Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI GUNA MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH (Handling of Reproduction Disturbance for Supporting Dairy Cattle Farming Development) IMAS SRI NURHAYATI, RA. SAPTATI dan E.MARTINDAH Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor ABSTRACT Dairy farming has a future chance to be developed as Indonesia has potential market as well as the available of resources and technology. The opportunity to increase milk production is high even though the milk consumption is relatively low at 7.5 kg/capita/year. In fact, more than 70% of milk are imported. The developing dairy farming still has technical constraints, like failure to detect estrus and reproduction diseases such as brucellosis, endometritis, nymphomania, etc. those problems caused high repeat breeding (service per conception between 1.17-5.51) and the conception rate (CR) vary from 7.46 to 71.25%. as a results brucellosis cause abortus about 5-90%, and effort to control the disease is by screening test. Handling of those disease and reproduction disturbance in dairy cattle can support the developing of dairy farming. Keywords: Dairy cattle, reproduction disturbance ABSTRAK Usaha peternakan sapi perah mempunyai prospek untuk terus dikembangkan karena potensi pasar dalam negeri yang sangat besar, serta adanya ketersediaan sumber daya dan teknologi. Peluang peningkatan produksi sangat besar karena tingkat konsumsi susu saat ini masih relatif rendah 7,5 kg/kapita/tahun, dimana lebih dari 70% kebutuhan dalam negeri tersebut masih dipenuhi dari impor. Pengembangan usaha sapi perah masih menghadapi beberapa hambatan teknis, antara lain faktor-faktor yang disebabkan oleh kondisi induk dan kesalahan manajemen. Seperti kegagalan mengenal tanda-tanda birahi sehingga sapi dikawinkan pada waktu yang tidak tepat. Hal teknis lain yang ditemukan di lapang adalah peternak terlalu cepat mengawinkan kembali sapi setelah partus sehingga hasilnya justru tidak optimal, serta adanya penyakit atau gangguan reproduksi. Permasalahan tersebut tercermin dengan tingginya kejadian kawin berulang (S/C) berkisar antara 1,17-5,51, angka kebuntingan (CR) sangat bervariasi antara 7,46-71,25% sehingga menyebabkan penurunan produktivitas. Hal tersebut berdampak terhadap calving interval yang panjang (18 bulan). Selain itu permasalahan yang sering ditemui dalam pengembangan usaha sapi perah yaitu penyakit brucellosis dan gangguan reproduksi lainnya seperti endometritis dan nymphomania. Penyakit brucellosis dapat menyebabkan keguguran pada sapi bunting dengan kasus mencapai 5-90%, sehingga sangat berpotensi menimbulkan kerugian. Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit brucellosis dilakukan dengan screening test. Penanganan terhadap penyakit atau gangguan reproduksi yang sering menyerang sapi perah akan dapat mendukung pengembangan usaha sapi perah. Kata kunci: Sapi perah, gangguan reproduksi
PENDAHULUAN Usaha peternakan sapi perah di Indonesia memiliki prospek untuk terus dikembangkan, apalagi bila dikaitkan dengan potensi pasar yang tersedia, baik dalam negeri maupun global yang masih sangat besar. Peluang dari dalam negeri berupa masih rendahnya konsumsi susu masyarakat, sekitar 7,5 kg/
140
kapita/tahun dan diperkirakan akan terus meningkat, dimana lebih 70% kebutuhan dalam negeri tersebut masih dipenuhi dari impor. Peluang dari pasar global berupa adanya kenaikan harga susu dunia pada awal 2007 yang mencapai 41,22% mengakibatkan terjadinya peningkatan permintaan susu segar dalam negeri. Kondisi ini merupakan peluang yang sangat baik yang harus dimanfaatkan
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
