BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tumbuhan berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo, Usada, Lontarak pabbura, dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sukandar, 2006). Salah satu tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat tradisional adalah Hyptis suaveolens atau biasa disebut jukut bau atau gringsingan. Di Sabang, daun Hyptis suaveolens digunakan untuk mengobati malaria dengan cara merebusnya (Susiarti, 2006). Daun Hyptis juga dimanfaatkan untuk mencegah infeksi pada luka luar atau bagian yang lecet. Dari berbagai penelitian, diketahui pula bahwa Hyptis suaveolens mengandung minyak atsiri yang memiliki efek antioksidan dan antimikroba. Di India, daun Hyptis suaveolens digunakan sebagai stimulan,
1
2
karminatif, sudorific (penginduksi keluarnya keringat), pelancar ASI, dan obat penyakit parasit kulit (Nayak dkk., 2010). Pengeringan merupakan tahapan yang berpengaruh terhadap komposisi minyak atsiri tumbuhan. Hasil penelitian Ibanez dkk. (1999) menunjukkan bahwa komposisi minyak atsiri daun rosemary segar dan kering sangat berbeda. Komponen utama yang dihasilkan dari daun rosemary segar yaitu khampor (40%), 1,8-sineol (12%), verbenon (9%), borneol (7%) dan bornil asetat (2,5%) sedangkan daun kering hanya kamphor (9%), verbenon (16%) dan borneol (21%). Komposisi senyawa volatil yang bertanggung jawab pada flavor mengalami perubahan akibat pengeringan secara alami terjadi pada beberapa daun tanaman seperti spearmint (Diaz-Maroto dkk., 2003), bay leaf (Diaz-Maroto dkk., 2002a), sweet basil (Yousif dkk., 1999), dan parsley (Diaz-Maroto dkk., 2002b). Pengaruh pengeringan pada pelepasan atau ketahanan senyawa volatil dalam bahan tergantung pada senyawanya dan sifat bahannya (Venskutonis, 1997). Pengeringan pada oven menyebabkan kehilangan senyawa volatil yang bervariasi tergantung pada suhu pengeringan dan waktu pengeringan (Diaz-Maroto dkk., 2002b). Pembentukan senyawa baru dalam beberapa kasus juga terlihat setelah pengeringan yang mungkin diakibatkan dari reaksi oksidasi, hidrolisis senyawa terglikosilasi, atau pelepasan zat akibat kerusakan dinding sel (Huopalahti dkk., 1985). Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh pengeringan dilakukan untuk mengetahui perbandingan komponen minyak atsiri H. suaveolens dari daun segar dan daun yang dikeringkan menggunakan oven.
3
Memasuki abad ke-21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat telah mengenalkan pemanfaatan tumbuhan obat dalam bentuk ekstrak. Telah berkembang pula pengetahuan dan teknologi dalam bidang ekstraksi. Ekstrak, sebagai bahan baku obat, harus dapat dipertanggungjawabkan mutu dan keajegan kandungan kimianya. Obat herbal memerlukan standarisasi dan kontrol kualitas untuk mendukung kualitas, keamanan, dan efikasinya. Proses pembuatan ekstrak daun H. suaveolens menyebabkan terjadinya kehilangan minyak atsiri sehingga minyak atsiri tidak dapat dijadikan parameter standarisasi kandungan kimia ekstrak. Perlu penetapan parameter kandungan kimia lain. Menurut Edeoga dkk. (2006) dan Mary dkk. (2013), flavonoid merupakan salah satu kandungan kimia terbesar dari tumbuhan H. suaveolens. Namun, tipe flavonoid yang terdapat dalam H. suaveolens belum diketahui secara pasti sehingga aksi farmakologinya dalam mendukung efek klinis H. suaveolens tidak diketahui. Oleh karena itu, group marker yaitu kadar flavonoid total dapat dijadikan marker kimia untuk standarisasi dan kontrol kualitas H. suaveolens. Untuk mengetahui keefektifan proses ekstraksi dalam menyari flavonoid secara optimum pada daun H. suaveolens diperlukan pemeriksaan kadar ekivalen flavonoid dalam ekstrak dan simplisia.
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah ada perbedaan kadar ekivalen minyak atsiri Hyptis suaveolens antara daun segar dan daun yang dikeringkan dengan oven?
4
2.
Apakah ada perbedaan komposisi minyak atsiri Hyptis suaveolens antara daun segar dan daun yang dikeringkan dengan oven?
3.
Apakah ada perbedaan kadar ekivalen flavonoid total simplisia dan ekstrak daun H. suaveolens? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Kadar ekuivalen antara minyak atsiri daun H. suaveolens yang dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50°C selama 24 jam dengan minyak atsiri daun H. suaveolens segar. 2. Komponen minyak atsiri daun H. suaveolens yang dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50°C selama 24 jam dan minyak atsiri daun H. suaveolens segar melalui profil KLT dan GC-MS-nya. 3. Perbedaan kadar ekuivalen flavonoid total ekstrak dan simplisia daun H. suaveolens.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu
50°C terhadap
komponen minyak atsiri daun H. suaveolens dan perbedaan kadar ekivalen flavonoid total ekstrak dan simplisisa daun H. suaveolens. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menunjang parameter spesifik bahan obat tradisional nantinya dan bisa dijadikan pedoman untuk melakukan scaling up pada aras industri.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tentang tumbuhan a.
