bagi petani perempuan. Penderitaan yang dialami oleh petani perempuan akibat diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang ditimbulkan akibat dari relasi gender dikalangan petani sama seriusnya dengan yang dirasakan oleh petani perempuan ketika mereka merasakan akibat kejahatan dan kekerasan yang ditimbulkan oleh Neoliberalisme. Oleh karena itu penelitian ini menekankan gerakan petani perlu membenahi diri untuk
mendemokratisasikan
relasi
gender,
terutama
melakukan
proses
Universitas Sumatera Utara
59
demokratisasi relasi gender di rumah tangga petani sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan untuk memberdayakan dan mencapai hak- hak petani perempuan. Penelitian terdahulu selanjutnya dilakukan oleh Rizca Yunike yang berjudul Gerakan Sosial Politik Omah Tani di Kabupaten Batang. Penelitian yang dilakukan oleh Rizca Yunike ini membahas tentang gerakan sosial yang dilakukan Omah Tani yang merupakan sebuah organisasi pergerakan petani di Kabupaten Batang. Bentuk dari gerakan Omah Tani ini mempunyai tiga pola yaitu bentuk yang pertama adalah dengan mengakomodir massa dengan jumlah yang besar atau yang dikenal dengan istilah aktivitas determinasi. Bentuk yang kedua adalah melakukan upaya hukum dan audiensi baik dengan kepolisian, kejari dan juga anggota legislatif daerah. Dan bentuk yang terakhir yaitu dengan cara perebutan kekuasaan. Lebih jauh, penelitian ini juga membahas tentang Pemikiran James Scott dalam Moral Ekonomi Petani dan Senjata Kaum Tertindas sebagai referensi yang dapat digunakan dalam mengamati gerakan yang dilakukan petani terutama di Asia Tenggara. Bagi James Scott, faktor yang menjadi penyebab timbulnya suatu gerakan khususnya perlawanan petani adalah adanya hubungan yang eksploitatif yang dilakukan oleh penguasa, yang mengakibatkan kondisi ekonomi petani lemah. Dalam konteks gerakan petani yang dilakuakan oleh petani dalam Omah Tani, eksploitasi yang terjadi lebih diakibatkan oleh adanya tekanan dari penguasa baik dalam bentuk negara dan pemilik modal yang diwujudkan dalam perusahaan perkebunan negara seperti PTPN dan Perhutani, sedangkan pemilik modal adalah
Universitas Sumatera Utara
60
para perusahaan perkebunan besar yang menyewa dan bahkan menyerobot tanah milik desa atau tanah negara yang dimaksudkan agar dikelola oleh petani. Konteks gerakan petani yang dialami oleh petani Omah Tani Batang dan kontenks yang dikemukakan Scott mengalami perubahan dimana petani mulai berani
untuk
bergerak secara terang-terangan bahkan berpolitik
untuk
mendapatkan akses dan penyelesaian masalah yang dialami oleh para petani tersebut. Meninggalkan kebiasaan perlawanan dalam diam petani dan berhadapan langsung dengan pihak berwenang bahkan mampu meyuarakan ketidak setujuan terhadap peraturan yang dibuat oleh penguasan yang memberatkan kehidupan mereka. Dari penelitian yang dilakukan ini terdapat upaya nyata yang dilakukan oleh Omah Tani dalam mempergunakan kesempatan politik yang ada untuk masuk dalam ranah struktural ditandai dengan adanya gerakan dan rencana politik yang telah disiapkan melalui target gerak politik lokal. Runtutan rencana gerakan politik yang dilakukan oleh Omah Tani diawali dengan mencoba berkompetisi melalui Pilkades. Dengan adanya kekuatan kekuasaan di tangan petani yang diwakilkan oleh Omah Tani sebagai kades setempat memberikan sedikit peluang untuk mempersempit terjadinya eksploitasi dan perebutan lahan (Jurnal Politik Muda Vol. 1 No. 1 Oktober-Desember 2012 Hal 23-34) Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hasim Purba yang berjudul Reformasi Agraria dan Tanah Untuk Rakyat: Sengketa Petani vs Perkebunan, membahas tentang sejumlah persoalan mendasar dalam bidang agraria (pertanahan)
berupa
konflik
pertanahan
yang
berkepanjangan,
struktur
penguasaan tanah yang timpang, aturan dan kebijakan pertanahan yang kacau dan
Universitas Sumatera Utara
61
kegagalan perwujudan dan cita-cita program pembangunan agraria nasional (jurnal Law Review Volume X No. 2 - November 2010). Penelitian Siti Rakhma Mary Herawati yang berjudul Petani Melawan Perkebunan: Perjuangan Agraria di Jawa Tengah memberikan banyak masukan mengenai perjuangan petani dalam memperjuangkan hak mereka. Dalam penelitian yang dilakukan Siti ini, menunjukkan secara terang bahwa perkebunan berkolaborasi dengan aparat keamanan, preman dan parat peradilan. Hal seperti ini merupakan tindakan dari perkebunan yang sering dijumpai dalam kasus yang sama hampir di semua daerah.
