BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk pengobatan adalah tumbuhan sarang semut atau Myrmecodia tuberosa (M. tuberosa) yang salah satu penyebarannya terdapat di Papua. Tumbuhan sarang semut jenis M. tuberosa dilaporkan mengandung senyawa-senyawa kimia alkaloid, fenolik, dan terpenoid (Hertiani dkk., 2010). Oleh masyarakat Papua, rebusan air umbi sarang semut digunakan untuk pengobatan, diantaranya nyeri akibat rematik, kanker, peningkat imunitas tubuh dan penambah energi. Sarang semut adalah tanaman epifit berbentuk bulat. Tanaman ini berupa umbi yang tumbuh menempel pada pohon lain. Subroto dan Saputro (2006) menyatakan bahwa kandungan zat berkhasiat dari tumbuhan sarang semut sebagai bahan obat tergantung pada tempat tumbuh dan usia tumbuhan. Tumbuhan sarang semut yang tumbuh liar di hutan mengandung lebih banyak zat aktif daripada yang ditanam di pot sebagai tanaman hias. Luasnya penggunaan tumbuhan ini selain sebagai bagian dari penyakit kronis seperti kanker, tuberkulosis dan juga sebagai bagian dari suplemen kesehatan misalnya bagi ibu sehabis melahirkan dan ketika menyusui, mendukung kemungkinan mekanisme penyembuhan oleh tumbuhan ini melalui efek imunomodulator. Hal tersebut didukung pula pada penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa M. pendens dan M. tuberosa memiliki aktivitas
1
2
meningkatkan proliferasi limfosit dan fagositosis makrofag secara in vitro (Hertiani dkk., 2010). Laksono (2014) dan Fathdhieny (2014) juga telah membuktikan bahwa kombinasi fraksi non-heksan ekstrak etanol umbi sarang semut dengan agen antikanker doksorubisin mampu menurunkan efek samping doksorubisin dengan cara meningkatkan proliferasi sel limfosit. Selain itu, ekstrak etanolik M. tuberosa juga menunjukkan adanya aktivitas antimikroba terhadap C. albicans, E. coli, dan S. aureus (Efendi & Hertiani, 2013). Menurut Sumardi dkk (2013), fraksi tidak larut n-heksan ekstrak tumbuhan sarang semut adalah fraksi aktif yang pada dosis 20 µg/ml memiliki kemampuan yang paling tinggi dalam meningkatkan fagositosis sel makrofag dibanding dengan ekstrak atau fraksi lainnya. Aktivitas yang tinggi fraksi tidak larut n-heksan terhadap fagositosis tersebut dapat dikaitkan dengan tingginya kandungan fenolik total dan tidak mengandung senyawa non polar yang diduga berperan dalam menghambat aktivitas fagositosis sel makrofag. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak M. tuberosa (Jack) Bl. fraksi tidak larut n-heksan secara in vivo mempunyai aktivitas sebagai imunostimulator dengan jalan meningkatkan jumlah sel TCD4+ walaupun tidak meningkatkan sel TCD8+. Luasnya manfaat serta kegunaan tumbuhan sarang semut dalam bidang kesehatan dapat dimanfaatkan lebih lanjut dengan mengembangkannya menjadi sediaan fitofarmaka. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (1992), fitofarmaka adalah sediaan obat dan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan klinik, serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Maka dari itu, untuk penggunaan ekstrak
3
tumbuhan sarang semut sebagai fitofarmaka diperlukan uji praklinik sediaan obat, salah satunya adalah uji toksisitas akut. Uji yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji toksisitas akut pemberian dosis tunggal fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) terhadap tikus Wistar betina yang betujuan untuk mengetahui potensi dan gejala efek toksik yang timbul dalam waktu 24 jam setelah pemberian. Metode yang digunakan mengacu pada OECD Guideline for Testing of Chemicals 423 tentang uji toksisitas akut-oral. Dari uji toksisitas yang dilakukan akan diketahui besarnya potensi ketoksikan akut akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) yang ditunjukkan dengan nilai LD50 cut-off. Sedangkan wujud efek toksik yang timbul diamati dari profil histopatologis organ paru-paru, lambung, hati, limpa, dan ginjal hewan uji. Diharapkan dengan adanya penelitian tentang efek toksik akut fraksi nonheksan ekstrak etanol umbi sarang semut (M. tuberosa) ini dapat menambah informasi tingkat potensi ketoksikan, khususnya ketoksikan akut, obat tradisional umbi sarang semut agar dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka guna menambah nilai ekonomis tumbuhan tersebut.