untuk mendorong peningkatan produksi susu dalam negeri. Disamping itu ketersediaan sumber daya dan teknologi merupakan potensi yang dapat mendukung tercapainya upaya pengembangan usaha sapi perah tersebut. Akan tetapi di sisi lain, sampai saat ini usaha sapi perah rakyat masih menghadapi berbagai kendala, terutama yang terkait dengan rendahnya produktivitas ternak. Salah satunya adalah kendala reproduksi (banyaknya kasus gangguan reproduksi) pada sapi perah. Gangguan ini berakibat pada kemajiran ternak betina, yang ditandai dengan rendahnya angka kelahiran (calving rate) pada ternak tersebut (HARDJOPRANJOTO, 1995). Padahal perkembangbiakan ternak sangat dipengaruhi oleh angka kelahiran yang akan berdampak terhadap pertambahan populasi. Sehingga banyaknya gangguan reproduksi akan mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi atau kesuburan serta kematian prenatal, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan populasi (TOELIHERE, 1981). Hambatan reproduksi tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh kesalahan tatalaksana/manajemen, seperti: (1) kegagalan mengenal tanda-tanda birahi sehingga sapi dikawinkan pada waktu yang tidak tepat; (2) terlalu cepat mengawinkan kembali sapi setelah partus; (3) kegagalan mengenal pejantan yang kurang subur/infertile pada peternakan yang menggunakan lebih dari satu pejantan; (4) menukar pejantan jika betina tidak langsung bunting tanpa mempertimbangkan bahaya penularan penyakit koital; (5) tidak dilakukan PKB secara teratur; (6) terlambat menghubungi tim medis jika ada ternak yang reproduksinya kurang baik serta (7) sistem recording yang kurang baik. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka perkembangan usaha sapi perah akan sulit dicapai. Bahkan kemungkinan akan mengalami stagnasi atau kemunduran. KASUS REPRODUKSI DAN PENANGANANNYA DI LAPANGAN Upaya peningkatan produksi dan populasi sapi perah di masyarakat melalui program Inseminasi Buatan (IB) masih menemui berbagai permasalahan, diantaranya angka kebuntingan (CR) yang sangat bervariasi
antara 7,46-71,25%, service per copception (SC) berkisar antara 1,17-5,51 (DITJENNAK, 1997) serta calving interval lebih dari 18 bulan. Bahkan dari hasil pengukuran indikator reproduksi di lima propinsi (Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta dan NTB) menunjukkan bahwa nilai rata-rata NRR (Non Return Rate) sebesar 74,49%, CR 67,11% dan SC 1,67 (DIWYANTO et al., 1998). Nilai indikator produktivitas ternak ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (1) kondisi induk, (2) kualitas semen, (3) faktor manajemen serta (4) keterampilan petugas. Kondisi induk Kondisi induk sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas ternak, karena induk yang sehat diharapkan dapat menghasilkan keturunan (anak), sehingga pada akhirnya akan dapat meningkatkan populasi. Akan tetapi hal ini tidak tercapai, jika induk berada dalam kondisi tidak sehat atau mengalami masalah reproduksi. Permasalahan reproduksi pada hewan betina dapat disebabkan oleh adanya (i) kelainan anatomi saluran reproduksi, (ii) gangguan hormonal dan (iii) abnormalitas sel telur. Gangguan reproduksi juga dapat diakibatkan oleh infeksi penyakit seperti endometritis, brucellosis dan leptospirosis. Kelainan anatomi saluran reproduksi Kelainan anatomi reproduksi pada hewan betina dapat bersifat genetik maupun non genetik, ada yang mudah diketahui secara klinis dan ada yang sulit untuk dideteksi, sehingga terkadang sulit didiagnosa. Kelompok yang sulit didiagnosa diantaranya adalah tersumbatnya tuba falopii, adanya adhesio antara ovarium dengan bursa ovarium, lingkungan dalam uterus yang kurang sesuai serta penurunan fungsí saluran reproduksi. Pada kelompok ini, yang paling sering dijumpai adalah adanya penyumbatan pada tuba falopii. Penyumbatan ini menyebabkan sel telur yang diovulasikan dari ovarium gagal mencapai tempat pembuahan yaitu di ampula dan sel mani juga terhalang untuk mencapai tempat pembuahan, sehingga proses pembuahan gagal. Tuba falopii yang buntu dapat berbentuk adhesio dinding tuba, adhesio antara ovarium dengan bursa ovarii, salpingitis baik akut maupun kronis, hidrosalping, kista
141
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
