10 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Itik Cihateup Itik Cihateup adalah salah satu jenis unggas air yang memiliki potensi
sebagai penghasil telur dan daging di Indonesia. Menurut Srigandono (1997) dan Scanes dkk. (2004) klasifikasi itik sebagai berikut : Kingdom Subkingdom Filum Subfilum Infraphylum Superkelas Kelas Subkelas Superordo Ordo Infraordo Famili Genus Spesies
: : : : : : : : : : : : : :
Animalia Bilateria Chordata Vertebrata Gnasthostomata Tetrapoda Aves Neonithe Anserimorphae Anseriformes Anserides Anatidae Anas Anas platyrhynchos javanica
Itik Cihateup adalah itik yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Daerah Cihateup
merupakan daerah dataran tinggi sehingga itik tersebut disebut juga dengan itik gunung. Daya adaptasinya dengan lingkungan dingin yang baik, membuat itik tersebut sesuai dipelihara untuk daerah dingin atau pegunungan (Wulandari dkk., 2005; Matitaputty dan Suryana, 2014). Ciri khas itik Cihateup dari itik lainnya termasuk itik Alabio dan Mojosari adalah ukuran panjang leher, sayap, femur dan tibia yang lebih panjang.
11 Perbedaan ukuran tubuh tersebut diduga karena adanya pengaruh lingkungan pemeliharaan di kawasan penggunungan. Ukuran panjang paha, sayap dan leher serta kemampuan jalan maupun terbang yang relatif jauh merupakan ciri khas itik Cihateup (Matitaputty dan Suryana, 2014). Warna bulu bagian leher itik Cihateup jantan didominasi warna pencilled dan ekor warna polos, sedangkan paruh dan shank didominasi warna hitam. Pada itik betina warna bulu bagian leher, dada, shank dan ekor sedikit berbeda dengan jantan yakni warna laced dan buttercup, sementara pada shank dan paruh tetap didominasi warna hitam (Wulandari dkk., 2005 dalam Matitaputty dan Suryana, 2014). Fertilitas itik Cihateup sangat tinggi yaitu 90% baik melalui inseminasi buatan (IB) atau kawin alam (Matitaputty dan Suryana, 2014) dan itik Cihateup dapat memproduksi telur sampai 200 butir/ekor/tahun (Susanti dan Prasetyo, 2007 dalam Matitaputty dan Suryana, 2014).
2.2
Albumin Albumin merupakan protein plasma darah yang paling banyak di dalam
tubuh yaitu sekitar 55-60% dari protein serum yang terukur. Albumin terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino. Albumin disintesis di dalam hati yang berasal dari protein pakan. Laju produksi albumin tergantung kepada keadaan penyakit dan laju nutrisi karena albumin hanya dibentuk pada lingkungan osmotik, hormonal, dan nutrisi yang cocok (Hasan dan Tities, 2008). Sintesis albumin terjadi di hati. Laju sintesis albumin dipengaruhi oleh asupan nutrisi dan keadaan tubuh. Albumin hanya dapat disintesis jika cukup
12 nutrisi, sistem hormon, dan lingkungan osmotik. Sintesis albumin membutuhkan mRNA untuk translasi di ribosom. Penurunan konsentrasi mRNA dapat terjadi akibat penyakit dan kondisi tubuh ternak. Hormonal juga dapat mempengaruhi konsentrasi mRNA. Hormon insulin dibutuhkan dalam sintesis albumin. Suplai asam amino dibutuhkan untuk konsentrasi mRNA. Asam amino akan diaktivasi dan berikatan dengan tRNA untuk pembentukan ATP. Gen ditranskripsikan ke mRNA di dalam nukleus. Kemudian mRNA disekresikan ke dalam sitoplasma, albumin yang berikatan dengan ribosom membentuk polysome yang mensintesis preproalbumin (Nicholson dkk., 2000). Kadar albumin normal pada ayam antara 1,6-2,0 g/dL (Swenson, 1984 dalam Widhyari dkk., 2011). Albumin adalah protein yang paling melimpah di dalam plasma yang merupakan protein utama yang dihasilkan oleh hati. Albumin memiliki fungsi fisiologis dan farmakologis. Albumin berfungsi untuk membawa logam, asam lemak, kolesterol, pigmen empedu, dan obat-obatan. Albumin memiliki peranan penting dalam regulasi tekanan osmotik (Roche dkk., 2008). Albumin memiliki fungsi untuk mempertahankan tekanan osmotik darah agar tidak terjadi asites, membantu metabolisme dan transportasi substansi lipofilik, anti-inflamasi, membantu keseimbangan asam-basa, antioksidan dengan cara menghambat produksi radikal bebas eksigen oleh leukosit polimorfonuklear, mempertahankan integritas mikrovaskuler sehingga mencegah masuknya bakteri usus ke dalam pembuluh darah, serta memiliki efek antikoagulan dalam kapasitas kecil (Hasan dan Tities, 2008). Albumin berperan penting dalam menjaga tekanan osmotik dalam tubuh, Menurut Frandson (1992) dalam Rahadian dkk., (2015) albumin dapat menjaga tekanan osmotik karena albumin memiliki berat molekul yang tinggi sehingga
13 tidak dapat melintasi dinding pembuluh atau dinding kapiler dan oleh karenanya akan membantu mempertahankan cairan yang berada di dalam sistem vaskular. Albumin memelihara keseimbangan cairan di dalam pembuluh darah dengan cairan di dalam rongga interstitial dalam batas-batas normal. Kekurangan albumin dalam serum dapat mempengaruhi pengikatan dan pengangkutan senyawa-senyawa endogen dan eksogen, termasuk obat-obatan, karena fraksi albumin juga dapat berfungsi sebagai distributor obat ke seluruh tubuh (Goldstein dkk., 1968; Vallner, 1977; Tandra dkk., 1988 dalam Nugroho, 2012). Albumin bersifat antioksidan karena albumin memiliki sumber gugus sulfihidril tereduksi yang mampu mengikat oksigen reaktif. Selain itu, albumin juga mampu mengikat ion-ion besi, tembaga, kobalt, seng, dan nikel. Ion-ion tersebut merupakan katalisator beberapa reaksi kimia yang dapat menghasilkan radikal bebas (Fanali dkk., 2012).
2.3
Globulin Globulin adalah salah satu protein plasma yang memiliki fungsi antibodi
yaitu dapat melawan infeksi dan penyakit dalam tubuh.
Kekurangan kadar
globulin dalam tubuh akan mengakibatkan mudahnya tubuh terkena serangan penyakit. Dunia kedokteran telah menggunakan globulin sebagai obat injeksi bagi pasien yang kekurangan sistem imun. Globulin adalah komponen darah sangat penting karena antibodi merupakan globulin gamma (Hicks dkk., 1998). Globulin serum adalah campuran heterogen molekul-molekul elektroforesis.
protein,
α,
ß,
dan
γ-globulin
berdasarkan
mobilitas
Klasifikasi didasarkan pada struktur atau fungsinya yakni
mukoprotein, lipoprotein, protein pengikat logam dan Gamma (γ) Globulin.
14 Fraksi γ-globulin serum adalah tempat utama antibodi yang beredar, yang dinamakan Imunoglobulin. Secara elekroforesis imunoglobulin (lg) dibagi dalam 5 golongan. Diantaranya lgG yang juga dikenal sebagai γ-globulin adalah fraksi terpenting yang mengandung antibodi, terdiri kira-kira 80% dari γ-globulin (Ischak, 2013). Imunoglobulin atau antibodi merupakan glikoprotein yang disekresi oleh sel plasma sebagai respon terhadap paparan imunogen. Antibodi ini mempunyai kemampuan untuk mengikat epitop yang merangsang pembentukan antibodi tersebut. Antibodi ini terutama berada dalam fraksi γ-globulin serum (Ischak, 2013). Antibodi adalah bahan larut jenis glikoprotein disebut globulin, dibangun dari dua rantai polipeptida berat dan dua rantai polipeptida ringan, dikenal sebagai imunoglobulin. Antibodi dibentuk oleh sel plasma dari proliferasi sel limfosit B akibat adanya kontak dengan antigen. Imunoglobulin dibagi dlm 5 kelas IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE (Ischak, 2013). Globulin merupakan antibodi karena memiliki globulin gamma (Hiks dkk., 1998). Kadar globulin normal pada ayam antara 2,3-3,3 g/dL (Swenson, 1984 dalam Widhyari dkk., 2011). Pada saat cekaman panas kenaikan glukokortikoid yang akan menggangu immunitas harus dipertahankan dengan cara peningkatan globulin (Rahadian dkk., 2015).
