ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR)
SKRIPSI
DEWINTHA STANI H34066033
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RINGKASAN DEWINTHA STANI. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI). Susu kambing merupakan hasil produk utama dari ternak kambing perah, yang bisa menjadi sumber pendapatan baru dan cukup menjanjikan. Namun, tidak semua jenis kambing perah mampu menghasilkan susu secara rutin dan dalam jumlah banyak. Jenis kambing yang banyak digunakan adalah Peranakan Etawa (PE). Sodiq dan Abidin (2008) mengatakan bahwa rataan produksi susu kambing PE di Indonesia sekitar 2 – 3 liter/ekor/hari. Dengan pengelolaan yang baik, induk kambing PE mampu berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun, sehingga kambing jenis ini memiliki potensi untuk dikembangkan Adanya peluang bisnis dari meningkatnya permintaan susu kambing dan harga susu kambing yang cukup tinggi menyebabkan banyak orang tertarik untuk membudidayakan kambing perah. Dalam merencanakan usaha ternak kambing perah penentuan skala usaha hendaknya diperhatikan dengan matang. Usaha ternak kambing perah dapat diusahakan dalam skala yang berbeda-beda. Ada yang berskala kecil, skala menengah serta ada yang berskala besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan usaha ternak kambing perah secara umum, menganalisis struktur biaya dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah, serta menganalisis skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien. Konsep dan alat analisis yang digunakan adalah analisis terhadap struktur biaya usaha ternak kambing perah berdasarkan skala usaha. Responden yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah tiga peternak yang dianggap mewakili kondisi pada masing-masing skala usaha. Hasil analisis biaya tetap, jika biaya penyusutan dimasukkan ke dalam biaya tetap, maka terlihat adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha akan meningkatkan biaya tetap per satuan ternak dan biaya tetap per liter susu. Sementara itu, jika biaya variabel non tunai diperhitungkan ke dalam biaya variabel menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha akan menurunkan biaya variabel per satuan ternak dan biaya tetap per liter susu. Berdasarkan hasil analisis struktur biaya yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan biaya produksi usaha ternak kambing perah per liter susu untuk masing-masing skala. Skala I sebesar Rp 26.521 per liter, skala II sebesar Rp 25.750 per liter, dan skala III sebesar Rp 17.472 Terlihat adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun Berdasarkan analisis biaya tunai dan non tuni, biaya yang dikeluarkan pada skala I sebagian besar merupakan biaya non tunai dengan persentase 93,50 persen dari biaya produksi. Rendahnya persentase biaya tunai dikarenakan usaha ternak yang dilakukan masih terbatas sebagai usaha sampingan (subsisten), sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sepenuhnya untuk kegiatan usaha ternak tetapi lebih dicurahkan untuk kegiatan pokok sebagai petani. Berbeda halnya dengan skala II dan skala III, usaha ternak kambing perah sudah merupakan usaha pokok yang telah bersifat komersial dimana salah satu tujuan usaha ialah untuk
memperoleh keuntungan. Kedua skala tersebut menunjukkan biaya tunai yang tidak berbeda jauh dikarenakan corak usahataninya sama yaitu telah berskala komersial dan teknologinya sama. Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa persentase biaya tunai tertinggi terdapat pada skala II. Tingginya biaya tunai pada skala II dikarenakan usaha ternak yang dijalankan masih baru, sehingga biaya yang dibayarkan relatif lebih tinggi di awal usaha. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa komposisi biaya tunai dan non tunai dipengaruhi oleh karakteristik usaha ternak yang ada khususnya corak dan teknologi dan perkembangan usaha. Jika memperhitungkan biaya rumput dan tenaga kerja tersebut, maka diperoleh nilai BE minus, yang disebabkan karena tingginya biaya variabel per liter susu, sedangkan harga jual lebih murah karena kualitas susu yang rendah. Tingginya biaya variabel karena termasuk biaya yang diperhitungkan (biaya non tunai) seperti rumput dan tenaga kerja dimana kedua komponen biaya tersebut mempunyai persentase yang sangat tinggi pada biaya variabel. Artinya dalam skala bisnis, skala I merupakan skala yang tidak menguntungkan (unprofitable) karena jumlah ternak yang sedikit dan teknologi yang sederhana menyebabkan biaya produksi menjadi besar. Tetapi jika tidak dihitung biaya non tunainya, maka akan diperolah nilai BEP yang positif bahkan volume produksi aktualnya telah melebihi BEP produksi. Volume produksi susu kambing aktual skala II di atas BEP volume produksi. Nilai yang harus dicapai agar impas adalah saat produksi sebesar 38,7 liter/bulan, saat ini volume produksi pada skala II adalah 211 liter/bulan. Hal serupa juga terjadi pada skala III, dimana produksi aktual saat ini sebesar 747 liter/bulan, jauh dari nilai impas produksi yakni 29,3 liter/bulan. Hal ini berarti kedua peternakan tersebut sudah untung karena produksi susu sudah di atas nilai titik impas, sehingga dapat terhindar dari kerugian. Berdasarkan analisis titik impas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar skala usaha, maka peternak semakin bisa menutupi biaya totalnya sehingga terhindar dari kerugian. Terlihat dari volume produksi aktual yang semakin jauh dari nilai BEP produksi.
ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR)
DEWINTHA STANI H34066033
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Skripsi Nama NRP
: Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor) : Dewintha Stani : H34066033
Disetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 415 082
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 415 082
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2009
Dewintha Stani H34066033
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 1985. Penulis merupakan putri kesembilan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Alm. H. Hasan Marzuki dan Hj. Ety Suhaeti Penulis mulai memasuki jenjang pendidikan dasar pada tahun 1991 di SDN 07 Pagi Cengkareng Timur Jakarta Barat kemudian berpindah ke SDN 02 Parung Panjang dan diselesaikan pada tahun 1997.
Pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama
diselesaikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Parung Panjang pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Curug Tangerang
dan
diselesaikan pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Diploma III Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian melalui jalur USMI dan lulus pada tahun 2006. Selepas menempuh program Diploma III, penulis melanjutkan studi pada jenjang
Strata Satu (S1) Program Sarjana Agribisnis Penyelenggraan Khusus,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Badan Kemahasiswaan Diploma Perbenihan (BKMDP), Forum Komunikasi Rohis Departemen (FKRD) dan terakhir menjabat sebagai Bendahara di Keluarga Muslim Ekstensi Institut Pertanian Bogor (KAMUS-IPB). Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan baik di dalam maupun di luar kampus.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbal’alamin Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan Di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Bogor sebagai salah satu sentra produksi susu kambing di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan usaha ternak kambing perah secara umum, menganalisis struktur biaya dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah, serta menganalisis skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menyempurnakan tulisan ini. Semoga karya ini bermanfaat dikemudian hari.
Bogor, Juni 2009 Dewintha Stani
UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan skipsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungn dari berbagai pihak, baik secara langsung maunpun tidak langsung. Maka dari itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan, pemikiran dan ilmu yang sangat berarti bagi penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS atas kesediannya menjadi dosen penguji utama. Terima kasih atas koreksi dan masukan yang telah diberikan. 3. Etriya, SP, MM atas kesediannya menjadi dosen penguji Komisi Pendidikan. Terima kasih atas koreksi dan masukan yang telah diberikan. 4. Dr. Ir. Dwi Rachmina selaku dosen evaluator pada kolokium rencana penelitian yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Seluruh keluarga yang setiap saat selalu mendoakan penulis agar Allah SWT selalu memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dalam mengemban amanah ini. 6. Fifi Robiah atas kesediaannya menjadi pembahas dalam seminar hasil skripsi yang telah memberikan masukan yang berarti dalam penyempurnaan penyusunan skripsi ini. 7. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Direktorat Jenderal Peternakan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Penelitian Ciawi atas segala bantuan dan informasi yang telah diberikan selama penelitian berlangsung. 8. Bapak Rojak, Bapak Wisnanto, Bapak Dwi Susanto. Terima kasih atas bantuan, kerjasama dan keramahannya selama penulis berada di lokasi penelitian. 9. Ibu Juniar, Ade Holis, Mastuty, Yusni, Meylani, Emil, Rosid, Wahyu, Solihin, Hotna atas kesediaan waktu untuk berdiskusi dan masukan berarti dalam penyempurnaan penyusunan skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuangan di Keluarga Muslim Ekstensi Institut Pertanian Bogor dan para Pembina atas segala motivasi, nasihat dan insprirasinya pada penulis. 11. Teman-teman di Ekstensi Agribisnis dan Manajemen, kebersamaan yang kita lalui akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Semoga Anda semua dapat mencapai cita-cita yang diinginkan. 12. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu terselesaikannya penulisan laporan ini. Semoga Allah SWT mencatat dan membalas semua amal baik ini dengan balasan yang lebih baik. Bogor, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………
ii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
iv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
v
I
PENDAHULUAN ………………………………………………..
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang ……………………………………………. Perumusan Masalah ………………………………………. Tujuan Penelitian …………………………………………. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………... Kegunaan Penelitian …………………………………………
1 3 5 5 5
II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
6
2.1. 2.2. 2.3. 2.3.
Klasifikasi dan Jenis Kambing Perah ………………………. Karakteristik dan Khasiat Susu Kambing ………………….. Usaha Ternak Kambing Perah ………………………………. Struktur Biaya dan Skala Usaha Ternak Kambing Perah..........
6 7 9 13
III KERANGKA PEMIKIRAN .........................................................
19
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ……………………………….. 3.1.1. Struktur Biaya ............................................................. 3.1.2. Skala Usaha …………………………………………. 3.1.3. Titik Impas (Break Even Point) …………………….. 3.1.4. Efisiensi …………………………………………….. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional …………………………..
19 19 21 23 25 25
IV METODE PENELITIAN ……………………………………….
28
4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
V
Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………. Jenis dan Sumber Data ............................................................ Metode Penentuan Responden ................................................ Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................... 4.4.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah.. 4.4.2. Analisis Curahan Waktu Tenaga Kerja …………….. 4.4.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point) ……………. 4.5. Definisi Operasional ...............................................................
28 28 28 29 29 30 31 31
DESKRIPSI UMUM USAHA PETERNAKAN KAMBING PERAH .......................................................................................
33
5.1. Peternakan Kambing Perah Bapak Rojak ............................... 5.1.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha ............................. 5.1.2. Usaha Ternak Kambing Perah ..................................... 5.1.3. Lokasi dan Keadaan Wilayah ...................................... 5.2. Peternakan Unggul .................................................................
33 33 34 38 38
5.2.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha .............................. 5.2.2. Usaha Ternak Kambing Perah ..................................... 5.2.3. Lokasi dan Keadaan Wilayah ...................................... 5.2.4. Deskripsi dan Pemasaran Produk ................................ 5.3. Peternakan Prima Fit .............................................................. 5.3.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha .............................. 5.3.2. Usaha Ternak Kambing Perah ..................................... 5.2.3. Lokasi dan Keadaan Wilayah ...................................... 5.2.4. Deskripsi dan Pemasaran Produk ................................
38 39 44 45 45 45 47 50 51
VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH ................................................................................
53
6.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak ................................... 6.1.1. Komponen Biaya Tetap dan Biaya Variabel .............. 6.1.2. Komponen Biaya Tunai dan Biaya Non Tunai ........... 6.2. Analisis Penerimaan ................................................................ 6.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point) ...............................
53 53 64 65 69
VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan .............................................................................. 7.2 Saran ........................................................................................
71 71
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
73
LAMPIRAN
77
.......................................................................................
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah
…………….
30
2.
Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah pada Skala I .........
34
3.
Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala I (HKP/tahun) .......
35
4.
Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah pada Skala II ........
39
5.
Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala II ...........................
40
6.
Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah pada Skala III ......
46
7.
Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala III .........................
50
8.
Komponen Biaya Tetap Usaha Ternak Kambing Perah di Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan ................................................
55
Komponen Biaya Variabel Usaha Ternak Kambing Perah di Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan ..........................................
61
11. Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing di Tiga Skala Pengusahaan ...........................................................................
63
12. Perbandingan Komposisi Biaya Tunai dan Biaya Non Tunai ..
64
13. Produksi dan Produktivitas Susu Kambing di Tiga Skala Pengusahaan ...........................................................................
67
11. Penerimaan Usaha Ternak Kambing Perah di Tiga Skala Pengusahaan ...........................................................................
68
12. Nilai Titik Impas (BEP) di Tiga Skala Pengusahaan .............
69
9.
iii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Kurva Amplop Skala Usaha ……………………………………..
22
2.
Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan ………………………
23
3.
Diagram Alur Pemikiran Operasional ………………………
27
4.
Bentuk Kurva Skala Usaha di Kabupaten Bogor
63
…………..
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Populasi Kambing menurut Provinsi di Indonesia, 2003-2007.
77
2.
Populasi Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2007 ……………………………………………..
79
3.
Kandungan Gizi Susu Kambing, Sapi dan ASI ……………..
80
4.
Perkembangan Populasi Kambing PE menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2007 ………………………...
81
Biaya Penyusutan Peralatan pada Usaha Ternak di Tiga Skala Pengusahaan ………………………………………………….
82
Biaya Perlengkapan di Tiga Skala Pengusahan ……………..
83
5. 6.
v
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Susu kambing memiliki keunggulan spesifik yang tidak dimiliki produk susu dari ternak lain seperti sapi perah. Walaupun masing-masing produk susu mempunyai zat nutrisi lengkap dan berguna bagi kesehatan, namun keunggulan susu kambing tidak tertandingi. Selain untuk menjaga kesehatan, susu kambing pun berkhasiat untuk pengobatan dan kecantikan. Susu kambing merupakan hasil produk utama dari kambing perah, yang bisa menjadi sumber pendapatan baru dan cukup menjanjikan. Susu kambing dapat dihasilkan oleh jenis kambing tertentu, karena tidak semua jenis kambing mampu menghasilkan susu secara rutin dan dalam jumlah banyak. Jenis kambing yang banyak digunakan adalah Peranakan Etawa (PE). Sodiq dan Abidin (2008) mengatakan bahwa rataan produksi susu kambing PE di Indonesia sekitar 2 – 3 liter/ekor/hari. Panjang masa laktasi sangat beragam yaitu 90-256 hari dengan rataan 156 hari. Dengan pengelolaan yang baik, induk kambing PE mampu berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun, sehingga kambing jenis ini merupakan komoditas yang memiliki prospek pengembangan yang baik karena memiliki tingkat produksi yang cukup tinggi. Perkembangan populasi, kambing baik kambing pedaging dan kambing perah di Indonesia pada tahun 2003 sampai dengan 2007 dapat dilihat pada Lampiran 1. Populasi kambing telah mencapai 14.873.516 ekor pada tahun 2007, dengan pertumbuhan populasi 7,86 persen per tahun. Peningkatan yang paling besar terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 1.084.000 ekor meningkat dari tahun sebelumnya atau sebesar 7,28 persen. Terlihat bahwa propinsi Jawa Tengah merupakan daerah dengan populasi kambing terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 3.193.842 ekor pada tahun 2007 (data sementara). Sedangkan Jawa Barat berada pada urutan ketiga. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mempunyai sektor berbasis pada peternakan. Kambing PE merupakan komoditi dari subsektor peternakan yang sedang dikembangkan dan diprioritaskan sebagai 1
komoditas unggulan. Kambing PE di Kabupaten Bogor mulai berkembang dan banyak dikenal sekitar awal tahun 2000 yang dipelopori oleh Arsa Tanius. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor pada tahun 2006-2007 (Lampiran 2), angka populasi ternak kambing PE yang terdapat di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan sebesar 51,01 persen. Ini mengindikasikan adanya peningkatan jumlah produksi susu kambing. Pengembangan usaha ternak kambing perah di Kabupaten Bogor memiliki potensi yang cukup tinggi, karena didukung iklim yang sesuai dan aksesibilitas ke berbagai daerah konsumen. Sampai saat ini pasokan susu kambing baik di Indonesia maupun negara lain lebih sedikit dibandingkan permintaannya. Beberapa distributor di Indonesia menyatakan bahwa masih banyak permintaan susu kambing untuk diekspor belum dapat terpenuhi. Direktur operasional PT. Sentra Agri Etawa dalam Majalah Komoditas tahun 2001 mengatakan bahwa perusahaan di Jepang, Jerman dan Malaysia meminta pasokan susu kambing dari Indonesia, namun karena sedikitnya peternak kambing perah di Indonesia maka permintaan tersebut belum dapat dipenuhi. Selain negara-negara tersebut, negara-negara di Timur Tengah juga merupakan negara yang potensial dijadikan tujuan ekspor mengingat masyarakat di sana sudah lama mengenal susu kambing untuk kesehatan dan kecantikan (Ratnawati, 2002). Sementara itu, di dalam negeri permintaan terhadap susu kambing juga semakin meningkat, walaupun saat ini belum ada data resmi mengenai jumlahnya. Namun terbukti, susu kambing yang siap untuk diminum telah banyak dijual di apotek-apotek1. Ketua Asosiasi Peternak Kambing PE mengatakan, kebutuhan susu kambing diperkirakan mencapai 6.000 liter/hari. Namun dari kebutuhan itu saat ini baru seperempatnya yang bisa terpenuhi2. Peningkatan permintaan susu kambing dikarenakan adanya gaya hidup saat ini yang beranjak ke arah gaya hidup sehat dan alami, sehingga pengobatan alternatif pun mulai gencar 1
Hasil wawancara dengan pegawai Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta [10 November 2008]. 2
Adijaya, Dian. 2008. Tangguk Rezeki dari Susu Kambing. Majalah Trubus. Edisi November 2008 XXXIX.
2
dilakukan. Produk susu kambing pun saat ini dikonsumsi sebagai minuman suplemen untuk membantu meredakan penyakit tertentu. Permintaan susu kambing semakin meningkat pada awal Tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya dukungan Dinas Peternakan dan banyaknya liputan oleh media cetak maupun media elektronik mengenai manfaat susu kambing. Susu kambing memiliki harga lebih tinggi dibandingkan dengan harga susu sapi. Hingga Oktober 2008, harga susu kambing di tingkat konsumen di luar Jakarta sudah mencapai Rp 20.000 – Rp 40.000 per liter, bahkan susu kambing produksi Peternakan Prima Fit di Kabupaten Bogor menjual Rp 100.000/liter. Saat ini, di beberapa lokasi peternakan kambing perah sudah mulai dikembangkan sistem agrowisata, sehingga peternakan kambing perah menjadi salah satu tujuan wisata. Di tempat-tempat seperti ini, harga susu kambing bisa dijual dengan harga tiga kali lipat daripada harga di pasaran (Sodiq dan Abidin, 2008). Harga jual susu kambing masih cukup tinggi karena susu kambing dinilai merupakan produk istimewa dan pasokannya masih terbatas. Kondisi tersebut membuat susu kambing memiliki posisi tawar yang tinggi dalam menentukan harga jual. Adanya peluang bisnis dari meningkatnya permintaan susu kambing dan harga susu kambing yang cukup tinggi menyebabkan banyak orang tertarik untuk membudidayakan kambing perah. Di masyarakat, usaha ternak kambing perah diusahakan dalam skala yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam merencanakan dan mengembangkan usaha ternak kambing perah, maka keputusan mengenai skala usaha menjadi sangat penting. Bertitik tolak dari hal tersebut maka kajian mengenai skala usaha ternak kambing perah, dalam hal ini dikhususkan pada kambing PE, menjadi hal yang sangat menarik. Kabupaten Bogor sebagai salah satu sentra produksi susu kambing dapat dijadikan tempat untuk mengetahui bagaimana keragaan usaha ternak kambing perah dan pada skala berapa peternak sebaiknya mengusahakan usaha ternak kambing perah. 1.2. Perumusan Masalah Pengusahaan ternak kambing perah di masyarakat dilakukan dalam berbagai skala usaha, yang didasarkan pada jumlah pemilikan ternak. Ada skala pengusahan relatif kecil (2-5 ekor) dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk 3
keperluan rumah tangga, dengan tingkat penerapan teknologi peternakan yang sederhana. Umumnya usaha ternak kambing skala kecil ini dilakukan oleh petani peternak di pedesaan dengan pola pemeliharaan dilepas, contohnya di Kabupaten Pandeglang. Ada juga skala menengah, yang tujuan usahanya telah bersifat komersial, peternak mengusahakan ternaknya sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan. Selain itu, ada juga kambing perah yang diusahakan sebagai peternakan besar atau skala industri dengan jumlah pemilikan ternaknya cukup besar. Pola pemeliharaannya dikandangkan (intensif) dan menerapkan teknologi yang modern. Salah satu peternakan kambing perah berskala besar di Kabupaten Bogor terdapat di Peternakan Kambing Perah Prima Fit yakni dengan mengelola sekitar 200 ekor. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan adanya variasi skala usaha ternak kambing perah dengan pola pemeliharaan dan penerapan teknologi yang juga bervariasi. Dalam merencanakan dan mengembangkan usaha ternak kambing perah, perlu diketahui informasi mengenai skala usaha efisien, yang sebaiknya dipilih oleh peternak sebagai pengelola usaha ternak kambing perah. Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang berbeda-beda pada masingmasing skala usaha. Secara teoritis, dengan meningkatnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang semakin rendah. Maka dari itu dalam menentukan skala usaha harus mempertimbangkan struktur biaya yang akan terjadi apabila suatu skala usaha dilakukan. Struktur biaya memegang peranan penting dalam kegiatan produksi suatu komoditi yang bersifat komersial. Penentuan jumlah produksi susu yang hendak diproduksi dan dijual dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi. Informasi mengenai jumlah produksi susu minimal yang harus diproduksi/dijual penting untuk dipelajari. Hal itu dapat diketahui dengan melakukan analisis titik impas (break even point). Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1)
Bagaimana keragaan usaha ternak kambing perah secara umum di lokasi penelitian?
2)
Bagaimana struktur dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah pada tiap skala usaha? 4
3)
Manakah skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah : 1)
Mengetahui keragaan usaha ternak kambing perah secara umum di lokasi penelitian
2)
Menganalisis struktur dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah pada tiap skala usaha
3)
Menganalisis skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien
1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengetahui skala usaha yang paling efisien berdasarkan struktur biaya. Skala usaha yang digunakan menurut jumlah pemilikan kambing perah. Responden peternak dibatasi hanya peternak yang memelihara kambing perah jenis PE.