pada saluran tuba, piosalping, hipoplasia tuba falopii yang bersifat genetik serta infeksi mikroorganisme yang terlalu banyak di dalam uterus, serviks atau vagina. Gangguan hormonal Hormon yang berhubungan dengan reproduksi diantaranya adalah hormon estrogen dan gonadotropin (FSH dan LH). Adanya gangguan pada sekresi hormon-hormon tersebut, akan mengakibatkan terjadinya kegagalan fertilisasi. Kasus-kasus seperti silent heat (birahi tenang) dan sub estrus (birahi pendek) disebabkan oleh rendahnya kadar hormon estrogen, sedangkan untuk kasus delayed ovulasi (ovulasi tertunda), anovulasi (kegagalan ovulasi) dan kista folikuler disebabkan oleh rendahnya kadar hormon gonadotropin (FSH dan LH). Ketidakberhasilan pembuahan/kegagalan fertilisasi merupakan kerugian ekonomi pada sistem produksi yang intensif. Hilangnya siklus karena kegagalan dalam mendeteksi dan menginseminasi kembali hewan yang tidak bunting juga dapat merugikan dalam segi ekonomi (HUNTER, 1981). Kadar estrogen yang rendah Rendahnya kadar estrogen dalam darah terjadi karena adanya defisiensi nutrisi (β karotin, P, Co) dan berat badan yang rendah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya silent heat dan sub estrus pada sapi. Sub estrus terjadi jika dalam kurun waktu 30-120 hari, ternak tidak menunjukkan gejala birahi meskipun diamati dengan cermat. Bila dilakukan palpasi rectal akan terlihat adanya perubahan organ reproduksi yang nyata, lendir estrus jelas serta terjadi perdarahan metestrus. Mekanisme ini belum diketahui secara tepat, tetapi diduga karena rendahnya sekresi estradiol. Terdapat kecenderungan predisposisi herediter pada breed Guernsey dan estrus melemah dibanding dengan breed FH. Silent heat dapat disebabkan oleh faktor pemeliharaan yang kurang baik (kurang gerak, kandang gelap, temperatur dan kelembaban yang tinggi), defisiensi nutrisi, penyakit kronis, predisposisi genetis atau dapat disebabkan oleh faktor hormonal. Pada kasus silent heat, proses ovulasi berjalan secara normal dan bersifat subur,
142
tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada birahi sama sekali. Silent heat sering dijumpai pada hewan betina yang masih dara, hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan normal, atau induk yang sedang menyusui anaknya atau diperah lebih dari dua kali dalam sehari. Sedang pada kejadian sub estrus, proses ovulasinya berjalan normal dan bersifat subur, tetapi gejala birahinya berlangsung singkat/pendek (hanya 3-4 jam). Sebagai predisposisi dari kasus silent heat dan sub estrus adalah genetik. Pada kejadian silent heat dan sub estrus sebenarnya hormon LH mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi, tetapi tidak cukup mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen oleh sel granulosa dari folikel de Graaf. Hal inilah yang menyebabkan tidak munculnya birahi. Penanganan kasus silent heat dan sub estrus dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan agar ternak mendapat cahaya yang cukup, peningkatan kualitas pakan agar ternak mendapat nutrisi yang cukup sehingga mekanisme hormonal dalam tubuh dapat berjalan dengan baik. Pemberian hormon progesteron ini akan memberikan feed back negatif terhadap hipotalamus dengan menghasilkan hormon GnRH untuk merangsang hipofise untuk menghasilkan LH/FSH yang menstimulasi gonad untuk mesekresikan estardiol. Kadar hormon gonadotropin yang rendah (FSH dan LH) Rendahnya kadar hormon LH dalam darah dapat menyebabkan terjadinya delayed ovulasi (ovulasi tertunda) dan kista folikuler. Karena rendahnya kadar LH, fase folikuler diperpanjang. Sehingga folikel yang seharusnya mengalami ovulasi dan memasuki fase luteal tertunda waktunya atau tidak terjadi sama sekali. Gejala yang nampak dari kasus ini adalah kawin berulang (repeat bredeer). Gangguan sekresi hormon FSH dan LH juga dapat menyebabkan terjadinya kasus anovulasi (kegagalan ovulasi). Kegagalan ovulasi ini karena adanya kekurangan atau kegagalan pelepasan hormon LH (TOELIHERE, 1981), yang mengakibatkan folikel de Graaf yang sudah matang gagal pecah sehingga terbentuk cyctic folikel. Kegagalan ovulasi
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
juga dapat disebabkan oleh endokrin yang tidak berfungsi sehingga mengakibatkan perkembangan kista folikuler (ZEMJANIS, 1980). Cysctic folikel dan luteal dapat dibedakan melalui palpasi rectal dan USG.