Sistematika tumbuhan Hyptis suaveolens
Kedudukan tumbuhan Hyptis suaveolens dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Lamiaceae
Marga
: Hyptis
Jenis
: Hyptis suaveolens (L) Poit. (Anonim, 1999)
Gambar 1. Tumbuhan Hyptis suaveolens (L) Poit.
b.
Nama umum
Gringsingan (Anonim, 1999)
6
c.
Nama daerah
Sumatera
: Kuna busuk, kunpa mate (Toba); Ruku-ruku utan, sumengit (Sumatera Timur)
Jawa
: Jukut bau, karang bau (Sunda); Basinan, lampesan, gringsingan (Jawa Tengah), Komandhin (Madura) (Anonim, 1999).
d.
Deskripsi
Habitus
: Terna, semusim, tegak, tinggi mencapai 1,5 m.
Batang
: Bersegi empat, kasar, berbulu, warna hijau kecokelatan.
Daun
: Tunggal, bersilang berhadapan, tangkai berbulu, panjang 2-5 cm, helaian daun bentuk bulat telur, atau oval, ujung runcing, pengkal tumpul, tepi bergerigi, panjang 2-4 cm, lebar 1-3 cm, pertulangan menyirip menjala, permukaan berbulu halus, hijau.
Bunga
: Majemuk, terminal, di ketiak daun, bentuk tandan, bunga sempurna, berkelamin ganda, kelopak berlekatan, membentuk tabung, tiap ujung persegi memanjang seperti duri, lunak, panjang 4-8 mm, warna hijau, mahkota berlekatan, ujung lepas asimetris, panjang 1-2 cm, warna ungu.
Buah
: Tunggal, keras, bentuk kapsul, permukaan berbulu, hijau atau cokelat.
Biji
: Bulat, kecil, kotor, cokelat kehitaman.
Akar
: serabut, kuning kecokelatan (Anonim, 1999).
7
e.
Ekologi dan penyebaran
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan liar di pinggir-pinggir jalan, kebun atau di semak-semak. Tumbuh dari dataran rendah sampai pegunungan mulai ketinggian 10-1000 m di atas permukaan laut, sebagai tumbuhan menahun (Anonim, 1999). f.
Kandungan Kimia
Daun Hyptis suaveolens mengandung alkaloid, saponin, polifenol, dan minyak atsiri (Anonim, 1999). Dalam penelitian kandungan kimia
Hyptis
suaveolens oleh Edeoga dkk. (2006), daun Hyptis suaveolens mengandung alkaloid dan flavonoid sebagai komponen terbesar diikuti dengan tanin, saponin, dan fenol. Senyawa yang pernah diisolasi dari tumbuhan ini antara lain asam hiptadienat, asam suaveolat, suaveolol, metil suaveolat, β-sitosterol, asam oleanolat, asam ursolat, asam rosmarinat, dehydroabietinol, 3β-hydroxy-lup-12en-27-oic acid, dan 3β- hydroxy-lup-20(29)-en-27-oic acid (Satish dkk., 2010). g.
Khasiat dan Kegunaan
Hyptis suaveolens dapat dimanfaatkan sebagai obat kutu air dan pusing (Anonim, 1999). Tumbuhan ini secara tradisional digunakan untuk pencuci luka dan emenagoga atau peluruh haid (Mulyani, 1991). Tumbuhan yang di India dikenal sebagai Wilayati tulsi ini memiliki kegunaan di semua bagiannya untuk mengobati berbagai macam penyakit. Daunnya digunakan untuk stimulan, karminatif, sudorific (penginduksi keluarnya keringat), pelancar ASI, dan menyembuhkan penyakit parasit kulit. Secara tradisional, tumbuhan Hyptis
8
suaveolens digunakan untuk pengobatan infeksi saluran nafas, demam, pilek, nyeri, kram/kejang, dan penyakit kulit (Nayak dkk., 2010). 2. Ekstraksi Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari mengandung senyawa aktif yang larut dan senyawa yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, dan protein. Umumnya, ekstraksi akan bertambah baik apabila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut (Anonim, 2000). Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawasenyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, dan cahaya. Adanya informasi senyawa aktif dalam simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti daun dan rimpang mudah ditembus oleh pelarut sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan kulit akar sukar ditembus oleh pelarut, karena itu perlu dibuat dalam bentuk serbuk sampai derajat kehalusan tertentu. Selain memperhatikan sifat fisis dan senyawa aktif, penyarian simplisia juga memperhatikan senyawa-senyawa lain dalam simplisia seperti protein, lemak, dan gula, karena senyawa-senyawa ini mempengaruhi tingkat kejenuhan
9
pelarut, sehingga akan berpengaruh pula terhadap pelarutan senyawa aktif (Anonim, 2000). a.
Cairan penyari
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan yang baik harus memiliki kriteria sebagai berikut : 1) Murah dan mudah diperoleh 2) Stabil secara fisika dan kimia 3) Bereaksi netral 4) Tidak mudah menguap dan terbakar 5) Selektif, yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki 6) Tidak mempengaruhi zat berkhasiat 7) Diperbolehkan oleh peraturan (Anonim, 1986). Pelarut yang sering digunakan dalam kefarmasian antara lain : air, eter, etanol, campuran air dan etanol. Metanol dihindari penggunaannya karena sifatnya yang menyebabkan ketoksikan akut atau kronik, tetapi jika dalam uji sisa pelarut menunjukkan harga negatif, maka metanol merupakan pelarut yang lebih baik. Pemilihan pelarut didasarkan pada kemampuan optimal untuk menyari zat aktif atau senyawa berkhasiat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan pelarut antara lain : selektivitas, kemudahan bekerja dan proses menggunakan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan, dan keamanan (Rahman, 2002). b.
