Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PRODUKSI DAN NILAI NUTRISI ENAM SPESIES HIJAUAN PADA TIGA TARAF NAUNGAN DI DATARAN TINGGIBERIKLIM KERING (Production and Nutritive Value of Six Species of Forages Species on Three Shading Levels in High Land-Dry Climate) JUNIAR SIRAIT, ANDI TARIGAN, KISTON SIMANIHURUK dan JUNJUNGAN Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Galang, Sumatera Utara 20585
ABSTRACT The research was conducted to find out shade tolerance of grass or legume that can be integrated into plantation in crop-livestock system. In this experiment three species of gramminae were also used, namely: Brachiaria humidicola, Stenotaphrum secundatum and Ottochloa nodusa. Three species of legumes: Arachis pintoi, Arachis glabrata and Calopogonium muconoides were also used. Adaptation experiment was done in high land dry climate Gurgur, Tobasa on three shading levels: 0, 55 and 75%. Each species of grass and legume was planted at 4 x 4 m2 plot with three replications in split-plot design. Variables were collected including: production aspect (production, leaf/steam ration), nutrient content (dry matter, crude protein, Neutral Detergent Fibre, and ash). Production data were collected every 8 weeks, while evaluation on nutrition was done only once in dry season. Stenotaphrum secundatum showed better growth in shading condition (average of dry matter production on N-0, N-55, and N-75% were 400; 1.063; 426 g/m2/yr respectively). Whereas Arachis glabrata had the highest production, high dry matter and high crude protein (CP) content. The research showed that Brachiaria humidicola has the highest production for grass species and followed by Stenotaphrum secundatum, while the lowest was Ottochloa nodusa. Production of B. humidicola had decreased by the increasing of shading level, while production of S. secundatum and O. nodusa were higher on shading than without shading. In legumes group, Arachis glabrata had the highest production, while Calopogonium mucunoides had the lowest production. C. mucunoides showed significant decreasing production in shading area. Key Words: Grass, Legume, Shade Tolerance, Adaptation, Production ABSTRAK Kegiatan penelitian bertujuan mendapatkan spesies tanaman pakan ternak yang memiliki toleransi tinggi terhadap naungan untuk dapat dikembangkan pada sistem integrasi perkebunan-ternak ruminansia. Pada penelitian ini digunakan Brachiaria humidicola, Stenotaphrum secundatum dan Ottochloa nodusa dari kelompok rumput serta Arachis pintoi, Arachis glabrata dan Calopogonium muconoides dari kelompok leguminosa. Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi beriklim kering Gurgur, Tobasa pada tiga taraf naungan yaitu 0, 55 dan 75%. Setiap spesies ditanam pada plot berukuran 4 x 4 m2 dengan tiga ulangan dalam rancangan petak terbagi. Peubah yang diukur antara lain produksi, rasio daun/batang dan nilai nutrisi (bahan kering, protein kasar, NDF dan abu). Pengukuran produksi dilakukan setiap 8 minggu, sedang evaluasi nilai nutrisi dilakukan sekali saja pada musim kering. Stenotaphrum secundatum menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik pada kondisi naungan (rataan produksi BK pada N-0, N-55 dan N-75% berturut-turut: 400, 1,063 dan 426 g/m2/th. Untuk leguminosa, Arachis glabrata menghasilkan produksi tertinggi dengan kandungan bahan kering dan protein kasar yang tinggi juga. Hasil penelitian menunjukkan Brachiaria humidicola merupakan spesies dengan produksi tertinggi untuk kelompok gramminae, yang diikuti oleh Stenotaphrum secundatum dan yang terendah Ottochloa nodusa. Produksi B. humidicola mengalami penurunan dengan bertambahnya taraf naungan, sedang produksi S. secundatum maupun O. nodusa lebih tinggi pada kondisi naungan. Pada kelompok leguminosa, Arachis glabrata menghasilkan produksi tertinggi dan yang paling rendah adalah Calopogonium mucunoides. Produksi C.mucunoides pada perlakuan naungan menujukkan penurunan yang signifikan dibanding pada perlakuan tanpa naungan. Kata Kunci: Tanaman Pakan Ternak, Toleran Naungan, Adaptasi, Produksi
