II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Daging Menurut Soeparno (1994), daging didefinisikan sebagai semua jaringan
hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging mengandung protein, lemak, mineral, air serta vitamin dalam susunan yang berbeda tergantung jenis makanan dan jenis hewan. Hewan yang berbeda mempunyai komposisi daging yang berbeda pula. Komposisi daging terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal) menunjukan kualitas daging yang kurang baik (Kementerian Riset dan Teknologi, 2000). Daging segar, menurut Natasasmita (1987) adalah daging yang telah mengalami perubahan fisik dan kimia setelah proses pemotongan tetapi belum mengalami pengolahan lebih lanjut seperti pembekuan, penggaraman (curing), pengasapan (smoking) dan sebagainya. Soeparno (1994) mengelompokkan daging berdasarkan keadaan fisik, umur, jenis kelamin dan kondisi seksualnya. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging terdiri atas: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan lalu didinginkan, (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan lalu dibekukan, (4) daging masak, (5) daging asap dan (6) daging olahan.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (1995) dalam SNI 01-3947-1995 penggolongan daging sapi/kerbau menurut kelasnya adalah golongan (kelas) I, meliputi daging bagian has dalam (fillet), tanjung (rump), has luar (sirloin), lemusir (cube roll), inside, penutup (top side), pendasar + gandik (silver side). Golongan (kelas) II, meliputi daging bagian paha depan, sengkel (shank), daging paha depan (chuck), daging iga (rib meat), daging punuk (Blade). Golongan (kelas) III, meliputi daging lainnya yang tidak termasuk golongan I dan II, yaitu samcan (flank), sandung lamur (brisket ). Penggolongan daging sapi ini dapat dilihat pada Ilustrasi 1.
Ilustrasi 1. Peta Daging Sapi Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2008) SNI 3932:2008 Pembuatan daging menjadi produk olahan merupakan alternatif untuk memperpanjang masa simpan daging dengan penambahan bahan-bahan kimia dan bumbu-bumbu. Peningkatan kualitas daging olahan terus dilakukan untuk kepentingan penyediaan pangan asal daging agar lebih menguntungkan bagi manusia. Penyediaan produk daging olahan yang berkualitas baik, perlu diperhatikan kualitas awal dari daging bahan-bahan tambahan yang diijinkan
untuk digunakan dan cara pengolahannya (Naruki dan Kanoni, 1992). Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur, bakteri, virus dan kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2000). Pengawetan daging dengan jalan pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan energi panas alam dan dengan menggunakan energi panas buatan melalui alat pengering. Produk awetan daging yang sudah lama dikenal di Indonesia antara lain dendeng. Dendeng adalah produk olahan tradisional dari daging yang merupakan hasil kombinasi proses curing dan pengeringan. Pembuatan dendeng merupakan salah satu alternatif pengolahan bahan pangan agar masa simpannya relatif lebih lama, dengan kadar air 20-40 %. Cara pengolahan yang baik dendeng dapat disimpan selama berbulan-bulan tanpa mengalami banyak penurunan mutu (Fachruddin, 1997). Dendeng memiliki ketebalan yang lebih tipis dari steak, bisa dibuat dengan menggunakan bahan dari top side, knuckle, silverside, dan rump (Bahar, 2003). 2.2
Dendeng Daging Sapi Giling Menurut Badan Standardisasi Nasional (1992) dalam SNI 01-2908-1992,
dendeng berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Proses pembuatan dendeng sapi dengan cara digiling pada dasarnya sama dengan proses pembuatan dendeng sapi dengan cara diiris. Dendeng dengan cara digiling lebih meresap karena bumbu dicampur
rata bersama daging dan serat pada daging giling tidak terlihat jelas sehingga tekstur lebih halus. Dendeng yang bermutu baik harus memenuhi spesifikasi persyaratan mutu seperti pada dendeng sapi, sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima di pasaran dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Spesifikasi persyaratan mutu dendeng dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng No
Jenis
Persyaratan
Mutu I 1 Warna dan aroma Khas dendeng sapi 2 Kadar air (b/b) Maks. 12 % 3 Kadar protein (b/bk) Min. 30 % 4 Abu (b/bk) Maks. 1 % 5 Benda asing (b/bk) Maks. 1 % 6 Kapang dan serangga Tidak Nampak Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1992)
Mutu II Khas dendeng sapi Maks. 12 % Min. 25 % Maks. 1 % Maks. 1 % Tidak Nampak
Purnomo dan Adiono (1984) menyatakan bahwa penambahan gula kelapa dan garam dapur dapat menurunkan aktivitas air pada dendeng dan kombinasi dengan bumbu akan membentuk cita rasa yang khas. Proses pembuatan dendeng belum dibakukan, tetapi pada umumnya menyangkut pengirisan daging dengan ketebalan 3 – 5 mm, diikuti pencampuran dengan garam, gula, serta ramuan bumbu seperti lengkuas, ketumbar, bawang putih, bawang merah yang diikuti dengan proses pengeringan sampai kadar air 25% bk. Seluruh proses tersebut dapat disarikan sebagai kombinasi antara proses kyuring dan pengeringan. Sedangkan menurut Hadiwiyoto (1994), komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng adalah
daging,
gula
merah (30%),
garam
(5%),
ketumbar/pengawet alami (2%), bawang putih (2%), sendawa (0,2%), lengkuas (1%) dan jinten (1%).
