BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sesuai dengan judul, Bab ini berisi suatu tinjauan kepustakaan yang membicarakan mengenai aspek-aspek hukum berkaitan dengan kedudukan tanda tangan elektronik dalam hukum positif di Indonesia.
Tinjauan kepustakaan
tentang aspek tersebut di atas dimulai dengan hakikat tanda tangan elektronik, sumber hukum dan pengaturan tanda tangan elektronik, cara kerja teknologi tanda tangan elektronik, tranksaksi tanda tangan digital, keabsaan tanda tangan elektronik kelemahan dan keunggulan tanda tangan elektronik, aspek tentang penemuan hukum dan gambaran singkat tentang arti penting tujuan kepustakaan dalam hal ini dihubungkan dengan perumusaan masalah bagaimanakah kedudukan hukum tanda tangan elektronik dalam UU ITE? Tercatat dalam konsep bagaimana dalam rumusan masalah tersebut, antara lain adalah apakah hakikatnya tanda tangan scan merupakan tanda tangan elektronik (digital signature)?
2. 1.
Hakikat Tanda Tangan Elektronik Hakikat digital signature adalah sebagai alat bukti identifikasi para
pihak, sebagai syarat formalitas, sebagai tanda persetujuan, mengefisienkan
14
maksud dari para pihak dalam sebuah perikatan yang terjadi melalui transaksi elektronik. Kekuatan beban pembuktian yang melekat dalam digital signature ditinjau dari pembuktian hukum acara perdata memiliki kekuatan beban bukti setingkat dengan akta bawah tangan (ABT), oleh karena itu kekuatan beban bukti yang melekat dalam tanda tangan pada surat elektronik hanya kekuatan pembuktian formil dan pembuktian materil.1 Pengaturan penandatanganan non elektronik ditegaskan dalam Pasal 1 Ordonansi tahun 1867 No. 29. Dalam Ordoansi itu ditegaskan bahwa ketentuan tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah tangan dari orangorang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka. Sejalan dengan itu Yahya Harahap juga menguraikan arti penting tanda tangan. Menurut kepustakaan tersebut, tanda tangan berfungsi sebagai syarat yang mutlak sahnya suatu akta. Oleh sebab itu maka tulisan yang hendak dijadikan surat harus ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya.2 Dengan perkataan lain, suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani, ditinjau dari segi hukum pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan. Dalam hubungan dengan itu, tanda tangan sebagai identitas diri juga menjadi simbol sekaligus semiotik hukum 1
Keny Witso, Internet Isu, Bandung, Pustaka, Citra Aditama, 2002, hal., 11.
2
Ibrahim Ibdam, Perbandingan Hukum Terhadap Peranti Keras Komputer, Bandung, Alumni, hal., 23.
15
bahwa diantara para pihak itu telah melahirkan konsensus untuk tunduk pada norma-noma imperatif yang dibangunnya. Oleh karena itu jika diringkaskan maka dalam hukum, hakikat tada tangan dalam kaitannya dengan tujuan hukum adalah sarana membangun kepastian untuk menjadi pedoman dalam melahirkan peristiwa-peristiwa hukum (seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan perjanjian utang piutang lainnya).3
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hakikat dari pada tanda tangan digital sebagai berikut: pertama, sebagai alat bukti identifikasi para pihak. Dari mekanisme atau tata kerja lahirnya tanda tangan digital melalui proses enkripsi dengan tekhnik kriptografi, lahirlah kunci privat dari salah satu pihak sehingga dapat membuka kunci pulik milik pelanggan dari salah satu pihak yang hendak melakukan
perjanjian
tersebut.
Kedua,
memenuhi
syarat
formalitas.
Dilibatkannya lembaga certification authority sebagai lembaga yang dipercaya untuk menjamin kerahasiaan digital signature. Negara masih mengusahakan agar memilki lembaga yang berada di bawah naungan Pemerintah untuk menerbitkan sertifikat digital. Ketiga, tanda persetujuan. Sifat yang ada dalam tanda tangan digital sebagai kunci untuk membuka kontrak yang telah dienkripsi pula maka pada saat pihak yang memiliki kunci privat mencocokan kunci publik milik pelaku usaha misalnya, maka pada saat pihak yang memiliki kunci publik itu mengetahui penawaran pelanggannya, maka saat itu juga merupakan 3
Mery Magdalena, Cyber Law Tidak Perlu Takut, Yogyakarta, Andi, 2007, hal., 73.
16
tanda persetujuan atas peristiwa hukum yang akan terjadi dari kedua pihak. Keempat, efisiensi. Setelah pelanggan menyatakan persetujuannya dengan membuka atau melakukan dekripsi atas kontrak yang telah dienkripsi, dan membaca segala ketentuan yang harus diikuti terhadap pelaku usaha, maka kedua pihak secara tegas menyepakati tunduk pada ketentuan yang ada dalam kontrak yang telah dienkripsi itu.
Dalam kaitan dengan uraian di atas, sertifikat digital yang kemudian melahirkan dokumen/surat elektronik hanyalah dapat digolongkan dalam akta bawah tangan (ABT). Sertifikat digital dengan prinsip kerjanya menjamin rahasia dari surat tersebut oleh para pihak yang melakukan transaksi elektronik. Tapi satu sifat yang dimiliki oleh akta otentik tidak berlaku dalam sertifikat digital. Sifat yang melekat dalam akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.4
2. 2.
Sumber Hukum dan Pengaturan Tanda Tangan Elektronik Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE adalah hal yang
berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik. Pengaturan informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU
4
Ibid, hal., 94.
17
ITE. Secara umum dikatakan bahwa bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan tanda tangan elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratanpersyaratan seperti yang telah ditentukan.
Pasal (5) Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) UU ITE, secara tegas menyebutkan: informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang. Namun, dalam Ayat (4) ada pengecualian yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak berlaku untuk: (a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 11 menyebutkan, tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut; (a) data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada
18
penanda tangan; (b) data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan; (c) segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (d) segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (e) terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan (f) terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.
