10 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Daging Ayam Broiler Daging merupakan salah satu pangan hewani asal ternak dan sudah
menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat Indonesia. Jenis daging yang dikenal terbagi menjadi dua jenis yaitu daging merah dan daging putih. Daging merah mengandung lebih banyak serat otot sempit yang cenderung beroperasi dalam waktu lama tanpa istirahat, contohnya daging dari hewan sapi, kambing, kuda, domba, dan babi, sedangkan daging putih mengandung serat yang lebih luas yang cenderung bekerja secara singkat semburan cepat, contohnya ayam. Menurut SNI daging ayam adalah otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia.
Ayam broiler atau ayam ras
pedaging, merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging (Fadilah, 2013).
Sebagai bahan pangan, daging unggas tersusun atas
komponen-komponen bahan pangan seperti protein, lemak, karbohidarat, vitamin, air, mineral, dan pigmen. Kadar air masing-masing komponen tersebut berbedabeda besarnya tergantung kepada jenis atau ras, umur, dan jenis kelamin unggas yang bersangkutan (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Produksi daging ayam broiler, pada saat ini menempati urutan pertama sebagai penyumbang ketersediaan daging ternak asal unggas di Indonesia. Kontribusi daging asal unggas memberikan persentasi yang paling tinggi, yaitu sekitar 62,5% dari total konsumsi protein hewani (Fadilah, 2013). Ditambahkan Fadhilah (2013), optimisme permintaan daging ayam broiler akan terus meningkat
11 sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus naik dari tahun ke tahun, naiknya tingkat pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran tentang perlunya asupan makanan bergizi, tuntutan gaya hidup yang terus berkembang, meningkatnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta terjadinya pergeseran pola konsumsi dari daging merah ke daging putih. Menurut Priyatno (2003), konsumsi daging ayam meningkat paling pesat dibandingkan dengan daging sapi, kambing, ataupun babi. Beberapa alasan yang menyebabkan kebutuhan daging ayam mengalami peningkatan yang cukup pesat adalah sebagai berikut; 1.
Daging ayam relatif lebih murah dibandingkan daging lainnya.
2.
Daging ayam lebih baik dari segi kesehatan karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein bila dibandingkan daging sapi, kambing, dan babi.
3.
Tidak ada agama apapun yang melarang umatnya untuk mengonsumsi daging ayam.
4.
Daging ayam mempunyai rasa yang dapat diterima golongan masyarakat dan semua umur.
2.1.1. Mutu Gizi Pangan Hewani Pada umumnya kualitas pangan hewani lebih baik dibanding pangan nabati. Protein hewani mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap dan seimbang dibandingkan dengan protein nabati. Pangan hewani terutama pangan asal ternak seperti daging, telur, dan susu konsentrasi dan imbangan asam amino esensial sesuai kebutuhan tubuh manusia untuk pertumbuhan, reproduksi, dan fungsi-fungsi tubuh lainnya (Kamaruddin,
12 1990).
Bahan pangan hewani sebagai salah satu komponen bahan pangan
memiliki beberapa keunikan; 1.
Mempunyai komposisi asam esensial yang lebih lengkap dibandingkan dengan pangan nabati yang kandungan lisin dan methioninnya lebih rendah.
2.
Mengandung vitamin yang mudah diserap (B-12, preformed vitamin A, D-3), sedangkan pada pangan nabati hanya vitamin D-2.
3.
Mengandung zat besi yang mudah diserap (15%-20%), juga Zn, Se, Cu, dan Ca, sedangkan kandungan zat besi pangan nabati yang mudah diserap hanya 1%-15%.
4.
Nilai cerna protein dan zat besi bahan pangan hewani lebih baik dari bahan pangan nabati. Sebanyak 20% nitrogen dikeluarkan dalam tinja dari bahan pangan hewani yang dikonsumsi (nilai cerna 90%), sedangkan dari bahan pangan nabati dikeluarkan sebanyak 35% (nilai cerna 70%-80%). Menurut Worthington dan Williams (1996) protein sangat diperlukan
sebagai pembangun dan pengganti jaringan yang rusak. Dijelaskan pula bahwa meskipun protein yang berasal dari pangan hewani harganya memang cukup mahal, namun dapat menyediakan protein yang bermutu tinggi karena mengandung asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat dibuat dalam tubuh) yang cukup lengkap dan lebih mudah diserap dibandingkan dengan protein yang berasal dari sumber pangan nabati. Mengenai kadar zat gizi pada berbagai jenis daging yang dapat dikonsumsi sebagai sumber pangan hewani (Lampiran 3).
2.2.
Mahasiswa Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi (UU RI
No. 12 Tahun 2012). Selanjutnya menurut Sarwono (1978), mahasiswa adalah
13 setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia 18-30 tahun. Mahasiswa menurut Knopfemacher dalam Sarwono (1978) merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat) dididik dan diharapkan menjadi caloncalon intelektual.
Intelektualitas dan tingkat pendidikan para mahasiswa
merupakan modal yang sangat berharga untuk bisa meraih potensi sebagai penggerak pembangunan.
2.3.
Perilaku Konsumen Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan seseorang yang
langsung terlibat dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan tersebut (Engel dkk, 1994).
