Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
INDEKS REPRODUKSI SEBAGAI FAKTOR PENENTU EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH: FOKUS KAJIAN PADA SAPI PERAH BOS TAURUS (Reproduction Indices as Determined Factors of Reproductive Efficiency in Dairy Cattle: Focusing Discussion in Bos taurus) ANNEKE ANGGRAENI Balai Penelitian Ternak, Bogor ABSTRACT Reproduction is one of essential factor directly affecting profitability in a dairy production system. Inefficient reproduction can result in many disadvantages such as: lesser milk yield and reduced calves per cow, increased culling rate of animals, slower genetic improvement, increased replacement cost and increased AI payment. Fertility of individual cow, directly affecting on reproductive effeciency in herds, has been known as a complex process covering various factors such as the aspects of genetic, physiology, nutrition, management, agroecosystem and climate. Interval from calving to another calving is practically considered frequently as one of reproductive parameter for identifying status and efficiency of reproduction of individual cow. This parameter can be evaluated based on various intervals mainly from partus to first service, first service to conception, days open, gestation period and calving interval. These traditional reproductive indeces are still necessary to evalute reproductive status of both individual animal and herd levels particularly in developing countries to cope with their limitation in many resources such as capital, skill and technology of detecting inferiority and abnormality in reproduction. Although a more accurate parameter using hormonal test has been now available and initially applied in some developing countries, but it is still costly. Therefore the tradisional reproductive parameter have been still usefull. By recognizing various determined factors of these reproductive indices, it is expectedly some strategic action can be afforded for reaching the target cows calving annually. The achievement of various reproductive indices in Bos taurus dairy cattles both in temperate and tropical countries typically raising cattle in a small scale under tropical stress was also discussed. Keywords: Bos taurus, reproductive indices, interval from calving to first service, days open and calving interval ABSTRAK Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peternakan sapi perah seperti: menurunkan produksi susu dan kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat perbaikan genetik, meningkatkan biaya replacement dan biaya IB. Daya fertilitas setiap ekor induk, yang memberi pengaruh secara langsung terhadap efisiensi reproduksi peternakan, diketahui merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan banyak faktor seperti aspek genetik, fisiologi ternak, nutrisi, manajemen, lingkungan pemeliharaan dan iklim. Periode waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya secara praktis banyak dipertimbangkan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui status dan efisiensi reproduksi setiap induk. Tingkat efisiensi reproduksi tersebut dievaluasi berdasarkan nilai indeks reproduksi meliputi jarak (waktu) dari partus sampai kawin pertama, kawin pertama sampai konsepsi, lama kosong, lama bunting dan selang beranak. Kajian terhadap indeks fertilitas secara tradisional ini masih sangat diperlukan pada sistem usaha sapi perah terutama di negara berkembang sebagai pengadopsi budidaya sapi perah eksotik. Ini disebabkan kendala biaya, keahlian dan teknologi dalam mendeteksi baik inferioritas maupun abnormalitas reproduksi ternak dalam menerapkan uji hormonal seperti yang mulai diterapkan negara maju. Dengan memahami berbagai faktor penentu dari sejumlah indeks reproduksi tersebut, diharap akan bisa dilakukan berbagai alternatif strategis untuk mencapai target kelahiran anak secara teratur setiap tahun. Perolehan nilai indeks reproduksi sapi Bos taurus baik di daerah asalnya iklim sedang (dingin) dan negara
61
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
pengadopsi yang umumnya dibawah sistem pemeliharaan skala kecil dan kondisi iklim tropis juga menjadi bahasan tulisan ini. Kata kunci: Bos taurus, indeks reproduksi, interval kelahiran
PENDAHULUAN Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat. Memahami keterkaitan berbagai faktor dalam mempengaruhi fertilitas ternak, oleh karenanya menjadi hal esensial dalam upaya mengoptimalkan performa reproduksi setiap sapi betina dan usaha peternakan. Definisi sederhana seekor sapi betina dinyatakan fertil adalah apabila ternak tersebut mampu berkonsepsi dan mempertahankan kebuntingan sampai terjadi kelahiran (DARWASH et al., 1997). Namun, berbagai kondisi kurang menguntungkan akan menurunkan fertilitas yang berakibat induk gagal mempertahankan kebuntingan. Kegagalan menghasilkan kebuntingan merefleksikan sejumlah abnormalitas seperti kegagalan ternak mengekspresikan estrus dan ovulasi serta abnormalitas siklus estrus itu sendiri. Kegagalan konsepsi dapat merefleksikan pula disfungsi hypothalamus, kelenjar pituitary, ovarium, uterus ataupun konsepsi tidak berkembang dengan baik (ROYAL et al., 2000). Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak, oleh karenanya perlu diperhatikan proses kompleks terkait dengan sifat reproduksi yang melibatkan aspek genetik, fisiologi, nutrisi, manajemen dan lingkungan. Disebabkan fertilitas merupakan rangkaian proses biologis yang kompleks, maka cukup sulit untuk mendefinisikan daya fertilitas induk yang mencakup semua aspek reproduksi.
62
Meskipun demikian dalam pemeriksaan kemampuan fertilitas, metoda konvensional dapat diterapkan dengan cara menghitung sejumlah indeks reproduksi sebagai indikator tingkat efisiensi reproduksi sapi perah. Indeks reproduksi sebagai ukuran tingkat fertilitas dihitung berdasarkan informasi data reproduksi seperti penggunaan pejantan dalam inseminasi (IB), tanggal servis dan tanggal melahirkan sapi betina (PRYCE et al., 2004). Ukuran fertilitas tersebut secara praktis dibagi menjadi dua kategori, yaitu fertilitas dalam bentuk skor dan interval. Fertlitas dalam bentuk skor misalnya angka tidak kembali berahi setelah servis pertama, dinyatakan sebagai non-return rate (NRR), biasanya dipakai patokan periode pengamatan 56 hari atau 90 hari, sedangkan konsepsi ditentukan berdasarkan diagnosa kebuntingan atau kelahiran yang menyertainya. Fertilitas dalam bentuk interval waktu, dilain pihak, antara lain periode dari partus sampai kawin (birahi) pertama, lama kosong dan selang beranak. Berbagai parameter reproduksi yang diuraikan sebelumnya menurut ROYAL et al. (2000) dinyatakan sebagai parameter fertilitas tradisional. Dijelaskan, nilai fertilitas tradisonal sering berbias akibat berbagai keputusan manajemen (reproduksi) atau adanya sensorik data seperti ternak diafkir sebelum diinseminasi. Bila data tersebut dipakai untuk kepentingan evaluasi genetik sifat reproduksi sapi betina, akan memberi bias yang besar pada estimasi nilai pemuliaan sifat reproduksi tersebut. Salah satu alternatif yang mulai ditawarkan untuk meminimalkan bias dari penilaian fertilitas induk yaitu dengan mengukur kadar hormon progesteron (progesteron test) dalam air susu, yang dinyatakan sebagai parameter fertilitas fisiologis. Metode ini mulai dipakai sejumlah negara asal sapi perah Bos taurus seperti Inggris dan sebagian negara Eropa lainnya. Metode progesterone test mengindikasikan kondisi saat sapi ovulasi yang merefleksikan pembentukan dan lama hidup corpus luteum. Metode ini juga menginformasikan apakah siklus estrus berlangsung secara tipikal dan uterus bisa mempertahankan kebuntingan