Perbedaan antara ciri-ciri cystic folikel atau luteal menggunakan USG dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri-ciri antara cystic folikel dan luteal Uraian a. Dinding cystic b. Bentuk cystic c. Konsentrasi progesteron d. Cairan cystic
Cystic Folikel tipis biasanya banyak rendah kuning terang
Hari I pecahnya folikel (ovulasi)
Estrus hari ke 20
CL berkembang dari bekas ovulasi
CL regresi
CL berhenti menghasilkan progesterone hari ke 18
Cystic Luteal tebal biasanya tunggal tinggi kuning pekat keemasan
Pembentukan CL sempurna hari ke 7
Aktiv CL progesteron Gambar 1. Perubahan ovarium selama siklus birahi
Penanganan kasus di lapangan untuk cystic folikel dilakukan dengan pemberian GnRH, yaitu hormon gonadotropin yang mempunyai efek LH (misalnya hormon hCH chorulon®, kombinasi antara hormon hCG, GnRH dan PGF2α atau Nympalon dengan dosis 300 IU chorionic gonadotropin ditambah progesteron). Sedangkan penanganan untuk cystic luteal dapat dilakukan dengan pemberian PGF2α (Prosolvin®, Estrumen®, Reprodin® atau Prostavet®). Abnormalitas sel telur Abnormalitas sel telur dapat terjadi karena proses ovulasi yang tidak normal, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonhormon reproduksi. Beberapa bentuk abnormal dari sel telur adalah degenerasi sel telur, zona pelusida yang robek, sel telur muda, sel telur yang bentuknya gepeng, oval (lonjong) serta
mini egg cell dan giant egg cell. Adanya abnormalitas pada sel telur akan menyebabkan kegagalan pada proses fertilisasi sehingga sapi yang telah dikawinkan/IB tidak bunting. Kelainan seperti ini tidak dapat diobati, induk hendaknya diafkir. Infeksi penyakit Endometritis akut Hewan yang mengalami endometritis akut biasanya memperlihatkan gejala sakit, demam, keluar discharge, anoreksia, dan terjadi penurunan produksi susu. Uterus setelah 40 hari partus berukuran 8-10x lebih besar dari ukuran normal. Penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik intravaginal yang dikombinasikan dengan antibiotik general.
143
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Endometritis kronis Sekitar 50% dari kasus endometritis kronis pada umumnya tidak terdeteksi. Gejala yang terlihat pada ternak adalah keluarnya discharge purulent (putih kekuningan). Bila sudah berlangsung lama biasanya hewan tidak memperlihatkan gejala sakit dan birahi. Untuk mengamati kasus ini dan mendeteksi adanya discharge dapat menggunakan vaginoscope. Penanganan kasus dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Bila ditemukan adanya corpus luteum dapat diberikan Prostaglandin (Prosolvin). Akan lebih baik, jika terapi menggunakan kombinasi antibiotik dengan hormon. Pyometra merupakan bentuk khusus dari endometritis kronis, ditandai dengan pengumpulan nanah yang banyak dalam uterus, servix tidak berdilatasi sehingga discharge tidak keluar. Penanganan penyakit dilakukan dengan cara melisiskan corpus luteum dalam ovari dengan pemberian Prostaglandin dan antibiotik. Tiga hari setelah pemberian obat, hewan akan menunjukkan gejala estrus dan cervix akan dilatasi sehingga discharge keluar. Brucellosis Salah satu ancaman penyakit yang dapat menghambat pengembangan populasi dan produktivitas ternak sapi perah adalah penyakit brucellosis. Brucellosis pada ternak sapi disebabkan oleh kuman Brucella abortus. Ternak yang terinfeksi kuman Brucella dapat mengalami abortus, retensi plasenta, orchitis dan epididimitis serta dapat mengekskresikan kuman ke dalam uterus dan susu (NOOR, 2006). Kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui penetrasi membran mukosa saluran pencernaan, mulut, saluran reproduksi dan selaput lendir mata (PLOMMET dan PLOMMET, 1988). Brucellosis pada sapi merupakan penyakit hewan menular yang ditandai oleh abortus (keluron) pada kebuntingan tua. Kejadian abortus pada sekelompok sapi yang sedang bunting dapat mencapai 5-90%, tergantung pada frekuensi penularan, virulensi kuman, kondisi inang dan sebagainya (SUBRONTO, 1985). Infeksi Brucellosisi pada hewan terjadi persisten seumur hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan didalam darah, urin, susu dan semen (BRUCELLOSIS FACT SHEET, 2003). Penyakit ini menyebabkan