706
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan sub-sektor peternakan khususnya ruminansia sangat ditentukan oleh ketersediaan hijauan pakan berkualitas dalam jumlah cukup secara berkesinambungan. Secara nutrisi hijauan merupakan sumber serat, bahkan hijauan pakan asal leguminosa menjadi suplementasi mineral dan protein murah bagi ternak ruminansia. Tantangan terbesar dalam semua sistem produksi ternak di negara-negara berkembang adalah pakan, termasuk hijauan. Berbagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan telah dilakukan diantaranya integrasi usahaternak pada sistem perkebunan, kehutanan dan tanaman pangan. Dalam sistem tersebut dimanfaatkan vegetasi alami yang tumbuh di bawah naungan sebagai sumber hijauan serta memanfaatkan hasil ikutannya. Khusus untuk ternak ruminansia, sistem integrasi ini semakin penting mengingat ketersediaan lahan untuk pengembangan ternak dan sumber pakan semakin terbatas dan mahal. Tantangan yang perlu dihadapi adalah bagaimana meningkatkan potensi produksi hijauan dalam sistem integrasi tanaman-ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis hijauan pakan yang memiliki sifat toleransi yang lebih tinggi terhadap naungan dibandingkan dengan jenis hijauan lainnya (SHELTON dan STUR, 1990; STUR dan SHELTON, 1990). Jenis hijauan tersebut perlu dieksplorasi lebih lanjut sebagai sumber hijauan yang potensial pada kondisi naungan. LUDLOW (1978) menyebutkan bahwa sebagian besar spesies rumput tropis mengalami penurunan produksi sejalan dengan menurunnya intensitas sinar, namun disisi lain SAMARAKOON et al. (1990) melaporkan bahwa spesies yang tahan naungan sering menunjukkan penurunan produksi yang relatif kecil atau masih meningkat pada naungan sedang. Dalam sistem integrasi tanaman pakan ternak (TPT) di lahan perkebunan, perkembangan kanopi tanaman kebun sesuai dengan umur tanaman akan menaungi TPT. Hal ini merupakan tantangan dalam pengembangan sistem Crop-Livestock System (CLS) untuk mengeksploirasi spesies TPT yang relatif toleran terhadap kondisi naungan.
SIRAIT et al. (2005) melaporkan bahwa berdasarkan analisis data produktivitas tiga spesies leguminosa pada dua kali panen musim basah, Arachis pintoi menunjukkan adaptasi yang baik di dua agroekosistem dengan produktivitas pada naungan 55% lebih tinggi dibanding produktivitas pada kondisi tanpa naungan (435,4 vs 151,1 g/m2 untuk dataran rendah beriklim basah dan 360,4 vs 302,1 g/m2 untuk dataran tinggi beriklim kering). Selanjutnya disebutkan bahwa Arachis glabrata merupakan spesies dengan produksi tertinggi di dataran rendah Sei Putih, hanya saja produksi cenderung menurun dengan bertambahnya taraf naungan meskipun tidak terdapat perbedaan nyata pada ketiga taraf naungan. Hasil penelitian uji adaptasi sebelumnya Stenotaphrum secundatum menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik pada kondisi naungan ditinjau dari aspek produksi (rataan produksi segar pada N-0, N-55 dan N-75 berturut-turut: 3273, 5370 dan 4674 g/m2/thn di dataran rendah beriklim basah; serta 1397, 4101 dan 1703 g/m2/tahun untuk dataran tinggi beriklim kering). Rumput Stenotaphrum secundatum berpotensi untuk dikembangkan dengan adaptasi yang baik pada kondisi naungan didukung oleh kandungan protein kasar yang baik (7,94 – 11,69% BK di dataran rendah beriklim basah Sei Putih). Berdasarkan pengamatan visual, rumput ini lebih disukai ternak kambing dibanding Brachiaria humidicola yang produksinya lebih tinggi dari S. secundatum. Kegiatan penelitian bertujuan menganalisis produktivitas dan nilai nutrisi enam spesies tanaman pakan ternak (rumput dan legum) pada taraf naungan berbeda di dataran tinggi beriklim kering Gurgur. Luaran yang diharapkan dari kegiatan ini adalah data produktivitas, dan nilai nutrisi enam spesies tanaman pakan ternak pada taraf naungan berbeda. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di dataran tinggi beriklim kering (1000 m dpl ) berlokasi di Gurgur, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara pada bulan Januari hingga Desember 2006. Tanaman pakan ternak (TPT) yang diamati terdiri atas rumput dan leguminosa masing-