2. 3.
Kelemahan dan Keunggulan Tanda Tangan Elektronik Sebagaimana telah dikemukakan berkembangnya penggunaan sarana
elektronik dalam berbagai transaksi, di samping memberikan manfaat yang positif yakni adanya kemudahan bertransaksi, juga memberikan manfaat yang sangat besar bagi penyimpanan dokumen sebagai hasil kegiatan usaha yang dilakukan. Namun, memang diakui bahwa disamping keuntungan tersebut dalam penggunaan sarana elektronik terdapat pula kekurangan atau kelemahannya apabila dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan.
Dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866, alat bukti terdiri atas: bukti tertulis; bukti saksi; persangkaan; pengakuan dan sumpah.
19
Selanjutnya dalam Pasal 1867 ditentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan. Pegertian “tulisan” dalam pasal tersebut dipastikan dalam bentuk tertulis di atas kertas. Pengertian semacam ini tentu sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman teknologi saat ini. Untuk itu perlu diketahui ketentuan dalam UU ITE yang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasional sebagai suatu kontrak.
2. 4.
Bentuk Pengaturan Meregulasi Internet Menurut Viktor Mayer-Schönberger terdapat tiga pendapat mengenai
bentuk pengaturan mengenai siapa yang berhak meregulasi Internet. Pendapat pertama dikenal dengan the State-Based Traditionalist Discourse mengatakan sebaiknya pihak yang mengatur internet adalah Pemerintah (the State) melalui peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendapat ini bentuk pengaturan internet akan diatur oleh masing-masing negara. Kelebihan pandangan ini adalah penegakan hukum terhadap pengaturan internet lebih terjamin. Sementara itu, kelemahan dari pengaturan ini adalah dilupakannya dasar dari internet yaitu sifat global. Tidak mungkin suatu negara dapat memaksakan peraturan negaranya bagi warga negara lain yang menggunakan fasilitas internet di negaranya, kecuali hukum menghendaki.
20
Pendapat kedua mengatakan, internet sebaiknya diatur oleh masingmasing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah the CyberSeparatist Discourse. Pendapat ini memisahkan antara kehidupan sosial di dunia nyata dengan kehidupan di dalam cyberspace. Berdasarkan pendapat ini sebaiknya pengaturan mengenai internet tidak usah dilakukan oleh negara, karena tidak akan ada peraturan yang cocok untuk mengatur kemajemukan di internet. Karena pengaturan internet menggunakan kebiasaan, para pengguna internet akan merasa lebih dapat menerima peraturan yang ada. Akan tetapi, kelemahan dari pendapat ini adalah tidak adanya penegakan hukum seandainya terjadi sengketa antara para pihak, kecuali penegakkan hukum oleh para pihak yang terlibat.5
Pendapat ketiga yaitu the Cyber-Internationalist Discourse, mengatakan pengaturan Internet sebaiknya melalui ketentuan internasional. Jadi, ada suatu ketentuan hukum berlaku secara internasional yang mengatur mengenai internet. Pendapat ini mengarahkan pandangannya kepada usaha untuk mengunifikasikan peraturan internet yang ada pada sifat hukum itu sendiri. Kelemahan dari aliran ini adalah, tidak semua negara mau mengakui pengaturan mengenai internet yang berlaku tersebut, karena tiap negara memiliki karakterisitik tersendiri sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. 5
Ibrahim Idham, Perlindungan Hukum Terhadap Perangkat Keras Komputer (Legal Proctection Of Computer Hardwere) , Bandung, Alumni , 2000 , hal., 187.
21
Kecenderungan yang terjadi sehubungan dengan pendapat-pendapat di atas adalah dalam proses arbitrase online khususnya dalam penyelesaian sengketa e-commerce yang dilakukan antara business to consumer (B2C). Pilihan hukum yang digunakan adalah berdasarkan hukum nasional dari si pelaku bisnis, karena konsumen hanya memiliki pilihan menerima klausula baku arbitrase yang tersedia atau tidak melakukan e-commerce sama sekali (take it or leave it). Hal ini dipengaruhi hukum positif yang mengatur internet di negara tersebut, sehingga di pengaturan mengenai e-commerce mengikuti hukum yang mengatur tentang koneksi e-commerce dalam hubungan Internetnya. Dengan demikian proses arbitrase akan menggunakan pilihan hukum dimana media internet yang menjalankan e-commerce berada.
Apabila sengketa yang terjadi dalam hubungan e-commerce antara client to client (C2C). Pengaturan internet yang biasa digunakan adalah menganut the Cyber-Separatist Discourse yaitu mereka akan mengatur tersendiri mengenai pilihan hukum mana yang akan digunakan. Selanjutnya, apabila sengketa tersebut melibatkan sesama pelaku bisnis mengenai suatu hal yang berlaku secara
internasional,
mereka
akan
menganut
the Cyber-
Internationalist Discourse yaitu ketentuan hukum internasional yang berlaku. Contoh sengketa pada kasus ini adalah sengketa mengenai “nama domain” atau domain name di mana pihak penyedia domain name untukt top level domain seperti “dot com”, “dot org”, dan “dot net” menyerahkan sengketanya untuk
22
diselesaikan melalui arbitrase dengan pilihan hukum, hukum internasional yaitu Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy.6
Dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa:
Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimili,
e-mail
atau
dalam
bentuk
sarana
komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Selain kata e-mail adanya kata “bentuk sarana komunikasi lainnya” dalam ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar hukum pelaksanaan arbitrase secara online. Hanya masih menjadi masalah bagaimana prosedur operasional arbitrase online. Telah dijelaskan sebelumnya, arbitrase online tidak berbeda dengan arbitrase konvensional, yang berbeda hanyalah tata cara pelaksanaannya. Namun, timbul permasalahan menyangkut syarat sah dari perjanjian arbitrase yaitu tertulis dalam suatu dokumen dan ditandatangani.7
Permasalahannya adalah bagaimana cara pemenuhan syarat tersebut dalam arbitrase online. Untuk itu perlu dijelaskan sebagai berikut Pertama:
6
Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika RajaGrafindo Persada, 2005, hal., 239.
Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta, PT.
7
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, Jakarta, PT. Fikahati Aneska, 2002 , hal., 11.
23
Perjanjian Arbitrase tertulis tidak selalu harus tercetak UU No. 30 tahun 1999 memang menentukan perjanjian arbitrase harus tertulis. Timbul suatu pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan tertulis berarti tulisan di atas media kertas. Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada pertukaran dan pemeriksaan dokumen bermedia kertas (paperbase). Sedangkan, dalam arbitrase online, media kertas telah digantikan oleh data digital sehingga tidak lagi diperlukan adanya dokumen berbentuk kertas (paperless). Jika isu orisinalitas yang menjadi acuan harus digunakannya dokumen cetak bermedia kertas, saat ini sudah tidak relevan lagi. Masyarakat sering memahami bahwa suatu dokumen yang asli adalah dokumen yang tertulis di atas kertas. Padahal, untuk suatu sistem dokumentasi yang menggunakan komputer, dokumen yang asli sebenarnya adalah dalam bentuk data elektronik (softcopy) yang tersimpan dalam hardisk komputer yang sesuai dengan bentuk cetaknya (hardcopy).
Dengan demikian, nilai ataupun eksistensi suatu pernjanjian secara substansial tidak bergantung pada media apa yang digunakan sebagai fiksasinya, melainkan tergantung pada proses terjadinya perjanjian itu sendiri. Contohnya,
24
suatu perjanjian arbitrase yang tertulis di atas kertas pun kalau proses penyusunannya tidak memenuhi syarat sah perjanjian maka batal demi hukum.8
Dapat disimpulkan, meskipun perjanjian arbitrase dibuat dalam bentuk data elektronik dan di-online-kan, sepanjang dapat dibuktikan prosesnya berjalan dengan baik dan dilakukan oleh pihak yang berhak, tetap memiliki kekuatan mengikat para pihak yang membuatnya. Dalam hal ini berlakulah ketentuan dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyatakan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebagai contoh sudah diterimanya perjanjian arbitrase online dalam pelaksanaan arbitrase online dapat dilihat ketentuan pelaksanaan arbitrase yang dikeluarkan oleh America Arbitration Association (AAA) pada Supplementary Rules untuk arbitrase online yang telah mengadopsi perjanjian dalam bentuk online. Hal ini terlihat dari pengantar Supplementary Rules yang menyatakan:
The purpose of the Supplementary Procedures for Online Arbitration is to permit, where the parties have agreed to arbitration under these Supplementary Procedures, arbitral proceedings to be conducted and resolved exclusively via the Internet. The Supplementary Procedures provide for all party submissions to be made online, and for the arbitrator, upon
8
H. Ahmad M. Ramli, Sambutan atas Penerbitan Buku Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Elektronik, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal., 31.
25
review of such submissions, to render an award and to communicate it to the parties via the Internet.9 Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU No. 30 tahun 1999, perjanjian arbitrase dimuat dalam satu dokumen dan ditandatangani. Artinya, suatu perjanjian arbitrase sah apabila telah ditandatangai oleh para pihak yang membuatnya. Timbul suatu pertanyaan, apakah tanda tangan dalam Pasal tersebut hanya diartikan secara sempit yaitu sebagai tanda tangan hitam diatas putih? Perkembangan teknologi telah menggeser bentuk tanda tangan yang sebelumnya hanya di atas kertas, kini tanda tangan dapat berupa tanda tangan digital atau yang biasa disebut digital signature (DS). Penggunaan tanda tangan dalam kegiatan sehari-hari secara harfiah disamakan dengan penggunaan DS dalam internet yaitu ditujukan untuk nilai keotentikan suatu data atau informasi. Perbedaannya adalah, tanda tangan lazimnya merupakan kombinasi atau variasi dari nama atau singkatan nama seseorang. Di lain pihak dalam internet tanda tangannya berupa kombinasi digital, yaitu kombinasi dari bilangan biner 0 dan 1 yang diinterpretasikan menjadi karakter yang unik dan melalui proses penyandian (enkripsi).10
Tanda tangan digital sering disalahartikan menjadi tanda tangan di atas kertas lalu dengan melalui proses scanning, tanda tangan tersebut dimasukkan 9
Ibid,hal., 32.
10
Ibid, hal., 33.
26
(input) kedalam komputer sehingga menjadi gambar tanda tangan yang kemudian dilekatkan dengan suatu dokumen untuk menyatakan dokumen tersebut telah ditanda tangani.11 Tidak jarang tanda tangan digital juga dipahami sebagai tanda tangan yang dibuat langsung di komputer menggunakan mouse sehingga berbentuk tanda tangan seperti lazimnya tanda tangan di atas kertas.
2. 5. Tanda Tangan Elektronik dalam Arbitrase Online Kembali ke pokok permasalahan yaitu apakah tanda tangan yang dimaksud Pasal 4 Ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 terbatas pada pengertian tanda tangan sebagai hitam di atas putih? Perlu dilihat dari pentingnya tanda tangan dalam perjanjian arbitrase. Dalam Pasal 9 Ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 dikatakan apabila para pihak tidak menandatangani perjanjian arbitrase, maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. Pasal ini menjelaskan tujuan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase yaitu untuk keperluan pembuktian keotentikan perjanjian arbitrase tersebut.12
Mark Taylor dalam tulisannya yang berjudul Uses of Encryption mengatakan bahwa:
11
Ibid, hal., 33.
12
Ibid, hal., 34.