Maserasi
Istilah maserasi berasal dari bahasa latin macerace yang berarti merendam. Maserasi merupakan metode paling tepat dimana obat yang sudah halus
10
memungkinkan untuk direndam dalam menstruum atau solven yang sesuai sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat mudah larut akan melarut. Obat yang diekstraksi dengan maserasi biasanya ditempatkan dalam wadah atau bejana mulut lebar, bersama menstruum yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat, dan isinya digojog berulang-ulang lamanya biasanya berkisar 2-14 hari (Ansel, 1989). 3. Parameter spesifik ekstrak tumbuhan obat 1) Identitas Parameter identitas ekstrak meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama latin tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb.), dan nama Indonesia tumbuhan, serta ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Tujuan parameter identitas ekstrak adalah memberikan identitas objektif dari nama dan spesifik dari identitas (Anonim, 2000). 2) Organoleptik Parameter organoleptik ekstrak merupakan pengenalan awal yang sederhana dan seobjektif mungkin, yaitu penggunaan panca indera untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. 3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu Prinsip dari parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu ini adalah melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam
11
hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol. Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu bertujuan memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan. Prosedur dari parameter ini adalah dengan mengukur kadar senyawa yang larut air dan kadar senyawa yang larut dalam etanol (Anonim, 2000) a.
Uji kandungan kimia ekstrak 1) Pola kromatogram
Parameter pola kromatogram memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram. 2) Kadar total golongan kandungan kimia Parameter kadar total golongan kandungan kimia memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. 3) Kadar kandungan kimia tertentu Parameter kadar kandungan kimia tertentu memberikan data kadar kandungan kimia tertentu senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab terhadap efek farmakologi. Contoh adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostrobin dalam ekstrak temu kunci secara densitometri (Anonim, 2000). 4. Minyak Atsiri Minyak atsiri merupakan zat yang beraroma yang ditemukan di berbagai bagian tumbuhan. Pada paparan udara dengan suhu ruang, minyak atsiri menguap sehingga juga disebut minyak menguap. Minyak atsiri segar tidak berwarna,
12
namun bila dibiarkan, minyak atsiri akan teroksidasi dan membentuk resin sehingga menjadi gelap. Minyak atsiri harus disimpan di tempat dingin, kering, tertutup rapat, dan botol diisi penuh untuk mencegah terjadinya oksidasi dan pembentukan resin (Tyler dkk., 1988). Berdasarkan famili tumbuhan, minyak atsiri bisa terbentuk di struktur sekretori khusus seperti rambut kelenjar (Labiatae), sel parenkim termodifikasi (Piperaceae), vittae (Umbelliferae), pada bagian lysigenous dan schizogenous (Pinaceae, Rutaceae). Minyak atsiri bisa berperan sebagai penolak serangga sehingga mencegah destruksi bunga dan daun, atau bisa sebagai penarik serangga sehingga membantu penyerbukan silang pada bunga (Tyler dkk., 1988). Komponen kimia minyak atsiri dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar berdasarkan biosintesisnya, yaitu turunan terpen yang terbentuk dari jalur asam asetat-mevalonat dan senyawa aromatik terbentuk melalui jalur asam sikimatfenilpropan. Minyak atsiri mempunyai sejumlah sifat fisika yang sama walaupun secara kimia masing-masing minyak atsiri sangat berbeda. Minyak atsiri memiliki karakteristik bau, indeks bias yang tinggi, kebanyakan dari minyak atsiri merupakan optik aktif, dan memiliki rotasi spesifik. Minyak atsiri tidak larut dengan air, tapi cukup larut untuk memberikan bau dalam air. Minyak atsiri larut di eter, alkohol, dan kebanyakan pelarut organik (Tyler dkk., 1988). Minyak atsiri biasanya didapatkan dari distilasi bagian tumbuhan yang mengandung minyak atsiri. Metode distilasi bergantung pada kondisi bahan tumbuhan. Tiga tipe distilasi yang digunakan pada industri antara lain, distilasi air, distilasi uap-air, dan distilasi uap. Distilasi air digunakan untuk bahan
13
tumbuhan yang dikeringkan, tidak untuk bahan yang rusak dengan perebusan. Minyak turpentin didapatkan dengan cara ini. Minyak turpentin yang hampir seluruhnya terdiri dari terpen tidak dipengaruhi oleh pemanasan. Distilasi uap air digunakan untuk bahan kering atau segar yang bisa rusak karena perebusan. Bahan diletakkan pada wadah yang berisi air. Uap yang terbentuk melewati sampel yang termaserasi. Karena minyak bisa rusak dengan perebusan langsung, uap dihasilkan di tempat lain diarahkan ke wadah yang berisi sampel termaserasi. Lapisan minyak yang terdistilasi terpisah dari lapisan air, dan minyak bisa dipasarkan dengan atau tanpa proses lebih lanjut. Distilasi uap dapat diaplikasikan untuk bahan segar. Bahan dipotong dan diletakkan secara langsung tangki logam penyulingan. Tangki digerakkan ke gudang penyulingan dimana aliran uap berasal dari bagian bawah tangki penyulingan. Uap melewati bahan segar dan membawa tetesan minyak melalui pipa uap air yang melekat pada bagian atas tangki penyulingan sampai ke ruang pendingin (Tyler dkk., 1988). Salah satu reagen untuk mendeteksi minyak atsiri secara kualitatif adalah anisaldehid-asam sulfat. Berbagai reaksi non-kuantitatif terjadi secara bersamaan pada saat deteksi. Kation siklopentena telah ditetapkan sebagai intermediet yang bereaksi dengan anisaldehid untuk membentuk senyawa berwarna. Selain itu, reaksi dengan senyawa aromatik juga dapat membentuk senyawa berwarna trifenilmetana. Hasil warna yang terbentuk dapat terlihat pada panjang gelombang tinggi (366 nm) kebanyakan sebagai fluoresensi atau pada sinar tampak (Jork dkk., 1990).