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
dengan selamat. Analisis parameter reproduksi berdasarkan kadar progesteron air susu, oleh karenanya dapat mengidentifikasi abnormalitas fungsi ovari dikaitkan dengan penurunan fertilitas seperti memanjangnya periode anestrus postpartus (keterlambatan periode tidak ovulasi postpartus), siklus anestrus yang panjang (keterlambatan ovulasi), disfungsi ovari (folikel sistik) serta bertahannya corpus luteum. Meskipun metode ini mampu menyediakan informasi akurat dari kondisi fisiologis dan disfungsi organ reproduksi sapi betina, tetapi penggunaannya memerlukan keahlian veteriner, peralatan dan biaya yang mendukung. Kajian indeks fertilitas secara tradisional, dengan demikian masih sangat diperlukan pada kondisi sistem usaha peternakan sapi perah di negara berkembang. Ini dikarenakan negara berkembang sebagai pengadopsi budidaya sapi perah eksotik umumnya memfokuskan pemeliharaan sapi perah bagi peternak rakyat yang terkait erat dengan keterbatasan model, keahlian dan teknologi. Kendala tersebut belum memungkinkan peternakan rakyat dan koperasi binaan melakukan deteksi inferioritas maupun abnormalitas reproduksi menerapkan uji hormonal seperti yang mulai diterapkan di negara maju. Uraian selanjutnya akan membahas berbagai interval reproduksi sebagai parameter indeks reproduksi tradisional yang merupakan faktor esensial penentu keteraturan beranak dari sapi perah betina. Dengan melakukan deteksi awal berbagai disfungsi organ dan saluran reproduksi, selanjutnya melakukan pencegahan dan (atau) pengobatan yang tepat, diharapkan kelahiran anak sapi dapat berlangsung teratur setiap tahun. INDEKS REPRODUKSI Dipahami ada banyak faktor berkontribusi terhadap indeks reproduksi sebagai faktor penentu keteraturan siklus reproduksi sapi betina. Identifikasi berbagai faktor pembatas yang bisa menurunkan fertilitas, sangat diperlukan untuk memperbaiki kinerja reproduksi dari sapi dara dan induk (STEVENSON, 2001). Interval antara satu kelahiran dengan kelahiran selanjutnya telah dilaporkan banyak studi menjadi salah satu penentu efisiensi reproduksi terbaik baik pada
tingkat individu ternak maupun pada tingkat usaha peternakan. MUKASA-MUGERWA (1989) secara sederhana membagi interval kelahiran atau selang beranak menjadi tiga periode yaitu: 1) anestrus postpartus sebagai periode mulai induk melahirkan sampai estrus pertama, 2) periode perkawinan (IB) sebagai periode mulai estrus pertama postpartus sampai konsepsi dan 3) kebuntingan. STEVENSON (2001) juga membagi interval kelahiran menjadi tiga komponen yaitu: 1). the elective waiting periode (EWP), 2) periode perkawinan atau aktif inseminasi dan 3) kebuntingan ditambah dengan berbagai interval yang melengkapinya. Klasifikasi terakhir lebih mempertimbangkan berbagai komponen interval kelahiran sehubungan dengan siklus estrus dan potensi mencapai keberhasilan IB, yang memungkinan kelahiran terjadi setiap tahun. Diskusi secara detail dari berbagai komponen interval antar kelahiran dibahas berikut ini. THE ELECTIVE WAITING PERIOD The elective waiting period (EWP) merupakan interval tradisonal mulai seekor sapi betina menjalani kelahiran sampai mencapai kondisi layak untuk memperoleh perkawinan (IB) pertama postpartus. Periode EWP secara parsial akan ditentukan oleh hasil keputusan manajemen yang dilakukan peternak atau manajer sapi perah, biasanya berkisar 4070 hari. Sebagian dari periode EWP ini dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dari organ reproduksi induk yang terus menjalankan proses involusi sampai mencapai sempurna setelah proses kelahiran (STEVENSON, 2001). Lama waktu yang diperlukan untuk sempurnanya proses involusi sekitar 25-35 hari (BASTIDAS et al., 1984). Sejumlah studi mencatat ada korelasi yang nyata antara waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan involusi uterus dengan periode kawin pertama setelah partus, yang berkisar antara 40 – 60 hr. Disebabkan EWP merupakan suatu masa transisi yang menyertai segera proses kelahiran, periode ini sangat peka terhadap berbagai resiko kesehatan dan produktivitas induk. Selama periode transisi, induk sering mengalami disfungsi fisiologis seperti kejadian retained placenta, metritis, ketosis, displaced abomasum dan cystic ovary (STEVENSON,
63
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
2001; dan SHIFRAW et al., 2005). Meningkatnya kejadian distokia, kelahiran kembar, stillbirth, abortus, retained placenta dan kematian fetus diketahui menjadi faktor predisposisi dalam menimbulkan infeksi saluran reproduksi (DOHOO et al., 1983). Gangguan fisiologis tersebut secara erat mempengaruhi performan reproduksi seperti induk yang mengalami retained placeta, metritis dan systic ovary mencapai angka konsepsi lebih rendah sekitar 14, 15 dan 21% dibandingkan induk yang sehat (GRŐHN dan RAJALA-SCHULTZ, 2000). Pengamatan pada sapi perah persilangan di Ethiophia mencatat retained foetal membrane dan infeksi uterus sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelainan reproduksi postpartus (SHIFERAW et al., 2005). Sapi induk dengan gangguan reproduksi cenderung menjalani interval servis pertama postpartus dan lama kosong panjang disamping memperoleh angka konsepsi lebih rendah dibandingkan induk normal. Parturasi Parturasi merupakan suatu proses yang sangat membutuhkan perhatian, pemeliharaan dan keberhasihan penanganannya. Resiko kematian lebih besar selama proses kelahiran jika dibandingkan dengan periode reproduksi lainnya. Berbagai gangguan selama proses parturasi menyebabkan induk mengalami gangguan penyakit, kehilangan produksi susu dan penurunan efisiensi reproduksi. Upaya mengurangi terjadinya insiden selama proses kelahiran, berarti mengupayakan perbaikan kesehatan reproduksi induk. GRŐNH et al. (1998) melaporkan kejadian distokia, retained placenta dan metritis menurunkan produksi susu dimana pengamatan pada dua minggu pertama laktasi menunjukkan produksi susu harian turun berurutan 2,2, 1,4 dan 1,3 kg/hr, meskipun taraf pengaruh tersebut bervariasi antara laktasi. Lebih jauh dilaporkan, sapi induk dengan potensi produksi susu tinggi dari laktasi sebelumnya cenderung memiliki peluang lebih besar mengalami resiko distokia, retained placenta, metritis, birahi tenang, ovari sistik dan infertilitas lainnya.
