PENDAHULUAN
Latar Belakang Laju permintaan daging sapi di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, pendapatan per kapita, dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kecukupan gizi. Priyanto (2011) melaporkan bahwa setiap tahun, Indonesia membutuhkan 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Proyeksi konsumsi daging sapi nasional tahun 2015 menurut data Badan Pusat Statistik yang diolah adalah sekitar 639.857,57 ton dengan konsumsi daging sapi 2,56 kg/kapita/tahun (Anonim, 2014). Peningkatan laju permintaan daging tersebut tidak diimbangi oleh pertumbuhan populasi sapi di Indonesia yang tidak sesuai dengan harapan. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa sejak tahun 2005 hingga 2008, peningkatan populasi sapi potong hanya sekitar 5,32% per tahunnya. Proyeksi populasi sapi dan kerbau di Indonesia pada tahun 2015 menurut data Badan Pusat Statistik yang diolah adalah sekitar 17.169.047 ekor (Anonim, 2014), dari populasi tersebut diprediksikan tidak dapat memenuhi kebutuhan daging di Indonesia Perkembangan populasi sapi yang tidak sesuai harapan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah kurangnya lahan penyedia pakan hijauan. Priyanto (2011) melaporkan bahwa penurunan luas area padang rumput sebagai sumber pakan ternak sebanyak 6,2% per tahunnya. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam 1
pengembangan sapi potong. Perlu banyak inovasi dalam pemeliharaan dan pengembangan industri sapi potong, salah satunya adalah dengan mengintegrasikan industri sapi dengan industri di bidang lain seperti industri kelapa sawit Provinsi Riau menjadi salah satu sentra usaha perkebunan sawit. Gapki (2014) melaporkan bahwa pada tahun 2013 luas areal perkebunan kelapa sawit di provinsi Riau mencapai 1.940.718 ha yang terdiri dari 1.217.847 ha milik petani tradisional, 78.953 ha milik negara, dan 643.918 ha milik perusahaan swasta, diperkirakan luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau akan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Semakin meluasnya area perkebunan kelapa sawit tersebut, terdapat potensi lain yang dapat dimanfaatkan. Salah satu contohnya adalah vegetasi tanaman yang tumbuh di bawah naungan kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kebun kelapa sawit ini mempunyai vegetasi tanaman yang sangat melimpah yang dianggap sebagai gulma. Perusahaan biasa memusnahkan vegetasi tanaman ini dengan obat kimia herbisida. Apabila kebun kelapa sawit diintegrasikan dengan sapi, maka vegetasi tanaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sehingga perusahaan dapat menekan penggunaan herbisida. Hal tersebut diharapkan dapat menekan biaya produksi perusahaan kelapa sawit, menjaga kelestarian lingkungan, dan menunjang perumbuhan sapi potong.
2
Peternakan yang diintegrasikan dengan kelapa sawit sebenarnya sudah banyak diterapkan di Provinsi Riau. Peternak tersebut memelihara sapi yang sebagian besar adalah bangsa sapi Bali dan biasa memanfaatkan tanaman gulma di perkebunan kelapa sawit menjadi sumber pakan hijauan. Salah satu tanaman pengganggu yang paling sering ditemukan dan digunakan sebagai pakan sapi adalah tanaman dengan nama lokal bayaman (Asystasia gangetica) yang sangat disukai oleh ternak (Mokhtar, 2008). Daru et al. (2014) melaporkan bahwa Asystasia gangetica merupakan salah satu dari 17 tanaman yang paling sering ditemukan di bawah naungan perkebunan kelapa sawit, bahkan pertumbuhannya bisa mencapai 5,5% dari seluruh komposisi botanis di perkebunan kelapa sawit. Ketersediaanya yang melimpah menyebabkan peternak hanya memberikan bayaman sebagai pakan tunggal tanpa pemberian pakan lain kepada seluruh sapi yang dipelihara terutama sapi betina karena sebagian besar sapi yang dipelihara peternak merupakan sapi betina yang akan dikembangbiakkan. Pemberian pakan kepada sapi betina harus lebih diperhatikan karena nutrien dalam pakan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sapi betina. Produksi dari sapi betina tidak hanya berupa daging namun berupa fetus dan susu apabila sapi dalam kondisi bunting dan laktasi. Frandson (1992) menyatakan bahwa fungsi pakan sangat penting untuk ternak betina terutama ternak yang sedang bunting karena akan berfungsi sebagai pembangun jaringan-jaringan baru. Pemberian 3
pakan untuk sapi betina harus mencukupi kebutuhan sapi itu sendiri. Parakkasi (1998) melaporkan bahwa trimester akhir kebuntingan atau 100 hari sebelum partus, merupakan periode yang paling penting dalam siklus kehidupan seekor induk. Pakan yang dikonsumsi oleh induk bunting akan dimaksimalkan untuk pertumbuhan fetus, perkembangan ambing, dan tabungan energi sebagai persiapan untuk menghadapi periode laktasi setelah partus. Pemanfaatan bayaman sebagai pakan sapi betina yang dipelihara oleh peternak akan memberikan dampak positif terhadap perkebunan kelapa sawit, namun demikian belum ada penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kecukupan nutrien apabila sapi Bali betina baik dalam kondisi bunting maupun tidak bunting hanya diberi hijauan bayaman sebagai pakan tunggal sehingga hal ini perlu diteliti. Endrawati et al. (2010) menyatakan bahwa konsumsi dan kecernaan pakan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dan dapat menjadi salah satu acuan dalam pemberian pakan ternak.
Tujuan Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kandungan nutrien, konsumsi dan kecernaan pakan hijauan Asystasia gangetica pada sapi Bali dengan kondisi kebuntingan yang berbeda.
4
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam tata laksana
pemeliharaan
sapi
Bali
yang
dipelihara
dengan
cara
diintegrasikan dengan kebun kelapa sawit terutama dalam pemberian dan penentuan pakan yang sesuai untuk sapi Bali betina baik dalam kondisi bunting dan tidak bunting.
5