Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
PRODUKTIVITAS DAN NILAI EKONOMI USAHA TERNAK KAMBING PERAH PADA SKALA KECIL (The Productivity and an Economic Assessment of Goat Milk at Small Scale Farmer Management Conditions) I-G.M. BUDIARSANA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Etawah crossbred (PE) goat is the local goat that already have well adapted to tropical environment in Indonesia. PE goat was considered as dual purpose goat (produce milk and meat). The aimed of this study was to measures PE goat productivity at two different management conditions, which were at research station management condition and at farmer management condition. The methodology of the study were; at research station was daily observation of 50 dams age (2 – 3 years), fed fresh chopped King Grass (Pennisetum purphoreophoides) ad-lib and concentrate 500g/head/day. Meanwhile the methology at the farmer was a survey method. The cooperator involved were 10 farmers who reared PE goat for milk purpose. The survey was using a list of questions prepared before. Parameter measured were (birth weight, sex ratio, litter size and milk production). An economic assessment done only at the farmer management condition, calculating the inputs-outputs and break event point of producing 1 liter of fresh goat milk. The Result showed that the average milk production at the farmer condition was 1000ml/head/day with the kids mortality of 15% meanwhile the milk production and the kids mortality was 765ml/head/day and 17%. It can be concluded that the goat productivity at the farmer slighly better than at the research station, and there was a profit of IDR 1500/liter of fresh milk goat produced when the market price was IDR 18.000/liter. Key Words: PE Goat, Economic, Productivity ABSTRAK Kambing PE termasuk kambing dwi guna (daging dan susu), namun hingga saat ini usaha pemeliharaan kambing PE lebih banyak ditujukan untuk produksi anak/bibit/daging. Penelitian lapang untuk mengetahui performance dan produktivitas kambing PE pada akhir tahun 2010, melibatkan peternak kambing di sekitar Bogor dan Sukabumi. Metode yang dilakukan yaitu metode survai dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terstruktur. Daftar pertanyaan memuat kelahiran anak (berat lahir, seks rasio, litter size, produksi susu), serta berbagai input yang digunakan termasuk harganya. Hasil pengamatan menunjukkan kinerja produksi ternak yang dipelihara di tingkat laboratorium relatif lebih rendah dibandingkan dengan ternak yang dipelihara di tingkat perusahaan. Perhitungan nilai ekonomi menunjukkan bahwa dengan rataan produksi susu sebanyak 1 liter/ekor/hari dan dengan harga susu Rp. 18.000 mampu menghasilkan keuntungan usaha. Dapat disimpulkan bahwa dengan skala usaha ternak kambing sebesar 50 ekor dapat dijadikan sebagai usaha skala kecil keluarga. Kata Kunci: Kambing PE, Ekonomi, Produktivitas
PENDAHULUAN Menurut tipenya, rumpun kambing PE termasuk kambing dwi guna (daging dan susu), dengan tingkat produksi susu sekitar 0,45 – 2,1 l/hari/laktasi (OBST dan NAPITUPULU, 1984; SUTAMA et al., 1995; ADRIANI et al., 2003). Namun hingga saat ini usaha pemeliharaan kambing PE lebih banyak ditujukan untuk
produksi anak/bibit/daging. Kemampuan produksi susu dari kambing PE disebabkan adanya genotipe Etawah yang menurut tipenya termasuk tipe perah. Beragamnya produksi susu banyak berhubungan dengan beragamnya proporsi genotipe Etawah dan atau lingkungan yang menyertainya. Tidak adanya sistem perkawinan yang terarah selama ini