B. Rumusan Masalah 1.
Berapa besarkah potensi ketoksikan akut (LD50 cut-off) akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina?
4
2.
Apa sajakah gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina?
3.
Apakah wujud efek toksik yang ditimbulkan, dilihat dari gambaran histopatologis organ paru-paru, hati, lambung, limpa, dan ginjal pada tikus Wistar betina?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui potensi ketoksikan akut (LD50 cut-off) akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina.
2.
Mengetahui gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat pemberian secara oral fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) pada tikus Wistar betina.
3.
Mengetahui wujud efek toksik yang ditimbulkan, dilihat dari gambaran histopatologis organ paru-paru, hati, lambung, limpa, dan ginjal pada tikus Wistar betina.
D. Pentingnya Penelitian Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan, umbi tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi fitofarmaka. Untuk memenuhi salah satu persyaratan sebagai fitofarmaka, maka perlu dilakukan uji praklinik, yang salah satunya adalah uji toksisitas akut
5
ekstrak tumbuhan sarang semut. Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut ini akan menambah data ilmiah dalam pengembangan umbi sarang semut (M. tuberosa) menjadi sediaan fitofarmaka.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Tumbuhan sarang semut a. Klasifikasi tumbuhan
Gambar 1. Tumbuhan sarang semut (Derrick, 2014)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliatae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Myrmecodia
6
Spesies
: Myrmecodia tuberosa (Jack) Bl.
(Anonim, 2013) b.
Deskripsi tumbuhan Tumbuhan sarang semut dapat ditemukan di daerah Myanmar dan
Indocina, lebih tepatnya Filipina, Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, kemudian lebih ke selatan yakni Queensland, New Zealand, dan Negara Kepulauan Fiji. Sedangkan mayoritas, baik genus Myrmecodia (42 spesies) maupun Hydnophytum (94 spesies), ditemukan tumbuh di Pulau Irian (Papua dan Papua Nugini). Di Papua, tumbuhan sarang semut paling banyak ditemukan tumbuh di sekitar gunung Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, Gunung Bintang, dan Paniai. Tumbuhan sarang semut mempunyai sejumlah penamaan di masyarakat, antara lain: rumah semut (Sumatra), ulek-ulek polo (Jawa), lokon (Papua), periok hantu (Malaysia), ki nan/ ki nam gai/ ki nam kin (Vietnam) (Hamsar & Mizaton, 2012). Tumbuhan sarang semut merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk suku Rubiaceae yang telah secara luas dipergunakan oleh masyarakat khususnya di Papua sebagai bagian dari pengobatan tradisional. Di daerah Bintuni, Papua Barat, terdapat dua kategori Sarang semut berdasarkan penampakan morfologisnya yaitu sarang semut merah dan sarang semut putih. Hertiani dkk. (2010) melaporkan bahwa sarang semut merah adalah M. pendens sedangkan M. tuberosa merupakan sarang semut putih. Keduanya dipergunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk berbagai tujuan mulai dari mengobati penyakit yang kronis seperti kanker dan tuberkulosis, tumbuhan ini juga dipergunakan untuk meningkatkan vitalitas sehabis melahirkan, melancarkan ASI dan lain-lain (Subroto dan Saputro, 2006).
7
c.
Morfologi tumbuhan Tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) merupakan tumbuhan perdu,
parasit, berumur panjang (perenial) dengan tinggi 30 - 45 cm. Batang tumbuhan ini termasuk batang berkayu, berbentuk silindris dan tidak bercabang serta pada bagian pangkal membentuk bulatan seperti menggelembung berwarna cokelat muda hingga abu-abu yang diamaternya mampu mencapai 30 cm. Pada permukaan luar tumbuhan ini terdapat duri-duri yang tajam, sedangkan bagian dalamnya berbentuk rongga bersekat-sekat dan biasa dijadikan tempat tinggal koloni semut. Tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) termasuk tumbuhan berdaun tunggal, bertangkai, dan tersusun menyebar namun lebih banyak terkumpul di ujung batang. Warna daun tumbuhan sarang semut adalah hijau dengan tulang daun berwarna putih. Daun tumbuhan ini memiliki ciri-ciri berbentuk jorong dengan panjang sekitar 20 - 40 cm dan lebar 5 - 7 cm, ujung daun tumpul (obtutus) dan pangkal daun berbentuk runcing. Tekstur daun tumbuhan sarang semut halus, bertepi rata, agak tebal dan lunak. Bunga tumbuhan ini berwarna putih sedangkan buah yang dihasilkan berbentuk bulat dan berwarna oranye (Anonim, 2012). d.
