BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan tanaman sebagai obat merupakan suatu kenyataan yang bersifat empiris, hal ini digunakan sebagai upaya untuk mencegah atau mencapai kesembuhan suatu penyakit yang telah dilakukan oleh masyarakat. Kemampuan meracik tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat merupakan suatu kemampuan yang bersifat turun temurun sejak generasi terdahulu hingga generasi sekarang yang telah mengakar kuat dan menjadi budaya bangsa Indonesia. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia (Gunawan dan Mulyani, 2004). Penggunaan bahan alam sebagai obat hingga saat ini mulai meningkat, dengan adanya isu back to nature dan dampak krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal harganya. Obat dari bahan alam ini juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Dari tahun ke tahun penelitian tentang tanaman obat ini semakin meningkat untuk membuktikan kebenaran tumbuhan tersebut sebagai obat (Gunawan dan Mulyani, 2004). Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Menurut WHO negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di
Afrika sebanyak 76,8% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar, 2006). Di Indonesia obat tradisional merupakan aset nasional yang hingga saat ini dimanfaatkan sebagai usaha pengobatan. Hal ini didukung oleh adanya sumber obat tradisional yang melimpah dan memiliki potensi yang cukup besar dalam pencegahan dan penyembuhan terhadap penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, dan mengembalikan kesegaran tubuh. Penggunaan tanaman obat dapat berupa keseluruhan bagian tanaman atau hanya bagian-bagiannya seperti daun, buah, dan kulit batang (Rio, 2002). Salah satu tanaman yang telah dikenal luas penggunaannya untuk pengobatan adalah jambu mete (Anacardium occidentale L.). Tanaman jambu mete mempunyai berbagai khasiat secara empiris. Buahnya digunakan sebagai makanan dan obat penyakit kulit. Kulit batang digunakan untuk antidisentri, diabetes, radang pada mulut, sakit gigi, dan sariawan. Biji digunakan untuk makanan dan pelembut kulit (Sudarsono et al., 2002). Daun berkhasiat antiradang, tekanan darah tinggi, penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemik), sariawan, rematik (Dalimartha, 2000), penyakit kulit, dan luka bakar (Sudarsono et al., 2002).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada ekstrak kulit batang, daun dan buah semu jambu mete memiliki berbagai aktivitas seperti antiinflamasi (Sudarsono et al., 2002), antihiperglikemi (Carolus et al., 2014), antikanker (sitotoksik) (Kusrini et al., 2003), antifungi (Sudarsono et al., 2012), antibakteri (Aiswarya.G et al.,2011), aktivitas larvasida (Wicaksono, H et al., 2013), dan anti-Helicobacter pylori (Kubo et al.,1999). Berdasarkan literatur yang ada, kulit batang jambu mete mengandung senyawa fenol (flavonoid, tanin, dan asam anakardat) serta saponin yang mempunyai efek sebagai antibakteri dan menekan COX-2. Kandungan zat aktif yang bertanggung jawab terhadap aksi farmakologis tersebut adalah senyawasenyawa golongan fenol. Penelitian tentang aktivitas dan khasiat tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) yang semakin banyak tersebut, tentu saja harus diiringi penelitian dari segi kualitas sediaan obat bahan alam. Untuk meningkatkan mutu sediaan obat dari bahan alam, ekstrak sebagai bahan baku utama juga harus bermutu secara fisik dan kandungan kimianya (Handayani et al., 2007). Untuk mendapatkan kandungan zat aktif yang tinggi, maka optimasi pembuatan ekstrak perlu dilakukan. Optimasi pembuatan ekstrak meliputi banyak hal diantaranya jenis pelarut, ukuran serbuk, dan rasio bahan pelarut (solid-solven ratio) . Pengendalian faktor-faktor di atas akan didapat hasil pembuatan ekstrak yang optimal. Sebagai parameter keoptimalan ekstrak yang didapat dari hasil optimasi dapat menggunakan parameter fisik dan kandungan kimianya.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk optimasi ketiga kondisi ekstraksi di atas adalah Response Surface Methodology (RSM). Metode response surface merupakan gabungan dari teknik matematika dan statistika yang digunakan dalam pemodelan dan analisis dimana respon yang diamati dipengaruhi oleh
sejumlah
variabel.
Metode
response
surface
bertujuan
untuk
mengoptimalkan respon (Montgomery, 2009). Proses optimasi seringkali dilakukan didunia industri sebagai bentuk upaya meningkatkan mutu dan kualitas produk yang dihasilkan. Selain digunakan dalam proses optimasi produk, metode response surface juga seringkali digunakan dalam upaya meminimalisasi kecacatan suatu produk dan juga selain pada bidang industri, metode response surface digunakan dibidang yang lain seperti bidang ilmu pangan, biologi, ilmu kedokteran dan kesehatan (Myers et al., 1989). Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Optimasi Faktor Ekstraksi dalam Pembuatan Ekstrak Kulit Batang Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Berdasarkan Response Surface Methodology (RSM)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh faktor-faktor ekstraksi yang meliputi variasi pelarut, ukuran serbuk dan rasio bahan-pelarut terhadap kadar fenol total yang tersari dalam ekstrak kulit batang jambu mete?
2. Bagaimanakah profil persamaan matematis kondisi optimum dalam proses ekstraksi kulit batang jambu mete meliputi ukuran serbuk, variasi pelarut, dan rasio bahan-pelarut berdasarkan Response Surface Methodology (RSM) yang dapat menyari fenol total secara optimum?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mencari kondisi ekstraksi yang optimal dalam pembuatan ekstrak kulit batang jambu mete yang meliputi variasi pelarut, ukuran serbuk dan rasio bahan-pelarut. Penetapan kadar fenol totalpada ekstrak kulit batang jambu mete yang hasil optimasi diharapkan dapat menjadi acuan untuk pembuatan ekstrak yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan obat bahan alam. Hal ini akan sangat berarti dalam memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi perkembangan obat bahan alam. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data-data sebagai berikut: 1. Kondisi optimum dalam proses ekstraksi kulit batang jambu mete meliputi variasi pelarut, ukuran serbuk dan rasio bahan-pelarut berdasarkan Response Surface Methodology (RSM) yang dapat menyari fenol total secara optimum. 2. Kadar fenol total dalam ekstrak kulit batang jambu mete hasil optimasi.