Penambahan gula pada dendeng berfungsi untuk melunakkan melalui jalan mencegah penguapan air agar tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 1994). Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 3040% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi dan kapang akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula, yang disebut osmosis dan menyebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno, 2004). Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan penambahan garam, gula dan bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan garam untuk pengawetan daging kira-kira sepersepuluh dari berat daging. Disamping sebagai pengawet, garam juga berfungsi sebagai penambah rasa dan melarutkan protein myofibril (Kementerian Riset dan Teknologi, 2000). Selain itu, bawang putih sering digunakan sebagai bumbu karena kandungan allicin yang merupakan komponen utama yang berperan dalam memberi aroma dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-kuman penyakit (bersifat anti bakteri). Bawang putih mangandung protein per 100 gram sebesar 4,5-7,0 gram. Winarno (2004) menyatakan bahwa senyawa yang menimbulkan aroma pada bawang putih adalah senyawa sulfur yang akan menimbulkan bau bila jaringan sel bawang mengalami kerusakan sehingga terjadi kontak antara enzim dalam bahan dan substrat. Ketumbar (Coriandrum sativum L) digunakan sebagai bahan rempah yang mengandung minyak atsiri dengan kandungan berbeda-beda 0-2%. Kandungan protein dalam 100 gram adalah 11 gram. Lengkuas (Alpinia galanga) mengandung berbagai jenis minyak atsiri diantaranya kamfer, galengi, galangol,
dan euginol. Minyak atsiri tersebut seluruhnya menghasilkan bau yang khas. Proses pembuatan dendeng daging sapi giling dapat dilihat pada Ilustrasi 2. Daging Segar Bumbu Dicuci Digiling
Dihaluskan
Dicampur Dicetak menjadi lembaran tipis (3 mm) Diletakkan di atas rak bambu Dijemur di bawah sinar matahari (3-5 hari) atau Oven suhu 50 º -69º C (4-5 jam)
Dendeng Giling
Ilustrasi 2. Proses Pembuatan Dendeng Daging Sapi Giling (Kementerian Riset dan Teknologi, 2000) 2.3
Jamur Secara umum jamur dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu
kapang (mold), khamir (yeast), dan jamur (mushroom). Ketiga kelompok jamur ini memiliki beberapa perbedaan. Kapang merupakan jamur benang/filament yang
dapat membentuk hifa dan selanjutnya menjadi miselium. Khamir merupakan jamur uniseluler berbentuk ovel, spherik, atau silinder, tidak dapat membentuk hifa atau miselium melainkan bereproduksi dengan membentuk tunas. Jamur (mushroom) merupakan benang/filament, mampu membentuk struktur besar yang disebut tubuh buah (Brock dan Madigan, 1991). Menurut Fardiaz (1992), fungi (jamak) atau fungus (tunggal) adalah suatu organisme eukariotik yang mempunyai ciri-ciri spesifik sebagai berikut : 1. Mempunyai inti sel 2. Memproduksi spora 3. Tidak mempunyai klorofil sehingga tidak dapat melakukan fotosintesis 4. Dapat berkembang biak secara seksual maupun aseksual. 5. Beberapa mempunyai bagian-bagian tubuh berbentuk filamen dengan dinding sel yang mengandung selulosa atau khitin, atau keduanya.
A. Klasifikasi Jamur Jamur
merupakan
golongan
Thallophyta
yang
tidak
berklorofil.