Efek farmakologis tumbuhan Di Asia Tenggara, ada beberapa spesies tumbuhan sarang semut yang
diperkirakan memiliki efek farmakologis sehingga dapat digunakan sebagai obatobatan. Beberapa spesies tersebut antara lain adalah Hydnophytum formicarum, Myrmecodia pendens, Myrmecodia tuberosa, dan Myrmecodia platytyera (Hamsar & Mizaton, 2012).
8
Tabel I. Hasil uji penapisan kimia tumbuhan sarang semut (Subroto & Saputro, 2006) Golongan Senyawa Alkaloid Flavonoid Saponin Tanin Steroid Kuinon
Serbuk Tumbuhan Sarang Semut + + -
Ekstrak Air Tumbuhan Sarang Semut + + -
Uji penapisan kimia dari tumbuhan sarang semut menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin (Subroto & Saputro, 2006). Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak terdapat sebagai pigmen tumbuhan. Flavonoid merupakan bagian penting diet manusia karena banyak manfaatnya bagi kesehatan, salah satunya adalah sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Selain itu, manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflmasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Subroto & Saputro, 2006). Senyawa tanin juga merupakan salah satu antioksidan yang baik, sehingga menurut Subroto & Saputro (2006), diduga kandungan tanin yang terdapat pada tumbuhan sarang semut dapat mendukung efektivitas kerja dari flavonoid itu sendiri. Roslizawaty dkk (2013), juga membuktikan bahwa flavonoid dan tanin yang terkandung dalam tumbuhan sarang semut dapat mempengaruhi seluruh struktur sel ginjal mencit jantan (Mus musculus), terutama memperbaiki atau melindungi struktur sel epitel pada lumen tubulus kontortus proksimal. Flavonoid dan tanin pada tumbuhan sarang semut juga diduga dapat
9
meningkatkan efek imunomodulator. Seperti yang diterangkan oleh Ramiro-Puig & Castle (2009), bahwa senyawa-senyawa anti oksidatif mampu berkontribusi pada efek imunomodulasi dengan cara melakukan perubahan pada jalur redoxsensitive signaling yang berpengaruh pada beberapa ekspresi gen. Perubahan ini selanjutnya dapat mempengaruhi fungsi sel tertentu terkait dengan respon imun. Hal ini dibuktikan oleh Hertiani dkk. (2010), bahwa ekstrak tumbuhan sarang semut (M.pendens & M. tuberosa) dapat meningkatkan proliferasi limfosit dan aktifitas fagositosis makrofag. Tumbuhan sarang semut selain bersimbiosis dengan koloni semut juga melakukan simbiosis dengan fungi endofit yang terdapat di dalamnya (Defossez dkk., 2009), bentuk simbiosis yang dimaksud adalah bahwa fungi endofit mampu memproduksi sejumlah senyawa kimia yang dapat membantu sistem pertahanan tumbuhan inang, khususnya terhadap serangan bakteri. Medina dkk. (2010) mendeskripsikan bahwa beberapa fungi endofit memproduksi enzim yang dapat mendegradasi tanin menjadi antioxidant phenolics (AP). Banyaknnya tanin yang terkandung dalam tumbuhan sarang semut memungkinkan banyaknya juga kandungan antioksidan fenolik (AP), sedangkan dilaporkan oleh Alves dkk (2013) bahwa senyawa-senyawa fenolik mempunyai aktivitas antimikroba yang tinggi. Sehingga, tumbuhan sarang semut juga diperkirakan mempunyai aktivitas antimikroba. Hal tersebut dibuktikan oleh Efendi & Hertiani (2013), bahwa ekstrak etanol tumbuhan sarang semut (M. tuberosa) menunjukkan aktivitas antimikroba dan berpotensi utuk dikembangkan sebagai antimikroba khususnya terhadap S. aureus.
