Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH MELALUI KAWIN TEPAT WAKTU (Improvement Dairy Cattle Reproduction Efficiency through Appropriate Mating Time) HASTONO dan UMI ADIATI Balai Penelitian Ternak, Bogor ABSTRACT Improvement on dairy cattle reproduction efficiency is to increase milk production. Calving failures will hamper the development of population so that will decrease number of cows along with its milk production. Numbers of mating to obtain pregnancy will affect to the calving interval. The length of calving interval will influence the lactation period, which more than 305 days will affect to the next milk production. When the calving interval more than 365 days will affect to the farmers’ income. One of the solution to improve the reproduction efficiency for the dairy cattle is through appropriate mating time. Keywords: Dairy cattle, reproduction efficiency, mating time ABSTRAK Upaya peningkatan efisiensi reproduksi pada usaha sapi perah adalah untuk meningkatkan produksi susu. Kegagalan beranak akan menghambat perkembangan populasi sapi perah, dimana apabila populasi sapi perah betina berkurang, maka produksi susupun menurun. Banyaknya perkawinan untuk memperoleh suatu kebuntingan akan berpengaruh terhadap selang beranak. Panjangnya selang beranak akan berhubungan dengan panjangnya masa laktasi, lama masa laktasi lebih dari 305 hari akan berpengaruh kepada produksi susu berikutnya. Selang beranak lebih dari 365 hari akan berpengaruh kepada pendapatan petani. Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi reproduksi sapi perah adalah melalui kawin tepat waktu. Kata kunci: Sapi perah, efisiensi reproduksi dan kawin tepat waktu
PENDAHULUAN Pada usaha peternakan sapi perah di Indonesia hingga saat ini masih banyak para peternak yang kurang peduli terhadap pentingnya memperhatikan efisiensi reproduksi, mereka masih terfokus kepada usaha meningkatkan produksi susu semata. Bila ditinjau dari sudut ekonomi sebetulnya semakin tinggi efisiensi reproduksi, maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan untuk proses produksi. Sebagai gambaran, bila jumlah perkawinan sedikit untuk memperoleh kebuntingan, maka biaya yang dikeluarkanpun akan lebih kecil bila dibandingkan dengan berkali–kali kawin untuk memperoleh satu kebuntingan, karena diketahui untuk satu kali mengawinkan ternak maka akan di keluarkan sejumlah biaya seperti biaya inseminasi bila perkawinan dilakukan dengan IB, atau
menyewa pejantan bila perkawinan dilakukan secara alam. Ditemui kendala dalam meningkatkan produksi susu khususnya. Kendala dimaksud adalah masih rendahnya tingkat efisiensi reproduksi yang ditandai dengan panjangnya jarak beranak akibat dari beberapa hal diantaranya adalah masih tingginya jumlah perkawinan untuk memperoleh satu kebuntingan (s/c), belum sesuai dengan apa yang diharapkan, untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan efisiensi reproduksi, salah satu diantaranya melalui kawin tepat waktu. Tujuan utama pemeliharaan sapi perah adalah produksi susu yang tidak terlepas dari faktor reproduksi ternak, karena produksi susu dihasilkan setelah ternak bunting dan melahirkan anak. Permasalahan yang paling mendasar pada peternakan sapi perah di Indonesia adalah masih rendahnya efisiensi reproduksi.
135
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Diketahui bahwa baik langsung maupun tidak langsung produksi susu dipengaruhi oleh efisiensi reproduksi. Pengaruh tidak langsung yaitu menurunnya atau lambatnya perkembangan populasi sapi perah betina karena rendahnya tingkat kelahiran akibat kegagalan perkawinan yang menyebabkan ternak tidak bunting. Menurunnya populasi sapi perah betina tentunya akan berdampak kepada rendahnya produksi susu. Sedangkan pengaruh langsung adalah banyaknya perkawinan akan berdampak kepada lamanya selang beranak dan panjangnya masa laktasi. Menurut BASYA (1992) menyatakan bahwa selang beranak lebih dari 365 hari akan mengurangi pendapat petani Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas mengenai arti penting dilakukannya kawin tepat waktu pada sapi perah PENGERTIAN DAN TUJUAN KAWIN TEPAT WAKTU Kawin tepat waktu adalah upaya mengawinkan ternak sapi perah betina dengan pejantan unggul pada waktu masa berahi sebelum terjadinya ovulasi sehingga terjadi kebuntingan. Pada sapi perah ovulasi biasanya terjadi 28 sampai 32 jam setelah timbul berahi, dan waktu terjadinya pembuahan sangat singkat sekali yaitu antara 6–12 jam setelah ovulasi (BRACKETT et al., 1980). TOELIHERE (1993) menerangkan bahwa waktu yang terbaik untuk mengawinkan sapi adalah 10 jam setelah permulaan berahi, karena akan memberikan tingkat kebuntingan sebesar 80 %. Dikatakan lebih lanjut bahwa bila sapi induk terlihat berahi pada pagi hari, maka pada hari itu juga harus dikawinkan atau di IB. Bila berahi terjadi pada sore hari, maka IB dilakukan pada pagi/siang hari berikutnya. (ESPEY, 1994). Hasil pengamatan RUSTANTO (2000) dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan tertinggi yaitu mencapai 80% bila sapi di IB pada pertengahan berahi.