Alexopoulus (1962) dalam Dwidjoseputro (2003) menyatakan gambaran dari golongan jamur yang dibagi atas : 1. Phylum Schizomycophyta (Bakteri) 2. Phylum Myxomycophyta (Jamur lendir) 3. Phylum Eumycophyta (Jamur benar) Phylum Eumycophyta terbagi atas 4 kelas, yaitu : 1. Kelas Phycomycetes (Jamur ganggang). 2. Kelas Ascomycetes 3. Kelas Deuteromycetes atau Fungi imperfect
4. Kelas Basidiomycetes Hasil penelitian Harlia, dkk., (2010) menyatakan bahwa dendeng daging sapi giling mengandung jamur Rhizopus sp, Penicillium sp, Aspergillus niger dan Mucor sp. Beberapa sifat-sifat fungi disebutkan oleh Fardiaz (1992), diantaranya : 1. Mucor Mucor sering menyebabkan kerusakan makanan. Mucor disebut fungi dimorfik karena dapat berubah dari bentuk filament menjadi bentuk seperti khamir. Pertumbuhan yang menyerupai khamir dirangsang jika kondisinya anaerobik dan dengan adanya CO2. Ciri-ciri spesifik Mucor diantaranya hifa nonseptat, sporangiofora tumbuh pada seluruh bagian miselium yang bentuknya sederhana atau bercabang, kemudian sporanya halus dan teratur. 2. Rhizopus Rhizopus merupakan kapang dengan pertumbuhan yang cepat serta membentuk miselium seperti kapas. Ciri lainnya adalah hifa nonseptat, mempunyai stolon dan rhizoid yang warnanya gelap jika sudah tua. Selain itu Rhizopus sering disebut kapang roti karena sering tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada roti. 3. Aspergillus Aspergillus tersebar luas di alam, dan kebanyakan sepses menyebabkan kerusakan makanan, tetapi ada beberapa spesies yang digunakan dalam fermentasi makanan. Ciri-ciri spesifik Aspergillus diantaranya hifa berseptat dan miselium bercabang, biakannya tidak berwarna, yang terdapat di bawah permukaan merupakan hifa vegetatif, sedangkan yang muncul di permukaan merupakan hifa fertil. Selain itu koloninya kompak.
4. Penicillium Penicillium banyak tersebar di alam dan penting dalam mikrobiologi pangan. Kapang ini sering menyebabkan kerusakan pada sayuran, buahbuahan, dan serelia. Penicillium juga digunakan dalam industri untuk memproduksi antibiotik, misalnya penicillin. Penicillium dibedakan atas beberapa grup dan subgrup, dan terdiri dari banyak spesies. Jenis ini dibedakan atas beberapa grup besar berdasarkan percabangan dari kepala yang membawa spora yang disebut penisili. Kebanyakan spesies yang ditemukan pada makanan, penisilinya berbentuk kompleks dan tidak simetris.
B. Identifikasi Jamur Menurut Fardiaz (1992), identifikasi jamur biasanya dilakukan dengan melihat morfologinya. Sifat-sifat yang digunakan untuk identifikasi jamur adalah sebagai berikut : 1. Hifa septat atau nonseptat 2. Miselium bening atau keruh 3. Miselium berwarna atau tidak berwarna 4. Memproduksi atau tidak memproduksi spora seksual dan jenis sporanya yaitu oospora, zigospora, arkospora. 5. Jenis spora askesual: sporangiospora, konidiospora, atau arthrospora (oidia). 6. Ciri-ciri kepala pembawa spora a. Sporangium : ukuran, warna, bentuk, lokasi
b. Kepala spora pembawa konidia : tunggal, berantai, pertunasan atau kumpulan, bentuk dan rangkaian sterigmata atau filaides. 7. Penampakan spora 2.4
Lidah Buaya (Aloe vera L) Lidah buaya termasuk suku Liliaceae berasal dari Kepulauan sebelah barat
Afrika. Pada awalnya dimanfaatkan sebagai bahan baku kosmetika dan pelembab kulit. Aloe vera tumbuh pada area yang kering dan hangat, terutama di bagian selatan Eropa, Asia, dan Afrika. Aloe vera dapat ditemukan hampir di seluruh dunia dan dikenal dengan manfaatnya akan kesehatan (Purbaya, 2003). Varietas tanaman lidah buaya mencapai lebih dari 200 jenis. Dari sekian banyak varietas tersebut, Aloe vera L var chinensis dan Aloe vera varietas ferox yang paling populer. Menurut Furnawanthi (2004) taksonomi dari Aloe vera L dalam dunia farmasi atau disebut juga Aloe barbadensis Miller adalah sebagai berikut. Dunia : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Liliflorae Suku : Liliaceae Marga : Aloe Spesies: Aloe vera L Lidah buaya yang dikembangkan di Pontianak adalah jenis Aloe chinensis Baker. Produk utama dari daun lidah buaya secara umum dapat dikategorikan menjadi dua produk dasar, yaitu gel dan jus atau lateks. Gel lidah buaya banyak