1.5. Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan pertimbangan bagi peternak sebagai pengelola usaha ternak kambing perah untuk mengambil keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan usaha ternaknya. Bagi penulis sendiri diharapkan agar penelitian ini berguna sebagai wadah untuk melatih kemampuan analisis serta pengaplikasian konsep-konsep ilmu yang diperoleh selama kuliah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai skala usaha kepada peneliti lain, sebagai referensi dan studi perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
5
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Jenis Kambing Perah Dalam klasifikasi biologi, kambing digolongkan dalam Kerajaan Animalia, Filum Chordata, Kelas kelompok Mamalia, ordo Arthodactyla, Famili Bovidae, Subfamili Caprinae, dan Genus Capra. Kambing perah yang tersebar di berbagai belahan dunia dikelompokkan berdasarkan daerah asalnya, sifat-sifat produksinya, dan karakteristiknya sebagai ternak penghasil susu. Beberapa jenis kambing perah yang telah dikenal sebagai ternak penghasil susu yang produktif antara lain kambing Etawa, kambing Peranakan Etawa (PE), kambing Alpen, kambing Anglo Nubian, kambing Beetal, kambing Jamnapari, kambing Saanen, kambing Toggenburg dan masih banyak lagi (Setiadi, B dan Muryanto, 1989) dan Sutama et al.,(2007). Salah satu jenis kambing yang mempunyai potensi untuk menghasilkan susu adalah kambing Peranakan Etawa (PE) yang saat ini telah tersebar luas di Indonesia. Kambing PE adalah hasil persilangan antara kambing lokal (Kacang) dengan Etawa yang berasal dari India. Kambing Kacang ukuran tubuhnya kecil, rata-rata berat jantan 25 kilogram dan betina 20 kilogram, tetapi dikenal sebagai ternak penghasil daging. Kambing Etawa adalah tipe perah, berat jantan antara 6891 kilogram dan betina antara 36-63 kilogram. Di India hasil susu Etawa mencapai 3,8 kg/hari dan produksi maksimum per tahun 562 kilogram. Penyilangan kedua bangsa kambing tersebut bertujuan untuk menciptakan jenis kambing dwiguna, dengan harapan ukuran tubuhnya lebih besar daripada kambing lokal, serta menghasilkan susu yang bermanfaat untuk meningkatkan gizi masyarakat (Martawidjaja et al., 1985). Kambing Peranakan Etawa memiliki konformasi tubuh yang lebih besar dari jenis lainnya sehinga sering dipakai dalam program perbaikan mutu bibit kambing di Indonesia (Sutama dan Budiarsana, 1997). Kambing PE memiliki kemampuan memproduksi susu sebanyak 1,5 – 3 liter per hari. Bahkan menurut pengalaman seorang peternak “dengan pemberian pakan bergizi seperti ampas
6
tahu dan bungkil kedelai, produksi susu bisa digenjot sampai empat liter/hari”3. Dengan kemampuan produksi susu tersebut maka kambing PE cukup signifikan sebagai ternak penghasil susu yang sangat potensial, sehingga memberi peluang yang cukup besar untuk diversifikasi usaha peternakan, terutama pada daerahdaerah yang relatif kering dimana pengembangan sapi perah kurang cocok karena keadaan iklim yang tidak mendukung. Penelitian yang dilakukan oleh Budiarsana dan Sutama (2001) menyimpulkan bahwa secara biologis kambing PE sangat potensial sebagai kambing perah di Indonesia, yang ditunjukan dengan tingkat produksi, persistensi produksi dan tingkat efisiensi produksinya. Secara non-biologis (teknis) ternak ini mudah dilaksanakan oleh peternak kecil, dan secara ekonomis usaha pemeliharaan kambing PE ini sebagai ternak perah cukup menguntungkan. 2.2. Karakteristik dan Khasiat Susu Kambing Susu kambing adalah hasil produk utama dari usaha ternak kambing perah. Susu kambing merupakan cairan yang berasal dari ambing kambing sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar. Selain dijual dalam bentuk segar, sama halnya dengan susu sapi, susu kambing bisa diolah menjadi berbagai produk lain, misalnya yogurt, keju dan mentega. Di Indonesia, susu kambing biasanya dikonsumsi dalam bentuk susu segar. Di beberapa negara, susu kambiing sudah dijual dalam berbagai bentuk makanan olahan seperti yogurt dan keju. Sementara itu, di New Zealand sudah dipasarkan susu kambing dalam kemasan kapsul. Ditinjau dari kualitasnya, susu kambing mempunyai komposisi nutrisi yang hampir sama dengan susu sapid an air susu ibu (ASI) (Sutama dan Budiarsana, 1997). Pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa kandungan protein, fosfor, kalsium, magnesium dalam 100 gram susu kambing jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan dalam 100 gram susu sapi. Sodik dan Abidin (2008), mengatakan bahwa butiran lemak susu kambing berukuran antara 1 – 10 milimikron sama dengan sapi. Namun, jumlah butiran lemak yang berdiameter 3
Adijaya, Dian. 2008. Tangguk Rezeki dari Susu Kambing. Majalah Trubus. Edisi November 2008 XXXIX.
7
kecil dan homogen lebih banyak terdapat pada susu kambing, sehingga susu kambing lebih mudah dicerna alat pencernaan manusia, serta tidak menimbulkan diare pada orang yang mengkonsumsinya. Secara fisik, perbedaan antara susu sapi dan susu kambing terlihat lebih nyata, yaitu warna susu kambing lebih putih daripada susu sapi karena susu kambing tidak mengandung karoten. Susu kambing murni rasanya enak, sedikit manis dan berlemak. Dari hasil penelitian Mack pada tahun 1953 disimpulkan bahwa kelompok anak yang diberi susu kambing memiliki bobot badan, mineralisasi kerangka, kepadatan tulang, vitamin A plasma darah, kalsium, tiamin, riboflavin, niacin dan konsentrasi hemoglobinnya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok anak yang diberi susu sapi4. Susu kambing diyakini dapat membantu penyembuhan penyakit pernapasan (asma, bronchitis, pneumonia, TBC), maag, penyakit tulang dan gigi. Selain berkhasiat untuk pengobatan, susu kambing pun dapat mengatasi flek wajah, serta menghaluskan dan memutihkan kulit. Dokter George Dermitt dari Ohio, Amerika Serikat, menggunakan susu kambing untuk anak-anak yang menderita penyakit eksim (gatal di kulit) dan hasilnya cukup memuaskan. Beberapa pakar penyakit kulit di New Zealand juga menganjurkan pasiennya agar mengkonsumsi susu kambing untuk meningkatkan kesehatan kulit, terutama bagian wajah. Kandungan gizi dalam susu dapat meningkatkan pertumbuhan bayi dan anak-anak serta membantu menjaga keseimbangan proses metabolism, mendukung pertumbuhan tulang dan gigi, serta membantu pembentukan sel-sel darah dan jaringan tubuh. Susu kambing juga baik diberikan kepada wanita dewasa untuk mengembalikan zat besi setelah haidh, kekuranagn darah (anemia), kehamilan, serta pendarahan setelah melahirkan (pendarahan postpartum). Selain itu, kandungan berbagai mineral dalam susu kambing memperlambat osteoporosis atau kerapuhan tulang (Sodik dan Abidin, 2008).
4
Yunianti tri atmojo. 2007. Apa Khasiat Susu dan Daging Kambing. http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/apa-khasiat-susu-dan-dagingkambing/ [7 Februari 2009]
8
2.3. Usaha Ternak Kambing Perah Usaha ternak kambing perah adalah semua kegiatan produksi usaha kambing perah dengan tujuan utama menghasilkan susu, di samping menghasilkan anak untuk bibit atau produksi daging. Peternakan kambing dengan tujuan utama sebagai penghasil susu, mulai dikembangkan pada awal tahun 2000. Beberapa peternakan kambing sudah banyak ditemui di Bogor, Sukabumi, Bandung dan beberapa lokasi di Pulau Jawa. Manajemen usaha ternak kambing perah adalah seni merawat, menangani dan mengatur kambing. Terdapat beberapa hal yang termasuk di dalamnya yaitu pemeliharaan, tenaga kerja, modal, pencegahan penyakit dan kotoran (Ensminger, 2002). Pengembangan usaha ternak kambing perah tidak akan terlepas dari budidaya, yang merupakan kegiatan produksi hasil ternak berupa susu dan daging. Siregar dan Ilham (2003) mengatakan bahwa agar produksi usaha ternak dapat berhasil dengan baik, perlu memperhatikan bibit ternak yang digunakan, jumlah dan teknik pemberian pakan, dan manajemen usaha ternak itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Saragih (2002) bahwa untuk mencapai pengembangan agribisnis peternakan secara utuh dalam mewujudkan industrialisasi peternakan, maka dalam pelaksanaannya memerlukan piranti dasar trilogi peternakan yaitu bibit, pakan dan manajemen yang seiring. Menurut Sumoprastowo dalam Chamdi et al (2003) bahwa beberapa sifat yang menguntungkan dari usaha kambing yaitu kambing berkembang cukup pesat, modal usaha relatif kecil, pemeliharaannya sederhana, dapat memanfaatkan lahan kosong dan dapat berfungsi sebagai tabungan keluarga. Hal senada juga dikemukakan oleh Budiarsana dan Sutama (2001) bahwa pemeliharaan kambing PE relatif mudah, murah (modal yang diperlukan relatif kecil), dan reproduksinya lebih cepat dibandingkan dengan sapi perah. Selain itu, pengembangan kambing PE secara luas akan membantu peningkatan pendapatan atau paling tidak peningkatan konsumsi gizi masyarakat di pedesaan melalui konsumsi susu kambing
produksi petani sendiri. Menurut Suradisastra (1993) bahwa usaha
peternakan kambing sangat diminati masyarakat karena dapat dipelihara secara tradisional dengan teknologi yang sederhana dan hasilnya digemari masyarakat.
9
Dilihat dari pengalaman peternak dalam mempertahankan kambing PE yang diusahakan bahwa kambing PE memiliki beberapa keistimewaan khusus, seperti yang dilaporkan dalam penelitian Priyanto et al (1999) yakni tingkat harga yang relatif mahal dibandingkan jenis kambing lainnya yang dilaporkan oleh 52,94 peternak, hasil keturunannya bagus (23,52%) serta tingkat pertumbuhannya yang relatif cepat (17,64%) serta sebagian kecil lagi melaporkan bahwa produksi susu merupakan keistimewaan kambing PE. Persepsi tentang harga yang relatif mahal tersebut akan memberikan indikasi bahwa kambing terbukti memberikan prospek yang menguntungkan di tingkat peternak, di samping memiliki sifat reproduksi yang lebih baik dibandingkan kambing jenis lainnya. Pengusahaan kambing perah selain mempunyai kelebihan atau keunggulan yang menarik, pengusahaan ini juga masih menghadapi halangan-halangan dalam pengembangannya yang perlu dicermati sehingga dapat dicari pemecahannya. Beberapa halangan untuk mengembangkan peternakan ternak kambing perah antara lain : (1) ternak kambing perah belum populer, (2) kurangnya pengetahuan tentang teknis pemeliharaan ternak kambing perah, (3) jika peternakan kambing perah dikomersilkan maka menjadi kurang efisien bila dibandingkan peternakan sapi perah, karena ukuran yang kecil justru menambah biaya tenaga kerja (Djoharyani dalam Ardia, 2000). Menurut Chamdi et al. (2003) bahwa pendapatan dan efisiensi ekonomi suatu usaha ternak kambing dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jumlah pemilikan ternak, jumlah pakan, umur peternak, tingkat pendidikan peternak, dan pengalaman beternak serta sistem pemeliharaan dan status pekerjaan. Sejalan dengan itu, jika efisiensi budidaya peternakan ditingkatkan maka akan dicapai harga yang lebih murah, kualitas yang lebih baik dan keragaman produk yang lebih tinggi. Pada saat yang sama jika terjadi peningkatan pendapatan (daya beli), maka akan meningkatkan permintaan produk peternakan. Permintaan yang selalu meningkat inilah yang secara langsung memacu kegiatan di subsektor peternakan dan yang kemudian menyebabkan keadaan dan tantangan peternakan juga berkembang. Ternak kambing perah mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mampu hidup di berbagai agro-ekosistem tanpa memerlukan manajemen khusus. 10
Penyebaran jenis ternak ini sangat luas mulai dari daerah pengairan sampai daerah lahan kering. Setiadi dan Sitorus (1984) dalam penelitiannya mengatakan bahwa secara biologis kambing PE adalah prolifik, mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembangbiak pada daerah-daerah yang relatif kering. Budiarsana et al. (1988) membuktikan bahwa ternak kambing PE dapat beradaptasi baik di lahan kering. Penelitiannya dilakukan pada peternak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Di daerah ini usaha ternak kambing PE berjalan dengan baik, dapat dilihat dari tingginya populasi kambing PE walaupun tanah di daerah ini kering dan sebagian daerahnya berkapur. Roeheni (2004) dalam penelitiannya di Kalimantan Selatan juga membuktikan kemampuan adaptasi kambing perah di daerah pengairan. Bahkan kambing PE dapat hidup di daerah sub optimal. Hal ini dibuktikan dari laporan penelitian Paata et al (1992) yang mengatakan bahwa beberapa ‘kantong kambing’ cenderung berkembang pada daerah kering dengan karakteristik lahan pertanian yang marginal. Sampai saat ini pemeliharaan ternak kambing perah di Indonesia, umumnya sistem pemeliharaan dikandangkan (intensif). Pada sistem ini pemenuhan kebutuhan pakan ternak semata-mata tergantung petani. Sistem pemeliharaan yang lain adalah pemeliharaan digembalakan (ekstensif) atau kombinasi sistem intensif dan ekstensif. Soepeno dan Manurun (1996), mengatakan bahwa di beberapa daerah yang penduduknya masih relatif jarang seperti di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten), masih banyak ternak kambing perah yang dipelihara secara ekstensif yaitu dilepas pada siang hari (jam 10-18) dan pada malam hari dikandangkan. Tujuannya adalah agar ternak mencari pakan sendiri pada siang hari, sehingga menghemat tenaga mencari pakan. Hasil pengamatan menunjukan bahwa dengan cara pemeliharaan yang demikian justru perkembangan ternak akan lambat dan pendapatan petani dari ternak kambing perah lebih kecil dibandingkan dengan sistem intensif. Dari segi skala usaha, ada yang berskala kecil untuk keperluan rumah tangga, skala menengah yang tujuan usahanya telah bersifat komersial serta dapat pula diusahakan sebagai peternakan besar atau skala industri. Usaha peternakan kambing perah di Indonesia didominasi oleh usaha ternak kambing perah skala kecil. Menurut Setiadi et al. (1995), skala pengusahaan kambing relatif kecil 11
yakni sekitar 2 – 5 ekor, dengan tingkat efisiensi usahanya masih rendah. Dalam dua tahun terakhir ini, beberapa peternak atau kelompok petani sudah mulai mengembangkannya ke skala usaha yang lebih besar. Pada kabupaten Bogor, Sukabumi, Bandung dan beberapa lokasi di Pulau Jawa, sudah banyak peternak yang memiliki populasi kambing PE di atas 100 ekor. Salah satu peternakan kambing yang cukup besar adalah Peternakan Prima Fit berlokasi di Ciampea, Kabupaten Bogor. Pada awalnya, usaha peternakan kambing perah masih terbatas sebagai usaha sambilan atau cabang usaha yang berfungsi sebagai penunjang kegiatan pertanian, sehingga aktivitas kerja dan pembagian waktunya lebih banyak dicurahkan untuk kegiatan pokok sebagai petani. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Martanegara et al. (1982) bahwa para petani skala kecil di Indonesia umumnya mengutamakan usahatani tanaman pangan sedangkan beternak merupakan usaha sambilan. Namun, setelah peternak mengetahui potensi dan peluang usaha yang menjanjikan dari pengusahaan ternak kambing perah, kini tidak sedikit peternak yang usaha ternaknya sudah merupakan usaha pokok. Seperti yang dilakukan peternakan kambing perah Prima Fit (PF) di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor telah bersifat komersial, artinya salah satu tujuan peternak dalam mengelola usaha ternaknya adalah untuk memperoleh keuntungan. Pemasaran susu yang diproduksi tidak sebatas hanya untuk memasok dalam negeri, tetapi juga telah merambah ke pasar Internasional dengan mengekspor produknya ke negara Malaysia, Hongkong, Jerman dan India. Menurut Sutama dan Budiarsana (1997) ada beberapa cara dapat ditempuh dalam pengembangan kambing PE ini sebagai ternak penghasil susu di Indonesia diantaranya : 1) Peternakan rakyat Pengembangan dengan pola peternakan rakyat ini akan dapat melibatan banyak petani yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mengingat cara pemeliharaan kambing ditingkat petani masih relatif sederhana tanpa memperhatikan teknik-teknik produksi yang tepat, maka harapan kambing ini untuk dapat mengekspresikan potensi genetiknya menjadi sangat kecil, sehingga pemeliharaan kambing PE ini tidak akan dapat sebagai sumber 12
pendapatan utama bagi petani. Namun, kalau dilihat dari target jumlah petani yang dapat dicapai melalui pola ini sangat besar, sehingga dampaknya terhadap peningkatan konsumsi gizi keluarga tani melalui konsumsi susu kambing akan lebih besar dan luas. 2) Peternakan swasta komersial Berbeda dengan pola peternakan rakyat, jika pola pengembangan kambing PE melalui pola peternakan swasta komersial ini yang ditempuh, maka usaha peternakan kambing PE penghasil susu ini hanya terbatas pada para pemodal besar saja. Dengan dukungan modal yang kuat, pihak swasta akan mampu memaksimalkan produksi melalui pemanfaatan teknologi mutakhir yang tersedia. 3) Pola kemitraan inti-plasma Pola ini merupakan kompromi antara kedua pola pengembangan tersebut di atas. Dalam hal ini pihak swasta bertindak sebagai inti yang berkewajiban membina petani (plasma) dalam beternak kambing perah, dan menampung produksi yang dihasilkan plasma untuk dipasarkan. Kunci sukses pola kemitraan ini akan sangat tergantung pada ketersediaan pasar, dan tingkat produksi dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Bagi peternak kambing PE di pedesaan, aspek pemasaran hasil terutama susu kambing, merupakan masalah yang relatif sulit untuk diatasi. Namun melalui usaha kemitraan IntiPlasma, pihak Inti akan menampung semua produksi Plasma, sehingga jaminan pemasaran produk kambing PE ini telah ada.