14
Minyak atsiri dari H. suaveolens bisa diperoleh dengan distilasi uap maupun distilasi air. Minyak yang dihasilkan berwarna kuning pucat dan berbau tajam. Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan, kandungan minyak atsiri dari H. suaveolens berbeda-beda di setiap negara tempat tumbuh. Di Peninsular, Malaysia, β-caryophyllene mendominasi kandungan minyak (41,1%). Sedangkan di Amerika Selatan, 1,8-cineol (30,4%) dilaporkan menjadi komponen major dalam satu penelitian, dan dalam penelitian lain, fenchone (42,3%) menjadi major component. Kandungan sesquiterpen dan monoterpen dari Malaysia dihitung sebanyak 93%, sedangkan dari Amerika selatan hanya sekitar 78% (Din dkk., 1988). Minyak atsiri dari H. suaveolens memiliki aktivitas pengusir nyamuk (Abagli dan Alavo, 2011), antioksidan, dan antifungi (Nantitanon dkk., 2007). 5. Flavonoid Kerangka karbon flavonoid bisa dianggap terbuat dari dua unit yang berbeda, yaitu unit I, terdiri fragmen C6-C3 yang mengandung cincin B atau biasa disebut cincin sinamoil, dan unit II yang mengandung cincin A atau biasa disebut cincin benzoil, sehingga dalam inti dasarnya flavonoid tersusun dari konfugurasi C 6-C3C6. Tiga Atom karbon yang menghubungkan kedua cincin tersebut dapat membentuk cincin ketiga yang disebut cincin C (Geismann, 1962; Markham, 1988).
15
3' 2' 8
1 O
7
1'
4'
B 5'
2 6'
A 3
6 4
5 Benzoil
Sinamoil O
Gambar 2. Struktur flavonoid (Harborne dkk., 1975)
a.
Penggolongan flavonoid
Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yang memasukkan prazat dari jalur sikimat dan jalur asetat-malonat. Flavonoid pertama dihasilkan setelah kedua jalur tersebut bertemu. Flavonoid yang dianggap pertama kali terbentuk pada biosintesis adalah khalkon dan semua bentuk lain diturunkan dari khalkon melalui berbagai jalur. Modifikasi flavonoid lebih lanjut mungkin terjadi pada berbagai tahap seperti hidroksilasi, metilasi, isoprenilasi, metilenisasi, dimerisasi, pembentukan bisulfat, dan flikosilasi (Markham, 1988). 1) Flavonoid O-glikosida Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid-O-glikosida; pada senyawa tersebut satu gugus hidroksil flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula atau lebih dengan ikatan hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air (cairan), sifat inilah yang menyebabkan flavonoid disimpan dalam vakuola sel. 2) Flavonoid C-glikosida Gula juga dapat terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula tersebut langsung terikat pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Sekarang gula yang terikat pada atom C hanya ditemukan pada
16
C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit daripada gula jenis O-glikosida, jenis aglikon flavonoid yang terlibat pun sangat terbatas. Perbedaan lain antara flavonoid O-glikosida dengan C-glikosida adalah mobilitas dalam air pada kromatogram dan terjadinya isomerisasi bila dipanaskan dalam asam sehingga terjadi dua bercak dalam kebanyakan sistem pelarut. 3) Flavonoid Sulfat Golongan flavonoid lain yang mudah larut dalam air yang mungkin ditemukan hanya flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat atau lebih yang terikat pada hidroksi fenol atau gula. Secara teknis, ini sebenarnya bisulfat karena terdapat sebagai garam yaitu flavon-O-SO3K. Banyak yang berupa glikosida bisulfat, bagian bisulfat terikat pada hidroksi fenol yang mana saja yang masih bebas atau pada gula. 4) Biflavonoid Biflavonoid adalah flavonoid dimer yang melibatkan flavon dan flavonon yang secara biosintesis mempunyai pola oksigenisasi yang sederhana 5,7,4’ (atau kadang-kadang 5,7,3’,4’) dan ikatan antar flavonoid kadang-kadang berupa ikatan eter atau karbon-karbon. Sebagian besar sifat fisika dan kimia biflavonoid menyerupai monoflavonoid pembentuknya (misalnya spektrum UV-tampak, uji warna, dll) sehingga kadang-kadang sukar dikenali. Namun, kromatografi dengan silika gel dapat membedakan monomer dan dimer dengan jelas juga dapat dipastikan melalui peleburan basa atau spektroskopi massa (Markham, 1988).