Soediyono (1983)
menyatakan, teori perilaku
konsumen yang disingkat dengan teori konsumen mencoba menerangkan perilaku konsumen dalam membelanjakan pendapatannya untuk memperoleh alat-alat pemuas kebutuhan, yang dapat berupa barang-barang konsumsi ataupun jasa-jasa konsumsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku proses keputusan yaitu: (1) pengaruh lingkungan meliputi, budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi; (2) perbedaan dan pengaruh individual meliputi, sumber daya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap (preferensi) serta kepribadian, gaya hidup dan demografi; (3) proses psikoligis meliputi, pengolahan informasi, pembelajaran, serta perubahan sikap dan perilaku (Engel dkk, 1994).
14 Langkah-langkah dalam proses keputusan konsumen sebagai berikut: 1.
Pengenalan kebutuhan – konsumen mempersepsikan perbedaan antara keadaan yang diinginkan dan situasi aktual yang memadai untuk membangkitkan dan mengaktifkan proses keputusan.
2.
Pencarian informasi – konsumen mencari informasi yang disimpan di dalam ingatan (pencarian internal) atau mendapatkan informasi yang relevan dengan keputusan dari lingkungan (pencarian eksternal).
3.
Evaluasi alternatif – konsumen mengevaluasi pilihan berkenaan dengan manfaat yang diharapkan dan menyempitkan pilihan hingga alternatif yang dipilih.
4.
Pembelian – konsumen memperoleh alternatif yang dipilih atau pengganti yang dapat diterima bila perlu.
5.
Hasil – konsumen mengevaluasi apakah alternatif yang dipilih memenuhi kebutuhan dan harapan segera sesudah digunakan (Engel dkk, 1994).
2.4.
Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah informasi yang disimpan di dalam ingatan yang
menjadi penentu utama perilaku sesorang (Engel dkk, 1994).
Menurut
Notoatmodjo (1993) pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, elektronik, buku petunjuk, penyuluhan, atau kerabat dekat. Macam-macam pengetahuan dilihat dari Polanya Menurut Keraf (2001), yaitu:
15 a. Tahu Bahwa Pengetahuan bahwa adalah pengetahuan tentang informasi tertentu, tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu memang demikian adanya, bahwa apa yang dikatakan memang benar.
Jenis pengetahuan ini disebut juga
pengetahuan teoritis, pengetahuan ilmiah, walaupun masih pada tingkat yang tidak begitu mendalam. Pengetahuan ini berkaitan dengan keberhasilan mengumpulkan informasi atau data tertentu. Maka, kekuatan pengetahuan ini adalah informasi atau data yang dimilikinya. Seseorang yang mempunyai jenis pengetahuan ini berarti ia memang mempunyai data atau informasi akurat melebihi orang lain atau ketika orang lain tidak memiliki informasi seperti yang dimilikinya. b. Tahu Bagaimana Pengetahuan jenis ini menyangkut bagaimana melakukan sesuatu. Ini yang dikenal sebagai knowhow. Pengetahuan ini berkaitan dengan keterampilan atau lebih tepat keahlian dan kemahiran teknis dalam melakukan sesuatu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan jenis ini tidak lain berarti ia tahu bagaimana melakukan sesuatu. Dengan kata lain pengetahuan jenis ini berkatan dengan praktik, maka disebut juga pengetahuan praktis. c.
Tahu Akan/ Mengenai Yang dimaksud dengan pengetahuan ini adalah sesuatu yang sangat spesifik
menyangkut pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melalui pengalaman atau pengenalan pribadi.
Unsur yang paling penting dalam pengetahuan jenis ini
adalah pengenalan dan pengalaman pribadi secara langsung dengan obyeknya. Oleh karena itu sering juga disebut sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman. Dalam bahasa Indonesia knowing disini lebih tepat diterjemahkan sebagai kenal,
16 yaitu tahu secara pribadi, dan dalam arti dapat juga disebut sebagai pengetahuan langsung yang bersifat personal. d. Tahu Mengapa Tahu mengapa berkaitan dengan penjelasan.
Penjelasan ini tidak hanya
berhenti pada informasi yang ada sebagaimana pada ”tahu bahwa”, melainkan menerobos masuk ke balik data atau informasi yang ada. Dengan demikian ”tahu mengapa” tidak hanya puas dan berhenti dengan informasi yang ada. Subyek justru melangkah lebih jauh untuk mengetahui mengapa sesuatu terjadi sebagaimana adanya. Pengetahuan model terakhir ini merupakan pengetahuan paling tinggi dan mendalam dan sekaligus juga merupakan pengetahuan ilmiah. Pada dasarnya, manusia apalagi ilmuan, tidak hanya berhenti pada ”pengetahuan bahwa”, melainkan akan melangkah lebih jauh ke ”pengetahuan mengapa” karena manusia selalu digerakkan oleh kecenderungan dasar dalam dirinya yang selalu ingin mengetahui lebih dan lebih lagi. Menurut Almatsir (2002) pengetahuan gizi adalah sesuatu yang diketahui tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. Pengetahuan termasuk di dalamnya pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan pendidikan informal (Pranadji, 1988). Menurut Sumarwan (2003), konsumen yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan sangat responsif terhadap informasi, pendidikan juga mempengaruhi konsumen
17 dalam pilihan produk maupun merek.
Tingkat pendidikan juga menentukan
mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Apriadji ,1986). Namun lebih lanjut, menurut Apriadji seseorang yang hanya sekolah dasar belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan oranglain yang berpendidikan lebih tinggi. Sekalipun seorang berpendidikan rendah, tetapi orang tersebut rajin mendengarkan saran pedesaan dan selalu turut serta dalam penyuluhan gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan tinggi. Menurut Harper dkk (1986), suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan, yaitu: 1.
Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan,
2.
Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan, dan energi.
3.
Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan.
Menurut Nasoetion dan Khomsan
(1995), pengetahuan gizi menjadi landasan yang menentukan konsumsi pangan. Individu yang memiliki pengetahuan baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan, sehingga konsumsi pangan mencukupi kebutuhan.
18 Menurut Jerome dkk (1980), pengetahuan tentang gizi turut menentukan gaya hidup dan akhirnya menentukan perilaku konsumsinya. Soewando dan Sadli (1990) mengatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi berhubungan erat dengan pendidikan formal ibu. Dengan semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu akan semakin luas wawasan berfikirnya sehingga akan lebih banyak informasi zat gizi yang dapat diserap. Pengetahuan gizi bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat ke arah konsumsi pangan yang sehat dan bergizi. Jika pengetahuan gizi tinggi, maka ada kecenderungan untuk memilih makanan yang lebih murah dengan nilai gizi lebih tinggi (Husaini, 1983). Menurut Suhardjo (1989), penyebab penting gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Hardiansyah (1985), mengatakan bahwa keterbatasan pengetahuan dapat mempengaruhi tingkah laku konsumen dalam memenuhi kebutuhannya.
2.4.1. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Konsumsi Pangan Makanan merupakan salah satu kebutuhan vital yang diperlukan oleh seluruh makhluk hidup. Bagi manusia, makanan tidak hanya berfungsi untuk mengenyangkan, tetapi yang lebih penting lagi adalah fungsinya dalam memelihara kesehatan tubuh melalui manfaat zat-zat gizi yang terkandung didalamnya. Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Notoatmojo, 2003).
19 Kesehatan tubuh yang optimal, dapat diperoleh melalui kualitas susunan makanan yang baik dan jumlah makanan yang seharusnya dimakan. Pengetahuan gizi mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan kebiasan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper dkk, 1986). Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan pengetahuan tentang peran makanan dan gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit, cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang
diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati dkk, 1992). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengetahuan umum maupun pengetahuan gizi dan kesehatan akan mempengaruhi komposisi dan pola konsumsi pangan. Dikatakan pula bahwa kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan seharihari dapat mengakibatkan gangguan gizi. Khumaidi (1989) menyatakan bahwa pengetahuan gizi akan berhasil jika disertai suatu pengetahuan tentang sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai dari masyarakat (budaya). Pengetahuan gizi yang tidak memadai, kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik, serta pengertian yang kurang tentang kontribusi gizi dari berbagai jenis makanan akan menimbulkan masalah kecerdasan dan produktifitas.
Peningkatan pengetahuan gizi bisa dilakukan dengan program
pendidikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah. Program pendidikan gizi dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku anak terhadap kebiasaan makannya (Soekirman, 2000).
20 Angka Kecukupan Gizi (AKG) merupakan kecukupan rata-rata zat gizi sehari bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia, AKG disusun dalam WNPG setiap 5 tahun sekali sejak tahun 1978. Kegunaan AKG yang dianjurkan adalah untuk; 1) menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi makanan bagi penduduk, 2) perencanaan dalam pemberian makanan tambahan maupun perencanaan makanan institusi, 3) perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional, 4) acuan pendidikan gizi, dan 5) acuan label pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi. Rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia tahun 2013 masing-masing sebesar 2150 kilo kalori dan 57 gram protein perorang perhari pada tingkat konsumsi. Sedemikian besarnya kegunaan AKG sehingga telah ditetapkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Permenkes tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 November 2014 dan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.5.
Pendapatan Pendapatan adalah suatu tambahan ekonomis seseorang yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan atau untuk menambah harta kekayaan yang dimilikinya. Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya.
Pendapatan seseorang dapat diperoleh dari
berbagai sumber, seperti hasil dari upah kerja yang dilakukan atau mungkin
21 berasal dari pihak yang dianggap masih memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari contohnya pendapatan yang berasal dari kedua orang tua (Koentjaraningrat, 1997). Seorang mahasiswa pada umumnya memiliki sumber pendapatan paling besar berasal dari kedua orangtuanya. Maka, mahasiswa harus mampu memenuhi segala kebutuhannya sehari-hari dengan uang yang diterimanya.
Jumlah
pendapatan akan menggambarkan besarnya daya beli dari seorang konsumen (Sumarwan, 2003). Menurut Berg (1986) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas pangan yang dibeli.
Keluarga dengan tingkat
pendapatan tinggi dapat membeli pangan yang lebih beragam dan dalam jumlah yang cukup banyak serta kualitas yang baik dibandingkan dengan tingkat pendapatan rendah. Pendapatan mereka terbatas oleh kemampuan kedua orangtua mereka dalam memberikan uang bagi mereka. Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk bahan makanan (BPS, 1998). Manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pangan maupun nonpangan.
Untuk memenuhi kebutuhan itu diperlukan biaya yang
diperoleh dari pendapatan keluarga. Menurut Koentjaningrat (1977) hal tersebut akan mempengaruhi prioritas pendapatan keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpendapatan rendah.
Pekerjaan orangtua juga berpengaruh terhadap
alokasi pengeluaran keluarga berdasarkan pendapatan yang diperoleh. Uang saku merupakan bagian pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan kepada manusia untuk keperluan harian, mingguan atau bulanan.
