BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 CORPUS LUTEUM Corpus Luteum berasal dari kata “corpora” (badan) dan “lutea” (kuning) yang dikemukakan oleh Marcello Malphigi ( 1628 – 1694 ) dan pertama sekali dideskripsikan oleh Reignier de Graaf ( 1641 – 1673 ) .De Graaf mengemukakan bahwa setelah coitus ,muncul “badan globular” di dalam ovarium kelinci dan bertahan di situ sampai persalinan, dan jumlah corpora lutea dihubungkan dengan jumlah keturunan yang selanjutnya dari hewan tersebut. Bahwa Corpus Luteum menghasilkan substansi yang meregulasi kehamilan dikemukakan oleh Prenant . Setelah beberapa eksperimen tersebut , Magnus meneliti mengenai Corpus Luteum sebagai asal muasal kehamilan. Ia melakukan ovariektomi pada kelinci dan mengambil ekstrak lutealnya dan mengidentifikasi faktor yang secara biologis aktif memproduksi Corpora Lutea. Faktor ini berlanjut menjadi hormon steroid ,yang dikenal sebagai Progesteron.
2.2 TUMBUH KEMBANG CORPUS LUTEUM Proses perubahan dari Folikel menjadi Corpus Luteum Sebelum Ovulasi Antrum folikel merupakan lumen berisi cairan ,dalam inti folikel, yang dikelilingi oleh lapisan sel Granulosa, dimana lapisan ini beserta oosit terpisah dari inti folikel tetapi masih di dalam membran dasar. Di luar membran dasar folikel ialah lapisan sel Theca interna dan lapisan sel Theca eksterna. Sel Granulosa dan lapisan sel Theca interna mensintesis dan mensekresikan hormon steroid, sedangkan lapisan sel Theca eksterna bukan merupakan jaringan steroidogenik. Kapiler kapiler rangkaian vaskularisasi pembuluh darah yang mengelilingi folikel dijumpai pada lapisan sel Theca interna dan Theca eksterna, namun tidak dijumpai pada lapisan sel Granulosa, karena membran dasar bertindak selaku barrier untuk vaskularisasi terhadap jaringan di luar membran dasar, sehingga lapisan sel Granulosa merupakan lapisan yang avaskuler. Eritrosit sering terlihat dalam lumen kapiler kapiler ini. Hormon LH menyebabkan hancurnya dinding folikel dan melepaskan oosit saat ovulasi.
Setelah Ovulasi Lapisan sel Theca interna dan kapiler kapiler pembuluh darah yang berhubungan dengannya, bergerak melintasi membran dasar yang telah terdegradasi ,dan kemudian
Universitas Sumatera Utara
menginvasi lapisan sel Granulosa di dalam membran dasar yang pada mulanya avaskuler menjadi jaringan folikuler yang kemudian berkembang menjadi Corpus Luteum.
Gambar 3. Sel Theca Lutein dan Sel Granulosa Lutein
Corpus Luteum Corpus Luteum mengandung jaringan yang Heterogen, Sel yang berasal dari Granulosa dikenal sebagai Large steroidogenic Luteal Cells ( LLC ) ,dan sel yang berasal dari Theca dikenal sebagai Small steroidogenic Luteal Cells ( SLC ),yang seterusnya dipersiapkan menjadi sel Theca terluteinisasi dan sel Granulosa terluteinisasi. Demikian seterusnya, Semakin penuhnya kapiler kapiler menunjukkan tingginya tingkat vaskularisasi dalam Corpus Luteum.
2.3 PATHWAY STEROIDOGENIK LUTEAL ( BIOSINTESIS PROGESTERON ) Substrat Steroidogenik Substrat steroidogenesis adalah Kolesterol. Pada kondisi normal, mayoritas kolesterol disintesis dalam liver dan diangkut menuju jaringan steroidogenik seperti Corpus Luteum,dalam membentuk Lipoprotein. Di dalam lapisan sel Granulosa dan sel Theca interna ,Low Density Lipoprotein ( LDL ) ,High Density Lipoprotein ( HDL ) dan Hidrolisis cadangan ester kolesterol (oleh enzim kolesterol esterase), merupakan sumber utama Kolesterol untuk memproduksi hormon steroid oleh Corpus Luteum.9
Transpor Kolesterol
Universitas Sumatera Utara
Sintesis semua hormon steroid tergantung pada transport kolesterol bebas ke mitokondria dengan keterlibatan sitoskeletal. Stimulasi steroidogenesis oleh hormon regulator akut steroidogenik (StAR) meningkatkan transportasi kolesterol ke mitokondria .Kolesterol memasuki membran mitokondria luar kemudian ke dalam, dimana kompleks enzim pembelahan rantai–tepi kolesterol (sitokrom P450,adrenodoksin, adrenodoksin reduktase) melakukan pembelahan rantai tepi badan kolesterol untuk membentuk Pregnolon.
Konversi Kolesterol menjadi Progesteron Sekali Kolesterol ditransport ke matriks mitokondria, kinerja sitokrom P-450scc, adrenodoksin, dan adrenodoksin reduktase membelah rantai tepi Kolesterol untuk membentuk Pregnolon. Pregnolon kemudian ditransport menuju retikulum endoplasma polos, yang berdekatan dengan mitokondria, dimana 3β-HSD mengkonversi Pregnolon menjadi Progesteron ( Hanukoglu dkk ). Progesteron kemudian berdifusi dari sel ke dalam sirkulasi jaringan luteal.9
Fig. 1. Pathway for progesterone biosynthesis in a generic luteal cell. Three sources of cholesterol can be utilized for substrate: 1) low-density lipoprotein (LDL), 2) high-density lipoprotein (HDL), or 3) hydrolysis of stored cholesterol esters by cholesterol esterase. Free cholesterol is transported to mitochondria apparently with cytoskeletal involvement. Cholesterol is then transported from outer to inner mitochondrial membrane (4), which appears to involve steroidogenic acute regulatory protein (StAR). Cholesterol is converted to pregnenolone by cytochrome P-450 side-chain cleavage enzyme (P-450scc; 5), transported out of mitochondria, and converted to progesterone by 3 -hydroxysteroid dehydrogenase/ 5, 4 isomerase (3 -HSD; 6), which is present in smooth endoplasmic reticulum. Progesterone appears to diffuse from luteal cell (7).
Gambar 5. Pathway Biosintesis Progesteron dalam Sel-sel Luteal
2.4 REGULASI FUNGSI LUTEAL
Universitas Sumatera Utara
Hormon luteotropik adalah hormon yang menyokong pertumbuhan dan/atau fungsi Corpus Luteum. Selama fase Luteal normal, Corpus Luteum membesar dalam ukurannya dan meningkat dalam kemampuannya untuk mensekresi Progesteron. Saat Corpus Luteum memperoleh ukuran kematangannya dan memiliki potensi maksimal untuk mensekresi Progesteron, fungsi Luteal dipelihara selama beberapa hari, kemudian Regresi Luteal terjadi untuk proses re-Ovulasi dan bisa pula memberikan untuk terjadinya kehamilan.9 Konsentrasi serum Progesteron tergantung pada jumlah jaringan steroidogenik, aliran darah, dan kapasitas jaringan steroidogenik untuk mensintesis Progesteron. Besar jaringan steroidogenik tergantung kepada jumlahnya ,ukuran yang sesuai, dari sel Luteal steroidogenik, keduanya meningkat selama perkembangan Luteal. Aliran darah menuju Corpus Luteum yang meningkat, juga meningkatkan konsentrasi Progesteron dalam serum. Hal ini dianggap sebagai reseptor kunci yang meregulasi uptake kolesterol atau memediasi efek positif dan negatif dari hormon hormon pada sekresi Luteal, yaitu Progesteron.9
2.5 ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM 2.5.1 PENDAHULUAN.