2.4. Struktur Biaya dan Skala Usaha Ternak Kambing Perah Menurut Rahim (2000), pengeluaran usahatani sama artinya dengan biaya usahatani. Biaya ini merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani, nelayan, peternak) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam hal ini, disebut usahatani untuk petani, melaut untuk nelayan dan beternak untuk peternak. Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam proses produksi ialah biaya variabel, terutama biaya pakan dan biaya tenaga kerja. Menurut Sutama et al. (2007) dalam usaha ternak kambing perah, lebih dari 60
13
persen biaya produksi adalah untuk pakan. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan peternak dipengaruhi oleh masa kering dan masa laktasi kambing perah. Skala usaha dapat diterjemahkan sebagai ukuran usaha berdasarkan satuan jumlah ternak produktif. Skala usaha yang optimum bagi seorang pengusaha peternak, yang ditentukan oleh salah satu atau keseluruhan faktor produksi yang dikuasai seperti tenaga kerja keluarga, ketersediaan lahan. Sedangkan faktor umum penentuan skala usaha yang optimum ditentukan oleh efisiensi biaya dan harga (Yusdja et al., 2005). Besarnya sumbangan pendapatan dari usaha ternak kambing akan sangat ditentukan oleh jumlah dan produktivitas induk. Namun demikian peranan pejantan serta tatalaksana perkawinannya tetap tidak dapat dikesampingkan, karena produktivitas induk juga tergantung pada produktivitas pejantan, khususnya faktor reproduksi dan genetik (Paatb et al., 1992). Saragih (2000) mengklasifikasikan tipologi usaha berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak menjadi 4 kelompok sebagai berikut : 1) Peternakan sebagai usaha sambilan, petani yang mengusahakan berbagai macam komoditi pertanian terutama pangan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten), dengan tingkat pendapatan dari usahaternak kurang dari 30 persen. 2) Peternakan sebagai cabang usaha, peternak yang mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usahatani dengan tingkat pendapatan yang berasal dari budidaya peternakan 30-70 persen (semi komersial atau usaha terpadu). 3) Peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single commodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70 persen sampai 100 persen. 4) Peternakan sebagai usaha industri, peternak sebagai usaha industri mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan 100 persen dari usaha peternakan (komoditi pilihan). Menurut Siregar dan Ilham (2003), skala usaha peternak sangat menentukan efisiensi usaha. Oleh karena itu perlu meningkatkan skala usaha 14
hingga pada skala usaha yang optimal. Selain disebabkan keterbatasan modal, kendala peningkatan skala usaha adalah terbatasnya pemilikan lahan untuk kandang dan kebun rumput. Sudono (1993) menyatakan bahwa untuk melihat keefisienan teknis usaha ternak sapi atau kambing perah dapat dilihat dari beberapa hal yaitu : (1) jumlah ternak betina dewasa minimum yang harus dipelihara suatu peternakan rakyat atau perusahaan, (2) minimum persentasi ternak laktasi, (3) minimum produksi susu rata-rata per ekor atau per satuan ternak per hari, (4) rasio antara penerimaan dengan biaya makanan atau biaya produksi. Penelitian yang membahas hubungan struktur biaya dengan skala usaha telah dilakukan oleh Bantani (2004), pada penelitiannya mengenai usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor. Responden yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah 37 responden dengan proporsi 21 orang merupakan kriteria Pemotong I dan 16 orang merupakan kriteria Pemotong II. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa biaya total per kg pada Pemotong I semakin kecil pada setiap peningkatan skala usaha. Sedangkan pada Pemotong II peningkatan skala usaha tidak mempengaruhi pada biaya total per kg usaha. Hal ini terjadi karena biaya pembelian ayam hidup yang merupakan komponen biaya terbesar usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes pada Pemotong II lebih besar dibanding Pemotong I, sedangkan harga jual produk sama. Persentase biaya variabel berdasarkan skala usaha semakin besar seiring dengan peningkatan skala usahanya, sedangkan persentase biaya tetap semakin menurun. Capah (2008), melakukan penelitian mengenai pendapatan usahaternak sapi perah di KUD Mandiri Cipanas, Kabupaten Bogor. Peternak responden dibagi menjadi tiga skala yaitu skala I (kecil), skala II (sedang) dan skala III (besar). Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur biaya tetap pada ketiga skala adalah sama, dengan biaya terbesar adalah biaya penyusutan ternak. Struktur biaya variabel terbesar pada skala I adalah biaya tenaga kerja, sedangkan struktur biaya variabel terbesar pada skala II dan III adalah biaya pakan. Semakin besar skala usaha ternak sapi perah maka biaya produksi rata-rata per liter susu akan menjadi semakin kecil dan semakin besar skala usaha ternak, maka semakin tinggi pula tingkat penerimaannya. 15
Berdasarkan hasil penelitian Pakarti (2000), mengenai usaha ternak ayam broiler di Kabupaten Kuningan. Pada penelitian tersebut dituliskan bahwa skala usaha ternak di tempat penelitian ditentukan berdasarkan jumlah ayam yang dinyatakan dalam ekor. Skala usaha tersebut terdiri dari skala usaha <1.000 ekor, 1001-2.000 ekor, 2001-3.000 ekor dan skala > 3.000 ekor. Struktur biaya yang terjadi dibedakan berdasarkan skala usahanya. Semakin besar skala usaha maka persentase biaya variabel semakin besar juga, namun terjadi penurunan persentase biaya variabel pada skala > 3.000 ekor. Persentase biaya variabel, masing-masing adalah 97,61 persen, 98,25 persen, 98,83 persen dan 98,14 persen. Semakin besar skala usaha maka persentase biaya tetap semakin menurun, namun terjadi peningkatan persentase biaya tetap pada skala > 3.000 ekor. Persentase biaya tetap, masing-masing adalah 2,39 persen, 1,75 persen, 1,17 persen dan 1,86 persen. Penelitian yang dilakukan oleh Paat et al (1992) mengenai efek skala usaha pembibitan kambing PE terhadap efisiensi dan adopsi teknologi. Pada penelitian ini ditetapkan empat tingkat skala usaha yang didasarkan pada jumlah pemilikan induk yaitu skala I (1-2 ekor), skala II (3-4 ekor), skala III (5-6 ekor) dan skala IV (7-9 ekor). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi biaya produksi terbesar adalah biaya non tunai berupa tenaga kerja keluarga mencarikan pakan dan perawatan. Bila tenaga kerja keluarga dan hijauan pakan tidak diperhitungkan maka keuntungan sudah diperoleh pada skala 1-2 dan terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya skaa usaha. Apabila biaya tersebut tidak dimasukkan sebagai biaya produksi, maka tidak ada skala usaha yang mengalami kerugian, bahkan tingkat keuntungan akan semakin meningkat dengan meningkatnya skala usaha. Mengenai adopsi teknologi, kecuali untuk sistem perkandangan dan kebersihannya, maka faktor manajemen lainnya belum banyak diadopsi, tidak terkecuali pada skala pemilikan terbesar (7-9 ekor). Anggraini (2003) berdasarkan penelitiannya mengenai pendapatan usaha peternakan sapi potong rakyat di Kabupaten Bima NTB. Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan peternak pada masing-masing skala yang telah ditetapkan di Kabupaten Bima. Terdapat 4 skala usaha yaitu skala I (≤ 10 ST), skala II (11-20 ST), skala III (21-50 ST) dan 16
skala IV (> 50 ST). Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa biaya produksi yang dikeluarkan meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap antara lain peralatan, penyusutan kandang, penyusutan peralatan dan perbaikan kandang, sedangkan biaya variabel antara lain pakan, obat-obatan, tenaga kerja, vaksinasi dan pajak ternak. Hasil memperlihatkan bahwa biaya pakan merupakan komponen biaya produksi yang terbesar. Biaya pakan yang dikeluarkan semakin besar dengan semakin meningkatnya skala usaha. Berdasarkan hasil penelitian Sunawan (2000), mengenai peternakan ayam ras pedaging peserta PIR di PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Sidoarjo, Jawa Timur, yang membagi skala usaha ke dalam tiga kelompok yaitu skala usaha kecil, sedang dan besar. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar pula persentase biaya variabelnya. Persentase biaya variabel pada skala usaha kecil, sedang dan besar, masing-masing adalah 98,26 persen, 98,89 persen dan 99,41 persen. Pada biaya tetap, semakin besar skala usaha maka persentase biaya tetap semakin kecil. Persentase biaya tetap pada skala usaha kecil, sedang dan besar, masing-masing adalah 1,74 persen, 1,11 persen dan 0,59 persen. Namun, skala usaha pada penelitian tersebut dibagi berdasarkan rataan bobot panen total, dinyatakan dalam kilogram (kg). Bobot untuk skala kecil adalah 3, 573 kg, bobot untuk skala sedang 9,525 kg dan bobot untuk skala besar adalah 19,427 kg. Menurut Yusriani (1984), dalam penelitiannya mengenai analisis skala usaha pada peternakan sapi perah di Jakarta Selatan, menyatakan bahwa masingmasing kelompok ternak menunjukan usaha yang menguntungkan. Hal ini dilihat dari nilai IOR (Input Output Ratio) rata-rata sebesar 1,6 0,52. Nilai IOR tertinggi adalah rata-rata 1,77 dengan simpangan baku 0,66 yaitu pada kelompok pemilikan > 12 ST (satuan ternak). Penelitian tersebut dilakukan terhadap tiga skala menurut kelompok pemilikan ternak dalam satuan ST (Satuan Ternak). Skala tersebut masing-masing adalah < 8 ST, 8-12 ST dan > 12 ST. Penelitian yang dilakukan oleh Sukraeni (1985) mengenai usaha sapi perah rakyat pada beberapa tingkat skala usaha di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Pada penelitian ini ditetapkan tiga tingkat skala usaha yang didasarkan pada jumlah pemilikan sapi induk dari peternakan sapi perah rakyat. Hasil 17
penelitiannya menyimpulkan bahwa secara umum keefisienan teknis yang meliputi produksi susu harian, kadar lemak susu, pemberian makanan dan keefisienan reproduksi antara ketiga tingkat skala usaha tidak berbeda. Hal ini menunjukan adanya kesamaan dalam tata laksana dan pemberian makanan pada usaha sapi perah rakyat. Dari segi biaya produksi per unit produksi dapat disimpulkan bahwa skala usaha yang semakin rendah memperlihatkan biaya produksi per unit produksi yang semakin besar. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, terdapat keterkaitan antara skala usaha dengan struktur biaya. Keterkaitan tersebut terjadi karena struktur biaya sangat dipengaruhi oleh skala usaha. Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan skala usaha akan berakibat pada struktur biaya yang lebih rendah untuk tiap unit satuan hasil produksi. Skala usaha yang besar, secara teoritis akan dapat menghasilkan economies of scale yang tinggi. Namun, kenyataannya di lapangan sering kali skala besar menjadi tidak ekonomis yang disebabkan oleh karakteristik komoditas pertanian yang khas. Terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusriani (1984) yang menunjukan bahwa rata-rata biaya makanan per satuan ternak per hari untuk masing-masing kelompok pemilikan ≤ 8 ST, 8-12 ST dan > 12 ST adalah Rp 1.056,88, Rp 950,10 dan Rp 1.083,55. Penambahan skala juga tidak selalu membuat usaha tersebut semakin efisien, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusminah (2003), mengatakan bahwa total biaya rata-rata tertinggi terdapat pada skala usaha besar. Kondisi ini terjadi karena manajemen dalam pemberian pakan lebih buruk. Pemberian pakan konsentrat yang terlalu banyak akan menimbulkan kerugian ekonomis dan biaya tambahan untuk biaya tenaga kerja. Dari beberapa penelitian sebelumnya, memperlihatkan kemungkinan adanya variasi dalam struktur biaya pada setiap skala usaha yang berbeda-beda. Jenis ternak juga mempengaruhi efisiensi dari skala usaha yang dijalankan. Maka dari itu, penting untuk diketahui struktur biaya usaha ternak kambing perah menurut skala usaha.
18
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Struktur Biaya Biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Komposisi biaya yang terjadi pada suatu usaha disebut struktur biaya. Struktur biaya berdasarkan perilaku biaya yang dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel (Mulyadi, 2005). Perilaku biaya berhubungan dengan periode produksi. Dalam jangka pendek ada faktor produksi tetap yang menimbulkan biaya tetap, yaitu biaya produksi yang besarnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Pengusaha harus tetap membayarnya berapapun jumlah komoditi yang dihasilkan usahanya. Biaya tetap terdiri dari gaji tenaga kerja administrasi, penyusutan kandang, penyusutan ternak dan lahan tempat pengelolaan ternak yang dianggap sebagai biaya yang diperhitungkan sebagai sewa lahan. Dalam jangka panjang, karena semua faktor produksi dianggap variabel, maka biaya juga variabel. Artinya, besarnya biaya produksi dapat berubah apabila skala usaha berubah. Biaya variabel terdiri dari biaya tenaga kerja langsung, pakan, obat-obatan, dan penyusutan peralatan tidak tahan lama. Konsep biaya jangka panjang diperlukan oleh pengusaha untuk menentukan skala usaha dari suatu perusahaan. Pengusaha dapat menyesuaikan besarnya skala usaha agar keuntungan yang diperoleh maksimal. Dalam membuat keputusan jangka panjang, pengusaha harus mengetahui biaya produksi yang minimum pada berbagai tingkat produksi. Biaya minimum perusahaan dalam jangka panjang dapat diketahui dengan kurva biaya rata-rata jangka panjang. Kurva yang menunjukan titik-titik biaya rata-rata minimum pada berbagai tingkat produksi disebut kurva amplop (envelope curve). Kurva ini merupakan kurva biaya rata-rata jangka panjang atau long-run average cost (kurva LAC), yang melingkupi semua kemungkinan kurva biaya rata-rata jangka pendek. Hernanto (1989) mengungkapkan bahwa biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan : 19
1) Berdasarkan jumlah output yang dihasikan terdiri dari : a) Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian dan bunga pinjaman. b) Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalkan pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan biaya tenaga kerja. 2) Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari : a) Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja luar keluarga. Biaya tunai berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. b) Biaya tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap) dan tenaga dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini melihat bagaimana manajemen suatu usahatani. Menurut Suratiyah (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya sangatlah kompleks. Namun demikian, faktor tersebut dapat dibagi dibagi ke dalam dua golongan sebagai berikut : 1) Faktor internal dan eksternal Faktor internal antara lain umur petani, pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal. Sementara itu, faktor eksternal yang mempengaruhi biaya adalah input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan dan harga). 2) Faktor manajemen Di samping faktor internal dan eksternal maka manajemen juga sangat menentukan. Dengan faktor internal tertenu maka petani harus dapat mengantisipasi faktor eksternal yang selalu berubah-ubah dan tidak sepenuhnya dapat dikuasai. Petani harus dapat melaksanakan usahataninya dengan sebaik-baiknya yaitu penggunaan faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien sehingga akan diperoleh manfaat yang setinggi-tingginya. 20
Dalam pelaksanaanny sangat diperlukan berbagai informasi tentang kombinasi faktordan informasi harga baik harga faktor produksi maupun produk. dengan bekal informasi tersebut petani dapat segera mengantisipasi perubahan yang ada agar tidak salah pilih dan merugi.
3.1.2
Skala Usaha Jumlah pemilikan ternak merupakan salah satu ukuran besarnya usaha, di
samping ukuran-ukuran lain seperti luas tanah, jumlah tenaga kerja, penerimaan, keuntungan dan hal-hal lain yang dapat digunakan untuk mengukur suatu skala usaha (Kay dan Edwards, 1981). Penentuan skala usaha bertujuan agar peternak dapat mengetahui sejauhmana dia harus berproduksi berdasarkan keadaan skala usaha yang dimilikinya. Soekartawi (2002) mengatakan bahwa maksud dari analisis usahatani adalah untuk mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai aspek. Telaah seperti ini (kajian berbagai aspek) sangat penting karena tiap macam tipe usahatani pada tiap macam skala usaha dan pada tiap lokasi tertentu berbeda satu sama lain. Hal tersebut memang ada perbedaan dalam karakteristik yang dipunyai pada usahatani yang bersangkutan. Usahatani pada skala usaha yang besar umumnya bermodal besar, berteknologi tinggi, manajemennya modern, lebih bersifat komersial. Sebaliknya, usahatani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya tradisional, lebih bersifat usahatani sederhana dan sifat usahanya subsisten, serta lebih bersifat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Analisis biaya jangka panjang sangat penting untuk mengetahui apakah suatu perusahaan beroperasi pada skala usaha yang ekonomis (economies of scale) atau tidak ekonomis (diseconomies of scale). Hal ini karena skala usaha menunjukkan hubungan antara biaya produksi rata-rata dengan perubahan dalam ukuran (size) usaha. Jadi, bila perluasan usaha bertambah, tetap atau berkurang dapat pula mencerminkan bahwa perluasan usaha tersebut diikuti oleh biaya produksi rata-rata yang menurun, tetap atau bertambah. Gambar 1 dapat memperjelas hubungan skala usaha dengan struktur biaya.
21
MC
Biaya-biaya
SATC 3 SMC1
SATC 1
SMC
LAC
SMC2
SATC 2
O
Q1
Q2
Q3
Output/period e
Keterangan : Q = jumlah keluaran (output) SMC = biaya marjinal jangka pendek (short marginal cost) SATC = total biaya variabel jangka pendek (short average total cost) MC = biaya marjinal jangka panjang (marginal cost) LAC = total biaya variabel jangka panjang (long-run average cost)
Gambar 1. Kurva Amplop Skala Usaha Sumber : Rahardja dan Manurung (2002)
Pada Gambar 1 menunjukan kurva biaya rata-rata jangka panjang yang berbentuk U. Kurva ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian menurun, (titik) minimum dan kemudian meningkat. Bagian pertama yaitu dalam rentang output mulai dari titik O sampai Q2 biaya rata-rata jangka panjang menurun. Perluasan usaha akan selalu disertai oleh penurunan biaya rata-rata per unit, daerah ini yang disebut skala usaha yang ekonomis (economies of scale). Bagian kedua yaitu titik di Q2 yang merupakan titik terendah (minimum) dari kurva LAC dan terjadi perpotongan kurva MC dengan LAC. Pada titik ini adalah skala usaha yang paling efisien karena memiliki struktur biaya terendah, sehingga merupakan pilihan pengusaha dalam jangka panjang. Bagian terakhir yaitu pada Q3, biaya rata-ratanya berada di atas biaya minimum yang cenderung meningkat. Perluasan usaha akan disertai oleh kenaikan biaya rata-rata per unit output. Pada daerah ini disebut skala usaha tidak ekonomis (diseconomies of scale). Dengan demikian, dari Gambar 1 dapat dikatakan bahwa peningkatan skala usaha akan berakibat pada nilai biaya rata-rata yang lebih rendah untuk tiap unit output. Bentuk kurva amplop skala usaha tidak hanya berbentuk U (U-shape), tetapi bisa pula berbentuk lain. Jika titik minimum AC adalah sama, maka LAC akan berbentuk horizontal
(mendatar) seperti terlihat pada Gambar 2. Pada 22
Gambar tersebut menunjukkan bahwa biaya rata-rata jangka panjang bernilai konstan (tetap), artinya perluasan usaha tidak berpengaruh terhadap biaya rata-rata jangka panjang. Biaya SMC 1
SMC2
SATC1
SATC2
SMC3 SATC3
AC=MC
Output/Periode
Q
Q
Q
Gambar 2. Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan
3.1.3
Analisis Titik Impas (Break Even Point) Jika dianalisis dalam jangka pendek, skala usaha dapat dihubungkan
dengan analisis titik impas. Skala usaha yang berbeda akan menyebabkan titik BEP yang berbeda, karena struktur biaya yang terjadi juga berbeda-beda. Syarat penggunaan analisis titik impas yaitu harus mengetahui total biaya tetap, biaya variabel rata-rata dan harga satuan output. Analisis titik impas (BEP) merupakan metode analisis keuntungan dengan melihat perbandingan (nisbah) antara tingkat penerimaan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Menurut Handoko (2000) analisis titik impas digunakan untuk menentukan berapa jumlah produk (dalam rupiah atau unit keluaran) yang harus dihasilkan agar perusahaan minimal tidak menderita rugi. Tidak hanya sematamata untuk mengetahui keadaan perusahaan yang break even point saja, akan tetapi analisis break even mampu memberikan informasi kepada pimpinan perusahaan mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan.
23
Kuswadi (2005), menyatakan bahwa analisis titik impas selain dapat digunakan untuk membantu menetapkan sasaran atau tujuan perusahaan, juga mempunyai kegunaan-kegunaan lain seperti : 1) Untuk mengetahui hubungan volume penjualan (produksi), harga jual, biaya produksi dan biaya-biaya lain serta mengetahui laba rugi perusahaan. 2) Sebagai sarana merencanakan laba (profit planning). 3) Sebagai alat pengendalian (controlling) kegiatan operasi yang sedang berjalan. 4) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan harga jual. 5) Sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan perusahaan, misalnya menentukan usaha yang perlu dihentikan atau yang harus tetap dijalankan ketika perusahaan dalam keadaan tidak mampu menutup biaya-biaya tunai. Untuk menentukan titik impas dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut :
BEP (dalam liter) =
Biaya tetap Harga satuan ouput – Biaya variabel rata-rata
Asumsi-asumsi dalam analisis BEP sebagai berikut : 1) Biaya-biaya dapat diidentifikasikan sebagai biaya variabel atau biaya tetap 2) Biaya tetap tidak mengalami perubahan meskipun volume produksi berubah atau kegiatan berubah. Hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel tidak bervariasi. 3) Biaya variabel per unit tetap sama. Biaya variabel akan berubah secara proporsional dalam jumlah keseluruhan, tapi biaya per unitnya akan tetap sama. 4) Harga jual per unit tetap sama, berapa pun jumlah unit produk yang terjual. 5) Perusahaan hanya menjual atau memproduksi satu jenis produk. Jika menjual lebih dari satu jenis produk, harus dianggap sebagai satu jenis produk dengan kombinasi yang selalu tetap, atau dengan kata lain bauran penjualannya konstan.
24
6) Pada saat mengestimasi besarnya BEP, barang yang diproduksi dianggap terjual semua dalam periode yang bersangkutan. Jadi, tidak ada sisa produk atau persediaan akhir. 3.1.4
Analisis Efisiensi Efisiensi merupakan salah satu indikator dari keberhasilan sebuah usaha
ternak. Konsep efisiensi merupakan upaya mengalokasikan input seefisien mungkin untuk dapat memperoleh produksi yang maksimal. Efisiensi ekonomi dapat diukur dengan kriteria penerimaan maksimum (output maximization) dan kriteria
biaya
minimum
(cost
minimization).
Konsep
memaksimumkan
keuntungan yaitu dapat mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu untuk memperoleh keuntungan maksimum. Di lain pihak, manakala petani dihadapkan pada keterbatasan biaya dalam melaksanakan usahataninya, maka mereka mencoba bagaimana meningkatkan keuntungan tersebut dengan kendala biaya usahatani yang terbatas (Soekartawi, 2002). Efisiensi ekonomi usaha ternak kambing perah pada penelitian ini didekati dengan kriteria biaya minimum karena didasari bahwa adanya keterbatasan modal yang dimiliki oleh peternak, sehingga tujuan memaksimumkan keuntungan dicapai dengan menekan biaya produksi sekecil-kecilnya. Analisis efisiensi dapat memberikan suatu gambaran efisiensi usaha dari usaha yang sedang dijalankan oleh peternak dan memberi saran pada peternak dalam menentukan keputusan berusaha agar berproduksi di tingkat biaya minimum dan menggunakan faktor-faktor produksi secara efisien. Untuk mengukur tingkat efisiensi biaya dapat dilihat berdasarkan struktur biaya dari masing-masing skala usaha. Dengan menghitung sruktur biaya dari setiap skala, maka kita dapat membandingkan nilai efisiensi dari masing-masing skala dan dari situ kita dapat mengambil kesimpulan skala mana yang lebih efisien. Tingkat efisiensi biaya diperlihatkan oleh indikator semakin rendahnya biaya per unit. 3.1 Kerangka Pemikiran Operasional Adanya peluang bisnis dari meningkatnya permintaan susu kambing dan harga susu kambing yang cukup tinggi menyebabkan banyak orang tertarik untuk membudidayakan kambing perah. Usaha ternak kambing perah terdiri dari 25
beberapa peternak dalam skala usaha yang berbeda-beda. Keragaman skala usaha tersebut masing-masing menunjukkan nilai efisiensi yang berbeda pula. Oleh karena itu menarik untuk dilakukan suatu analisis mengenai skala usaha yang efisien. Apalagi bagi pengembangan usaha ternak kambing perah lebih lanjut perlu memperhatikan kondisi skala usaha, besarnya usaha ternak yang sebaiknya dikelola. Untuk mengetahui nilai efisiensi tiap skala tersebut maka perlu dilihat nilai struktur biayanya. Skala usaha efisien diperlihatkan oleh indikator semakin rendahnya biaya per unit. Analisis struktur biaya dilakukan dengan membandingkan beberapa skala usaha. Dalam penelitian ini skala usaha ditentukan berdasarkan jumlah pemilikan kambing perah yang dinyatakan dalam satuan ST (Satuan Ternak), yang dibagi dalam tiga strata yaitu skala usaha I (skala kecil), skala usaha II (skala menengah) dan skala usaha III (skala besar). Selain menganalisis struktur biaya pada masing-masing skala usaha, dianalisis pula nilai titik impas. Dengan metode titik impas, dapat diketahui pada saat kapan peternak mengalami kondisi impas, sehingga dapat diketahui tingkat produksi yang optimal untuk mencapai keuntungan maksimal. Secara singkat alur pemikiran operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
26
Adanya peluang bisnis dari meningkatnya permintaan susu kambing harga susu kambing yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan banyak orang tertarik untuk membudidayakan kambing perah
Usaha ternak kambing perah dapat dilakukan pada skala usaha yang berbeda-beda
Pada skala berapa, usaha ternak kambing perah yang paling efisien
Analisis Struktur Biaya
Membandingkan tiga skala pengusahaan
Biaya Tunai dan Biaya Non Tunai
Biaya Tetap dan Biaya Variabel
Skala Usaha Efisien
Analisis Titik Impas (BEP) Gambar 3. Diagram Alur Pemikiran Operasional
27
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra produksi susu kambing. Kegiatan pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilakukan pada bulan Februari – April 2009. Waktu tersebut digunakan untuk memperoleh data dan keterangan dari para peternak kambing perah sebagai responden dan semua pihak yang terkait.