144
kerugian ekonomi yang besar (Rp. 138,5 Milyar/tahun) akibat penurunan angka kelahiran karena abortus, penurunan produksi susu, gangguan reproduksi (infertilitas dan sterilitas), penurunan prestasi kerja akibat nyeri pada persendian lutut, penurunan nilai jual susu dan nilai jual sapi (DIJENNAK, 1981). Gejala yang utama dari brucellosis pada sapi adalah abortus pada umur kebuntingan 6-7 bulan ke atas. Abortus sendiri terjadi karena rapuhnya pertautan placenta fetalis dengan placenta maternalis sehingga terpisah sebagai akibat bersarannya kuman Brucella di tempat itu. Setelah abortus 2-3 kali biasanya infeksi menjadi menetap atau kronis, tidak memperlihatkan tanda-tanda klinik dan sapi yang bersangkutan dapat kembali bunting normal. Akan tetapi sapi-sapi demikian tubuhnya terus menerus mengeluarkan kuman Brucella (carrier) yang bersifat patogen bagi sapi lain maupun bagi manusia (RISTIC dan MCINTYRE, 1981). Beberapa tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan antara lain dengan (a) sanitasi dan higiene terutama pada tatalaksana pakan dan perkandangan, merupakan pemutusan alur penularan. Hal ini berhubungan dengan sifat kuman Brucella yang peka terhadap kekeringan/pemanasan dan desinfektan., (b) sertifikat bebas Brucellosis, sertifikat diberikan apabila dengan uji serologik sebanyak dua kali dengan selang waktu 30 hari, seekor sapi menunjukkan hasil yang tetap negatif. Hanya sapi yang mempunyai sertifikat ini yang dapat dimasukkan ke suatu daerah atau diantarpulaukan. Dalam hal pemasukan sapi antar daerah, pengawasan lalu lintas ternak dan fungsi karantina harus dilaksanakan dengan seksama dan (c) melaksanakan vaksinasi baik dengan vaksin hidup yang sudah dilemahkan maupun dengan vaksin mati, terutama yang diberikan kepada anak-anak sapi umur 3-8 bulan dan sapi dara. Kegiatan ini diharapkan mampu memberikan imunitas sampai kepada kebuntingan ke 5 (ENRIGHT et al., 1984 dan SUTHERLAND, 1980). Pada kejadian di lapang, pengobatan dengan antibiotik kurang berhasil. Akan tetapi dalam kondisi laboratorium dapat diatasi dengan pemberian rifampicin maupun tetracyclin (STUART, 1982). Program pengendalian dan pemberantasan Brucellosis
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
pada sapi telah dilakukan oleh pemerintah dengan program vaksinasi dan potong bersyarat (test and slaughter). Pada tahun 2005 program pengendalian diprioritaskan untuk sapi perah di Pualu Jawa melalui program vaksinasi untuk daerah tertular dengan prevalensi lebih dari 2%, dan untuk daerah dengan prevalensi lebih dari 2% sapi dipotong bersyarat (NOOR, 2006). Pemberantasan penyakit bila ditemukan sapi reaktor, sapi tersebut dikeluarkan dari kelompok dan di potong, sedangkan sapi yang sehat dari daerah bebas brucellosis tidak perlu divaksinasi. Tetapi bila berasal dari daerah tertular, sapi yang sehat harus divaksinasi terutama anak sapi dan sapi dara. Tindakan administratif adalah menghindari pemasukan bibit sapi dari daerah tertular ke daerah bebas brucellosis Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira,gejala penyakit ini sangat bervariasi ulai dari demam, ikterus, hemoglobinuria dan infeksi dapat bersifat subklinis yang dapat menyebabkan keguguran pada hewan bunting, sampai dengan hepatitis dan nephritis yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya (KUSMIYATI et al., 2005). Titik sentral penyebab leptospirosis adalah urin hewan terineksi leptospira yang menemari lingkungan. Penularan penyakit dapat terjadi melalui kulit lecet atau melalui selaput lendir mata, hidung dan saluran pencernaan. Pembawa utama penyakit adalan rodentia. Percikan air kemih penderita di atas lantai kandang yang keras dapat menyebabkan infeksi lewat pernapasan. Infeksi lewat kulit dengan mudah terjadi bila ternak terkena air yang terkontaminasi leptospira. Setelah masuk dalam tubuh, leptospiran akan menimbulkan leptospiremia dan kemudian ada kecenderungan untuk menetap di hati, ginjal atau selaput otak. Dalam kasus perakut dapat menyebabkan kematian yang cepat. Pada sapi dewasa dapat berbentuk akut, sub akut, atau kronik. Dalam bentuk akut gejala yang menonjol adalah ikterohemoglobinuria, disertai demam dan anemia, kematian terjadi setelah 24 hari. Ternak yang sedang laktasi mengalami