22 Pemberian uang saku kepada anak memberikan pengaruh kepada anak untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab terhadap uang saku yang dimilikinya (Koentjaraningrat, 1997). Harper dkk (1986), menyatakan bahwa pada umumnya jika pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik.
Rasyaf (1996),
mengemukakan bahwa dahulu saat pendapatan rata-rata masyarakat rendah, produk peternakan hanya disentuh oleh orang kota saja.
Namun setelah
pendapatan bertambah maka produk lainnya yang sederhana dan murah mulai tersingkir oleh menu daging ayam dengan berbagai variasinya. Konsumen
berusaha
untuk
memuaskan
keinginannya
dengan
menggunakan pendapatannya untuk memperoleh produk dan jasa. Beberapa dari keinginan
tersebut
mungkin
tidak
terpuaskan
dikarenakan
keterbatasan
pendapatan. Problema bagi konsumen dengan tingkat pendapatan yang terbatas adalah untuk membuat pilihan antara produk dan jasa tersebut sehingga terpuaskan keinginannya (Donald dan Malone, 1981). Pendapat Lumsden dkk (1974), tentang konsumen yang pendapatannya terbatas adalah bahwa tidak dapat membeli semua barang dan jasa yang diinginkan, tetapi berusaha untuk memperoleh kepuasan maksimal. Kemudian konsumen akan merubah pola pengeluaran dan menyesuaikannya sehingga akan memperoleh kepuasan maksimal atau konsumen berada pada keseimbangan. Tinggi rendahnya pendapatan akan mempengaruhi prioritas alokasi pengeluaran, termasuk didalamnya pengeluaran untuk pangan. Faktor lain yang sangat mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran untuk pangan selain pendapatan yang diperoleh juga pengetahuan individu tentang pangan dan gizi itu sendiri (Sajogyo, 1980).
23 2.5.1. Hubungan Pendapatan dengan Konsumsi Pangan Menurut Berg (1986) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi, kenaikan pendapatan akan dapat memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan.
Ditambahkan Suhardjo (1994) peningkatan
pendapatan mempunyai hubungan erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Caliendo (1979) mengemukakan dua hubungan pendapatan dengan konsumsi pangan, yaitu: 1) Peningkatan pendapatan akan berimplikasi peningkatan pengeluaran pangan secara absolut, tetapi cenderung menurun secara relatif (persentase), hal ini sesuai dengan teori Engel. 2) Peningkatan pendapatan akan berimplikasi perubahan pola konsumsi pangan dan mengurangi konsumsi pangan inferior. Menurut hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil.
Sebaliknya bila pendapatan menurun, persentase yang
dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman, 2000). Peningkatan pendapatan bagi kelompok berpendapatan rendah akan meningkatkan pengeluaran untuk pangan pokok, sebaliknya bagi kelompok berpendapatan tinggi pengeluaran untuk makanan pokok menurun tetapi pengeluaran untuk pangan hewani, sayur, dan buah meningkat (Andersen dkk, 1984). Soekartawi (2002) menyatakan bahwa perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang dikonsumsi. Bahkan seringkali dijumpai di masyarakat dengan bertambahnya pendapatan seseorang, maka barang yang dikonsumsi bukan saja bertambah jumlahnya tetapi juga kualitas barang tersebut.
24 Seseorang dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah. Menurut Mangkuprawira (1988), semakin tinggi daya beli rumah tangga semakin beranekaragam pangan yang dikonsumsi, semakin banyak pangan yang dikonsumsi memiliki nilai gizi tinggi.
Tingkat pendapatan yang tinggi
memberikan peluang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jumlah maupun jenisnya.
Rendahnya pendapatan menyebabkan
orang tidak mampu membeli pangan dengan jumlah yang diperlukan. Pakpahan dan Suhartini (1990), juga mengemukakan bahwa salah satu alasan penting yang menyebabkan konsumsi pangan rumah tangga lebih beragam adalah peningkatan pendapatan rumah tangga. Pendapatan dan harga pangan merupakan faktor penentu daya beli seorang konsumen. Konsumen akan memilih pangan untuk dikonsumsi sesuai dengan tingkatan daya beli yang dimilikinya. Hal ini juga berkaitan dengan harga produk tersebut. Menurut Mubyarto (1984), harga didefinisikan sebagai tingkat kemampuan suatu barang untuk ditukarkan dengan baeang lain. Perubahan harga suatu barang bertendensi menimbulkan reaksi para pembeli barang tersebut berupa berubahnya jumlah yang diminta (Soediyono, 1983). Selanjutnya dinyatakan juga pada umumnya dengan meningkatnya harga mengakibatkan berkurangnya jumlah barang yang diminta dan sebaliknya menurunnya harga mengakibatkan meningkatnya jumlah barang yang diminta. Lipsey dkk (1995), mengemukakan bahwa semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar.
Semakin tinggi harga suatu komoditi, maka semakin sedikit jumlah
25 komoditi yang diminta.
Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang
yang lebih besar bagi rumah tangga untuk memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah maupun gizinya. Pakpahan dan Suhartini (1989) menyatakan bahwa pola konsumsi masyarakat perkotaan di Indonesia, walaupun masih menunjukkan konsumsi beras masih cukup tinggi, telah menujukkan adanya kecenderungan ke arah konsumsi pangan yang lebih beranekaragam. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa salah satu faktor yang sangat penting dalam mendorong perubahan pola konsumsi tersebut adalah peningkatan pendapatan.