27
Digital signatures designed in such a way that the authenticity and integrity of the data to which they are attached can be assured. In essence, the key issues for data which have been signed digitaly are: whether those data have been altered between their being signed and being read or received by the intended recipient and whether those data were actually signed by the person by whom the data purport to have been signed or whether the signature attached to them is forged in some way. Jadi, apabila keperluan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase adalah untuk pembuktian, perlindungan keotentikan suatu dokumen yang menggunakan tanda tangan digital jauh lebih kuat. Karena sebuah tanda tangan digital memiliki karakter yang sangat unik dan telah tersandikan (encrypted) sehingga kemungkinan ditiru sangat kecil. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya penggunaan tanda tangan digital dalam perjanjian arbitrase, khususnya perjanjian arbitrase online tidak usah dipermasalahkan. Justru dengan adanya tanda tangan digital seluruh data dalam proses arbitrase akan terlindung kerahasiaan dan keotentikannya, karena yang dapat membuka data tersebut hanyalah pihak yang tanda tangannya telah di-accept dalam dokumen saja yang dapat membuka dokumen. Selain harus dipenuhinya persyaratan perjanjian arbitrase sebagaimana dijelaskan sebelumnya, suatu proses arbitrase online memerlukan prosedur dan kelengkapan yang berbeda dengan proses arbitrase konvensional.13 Sama halnya dengan arbitrase online, mediasi online dilakukan
13
Ibid, hal., 37-38.
28
melalui internet dengan menggunakan sarana komunikasi elektronik. Mediasi online secara global menggambarkan susunan strategi, gaya dan layanan yang diberikan. Secara jelas menggambarkan standar yang diakui. Institusi ini adalah online resolution dengan menggunkan standar yang ditetapkan praktik mediasi oleh American Bar Associatin (ABA) Society of Professionals in Dispute Resolution (SPIDR). Sebagian besar dari provider mediasi online merupakan medasi fasilitaif dibandingkan dengan mediasi online evaluatif.14
Sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik terutama untuk perkara yang terjadi dalam negeri, dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Karena sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik merupakan sengketa di bidang perniagaan dan bisnis yang memang ditegaskan dalam UU No. 30 tahun 1999. Pasal 1 UU No. 30 tahun 1999 menegaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1) ditegaskan bahwa “sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.
Selanjutnya
dalam Pasal 5 Ayat (1) ditegaskan bahwa “sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adanya kesepakatan tertulis dari para
14
Agus Raharjo, Sebuah Fenomena Dunia Maya, Bogor, Alumni, 2002, hal., 223.
29
pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang akan ataupun yang sudah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar pengadilan umum untuk mendapatkan putusan. Dengan adanya kesepakatan tertulis tersebut, berarti para pihak melepaskan haknya untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan, data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya dan terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.
2. 6.
Atribut Tanda Tangan Untuk mencapai tujuan dari penandatanganan suatu dokumen, sebuah
tanda tangan harus mempunyai atribut-atribut berikut: pertama, otentikasi penanda tangan. Sebuah tanda tangan seharusnya dapat mengindentifikasikan siapa yang menandatangani dokumen tersebut dan susah untuk ditiru orang lain.
30
Kedua,
otentikasi
dokumen.
Sebuah
tanda
tangan
seharusnya
mengidentifikasikan apa yang ditanda tangani, membuatnya tidak mungkin dipalsukan ataupun diubah (baik dokumen yang ditandatangani maupun tanda tangannya) tanpa diketahui. Otentikasi penandatangan dan dokumen adalah alat untuk menghindari pemalsuan dan merupakan suatu penerapan konsep “nonrepudiation” dalam bidang keamanan informasi. Nonrepudiation adalah jaminan dari keaslian ataupun penyampaian dokumen asal untuk menghindari penyangkalan dari penandatangan.15 Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU ITE sesuatu itu memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti yang sah, bila informasi elektronik ini dibuat dengan menggunakan sistem elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Bahkan secara tegas, Pasal 6 UU ITE menentukan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli selain yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (4), persyaratan tersebut telah terpenuhi berdasarkan undang-undang jika informasi elektronik tersebut dapat terjamin keutuhannya
dan
dapat
dipertanggungjawabkan,
dapat
diakses,
dapat
ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. telah menjadi hukum positif, akta elektronik dianggap sama dengan akta konvensional, begitu pula dengan tanda tangan elektronik dianggap sama dengan tanda tangan manuskrip.16
15
Rick Wiebe, Yuridiksi, Seminar E-Commerce and the Law, Bandung , Citra Aditya, 2002, hal., 61. 16
Ibid, hal., 62.
31
2. 7.
Cara Kerja Teknologi Tanda Tangan Digital Seperti telah Penulis singgung di atas tanda tangan digital dibuat dengan
menggunakan teknik kriptografi, suatu cabang dari matematika terapan yang menangani tentang pengubahan suatu informasi menjadi bentuk lain yang tidak dapat dimengerti dan dikembalikan seperti semula.17 Tanda tangan digital menggunakan public key cryptography (kriptografi kunci publik), dimana algoritmanya menggunakan dua buah kunci. Kunci yang pertama adalah kunci untuk membentuk tanda tangan digital atau mengubah data kebentuk lain yang tidak dapat dimengerti. Sedangkan
kunci yang kedua
digunakan untuk verifikasi tanda tangan digital ataupun mengembalikan pesan ke bentuk semula. Konsep ini juga dikenal sebagai “assymmetric cryptosystem” (sistem kriptografi non simetris). Sistem kriptografi itu menggunakan kunci privat, yang hanya diketahui oleh penandatangan dan digunakan untuk membentuk tanda tangan digital. Sistim kriptografi itu juga mempunyai kunci publik, yang digunakan untuk verifikasi tanda tangan digital. Jika beberapa orang ingin memverifikasi suatu tanda tangan digital yang dikeluarkan oleh seseorang, maka kunci publik tersebut harus disebarkan ke orang-orang tersebut. Kunci privat dan kunci publik ini sesungguhnya secara matematis „berhubungan‟ (memenuhi persamaan-persamaan dan kaidah-kaidah tertentu). Walaupun
17
Ibid, hal., 63-64.