dimanfaatkan untuk kepentingan medis, juga dapat dijadikan makanan bergizi karena banyak mengandung asam amino terutama asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Sementara itu, pemanfaatan eksudat umumnya spesifik untuk bahan pembuat obat pencahar karena kandungan anthraquinone glycosides aloin A dan B di dalamnya (Yohanes, 2005). Adapun ciri-ciri dari tanaman ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Deskripsi Lidah Buaya Varietas Pontianak Deskripsi Asal tanaman Bentuk tanaman Lebar tajuk Umur tanaman Jumlah anakan Keadaan batang Bentuk batang Warna batang Bentuk daun
Keterangan Introduksi dari China Perdu 1,5 meter Panen antara 10-12 bulan 1-3 pendek, sebagian terbenam dalam tanah Bulat Hijau keputihan Seperti pedang dengan ujung meruncing Warna daun bagian atas hijau muda dengan dilapisi lilin dan bagian bawah hijau keabuabuan Ukuran daun panjang 40 – 60 cm, lebar bagian pangkal 8-13 cm dengan ketebalan 2 – 3 cm. Berat per daun 0,5 – 1,4 kg Tepi daun Berduri emas Warna bunga Kuning kemerahan Jumlah bunga per tandan 30-50 kuntum Kandungan air 99,5% Kadar Vitamin C 3,48 mg/100 gr Kandungan protein 0,038% Kandungan karbohidrat 0,43% Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian (2003) A.
Bagian-bagian Lidah Buaya Lidah buaya adalah tanaman obat yang bermanfaat. Pelepah lidah buaya
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu daun, eksudat, dan gel. Daun dapat digunakan secara langsung atau ekstraknya. Gel lidah buaya merupakan
lapisan parenkim berbentuk semi padat dari bagian daging daun. Gel lidah buaya dapat dibedakan secara mudah dengan lendir atau cairan eksudat yang berwarna kuning yang keluar dari pangkal daun. Tekstur gel adalah kenyal, tidak berwarna atau transparan, tidak berbau, dan rasanya tidak sepahit eksudat. Eksudat adalah getah yang keluar dari daun saat dilakukan pemotongan, berbentuk kental, berwarna kuning dan rasanya pahit. Gel mengandung berbagai zat aktif dan enzim tetapi sensitif terhadap suhu, udara, juga cahaya serta mudah teroksidasi sehingga berubah warna menjadi kuning atau coklat (Furnawanthi, 2004). B.
Kandungan Aloe vera 21Century Aloe vera (2000) dalam Ike (2004) memberikan rincian mengenai
kandungan zat aktif Aloe vera yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Zat Aktif yang Terkandung pada Lidah Buaya Zat Aktif Vitamin A, B1, B2, B6, B12, C,D, E Enzim lipase, protease, amilase, karboxipeptidase, katalase, selulase, dan peroxidase Mineral (Kalsium, Mangan, Magnesium, Seng, Kromium, Selenium) Karbohidrat (Polisakarida Acemannan)
Keterangan Untuk fungsi tubuh agar tetap normal Mampu memecah makanan dan , membantu dalam pencernaan, serta meningkatkan absoprsi nutrient Sistem enzim dalam proses metabolism tubuh
Antivirus, antibakteri, antijamur, dan dapat menghancurkan sel tumor serta meningkatkan kekebalan tubuh Antraquinon Antibakteri, antivirus, antijamur Saponin Mempunyai kemampuan sebagai antiseptik. Berfungsi sebagai antimikroba Asam Amino Gel lidah buaya mengandung 7 dari asam amino esensial yang tidak dapat disintesis tubuh. Asam Salisilat Senyawa menyerupai aspirin dengan efek antiinflamasi dan antibakteri Sterol Bahan penting sebagai antiinflamasi Sumber : 21Century Aloe vera (2000) dalam Ike (2004)