2.6.
Preferensi Konsumsi Preferensi berasal dari kata preference (Inggris) yang berarti “lebih suka”.
Preferensi konsumen didefinisikan sebagai suatu pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk (barang/jasa) yang dikonsumsi (Kotler, 2001). Menurut Sanjur (1982), preferensi makanan merupakan tingkat kesukaan yang didasarkan atas sikap seseorang dalam memilih dan menentukan pangan yang dikonsumsinya.
Sedangkan menurut Suhardjo (1989) yang dimaksud dengan
preferensi makanan (food preference) adalah tindakan/ukuran atau tidak sukanya terhadap makanan dan akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan emosional dengan yang memberi makan pada saat anakanak (Khumaidi, 1989). Menurut Suhardjo (1989), pangan yang dikenal dan dipelajari untuk disenangi pada masa kanak-kanak pada umumnya dilanjutkan menjadi preferensinya sampai tumbuh dewasa.
26 Makanan merupakan perangsang dari segi sensori, sedangkan karakteristik fisikokimia yang ditentukan oleh ingredien, proses, dan penyimpanan akan berinteraksi dengan indera manusia sehingga membentuk preferensi (Cardello, 1994). Fisiologi, perasaan, dan sikap terintegrasi membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan. Preferensi terhadap pangan dapat berubah-ubah, terutama pada orang-orang muda dan akan permanen apabila seseorang telah memiliki gaya hidup yang kuat. Menurut Engel dkk (1994), sikap (preferensi) bervariasi dalam intensitas (kekuatan) dan dukungan.
Sifat yang penting dari sikap adalah kepercayaan
dalam memegang sikap tersebut. Beberapa sikap mungkin dipegang dengan kepercayaan yang kuat, sementara yang lain mungkin ada dengan tingkat kepercayaan yang minimum. Sikap yang dipegang dengan penuh kepercayaan biasanya akan jauh lebih diandalkan untuk membimbing perilaku. Sikap menjadi lebih resisten terhadap perubahan bila dipegang dengan kepercayaan yang lebih besar. Sifat penting lain dari sikap adalah bersifat dinamis. Sikap dinamis dari sikap sebagian besar bertanggung jawab atas perubahan di dalam gaya hidup konsumen. Gaya hidup seseorang menunjukkan pola kehidupan orang yang bersangkutan di dunia ini sebagaimana tercermin dalam kegiatan, minat, dan pendapatnya.
Gaya hidup mencerminkan keseluruhan orang tersebut dalam
interaksi dengan lingkungannya. Gaya hidup seseorang merangkum sesuatu yang lebih daripada kelas sosial seseorang, kita dapat menduga beberapa hal mengenai perilaku orang tersebut tetapi tidak banyak mengenai kegiatan, minat, dan bakatnya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia (Kotler dan Amstrong, 2008).
27 2.6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Preferensi Konsumsi\ Menurut Sanjur (1982), ada tiga faktor utama yang mempengaruhi preferensi seseorang terhadap suatu jenis pangan, yaitu: 1. Karakteristik individu, yaitu umur, jenis kelamin, dan pendidikan. 2. Karakteristik pangan itu sendiri, yaitu rasa, aroma, harga, dan penampakan. 3. Karakteristik lingkungan, yaitu musim, pekerjaan, dan tingkat sosial dalam masyarakat. Sedangkan menurut Shepherd dan Spark (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi food preference dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1.
Faktor intrinsik, seperti penampakan, aroma, temperatur, tekstur, kualitas, kuantitas, dan cara penyajian makanan.
2.
Faktor ekstrinsik, seperti lingkungan, iklan produk, variasi waktu, dan musim.
3.
Faktor biologis, fisiologis, dan psikologis, seperti umur, jenis kelamin, perubahan fisiologis, pengaruh psikologis, dan aspek biologis.
4.
Faktor personal, seperti tingkat harapan, pengaruh dari orang lain, kepribadian, selera, suasana hati, emosi, dan persepsi.
5.
Faktor sosial ekonomi, seperti pendapatan keluarga, harga makanan, status sosial, dan keamanan.
6.
Faktor pendidikan, seperti status pengetahuan individu dan keluarga, dan pengetahuan tentang gizi.
7.
Faktor kultur, agama, dan daerah, seperti asal kultur, latar belakang agama, kepercayaan, tradisi serta letak daerah. Fakor-faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen terhadap suatu produk
pangan menurut Schaffner dkk (1998) dapat dikelompokkan sebagai berikut:
28 1.
Faktor individual, yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, standar hidup, keadaan fisiologis dan psikologis.
2.
Faktor sosial, yaitu pengaruh keluarga dan kelompok sosial di masyarakat.
3.
Faktor kebudayaan, yaitu jenis etnis, kultur, dan tingkat kesukaan regional.
4.
Faktor mutu produk, yaitu mutu, ketersediaan, dan teknologi pengolahan pangan. Menurut Kotler (2001), pilihan konsumen terhadap suatu produk
dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, sosial, pribadi, dan psikologi. Adapun penjelasan daro faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Faktor-faktor kebudayaan Kebudayaan adalah faktor penentu keinginan perilaku seseorang yang paling
mendasar. Seseorang yang dibesarkan dalam suatu masyarakat, akan mempelajari seperangkat nilai dasar, persepsi, dan perilaku melalui sebuah proses sosialisasi yang melibatkan keluarga dan lembaga penting lainnya. Setiap budaya mempunyai kelompok-kelompok sub-budaya yang lebih kecil, yang merupakan identifikasi dan sosialisasi yang khas untuk perilaku anggotanya. Menurut Kotler (2001), terdapat empat macam sub-budaya, yaitu: a.