32
demikian, kunci privat tidak dapat ditemukan menggunakan informasi yang didapat dari kunci publik.18 Proses lain yang tak kalah penting adalah “fungsi hash”, digunakan untuk membentuk sekaligus memverifikasi tanda tangan digital. Fungsi hash adalah sebuah algoritma yang membentuk representasi digital atau semacam “sidik jari” dalam bentuk “nilai hash” (hash value) dan biasanya jauh lebih kecil dari dokumen aslinya dan unik hanya berlaku untuk dokumen tersebut. Perubahan sekecil apapun pada suatu dokumen akan mengakibatkan perubahan pada “nilai hash” yang berkorelasi dengan dokumen tersebut. Fungsi hash yang demikian disebut juga “fungsi hash satu arah”, karena suatu nilai hash tidak dapat digunakan untuk membentuk kembali dokumen aslinya. Fungsi hash dapat digunakan untuk membentuk tanda tangan digital. Fungsi hash ini akan menghasilkan “sidik jari” dari suatu dokumen (sehingga unik hanya berlaku untuk dokumen tersebut). Ukuran hash jauh lebih kecil daripada dokumen aslinya serta dapat mendeteksi apabila dokumen tersebut telah diubah dari bentuk aslinya. Penggunaan tanda tangan digital memerlukan dua proses, yaitu dari pihak penandatangan serta dari pihak penerima. Secara rinci kedua proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, pembentukan tanda tangan digital menggunakan nilai hash yang dihasilkan dari dokumen serta kunci privat yang telah didefinisikan sebelumnya. Untuk menjamin keamanan nilai hash 18
Ibid, hal., 43.
33
maka seharusnya terdapat kemungkinan yang sangat kecil bahwa tanda tangan digital yang sama dapat dihasilkan dari dua dokumen serta kunci privat yang berbeda. Kedua, verifikasi tanda tangan digital adalah proses pengecekan tanda tangan digital dengan mereferensikan ke dokumen asli dan kunci publik yang telah diberikan, dengan cara demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan digital dibuat untuk dokumen yang sama menggunakan kunci privat yang berkorespondensi dengan kunci publik.19
2. 8.
Transaksi Tanda Tangan Digital Pada hakikatnya, seperti telah Penulis kemukakan terdahulu, tanda
tangan digital adalah satu tanda tangan elektronik yang dapat digunakan untuk membuktikan keaslian identitas pengirim dari suatu pesan atau penandatangan dari suatu dokumen. Tanda tangan elektronik juga berfungsi untuk memastikan isi yang asli dari pesan atau dokumen itu sudah dikirim tanpa perubahan. Sifat khas dari tanda tangan elektronik adalah bahwa tanda tangan digital dengan mudah dapat dipindahkan. Tanda tangan elektronik juga tidak bisa ditiru oleh orang lain, dan dapat secara otomatis dilakukan time-stamp. Kemampuan itu untuk memastikan bahwa pesan asli yang tiba di pengirim tidak bisa dengan mudah diganti. Suatu tanda tangan digital dapat digunakan di segala macam pesan, apakah itu terenkripsi atau tidak, sehingga penerima dapat memastikan
19
Widyo Pramono, Cybercrimes dan Pencegahannya, Kencana, Jakarta, 2007, hal., 37.
34
identitas pengirim itu dan pesan tiba secara utuh. Suatu sertifikat digital berisi tanda tangan digital dari sertifikat pihak yang mengeluarkan sertifikat elektronik adalah otoritas sehingga siapapun dapat memverifikasi bahwa sertifikat itu adalah nyata.20
Tanda tangan elektronik biasanya digunakan dalam transaksi elektronik sebagai cara melakukan otentifikasi para pihak. Untuk memastikan kebenaran tanda tangan elektronik, maka hendaknya suatu tanda elektronik memenuhi unsur berikut : pertama, data yang dimasukkan hanyalah berkaitan dengan si pemilik tanda tangan dan oleh si pemilik saja. Pada saat memasukkan data hanya diketahui oleh orang itu saja. Kedua, jika terjadi perubahan data terhadap tanda tangan elektronik selepas waktu penandatanganan, maka harus dapat diketahui. Ketiga, ada tata cara tertentu yang dapat memastikan siapa yang melakukan tanda tangan elektronik tersebut. Keempat, secara sederhana terdapat metode pengamanan tertentu untuk memastikan kebenaran transaksi elektronik dan tanda tangan elektronik. Kode dimaksud adalah password simetris dan asimetris. Pasword simetris adalah password yang sama untuk digunakan oleh pengirim dan penerima informasi elektronik. Sedangkan password asimetris ialah password yang berbeda yang dimiliki oleh pengirim, maupun penerima. Keduaduanya secara tekhnikal dapat menjamin kerahasiaan sekaligus memastikan para
20
Ibid, hal., 39.
35
pihak dalam transaksi elektronik yang didalamnya juga terdapat data elektronik.21
Sebuah tanda tangan elektronik akan menjadi alat bukti yang sempurnya jika ia memenuhi beberapa syarat, yaitu: pertama, reliable atau dapat dipertanggung jawabkan oleh si pembuat tanda tangan. Kedua, autentcity atau otentik. Hal ini terkait dengan identitas si pembuat, kewenangan, kedudukan hukum dan data usernya. Ketiga, integrity yaitu terkait dengan keutuhan data yang dikirimkan. Keempat, tidak dapat disangkal. Untuk itu si pembuat tanda tangan harus memastikan bahwa tanda tangan tersebut miliknya. Kelima, bersifat rahasia (confidencial).22
2. 9.
KeabsahanTransaksi Elektronik Berbicara masalah keabsahan suatu tranksaksi, orang selalu akan
mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 2 (dua) syarat, yakni: yang pertama cakap untuk membuat suatu perikatan sedangkan yang kedua sebab yang halal.23 21
Ibid,hal., 40.