64
Onset siklus estrus Ovulasi pertama setelah kelahiran mencerminkan resumsi dan sempurnanya perkembangan folikel di ovarium sebelum berlangsung ovulasi. Proses ini sangat menentukan fertilitas selanjutnya. Diperlukan berbagai rangkaian proses fisiologis agar induk memulai kembali siklus estrus postpartus (PRYCE et al., 2004). Kondisi ini memerlukan pemulihan organ reproduksi seperti folikuler berkembang secara sempurna diikuti proses ovulasi serta hormon LH dan FSH disekresikan secara normal untuk menstimulasi folikel yang ada di ovari (BUTLER, 2005). Perkembangan folikel terutama dikontrol oleh sistem umpan balik melibatkan hormon stimulator seperti gonadotropin (FSH), lutenising hormone (LH), estrogen, androgen, progesterone dan protein (sekresi dari ovari) (WEBB et al., 1994). Menggunakan ultrasound imaging technique untuk mempelajari dinamika folikel ternak, diketahui bahwa selama siklus normal reproduksi terjadi perkembangan ganda dari folikel dengan proses menyerupai gelombang folikel (SAVIO et al., 1990). Gelombang folikel di ovari mulai berlangsung sejak minggu pertama postpartus dan biasanya folikel dominan pertama terovulasi (BUTTLER, 2005). Sapi mengekspresikan sekitar 2-3 gelombang folikel selama satu siklus estrus normal (Ireland, 2000), akan tetapi sebanyak 1-4 siklus gelombang sering kali teramati (SAVIO et al., 1990). Setiap gelombang melibatkan perekrutan suatu kohorsi dari sekitar 5-7 folikel benih, kemudian satu berkembang menjadi lebih besar, sementara yang lainnya beregresi (IRELAND et al., 2000). Seleksi satu folikel berkembang dari suatu kohorsi sedangkan yang lainnya mengalami atresia terjadi melalui mekanisme dominan yang memungkinkan satu folikel tunggal menekan pertumbuhan folikel lainnya atau untuk tumbuh dalam suatu milineu hormonal, sehingga menimbulkan ketidaksesuaian kondisi pada folikel lainnya. Kehilangan folikel dominan menghasilkan atresia dari folikel dominan tersebut, sehingga merangsang pertumbuhan gelombang folikuler baru (FORTUNE, 1993; dan IRELAND et al., 2000).
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Gelombang folikular terjadi sebagai respon dari meningkatnya konsentrasi plasma FSH yang mencapai puncak pada hari ke 4-5 postpartus (BEAM dan BUTTLER, 1997). Adanya gelombang folikular yang segera terjadi pasca kelahiran, menunjukkan bahwa konsetrasi FSH dalam darah mencukupi. Dengan demikian diperkirakan faktor pembatas yang nyata untuk dimulainya kembali ovulasi lebih tergantung pada taraf kecukupan sekresi LH dalam bentuk circhoral LH pulses dalam menstimulir kematangan folikular akhir dan proses ovulasi dari folikel dominan (CANFIELD dan BUTLER, 1991). Ini memberi implikasi bahwa anestrus postpartus pada sapi perah kemungkinan lebih disebabkan oleh kegagalan folikel untuk berovulasi, bukan karena kecenderungan kurang berkembangnya folikel. Cukup banyak dilakukan studi tentang dinamika folikuler selama siklus estrus normal sapi perah, dikaitkan dengan strategi efektip memulai kembali inseminasi. SMITH dan WALLACE (1998) dengan menggunakan progesteron air susu untuk mengkaji aktivitas luteal selama 21 hari pertama laktasi melaporkan kegiatan inseminasi awal pasca kelahiran memberi tingkat fertilitas rendah. Dijelaskan ovulasi awal berkorelasi positif dengan rendahnya angka konsepsi dan perpanjangan masa kosong sapi multiparus. Fertilitas cenderung lebih besar bila sapi diinseminasi setelah ovulasi hasil gelombang folikel dominan ketiga dibandingkan gelombang kedua (TOWSON et al., 2002). Hal ini sesuai dengan studi sebelumnya oleh THATCHER dan WILCOX et al. (1973) yang mendapatkan suatu hubungan positif antara kejadian periode estrus ganda (sampai ke-4) selama 60 hari pertama laktasi dengan keberhasilan angka konsepsi disebabkan efek menguntungkan aktivitas resumsi ovari dan konsentrasi progesterone untuk fertil. Banyak peristiwa reproduksi yang berlangsung selama periode awal kelahiran, disamping dimulainya laktasi, menarik untuk diuraikan. Selama periode awal postpartus, sapi laktasi biasanya dalam kondisi keseimbangan energi negatif (negative energy balance) karena ketidak mampuannya mengkonsumsi energi dengan jumlah mencukupi dalam ransum (COLLARD et al., 2000; GEAHART et al., 1990 dan DOMEQ et al., 1997). Waktu ovulasi dari folikel dominan
pertama diketahui terkait dengan laju dan saat keseimbangan energi mencapai status positif (STEVENSON et al., 1996). Keseimbangan energi dalam kondisi negatif mengakibatkan turunnya sekresi LH postpartus, akibatnya memperlambat resumsi aktivitas ovari (BUTLER, 2000). Keseimbangan energi negatif juga memperpanjang interval ovulasi dan estrus pertama postpartus. Tidaklah mengejutkan jika angka konsepsi mencapai keberhasilan kurang dari 50% pada sapi induk yang diservis sebelum 100 hari pertama laktasi (BEAM dan BUTKER, 1999). PERIODE PERKAWINAN (INSEMINASI) Komponen kedua yang penting dalam menentukan interval kelahiran adalah periode antara akhir EWP dan saat pertama terdeteksi estrus postpartus, diikuti perkawinan IB kemudian konsepsi terjadi. Periode ini pada dasarnya merupakan fungsi dari angka deteksi birahi dan daya fertilitas induk (STEVENSON, 2001). Persentase induk yang terdeteksi estrus bergantung pada efisiensi deteksi estrus dari semua induk, sedangkan fertilitas induk bergantung pada sejumlah faktor melibatkan fertilitas jantan, thawing dan penangan semen secara benar, teknik kawin IB dan saat IB (STEVENSON, 2001). Deteksi estrus Akurasi dalam mendeteksi estrus merupakan suatu faktor esensial bagi keberhasilan perkawinan inseminasi. Jika inseminasi dilakukan pada waktu yang tidak tepat, akan menurunkan angka konsepsi (MAI et al., 2002). Banyak hasil positif didapatkan jika angka deteksi estrus meningkat, seperti mengontrol interval kelahiran dan meningkatkan total angka konsepsi. FIRK et al. (2002) menjelaskan deteksi estrus yang salah ataupun esrus yang tidak terdeteksi menyebabkan hilangnya waktu tepat inseminasi yang memberi konsekuensi hilangnya pendapatan karena potensi produksi susu dan kelahiran anak tidak tereksploitasi. Secara tradisional, deteksi estrus dilakukan melalui pengamatan visual berdasarkan tandatanda primer dan sekunder (FIRK et al., 2002). Tanda primer yang dipertimbangkan sebagai
65
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