17
O
O
Flavan
O
O
O
Flavanon
Flavon
O O
O
OH
OH O
O
O
Isoflavon
Dihidroflavanon
Flavonol
3 2
O
3'
OH
4'
4
5
O
6
5' OH
6'
Isoflavanol
O
O
Auron
2'-OH-Kalkon O
O
Neoflaven
O
4-arilkumarin
Gambar 3. Kerangka tipe flavonoid (Grotewold, 2006)
Flavonoid yang terdapat di alam sangat bervariasi macam dan sifatnya. Ada dua bentuk flavonoid, yaitu yang terdapat dalam bentuk bebas (aglikon) dan dalam bentuk berikatan dengan gula (glikon). Sebagian besar terdapat dalam bentuk glikosida, baik mono, di, atau triglikosida. Penggolongan flavonoid berdasarkan atas penambahan rantai oksigen heterosiklik dan perbedaan distribusi dari gugus hidrofilnya. Perbedaan oksidasi di bagian atom C 3 menentukan sifat,
18
khasiat, dan golongan flavonoid. Berdasarkan perbedaan rantai C 3, klasifikasi flavonoid yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavononol, isoflavon, auron, khalkhon. Bagian terbesar yang sering ditemukan dalam tumbuhan adalah flavon dan flavonol (Harborne,1984). b.
Distribusi flavonoid
Struktur flavonoid dapat ditemukan di berbagai organisme di alam, dari bakteria sampai tumbuhan tingkat tinggi. Kombinasi dari 15 atom karbon tersebut ada di hampir seluruh tumbuhan berbunga dan paku-pakuan. Flavonoid berada disemua bagian dari tumbuhan tingkat tinggi, antara lain akar, batang, daun, bunga, serbuk sari, buah, biji, kayu, dan kulit katu. Kandungan flavonoid pada jaringan-jaringan tertentu lebih banyak daripada jaringan lainnya. Antonisanin misalnya, merupakan zat warna yang ada pada buah dan bunga, jarang terdapat pada batang, daun dan kulit kayu. Sementara flavon, flavonol dan turunannya terdapat dalam mahkota bunga sebagai kopigmen. Chalcone dan auron tidak terdistribusi secara luas di alam (Geissman, 1962; Harborne dkk., 1975). Senyawa flavonoid tidak ditemukan di mikroorganisme meskipun mampu menghasilkan unit fenilpropan seperti fenilalanin dan tirosin karena kurangnya aparatus untuk perpanjangan unit C6-C3 dengan penambahan unit dua karbon. Flavonoid pada lumut belum benar-benar diteliti. Lumut dilaporkan mengandung antosianin namun senyawa flavonoid yang terkarakterisasi dengan baik belum diisolasi. Fungi dan lumut kerak juga belum ditemukan menghasilkan flavonoid. Tumbuhan paku mengandung beberapa flavonoid dari tipe yang ditemukan di
19
tanaman bunga. Senyawa flavonoid dengan karbon termetilasi adalah yang umum ada di tumbuhan paku (Geissman, 1962). c.
Sifat fisika flavonoid
Kelarutan senyawa flavonoid secara individual sangat bermacam-macam sehingga sulit untuk mendapatkannya secara umum. Bentuk flavonoid tanpa gugus gula atau aglikon kurang polar dan lebih larut dalam eter, etil asetat, metanol, dan tidak larut dalam air. Aglikon yang termetilasi larut dalam pelarut non polar, seperti eter dan tidak larut dalam air. Bentuk glikosida (O-glikosida dan C-glikosida) tidak larut dalam pelarut non polar seperti eter tetapi larut dalam air. Glikosida terletak pada tempat lebih rendah pada pengembangan dengan fase gerak BAW (n-butanol–asam asetat glasial–air) dibandingkan aglikon, sedangkan pada pengembangan polar misal air, bercak akan lebih tinggi. Namun, apabila dilakukan hidrolisis pada glikosida maka aglikon akan merambat lebih tinggi sedangkan bercak glikosida tetap di bawah pada fase gerak BAW (Mabry dkk., 1970). d.
Sifat kimia flavonoid
Gugus hidroksil menyebabkan senyawa flavonoid bersifat asam. Reaksi dengan basa akan menghasilkan senyawa fenolat membentuk garam fenolat sehingga pada penambahan uap amonia atau Na + warna berubah menjadi kuning. Perubahan ini menyebabkan pergeseran batokromik. Spektrum senyawa yang mempunyai gugus ortho dihidroksi bila ditambahkan aluminium klorida atau asam borat akan membentuk kompleks khelat. Gugus hidroksil dan gugus karbonil akan membentuk kompleks dengan ion Al 3+ menghasilkan warna kuning,
20
dengan ion Fe3+ akan berwarna cokelat, sedangkan dengan sitoborat akan berwarna kuning. Kompleks yang terbentuk dari orto dihidroksi bersifat reversibel dengan penambahan asam klorida, sedangkan kompleks dari gugus hidroksil dengan gugus karbonil bersifat tetap. Gugus metoksi atau metil tidak membentuk kompleks dengan aluminium klorida sehingga tidak terjadi pergeseran batokromik (Harborne dkk., 1975). e.