Gambar 6 Siklus Hidup Corpus Luteum Pembentukan Corpus Luteum
Universitas Sumatera Utara
Angiogenesis sangat penting pada pembentukan dan pengembangan Corpus Luteum dan untuk mempertahankan fungsi Luteal. Lapisan sel Granulosa dari suatu folikel merupakan lapisan yang avaskuler sampai pada saat Ovulasi dan juga saat lonjakan LH, dan kemudian sel endothelial vaskular dari lapisan sel Theca menginvasi lapisan sel Granulosa yang avaskuler tersebut yang kemudian menjadi langkah pertama dalam pembentukan Corpus Luteum. ( Gaede dkk,1985 ) Perkembangan Corpus Luteum Setelah itu, pembuluh darah terbentuk dengan cepat pada Corpus Luteum sehingga Corpus Luteum menjadi salah satu organ tervaskularisasi dalam tubuh dalam masa 7 hari setelah Ovulasi. Dalam kenyataannya, Corpus Luteum ini memiliki suplai darah yang tinggi per satuan massa jaringan dalam tubuh dan bahkan mencapai delapan kali lipat per satuan massa ginjal. Ferrara dkk (1998) mengemukakan bahwa proses angiogenesis disokong oleh adanya VEGF ( Vascular Endothelial Growth Factor ), yang juga memainkan peran sentral dalam angiogenesis pada berbagai organ, dan merupakan faktor penting bagi pembentukan Corpus Luteum.7 Pematangan Corpus Luteum Untuk mempertahankan produksi Progesteron sebagai upaya demi keberhasilan kehamilan, khususnya ketika Corpus Luteum direscue oleh kehamilan, tidak hanya vaskularitas tinggi yang diperlukan, tetapi juga stabilisasi pembuluh darah dalam Corpus Luteum juga sangat penting untuk menyediakan sel Luteal dengan jumlah kolesterol yang besar yang dibutuhkan untuk sintesis Progesteron dan bahkan penting untuk menghasilkan Progesteron dalam sirkulasi.Produksi serum Progesteron memuncak pada 6 sampai 8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya (Gaede dkk,1985) Oleh karena itu, pembuluh darah dalam Corpus Luteum perlu distabilkan dan dimatangkan sebagai
pembuluh darah yang fungsional.
Pembuluh darah
fungsional sangat penting dalam mempertahankan aliran darah dalam Corpus Luteum dan merupakan faktor penting dalam pengaturan fungsi Luteal. Perbaikan vaskularisasi dari Corpus Luteum seperti imuno-netralisasi VEGF telah dinyatakan sebagai penyebab yang mungkin dari kejadian Defek Fase Luteal.7
Universitas Sumatera Utara
Regresi Corpus Luteum Regresi pembuluh darah, fenomena fisiologi penting lainnya dalam Corpus Luteum , berkaitan dengan proses involusi jaringan selama Luteolisis Struktural. Regresi Corpus Luteum didefinisikan sebagai proses dimana Corpus Luteum mengalami penurunan fungsi, penurunan dalam volume dan kemudian menghilang dari Ovarium. Regresi Corpus Luteum terdiri dari dua fase, yaitu Luteolisis Fungsional dan Luteolisis Struktural. Luteolisis Struktural didefinisikan sebagai involusi struktural (regresi pembuluh darah dan lepasnya sel sel endothelial) dari Corpus Luteum dan kemudian dibedakan dengan luteolisis fungsional
yang secara umum
mengkarakterisasi habisnya produksi Progesteron tanpa disertai adanya perubahan struktural, seperti kehilangan sel Luteal.(Azmi dan O’Shea,1984 ;Jablonka-Shariff dkk,1993) 2.5.2.FAKTOR-FAKTOR YG MEMPENGARUHI ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM 2.5.2.1 PERUBAHAN JUMLAH PEMBULUH DARAH CORPUS LUTEUM Jumlah pembuluh darah meningkat secara signifikan dari tahapan awal hingga pada tahapan akhir dari Fase Luteal Awal dan kemudian meningkat hingga mencapai level yang sama seperti pada Fase Mid-Luteal , yang menyatakan bahwa angiogenesis telah terjadi selama Fase Luteal Awal dan dilanjutkan sampai Fase Mid-Luteal pada siklus menstruasi. Jumlah pembuluh darah dalam Corpus Luteum mengalami penurunan pada Fase Luteal Akhir, dan lebih lanjut mengalami penurunan dalam Fase Folikular siklus haid berikutnya (fase regresi), 2.5.2.2 PERUBAHAN DALAM JUMLAH PERISIT Perisit dapat diidentifikasikan oleh adanya Actin otot polos-ɑ (α-SMA). Jumlah perisit pada Corpus Luteum, dijumpai sedikit pada tahapan awal dari Fase Luteal Awal, yang kemudian jumlahnya terus meningkat hingga tahapan akhir selama Fase Luteal Awal, peningkatan jumlah terus bertambah selama fase Mid-Luteal dan setelah itu mengalami penurunan pada Fase Luteal Akhir dan fase Regresi. 2.5.2.3 STABILISASI PEMBULUH DARAH Stabilisasi pembuluh darah diatur oleh interaksi antara sel endothelial dan perisit. Pembuluh darah tidak distabilisasi pada Fase Luteal Awal namun hanya distabilisasi pada Fase Mid-Luteal dan pada awal masa kehamilan 7.
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 FAKTOR ANGIOGENIK 2.5.3.1 FAKTOR PERTUMBUHAN ENDOTELIAL VASKULER ( VEGF = VASCULAR ENDOTELIAL GROWTH FACTOR ) . Telah diketahui bahwa VEGF memainkan peranan penting dalam angiogenesis Corpus Luteum. VEGF diekspresikan pada tingkat m RNA pada sel-sel Luteal.. Ekspresi yang tetap dari m RNA VEGF pada Corpus Luteum dijumpai mulai dari Fase Luteal Awal sampai pada Fase Mid-Luteal, dan ekspresinya bergerak konsisten dengan aktivitas angiogenesis yang terjadi pada Corpus Luteum manusia.
Mulai dari Fase Luteal Akhir sampai kepada Regresi ,sel-sel Luteal berinvolusi. Perubahan pada sistem VEGF berkontribusi pada luteolisis struktural karena aktivitas kerja VEGF merupakan faktor penentu pada aktivitas sel-sel endothelial dan hilangnya kerja VEGF merupakan faktor yang berpengaruh pada apoptosis sel-sel endothelial 7.
2.5.3.2 ANGIOPOEITIN Peran faktor pertumbuhan yang lain, yaitu Angiopoeitin,berfungsi secara bersamaan dengan VEGF untuk pembentukan, stabilisasi dan regresi pembuluh darah. Ada 2 tipe Angiopoeitin, Angiopoeitin-1 dan Angiopoeitin-2.
Angiopoeitin-1 bekerja pada sel endothelial vaskuler dan berkontribusi kepada stabilisasi pembuluh darah, melalui interaksi pembuluh darah dengan perisit maupun dengan sel sel endothelial.
Sebaliknya, Angiopoeitin-2 merupakan antagonis alami pada Angiopoeitin-1 dan berkontribusi pada meniadakan interaksi antara pembuluh darah dengan perisit maupun dengan sel sel endothelial dengan memblok kerja Angiopoeitin-1.