10
2.
Toksikologi a. Definisi toksikologi Toksikologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan racun,
dimana racun itu sendiri adalah suatu zat yang dapat menimbulkan efek berbahaya bagi organisme hidup apabila terpejani baik secara sengaja ataupun tidak sengaja (Hodgson, 2004). Sedangkan menurut Priyanto (2009), toksikologi adalah ilmu tentang aksi berbahaya suatu senyawa kimia atas suatu sistem biologi. Definisi tersebut menerangkan bahwa objek yang dipelajari dalam toksikologi adalah antaraksi suatu senyawa kimia atau senyawa asing dengan suatu sistem biologi atau makhluk hidup. Adapun pusat perhatiannya adalah terletak pada pengaruh berbahaya racun atas kehidupan makhluk hidup. b. Asas umum toksikologi Asas umum toksikologi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya efek toksik. Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun terhadap makhluk hidup melalui beberapa proses. Setelah mengalami pemejanan dengan racun kemudian akan mengalami absorpsi dari tempat pemejanannya dan akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada dalam diri makhluk hidup (Donatus, 2005). Asas umum toksikologi ini bertujuan untuk mengevaluasi keberbahayaan suatu zat, untuk menentukan dan memperkirakan batas keamanan suatu zat bila mengenai manusia serta cara-cara menggunakannya supaya tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009).
11
Adanya alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat asas utama yang menjadi asas umum toksikologi. Empat asas umum toksikologi tersebut meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud efek toksik, dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005). 1) Kondisi efek toksik Salah satu penentu ketoksikan suatu senyawa adalah keberadaannya (baik zat kimia utuh atau metabolit toksiknya) dalam sel sasaran yang dipengaruhi oleh efektivitas absorpsi, distribusi, dan eliminasi senyawa itu sendiri. Sedangkan, efektivitas absorpsi, distribusi, dan eliminasi suatu senyawa itu sendiri ditentukan oleh kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2005). a) Kondisi pemejanan Kondisi pemejanan zat kimia meliputi jenis, jalur, lama dan kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Ada dua jenis pemejanan yaitu akut dan kronis. Pemejanan akut berkaitan dengan peristiwa tunggal masuknya sejumlah racun ke dalam tubuh makhluk hidup. Sedangkan pemejanan kronis merupakan kondisi pemejanan dengan racun yang berulang kali sehingga menyebabkan efek toksik yang kumulatif.
Selain jenis
pemejanan, jalur pemejanan juga
dapat
mempengaruhi ketoksikan suatu racun, karena jalur pemejanan menentukan keberadaan senyawa racun atau metabolitnya di suatu tempat aksi. Untuk dapat menimbulkan efek toksik, kadar suatu senyawa racun harus dapat mencapai kadar toksik minimum (KTM) pada tempat aksi, dan kecepatan untuk mencapai nilai KTM tergantung pada kecepatan dan jumlah racun yang dapat diabsorbsi. Sedangkan efektifitas absorpsi racun dipengaruhi oleh jalur
12
pemejanannya. Adapun efektifitas absorbsi racun setelah intravena berturut-turut semakin menurun adalah inhalasi, intraperitoneal, subkutan, intramuskular, dermal, dan oral. Namun urutan tersebut tidak mutlak karena efektifitas absorpsi juga dipengaruhi oleh formulasi sediaan (Donatus, 2005). b) Kondisi makhluk hidup Kondisi makhluk hidup merupakan keadaan fisiologi dan patologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun pada sel sasaran dan keefektifan antaraksi antara kedua ubahan tersebut. Beberapa kondisi makhluk hidup yang dapat mempengaruhi keefektifan antaraksi antara racun dengan sel targetnya, antara lain berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin, dan ritme sirkardian serta diurnal (Donatus, 2005). 2) Mekanisme efek toksik Pengetahuan
mengenai
mekanisme
efek
toksik
berfungsi
untuk
mengetahui penyebab timbulnya keracunan, yang berkaitan dengan keberadaan wujud dan sifat efek toksik. Menurut Donatus (2005), mekanisme efek toksik terdiri dari: a) mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian yang terdiri atas mekanisme luka intrasel (langsung) dan luka ekstrasel (tidak langsung), b) mekanisme berdasarkan antaraksi racun dan tempat aksinya yang terbagi ke dalam antaraksi terbalikkan dan tak terbalikkan, dan c) mekanisme berdasarkan risiko penumpukan dalam gudang penyimpanan (sekuestrasi). Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel. Karena itu, mekanisme ini sering kali disebut