4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan wawancara dengan responden peternak dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya. Data primer pada penelitian, mencakup keragaan usaha ternak kambing perah seperti teknis budidaya, jumlah produksi, penerimaan serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini. Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan serta dokumentasi dari pihak atau instansi yang terkait, seperti Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, dan Biro Pusat Statistik setempat. Selain itu, dilakukan juga penelusuran melalui internet, buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan skala usaha. Data sekunder mencakup data populasi kambing perah di seluruh provinsi di Indonesia dan di Kabupaten Bogor.
4.3. Metode Penentuan Responden Informasi terinci mengenai peternak kambing perah di Kabupaten Bogor belum tersedia. Pemilihan responden peternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode snowball sampling. Informasi peternak yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini diperoleh dengan mendatangi 28
Peternakan Kambing Perah Prima Fit di Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea dan selanjutnya disebut skala III (skala besar). Setelah itu digali informasi dengan menunjuk responden peternak lain untuk skala di bawahnya. Kemudian responden yang ditunjuk oleh Prima Fit diminta pula untuk menunjuk responden lainnya, sehingga diperoleh responden peternak yang mewakili masing-masing skala usaha ternak kambing perah. Peternak responden yang diambil adalah peternak yang memelihara kambing perah jenis PE dan dibagi menjadi tiga skala usaha. Perbedaan tingkatan skala usaha ditentukan oleh faktor jumlah pemilikan ternak. Responden peternak berjumlah satu orang pada masing-masing skala usaha, sehingga total responden peternak dalam penelitian ini adalah tiga orang. 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk melihat keragaan usaha ternak kambing perah dan beberapa hal lain yang terkait akan diuraikan secara deskriptif dan bila perlu dengan bantuan gambar untuk memperjelas uraian. Sedangkan analisis kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca. Dalam penelitian ini analisis data meliputi analisis struktur biaya dan titik impas yang dilakukan dengan menggunakan program aplikasi komputer seperti Microsoft Excel. 4.4.1
Analisis Struktur Biaya Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya
yang terjadi pada usaha ternak kambing perah. Struktur biaya tersebut terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Metode perhitungan struktur biaya tiap skala usaha dapat dilihat pada Tabel 1.
29
Tabel 1. Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah Uraian
Skala I Rp/peternak Rp/ST
Skala II Rp/peternak Rp/ST
Skala III Rp/peternak Rp/ST
Biaya tetap : - Listrik - Penyusutan kandang - Penyusutan peralatan - Penyusutan ternak Total biaya tetap Biaya variabel : - Pakan - Obat-obatan - Perlengkapan - Tenaga kerja - Susu sapi Total biaya variabel Total biaya Total biaya per liter
Secara matematis, perhitungan total biaya (total cost) yang merupakan jumlah dari biaya tetap (TFC) dan biaya variabel (TVC) dapat dirumuskan seperti di bawah ini : TC = TFC + TVC Sedangkan, untuk menghitung total biaya rata-rata (average total cost) adalah penjumlahan biaya tetap rata-rata (TFC) dengan biaya variabel rata-rata. Rumus yang digunakan yaitu : AC = AFC + AVC Penentuan skala usaha yang efisien berdasarkan struktur biaya diketahui dengan melihat total biaya rata-rata paling rendah. 4.4.2
Analisis Curahan Tenaga Kerja Analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya penggunaan jam kerja
tenaga kerja keluarga yang dapat disumbangkan oleh keluarga peternak dalam usaha peternakan kambing perah per hari kerja dengan rumus : Curahan Kerja : Jumlah jam kerja dalam usaha ternak / tahun (HKP) Jumlah anggota keluarga yang bekerja (orang) Konversi tenaga kerja : 1 hari kerja tenaga kerja pria dewasa
= 1,0 HKP
1 hari kerja tenaga kerja wanita dewasa
= 0,8 HKP
1 hari kerja tenaga kerja anak-anak
= 0,5 HKP 30
Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani umumnya diukur dengan jumlah hari, dalam satu hari biasanya tenaga kerja bekerja delapan jam. Waktu bekerja delapan jam dalam satu hari tersebut dikatakan sebagai satu hari kerja penuh (1 HKP). Hari kerja ini merupakan dasar ukuran penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan-kegiatan usahatani (Cyrilla dan Ismail, 1988). Ditambahkan pula bahwa hari kerja efektif seorang tenaga kerja hanya 305 hari, karena adanya penggunaan hari untuk memperoleh hiburan dan kegiatan sosial lainnya. 4.4.3. Analisis Titik Impas Analisis titik impas dilakukan untuk melihat produksi susu minimum yang harus dihasilkan. Dengan analisis titik impas dapat diketahui pada tingkat produksi berapa hasil penjualan sama dengan jumlah biaya, sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian. Untuk mengetahui ini semua, maka perlu dilakukan pemisahan biaya tetap dengan biaya variabel secara jelas dan benar. Pendekatan untuk perhitungan titik impas dalam penelitian ini adalah BEP dalam jumlah unit produksi (liter). Untuk menentukan titik impas dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut : BEP =
Total biaya tetap Harga satuan output - Biaya variabel rata - rata
4.5. Definisi Operasional 1) Usaha ternak kambing perah adalah semua kegiatan produksi usaha kambing perah dengan tujuan utama menghasilkan susu, di samping menghasilkan anak untuk bibit/produksi daging. 2) Kambing laktasi adalah kambing perah yang sedang dalam masa produksi (menghasilkan susu untuk diperah). 3) Produksi susu adalah jumlah susu yang dihasilkan oleh kambing-kambing laktasi (liter/bulan). 4) Satuan ternak (ST) adalah satuan yang digunakan untuk menentukan populasi ternak kambing dengan faktor konversi 0,14 ST untuk kambing dewasa(> 2 tahun), satu ekor kambing muda berumur 1-2 tahun adalah 0,07 ST dan satu ekor anak kambing berumur < 1 tahun adalah 0,035 ST (Ardia, 2000).
31
5) Onggok adalah ampas hasil parutan ubi kayu yang selanjutnya dibentuk bulatan-bulatan dan dijemur. 6) Cempe adalah anak kambing PE jantan atau betina. 7) Prengus adalah bau khas yang dikeluarkan dari tubuh kambing, bau ini kadang-kadang terserap ke dalam susu kambing bila saat melakukan pemerahan kurang menjaga sanitasi yang baik 8) HKP adalah satuan yang mengukur alokasi waktu kerja yaitu 1 HKP setara dengan delapan jam kerja tenaga kerja pria dewasa, untuk tenaga kerja wanita setara dengan 0,8 HKP dan untuk anak-anak setara dengan 0,5 HKP. 9) Penyusutan adalah penurunan nilai faktor-faktor produksi tetap akibat penggunaannya dalam proses produksi. Perhitungan ini dilakukan pada faktorfaktor produksi tetap usahaternak kambing perah yang berumur ekonomis lebih dari satu tahun. Perhitungan ini menggunakan rumus metode garis lurus yaitu : Penyusu tan =
Nilai pembelian barang - tafsiran nilai sisa Umur ekonomis barang
32
V DESKRIPSI UMUM PETERNAKAN KAMBING PERAH Bab
sebelumnya
telah
dijelaskan
bahwa
penelitian
ini
ingin
membandingkan tiga skala pengusahaan untuk mengetahui skala usaha yang efisien berdasarkan struktur biaya. Peternak responden yang diteliti adalah peternak yang memelihara kambing perah Peranakan Etawa (PE) dan dibagi menjadi tiga skala usaha. Peternak responden skala kecil selanjutnya dinamakan dengan skala I, Peternak responden skala menengah selanjutnya dinamakan dengan skala II dan untuk skala besar dinamakan dengan skala III. Penggolongan ternak kambing yang dimiliki oleh peternak terbagi menjadi tiga berdasarkan usia yaitu anak (< 1 tahun), muda (1-2 tahun) dan dewasa (> 2 tahun). Pada penelitian ini semua ternak kambing perah disetarakan ke dalam Satuan Ternak (ST), dimana satu satuan ternak setara dengan tujuh ekor kambing dewasa. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa ternak kambing yang dipelihara oleh peternak keseluruhannya (100%) adalah milik pribadi. 5.1.
Peternakan Kambing Perah Bapak Rojak
5.1.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha Peternak responden untuk skala I dalam penelitian ini merupakan peternakan skala rakyat yang dimiliki oleh Bapak Rojak. Jumlah pemilikan ternak relatif sedikit yaitu lima ekor atau setara dengan 0,53 ST (Tabel 2). Tabel 2. Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah Pada Skala I No. 1.
2.
3.
Status Fisiologis Anak Betina Jantan Muda Betina Jantan Dewasa Betina laktasi Betina kering Jantan Total
Ekor
ST
%
1 -
0,035 -
6,67 -
1
0,07
13,3
2 1 5
0,28 0,14 0,53
53,3 26,67 100
33
Alasan mengambil peternak Bapak Rojak sebagai responden adalah jumlah ternak yang dimiliki merupakan skala pengusahaan yang biasa diusahakan oleh sebagian besar peternak di Indonesia dan juga adanya perbedaan dari segi teknologi yang diterapkan. Dalam kesehariannya, Pak Rojak bekerja sebagai petani dan pengrajin pembuat kotak ikan dari bambu. Latar belakang ia memelihara kambing perah PE yaitu saat perkenalannya dengan Arsa Tanius, sosok peternak senior yang sangat fokus dalam pembudidayaan kambing PE. Kebetulan jarak pabrik pakan yang dimiliki Arsa Tanius berada tidak jauh dengan tempat tinggalnya di Desa Blandongan Kecamatan Caringin. Ilmu mengenai teknik pemeliharaan kambing PE ia peroleh juga dari Arsa Tanius. Berawal dari delapan ekor domba yang dimilikinya kemudian digantikan dengan sepasang kambing PE. Induk yang dimiliki berasal dari daerah Kaligesing, dimana daerah tersebut merupakan sentra pembibitan kambing PE yang sangat terkenal di Indonesia. Saat ini, jumlah ternak yang dipelihara ada lima ekor kambing. Pemeliharaan kambing PE telah berlangsung sejak satu tahun lalu. Adapun tujuan memelihara kambing perah PE diakui peternak sebagai tabungan keluarga. Hal ini dikarenakan ternak kambing perah merupakan ternak yang mudah dijual setiap saat, sehingga menciptakan rasa aman dan tenang jika sewaktu-waktu membutuhkan uang. Selain itu, nilai jual kambing PE lebih tinggi dibandingkan ternak domba yang pernah dipeliharanya.
5.1.2. Usaha Ternak Kambing Perah Sistem pemeliharaan masih dilakukan secara sederhana dan terkesan seadanya. Pengusahaan ternak kambing masih terbatas sebagai usaha sambilan atau cabang usaha yang berfungsi sebagai penunjang kegiatan pertanian, sehingga aktivitas kerja dan pembagian waktunya lebih banyak dicurahkan untuk kegiatan pokok sebagai petani. Hal ini dapat dilihat dari curahan waktu untuk usaha ternak kambing perah pada Tabel 3. Peternak menghabiskan waktu untuk pemeliharaan ternak kambing perah kurang lebih 3,6 jam sehari. Kegiatan membersihkan kandang dan peralatan tidak rutin dilakukan sehingga curahan tenaga kerja jumlahnya lebih sedikit. Tenaga kerja yang dipakai dalam kegiatan usaha ternak kambing perah merupakan tenaga kerja dalam keluarga. Kegiatan yang biasa 34
dilakukan yaitu kegiatan membersihkan kandang dan peralatan, mengambil rumput/hijauan, memberi pakan dan minum, dan pemerahan. Tabel 3. Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala I (HKP/tahun) No. Aktivitas 1. Membersihkan kandang+peralatan 2. Mengambil rumput/hijauan 3. Memberi pakan+minum 4. Pemerahan Total HKP/tahun Keterangan : * estimasi
Curahan Waktu 6,10 114,37 12,2 6,10* 138,77
Curahan waktu untuk kegiatan pemerahan pada skala I merupakan waktu yang diestimasi. Rataan untuk memerah susu memerlukan waktu 10 menit setiap kali pemerahan. Dari data yang disajikan pada Tabel 3, terlihat bahwa curahan tenaga kerja untuk kegiatan mengambil rumput menunjukkan angka yang besar. Hal ini dikarenakan peternak mengambil rumput/hijauan di tempat yang jauh dari kandang. Kegiatan untuk mengambil ampas tempe tidak diperhitungkan karena tidak menggunakan ampas tempe untuk pakan ternaknya. Hal ini berbeda dengan skala II dan skala III. Orientasi usaha ternak kambing perah hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri, belum ke arah komersial. Petani memelihara kambing untuk menghasilkan keturunan/anak. Potensi kambing PE sebagai penghasil susu belum dimanfaatkan secara maksimal oleh peternak. Untuk menjaga kesuburan tanahnya, setiap minggu sekurang-kurangnya petani memungut hasil samping ini, baik untuk tanamannya sendiri ataupun dijual sebagai komoditi perdagangan yang cukup memberikan tambahan penghasilan. Sebagian besar pupuk kandang tersebut digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman pangan. Sistem pemeliharaan ternak kambing perah skala I dilakukan secara intensif yaitu kambing dikandangkan terus menerus. Kandang yang digunakan model panggung karena lebih mudah dibersihkan dan sirkulasi udara di dalam kandang lebih baik. Luas kandang adalah 4,5 meter dengan empat sekat, sehingga rata-rata tiap sekat luasnya adalah 1,125 x 1 meter. Penyekatan kandang dilakukan untuk
memisahkan
ternak-ternak
berdasarkan
status
fisiologi,
sehingga
35
memudahkan dalam mengatur pemberian pakan dan menghindari kemungkinan perkawinan sedarah. Peternak membangun kandang kambing persis di belakang rumah, dengan jarak antara kandang bangunan rumah tempat tinggal yaitu tiga meter. Posisi kandang seperti ini menyebabkan kandang menjadi lembab, karena kurang mendapat sinar matahari. Desain dan konstruksi kandang peternak skala I (kecil) cukup sederhana dengan menggunakan bahan yang tidak terlalu mahal namun tetap nyaman untuk tempat tinggal ternak. Kandang dibuat dengan satu pintu, sehingga untuk keluar masuknya ternak, tiap ruangan satu sama lain dihubungkan dengan pintu yang dibuat pada dinding sekat. Model ini kelemahannya lebih sulit dalam mengatur keluar masuknya ternak. Atap kandang dibuat dari plastik terpal. Bahan atap seperti ini cukup nyaman bagi ternak, namun kekurangannya adalah mudah rusak. Dinding dan lantai terbuat dari bambu. Tempat pakan diletakkan di luar kandang yang menempel di sisi kandang, sehingga ternak bisa mengambil pakannya. Tempat minum yang biasa digunakan adalah ember plastik. Sumber air berasal dari sumur yang letaknya tidak jauh dari kandang. Sistem perkawinan yang dilakukan berupa kawin alami dan tidak pernah melakukan perkawinan dengan menerapkan inseminasi buatan (IB). Kawin alami adalah kambing penjantan dikawinkan dengan kambing betina yang sedang birahi. Untuk mencegah terjadinya inbreeding dilakukan dengan memisahkan kambing dewasa jantan dan betina. Sistem perkawinan seperti ini menuntut adanya pengetahuan peternak dalam mengenali tanda-tanda birahi, sehingga perkawinan dapat dilakukan pada saat yang tepat. Berdasarkan hasil wawancara, terungkap bahwa Bapak Rojak sudah mengetahui dengan tepat waktunya kambing untuk dikawinkan dan melahirkan. Frekuensi kelahiran cukup tinggi yakni tiga kali kelahiran dalam dua tahun dengan jumlah anak per kelahiran umumnya melahirkan dua anak. Pakan yang diberikan peternak pada skala I hanya hijauan berupa rumput lapang sebagai sumber tenaga dan dedaunan sebagai sumber protein. Rataan jumlah pemberian rumput lapang sebanyak 5 kg per ekor per hari, sedangkan dedaunan (daun kacang-kacangan, daun ubi dan lain sebagainya) yang diberikan sebanyak 1,5 kilogram per ekor per hari. Sumber pakan diperoleh dari rumput 36
lapangan dan beberapa jenis leguminosa (kacang-kacangan) yang tersebar di sekitar tempat tinggal peternak. Pengambilan pakan hijauan ini diambil secara cut and carry. Hijauan tidak terlalu tua dan tidak terlalu basah agar kambing tidak mudah mencret. Hijauan tersebut dilayukan terlebih dahulu selama 2-3 jam terik matahari atau diinapkan selama sebelum diberikan kepada kambing. Jenis pakan yang diberikan sebelumnya dilakukan tes secara sederhana, dimana dari beberapa jenis rumput dan daun-daunan yang diberikan jika tidak dimakan oleh kambing berarti tidak disukai oleh kambing dan untuk seterusnya tidak diberikan lagi. Hijauan yang diberikan pada cempe lepas sapih sebanyak 2,5 kilogram per ekor, dedaunan 0,5 kilogram per ekor per hari. Jumlah pemberian pakan yang diberikan tergantung pada kondisi/status ternak tersebut. Frekuensi pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore pada pukul 09.00 dan 17.00 WIB. Penyakit yang paling banyak menyerang pada saat penelitian adalah diare/mencret. Diare disebabkan oleh pakan rumput yang dimakan tercemar oleh penyakit tertentu. Ini diduga karena kondisi kandang yang terlalu lembab dan juga kesalahan pemberian pakan. Pengobatan dengan menggunakan obat manusia seperti diapet dengan dosis yang disesuaikan dengan bobot badan ternak. Pengobatan secara tradisional yaitu dengan daun jambu biji tua atau pucuk daun pepaya. Atau diberi larutan air yang dicampur garam dan gula. Upaya pemeliharaan kesehatan ternak dilakukan sendiri oleh pemilik. Peternak sudah memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk dalam usahataninya. Hal ini dikarenakan peternak sudah mengetahui cara pengolahan kotoran ternak walaupun masih sederhana. Pupuk kandang hasil dari kotoran ternak bagi peternak digunakan sendiri untuk lahan pertanian yang dimiliki. Peternak membersihkan kotoran ternak dengan menggunakan sapu lidi dan menampung kotoran yang langsung jatuh ke kolong kandang ke dalam karung. Pencatatan mengenai manajemen usaha ternaknya belum pernah dilakukan. Peternak ini hanya mengandalkan daya ingatnya. Berdasarkan jumlah populasi ternak kambing PE di Kabupaten Bogor (Lampiran 4), maka lokasi kandang yang berada di wilayah Kecamatan Caringin
37
merupakan daerah yang mempunyai populasi ternak kambing PE terbesar kedua setelah Kecamatan Cijeruk (404 ekor) dengan populasi 341 ekor.
5.1.3.
Lokasi dan Keadaan Wilayah Lokasi kandang berada di belakang tempat tinggalnya, yang terletak
sekitar dua km dari jalan raya Bogor – Sukabumi dan berjarak 10 km dari Kota Bogor. Secara administratif, lokasi kandang berada di Dusun Blandongan, Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Kemudahan akses menuju daerah konsumen yang berada di Jakarta dan sekitarnya, didukung oleh kondisi jalan beraspal dan jarak yang tidak terlalu jauh, sehingga lokasi ini mempunyai nilai strategis yang tinggi bagi pemasaran produk pertanian, termasuk susu kambing. Ditinjau dari segi geografis, lokasi kandang berada pada ketinggian 556 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata di lokasi adalah 17ºC - 30ºC dengan curah hujan rata-rata per tahun 5.458 mm dan kelembaban 60-70 persen. Jenis tanah di daerah ini adalah tanah latosol dan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan atau lereng gunung yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. 5.2. Peternakan Kambing Perah Unggul 5.2.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha Peternak responden skala II adalah pemilik Peternakan Kambing Perah Unggul. Peternakan ini dikelola oleh Bapak Wisnanto yang didirikan pada bulan Juli 2008. Awal mula Pak Wisnanto terjun dalam bisnis peternakan bertujuan untuk memanfaatkan lahan kosong yang dimilikinya, yang berada di Cimanggu. Berawal dari lahan yang dimiliki tidak produktif maka diberi ternak kambing kacang untuk dipelihara oleh tukang kebunnya. Pertama kali memelihara ternak jenis kambing kacang tersebut berjumlah 10 ekor hingga jumlah kambing yang dimiliknya berkembang menjadi 50 ekor. Karena kesulitan memasarkan kambing kacang yang dimiliknya, maka digantilah kambing kacang tadi dengan kambing PE. Kambing PE diperoleh langsung dari Jepara, yang merupakan salah satu sentra pembibitan kambing PE. Alasan kuat yang membuat pemilik peternakan ini 38
tertarik menekuni bisnis usaha ternak kambing PE dikarenakan termotivasi dari peternak yang telah menjalankan usaha ternak kambing PE lebih awal yaitu Pak Dwi Susanto, yang mengatakan bisnis susu kambing adalah bisnis yang sangat menguntungkan disebabkan oleh tingginya harga jual susu kambing dan juga masih tingginya permintaan konsumen yang belum terpenuhi. Alasan lain pemilik untuk serius menekuni usaha ternak kambing PE diakui karena sebagai alternatif sumber pendapatan jika beliau telah pensiun dari pekerjaannya sekarang sebagai pegawai negeri sipil. Investasi awal usaha ternak kambing perah berasal dari modal sendiri pemilik dan pinjaman dari bank. Tenaga kerja dalam pengelolaan ternak tersebut berjumlah dua orang dengan riwayat pendidikan tamatan SMU. Pekerja tersebut difasilitasi tempat tinggal yang berada di sekitar kandang. Tujuan pemilik menyediakan tempat tinggal yakni untuk memudahkan dalam pengawasan ternaknya dan mencegah kemungkinan terjadinya pencurian ternak. Perkembangan usaha cukup baik, ini ditandai dengan respon permintaan terhadap susu kambing yang selalu meningkat. Pemilik berencana untuk menguji susu hasil ternaknya pada laboratorium uji mutu susu karena banyak konsumen yang meminta hasil sertifikasi susunya. Jumlah ternak yang dimiliki saat ini berjumlah 61 ekor atau setara dengan 5,95 ST, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pola Kepemilikan Ternak Kambing Pada Skala II No. 1.
2.
3.