Lagipula, telah diketahui, bahwa dengan adanya sinyal VEGF , Angiopoeitin-1 merangsang pertumbuhan sel sel endothelial dan mengaktivasi Angiogenesis. Sedangkan, bila tiada sinyal VEGF, Angiopoeitin-2 akan merangsang regresi kapiler pembuluh darah dengan merangsang apoptosis sel sel endothelial dan perisit7.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7. Hipotesis Regulasi perubahan pembuluh darah oleh VEGF, Angiopoietin-1, dan Angiopoietin-2 selama perkembangan dan regresi Corpus Luteum
2.5.4. REGULASI MOLEKULER ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM Pada Fase Luteal Awal , ekspresi VEGF tidak begitu kuat dan ekspresi Angiopoetin-2 cukup kuat. Angiogenesis dipicu oleh VEGF jika saat ekspresi Angiopoietin-2 tinggi selama Fase Luteal Awal. Jumlah dari perisit yang sedikit, memicu pembentukan pembuluh darah baru yang immatur. Angiogenesis pada Fase Luteal Awal berperan pada pembentukan dan perkembangan Corpus Luteum menjadi mature Pada Fase Mid-Luteal, ekspresi VEGF tidak begitu kuat dan ekspresi Angiopoietin-1 relatif kuat. Pada Fase Mid-Luteal, perisit dapat direkrut oleh Angiopoetin-1. Dan hasil Angiopoetin-1 yang tinggi menstabilkan pembuluh darah. Dari ekspresi VEGF yang menetap, angiogenesis terhenti dan diselesaikan oleh aktivitas Angiopoeitin-1. Stabilisasi pembuluh darah selama Fase Mid-Luteal berperan pada pemeliharaan fungsi luteal 7 Selama Fase Luteal Akhir sampai dengan fase Regresi, ekspresi VEGF sangat lemah dan ekspresi Angiopoietin-2 relatif kuat. Bila tiada sinyal VEGF, Angiopoeitin-2 akan merangsang regresi pembuluh darah dengan merangsang apoptosis sel sel endothelial dan perisit7. Corpus Luteum pada awal kehamilan menunjukkan ekspresi VEGF yang tinggi dan ekspresi Angiopoeitin yang cukup kuat. Perubahan-perubahan ini, baik dalam faktor-faktor angiogenik, maupun yang diperoleh dari pembuluh darah dan perisit serta stabilisasi pembuluh darah dan perisit, menunjukkan mekanisme yang meregulasi proses angiogenesis pada Corpus Luteum selama siklus menstruasi dan pada awal kehamilan 7.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8. Mekanisme biomolekuler Angiogenesis dalam Corpus Luteum selama siklus Menstruasi dan pada Awal Kehamilan
2.5.5. ANGIOGENESIS DAN FUNGSI LUTEAL Angiogenesis dan stabilisasi pembuluh darah berperan dan terlibat dalam pemeliharaan fungsi luteal. Angiogenesis Luteal erat hubungannya dengan fungsi Luteal karena inhibisi kerja VEGF oleh antibodi anti-VEGF dan sistem perangkap VEGF dapat merusak proses Angiogenesis pada Corpus Luteum dan berakibat pada penurunan fungsi Luteal. Sebaliknya, ekspresi Angiopoeitin-1 yang tinggi dan peningkatan jumlah perisit pada Corpus Luteum dalam Fase Mid-Luteal dan pada awal kehamilan menunjukkan kemungkinan bahwa pembuluh darah pada fase ini matur dan bermanfaat sebagai pembuluh darah fungsional. Penting untuk dicatat bahwa stabilisasi pembuluh darah pada Fase Mid-Luteal dapat dievaluasi dari aliran darah vaskuler Corpus Luteum yang dihubungkan dengan luaran Kadar Serum Progesteron . Pembuluh darah fungsional dibutuhkan untuk mempertahankan aliran darah pada Corpus Luteum. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa aliran darah pada Corpus Luteum, yang dinilai dengan ultrasonografi Doppler berwarna, dengan cepat meningkat setelah Ovulasi, selanjutnya meningkat sampai Fase Mid-Luteal dan menurun selama Fase Luteal Akhir. Perubahan dalam aliran darah selama Fase Luteal sepertinya mencerminkan perubahan vaskuler dalam Corpus
Universitas Sumatera Utara
Luteum selama pembentukan dan regresi Corpus Luteum. Sebagai tambahan, aliran darah Corpus Luteum sangat signifikan berhubungan dengan Konsentrasi Serum Progesteron selama Fase Mid-Luteal. Sesungguhnya, beberapa penelitian yang menggunakan ultrasonografi Doppler berwarna menunjukkan bahwa aliran darah Corpus Luteum berhubungan dengan vaskularisasi Luteal dan fungsi Luteal.
2.6. DETEKSI ALIRAN DARAH LUTEAL PADA CORPUS LUTEUM Pencitraan Doppler-berwarna Transvaginal telah lama digunakan untuk menunjukkan indeks echogenisitas dan aliran darah intrafollikuler ( Collins dkk, 1991 ) dan
untuk
mengevaluasi indeks serial dari echogenisitas, vascularitas dan aliran darah sepanjang umur hidup Corpus Luteum ( Bourne dkk, 1996 ). Lebih lanjut, aliran berwarna dari denyut aliran darah Doppler telah lama digunakan untuk memprediksikan adanya Defek Fase Luteal ( Tinkannen, 1994 : Glock dan Brumsted, 1995 ). Penelitian sebelumnya yang menggunakan pencitraan Doppler berwarna telah terbukti dapat mengukur indeks aliran darah pada Ovarium dan Corpus Luteum. 2.7. PENILAIAN ANGIOGENESIS CORPUS LUTEUM Ultrasonografi Doppler telah muncul sebagai media pendeteksi terjadinya Ovulasi dan menunjukkan fungsi Corpus Luteum yang akurat pada wanita. Perkembangan terakhir, ultrasonografi berwarna Doppler telah digunakan untuk menilai perubahan aliran darah disekitar Corpus Luteum. 2.7.1. VOLUME CORPUS LUTEUM (mm3) VOLUME CORPUS LUTEUM diperkirakan menggunakan rumus perkalian persamaan : V = 0.523 x A x B x C
Diameter transversal maksimum (A) mm3 Diameter antero posterior (B) mm3 Diameter longitudinal (C) mm3
Universitas Sumatera Utara
Volume Corpus Luteum menggambarkan peningkatan aliran darah yang diiringi oleh peningkatan berat dan ukuran sel sel luteal ( Jablonka-Shariff dkk,1993 ) Peningkatan aliran darah Luteal dikaitkan dengan adanya pertumbuhan jaringan ( Bruce dan Moor,1976 ; Niswender dkk,1976 ) Volume meningkat pada Fase Luteal Awal, mencapai puncak pada saat Fase Mid-Luteal dan menurun seiring Fase Regresi Corpus Luteum yaitu pada Akhir Fase Luteal . Ukuran sel sel Luteal meningkat seiring dengan Fase pembentukan Corpus Luteum dan menurun seiring dengan Fase Regresi Corpus Luteum ( Singh dkk,1997 ) Aliran darah menuju Ovarium dan jumlah serta ukuran sel sel Luteal sangat penting dalam meregulasi produksi Progesteron di Ovarium. Aliran darah menuju ke Ovarium dengan Corpus Luteum meningkat tiga sampai tujuh kali lipat selama Fase Luteal dan kemudian menurun seiring Regresi Corpus Luteum ( Niswender dkk, 1976 ). Peningkatan Volume Corpus Luteum diiringi peningkatan jumlah dan ukuran sel sel Luteal dan Aliran darah Luteal dalam meregulasi produksi Progesteron Penurunan Volume Corpus Luteum diikuti penurunan jumlah dan ukuran sel sel Luteal dan Aliran darah Luteal dalam meregulasi produksi Progesteron 2.7.2. PEAK SYSTOLIC VELOCITY ( PSV )
DAN
EDV ( END DIASTOLIC
VELOCITY ) ALIRAN DARAH CORPUS LUTEUM Corpus Luteum menjadi organ dengan vaskularisasi tertinggi dalam beberapa hari setelah Ovulasi, sehingga bila berdasarkan berat jumlah jaringan, dan aliran darah menuju Corpus Luteum, maka ia merupakan salah satu organ dengan jaringan yang terbesar dalam tubuh manusia ( Abdul Karim dan Bruce,1973 ). Peningkatan Aliran Darah,sebagai penyedia untuk mendukung pathway steroidogenik luteal menuju sirkulasi sistemik, juga penting untuk pengadaan substrat kolesterol, dalam membentuk Low Density Lipoprotein, untuk biosintesis Progesteron ( Carr dkk,1982 ) Oleh karena itu, Aliran Darah Corpus Luteum merupakan sesuatu yang sangat penting untuk meregulasi fungsi Luteal.