D. Urgensi Penelitian
1. Dari segi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi mengenai proses dalam ekstraksi kulit batang jambu mete yang memiliki kadar fenol total yang optimum. 2. Bagi masyarakat umum ketersediaan informasi dapat membuka peluang usaha pembuatan produk jambu mete yang memiliki nilai jual. 3. Memberikan pertimbangan bagi pelaku usaha bahan ekstrak alam untuk mengolah kulit batang jambu mete menjadi produk simplisia yang mempunyai nilai jual.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) a. Sistemika Tumbuhan Tanaman jambu monyet dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Anak kelas
: Rosidae
Ordo
: Sapindales
Famili
: Anacardiaceae
Genus
: Anacardium
Jenis
: Anacardium occidentale L. (Cronquist, 1981)
b. Nama lain Nama umum tumbuhan adalah jambu monyet. Tumbuhan ini dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu: jambu erang, jambu monyet, gaju (Sumatera), jambu mede, jambu mete (Jawa), jambu jipang, jambu dwipa (Nusa Tenggara), jambu parang, jambu sepal, jambu gayus, jambu seran, janggus, gayus
(Kalimantan),
jambu
dare,
jambu
sereng
(Sulawesi),
kanoke,
masapana,buwa yakis, buwa jaki (Maluku). (Dalimartha, 2000). c. Kandungan kimia Kulit batang jambu mete mengandung tanin yang cukup banyak, zat samak, asam galat, dan gingkol katekin. Daun mengandung tanin-galat, flavonol, asam anakardiol, asam elagat, senyawa fenol, kardol, dan metil kardol. Buah mengandung protein, lemak, vitamin (A,B dan C), kalsium, fosfor, besi, dan belerang. Pericarp mengandung zat samak, asam anakardat, dan asam elagat. Biji mengandung 40-45% minyak dan 21% protein. Minyaknya mengandung asam oleat, asam linoleat, dan vitamin E. Getah mengandung furfural. Asam anakardat berkhasiat bakterisidal, fungisidal, mematikan cacing dan protozoa. (Dalimartha, 2000). Selain itu, daun jambu mete yang masih muda mempunyai komposisi kandungan kimia seperti vitamin A sebesar 2.689 SI per 96 gram, vitamin C sebesar 65 gram per 96 gram, kalori 73 gram per 96 gram, protein 4,6 gram per 96 gram, lemak 0,5 gram per 96 gram, hidrat arang sebesar 16,3 gram per 96 gram,
kalsium 33 miligram per 96 gram, fosfor 64 miligram per 96 gram, besi 8,9 gram per 96 gram, dan air 78 gram per 96 gram. (Yuniarti, 2008). d. Sifat dan khasiat Jambu Mete Secara tradisional, tanaman jambu mete digunakan pada penyakit kulit ringan. Khasiat lainnya sebagai pencahar, astringen,dan digunakan sebagai obat kumur (BPOM RI, 2010). Daun berbau aromatik, rasanya kelat, berkhasiat antiradang dan penurun kadar glukosa darah (hipoglikemik). Biji berkhasiat sebagai pelembut kulit dan penghilang nyeri (analgesik) (Dalimartha, 2000). Penyakit-penyakit yang dapat diobati antara lain : diabetes insipidus (sering buang air kecil), diabetes mellitus (kencing manis), sembelit, sariawan, jerawat, radang mulut rahim, radang gusi, sakit gigi, gigitan ular berbisa, ruam kulit, borok, psoriasis, keracunan makanan, kanker kulit, tekanan darah tinggi (hipertensi), malaria, dan rematik (Dalimartha, 2000). 2. Tanin Tanin merupakan suatu nama deskriptif umum untuk satu grup substansi fenolik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai astringensi. Tanin ditemukan hampir di setiap bagian dari tanaman; kulit kayu, daun, buah, dan akar (Hagerman, 1998). Tanin dibentuk dengan kondensasi turunan flavan yang ditransportasikan ke jaringan kayu dari tanaman, tanin juga dibentuk dengan polimerisasi unit quinon (Anonim, 2005).
Tanin adalah senyawa yang memiliki bobot molekul antara 500 dan 3000, mempunyai gugus hidroksi fenolik dan dapat membentuk ikatan silang yang stabil dengan protein dan biopolimer lain, seperti selulosa dan pektin (Manitto, 1981).
Gambar 1. Struktur inti tanin (Robinson, 1995)
Secara struktural tanin adalah suatu senyawa fenol yang memiliki berat molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan protein dan beberapa makromolekul (Hovart, 1981). Sebagai salah satu tipe dari senyawa metabolit sekunder, tanin mempunyai karakteristik sebagai berikut (Giner-Chavez, 2001). Senyawa-senyawa tanin merupakan penghambat enzim yang kuat bila terikat pada protein. (Manito, 1981). Tanin memiliki sifat yang sangat kompleks mulai dari sifat pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002), sebagai adstringen dan antiseptic (Claus et al., 1961) serta dapat membunuh fungi, khamir, dan bakteri (Cowan, 1999).