Status Fisiologis Anak Betina Jantan Muda Betina Jantan Dewasa Betina laktasi Betina kering Jantan Total
Ekor
ST
%
12 12
0,42 0,42
7,05 7,05
1 -
0,07 -
1,19 -
11 23 2 61
1,54 3,22 0,28 5,95
25,88 54,11 24,71 100
5.2.2. Usaha Ternak Kambing Perah Usaha ternak kambing perah yang dilakukan sudah merupakan usaha pokok dan telah bersifat komersial, artinya tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, tetapi diusahakan lebih untuk dipasarkan. Tenaga kerja 39
berasal dari tenaga kerja luar keluarga. Kegiatan yang biasa dilakukan dalam mengelola usaha ternak kambing perah adalah membersihkan kandang dan peralatan kandang, mengambil rumput/hijauan, mengambil ampas, memberi pakan dan minum serta pemerahan. Curahan waktu tenaga kerja dalam usaha ternak kambing perah setiap harinya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 6. Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala II No. Aktivitas 1. Membersihkan kandang+peralatan 2. Mengambil rumput/hijauan 3. Mengambil ampas 4. Memberi pakan+minum 5. Pemerahan Total HKP/tahun
Curahan Waktu 50,33 76,25 76,25 105,00 95,31 390,2
Sistem pemeliharaan ternak kambing perah dilakukan secara intensif. Kandang berbentuk panggung yang terdiri dari tiga kandang. Kandang dibagi berdasarkan fungsinya yaitu kandang produksi, kandang pembesaran atau penggemukan dan kandang tempat bunting. Kandang produksi adalah kandang yang disediakan khusus untuk dihuni oleh induk produktif dan kambing yang sedang kawin. Di kandang ini pula pemerahan dilakukan. Rata-rata luas tiap kandang 15 x 8 m dan tiap kandang dibuat beberapa sekat (kotak). Pada kandang produksi dibuat delapan kotak yang terdiri dari enam kotak untuk induk produktif dan dua kotak untuk tempat kambing yang dikawinkan. Kandang pembesaran berisi anak kambing (cempe) yang berumur kurang dari satu tahun. Pada kandang terdiri dari delapan kotak, tetapi dua kotak tidak terisi cempe. Di atas kandang ini dibuat tempat tidur bagi tenaga kerja. Dari enam kotak masing-masing dihuni oleh dua cempe. Di kandang tempat kambing bunting ukuran tiap kotak dua kali lebih luas dari kambing dewasa. Kandang terletak di depan rumah dan dibuat permanen dengan tiang kolong kandang terbuat dari semen cor. Lantai kolong kandang dibuat miring agar limbah kotoran kambing dapat langsung mengalir ke parit atau bak penampungan limbah yang sudah disediakan di sekitar kandang. Tujuan utama pembuatan lantai kolong yang miring agar tercipta kebersihan kandang. Kandang yang bersih 40
merupakan cara pencegahan serangan penyakit pada ternak. Ruang kandang dibuat dengan lorong (gang). Lorong dibuat di tengah dengan ruangan di samping kiri dan kanan, biasanya lorong ini dipakai sementara untuk ternak (terutama ternak sapihan dan proses pemerahan). Dengan model lorong ini, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh yaitu pintu keluar kandang cukup satu, keluar masuknya ternak lebih mudah diatur, dan membersihkan kandang lebih mudah. Lantai terbuat dari kayu agar memudahkan bagi ternak untuk berpijak. Jarak antar kayu atau potongan bambu tidak lebih besar daripada kaki kambing, dibuat rata, datar, tidak licin, tidak terlalu keras dan tajam. Hal ini bertujuan agar kotoran mudah jatuh ke kolong kandang, namun kaki ternak tidak masuk terjepit di selasela lantai atau kaki kambing terperosok yang bisa berakibat fatal bagi kelangsungan hidup kambing. Tempat pakan (palungan) terbuat dari kayu papan. Sama seperti kandang Bapak Rojak, tempat pakan diletakkan di luar kandang yang menempel di sisi kandang, sehingga ternak bisa mengambil pakannya, dan dibuat beberapa lubang di beberapa dinding kandang yang berukuran 20 x 30 cm (cukup untuk keluar masuk kepala dan leher kambing). Alasannya adalah memudahkan dalam memberikan pakan dan membersihkan sisa-sisa pakan yang tidak dikonsumsi, juga mengkondisikan sirkulasi udara. Tempat minum yang biasa digunakan adalah ember plastik yang disimpan di dalam kandang agar ternak mudah pada saat memerlukannya. Selain itu, dapat mempermudah peternak saat akan mengambil, membersihkan dan mengisi air kembali. Air yang diperuntukkan untuk air minum dan membersihkan kandang berasal dari sumber air yang berbeda. Sumber air untuk membersihkan kandang dan memandikan kandang berasal dari sungai. Air minum berasal dari sumber yang lebih bersih yaitu sumur pompa atau mata air. Air yang digunakan bukan air sumur murni melainkan air yang dicampur dengan garam, hal ini dilakukan agar nafsu makan kambing meningkat. Sumber air untuk menyiram hijauan pakan berasal dari air sumur dan air sungai. Sistem perkawinan tidak melakukan perkawinan dengan menerapkan Inseminasi Buatan (IB). Belum diketahuinya teknologi Inseminasi Buatan (IB) oleh peternak menyebabkan tidak teraturnya proses perkawinan pada ternak 41
kambing. Peternak menganggap dengan menggunakan teknologi IB akan menambah beban biaya dan juga untuk memanfaatkan kambing jantan yang berlebih. Meskipun begitu, ternak kambing yang dipelihara peternak tetap menghasilkan anak. Hal ini merupakan kelebihan dari jenis kambing PE dimana dalam keadaan fertilitas yang baik, kambing betina mampu menghasilkan anak kambing setiap tahun pada keadaan yang baik. Pakan yang diberikan lebih lengkap dibandingkan skala usaha lainnya, yang terdiri dari rumput, dedaunan, konsentrat dan ampas tempe. Sebagai sumber energi, ternak diberi rumput gajah dan rumput lapang sebanyak 4,5 kilogram per ekor per hari. Cara pemberiannya dengan cara disabitkan (cut and carry). Untuk sumber protein diperoleh dari dedaunan, konsentrat (campuran bungkil kelapa sawit, dedak, onggok, dan mineral) dan ampas tempe. Dedaunan yang diberikan sebanyak 0,5 kilogram, konsentrat 0,5 kilogram dan ampas tempe 3 kilogram per ekor per hari. Kadang-kadang peternak memberikan B compleks jika kekurangan vitamin. Rumput diperoleh dengan menanam sendiri di ladang sekitar kandang, sedangkan konsentrat, ampas tempe dan B compleks diperoleh dengan cara membeli. Frekuensi pemberian rumput dilakukan tiga kali yaitu pagi, siang dan sore pada pukul 06.00, 12.00 dan 17.00. Konsentrat dan ampas tempe diberikan dua kali sehari yaitu pukul 06.30, dan 17.30 WIB. Pemberian konsentrat pada pagi dan sore dilakukan setelah pemberian pakan rumput dan sebelum pemerahan yang berfungsi untuk menenangkan kambing ketika perah. Pemerahan dilakukan
setelah ternak diberikan pakan dan dibersihkan
kandang terlebih dahulu. Pemerahan dilakukan di dalam kandang ternak bersangkutan, tepatnya di lorong (gang). Bila pemerahan dipindahkan di tempat lain maka ternak akan stress karena harus selalu dipindahkan. Kambing yang akan diperah diberi pakan konsentrat lebih dahulu agar kambing tersebut dalam keadaan tenang dan setelah diberi pakan hijauan. Pemerahan dilakukan pada pukul 06.00 dan 18.00 setiap hari. Sebelum melakukan pemerahan harus diperhatikan beberapa hal yaitu : 1) Memeriksa kesehatan kambing Sebelum diperah, harus dipastikan dahulu bahwa keadaan kambing dalam keadaan sehat. Jika diketahui kambing menderita suatu sakit, maka harus 42
dipastikan bahwa penyakit tersebut tidak menular kepada manusia. Mencuci ambing kambing perlu dilakukan untuk mengurangi kontaminasi ke dalam susu, sehingga susu yang dihasilkan bersih dan tidak rusak dan untuk merangsang pengeluaran susu. Ambing dicuci dengan air bersih yang hangat (50ºC) dengan menggunakan kain bersih, kemudian ambing tersebut dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih. 2) Memeriksa kesehatan pemerah Pada saat memerah otomatis terjadi kontak langsung dengan kambing dan susu yang dihasilkannya, sehingga kondisi pemerah perlu dikontrol. Pemerah yang menderita penyakit menular akan berpotensi menularkannya melalui susu hasil pemerahan. Pemerah selalu bersih baik pakaian maupun tubuhnya. Tangan harus dicuci bersih dengan menggunakan sabun, dan tangan pemerah harus dicuci kembali apabila tangannya kotor sebelum memerah kambing berikutnya. 3) Menjaga kebersihan kandang dan peralatan pemerahan Alat-alat susu (ember susu) harus bersih. Alat-alat susu tersebut sebelum disimpan dibersihkan sebaiknya dengan air hangat dan dengan sabun (deterjen) serta dengan sikat untuk menghilangkan bekas-bekas susu yang menempel kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Pemerahan kambing biasa dilakukan dengan cara whole hand. Pemerahan ini dilakukan dengan menggunakan seluruh jari tangan, kecuali ibu jari, dan bisa dilakukan jika bentuk puting kambing panjang. Caranya adalah dengan menggerakkan jari-jari tangan membentuk kepalan secara berurutan dari atas ke bawah dan susu hasil perahan ditampung dalam ember yang bersih. Cara penanganan susu sesudah pemerahan adalah sebagai berikut : 1) Susu hasil pemerahan harus segera dikeluarkan dari kandang untuk menjaga jangan sampai susu tersebut berbau kambing. Keadaan ini penting terutama jika keadaan ventilasi kandang tidak baik. 2) Susu tersebut harus disaring dengan saringan yang terbuat dari kapas atau kain penyaring yang berwarna dan bersih, susu tersebut disaring langsung dalam ember penampung susu. Segera setelah penyaringan, ember tersebut harus
43
segera ditutup rapat. Kain penyaring harus dibersih dan digodok, kemudian dijemur. 3) Susu perlu didinginkan secepat mungkin sesudah perah dan disaring. Hal ini dilakukan untuk mencegah berkembangnya kuman yang terdapat di dalam susu. Susu disimpan dalam freezer dengan daya simpan hingga tiga bulan. Beberapa penyakit yang sering menyerang kambing perah adalah mencret dan kembung perut. Pengobatan yang dilakukan peternak adalah dengan memberikan minuman bersoda (sprite), obat kembung untuk manusia juga bisa diberikan kepada kambing yang sakit (obat antangin, promag, milanta) dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Kemungkinan penyebab kedua penyakit ini sering menyerang ternak adalah karena memberikan hijauan yang masih terlalu muda atau hijauan yang basah oleh embun. Penyebab lainnya adalah waktu penelitian dilakukan pada saat musim hujan yang memungkinkan ternak lebih mudah terserang penyakit diare/mencret karena lingkungan atau udara dingin. Upaya pemeliharaan kesehatan ternak dilakukan sendiri oleh pemilik. Istri pemilik sudah berpengalaman dan mempunyai pengetahuan di bidang tersebut. Istri pemilik adalah salah satu dosen Fakultas Kedokteran Hewan di IPB dan memiliki klinik hewan yang berlokasi tidak jauh dari tempat tinggalnya. Peternak skala II juga telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk dalam usahataninya. Pupuk kandang hasil dari kotoran ternak bagi peternak digunakan sendiri untuk lahan rumput yang ditanam sendiri. Peternak membersihkan dengan sapu lidi dan menyiram air dari penampungan air kemudian mengarahkan ke tempat penampungan kotoran yang berada di sisi kandang. Peternakan pada skala II belum mencatat mengenai keadaan ternaknya seperti produksi, kesehatan dan reproduksi. Recording yang dilakukan adalah data penjualan, data pembelian dan transaksi keuangan. 5.2.3. Lokasi dan Keadaan Wilayah Lokasi usaha peternakan kambing perah Unggul terbagi dua. Untuk kantor pemasaran terletak di Jl Anggrek No 13, Perumahan Taman Cimanggu, Kota Bogor. Sedangkan kandang terletak di Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Lokasi kandang berada jauh dari jalan raya, hal ini baik untuk ketenangan kambing perah. Secara topografi, bentuk dan kontur wilayah, lokasi 44
kandang merupakan dataran yang agak berombak sekitar 45 persen. Ketinggiannya berada di antara 300 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 20-30°C. Hari hujan rata-rata per tahun sekitar 22 hari dan banyaknya curah hujan sekitar 278 mm. Jenis tanah yang ada di lokasi ini adalah latosol.
5.2.4. Deskripsi dan Penjualan Produk Produk utama yang dihasilkan adalah susu kambing murni dengan dikemas dalam ukuran 200 ml, sehingga dalam satu liter dihasilkan 5 kemasan produk susu. Proses pengolahan hasil susu perahan tidak melakukan pasteurisasi. Kemasan terbuat dari bahan HDPE karena bahan ini lebih aman dan tidak mencemari susu. Di dalam kemasan terdapat informasi mengenai khasiat susu kambing dan tanggal kadaluarsa. Kemasan lebih menarik karena penampilan gambar dan tulisan yang jelas. Umumnya produk yang dijual dalam kondisi beku. Kelebihan susu dalam bentuk beku dibandingkan cair adalah daya tahan simpan yang relatif lebih lama dan mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi mikroba atau benda lain. Daya simpan susu beku selama enam bulan. Namun, jika dalam keadaan cair hanya tahan selama enam jam. Pemasaran dilakukan dua sistem yaitu pemasaran langsung dan melalui agen perantara. Pemasaran langsung dilakukan dengan menawarkan produk susunya ke rekan-rekan kerjanya yang berkantor di salah satu institusi pemerintahan di Bekasi. Pemasaran lainnya adalah melalui agen, apotik dan tokotoko herbal di sekitar Jakarta dan Bogor. Target pasar susu kambing diperuntukkan bagi konsumen menengah ke atas dan orang-orang mengkonsumsi untuk penyembuhan. Umumnya orang yang mencoba susu kambing untuk penyembuhan merupakan orang-orang yang telah berobat ke dokter dan mencari pengobatan alternatif. 5.3. Peternakan Kambing Perah Prima Fit 5.3.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha Peternak responden skala III dalam penelitian ini adalah pemilik Peternakan Kambing Perah Prima Fit yang berlokasi tidak jauh dari lokasi kandang peternakan skala II. Usaha ternak kambing perah ini dirintis oleh Dwi 45
Susanto yang menekuni bisnis ini sejak Tahun 2002. Usaha peternakan ini telah bersifat komersial, artinya salah satu tujuan peternak dalam mengelola usaha ternaknya adalah untuk memperoleh keuntungan. Luas lahan yang dimiliki adalah 18.000 m2 yang dibeli secara bertahap dari masyarakat sekitar kandang. Lahan tersebut digunakan untuk mendirikan bangunan kandang, lahan rumput, dan sarana tempat tinggal bagi karyawan Prima Fit. Pemilik usaha tertarik untuk menekuni usaha ternak kambing perah atas saran dari rekannya ketika melangsungkan ibadah haji. Selain itu, hal lain yang mendorong ketertarikan pada usaha ternak tersebut adalah kebebasan waktu kerja, dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan kerja sebagai karyawan, dan dapat berinteraksi dengan masyarakat. Sebelum menjadi produsen susu, pemilik usaha terlebih dahulu mempelajari peluang pasar susu kambing. Usaha yang dilakukan yaitu dengan menjual produk-produk susu kambing yang berasal dari peternakan lain. Dengan semakin baiknya respon konsumen, Pak Dwi merasa kesulitan untuk memenuhi permintaan susu kambing. Maka langkah selanjutnya peternak tersebut mulai merintis usaha ternak kambing perah. Alasan memproduksi susu sendiri adalah untuk menjaga kualitas dan kuantitas produk agar konsumen tetap loyal dan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pada mulanya ternak yang dipelihara sebanyak 60 ekor, kini populasi ternak sudah menjadi menjadi 161 ekor dikonversikan menjadi 17,36 ST, seperti tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah Pada Skala III No. 1.
2.
3.