estrus yang sebenarnya adalah saat mana sapi betina bersedia dinaiki sapi lain (RANKIN et al., 1992). Aktivitas dinaiki distimulasi secara kuat oleh estrogen dan dihambat oleh progesteron (ALLRICH, 1994). Periode ini terjadi selama periode pro-estrus atau estrus dibandingkan diluar periode estrus (HELMER dan BRITT, 1985). Sapi betina juga memperlihatkan tanda sekunder estrus seperti menaiki sapi lain, gelisah, melenguh, vulva relaksasi dan keluar cairan bening, pendarahan postestrus, serta turun selera makan dan produksi susu (DISKIN dan SREENAN, 1980). Tanda sekunder estrus dapat terlihat 40 jam sebelum atau 20 jam sesudah etrus pertama (MCLAREN, 1974). Tanda sekunder estrus ini menjadi sangat bermanfaat pada kondisi sapi betina dipelihara dengan sistem manajemen terikat (tied stall), karena tanda primer menjadi sulit terdeteksi (YOSIHA dan NAKAO, 2005). SCHOFIELD et al. (1991) melaporkan rataan lama estrus 13,5 ± 2,3 jam, sedangkan SALISBURy et al. (1978) mencatat periode estrus sekitar 15-20 jam. DRANSFIELD et al. (1998) memperoleh periode estrus dari beberapa peternakan berkisar dari 5,1 ± 3,8 jam sampai 10,6 ± 6,8 jam dengan rataan 7,1 ± 5,4 jam. Menurut KIDA et al. (1981) lama standing estrus pada satu populasi sapi perah di Jepang sekitar 12-18 jam, sedangkan YOSHIDA dan NAKAO (2005) mencatat sekitar 6,6 jam dengan kisaran 2-32 jam. Waktu inseminasi Kondisi biologis yang mempengaruhi waktu inseminasi dan fertilisasi merupakan fungsi dari viabilitas gamet (sperma dan ovum), yaitu waktu yang diperlukan viabilitas sperma mulai dari posisi IB sampai fertilisasi (DRANSFIELD et al., 1998). Kejadian ovulasi terkait dengan saat tepat inseminasi dengan demikian merupakan dua aspek yang perlu diperhatikan. Rataan waktu ovulasi sapi betina berlangsung antara 25-30 jam sejak estrus dan 11-13 jam setelah berakhirnya estrus (SALISBURY et al., 1978). WALKER et al. (1996) mencatat ovulasi terjadi 24-32 jam sejak dimulai estrus dengan rataan 27,6 ± 5,5 jam (ALLRICH, 1994). Meskipun ovum memiliki periode maksimum kapasitasi untuk proses fertilisasi sekitar 20–24 jam, namun
66
periode optimum berlangsung hanya sekitar 6– 10 jam. Hal ini bermakna bahwa sekali sel telur terovulasi, diestimasi viabilitas hidup kurang dari 12 jam, kecuali jika terjadi pembuahan. Jika thawing semen beku dilakukan secara baik, maka lama viabilitas sperma dalam saluran reproduksi betina diperkirakan berlangsung sekitar 24–30 jam (DRANSFIELD et al., 1998). Sperma tidak akan mampu membuahi sel telur segera setelah thawing dan diletakkan dalam tubuh uterus betina. Mereka harus bergerak dari tanduk uterus ke uterotubal junction, memasuki oviduk dan menyempurnakan proses maturasi yang disebut sebagai kapasitasi. Secara umum, sperma yang bergerak normal memerlukan waktu sekitar 610 jam untuk mencapai bagian bawah dari oviduk saat mana proses kapasitasi sempurna (HAWK et al., 1987). Periode 12–16 jam berikutnya merupakan periode fertilitas maksimal dari sperma yang diikuti secara cepat turunnya motilitas dan fertilitas. Penanganan semen yang kurang tepat dan teknik IB yang tidak benar secara dramatis dapat menurunkan jumah sperma sel yang tersedia untuk fertilisasi, sehingga dihasilkan angka konsepsi yang rendah. Pemeriksaan intensif terhadap waktu tepat inseminasi pada berbagai tahap estrus memperjelas angka konsepsi akan maksimum jika IB dilakukan mulai fase midestrus sampai beberapa jam setelah berakhirnya ekspresi standing estrus (DRANSFIELD et al., 1998). Sebagai penuntun saat tepat inseminasi adalah jika induk estrus selama pagi hari perlu di-IB pada sore hari yang sama, sedangkan jika sapi estrus sore hari perlu di-IB pada keesokan pagi harinya. Meskipun demikian ada perbedaan keberhasilan IB yang dilakukan pada dua waktu tersebut. Angka konsepsi lebih baik untuk induk yang estrus pagi hari kemudian diinseminasi pada sore hari yang sama (52%) dibandingkan terhadap induk yang estrus sore hari kemudian diinseminasi pagi hari berikutnya (47%) (REIMERS et al., 1985). Meskipun demikian NEBEL et al. (1994) mendapatkan angka konsepsi tidak berbeda pada inseminasi yang dilakukan satu kali terhadap dua kali menggunakan tuntunan pagisore hari, dengan hasil terbaik diperoleh saat inseminasi antara jam 08.00–11.00 pagi. Sementara DRANSFIELD et al. (1998)
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
berdasarkan pengamatan estrus menggunakan Heat Watch System memperoleh waktu optimum inseminasi antara jam 4–12 setelah standing estrus, atau menurut MAATJE et al. (1997) sekitar 6–17 jam setelah meningkatnya bacaan pedometer. KEBUNTINGAN Komponen ketiga dari interval kelahiran adalah kebuntingan yang juga melibatkan periode pengeringan. Lama kebuntingan hampir bisa dikatakan konstan yang tidak dapat dipersingkat secara nyata dengan tanpa menimbulkan efek membahayakan kesehatan dan viabilitas anak lahir. Menurut GORDON (1996) menyertai fertilisasi, embrio turun dari oviduk masuk uterus yang berlangsung sekitar 72–84 jam. Jika kebuntingan tidak terjadi, maka corpus luteum beregresi sebagai respon sekresi hormon prostaglandin F2α dari endometrium, sebaliknya jika embrio bertahan, maka corpus luteum akan bertahan. Fenomena ini dipandang menjadi suatu fase kritikal dalam pemeliharaan kebuntingan. Melekatnya plasenta pada dinding uterus terjadi sekitar 21– 22 hari (VANROOSE et al., 2000). Embrio dan fetus tumbuh dengan cepat sampai 240 hari fertilisasi dan kelahiran terjadi setelah kebuntingan berumur sekitar 282 hari (GARVERICK dan SMITH, 1993). Embrio bertumbuh sampai 45 hari konsepsi, selanjutnya berkembang menjadi fetus (HUBBERT, 1972). Menurut LUCY (2003) peluang terbesar dari kegagalan setelah terjadi konsepsi pada sapi perah adalah selama fase embrio yang semula nampak berkembang normal kemudian mengalami mortal dini. Kehilangan embrio yang besar berlangsung terutama antara periode konsepsi dan pengenalan kebuntingan oleh induk, yaitu sekitar 17–19 hari setelah inseminasi (LUCY, 2003); sedangkan menurut STEVENSON (2001) kematian embrio sering terjadi selama 25–40 hari setelah inseminasi. Beberapa studi mencatat penurunan fertlitas terjadi selama awal kebuntingan yang melibatkan: 1) kegagalan fertilisasi dengan kasus <10%), 2) kematian embrio yang tinggi sekitar 25–30% dan 3) kematian fetus ataupun aborsi sekitar 5– 10% (SREENAN et al., 2001). Laporan lain mengidentifikasi kematian embrio sapi perah
terjadi antara 28–75 hari setelah konsepsi, namun estimasi bervariasi antar peterrnakan, berkisar antara 7–56%, yang juga dipengaruhi oleh tahap kebuntingan dan musim (CARTMILL et al., 2001; dan VASCONCELOS et al., 1997). PEMBANDINGAN INDEKS REPRODUKSI Tabel 1 menampilkan ringkasan sejumlah indeks reproduksi sapi Friesian-Holstein (FH) dan beberapa sapi perah Bos taurus lainnya pada kondisi pemeliharaan bervariasi, mulai dari daerah asalnya yang beriklim sedang (dingin) dengan sistem pemeliharaan biasanya bersifat intensif dengan skala besar sampai daerah tropis yang umum dipelihara secara semi-intensif berskala kecil di peternakan rakyat dan dibawah kondisi cekaman panas tropis. Terlihat performa reproduksi sapi FH dan Bos taurus bervariasi luas yang diperlihatkan oleh sejumlah nilai indeks reproduksi seperti periode kawin pertama postpartus, interval dari servis pertama sampai menjadi bunting, lama kosong dan selang beranak. Besarnya variasi setiap indeks reproduksi tersebut terjadi baik didalam maupun antara lokasi (negara). Membandingkan performa reproduksi sapi perah Bos taurus antara wilayah iklim sedang dan tropis (Tabel 1), secara umum diperoleh suatu tendensi inferioritas berbagai indeks reproduksi sapi perah Bos taurus pada pemeliharaan iklim tropis. Inferioritas semakin besar pada sistem produksi semi-intensif skala kecil peternakan rakyat misalnya di Tanzania, Ethiopia dan Pakistan. Hal ini menunjukkan bahwa cekaman ekstrem panas tropis bersamasama dengan berbagai faktor lainnya terutama kualitas hijauan, manajemen pemeliharaan (reproduksi) dan insiden penyakit telah mengakibatkan deteriorasi berbagai komponen reproduksi sapi perah Bos taurus. Kondisi tersebut mengakibatkan interval antara satu kelahiran dengan kelahiran selanjutnya menjadi panjang, sehingga menurunkan produksi susu selama hidup produktif sapi betina.