penurunan produksi, susu bercampur darah. Produksi susu kembali normal setelah dua minggu, namun seringkali terjadi kerusakan ambing yang permanen. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan menyingkirkan hewan pembawa terutama rodentia, pemberian air minum harus dilakukan melalui bak bersih, ternak dihindarkan untuk minum air selokan atau kubangan, serta vaksinasi. Pengobatan ternak sakit dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika. Sapi dewasa yang terinfeksi leptospirosis dapat diobati dengan dosis masif antibiotika yang meliputi penisilin streptomycine, auremycine, kombinasi steptomycine-penisilin, dan bacitracin penisilin (DITJENNAK, 1980). Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) Penyakit IBR adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus famili Herpesviridae yang dapat menyerang alat pernapasan bagian atas dan alat reproduksi. Angka prevalensi penyakit IBR pada sapi perah telah meningkat dan prevalensi IBR pada hewan muda (2 – 3 tahun) lebih rendah dibandingkan pada hewan berumur lebih tua (SUDARISMAN, 2003). Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi akibat infeksi sekunder yang dapat menyebabkan bronchopneumonia, keguguran pada ternak bunting dan kematian pada anak sapi. Penularan penyakit dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Penularan secara vertikal melalui intra uterina sedangkan secara horizontal dapat melalui inhalasi dari cairan hidung yang mengandung virus serta melalui semen. Virus dapat hidup dalam tubuh selama 17 bulan dan pada saat tertentu dapat menimbulkan wabah (DITJENNAK, 1980). Gejala klinis IBR ternyata tidak hanya pada saluran pernapasan, tetapi juga pada saluran pencernaan, saluran reproduksi, ocular carcinoma dan gejala syaraf berupa encephalitis. Gangguan reproduksi yang menonjol berupa kemajiran, abortus, repeat breeders dan pyometra (SUDARISMAN, 2003). WIYONO et al. (1989) melaporkan kasus diare ganas pada sapi Bali di Kalimantan Barat dan hasil uji laboratorium menunjukkan ada peran virus BHV-1 yang meruakan agen penyebab penyakit IBR. IBR dapat menyebabkan keguguran pada masa kebuntingan tua 6-8
145
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
bulan dan dapat terjadi retensio sekundinarium. Endometritis, kegagalan konsepsi, estrus yang abnormal dapat terjadi setelah inseminasi dengan semen yang tertular. Pencegahan penyakit secara administratif adalah menghindari pemasukan bibit sapi dari daerah tertular ke daerah bebas, karantina ternak yang ketat serta vaksinasi dengan killed vaccine guna mencegah infeksi laten di daerah enzootik. Sedangkan ternak yang sakit dapat diobati dengan menggunakan antibiotik serta pengobatan yang bersifat simtomatis. Kualitas semen Kualitas semen yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasilan IB. Kualitas semen yang baik untuk IB adalah memiliki konsentrasi 25 juta untuk semen beku dan juga Post Thawing Motility (PTM) nya 40%, selain itu spermatozoanya tidak mengalami abnormalitas (ANONIMUS, 1997). Spermatozoa yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuannya untuk membuahi sel telur dalam tuba falopii. Untuk itu semen dievaluasi secara periodik selama 6 bulan. Semen yang kualitasnya baik akan meningkatkan keberhasilan dari inseminasi buatan. Menurut Brunner, 1984 salah satu penyebab kawin berulang meliputi kualitas sperma yang tidak baik dan teknik inseminasi yang tidak tepat.