119
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
mengakibatkan produktivitas ternak ini masih sangat beragam. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumbangan ternak kambing terhadap pendapatan petani berkisar 15 - 48% dari total pendapatan tergantung dari pola tanam usahatani (PAAT et al., 1992; DJOHARJANI et al., 1993; SARWONO et al., 1993). Ternak kambing mempunyai peran penting dalam mengatasi krisis ekonomi petani karena kegagalan usahatani misalnya pada waktu musim kering yang berkepanjangan (SARWONO et., 1993). Peran lain yang mungkin cukup menonjol dari ternak kambing adalah sebagai tabungan yang dapat dengan mudah dijual bila petani ada keperluan yang sifatnya mendesak. Kondisi seperti ini akan sangat membantu mempercepat program pengembangan ternak kambing guna membantu memecahkan masalah kesempatan kerja dan kemiskinan di pedesaan. Hal ini didasari atas kenyataan bahwa secara biologis ternak kambing dapat beranak lebih dari satu, cara pemeliharaannya mudah dan memerlukan investasi yang relatif kecil. Bertambahnya penduduk Indonesia yang begitu pesat membutuhkan peningkatan penyediaan pangan yang cukup, termasuk daging dan susu hasil peternakan. Namun produksi kedua produk komoditas ini (daging dan susu) di dalam negeri masih jauh lebih kecil dari kebutuhan. Akibatnya impor daging dan susu Indonesia semakin meningkat. Pengadaan daging dan susu nasional baru dapat memenuhi kebutuhan susu sekitar 30 – 40% per tahun (DITJENNAK, 2010). Usaha untuk meningkatkan produktivitas ini perlu diupayakan. Reproduksi sebagai salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam perbanyakan populasi, percepatan peningkatan produktivitas dan akhirnya bermuara pada jumlah produk yang dihasilkan oleh ternak bersangkutan. Paper ini membahas permasalahan produktivitas ternak kambing perah dan nilai ekonominya sehingga dapat mempertimbangkan peluangnya untuk dijadikan alternatif pertimbangan dalam memilih berbagai usaha yang bersifat biologis. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di 2 lokasi yaitu di laboratorium kandang percobaan Balai
120
Penelitian Ternak Ciawi-Bogor (LB) dan di tingkat lapang perusahaan peternakan kambing perah (LP). Di tingkat laboratorium di gunakan 50 ekor induk kambing. Sedangkan di tingkat lapang pengamatan dilakukan dengan metode survai dan mewawancarai para pengusaha peternakan kambing PE, menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Daftar pertanyaan memuat struktur populasi termasuk persentase ternak yang sedang laktasi, produksi susu dan konsumsi pakan baik jenis dan jumlah konsumsi per hari. Selain pengukuran keragaan produksi ternak juga dilakukan pengukuran dimensi tubuh dan karakteristik biologis (bobot badan, dimensi tubuh, jumlah dan sex rasio anak yang lahir). Pengukuran nilai ekonomi hanya dilakukan di lokasi tingkat perusahaan kambing perah. Pengukuran dilakukan dengan metode analisis input dan output melalui proses kalkulasi berbagai input dan output dengan harga-harga yang berlaku pada saat pengamatan dilakukan. Perhitungan ini untuk produksi susu dan tidak memperhitungkan penjualan anak maupun induk afkir. Untuk mengetahui harga susu minimum penjualan susu maka dilakukan analisis titik pulang pokok (break even point). HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi ternak kambing PE di Indonesia Pada tahun 2010 populasi ternak kambing di Indonesia dilaporkan sebanyak 12,4 juta ekor, yang sebagian besar (54%) terdapat di Pulau Jawa (DITJENNAK, 2010). Dari laporan yang ada umumnya tidak dibedakan populasi antar breed kambing yang ada disuatu daerah, namun telah diketahui bahwa kambing Kacang merupakan breed utama ternak kambing di Indonesia. Kambing PE, walaupun dalam jumlah yang terbatas telah banyak tersebar ke berbagai daerah diluar daerah sumber bibit (Purworejo dan Kulonprogo), dengan tujuan memperbaiki produktivitas kambing lokal (kacang) yang ada. Di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dilaporkan populasi kambing Peranakan Etawah (PE) masing-masing sebanyak 28.037 dan 12.619 ekor. Jumlah ini mungkin lebih kecil dari perkiraan yang ada di lapangan. Sebagai contoh di Kaligesing saja
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Tabel 1. Populasi ternak kambing di berbagai Provinsi (ekor) Provinsi
Kambing (ekor)
PE (ekor)
Skala usaha (ekor/peternak)
Jawa Barat
1.185.000
tad
10 – 300
Jawa Tengah
2.946.880
28.037
3 – 66
Jawa Timur
2.284.244
12.619
4 – 20
266.894
tad
1 – 12
DI Yogyakarta tad: tidak ada data
Sumber : DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (2010)
sebagai sentra kambing PE di Indonesia terdapat populasi kambing PE sekitar 20.000 – 35.000 ekor (SUTONO, komunikasi langsung). Jumlah pemilikan ternak kambing PE sangat bervariasi antar peternak dan antar daerah. Pada peternakan yang telah dikelola sebagai usaha agribisnis jumlah pemilikan ternaknya sudah cukup tinggi. Potensi produksi kambing PE Kambing Kacang termasuk kambing potong (daging) dan kambing Peranakan Etawah (PE) dikategorikan sebagai kambing dwi-guna (penghasil daging dan susu). Kambing Kacang mempunyai keistimewaan dalam hal prolifikasi dan interval beranak yang pendek dibandingkan dengan kambing PE, namun ukuran tubuh ternak ini termasuk kecil sehingga kurang memenuhi standar ekspor. Rataan litter size kambing Kacang adalah 1,56 (SUBANDRIYO et al., 1986) dengan selang beranak 6 – 8 bulan yang berarti hampir 3 kali beranak dalam 2 tahun. Dilain pihak, kambing PE mempunyai kemampuan untuk menghasilkan susu walaupun keragamannya masih tinggi (OBST dan NAPITUPULU, 1984; SUTAMA et al., 1995, SUBHAGIANA 1998, ADRIANI et al., 2003). Pertumbuhan yang relatif lambat dan masih tingginya kematian anak pra-sapih dari kedua breed kambing lokal Indonesia ini merupakan kekurangan/ kelemahan yang dimilikinya, sehingga dalam pemeliharaan yang intensif akan menjadi kurang efisien. Seleksi dalam breed terhadap ternak-ternak yang mempunyai produktivitas tinggi merupakan salah satu cara perbaikan mutu genetik, namun respon yang diberikan relatif rendah (HORST dan MATHUR, 1991). SETIADI
et al (2000) telah melakukan pengamatan yang intensif terhadap produktivitas kambing Kacang dan diikuti dengan seleksi. Hal yang sama juga dilakukan pada kambing PE dalam perbaikan produksi susu (SUTAMA, 1999). Perbaikan produktivitas yang lebih cepat telah ditunjukkan oleh SETIADI et al. (2000; 2001) melalui program kawin silang (persilangan) kambing Kacang dengan kambing Boer yang merupakan kambing tipe pedaging. Melalui persilangan ini terjadi peningkatan pada berat lahir anak (13%) dan berat sapih (50 – 70%) dibandingkan kontrol, sedang rataan berat badan pada umur 6 bulan adalah sebesar 18.7 kg yakni setara dengan berat kambing Kacang umur satu tahun. Hal yang sama juga terjadi pada persilangan kambing PE dengan Boer (Boereta) (SUTAMA et al., 2002; 2003). Kinerja produksi di stasiun percobaan dan perusahaan Dari Tabel 2 terlihat bahwa Jumlah anak sekelahiran (LS) hampir sama disemua lokasi berkisar 1,38 – 1,46 dan persentase anak jantan selalu lebih tinggi dari anak betina. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tingkat kematian anak kambing prasapih relatif rendah (10 – 15%). Hal ini kemungkinan terkait dengan intensitas pengawasan oleh petani terhadap ternaknya. Keterlibatan pemilik dan anggota keluarga dalam usaha pemeliharaan ternak ini berpengaruh positif terhadap kinerja ternak tersebut. Di lokasi laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi menunjukkan bahwa rataan mortalitas masih relatif tinggi (17,65%). Rataan produksi susu selama periode 0 – 90 hari di laboratorium percobaan yaitu sebesar
121
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Tabel 2. Kinerja produksi kambing PE di stasiun penelitian (LB) dan di tingkat lapang (LP) (rataan ± std) Parameter
Stasiun penelitian (LB)
Perusahaan (LP)
1,46 0,57
1,53 0,61
Jumlah anak/kelahiran Rasio jantan : betina (%)
54,9 : 45,1
Berat lahir anak (kg)
47,6 : 52,3
3,57 0,86
3,41 1,2
PBBH anak prasapih (g/hari)
84,67 11,02
Tad
Berat sapih (kg)
11,90 1,12
11,3 2,4
PBBH anak pascasapih, 3 – 6 bulan (g/hari)
52,3 8,25
tad
17,65
15,64
765,5 86,8
1000 254
Mortalitas anak prasapih (%) Produksi susu 0 – 90 hari laktasi (g/hari) std: Standar deviasi, tad: tidak ada data
765 g/ekor/hari lebih rendah dibandingkan dengan produksi ditingkat perusahaan. Hasil wawancara dengan petani dilaporkan produksi susu kambing dapat mencapai 1,0 liter per hari. Informasi ini belum dapat dijadikan gambaran potensi produksi susu namun dapat memberikan indikasi bahwa ada ternak-ternak yang mempunyai potensi produksi susu yang cukup tinggi pada kambing PE. Oleh karena itu, seleksi terhadap ternak-ternak dengan produksi susu tinggi akan dapat meningkatkan produksi susu suatu populasi kambing PE. Struktur populasi dan manajemen pemeliharaan di tingkat perusahaan Rataan populasi ternak kambing yang diusahakan oleh para peternak responden yaitu 50 ekor dengan kisaran 26 – 70 ekor (Tabel 3). Dari total populasi tersebut sebanyak 52% diantaranya adalah ternak dengan status fisiologis ternak induk (betina dewasa). Untuk menjaga efisiensi usaha, para peternak telah melakukan penjadwalan perkawinan secara ketat dengan harapan jumlah ternak yang
sedang laktasi manjadi optimum. Pada saat pengamatan tercatat bahwa rataan jumlah ternak kambing yang laktasi yaitu sebanyak 29% (19 – 34%) dari total populasi usaha. Upaya para pengusaha ternak kambing dalam mengoptimalkan persentase ternak laktasi yaitu menjaga dan memperkecil service per conception. Upaya ini dapat dibuktikan dari rataan pemilikan pejantan yang relatif banyak. Jumlah rataan pemilikan pejantan pada pengamatan ini yaitu 8% dari total populasi. Tingginya tingkat pemeliharaan pejantan tidak dijadikan sebagai beban usaha, karena ada peluang pasar pejantan untuk lebaran haji setiap tahun. Harga ternak jantan pada pasar ini bisa meningkat sampai 150%. Manajemen pemeliharaan Semua responden menggunakan sistem pemeliharaan ternak kambing dengan sistem dikandangkan dengan menggunakan kandang sistem panggung. Tinggi lantai sekitar 50 – 70 cm di atas permukaan tanah.