707
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
masing 3 spesies. Rumput terdiri atas Brachiaria humidicola, Stenotaphrum secundatum dan Ottochloa nodusa, sedang spesies leguminosa adalah Arachis pintoi, Arachis glabrata dan C. muconoides. TPT ditanam pada plot berukuran 4 x 4 m2. Naungan buatan (artificial shading) menggunakan paranet dengan taraf naungan N0, N-55 dan N-75% PAR. Tingkat naungan diukur menggunakan alat solarimeter. Paranet yang terbuat dari polyethylene dibentangkan sepanjang plot perlakuan setinggi sekitar 2 m di atas permukaan tanah untuk membantu sirkulasi udara dan pelaksanaan pengamatan. Pemupukan hanya pupuk dasar dengan menggunakan Urea (100 kg), SP-36 (50 kg) dan KCl (50 kg) untuk rumput, serta SP-36 (50 kg) dan KCl (50 kg) untuk leguminosa. Penelitian dilakukan dengan rancangan petak terbagi (split-plot design) dalam rancangan acak lengkap menggunakan 3 ulangan (GOMEZ dan GOMEZ, 1984). Petak utama (main plot) adalah naungan, sedang petak bagian (sub-plot) adalah spesies tanaman masing-masing. Parameter yang diukur antara lain produksi, rasio daun/batang dan nilai nutrisi (bahan kering, nitrogen/protein kasar, NDF dan abu). Pengertian protein kasar adalah semua zat yang mengandung nitrogen. Dalam analisis protein kasar digunakan metode Kjeldhal melalui proses destruksi, destilasi, titrasi dan perhitungan. Dalam metode ini yang dianalisis adalah unsur nitrogen bahan, dan untuk mengetahui kandungan protein kasar dikalikan dengan 6,25 (dalam protein rata-rata mengandung nitrogen 16%). Abu adalah bagian dari sisa pembakaran dalam tanur dengan temperatur 400 – 600°C yang terdiri atas zat-zat anorganik atau mineral. Pengukuran produksi dilakukan setiap 8 minggu, sedang evaluasi nilai nutrisi dilakukan sekali saja pada musim kering. Analisis keragaman dilakukan dengan menggunakan program SAS (SAS, 1987), dan bila terdapat perbedaan antar perlakuan naungan dan spesies serta interaksinya pada analisis keragaman, dilakukan uji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) menurut STEEL and TORRIE (1993). Adapun model linier analisis keragaman pada penelitian ini adalah:
708
Yijk = µ + Ai + error (a) + Bj + ABij + error (b) dimana: Yijk = Respon terhadap naungan ke-i, spesies ke-j dan ulangan ke-k µ = Rataan umum Ai = Pengaruh naungan ke-i (i =1,2,3) Bj = Pengaruh spesies ke-j (j =1,2,3) ABij = Pengaruh interaksi antara naungan kei dengan spesies ke-j HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi tanaman pakan ternak (TPT) Panen dilaksanakan setiap 2 bulan setelah pengamatan karakter morfologis keenam spesies TPT. Rumput dan leguminosa pada setiap perlakuan naungan dipotong pada ketinggian +10 cm di atas permukaan tanah dan ditimbang dalam keadaan segar. Untuk mengetahui produksi BK diambil sampel seberat 300 g dari setiap perlakuan dan ulangan untuk dianalisis di laboratorium. Adapun rataan produksi keenam spesies TPT pada taraf naungan yang berbeda seperti disajikan dalam Tabel 1. Produksi BK tertinggi pada kelompok gramminae ditemukan pada B. humidicola (rataan 1724 g/m2/tahun). Produksi ini berbeda nyata (P < 0,05) dengan produksi kedua spesies rumput lainnya. Namun demikian produksi B. humidicola menurun pada perlakuan naungan, sementara produksi S. secundatum dan O. nodusa masih lebih tinggi pada kondisi naungan, khususnya pada perlakuan naungan 55%. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa S. secundatum dan O. nodusa dapat beradaptasi dengan naungan lebih baik dari B. humidicola. Diduga penurunan produksi BK S. secundatum terjadi akibat terjadinya photoinhibition. Rumput S. secundatum yang menurut SMITH dan WHITEMAN (1983) merupakan tanaman yang cocok tumbuh pada areal yang intensitas cahayanya rendah, mengalami kerusakan daun (ditandai dengan daun berwarna kemerahan pada perlakuan tanpa naungan) ketika diekspose terhadap intensitas cahaya tinggi (photoinhibition). Menurut TAIZ dan ZEIGER (1991) hal ini dapat menurunkan laju fotosintesis serta kurang berfungsinya transfer
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 1. Rataan produksi BK TPT pada taraf naungan yang berbeda tahun 2006 Taraf naungan Spesies TPT
N-0
N-55
N-75
Rataan
-----Rataan produksi BK (g/m2/tahun)---Rumput S. secundatum O. nodusa B. humidicola Rataan Leguminosa A. glabrata C. muconoides A. pintoi Rataan
400 391 2220 1003,7AB
1063 500 1846 1136,1A
426 385 1107 639,0B
629,6B 425,2B 1724,0A
1165 386 246 598,9a
1064 107 314 494,9ab
109 108 176 131,2b
779,2a 200,4b 245,3b
dari batang. Bila rumput yang diberikan kepada ternak lebih dari cukup, biasanya bagian yang tersisa adalah batang. Hal ini dapat dipahami karena selain daun memiliki tekstur lebih lembut juga kandungan nilai nutrisi lebih tinggi. HAYNES (1986) melaporkan bahwa kandungan nitrogen daun rumput dapat mencapai 4,5% berdasarkan bahan kering. Semakin tinggi rasio daun/batang akan semakin baik pengaruhnya bagi produktivitas ternak yang mengkonsumsinya. Rataan rasio daun/batang tanaman pakan ternak pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi beriklim kering Gurgur disajikan dalam Tabel 2. Hal ini diketahui dengan dilakukannya separasi pada saat pemanenan seperti pada Gambar 1.
elektron dan fotofosforilasi yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi. Produksi A. glabrata merupakan produksi tertinggi diantara ketiga spesies leguminosa. Produksi spesies ini tidak berbeda nyata antara perlakuan tanpa naungan dengan naungan 55%, namun mengalami penurunan yang drastis pada naungan 75%. Hal ini menunjukkan bahwa A. glabrata tidak tahan naungan berat dilihat dari aspek produksi. Rasio daun/batang Ternak pada umumnya lebih menyukai daun dibanding batang ketika mengkonsumsi hijauan, dengan kata lain daun lebih palatable
Tabel 2. Rataan rasio daun/batang TPT pada taraf naungan yang berbeda tahun 2006 Taraf naungan Spesies TPT
N-0
N-55
N-75
Rataan
-------------Rataan rasio daun/batang----------Rumput S. secundatum O. nodusa B. humidicola Rataan Leguminosa A. glabrata C. muconoides A. pintoi Rataan
6,1 2,0 3,4 3,9B
6,1 1,9 2,7 3,5B
6,5 1,8 2,5 3,6B
6,23A 1,90B 2,87B
3,5 2,4 3,9 3,29a
3,2 2,1 4,2 3,17a
3,5 1,9 3,5 2,97a
3,38a 2,14b 3,90a
709
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Gambar 1. Panen dan separasi TPT
Rasio daun/batang berada pada kisaran 1,8 – 6,5 untuk gramminae, sedang untuk leguminosa 1,9 – 4,2. Rasio tertinggi diantara keenam spesies TPT ditemukan pada rumput S. secundatum sebesar 6,5 dan yang paling rendah Ottochloa nodusa sebesar 1,8. Rataan rasio daun/batang B.humidicola berada pada kisaran 2,5 – 3,4. Angka ini lebih tinggi dibanding hasil yang diperoleh WONG (2004) sebesar 1,1 pada perlakuan tanpa naungan dan mengalami peningkatan menjadi 1,8 pada naungan 82%. Pada penelitian ini rasio daun/batang B. humidicola cenderung menurun dengan bertambahnya taraf naungan. Secara logika tanaman yang dapat beradaptasi dengan kondisi naungan akan mengalami peningkatan rasio daun/batang. Tanaman pada perlakuan naungan akan memfokuskan fotosintat untuk perkembangan tajuk khususnya daun guna memaksimalkan penangkapan cahaya.