67
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI INDONESIA Sebagaimana sudah diuraikan, periode antara kelahiran akan ditentukan oleh periode waktu antara kelahiran dengan mulainya resumsi ovari, antara kejadian estrus pertama dengan servis pertama postpartus dan antara servis pertama dengan konsepsi (KING, 1993). Berdasarkan ketersediaan data lapang berupa informasi tanggal inseminasi dan kelahiran dari sapi FH di sejumlah lokasi baik di stasiun bibit dan peternakan rakyat di Jateng dan Jabar, dapat disajikan nilai indeks reproduksi sebagai faktor penentu interval kelahiran sebagai tertera pada Tabel 2. Semua parameter reproduksi tersebut lebih panjang dari indeks reproduksi sebagai direkomendasikan untuk sapi perah Bos taurus yang dipelihara pada wilayah asal iklim sedang. Sapi betina direkomendasikan segera dikawinkan setelah melewati periode EWP untuk mencapai lama kosong sekitar 60-90 hari, sehingga bisa diperoleh kelahiran anak setiap tahun (SCHMIDT el al., 1988). Nilai indeks reproduksi sapi FH tersebut menjadi lebih lama pada pemeliharaan di peternakan rakyat. Berbagai keterlambatan tersebut menyebabkan sapi tidak bisa melahirkan anak setiap tahun dan menghasilkan produksi susu lebih banyak selama masa hidup produktif. Meskipun demikian, apabila dibandingkan berbagai indeks reproduksi sapi FH pada kondisi manajemen intensif dan iklim nyaman di stasiun bibit (BPTU Baturraden dan BPPT-SP Cikole), nilainya masih berbanding cukup baik dengan sapi FH dan Bos taurus lainnya baik di daerah iklim sedang ataupun sejumlah daerah tropis. Demikian pula nilai indeks reproduksi sapi FH di peternakan rakyat masih sebanding dengan sapi Bos taurus pada pemeliharaan peternakan rakyat di daerah tropis, seperti di Asia dan Afrika (Tabel 2). Fertilitas telah diketahui merupakan suatu proses kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti fisiologi, nutrisi, manajemen dan lingkungan. Demikian pula fertilitas (tradisional) dipengaruhi oleh faktor genetik pada tingkat relatif rendah (ROYAL et al., 2000). Interaksi berbagai faktor mengakibatkan keterlambatan komponen reproduksi sapi perah baik pada pemeliharaan intensif seperti stasiun bibit ataupun semi-intensif di peternakan
68
rakyat. Skor kondisi tubuh yang jelek selama awal laktasi, misalnya, diketahui meningkatkan resiko kegagalan reproduksi, gangguan metabolik, lemahnya ekspresi estrus (primer), hilangnya tanda-tanda estrus sekunder, gangguan penyakit, mortalitas awal dari fetus (dan embrio) serta aborsi. Pada peternakan rakyat, sejumlah faktor lain lebih memperburuk situasi seperti inseminasi yang kurang tepat, teknik inseminasi yang belum baik oleh inseminator, kurang tepat handling dan thawing semen, serta kurangnya sanitasi kesehatan dan pelayanan perkawinan. PENUTUP Untuk mengidentifikasi kemungkinan berbagai gangguan reproduksi secara spesifik apakah dikarenakan aspek genetik, nutrisi, fisiologi, manajemen dan lingkungan, diperlukan pemeriksaan status fisiologis reproduksi ternak. Pengukuran progesteron sebagai salah satu hormon kunci yang mengatur regulasi siklus estrus direkomendasikan untuk diaplikasikan terutama pada sapi betina bibit dengan potensi produksi susu tinggi. Ini dapat dilakukan menerapkan teknik Radioimmunoassay (RIA) dengan mengkoleksi setiap dua minggu sekali dari serum, plasma dan contoh susu. Dengan melakukan tes progesteron akan diketahui berbagai kondisi fisiologis reproduksi seperti dalam memonitoring onset dari pubertas, resumsi ovari postpartus, siklus estrus dan kebuntingan (FAO/IAEA, 1999). Oleh karenanya terdapat tugas besar untuk memperpendek indeks reproduksi sapi FH domestik mendekati nilai yang direkomendasikan. Untuk menjawab hal tersebut, diperlukan teknik analisa yang lebih tepat dan akurat, melakukan berbagai riset terkait dalam mencari jawaban lebih spesifik terjadinya berbagai inferioritas kinerja reproduksi sampai taraf kondisi fisiologis reproduksi ternak. Kajian berbagai faktor eksternal seperti sistem pemberiaan pakan, manajemen reproduksi dan lingkungan pemeliharaan serta kontribusi pengaruh iklim (temperatur dan humidity) tentunya merupakan isu yang penting. Kajian performa reproduksi berdasarkan indeks fertilitas secara tradisional, meskipun demikian, masih sangat diperlukan pada sistem
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
usaha sapi perah di Indonesia karena dapat dilakukan dengan tidak membutuhkan biaya besar dalam mendeteksi abnormalitas reproduksi ternak. Dengan mengevaluasi berbagai indeks reproduksi sebagai faktor penentu kelahiran, diharap menjadi informasi cukup baik dalam mencari berbagai alternatif strategis agar sapi perah di peternak rakyat bisa menjalani kelahiran mendekati target interval setiap tahun. DAFTAR PUSTAKA AGEEB, A.G. and J.F. HAYES. 2000. Genetic and environmental effects on the productivity of Holstein-Friesian cattle under the climatic conditions of Central Sudan. Tropical Animal Health and Production. 32: 33–49. ALEJANDRINO, A.L. C.O. ASAAD, B. MALABAYABAS, A.C. DE VERA, M.S. HERRERA, C.C. DEOCARIS, L.M. IGNACIO and L.P. PALO. Constraints on dairy cattle productivity at the smallholder level in the Philippines. Preven. Vet. Med. 38: 167–178. ALLRICH, R.D. 1994. Endocrine and neutral control of oestrus in dairy cows. J. Dairy Sci. 77: 2738 – 2744. ARBEL, R., Y. BIGUN, E. EZRA, H. STURMAN and D. HOJMAN. 2001. The effect of extended calving intervals in high-yielding lactating cows on milk production and profitability. J. Dairy Sci. 84: 600– 608. BAGNATO, A. and OLTENACU, P.A. 1994. Phenotypic evaluation of fertility traits and their association with milk production of Italian Friesian cattle. J. Dairy Sci. 77: 874–882. BASTIDAS, P., J. TROCONIZ, O. VERDE and O. SILVA. 1984. Effect of suckling on pregnancy rates and call performance in Brahman cows. Theriogenology 21: 289–294. BUTLER, W.R. 2000. Nutritional interactions with reproductive performance in dairy cattle. Anim. Rep. Sci. 60–61: 449–457. BUTLER. W.R. 2005. Inhibition of ovulation in the postpartum cow and the lactating sow. Liv. Prod. Sci. 98: 5–12. CANFIELD, R.W. AND W.R. BUTLER. 1990. Energy balance and pulsatile luteinising hormone secretion in early postpartum dairy cows. Domest. Anim. Endocrinol. 7: 323–330. CARTMILL, J.A., B.A. HENSLEY, S.Z. EL-ZARKOUNY, T.G. ROZELL, J.F. SMITH and J.S. STEVENSON.