136
Tabel 1. Persentase kebuntingan dengan waktu IB yang berlainan pada ternak sapi Waktu inseminasi Awal berahi Pertengahan berahi Akhir berahi 6 jam sesudah berahi 12 jam sesudah berahi 18 jam sesudah berahi 24 jam sesudah berahi 36 jam sesudah berahi 48 jam sesudah berahi
Persentase kebuntingan (%) 44 82 75 62,5 32,5 24 12 8 0
Sumber: RUSTANTO (2000)
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pelaksanaan IB dilakukan 4–12 jam setelah timbul berahi menghasilkan tingkat kebuntingan yang paling tinggi yaitu 51,1–50,9 persen bila dibandingkan dengan yang di IB 16 jam setelah timbul berahi. Tujuan utama kawin tepat waktu adalah untuk memperpendek jarak beranak. SIREGAR (2003) menerangkan bahwa untuk memperpendek jarak beranak pada sapi perah dapat dilakukan melalui dua cara yakni sapi perah induk harus dikawinkan 60 hari setelah beranak dan jumlah perkawinan (s/c) tidak lebih dari dua kali. Tetapi kenyataanya dilapang jarak beranak sapi perah yang dipelihara sebagian besar peternak masing relatif panjang yakni 418–453 hari (SIREGAR dan RAYS, 1992) dan 398 hari (YUSRAN et al., 1994). Akibat dari jarak beranak yang panjang menyebabkan masa pemerahan juga semakin panjang. Untuk itu kawin tepat waktu adalah upaya untuk menghasilkan jarak beranak tepat satu tahun dengan panjang laktasi yang optimal sekitar 10 bulan. BARET dan LARKIN (1974) dalam SUGIARTI et al. (1999) menerangkan bahwa panjang laktasi kurang dari 10 bulan, maka produksi susu yang diperoleh akan berkurang. Demikian juga bila panjang laktasi lebih dari 10 bulan akan menjadi tidak ekonomis, karena biaya produksi tidak seimbang dengan hasil produksi.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Table 2. Tingkat kebuntingan sapi perah dari hasil pelaksanaan IB yang berbeda waktunya setelah timbul berahi Interval from onset of estrus to AI (hours) 1 0 to 4 > 4 to 8 > 8 to 12 > 12 to 16 > 16 to 20 > 20 to 24 > 24 to 26
Number of inseminations 327 735 677 459 317 139 7
Conseption rate (%) 43.1 50.9 51.1 46.2 28.1 31.7 14.3
Sumber: DRANSFIELD et al. 1998).
SYARAT– SYARAT TERLAKSANANYA KAWIN TEPAT WAKTU Memiliki catatan reproduksi (recording) Untuk memudahkan petani dalam melakukan menejemen perkawinan pada ternak yang dipeliharanya, maka pencatatan reproduksi ternak mutlak diperlukan. Hal–hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut: • Siklus berahi, jika sapi perah induk yang dipelihara memiliki siklus berahi antara 18–24 hari, maka sapi perah induk tersebut memiliki sisitem reproduksi yang normal. TOELIHERE (1993) dan PENNINGTON (2007) menerangkan bahwa siklus berahi pada sapi yang normal 18–24 hari, dengan rataan 21 hari. • Lama berahi, menurut DRANSFIELD (1998) rata–rata 7 jam dengan kisaran 33 menit sampai 36 jam. Sedangkan menurut PENNINGTON (2007) lama berahi antara 12 sampai18 jam. • Waktu mengawinkan, pentingnya catatan ini adalah peternak dapat mengetahui apakah ternaknya sudah bunting atau belum, dengan melihat apakah sapi perah induk tidak minta kawin kembali (NR) dalam waktu 28– 35 atau 60–90 hari setelah dikawinkan TOELIHERE (1993). Penetuan keberhasilan kebuntingan dengan melihat ada tidaknya berahi pada 90 hari setelah sapi induk dikawinkan dilakukan juga oleh WIJONO et al. (1997) dan SUGIARTI et al. (1998), kemudian dilakukan palpasi reektal.