13
mekanisme langsung atau primer. Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung. Racun beraksi di lingkungan luar sel. Oleh karena itu juga disebut mekanisme tidak langsung atau sekunder, yang tempat kejadian awalnya di lingkungan ekstrasel, (Donatus, 2005). Berdasarkan sifat interaksinya, mekanisme luka dibedakan menjadi interaksi terbalikkan dan interaksi tak terbalikkan. Interaksi yang terbalikkan terjadi berdasarkan stereospesifisitas racun dengan reseptor. Sedangkan interaksi yang tak terbalikkan adalah reaksi yang terjadi dengan cara pembentukan ikatan kovalen (alkilasi atau asilasi biologis) antara senyawa pengalkil atau metabolit elektrofil dan biopolimer yang memiliki gugus SH atau NH2 kemudian menghasilkan luka kimiawi yang mengakibatkan efek toksik. Ciri khas dari reaksi ini adalah adanya penumpukan efek, yaitu adanya kerusakan yang menetap sehingga pada pemejanan berikutnya akan menimbulkan efek yang sama dan terjadi penumpukan efek (Donatus, 2005). Sedangkan sekuestrasi itu sendiri digambarkan berupa penumpukan senyawa yang sangat lipofil dan sulit dimetabolisir oleh tubuh di dalam gudang penyimpanan kompartemen lemak. Peristiwa penumpukan seperti ini relatif tidak berbahaya, karena senyawa tersebut dalam keadaan tidak aktif di dalam gudang penyimpanan. Namun perlahan-lahan senyawa bisa terlepas ke sirkulasi dan meningkatkan kadarnya yang ada di cairan tubuh. Jika kadar tersebut melebihi KTM (Kadar Toksik Minimal) tentunya akan timbul efek toksik yang tidak diinginkan. Mekanisme aksi toksik ini disebut resiko penumpukan suatu senyawa (Donatus, 2005). Sejauh mana efek toksik yang tidak diinginkan tergantung pada
14
proses mana yang terjadi setelah diterima jaringan, apakah sekuestrasi kimia atau sekuestrasi fisika. Sekuestrasi kimia terjadi apabila terbentuk ikatan kovalen tak terbalikkan antara senyawa toksik atau metabolitnya dengan berbagai bagian jaringan, sedangkan sekuestrasi fisika terjadi apabila terdapat penimbunan yang didasarkan pada distribusi lemak-air, pembentukan garam, atau penyimpanan lokal. Sekuestrasi kimia dapat menimbulkan reaksi pada organ, sedangkan sekuestrasi fisika tidak menimbulkan reaksi pada organ yang bersangkutan (Ariens dkk., 1978). Gudang-gudang tempat penyimpanan (sekuestrasi) dalam tubuh dapat meliputi protein plasma, lemak, hati, ginjal, dan tulang (Donatus, 2005). 3) Wujud efek toksik Wujud efek toksik pada dasarnya merupakan perubahan biokimia, fungsional, dan struktural (Donatus, 2005). Respon perubahan biokimia merupakan perubahan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikkan. Contoh dari perubahan biokimia ini antara lain penghambatan respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta gangguan pasokan energi (Priyanto, 2009). Respon perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang terbalikkan sehingga mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2005). Respon perubahan fungsional dapat berupa anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem syaraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau hipoglikemi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot, dan hipo atau hipertemi (Donatus, 2005). Respon perubahan struktural
15
ditandai dengan adanya tahap awal yang berupa perubahan fungsional atau biokimiawi (Priyanto, 2009). Respon perubahan ini meliputi degenerasi, proliferasi, dan inflamasi. Perubahan degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel (sering dijumpai berupa penumpukan air dan lemak), serta nekrosis. Perubahan berupa proliferasi meliputi hiperplasia, metaplasia, dan displasia. Perubahan inflamasi berupa inflamasi (peradangan) dan perbaikan (Donatus, 2005). 4) Sifat efek toksik Sifat efek toksik dibagi menjadi efek toksik terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible) (Donatus, 2005). Sifat efek toksik disebut terbalikkan apabila efek toksik yang ditimbulkan oleh racun hilang dengan sendirinya setelah pemejanan dihentikan. Sedangkan efek toksik tak terbalikkan terjadi apabila efek toksik menetap atau justru bertambah parah setelah pemejanan dihentikan, (Lu, 1991). c.