Senyawa tanin larut dalam air, alkohol, gliserol, dan aseton (Trease dan Evans, 1978). Senyawa ini mempunyai rasa sepat sehingga dapat berfungi mengusir hewan pemakan tumbuhan (Harborne, 1987). Bila dikecap, akan memberikan rasa kelat dalam mulut, sama seperti rasa memakan buah yang masam. Reaksi ini disebabkan oleh pengendapan glikoprotein tertentu yang terdapat dalam air ludah, yang biasanya mempunyai sifat sebagai pelumas. Dalam buah, tingkat polimerisasi dari tanin bertambah bila buah makin masak, sehingga kemampuan untuk mengikat protein menjadi berkurang (Manitto, 1981). Tanin berdasarkan bentuk dan kimiawinya dapat dibagai menjadi dua golongan, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin yang terhidrolisis merupakan ikatan ester antara suatu monosakarida terutama Dglukosa yang gugus hidroksilnya (seluruh atau sebagian) terikat dengan asam galat, digalat, trigalat dan asam heksahidroksidifenat. Tanin jenis ini mudah dihidrolisis oleh asam dan alkali (dan oleh enzim khas), menghasilkan asam-asam aromatik dan satuan karbohidrat. (Manitto, 1981). Sementara itu tanin terkondensasi atau flavolan terbentuk dari kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon yang menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8 (Manitto, 1981). a. Tanin Terkondensasi
Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Proantosianidin merupakan nama lain dari tanin terkondensasi karena jika direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin (Harborne, 1987). Proantosianidin didefinisikan sebagai oligo atau polimer flavonoid (flavan-3-ol atau flavan-3-4-diol), dimana ikatan C-C tidak mudah untuk dihidrolisis (Etherington, 2002). Proantosianidin lebih banyak terdistribusi daripada tanin terhidrolisis, merupakan oligomer atau polimer satuan flavonoid (misalnya flavan-3-ol) yang terikat oleh ikatan karbon-karbon yang tidak mudah terpecah dengan adanya hidrolisis (Giner-Chavez, 2001). Proantosianidin dapat dideteksi langsung dalam jaringan tumbuhan hijau dengan mencelupkan ke dalam HCl 2M mendidih selama setengah jam. Bila terbentuk warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol, maka ini merupakan bukti adanya senyawa tersebut (Harborne, 1987).
(a)
(b)
(c) Gambar 2. Struktur Tanin Terkondensasi(a) Flavan-3,4-diol (b) Struktur Flavan- 4-ol (c) Flavan- 3-ol (Hagerman, 1998)
b. Tanin Terhidrolisis Tanin terhidrolisis merupakan molekul dengan poliol (umumnya Dglikosa) sebagai pusatnya. Tanin terhidrolisis adalah pecahnya karbohidrat dan asam fenolik oleh asam lemah atau basa lemah (Hagerman, 1998). Gugus hidroksi pada karbohidrat sebagian atau semuanya teresterifikasi dengan gugus karboksil pada asam gallat (gallotanin) atau asam ellagat (ellagitanin). Tanin terhidrolisis biasanya sedikit terdapat dalam tanaman (Giner-Chavez, 2001). 1) Gallotanin
Gallotanin terbentuk dari asam gallat dan gula, biasanya glukosa. Beberapa asam gallat terikat pada satu molekul gula. Asam gallat mungkin terikat bersama pada gugus ester yang terbentuk antara gugus karboksil molekul satu dan gugus hidroksi pada molekul lain (Luchner, 1984 dalam skripsi Nuraini, 2002). Sifat fisik dari gallotanin berupa polimer amorf, berwarna putih kekuningan, mempunyai bau spesifik, dapat larut dalam air, gliserol, dan sangat larut dalam alkohol, aseton. Gallotanin tidak larut dalam benzen, kloroform, eter dan petroleum eter, karbon disulfida, karbon tetraklorida (Gohen, 1976). Sifat kimia dari gallotanin adalah berwarna coklat jika terkena cahaya, dengan albumin, tepung, gelatin, alkaloid dan garam metalik memberikan endapan yang tidak larut, sedangkan dengan FeCl3 memberikan warna biru kehitaman, pada suhu 215 °C akan terdekomposisi menjadi pirogalol dan CO2 (Tyler, 1976). Gallotanin merupakan suatu ester dimana dalam larutan gugus karbonil dari gugus esternya dapat diprotonkan, kemudian karbon yang bermuatan positif parsial dapat diserang oleh nukleofil lemah seperti air. Untuk reaksi hidrolisis dengan katalisis asam dalam air berlebih dan panas maka suatu ester menjadi asam karboksilat. Kelebihan air akan menggeser kesetimbangan ke arah sisi asam karboksilat (Solomons, 1976). Mekanisme reaksi hidrolisis ester berkatalis asam mempunyai tahap-tahap yaitu tahap protonasi, adisi H2O, kemudian eliminasi ROH yang disusul dengan deprotonasi. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
R = Gula
Gambar 3. Reaksi hidrolisis gallotanin (Solomons, 1976)
Asam gallat (3,4,5 trihidroksibenzoat) merupakan senyawa turunan dari aromatik karboksilat, dengan berat molekul 167,2,12, mempunyai titik didih 200 °C, titik leleh 110 °C, sedikit larut dalam air panas, alkohol, etil asetat, gliserol.
Asam gallat tidak larut dalam benzena, kloroform, petroleum eter, dengan FeCl3 memberikan warna biru kehitaman (Tyler, 1976).
2) Ellagitanin Ellagitanin terbentuk dari asam heksahidroksi difenil yang mungkin terbentuk dari terikatnya dua molekul asam gallat melalui reaksi oksidasi (Fieser, 1961). Ellagitanin merupakan jenis tanin yang terhidrolisis. Hidrolisis dengan asam kuat akan menghasilkan asam ellagat. Asam ellagat memberikan reaksi warna spesifik dengan adanya asam nitrit (HNO2). Reaksi ini digunakan mendeteksi jaringan tumbuhan yang terekstrak dan merupakan metode yang penting dalam penentuan ellagitanin (Bate, 1972). Dalam penentuan ellagitanin diperlukan reaksi warna dengan asam nitrat dalam lingkungan nitrogen, dimana akan memberikan warna merah yang lama kelamaan berubah menjadi biru. Bila ada udara dilingkungannya maka lama kelamaan berubah menjadi kuning (Bate, 1972). Reaksi hidrolisis dari ester ellagitanin dalam katalis asam menjadi asam ellagat adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Reaksi hidrolisis ellagitanin (Solomons, 1976)
Asam ellagat membentuk kristal jarum hijau kuning dengan piridin, meleleh pada 357,6 °C, tidak larut dalam eter, sedikit larut dalam air dan larut dalam alkali/ basa dengan warna kuning yag kuat. Asam ellagat mewarnai katun chrominum-mordant hijau pudar (Fieser, 1961).