Tabel 3. Rataan struktur populasi ternak kambing skala perusahaan (ekor) Dewasa
Muda
Anak
Total populasi
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Total induk laktasi
Populasi
49,60
4,20
26,00
5,00
6,00
4,00
4,40
14,20
Std
16,70
1,50
12,40
1,60
0,70
2,00
1,70
7,70
100,00
8,47
52,40
10,08
12,10
8,06
8,87
28,63
Parameter
Persentase dari total populasi std: Standar deviasi
122
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Pemberian pakan dengan sistem cut and carry. Jenis pakan yang diberikan yaitu hijauan rumput. Semua peternak responden tidak memiliki kebun rumput yang cukup luas sesuai dengan kebutuhan kapasitas populasi yang tersedia. Umumnya para peternak hanya menyediakan lahan untuk kebun rumput yang dapat memenuhi kebutuhan ternak sebanyak ± 10% populasi. Umumnya para pengusaha mengandalkan rumput yang diperoleh dari lapangan atau perkebunan karet. Jarak sumber hijauan dengan lokasi kandang bervariasi 3 – 7 km. Semua responden menggunakan konsentrat sebagai pakan tambahan yang diperoleh dengan cara membeli. Sebagian kecil responden menggunakan ampas olahan kedelai sebagai komponen konsentrat. Kendala yang selalu ditemui dalam penyediaan pakan yaitu kurangnya sumber pakan hijauan pada musim kemarau, yang terjadi hampir setiap tahun. Upaya untuk mengawetkan pakan hijauan untuk persediaan di musim kering belum pernah dilakukan. Pembagian ruang (space) pada kandang untuk status reproduksi tertentu telah dirancang dan dibuat sehingga mampu mendukung proses produksi. Luasan kandang beranak, laktasi dan pejantan bervariasi antara 1,5 – 2 m2. Sedangkan untuk status reproduksi yang lain tidak disediakan ukuran yang mutlak. Bahan kandang umumnya memanfaatkan bahan yang cukup kuat dan tahan dalam waktu lama. Secara umum gangguan penyakit pada kambing PE relatif kecil. Beberapa jenis penyakit yang sifatnya ringan dan ditemui di
tingkat peternak, antara lain penyakit kudis dan mastitis. Hampir semua responden menyatakan pengobatan pada ternak telah bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan dokter hewan. Analisis ekonomi usaha ternak kambing tujuan susu di tingkat perusahaan Analisis ekonomi usaha ternak kambing ditingkat peternak ini didasarkan pada parameter biologis dan ekonomis yang ada di peroleh pada saat survai dilakukan. Parameter tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Rataan jumlah konsumsi pakan untuk ternak kambing dewasa yaitu 4 kg/ekor/hari. Semua responden menjawab menggunakan susu sapi sebagai susu pengganti untuk memenuhi kebutuhan anak kambing. Karena pola yang digunakan pada usaha ini yaitu pola sapih langsung. Anak kambing langsung di pisah dari induk sesaat setelah anak dilahirkan. Pemberian susu kolostrum dan kebutuhan susu selanjutnya dilakukan melalui botol dot bayi. Tingkat harga yang digunakan pada perhitungan analisis ekonomi yaitu rataan harga sesuai dengan informasi yang diberikan oleh pengusaha. Harga konsentrat ditingkat perusahaan bervariasi antara Rp. 1.250 – Rp. 2.500 per kg. Perbedaan harga konsentrat lebih banyak dipengaruhi oleh kualitas konsentrat. Para pengusaha kelihatannya sudah mengetahui secara baik tentang tingkat nilai nutrisi pakan yang diberikan untuk ternaknya. Pengusaha yang menggunakan konsentrat
Tabel 4. Nilai ekonomi dan rataan berbagai input dan output usaha peternakan kambing PE di tingkat perusahaan Parameter Konsumsi rumput
Status reproduksi Dewasa
4
Muda
2
Anak Konsumsi konsentrat
Susu pengganti
Konsumsi (kg/ekor/hari)
Produksi (kg/ekor/hari)
Harga (Rp/kg) 200
1
Dewasa
0,5
Muda
0,3
Anak
0,1
Anak
1
2.000
3.000
Rataan produksi susu
1,0
18.000
Rataan produksi pupuk
0,4
100
123
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
relatif baik (berkualitas lebih tinggi) dikarenakan rumput yang mereka peroleh dari lapangan berkualitas agak rendah. Begitu juga sebaliknya pengusaha yang menggunakan konsentrat yang lebih murah (kualitas rendah) karena rumput yang mereka sediakan untuk ternaknya jauh lebih baik. Analisis ekonomi (input dan output) seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Terlihat bahwa rataan total input usaha peternakan kambing yaitu sebanyak Rp. 234.820/hari. Jumlah input tersebut untuk membiayai pakan dan tenaga kerja untuk membiayai pakan dan tenaga kerja untuk memelihara ternak kambing dan penyusutan kandang dan peralatan yang digunakan dalam proses produksi dengan populasi sebanyak 50 ekor. Dari struktur populasi ternak pada Tabel 3, serta nilai ekonomi komponen output dan input (Tabel 4), maka analisis input dan output seperti disajikan pada (Tabel 5). Total biaya yang dikeluarkan setiap hari pada pemeliharaa ternak kambing di tingkat peternak dengan jumlah populasi 49ekor yaitu sebesar Rp. 234.800 yang dikeluarkan untuk berbagai biaya. Komponen biaya pakan yang dikeluarkan oleh para peternak yaitu lebih dari Rp. 183.000. Oleh karena perusahaan menjual susu kambing hasil produksinya maka konsekwensi logis kebutuhan susu untuk anak kambing harus ditutupi dengan susu sapi. Tabel 5.