Universitas Sumatera Utara
•
PEAK SYSTOLIC VELOCITY (PSV) Yaitu puncak tertinggi aliran darah sistolik pada tampilan berwarna gelombang aliran darah Corpus Luteum pada Fase Mid-Luteal tersebut. PSV menunjukkan fluktuasi tinggi rendahnya gelombang aliran darah yang mengalir pada Corpus Luteum untuk mendukung pathway steroidogenik Luteal dalam proses biosintesis Progesteron dan mengatur fungsi Luteal secara umum. Kenaikan PSV yang tinggi dianggap sebagai parameter yang baik untuk menilai baiknya aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung merefleksikan produksi Progesteron yang adekuat. Penurunan PSV yang rendah dianggap sebagai parameter yang kurang/tidak baik untuk menilai aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung menrefleksikan produksi Progesteron yang tidak adekuat. PSV dalam Corpus Luteum nilainya rendah pada Fase Luteal Awal kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada 8 sampai 6 hari sebelum onset menstruasi berikutnya kemudian menurun seiring Regresi Corpus Luteum.
•
END DIASTOLIC VELOCITY (EDV) Yaitu titik dasar terendah aliran darah diastolik pada tampilan berwarna gelombang aliran darah Corpus Luteum pada Fase Mid-Luteal tersebut. EDV menunjukkan fluktuasi tinggi rendahnya gelombang aliran darah yang mengalir pada Corpus Luteum untuk mendukung pathway steroidogenik Luteal dalam proses biosintesis Progesteron dan mengatur fungsi Luteal secara umum. Kenaikan EDV yang tinggi dianggap sebagai parameter yang baik untuk menilai baiknya aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung merefleksikan produksi Progesteron yang adekuat. Penurunan EDV yang rendah dianggap sebagai parameter yang kurang/tidak baik untuk menilai aliran darah Corpus Luteum yang secara tak langsung menrefleksikan produksi Progesteron yang tidak adekuat.
Universitas Sumatera Utara
EDV dalam Corpus Luteum nilainya rendah pada Fase Luteal Awal kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada 8 sampai 6 hari sebelum onset menstruasi berikutnya kemudian menurun seiring seiring Corpus Luteum. 2.7.3 INDEKS PULSATILITAS ( PI = PULSATILITY INDEX ) Sudut independen PI dihitung secara elektronik dari kurva halus sampai pada gelombang yang paling berkwalitas selama tiga siklus kardiak dengan berdasarkan formula berikut : ( Pourcelot, 1974 ) PI = ( S-D ) / A
Dimana : S adalah denyut aliran darah sistolik maksimum, D adalah denyut aliran darah diastolik minimum A adalah frekwensi pencitraan gelombang Doppler rata-rata selama melalui 1 siklus kardiak. PI mencerminkan tahanan peripheral pembuluh darah yang diukur ; dan PI juga menggambarkan vasomotor pembuluh darah yang bekerja pada Corpus Luteum saat pembuluh darah berdilatasi maksimal untuk penyediaan produksi Progesteron. Tingginya nilai PI dianggap sebagai ketidakmampuan vasomotorik karena pembuluh darah Corpus Luteum berdilatasi maksimal untuk memproduksi Progesteron. Rendahnya nilai PI dianggap sebagai kemampuan vasomotorik karena pembuluh darah Corpus Luteum tidak berdilatasi maksimal untuk memproduksi Progesteron. PI nilainya meningkat pada Fase Mid-Luteal dan menurun seiring Regresi Corpus Luteum dan Fase Luteal Akhir, nilainya serupa dengan pada saat Fase Luteal Awal. Rendahnya nilai PI dihubungkan dengan rendahnya nilai RI. 2.7.4. INDEKS RESISTENSI ( RI = RESISTANCE INDEX ) Indeks Resistansi ( RI = Resistance Index ) yang diambil dari selisih antara aliran darah sistolik maksimal ( S ) dan aliran darah diastolic minimal ( D ) dibagi dengan aliran darah sistolik puncak ( S-D / S ) .Impedansi aliran darah dinilai dalam Corpus Luteum selama fase midluteal ( 6-8 hari setelah ovulasi ) : ( Gosling, 1976 )
Universitas Sumatera Utara
RI = S – D / S
Dimana :
S adalah denyut aliran darah sistolik maksimum, D adalah denyut aliran darah diastolik minimum
RI menggambarkan tingginya tahanan pembuluh darah selama dilatasi maksimal pembuluh darah pada saat Aliran Darah meningkat saat Fase Mid-Luteal. RI dijumpai terendah nilainya pada Fase Mid-Luteal ,dan tinggi nilainya pada Fase Luteal Awal kemudian menurun pada Fase Mid-Luteal dan meningkat seiring Regresi Corpus Luteum Peningkatan nilai RI dianggap sebagai tahanan yang tinggi yang terjadi saat dilatasi maksimal aliran darah Corpus Luteum untuk meyediakan produksi progesteron . Penurunan nilai RI dianggap sebagai tahanan yang tidak tinggi yang terjadi saat rendahnya dilatasi aliran darah Corpus Luteum untuk meyediakan produksi progesteron.
Universitas Sumatera Utara
Gambar . Aliran Darah ( Angiogenesis ) Corpus Luteum Di Dalam Ovarium Pada USG Doppler Transvaginal
Gambar . Hasil Scaning Aliran darah Corpus Luteum dalam Ovarium
Universitas Sumatera Utara
Gambar 18. Interpretasi Hasil Scanning Aliran Darah ( Angiogenesis ) Corpus Luteum Dalam Ovarium Pada USG Doppler Transvaginal
2.8. KONSENTRASI SERUM PROGESTERON Corpus Luteum merupakan sumber utama penghasil Progesteron, dan juga menghasilkan hormon- hormon esensial untuk implantasi dan memelihara kehamilan awal .23 Regulasi sintesis dan sekresi Progesteron diatur oleh Corpus Luteum .Target utama Progesteron adalah saluran Reproduksi dan sumbu Hipotalamus – Hipofisis. Secara umum, kerja Progesteron pada saluran Reproduksi adalah untuk maturasi endometrium dan untuk mempersiapkan inisiasi dan memelihara kehamilan..9 2.8.1 PERAN PROGESTERON PADA SUMBU HIPOTHALAMUS - HIPOFISIS Konsentrasi sirkulasi Progesteron bernilai rendah selama Fase Folikuler. Selama periode ini, peningkatan konsentrasi Estradiol bekerja pada Hipotalamus dan Hipofisis untuk menstimulasi amplitudo yang rendah dan frekuensi pulse yang tinggi dari hormon LH, yang menyebabkan peningkatan konsentrasi sirkulasi LH yang mengatur perkembangan folikel sampai ke saat Ovulasi ( Lucy dkk ). Setelah Ovulasi, seiring perkembangan Corpus Luteum, konsentrasi sirkulasi Progesteron yang tinggi, membatasi sekresi LH sampai menjadi frekuensi pulse yang rendah dan amplitudo tinggi, yang menyebabkan penurunan konsentrasi rata rata dari sekresi hormon LH.