3. Asam Anakardat Asam anakardat memiliki rumus kimia C18H23O3 dengan berat molekul 348,5 g.mol-1. Asam anakardat larut dalam 96% etanol, metanol, DMSO, diklormetan, dan etilasetat (Anonim, 2011) Asam anakardat ditemukan di kulit batang Amphipterygium adstringent (keluarga Anacardiaceae) merupakan senyawa yang bertanggung jawab sebagai antiinflamasi (Olivera et al., 1999) yang juga diidentifikasi pada Ozoroa insignis (Rea et al., 2003), Anacardium occidentale (Kubo et al., 1994), dan Ginkgo biloba (Itokawa et al., 1987). Pada A. occidentale selain pada kulit batang, asam anakardat juga terdapat dalam kulit biji dan getah (Sudarsono et al., 2002) Asam anakardat berkhasiat bakterisidal, fungisidal, mematikan cacing, dan protozoa (Dalimartha, 2000), molluscida, antitumor, antimikroba, antioksidan, inhibitor xantin oksidase (Silva et al., 2008). Asam anakardat juga memiliki aktivitas antimikroba berdasarkan struktur kimia (Kubo et al.,2003). Asam anakardat
dihubungkan dengan antikanker,
anti-inflamasi,
dan aktivitas
radiosensitisasi, memiliki aktivitas antioksidan dan menghambat aktivitas enzim tirosinase, xanthine oksidase, fosfolipase C, histon asetil transferase (HAT), faktor Vlla, lipooksigenase, dan cyclooksigenase (COX) (Sung et al., 2007).
4. Simplisia a. Definisi Simplisia (Gunawan, 2004; Anonim, 2000) Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk. Berdasarkan hal tersebut maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan/mineral 1) Simplisia Nabati Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, again tanaman dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau zat yang dipisahkan dari tanaman dengan cara tertentu yang masih belum berupa zat kimia murni. 2) Simplisia Hewani Simplisia hewani adalah simplisiahewan utuh, bagian hewan, atau belum berupa zat kimia murni. 3) Simplisia Mineral Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik telah diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni.
b. Pengelolaan Simplisia (Anonim, 1986; Anonim, 2000) Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan perakatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal yaitu makin halus serbuk simplisia proses ekstraksi makin efektif, efisien namun makin halus serbuk maka makin rumit secara teknologi peralatan untuk tahap filtrasi. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi dengan benda keras, maka akan timbul panas (kalori) yang dapat berpengaruh pada senyawa kandungan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan penggunaan nitrogen cair. Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dan terhindar dari cemaran industri obat tradisional, dalam mengelola simplisia sebagai bahan baku pada umumnya melakukan tahapan kegiatan berikut ini : 1) Sortasi Basah Sortasi basah dilakukan dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya, simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu, pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal.
2) Pencucian Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air yang bersih, misalnya air dari mata air, air sumur dari PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam yang yang sesingkat mungkin. 3) Perajangan Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami perajangan bahan simplisia untuk memperoleh proses pengeringan yang optimal. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan maka semkain cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi, irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya zat aktif yang volatil dan kandungan minyak atsiri, sehingga mempengaruhi komposisi, bau, dan rasa yang diinginkan. 4) Pengeringan Tujuannya yaitu mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dapat dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau proses perusakan simplisia. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses pengeringan sudah ddapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama
proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan,dan luas permukaan bahan. Suhu yang terbaik pada proses pengeringan adalah tidak lebih dari 57,60C. Akan tetapi, bahan aktif yang tidak tahan pemanasan (termolabil) atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu yang relatif rendah, misalnya pada suhu 300C sampai 450C. Terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan alamiah (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-anginkan) dan pengeringan buatan (menggunakan instrumen). 5) Sortasi Kering Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi adalah untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lainnya yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Pada simplisia yang berbentuk rimpang, jika akar yang melekat pada rimpang terlalu besar, harus dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi, dan benda-benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia disimpan dalam wadah tertentu. 6) Penyimpanan Setelah tahap penyimpanan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia satu dengan simplisia yang lainnya. Selanjutnya, wadah-wadah yang
berisi simplisia disimpan dalam rak pada gudang penyimpanan. Adapaun faktor yang mempengarhi pengepakan dan penyimpanan simplisia adalah cahaya, oksigen, atau sirkulasi udara, reaksi kimia yang terjadi antara kandungan aktif tanaman dengan wadah, penyerapan air, kemungkinan terjadinya proses dehidrasi, pengotoran atau pencemaran, baik yang diakibatkan oleh serangga, kapang, atau yang lainnya. Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisa harus inert, artinya tidak
mudah bereaksi dengan bahan lain, tidak
beracun, mampu melindungai bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air. 5. Ekstraksi a. Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000). Komponen-komponen kimia yang terkandung di dalam bahan organik seperti yang terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan sangat dibutuhkan oleh keperluan hidup manusia, baik komponen senyawa tersebut digunakan untuk keperluan industri maupun untuk bahan obat-obatan. Komponen tersebut dapat
diperoleh dengan metode ekstraksi dimana ekstraksi merupakan proses pelarutan komponen kimia yang sering digunakan dalam senyawa organik untuk melarutkan senyawa tersebut dengan menggunakan suatu pelarut (Anonim, 2013). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut : 1) Cara dingin Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi total, yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil yang terdapata pada sampel. Sebagian besar senyawa dapat terekstraksi dengan ekstraksi cara dingin, walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki keterbatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan. Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah ekstraksi dingin (dalam labu besar yang berisi biomassa yang diagitasi menggunakan stirer), dengan cara ini bahan kering hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut yang kepolarannya makin tinggi. Keuntungan cara ini merupakan metode ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga kemungkinan kecil bahan alam menjadi terurai. Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran bahan alam secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan-bahan alam berdasarkan kelarutannya (dan polaritasnya) dalam pelarut ekstraksi. Hal ini sangat mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, meskipun beberapa senyawa memiliki pelarut ekstraksi pada suhu kamar. (Heinrich et al., 2005).
a) Maserasi Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (suhu kamar). Maserasi berujuan untuk menarik zat-zat aktif yang tahan terhadap pemanasan (termostabil) maupun yang tidak tahan terhadap pemanasan (termolabil). Secara teknologi, maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengadukan pada suhu kamar. (Anonim, 2000) Maserasi berasal dari bahasa latin macerace yang berarti mengairi atau melunakkan. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, difusi bahan kandungan dari sel yang
masih
utuh.