Namun kadar globulin akan mengalami
penurunan jika tubuh berada dalam kondisi tidak nyaman dalam jangka waktu yang lama (Mushtaq dkk., 2013; Aengwanich, 2007). Kadar globulin dapat meningkat jika tubuh berada dalam kondisi infeksi kronis (paarasit, bakteri, atau virus), penyakit hati (sirosis), sindrom karsinoid,
15 radang sendi, ulkus pada kolon, leukimia, penyakit autoimun, dan gagal ginjal (Kaslow, 2010).
2.4
Metode Bromcresol Green Bromcresol green (BCG) adalah zat warna dari triphenylmethane family
(triarylmethane dyes) yang digunakan sebagai penunjuk pH dan sebagai tracking dye untuk elektroforesis gel agarose DNA. Hal tersebut dilakukan untuk mengukur kadar albumin. Metode BCG dapat memberikan penaksiran kadar albumin dan globulin yang baik karena BCG dapat berikatan dengan albumin dan juga α dan β globulin (Ilmiah dkk., 2014). Prinsip kerja dari BCG adalah BCG akan mengikat albumin dalam keadaan asam yaitu dengan pH 4,2. Plasma yang diberi BCG akan berubah warna dari kuning menjadi hijau kemudian diabsorbansi menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 630 nm (620-640) (www.biolabo.fr).
2.5
Pemeliharaan Minim Air dan Respon Fisiologi Unggas Air Pemeliharaan intensif atau disebut juga dengan pemeliharaan minim air
adalah pemeliharaan itik yang dikandangkan secara terus-menerus.
Sistem
pemeliharaan ini ternak tidak digembalakan dan tidak memiliki kolam renang atau kubangan. Unggas air termasuk itik Cihateup membutuhkan kubangan untuk melepaskan panas tubuhnya yang merupakan salah satu usaha homeostasis tubuh. Jika kubangan tidak ada, maka panas tubuh akan terperangkap dan suhu tubuh akan meningkat. Cara lain yang dapat dilakukan ternak untuk mengeluarkan panas tubuh adalah termoregulasi.
16 Termoregulasi merupakan usaha ternak dalam mengantisipasi suhu lingkungan yang berubah terhadap suhu tubuhnya.
Beberapa organ yang turut
berinteraksi dalam proses termoregulasi antara lain jantung, sistem sirkulasi, hati, ginjal dan sistem syaraf pusat. Lingkungan dalam tubuh yang dipengaruhi dengan proses termoregulasi adalah cairan internal dan eksternal tubuh yang terkait dengan pH, suhu tubuh, komposisi ion-ion (Wardhana dkk., 2015). Respon tubuh terhadap perbedaan suhu permukaan dengan suhu di dalam tubuh berupa penurunan konsumsi ransum, performan yang suboptimal, berkurangnya aktivitas, mencari tempat dingin, bertambahnya laju pernafasan, dan beberapa tingkah laku lain. Kesemuanya ini dilakukan melalui suatu proses yang dikenal dengan homeostasis (Wardhana dkk., 2015). Suhu lingkungan yang cocok untuk itik adalah 23-25oC dan mampu meningkatkan pertumbuhan itik.
Performa itik akan menurun ketika terjadi
peningkatan suhu lingkungan diatas 29oC (El-Badry dkk., 2009). Cekaman panas akan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia tubuh ternak seperti hypertermia dan penurunan protein plasma yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen. Penurunan protein plasma ini dijadikan kriteria evaluasi karena protein plasma telah dijadikan sebagai penanda ternak terkena cekaman panas (ElBadry dkk., 2009). Itik yang berada dalam keadaan tidak nyaman cenderung mengalami cekaman panas. Itik akan melakukan panting jika berada dalam cekaman panas karena itik tidak memliki kelenjar keringat. Proses panting ini akan menyebabkan itik melepaskan banyak CO2 dan itik akan kehilangan banyak air.