Universitas Sumatera Utara
Gambar . Gambaran Mekanisme Hipothalamus Hipofisis Ovarium dalam Mempengaruhi Corpus Luteum Memproduksi Progesteron Value of Progesterone for Implantation and Pregnancy Development 1. Preparation of the endometrium for implantation ( secretory changes ) 2. Endometrial decidualization 3. Production of a number of endometrial proteins such as uteroglobin, PAPP and PP14 4. Regulation of the Cellular immunity 5. Stimulation of Prostaglandin E2 production which supresses a number of T-cell reactions. 6. Stimulation of Lymphocyte proliferation at the fetomaternal interphase. 7. Suppression of the Interleukin 2 increased cellular toxicity 8. Suppression of T-cell- and killer-cell-activity 9. Shift from the TH-1 to TH-2 cells. 10. Synthesis of the Progesterone-Induced Blocking Factor ( PIBF ) 11. Suppression of Matrix Metalloproteinases Tabel 1. Peran Progesteron untuk Implantasi dan Perkembangan Kehamilan. Efek Progesteron ini disebabkan oleh kinerja pada Hipotalamus dan Hipofisis. •
Progesteron memblok lonjakan GnRH dari Hipotalamus.
•
Dalam Hipofisis, Progesteron menurunkan jumlah reseptor GnRH dengan mengatur regulasi m RNA mengkode reseptor untuk GnRH.
•
Progesteron menurunkan banyaknya Hormon LH yang dilepaskan dalam merespon GnRH ,sebagian disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor GnRH dalam Hipofisis.
Universitas Sumatera Utara
•
Kadar Progesteron yang tinggi juga menyebabkan penurunan ekspresi gen mengkode subunit-subunit β, baik yang berasal dari LH maupun dari FSH dan dari subunit
yang
umum oleh Gonadothropin .
2.8.2 PERAN PROGESTERON DALAM SISTEM REPRODUKSI Secara umum, kerja Progesteron pada Traktus Reproduksi adalah untuk mempersiapkan inisiasi dan memelihara kehamilan..9 Secara khusus : •
Dalam uterus , Progesteron bekerja pada endometrium sebagai faktor diferensiasi.
•
Selama Fase Folikuler, estrogen menginduksi proliferasi sel-sel endometrium ,dan meningkatkan konsentrasi Progesteron selama Fase Luteal pada siklus reproduksi, menghambat mitosis dalam endometrium.
•
Progesteron juga menginduksi diferensiasi stroma, menstimulasi sekresi glandular dalam hubungannya dengan akumulasi vakuola basal dalam kelenjar epitel, dan perubahan pola protein yang disekresikan oleh sel endometrium.. 9
•
Dalam uterus, Progesteron menginduksi miometrium agar tidak bergerak. Efek ini bermanifestasi dengan peningkatan resting potensial dan pencegahan elektrikal coupling diantara sel sel miometrial .
•
Sebagai tambahan, Progesteron menurunkan uptake kalsium ekstraseluler yang dibutuhkan untuk kontraksi sel-sel miometrial dengan mengatur regulasi ekspresi gen yang mengkode subunit-subunit channel kalsium bergantung-voltage.
•
Progesteron juga mencegah kontraksi uterus dengan memblok kemampuan Estradiol untuk menginduksi reseptor
•
-adrenergik, aktivasi yang menyebabkan kontraksi.9
Lama siklus reproduksi juga diatur, sebagian, oleh Progesteron.
2.8.3 DEFEK FASE LUTEAL Defek Fase Luteal terjadi pada 10% pasangan infertil dan dikarakterisasi sebagai abnormalitas fungsi Corpus Luteum antara lain: insufisiensi produksi Progesteron. Abortus spontan dan kehamilan ektopik pun juga dilaporkan meningkat angka kejadiannya pada pasien dengan Defek Fase Luteal. Sejak neovaskularisasi tumbuh kembang Corpus Luteum
Universitas Sumatera Utara
diperkirakan dibutuhkan untuk suplai substrat, sebagaimana produk transport pada sirkulasi sistemik, angiogenesis luteal yang inadekuat dapat menjadi penyebab penurunan konsentrasi progesteron sistemik pada Defek Fase Luteal. Demikian, inadekuasi luteal diyakini terjadi sebagai akibat adanya defek pada proses angiogenesis dan proses netralisasi VEGF.
2.9. PENENTUAN DEFISIENSI SEKRESI PROGESTERON OLEH CORPUS LUTEUM PADA FASE LUTEAL 2.9.1. SAAT OVULASI DAN PEMBENTUKAN CORPUS LUTEUM Pada saat Ovulasi, yaitu pada saat folikel berkonversi menjadi Corpus Luteum ,perubahan jaringan vaskuler disekeliling folikel matang menjadi sangat luar biasa. Pembuluh kapiler Theca menginvasi lapisan Granulosa avaskuler pada hari ke 2 setelah Ovulasi dan seterusnya menuju kavitas sentral pada hari ke 4. Pada hari ke 6 setelah Ovulasi, pembuluh kapiler mengelilingi sel-sel Granulosa, dan dilatasi kapiler terjadi. Pada hari ke 7, pembuluh vena muncul di sepanjang batas kavitas yang seterusnya menuju ke kanal vena yang mengalir kembali melewati jaringan luteal ke vena yang lebih besar di luar Corpus Luteum. 3
Gambar 11. Representasi Skematik perubahan vaskularisasi selama hidup Folikel tunggal yang diseleksi untuk menjadi matang dan ber-Ovulasi. Corpus Luteum diperkirakan berada pada aktivitas puncak pada hari ke 7 setelah Ovulasi, ditandai dengan meningkatnya jumlah vena di sepanjang kavitas yang mana telah mengandung jaringan ikat definitif. Vaskulogenesis Luteal sangat meluas dan menjadi hal yang penting pada hiperplasia seluler yang dapat dikesan pada tumbuh kembang Corpus Luteum. Lei dkk melakukan determinasi bahwa ruang vaskuler ( sel-sel endothelial ) pada Corpus Luteum manusia meningkat mulai dari fase mid-luteal awal, dengan jumlah sel sel nonsteroidogenik terus meningkat jumlahnya sampai ke fase luteal akhir.