22
Ibid, hal., 41 - 42. Perlu Penulis kemukakan disini, bahwa semua hal yang telah dikemukakan di atas, ternyata tidak dilakukan dalam Putusan 15. Atau, mungkin saja dilakukan namun kurang eksplisit dapat dibaca dalam putusan tersebut, sebagaimana terlihat dalam uraian hasil penelitian yang telah Penulis uraikan di Bab III, infra, lihat mulai hal., 57 skripsi ini. 23 Pasal 1320 KUHPerdata.
36
Dengan
mendasarkan
pada
ketentuan
Pasal
1320
KUHPerdata
sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai media yang digunakan dalam transaksi, atau dengan kata lain Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Oleh karena itu, dapat saja dilakukan dengan menggunakan media konvensional maupun secara elektronik.24 Namun suatu perjanjian dapat dikatakan sah bila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 tersebut.
Demikian pula asas kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata, dimana para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukan dengan tikat baik (Pasal 1338). Jadi, apapun bentuk dan media dari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat para pihak karena perikatan tersebut25 merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.
Permasalahan akan timbul dari suatu transaksi bila salah satu pihak ingkar janji, maka penyelesaian permasalahan selalu berkaitan dengan apa yang menjadi bukti dalam transaksi. Lebih-lebih bila tranksaksi menggunakan sarana elektronik. Hal ini karena penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai akibat transaksi melalui media elektronik, belum secara khusus diatur dalam 24
Menurut penulis, dengan kata lain Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. 25
Menurut Penulis, termasuk dalam perikatan/kontrak tersebut adalah tanda tangan biasa yang mewakili consent, maupun tanda tangan elektronik.
37
hukum acara PTUN, termasuk dalam Hukum Acara Perdata maupun dalam Hukum Acara Pidana. Mengenai hukum materiilnya pada dasarnya selain diatur atau mempunyai kedudukan dalam UU ITE, diatur pula secara tegas dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau mendia lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Selanjutnya apabila diperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 Angka (2) UU Dokumen
Perusahaan
mengenai
pengertian
dokumen, dikaitkan
dengan
ketentuan Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 8 tahun 1997 jo. Pasal 1320 KUHPerdata, transaksi melalui media elektronik adalah sah menurut hukum.26 Masih menyertai teknologi tanda tangan digital adalah biaya tambahan secara institusional. Tanda tangan digital memerlukan pembentukan otoritasotoritas yang berhak menerbitkan sertifikat serta biaya-biaya lain untuk menjaga dan mengembangkan fungsi-fungsinya. Disamping itu, biaya langganan. Penanda tangan memerlukan perangkat lunak aplikasi dan juga membayar untuk memperoleh sertifikasi dari otoritas yang berhak mengeluarkan sertifikat Sedangkan kelebihan yang paling utama dari adanya tanda tangan digital adalah lebih terjaminnya otentikasi dari sebuah dokumen. Tanda tangan digital sangat sulit dipalsukan dan berasosiasi dengan kombinasi dokumen dan kunci privat secara unik.27
26 27
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja, Garindo, Jakarta, 2004, hal., 401. Ibid, hal., 402.
38
2. 10.
Alat Bukti Menurut Hukum Acara TUN dan UU ITE
Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa. Fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tersebut. Selain itu, terdapat fakta yang juga dapat menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu pertama, hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi. Kedua, fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan. Ketiga, eksistensi hukum Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pembuktian merupakan tata cara untuk menetapkan terbuktinya suatu fakta dalam suatu perkara TUN untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Dalam penjelasan umum UU No. 5 tahun 198628 disebutkan bahwa ajaran pembuktian yang digunakan dalam PTUN adalah ajaran pembuktian bebas. Hukum acara yang digunakan pada PTUN mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan. Pada PTUN, hakim berperan lebih aktif dalam
28
Telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 2004 dan perubahan terakhir Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan TUN.
39
proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undangundang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas dan suatu gugatan Tata Usaha pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang disengketakan. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim. Berdasarkan ajaran pembuktian bebas, maka Hakim PTUN dapat menentukan sendiri apa yang harus dibuktikan, dalam hal ini hakim dapat mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat, demikian pula hakim dapat memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut memiliki arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim. Selanjutnya siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri dalam hal ini, Penggugat dan Tergugat adalah para pihak yang dibebani pembuktian. Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya. Alat bukti mana saja yang diutamakan dalam pembuktian dalam hal ini alat-alat bukti diatur oleh undang-undang. Hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut. Kekuatan
40
pembuktian alat bukti yang telah diajukan Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dengan memperhatikan pembatasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 107 UU No. 5 tahun 1986.29 Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara TUN sedikit sekali jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hal ini terjadi karena Hukum Acara TUN mengikuti ajaran pembuktian bebas sebagaimana telah dijelaskan di atas sehingga dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti, tidak seperti di dalam Hukum Acara Perdata. Pasal 100 Ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 menentukan alat-alat bukti surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Dengan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa selain bersifat bebas, alat bukti yang digunakan dalam acara TUN juga bersifat terbatas, karena telah ditentukan oleh UU No. 5 tahun 1986. Oleh karena itu, untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sehingga alm. Indroharto30 menyebutkan bahwa ajaran pembuktian yang diikuti merupakan ajaran pembuktian bebas terbatas, bukan 29
Ibid, hal., 39.
30
Setelah Beliau meninggal, terjadi pemekaran UU No. 5 tahun 1986 diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia No. 9 tahun 2004 dan perubahan terakhir Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan TUN.
41
ajaran pembuktian bebas. Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu akta, adalah surat yang diberi tanda tangan memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dan bukan akta. Akta itu sendiri ada dua macam akta otentik dan akta dibawah tangan. Sedangkan menurut UU No. 5/1986 Pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti yaitu akta otentik, surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Selanjutnya akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Di dalam UU No. 5/1986 Pasal 102 Ayat (1), dijelaskan bahwa: “Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya”
Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah
42
atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya.31 Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.32 Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang tidak diperbolehkan didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam Pasal 88 UU PTUN No. 5 tahun 1986 sebagai berikut: (1) keluarga sedarah atau semenda menurut garis
keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa, (2) istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai, (3) anak yang belum berusia tujuh belas tahun, (4) orang sakit ingatan. Ada pula beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi mebnurut Pasal 89 UU PTUN, (1) 31
Pasal 103 UU PTUN.