Menurut
Rahardja (2010) dalam Rahadian dkk., (2015) bahwa cekaman panas menyebabkan kehilangan air akan berlanjut dengan meningkatnya tekanan
17 osmotik (hiperosmolaritas) dan menurunnya volume darah (hipovolemia). Kondisi ini dilanjutkan dengan pengeluaran urin yang berlebihan guna mengurangi panas tubuh, yang dapat memacu pengeluaran mineral-mineral elektrolit (Na+, K+, Cl). Hal ini menyebabkan resistensi mineral di ginjal maka tekanan osmotik akan terganggu (Rahadian dkk., 2015). Cekaman panas juga dapat menyebabkan perubahan hormonal, ratio heterofil/limfosit (H/L), dan kadar malonaldehida (MDA). Menurut Kadir (2001) dalam Rahadian dkk., (2015) pada stres (cekaman panas) hipotalamus akan membentuk CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) yang akan menstimulasi pembentukan ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) pada hipofisa anterior yang kemudian akan menginduksi pembentukan glukorkotikoid pada kelenjar adrenal korteks. Konsentrasi hormon glukokortikoid yang meningkat merupakan salah satu penyebab profil albumin meningkat.
Hal tersebut dikarenakan hormon
glukokortikoid dibawa oleh albumin (Mushawwir dan Latipudin, 2012). Menurut Kaslow (2010) konsentrasi albumin dapat meningkat karena dehidrasi ringan, gagal
dalam
penggunaan
perombakan
protein,
dan
kelebihan
hormon
glukokortikoid. Menurut Mashaly dkk., (2004) hormon stres dapat menyebabkan gangguan pembentukan sel-sel imun. Penelitian Puvadolpiron dan Thaxton (2000); Mumma dkk. (2006) dalam Tamzil (2014) melaporkan bahwa ACTH dapat menyebabkan peningkatan rasio heterofil/limfosit (H/L) dalam darah, serta menurunkan bobot organ limfa, timus dan bursa fabricius, sehingga limfosit yang dihasilkan menjadi berkurang. Akibatnya antibodi yang dihasilkan oleh limfosit tersebut (antara lain gamma globulin) menjadi lebih rendah.
Menurunnya jumlah limfosit
18 mengakibatkan meningkatnya rasio H/L. Semakin tinggi angka rasio H/L maka semakin tinggi pula tingkat cekaman sebagai bentuk stres pada unggas (Kusnadi, 2008). Penelitian Maini dkk., (2007) dalam Kusnadi (2008) melaporkan bahwa ternak yang berada dalam pada kondisi cekaman panas akan mengalami peningkatan kadar malonaldehida (MDA). MDA merupakan produk sampingan dari peroksidasi lipid sebagai indikator tingginya cekaman oksidatif karena tingginya radikal bebas akibat cekaman panas (Feng dkk., 2008 dalam Kusnadi, 2009). Peroksidasi lipida dapat merusak lipida dengan menghasilkan antara lain (MDA) dan 4-hidroksinonenal.
Kedua senyawa tersebut dapat menyebabkan
kerusakan pada protein berupa mudahnya protein mengalami lisis (Supartondo, 2002 dalam Kusnadi, 2008). Total protein termasuk albumin dan globulin akan mengalami peningkatkan ketika infeksi kronis, hypofungsi dari kelenjar adrenal, kegagalan fungís hati, penyakit kolagen pada buluh darah, hypersensitif (alergi), dehidrasi, penyakit saluran pernafasan (sesak nafas), hemolisis, kecanduan alkohol, leukemia. Total protein termasuk albumin dan globulin akan akan mengalami penurunan ketika malnutrisi dan malabsorbsi, penyakit hati, diare kronis maupun non kronis, terbakar, ketidakseimbangan hormon, penyakit ginjal (proteinuria), rendahnya albumin, rendahnya globulin, bunting (Kaslow, 2010). Kadar albumin dan globulin plasma mengalami peningkatan ketika terjadi cekaman panas dan ketidakseimbangan elektrolit mineral dalam jangka pendek, kemudian kadar albumin dan globulin berangsur menurun dengan jangka waktu cekaman panas yang lama (Mushtaq dkk., 2013; Aengwanich, 2007).
19 2.6
Kitosan Iradiasi Kitosan adalah polisakarida linear hasil deasetilasi kitin yang memiliki
struktur molekul α (1→4) linked 2-amino-2-deoxy-β-D glucopyranose. Kitosan bersifat biodegradable, biocompatible, dan tidak bersifat toksik sehingga telah digunakan dalam proteksi tumbuhan sebagai anti jamur dan imunitas (IAEA, 2014).