Kelompok kebangsaan, seperti Amerika, Eropa, Asia yang dijumpai dalam kelompok-kelompok besar dan menunjukkan cita rasa dan kecerdasan suku bangsa yang berbeda.
b.
Kelompok keagamaan, seperti Islam, Khatolik, Yahudi menampilkan sub-budaya dengan preferensi budaya dan larangan-larangan khas.
c.
Kelompok-kelompok etnis, seperti etnis Melayu dan etnis Tionghoa yang mempunyai gaya budaya dan sikap yang berbeda.
29 d.
Wilayah-wilayah geografis, seperti California, New England, merupakan sub-budaya yang berbeda dengan ciri-ciri gaya hidupnya.
Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Kelas sosial menunjukkan perbedaan pilihan produk dan merk dalam suatu bidang tertentu seperti pakaian, perabot rumah tangga, aktivitas waktu senggang dan mobil. Seringkali produk pangan dipilih karena dihubungkan dengan kultur yang bisa ditabukan dengan alasan religius (agama) atau dengan alasan non religius (Schaffner dkk, 1998).
Menurut Engel dkk (1994), lingkungan memiliki
pengaruh terhadap proses keputusan konsumen. Budaya yaitu nilai, gagasan, dan simbol-simbol yang bermakna dan membantu konsumen dalam memilih produk yang akan digunakannya. Pantangan ialah suatu larangan untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahawa atau hukuman apabila dilanggar. Pantangan berdasarkan larangan agama bersifat absolut dan tidak bisa ditawar lagi oleh penganut agama tersebut. Selain pantangan karena agama, ada juga pantangan yang sudah diwariskan dari leluhur melalui orang tua dan akan berlanjut sampai generasi-generasi berikutnya. Individu yang menganut pantangan ini biasanya percaya bahwa pantangan tersebut dilanggar akan memberikan kerugian yang menurutnya sebagai suatu hukuman (Suhardjo, 1989). Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip gizi.
Berbagai budaya
memberikan peran dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan dan makanan,
30 misalnya bahan-bahan makanan tertentu karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial (Suhardjo, 1989). Menurut Yulianti dkk (2002), adanya unsur budaya tersebut secara lambat laun mampu menciptakan kebiasaan makan. 2.
Faktor-faktor sosial Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti
keluarga, kelompok referensi, status dan peranan sosial. a. Keluarga Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang palimg penting dalam masyarakat.
Keluarga dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu keluarga orientasi (terdiri dari orangtua, anak, dan saudara kandung) dan keluarga prokreasi (terdiri dari seseorang atau beberapa orang yang tinggal mandiri).
Pada keluarga orientasi orangtua memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap sikap dan perilaku membeli dari anaknya, sedangkan keluarga prokreasi dipengaruhi langsung oleh sikap dan perilaku dari masing-masing individunya. b. Kelompok referensi Kelompok referensi adalah semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Kelompok referensi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kelompok referensi primer (seperti keluarga, teman, saudara, dan tetangga) dan kelompok referensi sekunder (seperti pakar dan kelompok formal lainnya). Pengaruh kelompok akan semakin besar pada produk yang tampak digunakan oleh orang-orang yang dihormati oleh pembeli.
31 c. Peran dan status Sepanjang hidupnya seseorang berpartisipasi dalam banyak kelompok. Posisi seseorang dalam setiap kelompok tersebut dapat didefinisikan dalam peran dan status. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang, sedangkan status adalah kedudukan seseorang dalam kelompok tersebut. 3.
Faktor-faktor pribadi Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh ciri-ciri kepribadiannya
termasuk umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi ekonomi, gaya hidup. a. Umur Silkus hidup seorang konsumen akan ditentukan oleh usianya. Sejak lahir ke dunia, seorang manusia telah menjadi konsumen.
Ia terus menjadi
konsumen dengan kebutuhan yang berbeda sesuai dengan usianya. Kotler (1991) menyatakan bahwa umur dapat mempengaruhi selera seseorang terhadap beberapa barang dan jasa. b. Jenis kelamin Jenis kelamin telah menjadi dasar segmentasi pasar yang digunakan pada berbagai produk. Suhardjo (1989), menyatakan perempuan dengan tingkat kegiatan fisik yang sama dan ukuran tubuh yang kecil dibandingkan lakilaki membutuhkan lebih sedikit energi. Kebiasaan makan remaja juga dipengaruhi peningkatan minat pada penampilan diri. Remaja putri yang lebih menginginkan bentuk tubuh langsing sedangkan remaja putra menginginkan memiliki tubuh tinggi, kuat, tampak berotot, sehingga mendorong pada kebiasaan maka yang salah (William, 1983).
32 c. Pribadi Menurut
Suhardjo
(1989),
faktor
pribadi
dan
kesukaan
yang
mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi diantaranya adalah banyaknya informasi yang dimiliki seseorang tentang kebutuhan tubuh akan gizi selama beberapa masa dalam perjalanan hidupnya, dan kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan pangan. d. Pendapatan Keluarga Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya. Jumlah pendapatan akan menggambarkan besarnya daya beli dari seorang konsumen (Sumarwan, 2003). Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan yang lebih beragam dan dalam jumlah yang cukup banyak serta kualitas yang baik dibandingkan
dengan
tingkat
pendapatan
rendah.