• Waktu kelahiran, catatan ini penting, untuk mengetahui umur sapi perah anak yang dilahirkan secara tepat dan akurat, selain itu berguna untuk menentukan umur penyapihan dan waktu mengawinkan kembali sapi perah induk setelah beranak agar jarak beranak dapat diperpendek. Mengetahui tanda–tanda berahi Salah satu syarat agar perkawinan dapat dilakukan tepat waktu, baik pada perkawinan dengan sistem hand mating ataupun IB maka hendaknya para peternak mengetahui tanda– tanda berahi. TOELIHERE (1993) dan JILL (2006) menerangkan bahwa tanda–tanda berahi pada sapi induk adalah diam bila dinaiki pejantan dan atau dia akan menaiki betina lainnya, melenguh, nafsu makan menurun. Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh JILL (2006) bahwa sapi perah yang sedang berahi akan mengangkat ekornya dan temperature bagian bawah ekor tersebut hangat. Dengan adanya pencatatan tersebut, maka peternak dapat memperoleh keuntungan sebagai berikut: • Memastikan bahwa sapi perah induk yang dipeliharanya memiliki siklus berahi yang normal. Bila siklus berahi lebih dari 24 hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi oleh Dokter Hewan. • Tidak terlambat mengawinkan ternaknya, sehingga tingkat kebuntingannya menjadi tinggi.
137
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
memberikan respon berahi (90%) dan laju kebuntingan (77,8 %).
Melakukan penyerempakan berahi Tujuan dilakukan penyerempakan berahi adalah untuk memudahkan tatalaksana perkawinan, karena diketahui bahwa pada sapi perah induk sering dijumpai adanya berahi tenang, sehingga sulit untk diketahui. Dengan dilakukannya penyerempakkan berahi, maka diharapkan semua ternak dapat diditeksi masa berahinya. Menurut SOLIHAT (1998) dalam HERDIS et al. (1999) penyerempakkan berahi pada sapi perah dengan menggunakan progesterone intravaginalbersamaan dengan estrogen dan injeksi 15 mg PGF2α secara intramuskuler(IM)
Kesediaan memelihara pejantan Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa para peternak sapi perah sedikit sekali yang memelihara pejantan. Pada umumnya anak jantan langsung dijual atau ditunggu sampai agak besar, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi biaya produksi. Adanya penjualan pedet oleh peternak dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase hasil penjualan pedet terhadap total pendapatan usaha sapi perah No
Lokasi
% hasil jual pedet
Sumber
1
Yogyakarta
16,74 – 18,94
MASBULAN et al. (1998)
2
Pangalengan
12,8 – 16,5
SUMANTO et al. (2005)
Menurut MUSOFIE et al. (1991) menyatakan bahwa pedet sapi perah yang dijual ke pasar di Pasuruan Jawa Timur, 25% adalah pedet jantan. Diketahui bahwa pedet jantan yang berasal dari bibit unggul kelak kemudian hari dapat digunakan sebagai pemacek. Minimnya pemilikan pejantan oleh peternak, maka untuk proses reproduksi sapi perah induk, para peternak cukup meminjam pejantan kepada orang lain ketika mengawinkan ternaknya atau melalui IB. Berdasarkan fenomena tersebut, maka timbul pertanyaan bagaimana cara mengatasinya?. Karena sayang sekali bila anak jantan yang dijual tersebut berasal dari keturunan bibit unggul. Untuk mengatasi hal tersebut tentunya kita harus memberikan pemahaman kepada para peternak, bahwa anak jantan yang berasal dari bibit unggul kelak kemudian hari akan menjadi unggul pula, untuk itu perlu memeliharanya. Kemudian manfaat lain yang diperoleh dengan memiliki pejantan sendiri adalah: 1. Petani-ternak tidak perlu menyewa pejantan kepada peternak lain, sehingga dapat menghemat pengeluaran untuk mengawinkan ternaknya bila perkawinan ternak dilakukan secara alam. 2. Peternak tidak perlu mengamati waktu berahi dengan susah payah, karena dengan adanya pejantan didekat betina, maka pejantan tersebut dapat mediteksi
138