semua peternak responden menggunakan susu sapi sebagai susu pengganti yang pada saat pengamatan dilakukan harganya Rp. 3000/liter. Nilai output dari perusahaan yaitu nilai hasil penjualan produksi. Pada analisis ini output yang dihitung hanya nilai penjualan susu dan penjualan pupuk kandang. Dengan rataan jumlah ternak laktasi sebanyak 28% dari total populasi dan rataan produksi susunya sebanyak 1 liter/ekor/hari maka peternak mampu memproduksi susu sebanyak lebih dari 14 liter/hari dengan nilai penjualan susu per hari Rp. 256.000/hari. Dari perhitungan nilai input dan output tersebut maka perhitungan benefit to cost ratio (BC ratio) diperoleh sebesar 1,097. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa setiap pengeluaran sebesar Rp. 1 diperoleh keuntungan sebesar Rp. 0,97. Pada perhitungan lebih lanjut (break even point) menunjukkan bahwa harga susu kambing di tingkat peternak pada tingkat break even point (pada titik ) dimana nilai produksi tidak menerima keuntungan maupun tidak mengalami kerugian yaitu sebesar Rp. 16.500/liter. Dengan nilai break even point tersebut, dan oleh karena harga susu di pasaran sebesar Rp. 18.000 maka keuntungan yang diperoleh para peternak (hanya dari produksi susu dan pupuk) yaitu sebesar Rp. 1500/liter.
Analisis input dan output usaha peternakan kambing di tingkat peternak (Rp/hari/49 ekor).
Input Uraian biaya
Uraian biaya
Total
Rumput
723 kg x Rp. 200
= Rp. 144.640
Konsentrat
19,2 kg x Rp. 2000
= Rp. 38.480
Susu pengganti
8,4 liter x Rp. 3000
= Rp. 25.200
Tenaga kerja
= Rp. 25.000
Penyusutan alat
= Rp. Total input
1.500
= Rp. 234.820
Output (penjualan) Susu Pupuk kandang
14,2 liter x Rp.18.000
= Rp. 255.600
19,84 kg x Rp. 100
= Rp.
Total output Analisis RC rasio dan Break even point: Rasio manfaat dan biaya, revenue to cost (R/C) Titik pulang pokok (Break even point) harga susu (Rp/liter)
124
1.984
= Rp. 257.584
= Rp. 257.584/Rp.234.820 = 1,097 atau 1,1 = Rp. 234.820/14,2 liter = Rp.16.537
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
KESIMPULAN Struktur populasi peternakan kambing di daerah Bogor dan sekitarnya masih rendah yaitu < 50 ekor dengan rataan jumlah ternak laktasi sebanyak 28% dari total populasi perusahaan. Titik pulang pokok (Break Even Point) harga susu per liter sebesar Rp. 16.500 masih dibawah harga susu yang berlaku di pasaran, artinya pengusahaan kambing perah menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA ADRIANI, I-K. SUTAMA, A. SUDONO, T. SUTARDI dan W. MANALU. 2003. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing Peranakan Etawah. J. Produksi Ternak 6: 86 – 94. DITJENNAK. 2010. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. DJOHARJANI, T., NURYADI, B. HARTONO, M. NASICH dan HERMANTO. 1993. Potensi dan sistem produksi ternak kambing: Studi kasus integrasi kambing dan kebun kopi di Jawa Timur. Pros. Lokakarya Potensi dan Pengembangan Ternak Kambing di Wilayah Indonesia Bagian Timur. Surabaya, 28 - 29 Juli 1992. hlm. 85 - 93. HORST, P. and P.K. MATHUR. 1991. Breeding Objective and strategies. In: Goat Hussbandry and Breeding in The Topic’s. PANANDAM, J.M., S. SIVARAJ, T.K. MUKHERJEE and P. HORST (Eds.). Food and Agric. Dev. Centre, Feldafing, Germany. pp. 70 – 99. OBST, J.M. and Z. NAPITUPULU. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 15: 501 - 504. PAAT, P.C., B. SETIADI, B. SUDARYANTO dan M. SARIUBANG. 1992. Peranan usaha ternak kambing Peranakan Etawah dalam sistem usahatani di Banggae Majene. Pros. Sarasehan Usaha Ternak Kambing dan Domba Menyongsong Era PJPT II. hlm. 162 - 165. SARWONO, B.D., I-B.G. DWIPA, I-G.L. MEDIA and H. POERWOT o. 1993. Goat production in rice-based farming systems in Lombok. In: Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. SUBANDRIYO and R.M. GATENBY. (Eds.). SR - CRSP, Univ. California Davis, USA. pp. 65 - 79.
SETIADI, B., I. INOUNU, SUBANDRIYo, K. DIWYANTO, I-K. SUTAMA, M. MARTAWIDJAYA, A. ANGGRAENI, A. WILSON dan NUGROHO. 2000. Peningkatan produktivitas kambing melalui metode persilangan. Edisi Khusus, Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 147 – 165. SETIADI, B., SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJAYA, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, T. SARTIKA, B. TIESNAMURTI, K. DIWYANTO dan L. PRAHARANI. 2001. Evaluasi peningkatan produktivitas kambing persilangan. Edisi Khusus, Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 157 – 178. SUBANDRIYO, B. SETIADI and P. SITORUS. 1986. Ovulation rate and litter size of Indonesian goats. Proc. 5th Int. Conf. Livestock Production and Deseases in The Tropic. Kuala Lumpur, Malaysia pp. 53 - 54. SUBHAGIANA. I-W. 1998. Keadaan konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi susu yang berbeda. Thesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. SUTAMA, I-K dan I-G.M. BUDIARSANA. 2003. Model pengembangan kambing tipe dwiguna (daging dan susu) menunjang agribisnis peternakan berbasis sumberdaya lokal. Pros. Seminar Nasional, Balai Pengkajian dan Penerapat Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. SUTAMA, I-K. 1999. Peningkatan produktivitas kambing Peranakan Etawah sebagai penghasil daging dan susu melalui teknologi pemuliaan. Edisi Khusus, Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 197 – 203. SUTAMA, I-K., B. SETIADI, I-G.M. BUDIARSANA, T. KOSTAMAN A. WAHYUARMAN, M.S. HIDAYAT, MULYAWAN, R. SUKMANA dan BACHTIAR. 2002. Pembentukan Kambing Persilangan Boereta untuk Meningkatkan Produksi Daging. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Ternak, Bogor. SUTAMA, I-K., B. SETIADI, I-G.M. BUDIARSANA, T. KOSTAMAN A. WAHYUARMAN, M.S. HIDAYAT, MULYAWAN, R. SUKMANA dan BACHTIAR. 2003. Pembentukan kambing persilangan Boereta untuk meningkatkan produksi daging dan susu. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Ternak, Bogor.
125
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
SUTAMA, I-K., I-G.M. BUDIARSANA, H. SETIANTO and A. PRIYANTI. 1995. Productive and reproductive performances of young Peranakan Etawah does. JITV 1(2): 81 – 85. UNDERWOOD, E.J. 1977. Trace Elements in Human and Animal Nutrition. 4th Ed. Academic Press, New York, San Francisco, London pp. 197 – 242.
126
WIDHYARI, S.D. 2005. Patophysiologi Kebuntingan dan Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas Ternak. Thesis. Pascasarjana Istitut Pertanian Bogor, Bogor.