Uji toksikologi Penggunaan obat tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat luas
sejak lama. Adanya khasiat obat tradisional, tentunya karena terjadinya aktivitas oleh senyawa yang dikandung dalam tanaman obat tersebut. Senyawa kimia, adalah salah satu senyawa asing bagi tubuh, yang dapat menimbulkan efek toksik, apalagi kalau pemberian secara berulang dan dalam waktu yang lama. Untuk mengetahui, apakah obat tradisional yang digunakan mempunyai potensi ketoksikan, khususnya apabila obat tersebut akan dikembangkan sebagai fitofarmaka, maka perlu dilakukan uji toksisitas.
16
Selain itu, tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan dosis suatu sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan terjadinya perubahan fisiologis, dan morfologi suatu organisme, serta melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji (Donatus, 2005). Lebih lanjut, Loomis (1974) menerangkan bahwa uji toksisitas menurut tujuannya terbagi menjadi dua kategori, kategori yang pertama adalah uji yang didesain untuk mengevaluasi efek keseluruhan secara umum pengaruh pemejanan suatu senyawa terhadap subyek uji. Kategori yang kedua adalah uji toksisitas yang didesain khusus untuk mengevaluasi jenis suatu toksisitas secara spesifik. Jenis uji toksisitas kategori kedua tersebut merupakan kajian lebih lanjut dari hasil uji toksisitas kategori pertama yang dapat menunjukkan beberapa gambaran toksisitas yang spesifik pada hewan uji. Selanjutnya, jenis uji toksisitas kategori pertama disebut sebagai uji ketoksikan tak khas, sedangkan uji toksisitas kategori kedua disebut sebagai uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas merupakan uji toksikologi yang mengevaluasi secara keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji yang meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis (Donatus, 2005).
Uji
ketoksikan
khas
meliputi
uji
potensiasi,
kemutagenikan,
kekarsinogenikan, keteratogenikan, reproduksi, serta kulit dan mata (Loomis, 1974). Adapun secara rinci, uji ketoksikan tak khas, antara lain adalah:
17
1) Uji toksisitas akut Uji toksisitas akut menurut Priyanto (2009) yaitu uji toksisitas yang dirancang untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang dapat ditolerir oleh hewan uji yang hasilnya diekstrapolasikan pada manusia. Pengamatan dilakukan selama 24 jam kecuali pada kasus tertentu dilakukan selama 7-14 hari. 2) Uji toksisitas subkronis Uji ketoksikan subkronis adalah uji ketoksikan yang dilakukan dengan pemberian senyawa dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari 3 bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik sediaan uji, serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran atau dosis. Selanjutnya hasil yang diperoleh digunakan untuk merancang uji ketoksikan kronis dimana hewan ujinya akan dipejani dengan sediaan uji dalam waktu yang lebih panjang lagi (Donatus, 2005). 3) Uji toksisitas kronis Uji toksisitas kronis menggunakan hewan rodent dan non rodent dilakukan selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan dengan uji toksisitas subkronis terletak pada lama pemberiannya atau pemejanan takaran dosis sediaan uji, masa pengamatan dan pemeriksaannya, serta tujuannya. Lama pemejanan senyawa dan pengamatan gejala toksis pada uji toksisitas kronis berlangsung selama sebagian besar masa hidup hewan uji, yakni tiga bulan atau lebih pada rodent (Donatus, 2005). d.