32
Pasal 88 UU PTUN.
43
saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak, (2) setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu33 dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepecayaannya.34
Sedangkan apabila yang dipanggil sebagai saksi adalah
pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan.35 Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. (1) keterangan ahli seorang/beberapa saksi ahli dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa, (2) keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis, (3) kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang
33
Pasal 91 UU No. 5 tahun 1986.
34
Pasal 92 ayat (1) dan 92 UU No. 5 tahun 1986.
35
Pasal 93 UU No. 5 tahun 1986.
44
lain yang sesuai dengan keahliannya, (4) pengakuan para pihak, adalah keterangan sepihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar.36 Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.37 Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.38 Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Supomo mengemukakan bahwa persangkaan sebagai 36
Penjelasan UU No. 5 tahun 1986.
37
Penjelasan UU No. 5 tahun 1986.
38
Pasal 106 UU No. 5 tahun 1986.
45
alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya namun, menurut Pasal 107 UU No. 5 tahun 1986 untuk sahnya pembuktian dengan persangkaan masih harus didukung oleh satu alat bukti lagi. Sehingga terdapat minimal 2 alat bukti yang terdiri dari persangkaan hakim, dan alat bukti lain. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara. Menurut Pasal 100 Ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 pengetahuan hakim ataupun keadaan lain yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut UndangUndang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Sistem pembuktian ini berpangkal tolak pada aturanaturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh UndangUndang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.
Pembuktian sangat penting artinya dalam perkara TUN, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut didepan pengadilan. Untuk itu hakim harus menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar atau tidak? Dalam praktik tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, seperti terhadap dalil-dalil yang telah diakui atau tidak
46
disangkal oleh Tergugat serta hal-hal yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoir feiten). Pasal 100 UU No. 5 tahun 1986 dan UU No. 9 tahun 2004 menentukan, bahwa alat-alat bukti dalam PTUN terdiri dari surat ( akta autentik, akta di bawah tangan, surat lain), keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan hakim. Setelah selesai acara pembuktian, kepada para pihak diberikan kesempatan untuk meyampaikan konklusi yang disusun dalam bentuk kesimpulan dan masing-masing pihak,39 secara sitematis mulai dan eksepsi, tentang pokok perkara, tentang bukti tertulis, bukti saksi dan lainlainnya. Suatu konklusi biasanya berisikan pertayaan, kesimpulan jawabmenjawab, cara proses jawab-menjawab (gugatan, jawaban, repliek dan dupliek apa hal-hal yang dianggap telah terbukti, atau hal-hal yang tidak terbukti sebaliknya bagi tergugatnya tidak terbukti), kesimpulan dan bukti-bukti tertulis, biasanya isi penting dan aIat-alat bukti tertulis dikemukakan secara singkat dan jelas. Kemudian dirumuskan hal-hal yang dianggap terbukti atau tidak dan buktibukti tersebut, kesimpulan dari saksi, inti-inti pokok dan keterangan masingmasing saksi Penggugat maupun Tergugat. Selanjutnya dari keterangan saksisaksi itu disimpulkan hal-hal yang terbukti atau hal-hal yang tidak terbukti, simpulan hal-hal mengenal penilaian terhadap alat bukti secara lengkap misalnya penilaian terhadap alat bukti lawan, korban, konklusi yang disusun secara baik 39
Pasal 97 ayat (1), UU No. 5 tahun 1986 Jo. No. 9 tahun 2004.
47
akan dapat menjadi masukan bagi hakim dalam mengambil keputusan tentang perkara yang diperiksanya, akan tetapi apabila disusun secara subjektif dan sepihak dengan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, konklusi itu akan mempersulit hakim dalam mempertimbangikan perkara yang ditanganinya. Sengketa TUN diatur dalam Pasal 1 Angka (4) UU No. 5 tahun 198640 yaitu sebagai sengketa yang timbul dalam bidang TUN, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah. Sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsurunsur sengketa TUN, yaitu: (1) sengketa yang timbul dalam bidang TUN, (2) antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, (3) sebagai
akibat
dikeluarkannya
Keputusan
TUN,
termasuk
sengketa
kepegawaian, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa TUN itu ditimbulkan oleh dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), oleh karena itu KTUN menjadi dasar lahirnya Sengketa TUN. KTUN menurut Pasal 1 Angka (3)41 UU No. 5 tahun 1986, dimaksudkan sebagai suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan
40
Sekarang Pasal 1 Angka (10) UU No. 51 tahun 2009.
41
Sekarang Pasal 1 Angka (9) UU No. 51 tahun 2009.