Setelah
selesai
waktu
maserasi,
tercapailah
suatu
kesetimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang telah masuk ke dalam cairan. Pada kondisi ini berarti proses maserasi akan segera berakhir (Voigh, 1994). Selama
maserasi,
dilakukan
proses
pengadukan
berulang-ulang.
Pengadukan berfungsi untuk menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat di dalam cairan. Sedangkan, kondisi diam pada proses maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis, pada suatu prosoes maserasi tidak mungkin terjadi suatu ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap pelarut, akan semakin banyak zat yang akan terekstraksi (Voigh, 1994).
Kerugian dari metode maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna. Secara teknologi, maserasi termasuk metode ekstraksi dengan prinsip pencapaian konsentrasi pada keseimbangan, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai proses kesetimbangan (Anonim, 2000). b) Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna (Exhausted extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses ini terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan dan penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnnya 1-5 kali bahan.
2) Cara panas (Anonim, 2000) a) Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. b) Ekstraksi Soxhlet Ekstraksi Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru. Umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Bahan
ditempatkan dalam suatu wadah soxhlet yang dibuat dengan kertas saring. Melalui alat ini pelarut akan terus direfluks. Alat soxhlet akan mengosongkan isinya ke dalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut segar melewati alat ini melalui pendingin refluks, ekstraksi akan berlangsung efisien dan senyawa dari bahan secara efektif akan ditarik ke dalam pelarut karena konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut. c) Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada suhu 400C-500C. d) Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, dengan temperatur terukur 96976,8C selama 15-20 menit). e) Dekok Dekok adalah infus dengan waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 300C) dan temperatur sampai titik didih air. f) Cara Ekstraksi Lainnya (Depkes RI, 2000) (1) Ekstraksi Berkesinambungan Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berturutan beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatakan efisiesi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk bahan dalam jumlah yang besar yang terbagi dalam bejana ekstraksi.
(2) Ekstraksi Superkritikal Karbondioksida Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia dan umumnya digunakan gas karbondioksida. Ekstraksi dilakukan pada tekanan 72,9 Atm dan temperature 31oC, akan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang
sesuai
untuk
melarutkan
golongan
senyawa
kandungan
tertentu.
Penghilangan cairan pelarut dengan mudah dilakukan karena karbondioksida mudah menguap, sehingga hampir langsung diperoleh ekstrak. (3) Ekstraksi Ultrasonik Getaran ultrasonik (>20.000 Hz) memberikan efek pada proses ekstrak dengan prinsip meningkatkan permiabilitas dinding sel, menimbulkan gelembung spontan (Cavitation) sebagai stress dinamis serta menimbulkan fraksi interfase. Hasil ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses ultrasonikasi. (4) Ekstraksi Energi Listrik Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta “Electric-discharges” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan pinsip menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan berkecepatan ultrasonik. Menurut Mc Cabe (1999) dalam Muhiedin (2008), ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua cara berdasarkan wujud bahannya yaitu: 1. Ekstraksi padat cair, digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari campurannya dengan zat padat yang tidak dapat larut.
2. Ekstraksi cair-cair, digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling bercampur, dengan menggunakan pelarut dapat melarutkan salah satu zat Ekstraksi padat cair secara umum terdiri dari maserasi, refluktasi, sokhletasi, dan perkolasi. Metoda yang digunakan tergantung dengan jenis senyawa yang kita gunakan. Jika senyawa yang kita ingin sari rentan terhadap pemanasan maka metoda maserasi dan perkolasi yang kita pilih, jika tahan terhadap pemanasan maka metoda refluktasi dan sokletasi yang digunakan (Safrizal,2010). Pada ekstraksi cair-cair, bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan pemisahannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur sehingga terjadi distribusi sampel di antara kedua pelarut tersebut. Pendistribusian sampel dalam kedua pelarut tersebut dapat ditentukan dengan perhitungan KD/koefisien distribusi (Faradillah, 2011).
6. Proses Pembuatan Ekstrak Pembuatan ekstrak melalui tahap-tahap sebagai berikut : a. Pembasahan Pembasahan serbuk dilakukan pada penyarian, dimaksudkan memberikan kesempatan sbesar-besarnya kepada cairan penyari memasuki pro-pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya (Anonim, 1986; Anonim, 2000).
b. Penyari atau Pelarut Cairan penyari yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah penyari yang baik untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau aktif. Penyari tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya. Faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan cairan penyari adalah selektifitas, ekonomis, kemudahan bekerja, ramah lingkungan dan aman. Dalam hal keamanan untuk manusia dan hewan coba,cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “Pharmaceutical grade”. Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air, etanol (alkohol), atau campuran (air dan alkohol). Anonim, 1986; Anonim, 2000). c. Pemisahan dan Pemurnian Bertujuan untuk memisahkan atau menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan semaksimal mungkin tanpa pengaruh pada senyawa kandungan yang diinginkan, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, serta proses absorbsidan penukar ion. (Anonim, 2000) d. Pemekatan atau Penguapan Pemekatan adalah peningkatan jumlah partikel solute (senyawa terlarut) dengan cara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kering tetapi ekstrak hanya menjadi pekat/kental. (Anonim, 2000)
7. Maserasi a. Pengertian Maserasi Maserasi istilah aslinya adalah macerare (bahasa Latin, artinya merendam). Cara ini merupakan salah satu cara ekstraksi, dimana sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati yaitu direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut nonpolar) atau setengah air, misalnya etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam buku resmi kefarmasian (Anonim, 2000). Maserasi adalah salah satu jenis metoda ekstraksi dengan sistem tanpa pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada metoda ini pelarut dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali. Sehingga maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas (Hamdani, 2014). Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari (Afifah,2012). Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana dengan cara merendam serbuk simplisia menggunakan pelarut yang sesuai dan tanpa pemanasan.
