PENDAHULUAN Latar Belakang Itik berperan sebagai penghasil telur dan daging. Ternak itik sebagai sumber penyedia daging dan telur telah dipopulerkan di Indonesia dan juga dibeberapa negara lain di Asia untuk menjadi ternak unggas komplementer bagi ternak ayam. Populasi itik di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 40.675.995 ekor dan selanjutnya mengalami kenaikan yang tajam pada tahun 2010, 2012 dan 2013 yaitu sebanyak 44.301.805 ekor, 44.356.543 ekor dan 46.312.661 ekor (Anonimus, 2013). Ternak itik menyumbangkan 38.700 ton atau setara dengan 3% dari produksi daging unggas nasional atau sekitar 2% dari produksi daging nasional (Ketaren, 2007). Kebutuhan masyarakat terhadap daging itik akhir-akhir ini cenderung mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan menjamurnya kuliner, rumah makan, katering, hingga restoran dan hotel yang menyediakan menu daging itik yang akhirnya menyebabkan permintaan terhadap karkas itik juga meningkat. Fenomena semakin bertambahnya beberapa restoran maupun rumah makan yang menyajikan daging itik khususnya di kota-kota besar di Indonesia dapat memberi dorongan bagi kalangan
peternak untuk lebih meningkatkan usaha
pemeliharaan itik sebagai penghasil daging (Maijon, 2011). Sebagian besar daging itik yang dikonsumsi berasal dari hasil penggemukan itik jantan dan itik afkir (Ketaren, 2007). Adanya peluang dalam usaha ternak itik pedaging juga menjadikan usaha pembesaran itik pedaging sebagai tren baru dalam usaha ternak itik. Kelebihan usaha pembesaran itik pedaging diantaranya waktu pemeliharaan usaha pembesaran itik pedaging lebih cepat daripada itik petelur yaitu 2-3 bulan sejak Day Old Duck (DOD) sudah
1
dapat dipanen. Usaha itik pedaging pada tahap pembesaran dianggap relatif lebih mudah untuk dijalankan (Wakhid, 2010). Laju perkembangan usaha pembesaran itik jantan ditentukan oleh tingkat keuntungan yang diraih dan hal ini sangat berkaitan dengan biaya pakan. Dalam usaha peternakan unggas biaya untuk pakan mencapai 65–70% dari total biaya produksi dan dari biaya tersebut 70% untuk biaya kebutuhan energi (Zuprizal, 2006), sehingga harga bahan pakan sangat menentukan biaya produksi. Oleh karena itu perlu diupayakan penghematan untuk menekan biaya produksi, dibutuhkan bahan baku yang cukup murah dan mudah didapat dengan nutrien yang cukup. Penghematan dapat dilakukan dengan menurunkan biaya bahan baku pakan dan meningkatkan efisiensinya. Salah satu alternatif untuk menurunkan biaya bahan baku antara lain mencari bahan pakan yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, tersedia secara kontinyu dan murah berupa manure ayam petelur yang berasal dari limbah peternakan. Populasi ayam ras petelur di Indonesia tahun 2012 sebesar 44.356.543 ekor (Anonimus, 2013). Ayam petelur dapat menghasilkan ekskreta sebesar 52,80 g/ekor/hari (Ensminger 1982). Potensi manure ini merupakan daya dukung bahan baku yang tersedia secara terus menerus selama populasi ayam petelur tetap stabil atau bahkan ada kecenderungan meningkat sejalan dengan permintaan yang juga meningkat. Ekskreta merupakan bahan campuran hasil ekskresi tubuh yang berasal dari pakan yang tidak tercerna dalam saluran pencernaan ditambah sisa hasil metabolisme (Ensminger, 1982). Couch (1974) berpendapat bahwa ransum yang dapat dicerna dan dimetabolisir di dalam tubuh berkisar 74% sehingga ekskreta kering masih mengandung gross energy yang belum tercerna. Wihandoyo et al. (2005) menyatakan bahwa tinja ayam mempunyai kandungan protein kasar
2
29,30%. Nilai nutrien ini meskipun bukan protein murni merupakan potensi dari manure ayam untuk dijadikan sebagai bahan pakan alternatif. Permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat dalam mengolah manure ayam sebagai bahan pakan ternak adalah bau yang berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi yang terbentuk dari penumpukan manure ayam yang masih basah dalam kondisi anaerob.
Keberadaan bau sebagai
polutan perlu dicarikan solusi, salah satu diantaranya dengan menggunakan produk Organic deodorant (OD) yang ramah lingkungan. Djuriono, (2012) menyatakan bahwa adanya penambahan OD pada manure ayam petelur mengakibatkan lingkungan kandang baunya berkurang dan penyebaran lalat terkendali. Manure yang ditambahkan OD menjadikan kandungan serat kasarnya tinggi karena bahan utama OD adalah serbuk gergaji yang difermentasi. Hal ini merupakan kendala dalam upaya pemanfaatannya sebagai bahan pakan ternak terutama unggas sebab sistem pencernaannya tunggal sehingga kemampuan rendah dalam mencerna bahan pakan yang berserat kasar tinggi. Salah satu usaha untuk menurunkan kandungan serat kasar adalah dengan cara memanfaatkan aktivitas mikroba melalui proses fermentasi. Fermentasi dapat meningkatkan protein kasar dan penurunan serat kasar pada bungkil biji jarak (Fatmawati, 2011). Hasil penelitian Latifah (2004) menunjukkan bahwa bokashi manure ayam dapat digunakan untuk mengganti sebagian ransum komersial pada ayam petelur umur 74 minggu dengan tidak menurunkan performan produksi ayam petelur. Penelitian tentang penggunaan manure ayam petelur sebagai bahan pakan ternak telah banyak dilakukan sedangkan penambahan OD pada manure ayam petelur sebagai bahan pakan belum banyak diteliti. Berdasarkan uraian
3
tersebut kajian tentang pemanfaatan manure ayam petelur yang difermentasi setelah ditambahkan OD sebagai bahan pakan alternatif pengganti pakan komersial pada pemeliharaan itik jantan umur 7-12 minggu dilakukan dalam penelitian ini.
4
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kadar nutrien hasil fermentasi manure ayam petelur yang ditambahkan Organic deodorant (OD). 2. Mengetahui
palatabilitas
bahan
pakan
manure
ayam
petelur
yang
ditambahkan Organic deodorant setelah difermentasi (MODF) sebagai bahan pakan pada itik jantan. 3. Mengetahui pengaruh penggunaan hasil fermentasi manure ayam petelur yang ditambahkan OD terhadap konsumsi pakan, pertambahan berat badan, konversi pakan dan income over feed cost (IOFC) pada itik jantan umur 7-12 minggu.
Manfaat Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang pemanfaatan bahan manure ayam petelur sebagai bahan pakan itik jantan umur 7-12 minggu, dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah peternakan ayam petelur dan membantu penyediaan bahan pakan itik berkualitas dengan harga yang lebih murah. Keberhasilan penelitian ini akan bermanfaat dalam mengupayakan harga pakan yang murah, munculnya peluang usaha produksi pakan berbasis limbah manure ayam petelur dan berperan serta dalam mewujudkan lingkungan yang lebih baik.
5