Status Fisiologis Anak Betina Jantan Muda Betina Jantan Dewasa Betina laktasi Betina kering Jantan Total
Ekor
ST
%
7 23
0,245 0,805
1,42 4,64
16 13
1,12 0,91
6,45 5,24
30 61 11 161
4,2 8,54 1,54 17,36
24,19 49,19 8,87 100
Perkembangan usaha ternak kambing perah dialami terjadi fluktuasi, bahkan sempat terjadi peningkatan jumlah pemilikan ternak hingga mencapai 250 46
ekor. Namun kebangkrutan yang terjadi pada usaha lain yang dikelola, maka beberapa kambing perahnya dijual untuk menutupi kerugian dari usaha lain tadi. Perkembangan usaha ternak dua tahun terakhir berjalan baik. Hal ini dikarenakan semakin banyak konsumen yang mengetahui khasiat susu kambing sebagai obat alternatif yang alami. Tingginya permintaan tidak mampu dipenuhi oleh peternak, sehingga Bapak Dwi berencana untuk meningkatkan kapasitasnya produksinya dengan menambah satu unit kandang yang mampu menampung 100 ekor kambing. 5.3.2
Usaha Ternak Kambing Perah Sistem pemeliharaan sama seperti skala usaha yang lain yaitu secara
intensif dan dengan model kandang berbentuk panggung. Skala III mempunyai dua kandang yang terdiri dari kandang penggemukkan atau pejantan dan kandang produksi. Rata-rata luas tiap kandang 12,5 x 10 m. Di dalam kandang penggemukan atau pejantan terdapat beberapa pejantan dari jenis kambing perah selain PE seperti Broer, Toggenburg, Saanen, dan lain-lain. Tujuan memelihara kambing impor tersebut adalah untuk mempercepat peningkatan produksi susu kambing PE adalah melalui kawin silang (cross-breeding) antara kambing lokal yaitu kambing PE dengan kambing perah impor. Untuk menenangkan ternak kambing, di dalam kandang dipasang radio yang mengeluarkan suara musik. Peternak menganggap jika ternak dalam keadaan saat santai (rileks) maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya produksi susu. Kandang pada peternakan skala II dan III hampir sama. Kandang terletak di depan rumah dan dibuat permanen dengan tiang kolong kandang terbuat dari semen cor. Lantai kolong kandang dibuat miring agar limbah kotoran kambing dapat langsung mengalir ke parit atau bak penampungan limbah yang sudah disediakan di sekitar kandang. Namun, kolong kandang pada peternakan skala III lebih rendah dengan tinggi tiang kolong yaitu 0,9 m. Kondisi seperti ini menyulitkan tenaga kerja untuk membersihkan dan mengumpulkan kotoran serta air kencing. Ruang kandang dibuat dengan lorong (gang). Lorong dibuat di tengah dengan ruangan di samping kiri dan kanan, biasanya lorong ini dipakai sementara untuk ternak (terutama ternak sapihan dan proses pemerahan). Berdasarkan hasil pengamatan langsung, lantai kandang untuk penggemukkan pada peternakan skala 47
III dibuat lebih rapat. Padahal dalam satu kandang tersebut berisi anak cempe dan pejantan. Penyatuan cempe dan pejantan dalam satu kandang dirasa tidak tepat karena kotoran ternak terinjak-injak oleh pejantan yang tubuhnya lebih besar dari cempe. Ini mengakibatkan kandang tersebut lebih kotor dibandingkan kandang lainnya baik pada peternakan itu sendiri juga jika dibandingkan dengan kandang pada peternak responden lainnya. Sistem perkawinan juga dilakukan secara alami. Para peternak bisa mengawinkan ternaknya tiap tahun, sehingga tiap tahun diperoleh tambahan anak cempe. Namun, kadang-kadang masih terjadi kegagalan kelahiran. Hal ini diduga karena penanganan yang kurang serius dari peternaknya. Oleh karena itu, perawatan ternak bunting sangat perlu diperhatikan agar ternak tersebut tetap sehat sebelum dan setelah melahirkan dengan memperoleh anak-anak yang sehat pula. Peternak memberikan pakan rumput raja (king grass) sebagai sumber energi. Sumber rumput tersebut berasal kebun/ladang peternak. Sedangkan untuk sumber protein berasal dari dedaunan dan ampas tempe. Terkadang diberi molases (tetes tebu), pemberian molases diperbanyak pada kambing yang sedang masa laktasi. Rumput yang diberikan sebanyak lima kilogram per hari, dedaunan 0,5 kilogram per ekor per hari dan ampas tempe 3,5 kilogram. Pola frekuensi pemberian pakan yang dilakukan oleh tenaga kerja pada peternakan skala II adalah sama dengan peternak skala III yaitu lima kali sehari. Untuk memenuhi kebutuhan mineral dan perangsang nafsu makan maka semua peternak responden memberikan garam dapur dan campuran mineral yang banyak dijual di pasaran. Cara pemberiannya adalah dengan masukan garam secukupnya dan air sedikit ke tabung bambu. Kemudian gantung bambu bergaram tersebut pada tempat yang mudah dijangkau ternak. Ada juga peternak yang memberikan obat tradisional dengan air rebusan tempe dan tetes tebu, atau juga diberikan obat nafsu makan yaitu bioalamin. Penyakit yang menyerang ternak di peternakan kambing skala III pada saat penelitian adalah Ecthyma Contagiosa dan kembung perut. Obat kembung untuk manusia bisa diberikan kepada kambing yang sakit (obat antangin, promag, milanta). Pengobatan tradisional dengan cara bambu dijarang di atas api kemudian 48
diletakkan di perut kambing. Upaya pemeliharaan dilakukan sendiri dan dibantu oleh mantri hewan yang rutin tiap bulan memantau kondisi kesehatan ternak. Peternak ini juga sudah memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk dalam usahataninya. Pupuk kandang hasil dari kotoran ternak bagi peternak digunakan sendiri untuk lahan rumput yang ditanam sendiri yang berada tidak jauh dari kandang. Sedangkan cara membersihkan kotoran adalah dengan sapu lidi dan menyemprot dengan selang air, kemudian disalurkan ke lahan rumput. Pemerahan dilakukan di lorong kandang (gang) ternak bersangkutan, sama halnya dengan skala II. Alasannya adalah untuk menghindari dari pejantan karena susu sangat mudah menyerap bau pejantan, sehingga akan berakibat susu menjadi berbau prengus. Selain itu, bila pemerahan dipindahkan di tempat lain maka ternak akan stress karena harus selalu dipindahkan. Pemerahan dilakukan pada pukul 08.00 dan 18.00 setiap hari. Pemerahan dilakukan setelah ternak diberikan pakan dan dibersihkan kandang terlebih dahulu. Susu yang merupakan hasil pemerahan sangat dipengaruhi oleh kesehatan ternak, pakan, kondisi prsikologis ternak dan pengarh lingkungan (kandang dan suara), serta kondisi pemerah. Hal-hal yang sebaiknya diperhatikan sebelum melakukan pemerahan tidak diuraikan disini, karena telah dijelaskan pada skala II. Pemerahan akan berhasil bila metode pemerahan yang digunakan sesuai dan benar. Metode pemerahan yang digunakan sama dengan skala II yaitu whole hand. Kesalahan melakukan pemerahan susu akan sangat berisiko yaitu ternak dapat terserang penyakit (infeksi ambing). Bila terjadi, hal ini tentu akan sangat merugikan. Selain susu tidak diperbolehkan dipasarkan karena tidak layak konsumsi, biaya pengobatan ternak tersebut cukup mahal. Akan lebih fatal lagi kalau salah melakukan penanganan terhadap penyakit tersebut sehingga berdampak kronis. Induk tersebut menjadi tidak layak untuk dipelihara sebagai ternak perah meskipun masih berada dalam masa produktif. Sebelum dipasarkan, susu yang sudah dihasilkan tersebut harus diproses atau ditangani terlebih dahulu. Penanganan yang benar sangat penting agar pemasaran dapat berhasil dilaksanakan dan diperoleh keuntungan. Untuk itu, susu yang baru saja diperah segera disaring sebelum masuk ke wadah khusus susu agar bersih dan meminimalkan terjadinya kontaminasi eksternal, yaitu kotoran seperti 49
bulu, debu, dan pasir. Penyaringan ini dilakukan dengan saringan berupa kain belacu. Setelah disaring, susu langsung ditakar dan dimasukkan ke dalam plastic atau dikemas. Ukuran kemasan plastik 200 ml dengan menggunakan jenis plastik HDPE, bukan jenis PVC. Pemilihan jenis HDPE ini dimasukkan agar konsumen benar-benar aman dan terhindar dari kontaminasi. Sesaat setelah dikemas, susu segera dimasukkan ke dalam freezer, agar beku sehingga susu dapat tahan lama dan tida mudah rusak. Pencatatan mulai dilakukan pada awal bulan April 2009. Peternak mulai menyadari akan pentingnya recording di setiap aspek usaha ternaknya. Pencacatan yang lengkap perlu dilakukan. Pencacatan berfungsi untuk melihat keadaan ternak kambing dilihat dari produksi, kesehatan, reproduksi dan yang berhubungan dengan manajemen usaha peternakan seperti data penjualan (susu, ternak kambing), data pembelian dan transaksi keuangan. Hal ini penting sebagai sumber informasi usaha dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengambilan keputusan usaha ternak. Struktur organisasi Prima Fit menerapkan sistem yang sederhana, dimana pemilik langsung menangani para pekerja. Jumlah tenaga kerja yang digunakan sebanyak lima orang. Walau menerapkan struktur organisasi yang sederhana, usaha tersebut berjalan dengan lancar. Tenaga kerja yang digunakan merupakan lulusan SMU dimana usia para pekerja 30 tahun ke atas. Dengan adanya pembagian masing-masing tanggung jawab memudahkan pemilik mengontrol para pekerjanya. Curahan waktu tenaga kerja dalam mengelola ternak kambing perah dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala III (HKP/tahun) No. Aktivitas 1. Membersihkan kandang+peralatan 2. Mengambil rumput/hijauan 3. Mengambil ampas 4. Memberi pakan+minum 5. Pemerahan Total HKP/tahun
5.3.3
Curahan Waktu 76,25 114,38 88,90 142,96 99,13 527,62
Lokasi dan Keadaan Wilayah 50
Lokasi peternakan skala II dan skala III cukup berdekatan dengan jarak antara peternakan skala II dan skala III adalah 0,5 km. Kedua peternakan terletak di Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea merupakan wilayah yang cukup penting bagi Kabupaten Bogor, dikarenakan termasuk daerah sentra produksi susu kambing yang berkontribusi besar bagi pemenuhan kebutuhan susu kambing di Indonesia. Pada Lampiran 4, terlihat bahwa Kecamatan Ciampea merupakan sentra produksi susu kambing yang memiliki populasi terbesar ketiga di Kabupaten Bogor, dengan populasi ternak berjumlah 282 ekor. Secara topografi, bentuk dan kontur wilayah, lokasi kandang merupakan dataran yang agak berombak sekitar 45 persen. Ketinggiannya berada di antara 300 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 20-30°C. Hari hujan rata-rata per tahun sekitar 22 hari dan banyaknya curah hujan sekitar 278 mm. Jenis tanah yang ada di lokasi ini adalah latosol. 5.3.4 Deskripsi dan Penjualan Produk Produk yang dihasilkan di peternakan ini adalah susu kambing murni dan colostrum. Proses pengolahan sama dengan yang dilakukan oleh peternak skala II. Kemasan terbuat dari bahan HDPE karena bahan ini lebih aman dan tidak mencemari susu dengan ukuran 200 ml. Di dalam kemasan terdapat informasi mengenai khasiat susu kambing dan cara meminum susu kambing. Produk yang dipasarkan dalam keadaan beku agar lebih lama daya simpannya dan mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi mikroba atau benda lain. Daya simpan susu beku selama enam bulan. Namun, jika dalam keadaan cair hanya tahan selama enam jam. Sistem pemasaran sudah baik sehingga area pemasarannya sudah jauh lebih luas yaitu Jakarta bahkan sampai ke luar negeri. Pemasaran dilakukan dengan dua cara yaitu pemasaran langsung dan melalui agen perantara. Harga susu yang dijual terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 peternakan ini menjual dengan harga Rp 50.000 per liter. Kemudian pada tahun 2008 hingga sekarang Rp 100.000/liter di kandang langsung, namun jika membeli di gerainya yang berada di Jakarta bisa mencapai Rp 200.000/liter. Harga ini merupakan harga susu kambing tertinggi di Jabotabek. Harga susu kambing yang lebih mahal 51
membuat hanya kalangan tertentu yang mampu membelinya dengan tujuan mengkonsumsi secara rutin. Sehingga target pasar terdiri dari para eksekutif yang peduli akan kesehatan dan bergaya back to nature. Peternakan ini juga menggunakan jasa pengiriman dan konsultasi kesehatan sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada konsumen. Di samping itu, Peternakan Prima Fit juga menerima pelatihan atau magang bagi calon petani ternak yang ingin mengembangkan ternak kambing PE. Pemasaran produk susu dilakukan secara langsung ke konsumen dan melalui agen perantara. Pemesan lebih dari 10 liter harus menunggu (indent) selama tiga hari karena jumlah produksi yang terbatas. Untuk memenuhi permintaan belum terpenuhi, saat ini sedang dibangun satu unit kandang yang mampu menampung 100 ekor kambing perah.
52
VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH
Analisis terhadap usaha ternak kambing perah di Kabupaten Bogor, dilakukan untuk mengetahui skala usaha yang efisien berdasarkan struktur biaya pada ketiga skala usaha yang berbeda. Berdasarkan struktur biaya, informasi skala usaha yang paling efisien dapat dilihat dari biaya per unit yang paling rendah. Sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya, skala usaha yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan jumlah pemilikan ternak yang dikonversikan ke dalam Satuan Ternak (ST). Berdasarkan analisis struktur biaya pada usaha ternak kambing perah tersebut, dapat diketahui struktur dan besaran biaya produksi, serta nilai titik impas. Nilai besaran biaya dan nilai titik impas dapat menjadi acuan mengenai tingkat skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien berdasarkan tingkat biaya dan harga yang berlaku. 6.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah Biaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keuntungan dari suatu usaha. Analisis struktur biaya dalam penelitian ini dibedakan dua macam biaya. Pertama, struktur biaya berdasarkan perilaku biaya yakni biaya tetap dan variabel. Kedua, struktur biaya berdasarkan sifatnya yaitu biaya tunai dan non tunai. Komponen-komponen biaya tersebut selanjutnya diuraikan secara terpisah. Struktur biaya usaha ternak kambing perah dilihat menurut biaya yang dikeluarkan per satuan ternak (ST) per bulan dan biaya per liter susu per bulan. Perhitungan biaya dalam penelitian ini adalah biaya rata-rata per bulan selama penelitian yaitu kurun waktu bulan Februari dan Maret. 6.1.1. Biaya Tetap dan Biaya Variabel 53
Biaya tetap dan biaya variabel tetap perlu diketahui karena dapat memberikan gambaran terhadap alokasi biaya dan dapat membantu kontrol biaya yang akan dikeluarkan. Apabila diketahui terjadi pemborosan pada penggunaan salah satu atau beberapa komponen biaya variabel, maka perlu dilakukan pengurangan penggunaan komponen tersebut atau bahkan komponen tersebut tidak dipergunakan lagi. Begitu juga halnya pada biaya tetap, apabila komponen tersebut bisa dihilangkan atau dikurangi. Biaya tetap yang dikeluarkan terdiri dari biaya listrik, penyusutan kandang, penyusutan peralatan dan penyusutan ternak. Jumlah biaya tetap yang dikeluarkan tidak tergantung pada besar kecilnya volume produksi susu yang diperoleh. Peternak harus tetap membayarnya berapa pun jumlah produksi susu yang dihasilkan usahanya. Biaya tetap tersebut pada kenyataannya tidak semua dibayarkan secara tunai, tetapi tetap diperhitungkan seperti perhitungan biaya penyusutan. Penyusutan ternak diperoleh dari pengurangan harga rata-rata kambing waktu pertama kali laktasi dengan harga kambing tua yang tidak produktif lagi kemudian dibagi dengan masa produktif kambing perah selama lima tahun. Perhitungan biaya ini dilakukan atas pertimbangan bahwa produktivitas kambing yang cenderung menurun setelah melewati masa produktivitasnya seiring dengan pertambahan umur ternak tersebut. Penyusutan ternak yang dihitung adalah hanya untuk induk yang sudah berumur lebih dari lima tahun. Nilai kambing perah sampai beranak pertama kali (laktasi 1) sebesar Rp 3.000.000. Nilai kambing tua yang tidak produktif lagi sebesar Rp 1.500.000. Umur ekonomis atau masa produktif kambing perah selama lima tahun. Jumlah kambing perah yang dihitung dalam biaya penyusutan untuk skala I, skala II dan skala III masing-masing adalah satu ekor, delapan ekor dan 28 ekor kambing. Perhitungan penyusutan kandang dilakukan dengan metode garis lurus (straight line method). Kandang skala I berjumlah satu unit. Nilai kandang pada skala I sebesar Rp 500.000 dengan umur ekonomis empat tahun. Skala II memiliki tiga unit kandang dengan nilai kandang sebesar Rp 12.000.000 dan umur
54
ekonomis 15 tahun. Sedangkan skala III sebesar Rp 30.000.000 yang berjumlah dua unit kandang dengan umur ekonomis 10 tahun. Penyusutan peralatan juga dihitung dengan metode garis lurus (straight line method). Peralatan merupakan input produksi yang digunakan sebagai alat bantu usaha yang masa pakainya lebih dari satu tahun. Jenis dan biaya penyusutan peralatan terlihat pada Lampiran 5. Sedangkan hasil perhitungan biaya tetap usaha ternak kambing perah di tiga skala pengusahaan tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Komponen Biaya Tetap Usaha Ternak Kambing Perah Di Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan Skala I (skala kecil) Rp/ Rp/ST % peternak
Uraian Listrik Penyusutan ternak Penyusutan kandang Penyusutan peralatan Total biaya tetap Biaya tetap per liter susu
Skala II (skala sedang) Rp/ Rp/ST % peternak
Skala III (skala besar) Rp/ Rp/ST % peternak
10.000
18.868
1.73
150.000
25.210
2,76
1.200.000
69.124
9,19
25.000
54.945
5,05
200.000
33.613
3,68
700.000
40.323
5,36
7.500
14.151
1,30
200.001
33.614
3,68
400.000
23.041
3,06
1.575
2.972
0,27
124.800
20.975
2,30
220.821
12.720
1,69
44.075
90.936
8,35
674.801
113.412 12,40
2.520.821
145.209
19,31
2.041
3.198
3.375
Berdasarkan Tabel 8, biaya listrik per Satuan Ternak (ST) per bulan untuk masing-masing skala: skala I adalah Rp 18.868, skala II Rp 25.210 dan skala III Rp 69.124. Dari data tersebut memperlihatkan bahwa biaya listrik yang efisien yaitu dilihat dari biaya listrik per ST paling rendah terjadi pada skala I. Ini dikarenakan dalam usaha ternaknya peternak hanya menggunakan satu lampu sebagai penerangan yang diletakkan di samping kandang saja. Selain itu, faktor yang menyebabkan skala I lebih sedikit mengeluarkan biaya untuk listrik adalah kebutuhan air dengan ditimba dari sumur tanpa tenaga listrik. Hal serupa juga dilakukan oleh peternakan skala II, lampu penerangan hanya di letakkan di sekitar kandang dan pengambilan air untuk kegiatan membersihkan kandang dan air minum ternak tanpa menggunakan tenaga listrik. Berbeda halnya dengan skala III, pemborosan biaya listrik disebabkan karena penggunaan lampu yang lebih banyak. Lampu di letakkan di sekitar kandang dan areal lahan rumput agar memudahkan dalam pengontrolan ternak di malam hari. Penggunaan air yang berasal dari mata air juga menggunakan tenaga listrik yang dibantu dengan alat jet 55
pam. Dilihat dari persentase biaya listrik terhadap biaya total menunjukan kecenderungan dengan meningkatnya skala maka proporsi untuk biaya listrik juga semakin besar. Persentase biaya listrik untuk skala I adalah 11,22 persen, skala II adalah 11,85 persen dan skala III adalah 17,80 persen. Biaya penyusutan kandang yang diperhitungkan per ST per bulan di masing-masing skala adalah Rp 14.151 untuk skala I, Rp 33.614 untuk skala II dan Rp 23.041 untuk skala III. Dari data tersebut memperlihatkan bahwa biaya penyusutan kandang terendah yakni pada skala I. Rendahnya biaya penyusutan kandang yang dikeluarkan oleh skala I disebabkan biaya pembuatan kandang yang lebih rendah. Kandang dibangun dengan desain dan konstruksi cukup sederhana dengan menggunakan bahan yang tidak terlalu mahal yakni atap terbuat dari plastik terpal dan kerangka dari bambu dan kayu bekas. Tingginya biaya penyusutan kandang pada skala II dikarenakan biaya pembuatan kandang yang relatif mahal dengan daya tamping 100 ekor kambing perah. Namun jumlah ternak yang ada sekarang hanya 61 ekor, sehingga masih bisa ditambah sekitar 40 ekor kambing.
Investasi kandang yang mahal dan sedikitnya kambing yang
dipelihara berakibat pada biaya per ST menjadi lebih tinggi. Kandang dibuat permanen dengan berukuran luas dan menggunakan kayu dan bambu yang berkualitas baik. Persentase biaya penyusutan kandang terhadap biaya produksi untuk skala kecil (1,30%), skala sedang (3,68%) dan skala besar (3,06%). Biaya penyusutan ternak per ST per bulan untuk skala kecil adalah Rp 54.945, skala sedang Rp 33.613, dan untuk skala besar Rp 40.323. Terlihat bahwa biaya penyusutan ternak yang terendah terjadi pada skala II dan diikuti oleh skala III dan skala I. Rendahnya biaya penyusutan ternak pada skala II dikarenakan persentase jumlah ternak yang berumur lebih dari lima tahun (afkir) terhadap total jumlah ternak yang dimiliki lebih sedikit. Berbeda halnya dengan skala I, walaupun ternak yang afkir hanya satu ekor tetapi jika dibandingkan dengan jumlah total ternak yang dipelihara akan menyebabkan biaya per ST menjadi lebih tinggi. Persentase biaya penyusutan ternak untuk skala I, II, dan III adalah 5,05 persen, 3,68 persen dan 5,36 persen. Biaya penyusutan peralatan per ST per bulan untuk skala kecil adalah Rp 2.972, untuk skala sedang Rp 20.975 dan untuk skala besar adalah Rp 12.720. 56
Dari data tersebut memperlihatkan bahwa biaya penyusutan peralatan yang paling rendah dialami pada skala I. Ini dikarenakan dalam pemeliharaan ternak kambing perahnya memerlukan jumlah dan jenis peralatan yang lebih sedikit. Skala II merupakan peternakan yang baru berjalan sehingga pada awal usaha, lebih besar biaya yang dikeluarkan untuk biaya investasi peralatan. Akibatnya, biaya penyusutan peralatan per ST pada skala II lebih tinggi dibandingkan dengan skala I dan skala III. Persentase biaya penyusutan peralatan untuk masing-masing skala adalah 0,25 persen, 2,38 persen, dan 1,73 persen terhadap biaya total produksi. Komponen biaya tetap tertinggi bervariasi pada masing-masing skala. Komponen biaya tetap tertinggi untuk skala I adalah penyusutan ternak, skala II adalah penyusutan kandang atau penyusutan ternak, dan skala III adalah biaya listrik. Jika biaya non tunai yakni penyusutan tetap diperhitungkan menunjukkan bahwa biaya tetap per liter susu untuk masing-masing skala usaha adalah Rp 2.041, Rp 3.198, dan Rp 3.375. Pada skala II dan III memperlihatkan biaya yang tidak berbeda jauh. Ini dikarenakan skala II merupakan peternakan yang baru berdiri, sehingga biaya yang yang dikeluarkan untuk investasi awal akan lebih besar. Dari uraian tersebut memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha akan meningkatkan biaya tetap per ST dan biaya tetap per liter susu. Biaya variabel yang dikeluarkan terdiri dari biaya pakan, obat-obatan, perlengkapan, tenaga kerja dan susu sapi pengganti. Jumlah biaya variabel yang dikeluarkan sangat tergantung pada besar kecilnya volume produksi susu yang diperoleh. Perhitungan biaya variabel terdiri dari biaya variabel tunai dan biaya variabel yang diperhitungkan (non tunai). Biaya variabel tunai terdiri dari biaya ampas tempe, konsentrat, obat-obatan, perlengkapan, tenaga kerja luar keluarga, dan susu sapi pengganti. Sedangkan biaya variabel non tunai dalam penelitian ini dilakukan untuk memperhitungkan biaya rumput, biaya tenaga kerja dalam keluarga dan susu sapi pengganti untuk peternak skala kecil. Biaya pakan terdiri dari biaya rumput, konsentrat, dan ampas tempe. Untuk skala I, jenis pakan yang diberikan hanya hijauan berupa rumput lapang dan dedaunan. Jumlah pemberian hijauan tergantung pada status fisiologis 57
ternaknya, Semakin tua umur ternak maka pemberian hijauannya semakin diperbanyak. Untuk kambing dewasa diberikan hijauan sebanyak lima kg per ekor per hari, kambing muda sebanyak 2,5 kg per ekor per hari dan anak lepas sapih sebanyak 0,5 kg per ekor per hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Perhitungan biaya rumput ini merupakan biaya pakan tidak tunai karena peternak mengambil sendiri rumput tersebut sehingga tidak mengeluarkan biaya secara langsung, namun tetap diperhitungkan. Biaya rumput dihitung dengan pendekatan upah tenaga kerja yang dicurahkan untuk mengambil rumput. Pada bab sebelumnya telah diketahui bahwa curahan waktu untuk mengambil rumput adalah 114,37 HKP. Upah tenaga kerja yang dipakai adalah upah yang berlaku di sekitar tempat tinggal yaitu Rp 20.000 untuk 1 HKP (hari kerja pria). Pemberian pakan pada skala II terdiri dari rumput unggul jenis rumput gajah, konsentrat dan ampas tempe. Untuk perhitungan biaya rumput sudah termasuk ke dalam biaya tenaga kerja. Jumlah pemberian rumput tergantung pada status fisiologis ternaknya. Untuk kambing dewasa, muda dan anak masingmasing diberikan hijauan sebanyak lima kg, 2,5 kg dan satu kg per ekor per hari. Konsentrat yang diberikan terdiri dari beberapa bahan pakan penguat seperti bungkil kelapa sawit, onggok dan dedak. Jumlah yang diberikan masing-masing bahan penguat dalam satu bulan adalah 50 kg, 80 kg dan 25 kg. Harga beli bahan penguat tersebut ialah Rp 2.500, Rp 1.000 dan Rp 1.500 per kg. Rataan pemberian ampas tempe sebanyak 1,5 kg /ekor/hari. Harga ampas tempe yang dibeli lebih mahal dan dengan jumlah yang tidak tentu karena persediaan ampas tempe yang terbatas. Harga ampas tempe yang lebih mahal dikarenakan dalam membeli tidak dalam jumlah yang besar, sehingga berakibat harga beli yang lebih mahal. Selain itu, ampas tempe dibeli di beberapa tempat, sehingga mengakibatkan biaya transportasi lebih tinggi. Peternak biasanya membeli 10 drum untuk empat hari dengan rataan harga Rp 25.000/drum. Pemilik mengatakan saat ini banyak peternak sapi perah yang telah mengetahui kadar protein ampas tempe yang lebih tinggi dari ampas tahu dan membuat rasa susu lebih gurih, sehingga banyak peternak sapi perah yang beralih ke ampas tempe untuk diberikan kepada ternak 58
sapi perahnya. Hal ini berakibat peternak kambing perah semakin sulit untuk mendapatkan ampas tempe. Bagi peternak kambing perah yang berorientasi untuk menjual susu kambing, sangat tergantung pada ampas tempe untuk memperoleh susu kambing dengan kualitas baik dan rasa yang enak. Ampas tempe diyakini memiliki kadar protein yang sangat tinggi, namun kekurangannya ampas tempe harus segera dihabiskan, jika tidak akan menimbulkan jamur tumbuh di tempat pakan palungan. Pakan yang diberikan kepada ternak kambing adalah rumput unggul jenis rumput raja (king grass), ampas tempe dan molasses (tetes tebu). Perhitungan biaya rumput sudah termasuk ke dalam biaya tenaga kerja. Jumlah pemberian pakan rumput sama dengan skala I dan skala II yaitu tergantung pada status fisiologis ternaknya. Dalam satu bulan, di peternakan ini menghabiskan 300 drum besar ampas tempe dengan harga Rp 10.000 per drum. Peternak telah melakukan kontrak dengan pemilik pengrajin tempe agar pasokan ampas tempe terjamin ketersediaannya dan harga jual lebih murah. Harga ampas tempe yang diperoleh lebih murah karena peternak membelinya dalam partai besar dan di satu tempat, sehingga tidak mengeluarkan biaya transportasi yang besar. Rataan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian molasses Rp 100.000/bulan. Untuk pengobatan ternak kambing yang sakit, peternak skala I dilakukan sendiri dengan menggunakan obat tradisional dan obat warung yang biasa diminum oleh manusia tetapi dengan dosis yang disesuaikan dengan bobot badan ternak, sehingga biaya yang yang dikeluarkan lebih sedikit. Obat yang digunakan untuk skala II adalah Ivomec yang harganya Rp 500.000 dan Kalbasen dengan harga Rp 50.000. Kedua obat ini bisa digunakan untuk satu tahun karena ternaknya jarang terkena penyakit. Sedangkan skala III, membawa mantri hewan untuk mengontrol dan mengobati tiap bulan dengan membayar jasa dan biaya obat sebesar Rp 500.000. Perlengkapan yang dibeli peternak dapat diihat pada Lampiran 6. Perlengkapan yang dihitung adalah peralatan yang tidak tahan lama dengan umur ekonomis ≤ 1 tahun. Perhitungan biaya tenaga kerja untuk skala I (skala kecil) merupakan biaya yang pada kenyataanya tidak dibayarkan, tetapi tetap diperhitungkan. Perhitungan biaya tenaga kerja diperhitungkan dilakukan dengan mengalikan total curahan 59
waktu tenaga kerja untuk memelihara ternak kambing perah yang dinyatakan dalam Hari Kerja Pria (HKP) dengan upah tenaga kerja. Berdasarkan hasil perhitungan curahan waktu tenaga kerja diperoleh hasil bahwa curahan waktu kerja skala I adalah 138,77 HKP, seperti terlihat dalam bab sebelumnya. Upah yang digunakan merupakan upah yang berlaku di Kecamatan Caringin adalah Rp 20.000 untuk delapan jam kerja (1 HKP). Biaya tenaga kerja pada skala II dan skala III adalah biaya variabel tunai dengan besaran gaji tenaga kerja yang telah disepakati antara pemilik dan tenaga kerja. Tenaga kerja skala II berjumlah dua orang dengan gaji masing-masing Rp 600.000. Sedangkan peternakan skala III memiliki lima orang tenaga kerja dengan gaji masing-masing tiap bulan adalah Rp 750.000. Peternakan kambing perah yang berorientasi menghasilkan dan menjual susu kambing, perlu ditambahkan susu sapi untuk cempe yang berumur kurang dari empat bulan. Tujuan pemberian susu sapi adalah sebagai susu pengganti dari susu induk kambing yang diperah agar pertumbuhan cempe kambing berjalan optimal seperti ketika diberi sepenuhnya susu induk kambing. Harga susu sapi lebih murah daripada susu kambing, berkisar Rp 3.000 – Rp 5.000 per liter, sehingga pemberian susu sapi ke cempe kambing merupakan salah satu cara untuk efisiensi biaya produksi. Biaya susu sapi untuk skala I merupakan biaya yang diperhitungkan. Asumsi jumlah susu sapi yang diberikan adalah 0,5 liter per ekor per hari. Ini berdasarkan yang disarankan oleh Sutama et al (2007) yang menerangkan bahwa untuk cempe berumur dua minggu sebaiknya diberi susu pengganti sebanyak 0,5 liter/ekor/hari. Harga susu sapi disesuaikan dengan harga jual di sekitar tempat tinggal peternak yaitu Rp 3.000/liter. Untuk skala II dan skala III jumlah pemberian susu sapi tergantung umur anak cempe. Pola pemberian susu pengganti sebagai berikut : 0,8 liter (umur < 2 minggu), 1 liter (umur 3-4 minggu), 1,5 liter (umur 5 - 6 minggu) dan 2 liter (umur ≤ 10 minggu). Peternak skala II membeli susu sapi di peternakan sapi Pesantren Pertanian Darul Fallah dengan harga Rp 5.000 per liter. Sedangkan peternak skala III, untuk tujuan efisiensi biaya membeli susunya di sekitar tempat tinggalnya yang berada di Kecamatan Caringin dengan harga Rp 3.000 per liter. 60
Jumlah cempe yang diberi susu sapi pengganti untuk masing-masing skala adalah satu ekor, delapan ekor dan 22 ekor.