berahi dengan sendirinya. JILL (2006) menerangkan bahwa pada sekelompok sapi perah induk yang berjumlah 600– 800 ekor system perkawinan menggunakan IB selama 6 minggu, selebihnya dilakukan kawin alam dengan menggunakan pejantan untuk mengawini sapi perah induk yang mengalami berahi tenang. Jumlah pejantan yang digunakan adalah 4 ekor dengan perincian 3 ekor untuk 100 betina dan 1 ekor pejantan lagi sebagai cadangan. Pejantan disatukan dengan betina dalam kandang kelompok selama 12 minggu. Disisi lain dampak upaya peningkatan efisiensi reproduksi melalui kawin tepat waktu untuk memperpendek jarak beranak dapat meningkatan pendapatan peternak baik langsung maupun tidak langsung yakni degan bertambahnya produksi susu maupun berkurangnya biaya produksi. Diketahui bahwa upaya peningkatan efisiensi reproduksi dapat dilakukan melalui optimalisasi jarak beranak. SIREGAR dan RAYS (1992) menerangkan bahwa semakin panjang jarak beranak pada usaha sapi perah, maka keuntungan yang diperolehpun semakin kecil karena bertambahnya biaya produksi. Jadi bila jarak beranak semakin pendek, maka biaya produksi pun semakin kecil, sehingga pendapatanpun bertambah.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Kawin tepat waktu dapat dilakukan melalui program IB yang teratur, dimana pelaksanaan IB yang terprogram dengan baik akan meningkatkan produksi susu minimal 2%/tahun (MASON dan BUNAVENDRA, 1982 dalam SIREGAR (2003). Kemudian kawin tepat waktu juga dapat meningkatkan produksi susu rata– rata sebesar 4,96–9,42% (SUGIARTI SIREGAR SIREGAR (1999). KESIMPULAN Upaya peningkatan efisiensi reproduksi ternak sapi perah dapat dilakukan melalui kawin tepat waktu yang berdampak kepada memperpendek jarak dapat meningkatkan produksi susudan pendapatan peternak. DAFTAR PUSTAKA DRANSFIELD, M. B. G. , R. L. NEBEL, R. E PEARSON, and L. D. WARIEK. 1998. Timing of insemination for daiyr cows identified in estrus by a radiotelematric estrus detection system. J. Dairy Sci. 81 : 1874. ESPEY, L.L. 1994. Current status of the hypothesis that mammalian ovulation is comparable to an inflammatory reaction. Biol. Reprod. 50:233. GUNAWAN, M.A. YUSRON, ARYOGI dan A. RASYID. 1996. Keuntungan ekonomis penambahan pakan konsentrat pada pembesaran pedet sapi perah jantan. Pros. Semnas Temu Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Deptan. JILL, G. 2006. Dairy cow mating. Health News 31October, 2006. Manawatu Standard. via ProQuest Information and Learning Company; All Rights Reserved. HERDIS, SURAHMAN M., KUSUMA. I dan SUHANA. E. R. 1999. Peningkatan efisiensi reproduksi sapi melalui penerapan teknologi penyerentakan berahi. Wartazoa 1:9. Hlm. 1– 6.
MASBULAN, E. , T. D. SOEDJANA dan I. SAMEKTO. 1998. Perpektif pengembangan agribisnis sapi perah dikawasan lahan kritis (Studi kasus Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Pros. Semnas Temu Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Deptan. LOOPER, M. 2005. When should dairy cows be inseminated? Guide B-117 Extension Dairy Specialist. Cooperative Extension Service College of Agriculture and Home Economics New Mexico State University. This publication is scheduled to be updated and reissued 5/05.To find more resources for your business, home, or family, visit the College of Agriculture and Home Economics on the World Wide Web at http://www.cahe.nmsu. edu. PENNINGTON, J. A. 2007. Dairy reproductive management using artificial insemination http://www.uaex.edu University of Arkansas, United States Department of Agriculture, and County Governments Cooperating. RUSTANTO. 2000. Katalog pejantan sapi potong. Balai Inseminasi Buatan Lembang. SIREGAR, S. B. dan A. K. RAYS. 1992. Dampak jarak beranak sapi perah induk terhadap pendapatan peternak sapi perah. Ilmu dan Peternakan. 1 : 11–15. SIREGAR, S. B. 2003. Peluang dan tantangan peningkatan produksi susu nasional. Wartazoa. 2 (13) : 48–55. SUGIARTI, T dan S. B. SIREGAR. 1999. Dampak pelaksanaan inseminasi buatan (IB) terhadap peningkatan pendapatan peternak sapi perah di daerah Jawa Barat. JITV, 4 (1) : 1–6. SUMANTO, JUARINI. E dan I-K SUTAMA. 2005. Studi perbaikan pakan pada sapi perah di Pangalengan (Analisa Ekonomi). Pros. Semnas Temu Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Deptan. TOELIHERE. M. R. 1993. Fisiologi pada ternak. Penerbit Angkasa Bandung. TOELIHERE. M. R. 1993. Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit Angkasa Bandung.
139