b. Prinsip Maserasi Prinsip maserasi adalah pengikatan/pelarutan zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Langkah kerjanya adalah merendam simplisia dalam suatu wadah menggunakan pelarut penyari tertentu
selama beberapa hari sambil sesekali diaduk, lalu disaring dan diambil beningannya. Selama ini dikenal ada beberapa cara untuk mengekstraksi zat aktif dari suatu tanaman ataupun hewan menggunakan pelarut yang cocok. Pelarutpelarut tersebut ada yang bersifat “bisa campur air” (contohnya air sendiri, disebut pelarut polar) ada juga pelarut yang bersifat “tidak campur air” (contohnya aseton, etil asetat, disebut pelarut non polar atau pelarut organik). Metode maserasi umumnya menggunakan pelarut non air atau pelarut nonpolar. Teorinya, ketika simplisia yang akan dimaserasi direndam dalam pelarut yang dipilih, maka ketika direndam, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel yang penuh dengan zat aktif dan karena ada pertemuan antara zat aktif dan penyari itu terjadi proses pelarutan (zat aktifnya larut dalam penyari), sehingga penyari yang masuk ke dalam sel tersebut akhirnya akan mengandung zat aktif, katakan 96%, sementara penyari yang berada di luar sel belum terisi zat aktif (0 %) akibat adanya perbedaan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel ini akan muncul gaya difusi, larutan yang terpekat akan didesak menuju keluar berusaha mencapai keseimbangan konsentrasi antara zat aktif di dalam dan di luar sel. Proses keseimbangan ini akan berhenti, setelah terjadi keseimbangan konsentrasi (disebut dengan istilah “jenuh”). Dalam kondisi ini, proses ekstraksi dinyatakan selesai, maka zat aktif di dalam dan di luar sel akan memiliki konsentrasi yang sama, yaitu masing-masing 50%.
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekstraksi
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi antara lain: (Treyball, 1976 ; Mc. Cabe, 2005 ; Anonim, 2011 ; Skoog.W.H. , 2002 ; Nadia Soedhono, 2011). a. Ukuran Partikel Padatan Untuk meningkatkan kinerja proses ekstraksi baik dari waktu yang diperlukan yang lebih singkat dan hasil ekstrak yang diperoleh dapat lebih besar, diupayakan sampel padatan yang digunakan memiliki luas permukaan yang besar. Luas permukaan yang besar ini dapat dicapai dengan memperkecil ukuran bahan padatan. Ukuran kecil padatan ini kemudian akan memperpendek lintasan kapiler proses difusi dan tahanan proses difusi internal dapat diabaikan. Semakin luas permukaan padatan maka perpindahan massa ekstraksi akan berlangsung lebih cepat. Namun, keberadaan padatan berukuran kecil pun harus dibatasi jumlahnya, karena jumlah padatan yang terlampau banyak dapat menghalangi aliran pelarut untuk kontak dengan zat aktif dalam padatan itu sendiri. Pengecilan ukuran padatan ini dapat diusahakan dengan penggerusan atau penekanan pada padatan. Namun, pengecilan ukuran padatan ini pun perlu diperhatikan agar tidak terlalu kecil yang dapat menghilangkan kemungkinan pelarut terserap ke dalam padatan.
b. Pelarut Pelarut yang digunakan dapat murni atau dapat pula mengandug sedikit mengandung solute sejak awal. Selama proses ekstraksi berlangsung terjadi peningkatan konsentrasi solute dan kecepatan ekstraksi akan menurun karena kemampuan pelarut untuk terus melarutkan solute semakin berkurang. Pelarut yang biasa digunakan dapat berupa: (Anonim, 2011) 1. Air Pelarut ini memiliki beberapa keuntungan di mana relatif murah, mudah diperoleh, tidak toksik, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, dan digunakan bila senyawa yang akan diekstrak larut air. Namun, tidak dipungkiri pula dengan penggunaan pelarut air ini dapat dimungkinkan terjadinya reaksi hidrolisa, dapat ditumbuhi jamur dan mikroba, tidak selektif, titik didih 96oC (tidak cocok untuk senyawa yang terurai pada temperatur tinggi), dan untuk pengeringan dibutuhkan waktu yang lama. 2. Pelarut organik Ekstraksi dapat dilangsungkan dengan berbagai jenis pelarut organik. Dengan pemakaian pelarut organik senyawa tidak terhidrolisis sebagaimana bila digunakan pelarut air. Keuntungan lainnya pemakaian pelarut organik adalah titik didihnya yang relatif rendah sehingga tidak perlu dilakukan pemanasan tinggi, dan tidak dapat ditumbuhi jamur. Namun, pemakaian pelarut organik ini pun memiliki beberapa kerugian seperti mahal, beberapa pelarut organik bersifat toksik (karsinogenik), dan
berbahaya (bisa terbakar) seperti: etanol, metanol, CHCl3, eter, heksan dan lainlain. Dalam penggunaannya ada beberapa jenis pelarut organik yang tidak dapat dicampur dengan air seperti benzene, toluene, heksana, xilen, diklorometan, tetraklorometan, kloroform , dietil eter, dan metal isobutil keton. Namun, terdapat berbagai macam pelarut organik yang dapat dicampurkan dengan air seperti asam karboksilat, aldehide, keton, dimetil sulfoksida dan lain-lain. Pelarut yang dipilih harus disesuaikan dengan beberapa kriteria berikut: (Treyball, 1976,8 ; Mc. Cabe, 2005 ; Skoog.W.H. , 2002 )
Kepolaran dan kelarutan pelarut Pelarut yang dipilih memiliki kepolaran yang sama dengan bahan yang akan diekstrak sehingga pelarut dapat melarutkan solute dengan baik. Dengan tingkat kelarutan yang tinggi, hanya sedikit pelarut yang diperlukan.