Terlepas dari hal itu, peran peradilan yang
seharusnya berada di posisi netral pun tidak mampu menjadi sebuah tonggak keadilan bagi masyarakat khususnya petani yang dalam Jurnal Bhumi (No. 37 23 April 2013). Dian Aries dkk melakukan penelitian tantang Dinamika Perjuangan Agraria Kontemporer di Indonesia dengan focus penelitian konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar. Penelitian ini merupakan monografi untuk mencari dinamika perjuangan agrarian yang menjurus kepada konflik agrarian petani dengan pabrik gula di daerah tersebut. Yang mana dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana terjadi konrol terhadap tanah yang menjadi akar konflik antara kedua belah pihak tersebut. Selanjutnya sengketa lahan pertanian ini merebak hingga era reformasi. Pada bagian lain, diuraikan bagaimana strategi perjuangan petani dan negoisasi yang dilakukan petani yang dianggap sebagai alternative penyelesaian konflik (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2012)
Universitas Sumatera Utara
62
2.9. Defenisi Konsep 2.9.1. Peranan
adalah tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok
orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan sebagai uasaha untuk mencapai tujuan. 2.9.2.
Gender: Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan
peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. 2.9.3. Agraria: dapat diartikan sebagai urusan pertanahan yang mengatur segala sesuatu yang tercakup dalam sebuah wilayah baik itu berupa tanah, air, udara dan segala isinya. Hal ini juga sejalan dengan pengertian agraria yang tertuang dalam UUPA 1960. 2.9.4. Konflik: Konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai suatu obyek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi yang menghasilkan keluaran konflik.
2.10. Kerangka Pemikiran Dalam rangka melaksanakan program pembangunan yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi salah satu usahanya adalah dengan memperluas sektor perkebunan. Dalam perluasan perkebunan ini tentunya membutuhkan lahan yang luas sebagai modal utama. Masalah pertanahan adalah salah satu permasalahan agraria
sebagai mana yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam mewujudkan
Universitas Sumatera Utara
63
program pembangunan yang bersinggungan dengan permasalahan agraria, penguasaan atas tanah tidak bisa dilepaskan dari kepentingan antara pemerintah dan masyarakat maupun pengusaha. Tanah adalah salah satu alat produksi yang menjamin keberlangsungan hidup dan digunakan berbagai pihak dalam kehidupan mereka. Namun, akibat dari pentingnya sumber daya alam tersebut serta keterbatasan tanah, berbagai permasalah agraria muncul ditengah masyarakat. Banyak tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian masyarakat dirampas oleh negara atas nama kepentingan pembangunan. Di sinilah awal mulanya terjadinya konflik agraria antara petani dengan pemerintah, seperti konflik agrarian antara Petani Persil IV dengan PTPN II. Dalam konflik tersebut terdapat keterlibatan dan perananan petani perempuan sebagai pemeran konflik dalam memperjuangkan haknya atas tanah mereka yang dirampas. Perempuan yang lebih dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, yang berperan secara internal dalam keluarga, sering sekali harus terlibat dalam sebuah konflik yang berhadapan dengan pemerintah maupun swasta.
Universitas Sumatera Utara
64
Hal ini dapat dikupas dengan menggunakan beberapa konsep antara lain konsep Gender dan Teori Moral Ekonomi Petani James Scout.
Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam bagan berikut :
Pembangunan
Perluasan Sektor Perkebunan
Konflik Agraria Antara Petani Dengan Swasta/Pemerintah
Peranan Perempuan
Konteks Gender
Teori James Scout
Gambar 2.1. Bagan Pendekatan Teori James Scout Dan Konsep Gender Terhadap Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria
Universitas Sumatera Utara