2001. Stage of cycle, incidence and timing of ovulation, and pregnancy rates in dairy cattle after three timed breeding protocols. J. Dairy Sci. 84: 1051–1059. CHAGUNDA, M.G.G., E.W. BRUNS, C.B.A. WOLLNY and H.M. KING. 2004. Effect of milk yieldbased selection on some reproductive traits of Holstein Friesian cows on large-scale dairy farms in Malawi. Liv. Res. For Rural Dev.16 (7). http://www.cipav.org.co/lrrd/(Cited 2006). COLLARD, B.L., P.J. BOETTCHER, J.C.M. DEKKERS, D. PETITCLERC and L.R. SCHAEFFER. 2000. Relationship between energy balance and health traits of dairy cattle in early lactation. J. Dairy Sci. 83: 2683–2690. DARWASH, A.O., G.E. LAMMING and J.A. WOOLLIAMS. 1997. The phenotypic association between the interval to postpartum ovulation and traditional measures of fertility in dairy cattle. J. Anim. Sci. 65: 9–16. DHALIWAL, G.S., R.D. MURRAY, D.Y. DOWNHAM and H. DOBSON. 1996. Significance of pregnancy rates to successive services to assess the fertility pattern of individual dairy herds. Anim. Rep. Sci. 41: 101–108. DISKIN, M.G. and SREENAN, J.M. 1980. Fertilisation and embryonic mortality rates in beef heifers after artificial insemination. J. Rep. and Fertility, 59: 463–468. DOHOO, I.R., S.W. MARTIN, A.H. MEEK and W.C.D. SANDALS. 1983. Disease, production and culling in Holstein-Friesian cows. 1. The data. Prev. Vet. Med. 1: 321–334. DOMECQ, J.J., A.L. SKIDMORE, J.W. LLOID and J.B. KANEENE. 1997. Relationship between body condition score and milk yield in a large dairy herd of high yielding Holstein cows. J. Dairy Sci. 80:101–112. DRANSSFILED, M.G.B., R.L. NEBEL, R.E. PEARSON and L.D. WARNICK. 1998. Timing of insemination for dairy cows identified in estrus by a radiotelemetric detection system. J. Dairy Sci. 81: 1874–1882. FAO/IAEA. 1999. Self-coating “milk” progesterone radioimmunoassay (RIA). Bench protocol. Version-ScRIA 3.1. FIRK, R., E. STAMER, W. JUNGE and J. KRIETER. 2002. Automation of oestrus detection in dairy cows: a review. Liv. Prod. Sci. 75: 219–232. FORTUNE, J.E. 1994. Ovarian follicular growth and development in mammals. Biol. Reprod. 50: 225–232.
69
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
GARCIA-PENICHE, T.B., B.G. CASSELL, R.E. PEARSON and I. MISZTAL. 2005. Comparisons of Holsteins with Brown Swiss and Jersey cows on the same farm for age at first calving and first calving interval. J. Dairy Sci. 88: 790–796. GARVERICK, H.A. and M.F. SMITH. 1993. Female reproductive physiology and endocrinology of cattle. Vet. Clinics of North America, Food Anim. Prac. 9: 223–247. GEARHART, M.A., C.R. CURTIS, H.N. ERB, R.D. SMITH, C.J. SNIFFEN, L.E. CHASE, and M.D. COOPER. 1990. Relationship of changes in condition score to cow health in Holsteins. J. Dairy Sci. 73: 3132–3140. GORDON, I. 1996. Controlled reproduction in cattle and buffaloes. Cab International, Wallington, UK. GRÖHN, Y.T., S.W. EICKER, V. DUCROCG and J.A. HERTL. 1998. The effect of disease on culling Holstein dairy cows in New York State. J. Dairy Sci. 81: 966–978. GRÖHN, Y.T. and P.J. RAJALA-SCHULTZ. 2000. Epidemiology of reproductive performance in dairy cows. Anim. Rep. Sci. 60–61: 605–614. HAWK, H.W. 1987. Transport and fate of spermatozoa after insemination of cattle. J. Dairy Sci. 70: 1487–1503. HUBBERT, W.T. 1972. Recommendation for standardising bovine reproductive terms. Cornell Veterinarian 62: 216–237. HELMER, S.D. and J.H. BRITT. 1985. Mounting behaviour as affected by stage of oestrus cycle in Holstein heifers. J. Dairy Sci. 68: 1290– 1296. IRELAND, J.J., M. MIHM, E. AUSTIN, M.G. DISKIN and J.F. ROCHE. 2000. Historical perspective of turnover of dominant follicles during the bovine estrous cycle: Key, concepts, studies, advancements, and terms. J. Dairy Sci. 83: 1648–1658. ISLAM, M.N., M.M. RAHMAN and S. FARUQUE. 2002. Reproductive performance of different crossbred and indigenous dairy catle under small holder farming condition in Bangladesh. Online J. of Biolog. Sci. 2(4): 205–207. KAYA, I., C. UZMAY, A. KAYA and Y. AKBAS. 2003. Comparative analysis of milk yield and reproductive traits of Holstein-Friesian cows born in Turkey or imported from Italy and kept on farms under the Turkish-ANAFI project. Ital. J. Anim. Sci. 2: 141–150.