Selektifitas Pelarut diharapkan memiliki selektifitas yang tinggi sehingga hanya akan melarutkan senyawa-senyawa tertentu yang ingin diekstrak atau sesedikit mungkin melarutkan senyawa-senyawa pengotor, sehingga pemisahan dari campurannya pun dapat berlangsung lebih sempurna.
Murah dan mudah diperoleh.
Tidak korosif, tidak beracun, stabil secara termal dan tidak mudah terbakar.
Tidak menyebabkan terbentuknya emulsi.
Tidak reaktif.
Pelarut hanya berfungsi melarutkan dan diharapkan tidak mengubah susunan kimia dari bahan yang diekstrak (tidak terjadi reaksi antara pelarut dengan bahan yang diekstrak).
Titik didih Titik didih pelarut cukup rendah sehingga hanya membutuhkan pemanasan yang tidak terlampau besar. Bila pemanasan yang diperlukan membutuhkan energi yang sangat besar, dapat menimbulkan kerusakan pada bahan yang diekstrak dan hal seperti itu tentu saja dihindari. Namun titik didih pelarut pun tidak boleh terlampau rendah yang dapat menyebabkan kehilangan pelarut dalam jumlah yang besar akibat pemanasan. Titik didih pelarut pun harus seragam agar tidak menimbulkan residu di bahan pangan.
Viskositas dan densitas Viskositas dan densitas dari pelarut diharapkan cukup rendah agar pelarut lebih mudah mengalir dan kontak dengan padatan berlangsung lebih baik.
Sifatnya terhadap air Pelarut yang digunakan sebaiknya bersifat hidrofilik terlebih bila bahan yang akan diekstrak masih mengandung sedikit air. Bila pelarut yang digunakan bersifat hidrofob, pelarut yang diharapkan dapat menembus dinding sel dan melarutkan isi sel (klorofil/bahan yang akan diekstrak) akan ditolak terlebih dahulu oleh keberadaan air.
Bersifat hidrofilik Kecepatan alir pelarut, sedapat mungkin besar dibandingkan dengan laju alir bahan ekstraksi, agar ekstrak yang terlarut dapat segera diangkut keluar
dari permukaan bahan padat. Tergantung pada jenis ekstraktor yang digunakan, hal tersebut dapat dicapai baik dengan pengadukan secara turbulen, atau dengan pemberian laju alir pelarut yang tinggi. Namun pengadukan yang dilakukan harus dilakukan dengan efisien, kecepatan yang terlampau tinggi dapat mengakibatkan terjadinya aliran tangensial yang dapat menghambat proses pengadukan. c. Temperatur Temperatur operasi yang tinggi akan berpengaruh positif terhadap ekstraksi karena adanya peningkatan kecepatan difusi, peningkatan kelarutan dari larutan, dan penurunan viskositas pelarut. Dengan viskositas pelarut yang rendah, kelarutan yang dapat dicapai lebih besar. Temperatur yang digunakan harus dapat disesuaikan dengan kelarutan pelarut, stabilitas pelarut, tekanan uap pelarut, dan selektifitas pelarut. d. pH Rentang pH yang digunakan harus disesuaikan dengan kestabilan bahan yang akan diekstrak. Misalnya, untuk klorofil, suasana asam dan basa dapat membuat klorofil terhidrolisis menjadi klorofilid. e. Porositas dan difusivitas Perlu diperhatikan apakah struktur bahan padat yang diekstrak berpori atau tidak. Struktur yang berpori dari padatan berarti memungkinkan terjadinya difusi internal solute dari permukaan padatan ke pori-pori padatan tersebut. Difusivitas sendiri merupakan suatu parameter yang menunjukkan kemampuan solute berpindah secara difusional. Semakin besar difusivitas bahan
padatan maka semakin cepat pula difusi internal yang terjadi dalam padatan tersebut. f. Pengadukan Pengadukan diperlukan untuk meningkatkan difusi eddy sehingga perpindahan massa dari permukaan padatan ke pelarut dapat meningkat pula. Pengadukan akan mencegah terbentuknya suspensi atau bahkan endapan serta efektif untuk membentuk suatu lapisan interphase. Luas area interphase akan bervariasi bergantung diameter padatan. Penurunan luas area interphase ini kemudian akan menurunkan perpindahan massa yang terjadi sekaligus menurunkan efisiensi tahapan. Pengadukan yang tinggi akan meminimalkan tahanan perpindahan masa selama reaksi dan ekstraksi namun kemudian akan membentuk emulsi atau padatan yang sangat kecil dan sulit diendapkan. g. Waktu ekstraksi Semakin lama waktu ekstraksi, maka semakin lama waktu kontak antara pelarut dan solute sehingga perolehan ekstrak akan semakin besar. Namun bila waktu yang dibutuhkan terlalu lama maka secara ekonomis proses ekstraksi tersebut berlangsung dengan tidak efisien. h. Rasio zat padat terhadap pelarut Jumlah pelarut perlu disesuaikan dengan kebutuhan. Pelarut yang terlalu banyak dapat mengakibatkan pemborosan biaya dalam operasi ekstraksi.
i. Mode operasi Pemilihan mode operasi dalam pelaksanaan ekstraksi padat-cair pun perlu dipertimbangkan karena menentukan keberhasilan pemisahan yang dapat berlangsung.
9. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simpisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Anonim, 1995). Ekstrak dikelompokkan atas dasar sifatnya, yaitu a. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang. b. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%. Tingginya kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran bakteri. c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%. d. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair. (Voight, 1994)
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan terbagi atas beberapa faktor, antara lain adalah : a. Faktor Biologis yang meliputi : i. Identitas jenis (spesies), jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasikan sampai informasi genetik sebagai faktor internal untuk validasi jenis. ii. Lokasi tumbuhan asal: lokasi berarti faktor luar, yaitu lingkungan (tanah dan atmosfer) tempat tumbuhan berinteraksi, berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air, senyawa organik dan anorganik). iii. Periode pemanenan hasil tumbuhan: faktor ini merupakan dimensi waktu dari proses kehidupan tumbuhan terutama
metabolisme sehingga
menentukan senyawa kandungan. Waktu untuk mencapai kadar senyawa kandungan optimal dari proses biosintesis dan waktu sebelum senyawa tersebut dikonversi menjadi senyawa lain. iv. Penyimpanan bahan tumbuhan: merupakan faktor eksternal yang dapat diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik dan abiotik). v. Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. b. Faktor Kimia i. Faktor internal meliputi: jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.
ii. Faktor Eksternal meliputi : metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat), ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida (Anonim, 2000). Proses ekstraksi dapat melalui tahap: pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian dan pemekatan. Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan semaksimum mungkin dari zat aktif dan seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan. (Anonim, 2000). 10. Metode Response Surface (RSM) Metode response surface merupakan gabungan dari teknik matematika dan statistika yang digunakan dalam pemodelan dan analisis dimana respon yang diamati dipengaruhi oleh sejumlah variabel. Metode response surface bertujuan untuk mengoptimalkan respon (Montgomery, 2009). Proses optimasi seringkali dilakukan didunia industri sebagai bentuk upaya meningkatkan mutu dan kualitas produk yang dihasilkan.
Selain digunakan dalam
proses optimasi produk, metode response surface juga seringkali digunakan dalam upaya meminimalisasi kecacatan suatu produk dan juga selain pada bidang industri, metode response surface digunakan dibidang yang lain seperti bidang ilmu pangan, biologi, ilmu kedokteran dan kesehatan (Myers et al., 1989). Metode response surface merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan proses optimasi respon pada percobaan dengan faktor perlakuan bersifat kuantitatif. Tujuan utama dari metode response surface adalah mendapatkan
komposisi taraf perlakuan yang menghasilkan respon optimum. Secara umum, metode response surface dapat digambarkan secara visual melalui response surface plot dan kontur plot. Melalui plot tersebut dapat diketahui bentuk hubungan antara respon dengan variabel bebasnya. (Bradley, 2007). RSM merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang berguna untuk menganalisa masalah,dimana beberapa variabel mernpengaruhi sebuah respon, tujuannya adalah untuk mengoptimalkan respon tersebut. Desain dari penelitian ini menggunakan desain tingkat tiga variabel yang menghasilkan running yang sangat efisien di dalam jumlah running (Montgomery, l99l). Dengan demikian variasi perlakuan untuk optirnasi yang seharusnya 27 variasi dapat menjadi 15 variasi saja dengan RSM. RSM telah banyak digunakan dalam penelitian di bidang pangan antara lain untuk optimasi pembuatan saus asap cair bentuk padat (Redy, 2002) dan optimasi produksi tepung bumbu asap (Cita,2002).
F. Landasan Teori
Jambu mete telah dikenal luas khasiat empirisnya di masyarakat sebagai alternatif pengobatan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada ekstrak kulit batang, daun dan buah semu jambu mete memiliki berbagai aktivitas seperti antiinflamasi, antihiperglikemi, antikanker (sitotoksik), antifungi, antibakteri, aktivitas larvasida, dan anti-Helicobacter pylori .
Berdasarkan literatur yang ada, kulit batang jambu mete mengandung senyawa fenol (flavonoid, tanin, dan asam anakardat) serta saponin yang mempunyai efek sebagai antibakteri dan menekan COX-2. Kandungan zat aktif yang bertanggung jawab terhadap aksi farmakologis tersebut adalah senyawasenyawa golongan fenol. Oleh karena itu, dipilih kadar fenol total sebagai respon yang dioptimasi. Dalam proses ekstraksi, semakin kecil ukuran partikel, semakin banyak zat aktif yang dapat terekstrak. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel yang kecil memiliki luas bidang kontak persatuan volume yang besar sehingga transfer massa antara solut dari padatan menuju solven semakin besar. (Gerstenfeld et al.,1994). Selain itu, Semakin besar rasio bahan terhadap pelarut, jumlah pelarut yang kontak dengan bahan ekstraksi semakin banyak. Jumlah molekul pelarut yang meningkat akan meningkatkan kemungkinan tumbukan antara solute dengan pelarut, sehingga solute dapat berdifusi keluar bahan ekstraksi lebih banyak dan akan meningkatkan yield kadar fenol total . Fenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarutyang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa tersebut yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya (Pambayun, 2007). Jika gugus non polar (seperti gugus alkil) terikat pada cincin aromatis, maka kelarutan fenol dalam air akan berkurang. Hal ini yang menjadi alasan mengapa gugus non polar sering disebut gugus hidrofob.
Optimasi faktor-faktor ekstraksi seperti polaritas pelarut, ukuran serbuk, dan rasio bahan-pelarut akan berpengaruh dalam meningkatkan kualitas dari ekstrak kulit batang jambu mete. Optimasi kondisi ekstraksi dalam penelitian ini akan dilakukan dengan metode response surface.
G. Hipotesis
Dalam penelitian ini dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : 1. a. Semakin kecil ukuran partikel serbuk, semakin tinggi kadar fenol total yang terekstraksi dari kulit batang jambu mete. b. Semakin tinggi kadar etanol yang digunakan sebagai pelarut, semakin tinggi kadar fenol total yang terekstraksi dari kulit batang jambu mete. c. Semakin besar rasio bahan-pelarut, semakin tinggi kadar fenol total yang terekstraksi dari kulit batang jambu mete. 2. Metode response surface dapat digunakan untuk menghasilkan model persamaan optimasi kondisi ekstraksi dalam pembuatan ekstrak kulit batang jambu mete dengan kadar fenol total sebagai responnya.