Ilustrasi 1. Struktur Kitosan Kitin memiliki struktur molekul β(1-4)-linked 2-acetamido-2-deoxy-β-Dglucose1(N-acetylglucosamine) yang merupakan bahan konstituen organik yang penting dalam penyusunan kulit hewan golongan arthropoda. Kitin diperoleh melalui proses deamineralisasi dan deproteinasi. Deamineralisasi adalah proses penghilangan gugus gugus mineral menggunakan asam kuat yaitu larutan HCl. Deproteinasi adalah proses penghilangan gugus protein menggunakan basa kuat yaitu menggunakan larutan NaOH.
Kitin dihilangkan gugus asetilnya
menggunakan larutan NaOH sehingga dihasilkan kitosan. (Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2013). Kitosan mudah larut dalam media asam encer, namun sangat sukar bila larut dalam air, oleh karena itu modifikasi kitosan sangat penting untuk meningkatkan biodegradabilitasnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menurunkan berat molekul kitosan (Erizal, 2012).
20 Cara reaksi enzimatis dapat dilakukan untuk menurunkan berat molekul kitosan. Namun, kelemahan penggunaan enzim adalah prosesnya tidak mudah dan harga enzim yang mahal.
Cara populer yang dilakukan saat ini adalah
penggunaan iradiasi gamma dan elektron (Erizal, 2012). Menurut Abraham dkk., (2010); Maity dkk., (2009); Kyriakos dan Rignakos (2010); Mrad dkk., (2010); David (2010) dalam Erizal (2012) menyatakan bahwa iradiasi gamma dan elektron sudah populer dimanfaatkan untuk sterilisasi di bidang kesehatan dan pengawetan makanan. Keunggulan dari iradiasi gamma dan elektron ini adalah prosesnya relatif cepat, tidak ada residu yang tersisa, dan dosis iradiasi dapat diatur sesuai keperluan (Erizal, 2012). Kitosan iradiasi yang dihasilkan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta Selatan adalah kitosan yang dilakukan penyinaran dengan sinar gamma kobalt-60 pada dosis 75 kGy dan laju dosis 5 kGy/jam. Hal ini sesuai dengan patent BATAN No. IDP 000034713 tahun 2013 No.3. Sehingga kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul (Mv) rendah yaitu 7-14 kD dan dapat larut dengan asam organik seperti asam asetat (Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2013). Sifat dan karakteristik kitosan dipengaruhi oleh berat molekul dan derajat deasetilasi. Menurut Muzzarelli (1985) dan Austin (1988) dalam Trisnawati dkk., (2013). Kitosan berwarna putih sampai kuning pucat. Kitosan memiliki kadar abu <1% dan kadar air 2-10% serta kitosan hanya dapat larut pada pH ≤6. Karakteristik kitosan iradiasi dari BATAN juga disajikan di Lampiran 4. Kitosan merupakan bahan alam dengan struktur polimer linier dan mempunyai gugus reaktif amino dan hidroksil. Kitosan bersifat aman dan ramah lingkungan sehingga banyak digunakan digunakan dalam berbagai bidang.
21 Kitosan memiliki anti mikroba, anti jamur, dan anti virus pada beberapa mikroorganisme (Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2013). Kitosan mampu memperbaiki pencernaan hewan dengan mengurangi absorpsi lemak dari saluran pencernaan ternak dengan mengikat gugus karboksil lemak sehingga meningkatkan pertumbuhan.
Kitosan mempunyai aktifitas
imunologik seperti dapat mengaktivasi makrofage sehingga meningkatkan sistem imun (Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2013). Penelitian Xu dkk. (2013) dengan pemberian kitosan dapat meningkatkan struktur morfologi usus kecil pada babi (non ruminansia), yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan panjang villivilli usus kecil. Hasilnya nutrisi lebih maksimal diserap oleh usus halus. Pemberian kitosan dapat meningkatkan pertumbuhan, kadar total protein, albumin darah, imunoglobulin dan menurunkan kadar nitrogen urea. Senyawa aktif kitosan dapat memperbaiki struktur villi sehingga meningkatkan anabolisme nutrisi.
Gugus amino dan hidroksil mampu mengaktifkan makrofage serta
menstimulasi antibodi dan lisozim sehingga meningkatkan kadar imunoglobulin (Wang dkk., 2011).