Ekstraksi flavonoid
Larutan penyari yang digunakan dalam ekstraksi flavonoid ditentukan berdasarkan struktur masing-masing tipe flavonoid. Kelarutan flavonoid berbedabeda terhadap masing-masing pelarut, sesuai dengan golongan dan substitusi yang terjadi. Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Tetapi harus diingat, bila dibiarkan dalam basa dan terdapat banyak oksigen, maka akan banyak yang terurai. Flavonoid yang mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih atau berbentuk gula merupakan senyawa polar sehingga berdasarkan like dissolves like, flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformadida (DMF), dan air. Adanya gula yang terikat pada flavonoid, cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon, serta flavonol
21
yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988). Setelah menimbang bahan tumbuhan yang telah dikeringkan dan digiling, ekstraksi paling baik dilakukan dalam dua tahap, pertama kali dengan metanol:air (9:1) dan kedua dengan metanol:air (1:1). Pada setiap tahap, campuran dibiarkan 6-12 jam. Lalu dilakukan pemisahan dengan penyaringan dan kertas saring yang disarankan adalah Whatman no. 54 atau 541. Penguapan dilakukan terhadap kedua filtrat sampai volumnya menjadi sepertiganya atau sampai hampir semua metanol menguap. Lalu ekstrak air yang diperoleh bisa dibebaskan dari senyawa yang kepolarannya rendah, seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil, dll dengan ekstraksi dalam corong pisah dengan heksana atau kloroform. Lapisan air yang mengandung bagian terbesar flavonoid lalu diuapkan sampai kering pada tekanan rendah dengan menggunakan penguap-putar (rotary evaporator). Cara tersebut cocok untuk ekstraksi kebanyakan flavonoid, tetapi tidak untuk antosian atau flavonoid yang kepolarannya rendah (Markham, 1988). f.
Deteksi flavonoid
Penggolongan flavonoid didasarkan pada perbedaan reaksi warna dan kelarutannya. Setelah dielusi, bercak flavonoid bisa dideteksi dengan beberapa metode berbeda. Antosianin, auron, dan kalkhon bisa dibedakan dengan mudah di bawah sinar tampak. Sinar UV memperlihatkan kebanyakan flavonoid lainnya, kecuali flavanon, isoflavon, katekin, dan leucoanthocyanin dan membedakan beberapa pigmen yang hanya muncul warna kuning di sinar tampak. Beberapa polifenol berfluoresensi lebih atau kurang jelas di sinar UV. Beberapa peraksi
22
semprot yang dapat digunakan antara lain uap amonia untuk mendeteksi semua flavonoid kecuali antosianin; NaCO3, AlCl3, dan FeCl3 masing-masing dapat mendeteksi semua tipe flavonoid; dan asam toluen sulfonat dapat mendeteksi leukoantosianin, katekin, dan flavanonol. Masing-masing golongan memberikan warna yang spesifik, kecuali menggunakan FeCl 3. Flavonoid merupakan senyawa fenol, sehingga dapat membentuk kompleks berwarna dengan FeCl 3. Reaksi warna ini tidak spesifik sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan masing-masing golongan (Geissmann, 1962). Metode terbaik untuk deteksi pemisahan flavonoid yang terjadi adalah kromatografi kertas dua dimensi. Metode kromatografi kolom dan lapis tipis masih merupakan alternatif yang banyak dipakai. Salah satu deteksi kualitatif flavonoid adalah dengan menggunakan sitroborat karena membentuk kompleks pada rantai C6 dan C3 dari senyawa flavonoid. Untuk deteksi kuantitatif flavonoid, salah satunya dapat digunakan metode Chang. Metode ini membuat kompleks dengan flavonoid dengan AlCl3 dalam suasana asam akan menghasilkan warna kuning (Mabry dkk., 1970). 6. Gas Chromatography-Mass Spectra (GC-MS) Metode GC-MS merupakan gabungan dari metode kromatografi gas dan spektrometri massa. Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada ratio distribusinya. Sedangkan metode spektrometri massa adalah metode yang didasarkan pada pengubahan komponen cuplikan menjadi ion-ion gas dan
23
memisahkannya berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan (m/z). Teknik gabungan ini sangat spesifik karena makin banyak parameter karena makin banyak parameter analisis yang diberikan (Mulja & Sugijanto, 1994; Gandjar & Rohman, 2010; Hendayana dkk., 1994). Pemisahan pada kromatografi gas terjadi ketika sampel diinjeksikan ke dalam fase gerak. Fase gerak yang biasa digunakan adalah gas inert seperti helium, nitrogen, hidrogen, atau campuran argon dan metana. Pemisahan yang terjadi saat elusi didasarkan atas titik didih senyawa dikurangi semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Komponen-komponen yang telah terpisah kemudian menuju detektor. Detektor akan mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik dalam bentuk kromatogram. Kromatogram akan memperlihatkan deretan luas puncak terhadap waktu. Waktu tambat tertentu dapat digunakan sebagai data kualitatif, sedangkan luas area dapat digunakan sebagai data kuantitatif (Gandjar & Rohman, 2010). Komponen-komponen yang telah terpisah akan ditembak elektron sehingga terpecah menjadi fragmen-fragmen dengan perbandingan massa dan muatan tertentu (m/z) dalam spektrometri massa. Fragmen-fragmen dengan m/z ditampilkan komputer sebagai spektra massa, yaitu perbandingan m/z dan intensitas. Struktur senyawa dapat diketahui dengan membandingkan spektra yang didapat dan spektra massa standar pada literatur yang tersedia dalam komputer. Pendekatan pustaka terhadap spektra massa ditunjukkan dengan indeks kemiripan atau Similarity Index (SI) atau Probability yang merupakan pembuktian struktur yang akurat dan sensitif (Pavia dkk., 2001).