Tabel 9. Komponen Biaya Variabel Usaha Ternak Kambing Perah Di Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan Skala I (skala kecil) Uraian Pakan
Rp/ peternak
Skala II (skala sedang)
Rp/ST
%
Rp/ peternak
Rp/ST
334.874 36,67
%
Skala III (skala besar) Rp/ Peternak
Rp/ST
%
3.150.000
181.452
24,13
225.000
424.528
39,00
1.992.500
Obat-obatan
5.000
9.434
0,87
70.000
11.765
1,29
500.000
28.802
3,83
Perlengkapan
22.500
42.453
3,90
146.000
24.538
2,69
267.000
15.380
2,05
231.283
436.383
40,09
1.200.000
201.681 22,09
3.500.000
201.613
26,82
Susu sapi pengganti
45.000
84.906
7,80
1.350.000
226.891 24,85
3.114.000
179.378
23,86
Total biaya variabel
528.783
997.704
91,65
4.758.000
799.748 87,58
10.531.000
606.624
80,69
Tenaga kerja
Biaya variabel per liter susu
24.481
22.552
14.098
Dari hasil analisis struktur biaya variabel (Tabel 9), terlihat biaya pakan untuk skala I, II dan skala III masing-masing adalah Rp 424.528, Rp 334.874 dan Rp 181.452 per ST/bulan. Tingginya biaya pakan skala I dikarenakan dalam mencari rumput dibutuhkan curahan waktu yang lebih lama karena lokasi kebun rumput yang jauh dari tempat tinggal peternak. Biaya obat-obatan untuk masing-masing skala adalah Rp 9.434 (0,87%), Rp 11.765 (1,29%) dan Rp 28.802 (3,83%). Terlihat bahwa biaya obat-obatan lebih kecil dikeluarkan pada skala I karena obat-obatan yang digunakan adalah obat warung yang biasa diminum oleh manusia, sehingga harganya lebih murah. Selain itu juga untuk menjaga kesehatan ternak menggunakan obat tradisional. Ditinjau dari biaya perlengkapan, menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha ternak, maka biaya perlengkapan per Satuan Ternak akan menjadi lebih kecil. Biaya perlengkapan untuk skala I adalah Rp 42.453, Rp 24.538 dan Rp 15.380. Hal ini dikarenakan jumlah pemilikan ternak yang lebih besar akan menuntut perlengkapan yang lebih banyak pula sebagai penunjang usaha ternak kambing perah. Persentase biaya perlengkapan untuk skala I adalah 3,90 persen, skala II adalah 2,69 persen dan 2,05 persen. 61
Biaya tenaga kerja yang diperhitungkan pada skala I menunjukkan biaya tenaga kerja paling besar yakni Rp 436.384/ST/bulan (40,09%). Ini menunjukan bahwa jika memperhitungkan biaya tenaga kerja, pemeliharaan ternak dengan jumlah pemilikan sedikit, sulit untuk mencapai biaya produksi yang efisien karena memelihara jenis ternak apapun dalam skala usaha yang berlaku dengan pemeliharaan secara tradisional tidak ada yang menguntungkan. Skala III juga memperlihatkan jumlah biaya tenaga kerja yang cukup besar yaitu Rp 201.613 (26,33%). Biaya tenaga kerja skala III merupakan persentase biaya tertinggi terhadap biaya produksi, hal ini dikarenakan gaji tenaga kerja lebih tinggi yakni Rp 750.000/orang. Terlihat bahwa biaya tenaga kerja pada skala I dan III merupakan biaya yang paling dominan dari biaya produksi. Maka dari itu, bagi peternak di kedua skala tersebut untuk menekan biaya produksi lebih diperhatikan biaya tenaga kerjanya. Dari komponen biaya susu sapi pengganti, biaya yang dikeluarkan untuk skala I, skala II dan skala III masing-masing adalah Rp 84.906/ST/bulan, Rp 226.891/ST/bulan dan Rp 179.378/ST/bulan. Sedangkan persentasenya adalah 7,80 persen, skala II adalah 24,85 persen dan 23,86 persen dari biaya total. Terlihat bahwa biaya tertinggi yang dikeluarkan untuk membeli susu sapi terjadi pada skala II. Ini dipengaruhi dari harga beli susu sapi yang lebih mahal dari yang dibeli oleh skala I dan skala III dengan selisih Rp 2.000/liter. Peternak pada skala I, dan skala III memiliki struktur biaya variabel tertinggi yang sama yakni biaya tenaga kerja, sedangkan skala II adalah biaya pakan. Jika biaya non tunai tetap diperhitungkan menunjukkan bahwa biaya variabel per liter susu untuk masing-masing skala usaha adalah Rp 24.481, Rp 22.552, dan Rp 14.098. Dari uraian tersebut memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha akan menurunkan biaya variabel per satuan ternak dan biaya variebel per liter susu. Berdasarkan hasil analisis biaya variabel, diketahui bahwa skala usaha yang paling efisien adalah skala III karena mempunyai biaya variabel per liter susu paling kecil. Sementara itu skala usaha yang tidak efisien adalah skala I. Dalam skala bisnis, tingginya biaya variabel per liter susu pada skala I merupakan nilai biaya-biaya yang secara riil tidak diperhitungkan, sehingga nampak biayanya tinggi. Namun bagi peternak, usaha yang dijalankan sudah efisien karena sumberdaya tenaga kerja dan rumput 62
tidak diperhitungkan. Biaya terbesar pada komponen biaya variabel adalah biaya tenaga kerja dan rumput dengan persentase 39 persen dan 40 persen, sehingga berpengaruh langsung pada biaya produksinya. Biaya produksi usaha ternak kambing perah merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel. Besarnya biaya produksi per ST per bulan untuk skala I sebesar Rp 1.088.639, skala II sebesar Rp 913.160, dan skala III sebesar Rp 751.833, seperti terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing di Tiga Skala Pengusahaan Uraian
Skala I (skala kecil)
Biaya tetap Biaya variabel Total biaya Biaya per liter
Rp/ peternak 44.075 528.783 574.858
Skala II (skala sedang)
Rp/ST
%
90.936
8,35
Rp/ peternak 674.801
997.704 91,65 1.088.639
100
26.521
Rp/ST
Skala III (skala besar)
%
Rp/peternak
Rp/ST
%
113.412
12,40
2.520.821
145.209
19,31
4.758.500
799.748
87,58
10.531.000
606.624
80,69
5.433.301
913.160
100
13.051.821
751.833
100
25.750
17.472
Berdasarkan biaya produksinya, maka dapat ditentukan biaya produksi usaha ternak kambing perah per liter susu untuk masing-masing skala. Skala I sebesar Rp 26.521 per liter, skala II sebesar Rp 25.750 per liter, dan skala III sebesar Rp 17.472. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per liter susu semakin menurun. Jika mengacu pada kurva amplop skala usaha (kurva LAC), maka bentuk kurva LAC adalah kurva LAC yang menurun. Artinya, pada kondisi seperti ini sebaiknya peternak memperluas skala usaha (jumlah pemilikan ternak) untuk mencapai efisiensi biaya, sehingga diharapkan keuntungan (penerimaan) menjadi lebih besar. Bentuk kurva amplop skala usaha kasus di tempat penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 4. Biaya (Rp/liter)
26.521 25.750
17.472 LAC
63
Skala Usaha Q1
Q2
Q3
Gambar 4. Bentuk Kurva Skala Usaha di Kabupaten Bogor Terlihat juga bahwa skala I dan skala II menunjukkan biaya per liter yang hampir sama. Dari sisi efisiensi biaya terlihat bahwa skala I merupakan skala usaha yang tidak efisien. Namun penyebab tidak efisiennya skala usaha tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, tidak hanya dikarenakan oleh jumlah pemilikan ternak. Tetapi juga karena penerapan teknologi yang berbeda dan sebagian besar adalah biaya yang diperhitungkan yang tidak secara benar-benar dikeluarkan dalam bentuk tunai. Untuk lebih jelasnya mengenai komposisi biaya tunai dan non tunai dapat dilihat pada sub bab selanjutnya. 6.1.2
Biaya Tunai dan Biaya Non Tunai Selain perhitungan biaya tetap dan biaya variabel, penting juga untuk
diketahui bagaimana komponen biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (biaya non tunai) terhadap biaya produksi. Walaupun biaya tunai itu penting untuk mengukur manajemen usaha ternak, tetapi ukuran tersebut tidak menceritakan keadaan seluruhnya. Biaya yang tidak termasuk biaya tunai juga penting, terutama dalam pertanian subsisten seperti pada skala I. Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usaha ternak yang dikeluarkan oleh peternak itu sendiri. Sedangkan biaya non tunai ialah biaya yang tidak dibayar dengan uang, tapi diperlukan untuk memperhitungkan berapa besar nilai sumberdaya yang telah dikeluarkan dalam usaha ternak kambing perah. Komponen biaya tunai memiliki perbedaan pada masing-masing skala usaha. Komponen biaya tunai untuk skala I adalah biaya listrik, obat-obatan dan perlengkapan. Untuk skala II adalah biaya listrik, konsentrat, ampas tempe, obatobatan, perlengkapan, tenaga kerja dan susu sapi. Sedangkan biaya tunai yang dikeluarkan oleh skala III adalah biaya listrik, ampas tempe, obat-obatan perlengkapan, tenaga kerja dan susu sapi. Perbandingan komposisi biaya tunai dan non tunai di masing-masing skala usaha dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perbandingan Komposisi Biaya Tunai dan Non Tunai Biaya
Skala I
Skala II
Skala II 64
Tunai
Rp/ST 70.755
% 6,50
Rp/ST 824.958
% 90,34
Rp/ST 675.749
% 89,88
Non tunai
1.017.884
93,50
88.202
9,65
76.084
10,12
Berdasarkan Tabel 11, biaya yang dikeluarkan pada skala I sebagian besar merupakan biaya non tunai dengan persentase 93,50 persen dari biaya produksi. Rendahnya persentase biaya tunai dikarenakan usaha ternak yang dilakukan masih terbatas sebagai usaha sampingan (subsisten). Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sepenuhnya untuk kegiatan usaha ternak, tetapi lebih dicurahkan utuk kegiatan pokoknya sebagai petani. Sedangkan skala II dan III menunjukkan biaya tunai yang tidak berbeda jauh, dikarenakan corak usahataninya sama yaitu telah berskala komersial dan juga teknologi yang sama. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa persentase biaya tunai tertinggi terdapat pada skala II dikarenakan usaha ternak yang dijalankan masih baru, sehingga biaya yang dibayarkan relatif lebih sedikit di awal usaha. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa komposisi biaya tunai dan non tunai dipengaruhi oleh karakteristik usaha ternak yang ada khususnya corak dan teknologi dan perkembangan usaha. 6.2. Analisis Penerimaan Analisis penerimaan dilakukan untuk mengetahui gambaran keragaan usaha ternak. Penerimaan sangat ditentukan oleh harga dan jumlah produk yang dihasilkan. Penerimaan pada usaha ternak kambing perah di tempat penelitian diperoleh peternak dari penjualan susu kambing, sedangkan penerimaan selain dari susu kambing tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Jumlah susu yang dihitung dalam penelitian ini adalah susu yang dijual oleh peternak ke agen atau dijual langsung ke konsumen. Penerimaan skala I merupakan penerimaan yang diperhitungkan (estimasi) berapa jumlah susu yang akan diproduksi, sehingga dapat diperkirakan berapa penerimaan yang akan diperoleh. Kemudian digabungkan dengan taksiran berapa harga produk, sehingga diperoleh informasi penerimaan yang diperhitungkan dari kambing laktasi yang tidak diperah. Sedangkan produksi skala II dan skala III adalah jumlah produksi aktual yang dihasilkan dan harganya adalah harga yang berlaku (ditetapkan) pada saat penelitian. 65
Pada skala I kambing perahnya tidak diperah untuk diambil susunya. Tidak diperahnya kambing PE yang dipelihara peternak karena mereka beranggapan bahwa induk yang pertama kali melahirkan ditunda dulu untuk diperah susunya hingga kelahiran ketiga. Jika langsung diperah maka akan menyebabkan pertumbuhan anak tidak dapat maksimal. Demikian pula produktivitas induk dikatakan menjadi menurun. Saat ini, peternak skala I masih memusatkan perhatian untuk perbanyakan dan perkembangan anak cempe. Perkiraan produksi susu pada skala I dapat diketahui dengan pendekatan bobot badan yang diekuivalenkan dengan susu pengganti yang dikonsumsi cempe. Setiap perubahan satu kg bobot badan sama dengan 10 kilogram susu yang dikonsumsi cempe, kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah perubahan hari. Satu kilogram susu setara dengan 1,07 liter susu. Bobot badan cempe kambing saat lahir lima kilogram dan meningkat menjadi enam kilogram ketika kambing berumur satu bulan, sehingga diperoleh hasil produksi susu yang diperhitungkan sebesar 0,36 liter per ekor per hari. Hasil perhitungan produksi yang diestimasi dengan menggunakan rumus ini memperlihatkan perkiraan hasil produksi yang lebih tinggi dari laporan penelitan Guntoro (2008). Hasil penelitian Guntoro (2008) mengatakan bahwa produksi susu dari kambing yang hanya diberi pakan hijauan relatif sedikit, berkisar 180-200 ml/ekor/hari. Peternak skala I menghadapi keterbatasan modal, sehingga terpaksa penggunaan faktor produksi terutama pakan tidak sesuai dengan ketentuan seharusnya. Padahal untuk menghasilkan susu kambing sangat penting diberikan ampas tempe atau konsentrat. Akibatnya, produktivitas susu sangat rendah dan akan berpengaruh terhadap harga jual yang rendah pula. Rata-rata produksi susu kambing untuk skala II dan skala III adalah 211 liter per bulan dan 747 liter per bulan. Rendahnya produksi susu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jumlah kambing yang sedang mengalami masa laktasi sangat sedikit. Dari uraian tersebut terlihat kecenderungan bahwa peningkatan produksi per bulan seiring dengan semakin meningkatnya skala usaha. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan semakin banyak kambing perah laktasi yang dipelihara akan semakin banyak jumlah kambing yang menghasilkan susu. 66
Produktivitas kambing perah untuk skala II adalah 0,64 liter per ekor per hari. Skala III adalah 0,83 liter per ekor per hari. Produktivitas susu di kedua peternakan tersebut lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Sutama et al (2007). Tingginya produksi susu yang dihasilkan kambing perah skala III dikarenakan sebelum pemerahan pada pagi hari, peternak melakukan pemijatan ambing sekitar lima menit. Teknik pemijatan ini bisa meningkatkan produksi susu kambing hingga 50 persen. Pemilik peternakan mengatakan pemijatan ambing berfungsi untuk menstimulasi hormon prolaktin agar kelenjar susu berproduksi maksimal. Menurut Ir Yuni Suranindyah MS PhD, ahli ternak dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam ambing terdapat sel-sel sekretorik yang berfungsi menghasilkan susu. Pada kambing yang tengah bunting, sel-sel itu berkembang dalam jumlah banyak. Semakin besar ambing, semakin banyak dihasilkan kelenjar penghasil susu. Pijatan itu merangsang kelenjar ambing memproduksi hormon oksitosin dan prolaktin. Kedua hormon itu berperan mengatur produksi susu5. Selain dikarenakan faktor pemijatan, produksi susu yang tinggi juga dipengaruhi oleh kondisi di sekitar kandang, dengan pemberian suara music terutama pada saat pemerahan akan membuat induk laktasi lebih rileks, sehingga berpengaruh terhadap produksi susu. Dari hasil analisis data produksi dan produktivitas, maka dapat disimpulkan semakin besar skala usaha maka semakin besar pula produksi dan produktivitas kambing laktasi. Produksi dan produktivitas susu kambing yang dihasilkan pada masing-masing skala disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Produksi dan Produktivitas Susu Kambing Di Tiga Skala Pengusahaan Uraian Jumlah kambing laktasi (ekor)
Skala I
Skala II
Skala III
2*
11
30
Produktivitas (liter/ekor/hari)
0,36*
0,64
0,83
Produksi (liter/bulan)
21,6*
211
747
Keterangan : * estimasi
Untuk penentuan harga jual susu skala I berdasarkan harga jual yang berlaku di sekitar tempat tinggal dan dilihat juga kemungkinan kualitas susu yang 5
Adijaya, Dian. 2008. Tangguk Rezeki dari Susu Kambing. Majalah Trubus. Edisi November 2008 XXXIX.
67
dihasilkan yaitu Rp 12.000 per liter. Harga jual susu kambing skala II dan III yakni Rp 40.000/liter dan Rp 100.000. Harga jual susu tertinggi yang terdapat pada skala III dan merupakan harga jual susu kambing tertinggi di Indonesia. Perbedaan harga ini disebabkan karena pasar yang dihadapi berbeda dan cara-cara pemasaran juga tidak sama, padahal dari segi kualitas susu tidak berbeda jauh. Target pasar susu kambing bagi skala II adalah orang-orang yang berpenghasilan menengah ke atas dan orang-orang yang mengkonsumsi untuk penyembuhan. Sedangkan skala III memfokuskan ke kalangan tertentu yakni para eksekutif yang peduli akan kesehatan dan bergaya hidup back to nature. Faktor lain yang menyebabkan harga susu kambing skala II dan skala III berbeda, dikarenakan skala II merupakan pemain baru dalam bisnis susu kambing, sehingga untuk menarik pelanggan dengan menetapkan harga yang berlaku di pasaran. Pemilik peternakan skala III berhasil membangun image susu kambing sebagai minuman eksklusif. Selain itu, kelebihan dari peternakan skala III adalah pelayanan yang lebih dibandingkan produsen susu kambing lainnya yakni menerima terapi kesehatan tanpa biaya konsultasi. Alasan inilah yang menarik konsumen untuk membeli susu pada skala III walaupun harganya jauh lebih mahal. Secara ringkas, penerimaan yang diperoleh dari usaha ternak kambing perah untuk masing-masing skala usaha dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Penerimaan Usaha Ternak Kambing Perah Di Tiga Skala Pengusahaan Uraian Produksi (liter/bulan) Harga jual (Rp/liter) Penerimaan (Rp/bulan)
Skala I 21,6 12.000 259.200*
Skala II 211 40.000 8.440.000
Skala III 747 100.000 74.700.000
Keterangan : * estimasi
Pada Tabel 13, terlihat bahwa penerimaan untuk skala I, II dan III, masingmasing adalah Rp 259.200, Rp 8.440.000 dan Rp 74.700.000. Hal ini menunjukan bahwa penerimaan yang diperoleh peternak dari usaha ternak kambing perah sangat dipengaruhi oleh skala usahanya. Hal ini terlihat bahwa setiap lebih besar tingkat skala usahanya, maka penerimaan pada usaha ternak kambing perah tersebut semakin besar. Data tersebut, juga memperlihatkan bahwa besaran
68
penerimaan yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi susu dan harga jual susu kambing. Berdasarkan kurva LAC, dalam penelitian ini terbukti bahwa semakin besar skala usaha, maka biaya yang dikeluarkan semakin kecil dan berimplikasi pada penerimaan yang lebih tinggi. Skala III merupakan skala usaha yang mempunyai nilai biaya rata-rata yang rendah dan penerimaan yang tinggi, maka bisa dikatakan skala III adalah skala usaha yang efisien.