Toksisitas akut-oral OECD Guideline 423 Uji toksisitas akut didesain untuk menentukan efek toksik yang terjadi
sesaat (dalam periode pendek) setelah pemejanan suatu sediaan uji (Timbrell,
18
2002). Menurut Katrin dkk. (2011) uji toksisitas akut merupakan uji keamanan dalam waktu singkat untuk mendeteksi adanya efek toksik dari suatu zat uji yang diberikan dalam dosis tunggal atau berulang dalam waktu 24 jam. Uji toksisitas ini dapat dilakukan untuk mengetahui hubungan dosis-respon dan nilai LD50. Dalam menentukan nilai LD50, Balazs (1970) merekomendasikan sebuah metode uji toksisitas akut pada hewan uji rodent. Penentuan (naik atau turunnya) dosis dalam metode ini berdasarkan pada interval logaritmik 0,6 dari dosis awal pada langkah pertama. Sedangkan dalam setiap langkahnya menggunakan 4 ekor hewan uji, dan penentuan dosis pada langkah selanjutnya ditentukan pada jumlah kematian hewan uji, kemudian dibuat rentang dosis antara dosis tertinggi yang tidak menyebabkan kematian dan dosis terrendah yang menyebabkan kematian seluruh hewan uji. Dari rentang tersebut dilakukan sejumlah perhitungan hingga didapatkan nilai dosis yang diperkirakan menyebabkan kematian 50% hewan uji (LD50). Adapun mengenai penentuan LD50 secara konvensional, seperti yang direkomendasikan oleh Balazs (1970), tidak lagi banyak digunakan oleh sebagian peneliti, karena banyaknya hewan uji yang digunakan. Sehingga, dewasa ini banyak metode dikembangkan sebagai pendekatan untuk dapat memperoleh dosis toksik sebenarnya namun dengan sesedikit mungkin penggunaan hewan uji (Timbrell, 2002). Sebagai alternatif untuk menyikapi hal tersebut maka OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) mengembangkan sejumlah metode uji toksikologi baru yang bertujuan untuk menekan jumlah
19
penggunaan hewan uji. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk uji toksisitas akut adalah OECD Guideline for Testing of Chemicals 423. Setiap langkah digunakan 3 hewan uji dan rata-rata diperlukan 2 sampai 4 langkah untuk mempertimbangkan toksisitas akut dari zat kimia bahan uji tergantung pada kematian dan atau keadaan hewan uji yang hampir mati (Anonim, 2001a). Pada OECD, untuk mengantisipasi zat-zat dengan ketoksikan yang rendah, digunakan limit test. Selain limit test, ada 3 metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji ketoksikan akut yaitu, The Fixed-dose Procedure (Guideline OECD 420), Up and-down Procedure (Guideline OECD 425) dan The Acute Toxic Class Method (Guideline OECD 423) (Hodgson, 2004). OECD 420 digunakan untuk menentukan derajat ketoksikan suatu senyawa tanpa menyediakan nilai perkiraan LD 50. Dosis yang digunakan pada OECD 420 merupakan dosis dengan tingkat toksisitas sedang, yakni dosis yang tidak menimbulkan kematian hewan uji (Anonim, 2001b). OECD 425 digunakan untuk menentukan nilai LD50 dari suatu senyawa dengan menggunakan 1 hewan uji untuk setiap langkahnya. Interval dosis yang digunakan pada tiap langkah OECD 425 menggunakan faktor perkalian 3,2 dan dosis yang dipilih harus berada dalam jarak LD50 sediaan uji (Anonim, 2001c). OECD 423 digunakan dengan tujuan mengetahui derajat ketoksikan suatu senyawa beserta derajat kematian yang ditimbulkannya. LD50 yang teramati pada metode ini bukanlah nilai perkiraan akan tetapi rentang nilai perkiraannya. Pada uji ini digunakan 3 hewan uji yang akan dipejani sediaan uji dengan dosis tertentu yaitu, 5 mg/kg BB, 20 mg/kg BB, 300 mg/kg BB, 2000 mg/kg BB dan 5000 mg/kg BB (jika diperlukan).
20
Berdasarkan ada tidaknya kematian yang ditimbulkan, ditentukan 3 kelompok hewan uji berikutnya untuk mendapatkan dosis yang sama, lebih tinggi, atau dosis yang lebih rendah. Dosis pemejanan dimulai dari 300mg/kg BB karena belum ada informasi ketoksikan yang memadai mengenai sediaan uji (Anonim, 2001a).
F. Keterangan Empirik Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mendapatkan gambaran efek toksik pemberian tunggal fraksi non-heksan ekstrak etanol 95% umbi sarang semut (M. tuberosa) secara oral kepada tikus betina galur Wistar terhadap perubahan perilaku dan histopatologis organ paru-paru, hati, ginjal, lambung dan limpa.