Keadaan
ini
memungkinkan terdapatnya hubungan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi makan seseorang. Rasyaf (1996), mengemukakan bahwa dahulu saat pendapatan rata-rata masyarakat rendah, produk peternakan hanya disentuh oleh orang kota saja.
Namun setelah pendapatan
bertambah maka produk lainnya yang sederhana dan murah mulai tersingkir oleh menu daging ayam dengan berbagai variasinya. 4.
Faktor-faktor psikologi Pilihan membeli seseorang juga dipengaruhi oleh empat faktor psikologis
utama, yaitu; (1) motivasi, (2) persepsi, (3) belajar, (4) kepercayaan dan sikap. Seseorang memiliki banyak kebutuhan bersifat biogenis yang muncul dari tekanan biologis seperti rasa lapar, haus, dan tidak nyaman. Kebutuhan lain bersifat
33 psikogenis yang muncul dari tekanan psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, atau rasa memiliki. Suatu kebutuhan akan menjadi motif jika ia didorong hingga mencapai tingkat intensitas yang memadai. Motif adalah kebutuhan yang cukup mendorong untuk bertindak dan dengan memuaskan kebutuhan tersebut ketegangan akan berkurang. Seseorang yang termotivasi siap untuk bertindak. Bagaimana seseorang yang termotivasi bertindak akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap situasi tertentu. Persepsi merupakan pandangan individu terhadap suatu objek sehingga individu tersebut memberi reaksi atau respon yang berhubungan dengan penerimaan atau penilaian. Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian yang berakibat terhadap motivasi, kemauan, tanggapan, perasaan, dan fantasi terhadap stimulus (Kotler, 1997). Persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik teatpi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan inividu yang bersangkutan. Pembelajaran meliputi perubahan dalam perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Sebagian besar perilaku manusia adalah hasil belajar. Ahli teori pembelajaran yakin bahwa pembelajaran dihasilkan melalui perpaduan kerja dorongan, rangsangan, petunjuk, tanggapan, dan penguatan. Keyakinan (belief) adalah pemikiran deskriptif yang dianut seseorang tentang suatu hal. Keyakinan ini membentuk citra produk dan merek, dan orang akan bertindak berdasarkan citra tersebut. Sikap (attitude) adalah evaluasi, perasaan emosional dan kecenderungan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dan bertahan lama dalam diri seseorang terhadap beberapa obyek atau gagasan. Sikap mengarah orang-orang berperilaku cukup konsisten terhadap obyek yang serupa (Kotler, 2001).
34 2.7.
Pola Konsumsi Pola konsumsi menurut Suhardjo (2006) merupakan cara bagaimana
makan diperoleh, jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah makanan yang mereka makan dan pola hidup mereka, termasuk beberapa kali makan atau frekuensi makan. Menurut Magaret Mead dalam Almasiter (2002) mengemukakan bahwa pola pangan (food pattern) adalah cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan ekonomi dan sosial budaya yang dialaminya. Pola konsumsi adalah tingkah laku manusia oleh kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan pangan; meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Sikap berdasarkan pada nilai-nilai afektif yang berasal dari lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi. Sedangkan kepercayaan orang yang berkaitan dengan nilai-nilai kognitif selanjutnya pemilihan makanan berdasarkan sikap dan kepercayaan merupakan proses psikomotor. Hermanto (1985) menyatakan, pola konsumsi adalah alokasi pendapatan yang dikeluarkan untuk pembelikan bahan pokok dan untuk pembelian bahan sekunder. Menurut Kamaruddin (1990), pola konsumsi ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kondisi geografi, agama, tingkat sosial ekonomi, pengetahuan akan pangan dan gizi, serta kesediaan pangan. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Mudanijah, 2004). Pola konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu (Aritonang, 2004).
35 Menurut Hoang dalam Aminah (2005), pola konsumsi adalah bebagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Magrabi dkk (1991), pola konsumsi
merupakan cara mengkombinasikan elemen konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan. Menurut Khumaidi (1989) pola konsumsi makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan.
Sikap seseorang
terhadap makanan dapat bersifat positif maupun negatif. Sikap ini bersumber pada nilai-nilai afeksi yang berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial, ekonomi) dimana dia tumbuh. Kepercayaan (belief) seseorang terhadap makanan adalah nilai-nilai kognisi yang berkaitan dengan kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak menarik, sedangkan pemilihan adalah proses psikomotorik untuk memilih makanan yang sesuai dengan sikap dan kepercayaan.