birahi yang terjadi akan kecil kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi. Hal ini menyebabkan waktu inseminasi tidak akurat sehingga akan mengalami kegagalan pembuahan (BRUNNER, 1984). KETERAMPILAN PETUGAS Operator IB selain berperan dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan IB, operator juga harus berpengalaman dalam penanganan semen dan juga penempatan semen ke dalam saluran reproduksi sapi betina. Tempat terbaik untuk menempatkan semen adalah di corpus uteri kira-kira 3 cm di depan cervik uteri. KESIMPULAN DAN SARAN Upaya pengembangan sapi perah terkendala oleh beberapa permasalahan terkait dengan kondisi induk, kualitas semen, manajemen serta keterampilan petugas. Kondisi induk sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adanya gangguan reproduksi seperti kelainan anatomi saluran reproduksi, gangguan fungsi serta adanya infeksi penyakit. Penanganan penyakit atau gangguan reproduksi yang sering menyerang sapi perah akan mendukung pengembangan usaha sapi perah.
Manajemen Kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berupa kurang telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk diadakan inseminasi buatan (TOELIHERE, 1981). Keberhasilan inseminasi buatan sangat ditentukan oleh kemampuan dari peternak dalam hal deteksi birahi, ketrampilan petugas serta kualitas straw/semen. Deteksi birahi yang tepat dapat membantu operator IB dalam menentukan waktu yang tepat dalam melakukan inseminasi buatan. Ada beberapa cara untuk deteksi birahi antara lain dengan melihat adanya leleran lendir pada vulva, menggunakan teaser/pemancing atau dengan menggunakan sistem recording yang baik. Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus selalu dievaluasi secara menyeluruh. Jika deteksi birahi salah,
146
DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 2006. Roadmap teknologi industri sapi. rencana induk riset ungggulan strategi nasional pengembangan industri sapi. Kementrerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia-Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang. ANONIMUS. 1997. Inseminasi buatan pada ternak. Pengantar Mata Kuliah Reproduksi. Program Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. BRUCELLOSIS FACT SHEET. 2003. Brucellosis. Centre for Food Security and Public Health. pp. 1-7. BRUNNER, M.A. 1984. Repeat breeding. Dairy Integrated Reproductive Management Cornell University. www. Repeat Breeding.com.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1981. Penyakit keluron menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Bina Produksi Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan. Jakarta. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1980. Pedoman pengendalian penyakit hewan menular. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. HARDJOPRANJOTO, S. 1995. Ilmu kemajiran pada ternak. Airlangga Universitas Press. Surabaya. HUNTER, R. H. F. 1981. Fisiologi dan teknologi reproduksi hewan betina domestik. Penerbit ITB Bandung dan Universitas Udayana. Hlm: 20-332. NOOR, S.M. 2006. Brucellosis: Penyakit zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 (1): 31-39. PARTODIHARDJO, S. 1980. Imu Reproduksi Ternak. Mutiara. Jakarta. PLOMMET, M and A.M. PLOMMET. 1988. Virulences of brucella: Bacterial growth and decline in mice. Annal. Rech. Vet. 19 (1) 65-67.
RISTIC, M. and I. MCINTYRE. 1981. Disease of cattle in tropics. Economic and zoonotic relevan. Martinus Nijhoff Publisher Boston, London. SETIAWAN, E.D. 1991. Brucelllosis pada sapi. Wartazoa, Vol 2. No.1-2. STUART, F.A. 1982. Comparison of rifampicin and tetracyclin based regimens in the treatment of experimental brucellosi. Infec. 5:27-34. SUBRONTO. 1985. Ilmu penyakit ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. SUDARISMAN. 2003. Penyakit infectious bovine rhinotracheitis (IBR) pada sapi di lembagalembaga pembibitan ternak di Indonesia. WIYONO, A., P. RONOHARDJO, R.J. GRAYDON dan P.W. DANIELS. 1989. Diare ganas sapi: I. Kejadian penyakit pada sapi Bali bibit asal Sulawesi Selatan yang baru tiba di Kalimantan Barat. ZEMJANIS, R. 1980. Repeat breeding or conception failure in cattle; Current theraphy in theorigenology., Morrow. D. A, W.B. Saunders Company Philadelphia. Pp; 205.
147