24
7. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dengan arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion (Anonim, 2011). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar dimana sampel diaplikasikan pada fase diam terlebih dahulu sebelum akhirnya dikenai fase gerak sehingga sampel bermigrasi dengan arah tertentu. Pergerakan fase gerak melalui fase diam merupakan tahap pengembangan. Setelah pengembangan, fase
gerak dihilangkan melalui
penguapan dan deteksi dilakukan pada fase diam. KLT lebih fleksibel dalam penggunaan fase diam dan fase gerak. Fase diam yang baru diperlukan untuk setiap pemisahan dalam kromatografi planar. Hal ini untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang dari satu sampel ke sampel lain (Spangenberg dkk., 2011). Dasar KLT dijelaskan seperti berikut ini. Zona awal dari campuran diletakkan di dekat salah satu ujung fase diam, sebuah lapisan tipis. Sampel dikeringkan. Ujung fase diam dengan zona awal diletakkan ke dalam fase diam, biasanya merupakan campuran senyawa murni, di dalam bejana tertutup. Komponen dari campuran tersebut akan bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama fase gerak bergerak melalui fase diam, yang disebut pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak telah mencapai jarak yang ditentukan, fase diam dipindahkan kemudian dikeringkan. Zona yang terbentuk
25
dideteksi menggunakan reagen visualisasi yang cocok. Hal ini lebih sederhana daripada metode deteksi universal pada lempengan yang diimpregnasi dengan indikator fluoresensi (Sherma & Fried., 1996). Selama pengembangan, komponen pada sampel akan terdistribusi dalam dua fase yang berbeda, fase diam dan fase gerak. Komponen sampel akan berinteraksi baik dengan fase diam maupun fase gerak menurut mekanisme pemisahan yang mendominasinya. Mekanisme pemisahan dalam kromatografi adalah adsorpsi dan partisi. Adsorpsi pada KLT terjadi pada permukaan partikel fase diam yang kontak dengan fase gerak. Gaya yang terjadi pada proses adsorpsi antara lain gaya van der Waals, interaksi dipol, dan interaksi kompleks seperti ikatan hidrogen. Adsorpsi bersifat reversibel dan hanya melibatkan interaksi fisik. Pemisahan bedasarkan partisi bergantung pada kelarutan relatif dari komponen sampel pada dua pelarut yang tidak bercampur (Spangenberg dkk., 2011). Deteksi KLT paling sederhana ketika senyawa yang terkandung berwarna secara alami, berfluoresensi, atau mengabsorbsi sinar UV. Aplikasi penyemprotan atau pencelupan reagen visualisasi biasanya diperlukan untuk memproduksi warna atau fluoresensi pada kebanyakan senyawa. Absorbsi sinar UV merupakan deteksi yang paling umum untuk beberapa senyawa, misal senyawa aromatik dan senyawa terkonjugasi (Sherman & Fried, 1996). Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, dan melakukan screening sampel untuk obat. KLT dapat
26
digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Parameter yang dilihat pada analisis kualitatif adalah harga Rf dan tampilan bercak. Retardation factor (Rf) merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh larutan sampel dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Rf=
Jarak titik pusat bercak dari titik awal Jarak batas akhir fase gerak dari titik awal
Nilai maksimum Rf adalah 1 berarti larutan sampel bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0 berarti larutan sampel tertahan pada titik awal pada fase diam. Sedangkan pada analisis kuantitatif
pengukuran
dapat
dilakukan
dengan
densitometer
atau
spektrofotometri (Gandjar & Rohman, 2010). Identifikasi senyawa pada KLT didasarkan pada nilai Rf yang dibandingkan dengan larutan standar. Nilai Rf secara umum tidak selalu tepat reprodusibel dari laboratorium satu ke laboratorium lain atau bahkan pada laboratorium yang sama tetapi dalam pelaksanaan yang berbeda. Oleh karena itu, Rf dijadikan pertimbangan sebagai panduan jarak atau urutan migrasi relatif. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai Rf bervariasi meliputi dimensi dan tipe bejana, sifat dan ukuran lapisan, arah aliran fase gerak, volume dan komposisi fase gerak, kondisi yang seimbang, kelembapan, dan metode penyiapan sampel. Karakterisasi lebih lanjut dari zat yang terpisah bisa didapatkan dengan menggoreskan lempengan dan elusi analit diikuti dengan analisis Infrared (IR), Nuclear Magnetic Resonance (NMR), atau Mass Spectrometry (MS) jika sampel mencukupi (Sherma & Fried, 1996).
27
Untuk cairan yang tidak diketahui, lapisan pemisah (sifat penjerap) dan sistem larutan pengembang harus dipilih dengan tepat karena keduanya bekerja sama untuk mencapai pemisahan. Selain itu, hal yang juga penting adalah kondisi kerja yang optimum yang meliputi sifat pengembangan, atmosfer, bejana, dan lain-lain (Stahl, 1985). 8. Spektrofotometri Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380) dan sinar tampak (380-780) dengan menggunakan instrumen spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis dapat menganalisis sampel berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel larutan, pada pelarut yang dipakai perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain: a.
Pelarut tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna
b.
Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis
c.
Kemurniannya harus tinggi atau untuk derajat analisis. (Mulja & Suharman, 1995)
Analisis alat spektrofotometer didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis suatu jalur larutan dengan menggunakan monokromator sistem prisma atau kisi difraksi dan detektor fotosel. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi: a.
Sumber tenaga radiasi yang stabil, biasanya digunakan lampu wolfram.
b.
Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.
28
c.
Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet kaca corex, tetapi pada pengukuran di daerah UV menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini.
d.
Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1990)
Secara eksperimental, sangat mudah untuk mengukur banyaknya radiasi yang diserap oleh suatu molekul sebagai fungsi frekuensi radiasi. Suatu grafik yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi (atau panjang gelombang) sinar merupakan spektrum absorpsi. Transisi yang diperbolehkan untuk suatu molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak sama sehingga spektra absorpsinya juga berbeda sehingga spektra dapat digunakan sebagai bajan informasi untuk analisis kualitatif. Banyaknya sinar yang diabsorbsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi sehingga spektra absorpsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Gandjar & Rohman, 2010). Sinar UV dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik sehingga spektra UV dan spektra tampak dikatakan sebagai spektra elektronik. Keadaan energi yang paling rendah disebut dengan keadaan dasar (ground state). Transisi elektronik akan meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi tereksitasi (Gandjar & Rohman, 2010).
29
Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron pada keadaan tereksitasi. Apabila pada molekul sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus yang terdapat pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorpsi yang merupakan garis spektrum sebagaimana Gambar 4. (Gandjar & Rohman, 2010).
Gambar 4. Garis spektrum dengan model sederhana
(Mulya & Suherman, 1995 dalam Gandjar & Rohman, 2010) Keterangan : So : tingkat energi elektron pada keadaan dasar (ground state) S1 : tingkat energi elektron pada keadaan tereksitasi E : energi eksitasi A : absorbansi λ1 : panjang gelombang energi yang sesuai Transisi-transisi elektronik yang terjadi di antara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma – sigma star (σ→σ*); transisi n – sigma star (n→ σ*); transisi n – phi star (n→π*); dan transisi phi – phi star (π→π*)
30
Gambar 5. Diagram tingkat energi elektron
(Gandjar & Rohman, 2010) Pada aspek kuantitatif, pengukuran serapan dapt dihitung dengan hukum Lambert-Beer : 𝐴 = 𝑎𝑏𝑐. Kuantitas spektroskopi yang diukur biasanya adalah transmitan (T), dimana 𝑇 = 𝐼 𝐼 , dan absorbansi (A), dimana 𝐴 = 𝑜
𝑙𝑜𝑔1
𝑇.
Absorptivitas (𝑎) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet, dan instensitas radiasi yang mengenai larutan sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang gelombang radiasi. Satuan a ditentukan oleh satuan-satuan b dan c. Jika satuan c dalam molar (M), maka absorptivitas disebut dengan absorptivitas molar dan disimbolkan dengan ε dengan satuan M-1cm-1 atau liter.mol-1cm-1. Jika c dinyatakan dengan persen berat/volume (g/100mL), maka absorptivitas dapat 1% dituliskan dengan 𝐸1𝑐𝑚 dan juga sering kali ditulis dengan 𝐴1% 1𝑐𝑚 . Hubungan ε 1% 1% dengan nilai 𝐸1𝑐𝑚 adalah : 𝜀 = 𝐸1𝑐𝑚 ×
𝐵𝑀 10
(Gandjar & Rohman, 2010).
Dalam hukum Lambert-Beer ada beberapa pembatasan, antara lain: a.
Sinar yang digunakan dianggap monokromatis
b.
Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama
31
c.
Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut
d.
Tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforesensi
e.
Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan. (Gandjar & Rohman, 2010)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel, yaitu : a.
Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis
b.
Waktu operasional, untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil
c.
Pemilihan panjang gelombang, yaitu yang memiliki absorbansi maksimal
d.
Pembuatan kurva baku
e.
Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan (Gandjar & Rohman, 2010) F. Landasan Teori
Pengeringan merupakan tahapan yang berpengaruh terhadap komposisi minyak atsiri daun tanaman. Beberapa reaksi kimia seperti oksidasi dan resinifikasi terjadi selama proses pengeringan (Guenther, 1948). Suhu dan lama pengeringan juga berpengaruh terhadap komponen minyak atsiri. Oleh karena itu, kemungkinan adanya perubahan komponen minyak atsiri selama proses pengeringan dapat terjadi. Penyari yang digunakan disesuaikan dengan struktur flavonoid yang dikandung agar flavonoid tersari dengan kadar optimum. Berdasarkan prinsip like
32
dissolves like, flavonoid aglikon yang bersifat semipolar dapat disari menggunakan pelarut yang juga bersifat semipolar. Flavonoid glikosida mengikat gula yang menjadikan sifatnya lebih polar daripada flavonoid aglikon sehingga dapat disari dengan menggunakan pelarut yang bersifat lebih polar. Flavonoid dapat rusak oleh paparan cahaya dan udara. Cahaya mengandung sinar UV sedangkan udara mengandung oksigen. Keduanya dapat memicu reaksi oksidasi. Flavonoid memiliki fungsi antioksidasi. Gugus orto-dihidroksi pada cincin B merupakan target potensial senyawa radikal. Adanya ikatan rangkap dua yang terkonjugasi dengan keton dan gugus hidroksil pada C-3, C-5, dan C-7 digunakan sebagai penangkap radikal bebas. Saat pembuatan ekstrak kental terjadi paparan udara dan cahaya yang lama sehingga dimungkinkan flavonoid rusak dan kadar total flavonoidnya berkurang. G. Hipotesis 1. Ada perbedaan kadar ekivalen dan komponen penyusun minyak atsiri daun H. suaveolens segar dan kering. 2. Ekstrak etanolik daun H. suaveolens memiliki kadar ekivalen flavonoid total
lebih rendah dibanding simplisia.