48
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Unsur-unsur KTUN berdasarkan Pasal 1 Angka (3) dan penjelasannya UU No. 5 tahun 1986, adalah: (1) penetapan tertulis. Istilah penetapan tertulis terutama menujukan kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya seperti Surat Keputusan Pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudaham segi pembuktian, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu KTUN menurut undangundang ini apabila sudah jelas. (2) dikeluarakan oleh badan atau pejabat TUN. Badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. (3) berisi tindakan hukum TUN. Tindakan hukum TUN yaitu tindakan hukum yang bersumber pada suatu ketentuan hukun TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. (4) bersifat kongkrit, individual dan final. Bersifat kongkrit artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu, disebutkan. Bersifat Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan
49
instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Unsur-unsur KTUN sebagi mana tercantum dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 tahun 1986 ternyata belum tuntas, ternyata terdapat pengecualian berupa
pengurangan untuk hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2 dan
pengecualian yang berupa tambahan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal 3. Menurut Pasal 2, yang tidak termasuk dalam pengertian KTUN: (a) KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata; (b) KTUN merupakan pengaturan yang bersifat umum; (C) KTUN yang masih memerlukan persetujuan; (d) KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana; (e) KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (f) KTUN mengenai tata usaha negara Tentara Nasional
Indonesia; (g) Keputusan KPU baik di Pusat maupun di
Daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Pasal 3 yang merupakan pengecualian yang berupa tambahan, mengatur: (a) jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan KTUN; (b) jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
50
keputusan yang dimaksud; (c) dalam hal peraturan peundang-undangan yang bersangkutan rtidak menentukan jangka waktu sebagai mana dimaksud dalam Ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohobnan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Isi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986, dapat ditarik pengertian bahwa yang tercantum dalam Pasal 2 sebenarnya merupakan suatu KTUN, akan tetapi menurut sifatnya oleh undangundang ini dianggap bukan sebagai KTUN, sedangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986 sebenarnya bukan merupakan KTUN, tetapi menurut sifatnya oleh undang-undang ini dianggap sebagai KTUN. Kompetensi Absolut tersebut di atas masih dilimitasi oleh suatu keadaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 49, bahwa: Pengadilan tidak
berwenang memeriksa,
memutus,
dan
menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: dalam waktu perang keadaan bahaya,keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan” Menurut Pasal 47 wewenang Peraturan Undang-Undang (Peratun) mengadili sengketa TUN. Sengketa TUN menurut Pasal 1 Angka (4) ditimbulkan sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, sedangkan pengertian KTUN
51
tercantum dalam Pasal 1 Angka (3). Isi rumusan KTUN tersebut ternyata tidak tuntas. Terhadap rumusan tersebut masih terdapat pengecualiannya yaitu berupa pengurangan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2 dan penambahan pada hal-hal yang terdapat dalam Pasal 3, serta masih lagi dilimitasi oleh keadaan yang tercantum dalam Pasal 48 dan 49.
Merujuk pada ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2008 Pasal 5 UU ITE dapat dilihat mengenai apakah e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; (3). Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini; (4). Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk surat yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
52
Dengan mendasarkan pada ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa UU ITE telah mempertegas kedudukan e-mail sebagai salah satu dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak. Informasi elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu punya keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas artinya, informasi elektronik tersebut tetap dikaitkan dengan alat bukti lain dan menurut keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim. Sedangkan untuk ranah perdata, karena dalam hukum acara perdata tidak ada alat bukti petunjuk, maka e-mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak adalah termasuk alat bukti surat. Namun, sesuai pengaturan Pasal 5 Ayat (4) UU ITE, tidak semua e-mail dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. E-mail tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam beberapa hal: (a) surat yang menurut undangundang harus dibuat dalam bentuk tertulis; (b) surat beserta dokumen pendukungnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. Jadi, e-mail dapat saja dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata dengan mendasarkan pada hal-hal tertentu seperti telah dijabarkan di atas.
53
2. 11. Penemuan Hukum Dalam penulisan skripsi ini adapun penulis mendekatkan dengan metode-metode penemuan hukum di dalamnya, antara lain interprestasi mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan melakukan penafsiran atau dijelaskan dengan menguraikan menurut bahasa umum sehari-hari. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum seharihari.42 Penafsiran juga dilakukan dengan memperbandingkan. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentun Undangundang.43 Kaitan dengan tanda tangan elekronik, menurut Penulis ada kedudukan hukum tanda tangan dengan hukum positif di Indonesia. Namun apakah tanda tangan hasil scan atas tanda tangan merupakan bukti elektronik (digital signature) dalam perspektif penemuan hukum, juga merupakan domain penemuan hukum .
2. 12. Arti Penting Tinjauan Kepustakaan Seperti yang digambarkan Penulis di atas kedudukan sederajat antara perlindungan hukum, kehandalan dan keamanan teknologi informasi akan menciptakan suatu kepercayaan kepada para penggunanya. Tanpa kepercayaan ini perdagangan elektronik dan pemerintahan elektronik yang saat ini digalakkan
42
Sudikmo Mertokusumo, Penemuan Hukum, Libery, Yogyakarta, 2007, hal., 57.
43
Ibid, hal., 61.
54
oleh pemerintah Indonesia tidak akan berkembang. Kepercayaan ini antara lain dapat diperoleh dengan tanda tangan elektronik memiliki kududukan hukum dan akibat hukum yang sah dalam UU ITE. Artinya, selama dapat dipastikannya atau diakui ada keterkaitan antara tanda tangan elektronik dengan penandatangan yang bersangkutan, dan tanda tangan elektronik tersebut dibuat dan disimpan dalam kondisi yang menjamin integritas dengan akta yang dilekatinya, maka sebuah tanda tangan elektronik mempunyai nilai hukum yang sama dengan tanda tangan manuskrip. Tanda tangan elektronik dapat menjadi sebuah instrumen dasar pada hubungan-hubungan kontraktual, asalkan identitas penggunanya, dan integritasnya dengan akta yang dilekatinya dapat dijamin. Tentunya keamanan terhadap hubungan kontraktual ini harus dijamin. Melihat bagaimana keamanan ini dijamin dengan melihat pelaksanaan, teknik dari tanda tangan elektronik dan instrumen hukumnya, memberikan pengakuan hukum terhadap tulisan elektronik. Hukum positif Indonesia menentukan bahwa ada cara untuk memberikan kekuatan hukum dan akibat hukum terhadap suatu akta, yaitu dengan mengetahui tanda tangan elektronik dalam UU ITE. Arti pentingnya adalah dalam praktik perdagangan maupun pemerintahan khususnya, tanda tangan manuskrip sudah kian tergeser dengan penggunaan tanda tangan elektronik yang melekat pada akta terdematerialisasi atau akta elektronik, sehingga seharusnya disudahi perdebatan tentang pengakuan, kekuatan hukum dan akibat hukum dari sebuah tanda tangan elektronik sebab tanda tangan elektronik juga mempunyai kedudukan dalam UU ITE, seperti telah Penulis
55
gambarakan dalam Bab II mengenai tinjauan kepustakaan tentang tanda tangan elektronik.
56