Universitas Sumatera Utara
2.9.2. PENGUKURAN SUHU BASAL BADAN (BBT = BASAL BODY TEMPERATURE)
Gambar 12. Rekaman Suhu Basal Badan Ideal Metode yang tidak mahal untuk mendeteksi Defisiensi Progesteron Fase Luteal pasca Ovulasi adalah dengan cara merekam temperatur tubuh pasien setiap pagi pada Chart Suhu Basal Badan ( BBT Chart ). Pengukuran BBT dikerjakan setiap hari pada saat terjaga pagi hari,sebelum matahari terbit ,saat kondisi basal yaitu kondisi istirahat, sebelum bangkit dari tempat tidur, ataupun sebelum makan dan minum. BBT dikerjakan setiap pagi,saat kondisi basal yaitu kondisi istirahat, sebelum matahari terbit dan pada keadaan badan sedang tidak sakit (demam). Alat yang diperlukan adalah sebuah thermometer Celcius ( khusus ), alat tulis dan kertas Chart BBT yang disiapkan. Thermometer diletakkan di bawah lidah selama 4 menit. Nilai yang tertera pada thermometer ditandai ( beri tanda silang pada suhu yang tertera pada thermometer ) dengan ballpoint pada kertas Chart BBT yang telah disiapkan.Pengukuran BBT dimulai pada hari pertama haid dan dikerjakan setiap hari sampai haid berikutnya ( siklus klasik biasanya 28 hari ,namun tergantung kondisi individu, antara 25 sampai 35 hari ). Jika wanita siklus haidnya berovulasi, maka grafik akan memperlihatkan gambaran bifasik, sedangkan pada siklus haid yang tidak berovulasi, gambaran grafiknya monofasik. Chart BBT harian menghasilkan karakteristik pola bifasik pada wanita yang memiliki siklus Ovulatoar. Secara teratur, titik nadir ( < 36 oC ) pada Chart BBT dinyatakan yaitu pada saat lonjakan LH .Hari ke 14 siklus haid dinyatakan sebagai hari terjadinya Ovulasi. Setelah Ovulasi ( Lonjakan LH = suhu berada pada titik nadir < 36
C ) ,Rekaman
Chart BBT harian didasarkan kepada thermogenik Progesteron, saat kadarnya meningkat setelah
Universitas Sumatera Utara
Ovulasi, BBT meningkat pula. Sekresi Progesteron yang signifikan oleh Ovarium lazimnya terjadi setelah ovulasi. Fase Luteal siklus haid yang normal dikarakterisasi sebagai kenaikan rekaman temperatur ( dari titik nadir < 36
C saat Ovulasi ,kemudian meningkat selama Fase
Luteal ) yang berlangsung sekurang-kurangnya selama 10 hari dari total 14 hari panjang Fase Luteal normal. Fase Mid-Luteal ialah fase dimana Progesteron dihasilkan dalam kadar yang paling tinggi ( 6-8 hari setelah ovulasi ). 26,27,28 Chart BBT umumnya bernilai rendah dan fluktuatif antara 36,0°C dan 36,5°C selama Fase Folikuler siklus haid, kemudian menurun sampai ke titik nadir di bawah 36
C pada saat
terjadinya Ovulasi, lalu meningkat secara perlahan ( 0,4°C - 0,8°C diatas rata-rata temperatur Fase Folikuler) selama Fase Luteal siklus haid, yang merefleksikan adanya produksi Progesteron oleh Corpus Luteum yang distimulasi oleh hormon hCG ( human Chorionic Gonadothropin ) 26,27,
dan menurun kembali ke dasar sesaat sebelum onset menstruasi berikutnya. Pada wanita
yang Ovulatoar, pola bifasik biasanya langsung terlihat. Jika tidak dijumpai adanya peningkatan temperatur, maka diperkirakan tidak merefleksikan adanya produksi Progesteron yang adekuat. 2.9.3. PENENTUAN PANJANG FASE LUTEAL Chart BBT ini dibuat untuk memperkirakan Panjang Fase Luteal dan menentukan Defek Fase Luteal (Down and Gibson,USA,1983, Lenton and colleagues,USA,1984, Smith et al,USA,1984). Panjang Fase Luteal normal adalah 14 hari dimulai dari hari terjadinya Ovulasi. Diklasifikasikan sebagai penderita Defek Fase Luteal ialah wanita dengan Panjang Fase Luteal ≤ 11 hari ( Jordan and colleagues, USA,1994 ).
2.9.4. PEMERIKSAAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON FASE LUTEAL Metode lain yang umum digunakan untuk menilai Kadar Progesteron Fase Luteal pasca Ovulasi ialah dengan mengukur Konsentrasi Serum Progesteron. Corpus Luteum merupakan sumber utama penghasil Progesteron23 Kadarnya biasanya berada di bawah 1 ng/m L selama Fase Folikuler ,meningkat tipis pada hari terjadinya lonjakan LH ( 1-2 ng/m L) dan demikian seterusnya, mencapai puncaknya pada 7 sampai 8 hari setelah Ovulasi, dan kemudian menurun
Universitas Sumatera Utara
pada saat beberapa hari menjelang menstruasi berikutnya. Pada umumnya, kadar diatas 3 ng/m L yang menunjukkan bahwa Ovulasi telah terjadi. Kapankah waktu yang paling baik untuk mengukur kadar serum Progesteron jika ditentukan dari adanya suatu Ovulasi ? Satu rekomendasi populer untuk melakukan uji tersebut ialah pada hari ke 21. Pada siklus haid ideal 28 hari yang mana Ovulasi biasanya terjadi pada hari ke 14, hari ke 21 diperkirakan sebagai Fase Mid-Luteal, setidaknya 1 minggu setelah Ovulasi atau pula 1 minggu sebelum onset periode menstruasi berikutnya, yaitu sesaat ketika kadar serum Progesteron mencapai puncaknya. ( Jordan and colleagues,USA,1994 ) Kadar serum Progesteron telah pula digunakan untuk menentukan kualitas fungsi luteal. Jumlah dan durasi produksi Progesteron menggambarkan kapasitas fungsional dari Corpus Luteum;. Pemeriksaan tunggal kadar serum Progesteron Fase Mid-Luteal bernilai “rendah” merupakan suatu kriteria popular untuk mendiagnosa defisiensi atau defek fase luteal, suatu kelainan yang menunjukkan gambaran mengenai Disfungsi Ovulasi.
Dikategorikan sebagai Defek Fase Luteal bila ditemukan Kadar Serum Progesteron < 10 ng/ml pada 7 hari setelah Lonjakan LH atau 7 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Beberapa penulis melaporkan bahwa 5 ng/ml adalah batas terendah dari fase mid luteal yang normal, dan yang lainnya telah menunjukkan bahwa level Fase Mid-Luteal dari 10 ng/ml ( Hansleigh dan Fainstadt, 1979 ), ada pula yang mengemukakan bahwa 15 ng/ml ( Radwanska dan Swyer, 1974 ) merupakan nilai diskriminan antara siklus normal dan siklus Defek Fase Luteal.
2.9.5. PEMANTAUAN DENGAN ULTRASONOGRAFI Defisiensi produksi Progesteron dapat pula dideteksi dengan menentukan terjadinya Ovulasi melalui pantauan Ultrasonografi. Ovulasi ditentukan dengan pemantuan perkembangan folikel dominan dengan menggunakan ultrasonografi sampai terjadinya Ovulasi. Ovulasi dikarakterisasi oleh baik dengan adanya penurunan ukuran folikel Ovarium yang dipantau,
Universitas Sumatera Utara