70
KIDA, K., M. MIYAKE, H. ONO and K. SATO. 1981. Estrous behaviour and plasma levels of sex steroids in cows and heifers. Japan Anim. Rep. 27: 20–24. KING, G.J. 1993. Reproduction in domestic animals. World Anim. Sci. Elsevier, Amsterdam, The Netherlands, p. 590. LUCY, M.C. 2003. Mechanism linking nutrition and reproduction in postpartum cows. Reprod., Suppl. 61: 415–427. LYIMO, Z.C., R. NKYA, L. SCHOONMAN and F.J.C.M. VAN EERDENBURG. 2004. Post-partum reproductive performance of crossbred dairy cattle on smallholders farm in sub-humid coastal Tanzania. Trop. Anim. Health and Prod. 36: 269–279. MAATJE, K., S.H. LOEFFLER and B. ENGEL. 1997. Predicting optimal time of insemination in cows that show visual signs of oestrus by estimating onset of oestrus with pedometers. J. Dairy Sci. 80: 1098–1105. MAI, H.M., D. OGWU, L.O. EDUVIE and A.A. VOH. 2002. Detection of oestrus in Bunaji cows under field conditions. Trop. Anim. Health Prod. 34: 35–47. MCLAREN, A. 1974. Fertilization, cleavage and implantation. Pages 143–165 in Reproduction in Farm Animals. E.S.E. HAFEZ, Ed. 3rd ed. Lea & Febiger. Philadelphia. MOORE, R.K., B.W. KENNEDY, L.R. SCHAEFFER and J.E. MOXLEY. 1990. Relationships between reproduction traits, age and body weight at calving, and days dry in first lactation Ayrshires and Holsteins. J. Dairy Sci. 73: 835 –842. MSANGA, Y.N. and M.J. BRYANT. 2003. Effect of restricted suckling of calves on the productivity of crossbred dairy cattle. Trop. Anim. Health and Prod. 35 : 69–78. MUKASA-MUGERWA, E. 1989. A review of reproductive performance of female Bos indicus (Zebu) cattle. ILCA Monograph 6, Int. Liv. Centre for Africa, Nairobi, Kenya. NEBEL, R.L., W.L. WALKER, M.L. MCGILLIARD, C.H. ALLEN and G.S. HECKMAN. 1994. Timing of artificial insemination of dairy cows: Fixed time once daily versus morning and afternoon. J. Dairy Sci. 77: 3185–3191. NGONGONI, N.T., C. MAPIYE, M. MWALE and B. MUPETA. 2006. Factors affecting milk production in the smallholder dairy sector of Zimbabwe. Liv. Res. For Rural Dev. 18 (5). http://www.cipav.org.co/lrrd/(Cited 2006).
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
NIAZI, A.A.K and M. ALEEM. 2003. Comparative studies on the reproductive efficiency of imported and local born Friesian cows in Pakistan. Online Journal of Biological Sciences 3(4): 388–395.
SCHOFIELD, S.A., C.J.C. PHILIPS and A.R. OWENS. 1991. Variation in milk production, activity rate and electrical impedance of cervical mucus over the oestrus period of dairy cows. Anim. Rep. Sci. 24: 231–248.
OSEI, S.A., K. EFFAH-BAAH and P. KARIKARI. 1991. The reproductive performance of Friesian cattle bred in the hot humid forest zone of Ghana. World Animal Review. FAO. Rome.
SHIFERAW, Y., B-A. TENHAGEN, M. BEKANA and T. KASSA. 2005. Reproductive disorders of crossbred dairy cows in the Central Highlands of Ethiophia and their effect on reproductive performance. Trop. Anim. Health and Prod. 37: 427–441.
OSENI, S., I. MISZTAL, S. TSURUTA and R. REKAYA. 2003. Seasonality of days open in US Holstein. J. Dairy Sci. 86: 3718–3725. OUWELTHES, W., E.A.A. SMOLDERS, P. VAN ELDIK, L. ELVING and Y.H. SCHUKKEN. 1996. Herd fertility parameters in relation to milk production in dairy cattle. Livestock Production Science 46 : 221–227. PRYCE, J.E., M.D. ROYAL, P.C. GARNSWORTHY and I.L. MAO. 2004. Fertility in the highproducing dairy cow. Liv. Prod. Sci. 86 : 125–135. RANKIN, T.A. W.R. SMITH, R.D. SHANKS, and J.R. LODGE. 1992. Timing of insemination in dairy heifers. J. Dairy Sci. 75: 2840–2845. REIMERS, T.J., R.D. SMITH and S.K. NEWMAN. 1985. Management factors affecting reproductive performance of dairy cows in the northeastern United States. J. Dairy Sci. 68: 963–972. ROYAL, M.D., A.O. DARWASH, A.P.F. FLINT, R. WEBB, J.A. WOOLLIAMS and G.E. LAMMING. 2000. Declining fertility in dairy cattle: changes in traditional and endocrine parameters of fertility. Anim. Sci. 70: 487– 501. SALEM, M.B., M. DJEMALI, C. KAYOULI and A. MAJDOUB. 2006. A review of environmental and management factors affecting the reproductive performance of Holstein-Friesian dairy herds in Tunisia. Livestock Research for Rural development 18 (4). http://www.cipav. org.co/lrrd/ (Cited 2006).
SIMERL, N.A., C.J. WILCOX, W.W. THATCHER and F.G. MARTIN. 1992. Prepartum and peripartum reproductive performance of dairy heifers freshening at young ages. J. Dairy Sci. 74: 1724–1729. SMITH, M.C.A. and J.M. WALLACE. 1998. Influence of early post partum ovulation on the reestablishment of pregnancy in multiparous and primiparous dairy cattle. Reprod. Fertil. Dev. 10: 207–216. SREENAN, J.M., M.G. DISKIN and D.G. MORRI. 2001. Embryo survival rate in cattle: a major limitation to the achievement of high fertility. In: DISKIN MG (ed)., Fertility in highproducing dairy cattle. Anim. Sci. Vol 1, Occasional Publication No. 26. British. Soc. Anim. Sci. pp. 93–104. STEVENSON, J.S., Y. KOBAYASHI, M.P. SHIPKA and K.C. RAUCHHOLZ. 1996. Altering conception of dairy cattle by gonadotropin-releasing hormone preceding leuteolysis induced by prostaglandin F2α. J. Dairy Sci. 82: 506–515. STEVENSON, J.S. 2001. Reproductive management of dairy cows in high milk-producing herds. J. Dairy Sci. 84 (E. Suppl.): E128–E143. THACHER, W.W. and C.J. WILCOX. 1973. Postpartum estrus as an indicator of reproductive status of the dairy cow. J. Dairy Sci. 56: 608–610.
SALISBURY, GW., N.L. VAN DENMARK and J.R. LODGE. 1978. Physiology of Reproduction and Artificial Insemination of Cattle. 2nd ed. W.H. FREEMAN and Co., San Fransisco, CA.
TOWSON, D.H., P.C.W. TSANG, W.R. BUTLER, M.FRAJBLAT, L.C. GRIEL, JR., C.J. JOHNSON, R.A. MILVAE, G.M. NIKSIC and J.L. PATE. 2002. Relationship fertility to ovarian follicular waves before breeding in dairy cows. J. Anim. Sci. 80: 1058–1058.