Pada saat
seseorang memilih makanan, maka orang tersebut akan berperan sebagai konsumen yang memilih produk yang akan dipilihnya. Konsumen dihadapkan pada memilih dan menggunakan pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku konsumsi yang secara terus menerus dan berulang dilakukan menjadikan suatu kebiasaan. Kebiasaan makan ini merupakan bagian yang dapat menggambarkan pola konsumsi makan seseorang. Menurut Powers (1980), hal ini sulit diubah atau jika secara mendadak diganti akan menimbulkan reaksi atau tidak begitu saja mudah diterima. Ditambahkan Khumaidi (1994), bahwa kebiasaan makan erat kaitannya
36 dengan penyediaan makanan, karena akan mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi untuk mencukupi kebutuhan zat gizi. Frekuensi makan yang baik adalah tiga kali dalam sehari yang terdiri dari sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Menurut Khomsan (2003), apabila kita makan hanya satu atau dua kali per hari, sulit secara kuantitas dan kualitas untuk memenuhi kebutuhan gizi. Keterbatasan lambung menyebabkan kita tidak bisa makan sekaligus dalam jumlah yang banyak. Berdasarkan waktu makan, kebiasaan dibagi menjadi tiga, yaitu sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Sarapan pagi ialah makan di waktu pagi dengan tujuan untuk perisapan beraktivitas. Sarapan pagi biasanya lebih sedikit karena selera makan belum begitu besar. Makan siang artinya makan di waktu siang dengan tujuan untuk menghilangkan rasa lapar setelah beraktivitas. Makan siang biasanya paling sering dilakukan sebab pada umumnya aktivitas sejak pagi membuat individu merasa lapar sehingga selera makan sangat tinggi. Makan malam artinya makan pada waktu malam dengan tujuan untuk mempersiapkan terjadinya proses pembakaran untuk menghasilkan energi yang diperlukan pada saat tidur.
Karena dalam keadaan tidur, energi tersebut
dipergunakan untuk menggerakan paru-paru, jatung, serta organ tubuh lainnya. Selain itu, terdapat juga kebiasaan makan camilan, yaitu masakan yang dimakan sepanjang hari tidak terbatas waktu, tempat, dan jumlah yang dimakan. Tujuannya ialah untuk pengurangan rasa lapar walaupun tidak mutlak, menambah zat-zat yang tidak ada atau kurang pada makanan utama dan lauk-pauknya, serta sebagai hiburan (Moertjipto, dkk, 1993) Jenis makanan perlu diperhatikan karena untuk memenuhi kebutuhan makanan individu, diperlukan pemenuhan gizi yang seimbang. Makanan yang
37 beragam, bergizi, dan berimbang merupakan hal yang penting untuk diperhatikan oleh setiap individu dalam melakukan kebiasaan makannya. Karena tubuh tidak hanya membutuhkan satu jenis makanan saja.
Makanan yang sehat harus
mengandung unsur-unsur gizi yang diperlukan oleh tubuh.
Makanan yang
beragam dijamin dapat memberi manfaat yang lebih besar terhadap kesehatan (Khomsan dan Anwar, 2008). Periode dewasa muda merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Berbagai permasalahan yang ada pada periode remaja juga dapat terbawa hingga periode dewasa muda ini. Gangguan makan merupakan masalah uyang seringkali terlihat pada individu berada pada periode remaja. Gangguan makan adalah suatu hal yang kompleks, melibatkan keturunan genetis, faktor fisiologis, kognitif, dan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Tiga gangguan makan yang paling menonjol adalah anoreksia nervosa, bulimia, dan obesitas. Anoreksia nervosa adalah gangguan makan karena adanya keinginan yang keras untuk mendapatkan tubuh yang kurus dengan cara melaparkan diri. Anoreksia nervosa terutama terjadi pada perempuan selama masa remaja dan masa dewasa awal. Mereka terus membuat diri mereka kelaparan dan jumlah lemak di dalam tubuh terus menurun sampai batas minimum, sehingga pada kondisi ini menstruasi biasanya terhenti. Bulimia merupakan pola makan berlebihan dan memuntahkannya kembali secara teratur. Faktor-faktor sosial, psikologis, dan fisiologis diyakini menjadi penyebab gangguan makan ini. Penderita bulimia terus makan dalam jumlah banyak dan kemudian mengeluarkan dengan memuntahkannya kembali atau dengan menggunakan obat pencahar. Pada umumnya penderita bulimia adalah perempuan.
Penderita anoreksia dapat mengendalikan diri dalam hal makan,
38 sedangkan bulimia tidak. Depresi adalah karakteristik yang umum dari penderita bulimia (Santrock, 2003). Obesitas pada periode dewasa muda melibatkan pengaruh keturunan genetis, mekanisme fisiologis, faktor kognitif, dan pengaruh lingkungan. Pengaruh pola makan berat yang tinggi kalori dan rendah serat serta peningkatan teknologi merubah gaya hidup yang tanpa perlu banyak aktivitas tubuh yang menjadi penyebab masalah gizi lebih (Adiningsih, 2003).
2.7.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Menurut Randal (1982) dalam Sayuti (1992) mengatakan bahwa pola konsumsi pangan merupakan kegiatan atau perilaku makan seseorang, satu keluarga atau suatu kelompok masyarakat yang melakukan tindakan makan dan pada dasarnya dilandasi oleh beberapa faktor.
Menurut Khumaidi (1989),
terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan pada manusia, yaitu faktor ekstrinsik yang berasal dari luar diri manusia dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam diri manusia.
Faktor ekstrinsik antara lain meliputi;
lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan agama serta lingkungan ekonomi. Sementara faktor intrinsik meliputi; asosiasi emosional, keadaan jasmani, dan kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan. Menurut Kamaruddin (1990), pola konsumsi ditentukan oleh beberapa faktor seperti kondisi geografi, agama, tingkat sosial ekonomi, pengetahuan akan pangan dan gizi serta ketersediaan pangan. Sedangkan menurut Sanjur (1982) dalam Sayuti (1992) menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan, yaitu karakteristik: individu, makanan, dan lingkungan.