maupun dengan munculnya cairan pada daerah cul-de-sac. Sering terjadi ketika ukuran folikel mencapai sekitar 21 sampai 23 mm, atau sekurang-kurangnya ukuran folikel sekecil 17 mm, atau sebesar-besarnya ukuran folikel sebesar 29 mm. Metode ini merupakan observasi langsung dari karakteristik sekuensi perubahan yang terjadi sebelum dan segera setelah pelepasan Ovum. Walaupun masih tidak memberikan bukti yang positif bahwa Ovulasi sebenarnya terjadi , penentuan dengan ultrasonografi transvaginal serial memberikan informasi terperinci mengenai ukuran dan jumlah folikel preovulasi dan menunjukkan estimasi yang paling akurat kapan terjadinya Ovulasi.26,27,28 Hari saat ovulasi ditandai dengan adanya sekurang-kurangnya dua dari temuan berikut : didapati penurunan diameter folikel secara akut, peningkatan tiba-tiba dari isi cairan intraperitoneal. Ukuran rata-rata folikel pre-ovulasi < 17 mm menandai adanya suatu Defek Fase Luteal. (Geisthoval et al,USA,1983, Checkk and colleagues,USA,1983, Jordan and colleagues, USA,1994) 2.9.6. BIOPSI ENDOMETRIUM Defisiensi produksi Progesteron dapat dideteksi dengan pemeriksaan Biopsi Endometrium. Ketepatan alamiah dari perubahan histologik yang terjadi dalam sekresi endometrium berhubungan dengan lonjakan LH memudahkan untuk memantau “normalitas” perkembangan Endometrium .Dengan mengetahui bahwa pasien secara kronologis berada pada keadaan pasca Ovulasi, sangat mudah untuk mengambil sampel Endometrium dengan melakukan Biopsi Endometrium dan mengukur apakah kondisi Endometrium berhubungan dengan fase fase siklus haid. Untuk melakukan uji diagnostik ini ,target utama ialah untuk menentukan kapan terjadinya Ovulasi. Apabila waktu Ovulasi dapat ditegakkan, investigator pada awalnya secara tradisional memilih 10 sampai 12 hari pasca Ovulasi sebagai waktu yang paling tepat untuk melakukan Biopsi Endometrium. Pengambilan dilakukan pada daerah fundus bagian anterior ,karena bagian ini sangat responsif terhadap perubahan siklus hormonal Ovarium. Namun, direkomendasikan pengambilan sampel Endometrium pada saat implantasi (6 sampai 8 hari pasca Ovulasi) memberikan hasil yang lebih akurat. ( Jordan and colleagues,USA,1994) 26,27,28
Universitas Sumatera Utara
Dikatakan sebagai Defek Fase Luteal jika ditemukan sebarang ketidaksesuaian ( lebih dari 2 hari keterlambatan), dianggap berkaitan dengan terjadinya kedua-dua kegagalan ,baik kegagalan implantasi maupun kegagalan yang berakibat keguguran pada awal kehamilan . 2.10. HUBUNGAN ALIRAN DARAH CORPUS LUTEUM DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON Corpus Luteum menjadi sangat tervaskularisasi dalam beberapa hari setelah Ovulasi sehingga bila didasarkan kepada besarnya aliran darah,maka aliran darah ke Corpus Luteum merupakan salah satu yang terbesar dari semua jaringan dalam tubuh ( Abdul Karim dan Bruce,1973 ). Peningkatan vaskularisasi ini, disamping memberikan saluran untuk produksi steroid luteal ke sirkulasi sistemik, ia juga penting untuk penyediaan substrat kolesterol dalam bentuk Low Density Lipoprotein untuk Biosintesis Progesteron ( Carr dkk,1982 ). Oleh karena itu, terbukti bahwa aliran darah ke Ovarium dan khususnya ke Corpus Luteum merupakan hal yang sangat penting dalam pengaturan fungsi Luteal, khususnya fungsi Corpus Luteum.1 Konsentrasi serum Progesteron mencapai puncaknya pada 6-8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Fase Luteal Awal ditunjukkan oleh adanya proliferasi cepat dari sel-sel endotelial dan invasi kapiler-kapiler dari inti jaringan luteal, yang mengandung jaringan ikat dan pembuluh darah yang diperoleh dari sel Theca menuju ke area perifer yang mengandung sel sel Luteal yang diperoleh dari sel Granulosa (Gaede dkk., 1985). Fase Mid-Luteal digambarkan oleh dengan adanya pembentukan jaringan mikrovaskular yang rapat yang disusun secara primer oleh kapiler-kapiler. Fase Luteal Akhir ditandai oleh adanya regresi kapiler-kapiler, peningkatan jaringan ikat dan peningkatan yang pesat dari pembuluh darah halus yang lebih besar, regresi dan kehilangan sel-sel parenkim luteal (Azmi dan O’Shea, 1984; Jablonka Shariff dkk., 1993).. Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, menemukan kadar serum Progesteron secara signifikan lebih rendah pada wanita dengan Defek Fase Luteal dibandingkan dengan wanita dengan siklus normal. Dan Panjang Fase Luteal ditemukan lebih pendek pada wanita Defek Fase Luteal dibandingkan dengan wanita siklus normal.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Kupesic dan Kurjak di Zagreb, Croatia, 1996, menemukan kadar serum Progesteron rata-rata secara signifikan lebih rendah pada wanita dengan Defek Fase Luteal dibandingkan dengan kelompok kontrol ( p < 0.01 ) 2.10.1.HUBUNGAN PEAK SYSTOLIC VELOCITY (PSV) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON PADA FASE MID-LUTEAL Miyazaki dkk. Tahun 1998 di Jepang dalam penelitiannya dijumpai PSV pada Corpus Luteum mencapai puncak pada 8-6 hari sebelum onset mentruasi berikutnya dan menurun sampai pada akhir Fase Luteal. Konsentrasi Serum Progesteron memperlihatkan perubahan yang sama, meningkat dari 12-16 hari sebelum onset menstruasi berikutnya dan memuncak pada 6-8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Walaupun PSV pada Corpus Luteum tidak berkorelasi dengan Konsentrasi Serum Progesteron pada penelitian ini,tetapi ianya menunjukkan pola perubahan yang sama dengan Konsentrasi Serum Progesteron sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Bourne dkk., 1996. Bourne dkk 1996, pada penelitiannya mengemukakan korelasi yang erat antara PSV aliran darah yang mengelilingi Corpus Luteum dengan Konsentrasi Serum Progesteron pada siklus spontan . Niswender dkk 1976, Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa Aliran darah menuju ke Ovarium beserta jumlah dan ukuran dari sel-sel Luteal merupakan sesuatu yang penting dalam pengaturan produksi Progesteron oleh Ovarium. Aliran darah menuju ke Ovarium yang mengandung Corpus Luteum meningkat 3-7 kali lipat selama fase Luteal dan menurun secara pesat pada regresi Corpus Luteum . Hong-Ning Xie dkk., Jepang tahun 2001 mengemukakan bahwa aliran darah intraOvarial secara jelas menunjukkan velositas yang tinggi Penelitian Hong-Ning Xie dkk. ini menunjukkan bahwa peningkatan aliran darah Luteal merupakan akibat dari dilatasi vaskularisasi pada Awal fase Luteal. Ditemukan PSV berkorelasi positif dengan Konsentrasi Serum Progesteron. Hal ini mendukung konsep bahwa velositas aliran darah Luteal merupakan parameter komplementer yang menggambarkan fungsi Luteal pada kejadian infertilitas. Dalam hubungan PSV dengan Defisiensi Fase Luteal ,Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, menemukan bahwa PSV pada Fase Mid-Luteal wanita dengan Defek Fase Luteal lebih rendah bila dibandingkan dengan PSV pada wanita dengan siklus
Universitas Sumatera Utara
normal. Dan dijumpai korelasi signifikan antara PSV dengan kadar serum Progesteron pada wanita Defek Fase Luteal ( r = 0,36 ) 2.10.2. HUBUNGAN END DIASTOLIC VELOCITY (EDV) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON PADA FASE MID-LUTEAL Ottander dkk., Swedia tahun 2004 mengemukakan End Diastolic Velocity (EDV) menurun secara signifikan pada fase Luteal Akhir dibandingkan dengan fase Mid-Luteal. Hal ini juga ditemukan pada pola perubahan PSV, dimana PSV memperlihatkan pola perubahan yang sama dengan pola perubahan EDV. Dalam hubungan EDV dengan Defisiensi Fase Luteal ,Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, dalam penelitiannya tidak menemukan perbedaan antara Velositas diastolik nadir aliran darah intra ovarial pada wanita dengan Defek Fase Luteal bila dibandingkan dengan wanita dengan siklus ovulatoar biasa.