SAVIO, J.D., M.P. BOLAND, N. HYNES and J.F. ROCHE. 1990. Resumption of follicular activity in the early postpartum period of dairy cows. J. Reprod. Fertil. 88: 569–579.
TÜRKYILMAZ, M.K. 2005. Reproductive characteristics of Holstein cattle reared in a private dairy cattle enterprise in Aydin. Turk J. Vet. Anim. Sci. 29: 1049–1052.
SCHMIDT, G., L.D. VAN VLECK, AND M.F. HUTJENS. 1988. Principles of dairy science. 2nd ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey.
VANROOSE, G., A. DE KRUIF, A. VAN SOOM, M. FORSBERG, T. GREVE, H. GUSTAFSSON, T. KATILA, H. KINDAHL and E. ROPSTAD. 2000.
71
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Embryonic mortality and embryo-phatogen interactions. Anim. Rep. Sci. 60–61: 131–143. VASCONCELOS, J.L.M., R.W. SILCOX, J.A. LASERDA, J.R. PURSLEY and M.C. WILTBANK. 1997. Pregnancy rate, pregnancy loss and response to heat stress after AI a two different times from ovulation in dairy cows. Biol. Reprod. 56 (Suppl.1): 140.
WALKER, W.L., R.L. NEBEL and M.L. MCGILLIARD. 1996. Time of ovulation relative to mounting activity in dairy cattle. J. Dairy Sci. 79: 1555 – 1561. WEBB, R., J.G. GONG, A.S. LAW AND S.M. RUSBRIDGE. 1994. Control of ovarian function in cattle. J. Reprod. Fertil. Suppl. 45: 145– 156. YOSHIDA, C. and T. NAKAO. 2005. Some characteristic of primary and secondary oestrous signs in high-producing dairy cows. Reprod. Dom. Anim. 40: 150–155.
72
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 1. Indeks reproduksi (hari) sapi perah Bos taurus dan silangannya di berbagai wilayah (negara) Indeks reproduksi Lahir–kawin pertama Friesian Sapi perah Belanda Friesian-Holstein Holstein x Sahiwal Friesian silangan B. taurus silangan B. Taurus silangan Friesian-Holstein Jersey Holstein Ayrshire Holstein Jersey Holstein Kawin pertama - konsepsi Friesian x Zebu Jersey Holstein Sapi perah Belanda Friesian-Holstein Masa kosong Holstein x Sahiwal Friesian impor Friesian lokal Holstein Holstein Friesian-Holstein Friesian-Holstein Friesian- Holstein Jersey Holstein Sapi perah silangan Holstein Holstein silangan Ayrshire Holstein Kebuntingan Holstein Friesian-Holstein Friesian Friesian-Holstein Friesian Ayrshire Holstein Holstein x Sahiwal
Negara
Rataan
Sumber
Italia Belanda India Philipina Banglades Tanzania Ethiopia Tunisia USA USA USA USA USA USA
87 79 76 – 80 106 109 76 – 79 95 – 182 67 – 79 74 70 82 79 74 70
BAGNATO and OLTENACU et al. (1994) OUWELTJES et al. (1996) DHALIWAL et al. (1996) ALEJANDRINO et al. (1999) ISLAM et al. (2002) MSANGA and BRYANT (2003) SHIFERAW et al. (2005) SALEM et al. (2006) SIMERL et al. (1992) SIMERL et al. (1992) MOORE et al. (1990) MOORE et al. (1990) SIMERL et al. (1992) SIMERL et al. (1992)
Tanzania USA USA Belanda India
87 38 45 22 26 – 49
LYIMO et al. (2004) SIMERL et al. (1992) SIMERL et al. (1992) OUWELTJES et al. (1996) DHALIWAL et al. (1996)
Philipina Pakistan Pakistan Turkey USA Turkey Tunisia India USA USA Tanzania Israel Israel USA USA
186 259 284 103 – 124 134 – 159 123 – 154 99 – 110 100 – 119 122 120 116 – 127 128 110 107 101
ALEJANDRINO et al. (1999) NIAZI and ALEEM (2003) NIAZI and ALEEM (2003) TÜRKYILMAZ (2005) OSENI et al. (2003) KAYA et al. (2003) SALEM et al. (2006) DHALIWAL et al. (1996) SIMERL et al. (1992) SIMERL et al. (1992) MSANGA and BRYANT (2003) ARBEL et al. (2001) ARBEL et al. (2001) MOORE et al. (1990) MOORE et al. (1990)
Turkey Malawi Ghana Sudan Ghana USA USA Philipina
278 – 282 279 278 279 278 282 282 469
TÜRKYILMAZ (2005) CHAGUNDA et al. (2004) OSEI et al. (1991) AGEEB and HAYES (2000) OSEI et al. (1991) MOORE et al. (1990) MOORE et al. (1990) ALEJANDRINO et al. (1999)
73
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Tabel 1. Indeks reproduksi (hari) sapi perah Bos taurus dan silangannya di berbagai wilayah (negara) (Lanjutan) Interval kelahiran Silangan Friesian Friesian impor Friesian lokal Holstein Holstein Brown Swiss Friesian-Holstein Friesian Friesian-Holstein Jersey Friesian Silangan Friesian-Holstein Sapi Perah Belanda Jersey Holstein Jersey Holstein
Negara Banglades Pakistan Pakistan Turkey USA USA Malawi Pakistan Tunisia Zimbabwe Zimbabwe Ethiopia Sudan Belanda USA USA USA USA
Rataan 373 540 568 375 – 405 394 – 461 383 – 432 335 – 445 436 – 568 399 – 417 498 530 491 – 734 486 383 391 394 391 394
Sumber ISLAM et al. (2002) NIAZI and ALEEM (2003) NIAZI and ALEEM (2003) TÜRKYILMAZ (2005) GARCHIA-PENICHE et al. (2005) GARCHIA-PENICHE et al. (2005) CHAGUNDA et al. (2004) NIAZI and ALEEM (2003) SALEM et al. (2006) NGONGONI et al. (2006) NGONGONI et al. (2006) SHIFERAW et al. (2005) AGEEB and HAYES (2000) OUWELTJES et al. (1996) SIMERL et al. (1992) SIMERL et al. (1992) SIMERL et al. (1992) SIMERL et al. (1992)
Tabel 2. Indeks reproduksi sapi Friesian-Holstein pada dua manajemen, stasiun bibit dan peternak rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Barat Jawa Tengah Indeks reproduksi (hari) Lahir – kawin I Kawin I – konsepsi Lama kosong Interval beranak S/C (kali)
N 458 458 458 458 527
BPTU Baturraden Rataan 86 49 136 408 1,84
Lahir – kawin I Lama kosong Interval beranak S/C (kali)
48 45 67 146
BPPT-SP Cikole 130 184 471 1,79
SD N 39 417 62 17 70 17 69 17 1,0 517 Jawa Barat 95 101 176 1,23
506 522 192 518
Peternakan rakyat* Rataan 102 49 150 418 1,93
KPSBU Lembang** 119 67 171 122 449 154 2,43 1,70
Keterangan: *Peternakan rakyat binaan BPTU Baturraden di Kabupaten Banyumas ** Peternakan rakyat yang terabung sebagai anggota koperasi sapi perah KPSBU Lembang.
74
SD 43 66 73 74 1,1