7.3
Analisis Titik Impas (Break Even Point) Impas atau break even merupakan keadaan suatu usaha dimana jumlah
penerimaan sama dengan biaya (laba sama dengan nol). Perhitungan titik impas digunakan untuk mengetahui pada volume produksi berapa, peternak kambing perah tidak memperoleh untung ataupun tidak mengalami kerugian. Oleh karena hasil utama usaha ini adalah susu kambing, maka tidak diperhitungkan penerimaan dari penjualan anak kambing dan kotoran kambing. Demikian halnya pada usaha ternak kambing perah dapat diketahui nilai impasnya, supaya pelaku usaha tersebut dapat lebih mengetahui kondisi usahanya. Perhitungan titik impas berdasarkan produksi susu yang dinyatakan dalam satuan liter. Penggolongan biaya atas biaya tetap dalam perhitungan titik impas pada penelitian ini adalah nilai penyusutan dan listrik. Biaya variabel yang digunakan dalam perhitungan terdiri dari biaya pakan, obat-obatan, perlengkapan, tenaga kerja, dan susu sapi untuk cempe. Untuk mengetahui nilai impas produksi susu diperoleh dari hasil perhitungan antara biaya tetap dibagi dengan hasil pengurangan harga jual rata-rata dengan biaya variabel rata-rata. Hasil perhitungan nilai titik impas dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Nilai Titik Impas (BEP) di Tiga Skala Pengusahaan No.
1
Total biaya tetap
44.075
Skala I (tanpa biaya tenaga kerja dan rumput ) 44.075
2
Biaya variabel ratarata (Rp/liter) Harga jual susu (Rp/liter) BEP produksi
24.841
3 4
Uraian
Skala I (Aktual)
Skala II
Skala III
674.801
2.520.821
3.356
22.552
14.098
12.000
12.000
40,000
100,000
-3,53
5
38,7
29,3
69
(liter/bulan) 5
Volume produksi aktual (liter/bulan)
21,6
21,6
211
747
Jika memperhitungkan biaya rumput dan tenaga kerja tersebut, maka diperoleh nilai BEP minus, yang disebabkan karena tingginya biaya variabel per liter susu, sedangkan harga jual sangat rendah karena kualitas susu yang rendah. Tingginya biaya variabel karena termasuk biaya yang diperhitungkan (biaya non tunai) seperti rumput dan tenaga kerja dimana kedua komponen biaya tersebut mempunyai persentase yang sangat tinggi pada biaya variabel. Artinya dalam skala bisnis, skala I merupakan skala yang tidak menguntungkan (unprofitable) karena jumlah ternak yang sedikit dan teknologi yang sederhana menyebabkan biaya produksi menjadi besar. Tetapi jika tidak dihitung biaya non tunainya, maka akan diperolah nilai BEP yang positif bahkan volume produksi aktualnya telah melebihi BEP produksi. Volume produksi susu kambing aktual skala II di atas BEP volume produksi. Nilai yang harus dicapai agar impas adalah saat produksi sebesar 38,7 liter/bulan, saat ini volume produksi pada skala II adalah 211 liter/bulan. Hal serupa juga terjadi pada skala III, dimana produksi aktual saat ini sebesar 747 liter/bulan, jauh dari nilai impas produksi yakni 29,3 liter/bulan. Hal ini berarti kedua peternakan tersebut sudah untung karena produksi susu sudah di atas nilai titik impas, sehingga dapat terhindar dari kerugian. Berdasarkan analisis titik impas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar skala usaha, maka peternak semakin bisa menutupi biaya totalnya sehingga terhindar dari kerugian. Terlihat dari volume produksi aktual yang semakin jauh dari nilai BEP produksi.
70
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Kesimpulan dari analisis struktur biaya usaha ternak kambing perah, kasus di tiga skala pengusahaan di Kabupaten Bogor adalah : 1) Skala I merupakan usaha sambilan dimana sistem pemeliharaan dilakukan secara sederhana. Sedangkan skala II dan skala III merupakan usaha pokok dimana usahanya telah bersifat komersial. Sistem pemeliharaan mengikuti perkembangan teknologi baru (modern). Ditinjau dari produksi dan produktivitas menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar pula produksi dan produktivitas kambing laktasi. 2) Jika biaya penyusutan dimasukkan ke dalam biaya tetap, maka terlihat adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha akan meningkatkan biaya tetap per satuan ternak dan biaya tetap per liter susu. Sementara itu, jika biaya variabel non tunai
diperhitungkan ke dalam biaya variabel menunjukkan
bahwa semakin besar skala usaha akan menurunkan biaya variabel per satuan ternak dan biaya tetap per liter susu. Berdasarkan biaya produksinya menunjukkan adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun. 3) Berdasarkan analisis biaya dan penerimaan, skala usaha yang paling efisien adalah skala III.
7.2 Saran Dari kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini maka disarankan : 1) Agar peternak memperoleh keuntungan dari usaha ternak kambing perahnya, maka peternak perlu memperluas skala usaha. Dalam hal ini jumlah ternaknya 71
terutama kambing laktasi. Pemilikan kambing laktasi merupakan sumber pendapatan utama. Namun bagi peternak yang menghadapi keterbatasan modal, sebaiknya berhimpun dalam satu unit usaha peternakan seperti koperasi atau kelompok tani, sehingga dicapai suatu kisaran pemilikan bersama yang lebih luas. 2) Untuk menekan biaya produksi, sebaiknya peternak skala I memperbaik teknologi, di samping meningkatkan jumlah ternaknya. Sedangkan skala II perlu dicari investasi kandang yang lebih murah atau dengan menambah jumlah ternak yang dipelihara seperti pada skala III. 3) Penelitian ini menggunakan metode kasus, sehinggakesimpulan yang diambil tidak bersifat umum. Maka perlu penelitina lebih lanjut dengan menggunakan metode survei.
72
DAFTAR PUSTAKA Anggraini W. 2003. Analisis usaha peternakan sapi potong rakyat berdasarkan biaya produksi dan tingkat pendapatan peternak menurut skala usaha [skripsi]. Bogor: Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ardia AW. 2000. Analisis pendapatan usaha ternak kambing perah Peranakan Etawa [skripsi]. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Peranian Bogor. Bantani AT. 2004. Analisis struktur biaya dan pendapatan usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Budiarsana I.G.M, Wahyuni S, Sutama IK, Thahar A, Setianto H . 1988. Sistem pemeliharaan kambing Peranakan Etawa (PE) dan peluang pengembangannya pada lahan kering studi kasus Desa Donorejo. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Sub Balai Penelitian Ternak Grati, Pasuruan. Budiarsana dan Sutama. 2001. Efisiensi produksi susu kambing Peranakan Etawa. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001. Balai Penelitian Ternak. Ciawi-Bogor. Capah JE. 2008. Hubungan antara penetapan harga susu di koperasi dengan struktur biaya produksi dan pendapatan usahaternak sapi perah studi kasus peternak anggota Koperasi Unit Desa (KUD) Mandiri Cipanas Kabupaten Cianjur [Skripsi]. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Chamdi AN, Qomarudin DF, Suseno, Kemat AR, Yuniarso I. 2003. Analisis usaha ternak kambing rakyat di daerah Pedesaan Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. 73
Cyrilla L, Ismail A. 1988. Usaha Peternakan. Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2007. Bogor Ensminger ME and Parker RO. 1986. Sheep and Goat Science. 5th. Ed. The Interstate Printers and Publishers, Inc. Danville. Illinois. Guntoro S. 2008. Membuat Pakan Ternak Dari Limbah Perkebunan. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Handoko T. 2000. Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. BPFE. Yogyakarta. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Kay RD dan Edwards. 1981. Farm Management; Planning, Control and Implementation. Mc Graw-Hill International Book Company, Sao Paulo, Singapore, Sydney, Tokyo. Kusminah I. 2003. Manajemen dan pendapatan usaha peternakan sapi perah rakyat studi kasus di Desa Cilebut Barat Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kuswadi. 2005. Meningkatkan Laba Melalui Pendekatan Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Biaya. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta Martawidjaja M, Setiadi B, Triwulanningsih E. 1985. Usaha ternak kambing PE Kaligesing Kabupaten Purworejo ditinjau dari aspek pakan. Prosiding Pertemuan Ilmiah. Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Mulyadi. 1999. Akuntansi Biaya, Edisi 5. Universitas Gajah Mada. Penerbit STIE YKPN. Yogyakarta. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor.
74
Paat PC, Sudaryanto B, Sariubang M, Setiadi B. 1992. Efek skala usaha pembibitan kambing PE terhadap efisiensi dan adopsi teknologi. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era. PJPT II. Paat PC, Setiadi B, Sudaryanto B, Sariubang M. 1992. Peranan usaha ternak kambing Peranakan Etawa dalam system usahatani di Banggae Majene. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era. PJPT II. Pakarti SIB. 2000. Efisiensi penggunaan fakor-faktor produksi dan tingkat pendapatan peternak ayam broiler (studi kasus pada kelompok peternak plasma poultry shop jaya broiler di Kabupaten Kuningan Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Priyanto D, Setiadi B, Yulistiani D. 1999. Potensi kambing Peranakan Etawa (PE) dan upaya pola konservasinya di daerah sumber bibit. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Rahim A. 2000. Ekonomi Pertanian Pengantar Teori dan Kasus. Penebar Swadaya. Jakarta. Ratnawati N. 2002. Kajian kelayakan finansial pengembangan usaha peternakan sapi perah dan kambing perah di Pesantren Darul Fallah, Ciampea, Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Roeheni ES, Saderi DI, Suba A . 2004. Profil usahatani kambing di lahan pasang surut Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Kumpulan Pemikiran. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor. Setiadi et al. 1999. Peningkatan produktivitas kambing melalui metode persilangan. Laporan Hasil Penelitian APBN T.A 1998/1999. Balai Penelitian Ternak. Ciawi. Setiadi B, Sitorus P. 1984. Penampilan reproduksi dan produksi kambing Peranakan Etawa. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Setiadi B, Muryanto. 1989. Pemuliabiakan dan reproduksi/breeding. Kumpulan Peragaan dalam Rangka Penelitian Ternak Kambing dan Domba di 75
Pedesaan. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Siregar M, Ilham N. 2002. Upaya peningkatan efisiensi usahaternak ditinjau dari aspek agribisnis yang berdaya saing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sodiq A, Abidin Z. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa. Agromedia Pustaka. Jakarta. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Penerbit UI-Press. Jakarta. Soepeno, Manurung J. 1996. Beberapa kendala dalam pemeliharaan ternak domba/kambing dengan sistem ekstensif di Jawa. Wartozoa vol. 5 No.1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Sukraeni E. 1985. Keefisienan teknis dan ekonomis usaha sapi perah rakyat pada beberapa tingkat skala usaha di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sunawan. 2000. Pendapatan peternak ayam pedaging (broiler) pada pola kemitraan plasma-inti (studi kasus di PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Sidoarjo, Jawa Timur) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Suradisastra K. 1993. Aspek-aspek sosial dari produksi kambing dan domba : produksi kambing dan domba di Indonesia. Prosiding Seminar Pengembangan Ternak Potong di Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Suratiyah K. 2009. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutama IK. et al. 2007. Budidaya kambing perah. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Sutama IK, Budiarsana IGM. 1997. Kambing PE penghasil susu sebagai sumber baru subsektor peternakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Yusdja Y, Kariyasa K, Pasandaran E. 2005. Struktur usaha dan pendapatan berbasis skala usaha. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 76
LAMPIRAN
Yusriani A. 1984. Analisis Skala usaha pada usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Populasi Kambing menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2003-2007 Tahun No.
Provinsi
% Pertumbuhan 2003
2004
2005
2006
2007*)
1
NAD
637.188
647.089
565.776
787.708
2
Sumatera Utara
712.566
717.196
640.500
643.860
712.753
10,72
3
Sumatera Barat
256.230
195.176
210.532
223.334
259.058
16,00
4
Riau
231.757
203.999
256.324
238.043
250.527
5,24
5
Kepulauan Riau
-
-
21.558
20.238
20.643
2,00
6
Jambi
126.863
132.369
124.955
137.989
155.169
12,45
7
Sumatera Selatan
436.607
435.504
462.505
463.720
582.534
25,62
8
Bangka Belitung
11.377
2.450
4.728
3.561
3.846
8,00
9
Bengkulu
166.589
108.619
106.357
102.855
106.969
4,00
10
Lampung
810.456
824.235
927.736
798.816
846.122
5,92
11
DKI Jakarta
5.351
6.971
5.886
9.333
10.373
11,14
12
Jawa Barat
930.066
1.144.102
1.138.695
1.148.547
1.393.190
21,30
13
Banten
522.380
566.716
572.761
681.253
817.732
20,03
14
Jawa Tengah
2.984.845
2.993.138
3.224.067
3.165.040
3.193.842
0,91
15
DI Yogyakarta
241.007
256.417
264.681
280.182
282.984
1,00
16
Jawa Timur
2.334.554
2.359.375
2.384.973
2.414.350
2.457.059
1,77
17
Bali
61.958
44.418
68.788
70.785
70.833
0,07
18
Nusa Tenggara Barat
282.500
300.280
338.354
376.130
394.937
5,00
19
Nusa Timur
435.151
462.101
479.883
496.766
509.230
2,51
20
Kalimantan Barat
96.330
99.010
106.814
107.762
118.540
10,00
21
Kalimantan Tengah
23.160
37.398
39.846
41.046
43.098
5,00
22
Kalimantan Selatan
84.442
91.911
99.271
107.873
111.733
3,58
Tenggara
894.199
13,52
77
23
Kalimantan Timur
74.335
72.071
59.736
53.105
54.167
2,00
24
Sulawesi Utara
45.910
44.234
41.681
42.759
43.399
1,50
25
Gorontalo
137.879
92.944
86.533
96.563
111.098
15,05
26
Sulawesi Utara
161.920
163.090
178.434
188.362
171.723
-8,83
27
Sulawesi Selatan
555.927
403.505
407.246
433.495
543.672
25,42
28
Sulawesi Barat
-
-
209.694
220.179
254.286
15,49
29
Sulawesi Tenggara
73.927
82.160
86.310
97.976
102.645
4,77
30
Maluku
156.406
168.719
146.193
149.405
152.394
2,00
31
Maluku Utara
82.402
70.695
99.082
139.981
149.776
7,00
32
Papua
41.969
55.069
35.555
37.226
41.822
12,35
33
Irian Jaya Barat
-
-
12.923
11.708
13.163
12,43
12.597.711
12.655.197
13.409.277
13.789.954
14.873.516
7,86
Indonesia
Sumber : Statistik Pertanian, 2007 Keterangan :*) Angka sementara
78
Lampiran 2. Populasi Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2007 No
Jenis Ternak
Jumlah Populasi (ekor) Tahun 2006
(%)
Tahun 2007
Pertumbuhan
1
Sapi Potong
14.831
17.502
18,01
2
Sapi Perah
5.123
5.268
2,83
3
Kerbau
21.228
16.662
-21,51
4
Kambing PE
1.382
2.087
51,01
5
Kambing Non PE
120.682
115.299
-4,46
6
Domba
229.012
223.253
-2,51
7
Babi
5.779
2.406
-58,37
8
Ayam Ras Petelur
3.533.007
3.791.836
7,33
9
Ayam Ras Pedaging
11.864.000
12.756.836
7,52
10
Ayam Ras Pembibit
601.000
748.239
11
Ayam Buras
1.201.644
1.007.202
24,50
12
Itik
241.299
150.986
-16,18
13
Puyuh
16.000
4.000
-37,43
14
Aneka Ternak 277
292
5,42
- Kelinci
4.118
5.756
39,78
- Kera
6.498
6.277
-3,40
- Kuda
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor Tahun 2007
79
Lampiran 3. Kandungan Gizi Susu Kambing, Sapi dan ASI
Kcal gr gr gr mg mg meg meg mg mg mg mg
710 11 38 68 340 140 7 13 5 3,5 375-450 46
Susu Kambing 670 32 40 46 1290 1060 15 46 1 2.4 1200 100-145
IU mg mg mg mg mcg mg mcg mcg mg mg mg IU IU
2000 0.160 0.360 1.47 0.100 0.30 1.84 52 8 90 330 13 22 1.8
2074 0.400 0.1840 1.9 0.70 0.60 3.4 6 39 150 210 15 24 -
1500 0.440 0.2100 1.0 0.640 0.43 3.5 55 31 121 110 21 14 0.4
4.1
2.6
63
43
Komposisi Gizi (per liter) Energy Protein Lemak Karbohidrat Calcium (Ca) Phospor (P) Sodium (Na) Potassium (K) Besi (Fe) Seng (Zn) Klorida (Cl) Magnesium (Mg) Vitamin : - Vit. A - Vit. B-1 - Vit. B-2 - Vit. B-3 (niacin) - Vit. B-6 - Vit. B-12 - Panthotenat - Folacin - Diotin - Choline - Inositol - Vit. C - Vit. D - Vit. E
ASI
Asam lemak esensial, per 100 gram lemak Persentase butir lemak dengan diameter kurang dari 3 gram
Susu Sapi 660 42 37 49 1430 1120 27 45 0.50 3.5 1050 120
Sumber : Jensen dalam Sutama et al. (2007) 80
Lampiran 4. Perkembangan Populasi Kambing PE menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2007 Kecamatan Nanggung Leuwiliang Leuwi Sadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Mg.Mendung Sukaraja Bbk. Madang Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gn. Putri Citeureup Cibinong Bojonggede Tajur Halang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gn. Sindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjo Pr.Panjang
Kambing PE 2,006 2,007 0 0 0 187 0 123 0 0 0 46 324 117 245 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 322 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
% Pertumbuhan 12 0 0 243 11 282 0 0 11 51 404 222 341 74 0 0 0 0 0 203 0 0 0 0 0 0 116 0 102 0 0 0 0 0 104 0 14 13 0 0
0.00 0.00 0.00 29.95 100.00 129.27 0.00 0.00 100.00 10.87 24.69 89.74 39.18 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 544.44 0.00 -68.32 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 100.00 100.00 0.00 0.00
81
Jumlah
1,382
2,203
59.41
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor Tahun 2007
Lampiran 5. Biaya Penyusutan Peralatan pada Usaha Ternak di Tiga Skala Pengusahaan Uraian
Unit
Satuan
Nilai beli
Jumlah
Perkiraan Nilai sisa
UE (thn)
Penyusutan/ thn
Penyusutan/ bln
Skala I Golok
1
buah
35.000
35.000
3.000
5
6.300
525
Sabit
1
buah
40.000
4.000
4.000
5
7.200
600
Cangkul
1
buah
5
Total
30.000
30.000
3.000
105.000
105.000
10.500
5.400
450
18.900
1.575
Skala II Freezer
2
buah
4.000.000
8.000.000
800.000
5
1.440.000
120.000
Sealer
1
buah
200.000
200.000
20.000
5
36.000
3.000
Cangkul
1
buah
30.000
30.000
3.000
5
5.400
4.500
Palu
1
buah
20.000
20.000
2.000
5
3.600
300
Golok
1
buah
35.000
35.000
3.500
5
6.300
525
Sabit
1
buah
Total
35.000
35.000
3.500
5
6.300
525
4.320.000
8.320.000
832.000
30
1.497.600
124.800
Skala III Freezer
3
buah
4.000.000
12.000.000
1.200.000
5
2.160.000
180.000
Sealer
1
buah
200.000
200.000
20.000
5
36.000
3.000
Garpu
2
buah
40.000
80.000
8.000
5
14.400
1.200
Golok
3
buah
35.000
105.000
10.500
5
18.900
1.575
Jet Pam
1
buah
1.500.000
1.500.000
150.000
7
192.857
16.071
Sabit
3
buah
40.000
120.000
12.000
5
21.600
1.800
Sablon
1
buah
100.000
100.000
10.000
5
18.000
1.500
Sekop
1
buah
60.000
60.000
6.000
5
10.800
900
Cangkul Selang Tape Recorder Total
2
buah
30.000
60.000
6.000
5
10.800
900
35
meter
2.000
70.000
7.000
2
31.500
2.625
1
buah
1.500.000
1.500.000
150.000
10
135.000
11.250
7.507.000
15.795.000
1.579.500
59
2.514.857
220.821
82
Lampiran 6. Biaya Perlengkapan di Tiga Skala Pengusahan Uraian Skala I Ember Sapu lidi Sikat Total biaya Skala II Kain lap Ember Sapu lidi Saringan Sikat Gelas ukur Total biaya Skala III Kain lap Ember Sapu lidi Saringan Sikat Gelas ukur Total biaya
Jumlah
Satuan
Harga per satuan
Total
1 1 1
buah buah buah
15.000 1.500 6.000
15.000 1.500 6.000 22.500
1 8 2 1 2 1
buah buah buah buah buah buah
3.000 15.000 1.500 3.000 6.000 5.000
3.000 120.000 3.000 3.000 12.000 5.000 146.000
2 15 2 2 2 3
buah buah buah buah buah buah
3.000 15.000 1.500 3.000 6.000 5.000
6.000 225.000 3.000 6.000 12.000 15.000 267.000
83