2.10.3. HUBUNGAN PULSATILITY INDEX (PI) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON PADA FASE MID-LUTEAL Miyazaki dkk. Tahun 1998 di Jepang dalam penelitiannya menemukan bahwa Pulsatility Index (PI) pada arteri Ovarium mencapai titik nadir pada fase Mid-Luteal (3-8 hari sebelum onset menstrusi berikutnya.Konsentrasi serum Progesteron memperlihatkan perubahan yang sama, meningkat dari 12-16 hari sebelum onset menstruasi berikutnya dan memuncak pada 6-8 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Dalam penelitian ini, PI intra-Luteal ditemukan tidak berkorelasi dengan kadar serum Progesteron. Pada studi Miyazaki dkk. ini Konsentrasi Serum Progesteron mencapai puncaknya pada fase Mid-Luteal (8-6 hari sebelum onset menstruasi berikutnya), sementara PI intra-Luteal mulai menurun pada Awal fase Luteal (11-9 hari sebelum onset menstruasi berikutnya) kemudian meningkat sampai pada onset menstruasi berikutnya. Peningkatan kadar Progesteron ini terjadi pada saat peningkatan aliran darah menuju ke Corpus Luteum, ditandai dengan penurunan PI pada aliran darah tersebut. Diskrepansi antara periode konsentrasi serum Progesteron maksimum dengan periode PI terendah memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
fakta bahwa peningkatan pada Hormon yang bersirkulasi berbanding terbalik dengan peningkatan struktural vaskularisasi Corpus Luteum Hata dkk., 1990; Glock dkk., 1995 mengemukakan hasil penelitiannya bahwa nilai PI yang rendah dihubungkan oleh adanya RI yang rendah. Suplai darah menuju Ovarium yang mengandung Corpus Luteum meningkat selama fase Luteal khususnya pada fase Mid-Luteal seiring dengan peningkatan asupan Low-Density Lipoprotein menuju sel-sel Luteal untuk memproduksi Progesteron dalam Corpus Luteum. Tinkanen dkk., Finlandia, 1994 dalam penelitiannya tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam hal Pulsatility Index (PI) intra-Ovarial dengan Kadar Serum Progesteron. Walau bagaimanapun, jumlah pasien yang inadekuat dan metode yang insufisien yang digunakan untuk evaluasi fungsi Luteal pada penelitian ini, merupakan keterbatasan pada penelitian ini Penelitian Bau dan Bajo di Madrid, Spanyol tahun 2001, yang mengevaluasi Indeks Resistensi aliran darah intra-ovarial dengan Velositas aliran darah intra ovarial pada siklus haid yang distimulasi FSH. Dari 76 sampel, dijumpai 15 wanita dengan Defek Fase Luteal ,tidak ditemukan perbedaan antara Indeks Pulsatility aliran darah intra ovarial pada wanita dengan Defek Fase Luteal bila dibandingkan dengan wanita dengan siklus ovulatoar biasa. 2.10.4. HUBUNGAN RESISTANCE INDEX (RI) DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON Pada penelitian Kupesic dan Kurjak di Croatia tahun 1996, dalam penelitiannya dijumpai nilai RI terendah pada fase Mid-Luteal (RI = 0.42 ± 0.06), yang kemudian mengalami peningkatan ke nilai yang lebih tinggi (RI = 0.50 ± 0.04) pada akhir Fase Luteal. Kadar Progesteron rata-rata secara signifikan lebih rendah (P < 0.001) pada grup Defek Fase Luteal (6.9 ± 2.3 ng/ml) dibandingkan dengan kelompok kontrol (24.1 ± 11.4 ng/ml). Glock dan Brunsted, 1995, memperlihatkan korelasi yang signifikan antara RI intraOvarial dengan Kadar Plasma Progesteron pada Fase Luteal. Serupa dengan penelitian Kupesic dan Kurjak di Universitas Zagreb 1996 menunjukkan perbedaan yang bermakna antara RI intraOvarial pada kelompok dengan Defek Fase Luteal dibandingkan dengan kelompok kontrol. Nilai RI terendah dideteksi pada fase Mid-Luteal seiring dengan puncak Angiogenesis Corpus
Universitas Sumatera Utara
Luteum. Peningkatan RI ditunjukkan pada akhir Fase Luteal seiring dengan regresi Corpus Luteum. Pada penelitian Tamura dkk. di Jepang tahun 2008, dalam penelitiannya didapati hasil bahwa RI Luteal pada fase Mid-Luteal pada wanita dengan Defek Fase Luteal secara signifikan meningkat dibandingkan pada wanita dengan fungsi Luteal normal. RI Luteal secara signifikan berkorelasi dengan Konsentrasi Serum Progesteron pada fase Mid-Luteal. Pada penelitian Tamura dkk. ini, diperlihatkan bahwa RI Luteal menurun sepanjang Awal Fase Luteal dan meningkat sepanjang Fase Regresi Luteal. Lebih lanjut lagi penelitian ini menunjukkan RI Luteal yang tinggi dan kadar serum Progesteron yang rendah dijumpai selama Fase Luteal. Penelitian oleh Takasaki dkk. di Jepang tahun 2009 yang melakukan penelitian mengenai aliran darah Corpus Luteum yang dihubungkan dengan fungsi Luteal menemukan korelasi negatif yang signifikan antara RI Corpus Luteum dengan Konsentrasi Serum Progesteron selama fase MidLuteal. Dalam kaitannya dengan Defek Fase Luteal, baik penelitian sebelumnya maupun penelitian Takasaki dkk. mendukung bahwa Defek Fase Luteal dihubungkan dengan adanya RI yang tinggi pada Corpus Luteum karena RI Luteal pada wanita dengan Defek Fase Luteal selama fase Mid-Luteal meningkat secara signifikan dibandingkan dengan wanita dengan fungsi luteal normal, dan RI Corpus Luteum berkorelasi negatif dengan Konsentrasi Serum Progesteron selama fase Mid-Luteal wanita dengan siklus normal. Glock dan Brumsted melakukan penelitian pada sekelompok kecil wanita infertil dan menemukan bahwa tiga wanita dengan defek fase luteal memiliki RI yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien normal.
2.10.5. HUBUNGAN VOLUME CORPUS LUTEUM DENGAN KONSENTRASI SERUM PROGESTERON. Miyazaki dkk. Tahun 1998 di Jepang dalam penelitiannya diperlihatkan gambaran Corpus Luteum dengan pencitraan USG Doppler sepanjang fase Luteal. Area yang mengalami vaskularisasi terlihat meningkat dari saat periovulasi sampai pada fase Mid-Luteal dan menurun sampai onset menstruasi berikutnya. Volume Corpus Luteum memperlihatkan pola perubahan yang sama seperti pada perubahan Konsentrasi Serum Progesteron.Walaupun perubahan pada
Universitas Sumatera Utara
Volume Corpus Luteum sebanding dengan perubahan pada Konsentrasi Serum Progesteron, namun tidak dijumpai korelasi bermakna antara Volume Corpus Luteum dengan Konsentrasi Serum Progesteron. Namun Konsentrasi Serum Progesteron berkorelasi positif dengan Volume Corpus Luteum. Volume Corpus Luteum menggambarkan sebagian sel-sel Luteal dan menggambarkan vaskularitas Corpus Luteum yang menunjukkan aliran darah ke Corpus Luteum untuk mengatur produksi Progesteron. Miyazaki dkk. menggunakan Volume Corpus Luteum sebagai parameter pengaturan produksi Progesteron. Jablonka Shariff dkk., 1993 pada penelitiannya menemukan Pertumbuhan yang cepat dari vaskularisasi luteal diiringi oleh peningkatan yang cepat dalam berat dan ukuran Corpus Luteum. Bruce dan Moor, 1976; Niswender dkk., 1976 menemukan Aliran darah fase Luteal meningkat secara dramatis sehubungan dengan peningkatan pertumbuhan jaringan Corpus Luteum Bourne dkk., 1996 menemukan Korelasi signifikan antara ukuran Corpus Luteum dengan produksi Progesteron ditunjukkan pada penelitian yang dilakukannya . Jokubkiene dkk.,Swedia tahun 2006 dalam penelitiannya tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara Volume dan Vaskular dari Ovarium atau dari Corpus Luteum pada hari ke-7 dengan level Progesteron hari ke-7 setelah Ovulasi. Penelitian ini tidak menemukan korelasi antara Kadar Serum Progesteron dengan aliran darah pada Corpus Luteum pada fase Mid-Luteal. Kadar progesteron merupakan gambaran dari fungsi Corpus Luteum, tetapi aliran darah tidak menggambarkan produksi progesteron dalam Corpus Luteum. Volume Corpus Luteum tertinggi dijumpai pada fase Luteal awal dan menurun secara signifikan pada fase Luteal akhir.
Universitas Sumatera Utara
KERANGKA TEORI PENELITIAN FASE FOLIKULER Folikel Primordial
Folikel Antral
Folikel De Graff
OVULASI FASE LUTEAL
Universitas Sumatera Utara
P I
RI
EDV
PSV
Universitas Sumatera Utara