Bahan kering tanaman pakan ternak Kandungan bahan kering TPT yang diberikan kepada ternak ruminansia merupakan hal penting yang perlu diketahui, sebab jumlah pemberian adalah berdasarkan bahan kering. Rataan bahan kering tanaman pakan ternak pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi beriklim kering Gurgur dipaparkan dalam Tabel 3. Tidak ditemukan adanya perbedaan nyata (P > 0,05) kandungan bahan kering TPT pada naungan yang berbeda. Bahan kering tertinggi untuk spesies rumput diperoleh pada Ottochloa nodusa (rataan 22,12%), sedang untuk leguminosa pada Arachis glabrata (21,06%). Meskipun demikian produksi BK rumput O. nodusa ini lebih rendah dibanding dua spesies rumput lainnya pada perlakuan tanpa naungan seperti dipaparkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Rataan bahan kering TPT pada taraf naungan yang berbeda Taraf naungan Spesies TPT
N-0
N-55
N-75
Rataan
----------Rataan bahan kering (%)--------Rumput S. secundatum O. nodusa B. humidicola Rataan
17,4 23,0 14,3 18,23B
18,7 20,6 15,4 18,23B
15,32 22,7 16,5 18,18B
17,15B 22,12A 15,37B
Leguminosa A. glabrata C. muconoides A. pintoi Rataan
23,0 13,8 20,6 19,14a
24,2 13,9 12,0 16,69a
16,1 15,7 18,1 16,62a
21,06a 14,48b 16,91ab
710
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Kandungan NDF dan abu tanaman pakan ternak
Protein kasar tanaman pakan ternak Rataan kandungan protein kasar (PK) tanaman pakan ternak pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi beriklim kering Gurgur disajikan dalam Tabel 4. Interaksi spesies TPT, baik leguminosa maupun rumput, dengan taraf naungan secara nyata (P < 0,05) berpengaruh terhadap kandungan PK. C. muconoides pada taraf naungan 55% memiliki kandungan PK tertinggi sebesar 23,9% berdasarkan bahan kering. Dalam Tabel 4 dapat dilihat umumnya secara numerik terjadi peningkatan kandungan PK pada naungan 55% dibanding tanpa naungan. SIRAIT (2005) melaporkan adanya perbedaan kandungan PK tiga spesies rumput (P. notatum, B. humidicola dan S. secundatum) yang sangat nyata pada naungan yang berbeda (N-0, N-38 dan N-56). Kandungan PK S. secundatum pada N-0, N-38 dan N-56 berturut-turut adalah 10,07; 11,66 dan 13,62%. Kandungan PK tersebut lebih tinggi dibanding hasil pada penelitian ini, dimana pada N-55 kandungan PK S. secundatum hanya sebesar 8,5%. Perbedaan tersebut terkait dengan perlakuan pemupukan nitrogen hingga 200 kg/ha pada penelitian SIRAIT (2005).
Kandungan komponen serat diketahui dengan menggunakan analisis Van Soest. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah kandungan NDF enam spesies TPT pada taraf naungan yang berbeda dari ketiga ulangan. Rataan kandungan serat deterjen netral (Neutral Detergen Fibre/NDF) tanaman pakan ternak pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi beriklim kering Gurgur disajikan dalam Tabel 5. Pada kelompok gramminae naungan tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kandungan NDF, namun secara numerik rataan kandungan NDF meningkat dengan bertambahnya naungan. Hal ini didukung oleh pendapat NORTON (1989) yang menyebutkan bahwa naungan akan meningkatkan dinding sel tanaman terutama lignin dan silika. Kisaran kandungan NDF ketiga spesies rumput sebesar 68,8 – 71,1%. Untuk kelompok leguminosa ditemukan pengaruh nyata (P < 0,05) naungan terhadap kandungan NDF. Rataan kandungan NDF pada N-55 nyata lebih tinggi (P < 0,05) dibanding tanpa naungan namun tidak ada perbedaan nyata dengan N-75.
Tabel 4. Interaksi spesies TPT dengan naungan terhadap kandungan protein kasar pada taraf naungan yang berbeda Taraf naungan Spesies TPT
N-0
N-55
N-75
Rataan
------------Rataan protein kasar (% BK)----------Rumput S. secundatum
6,6C
8,5BC
7,9BC
7,67
A
O. nodusa
7,1
15,8
17,0A
13,30
B. humidicola
9,6B
8,1BC
7,8BC
8,50
7,76
10,83
10,88
18,3 b
18,8b
19,2ab
18,77
ab
a
17,7 b
20,48 18,67
Rataan
BC
Leguminosa A. glabrata C. muconoides
19,9
A. pintoi
19,1 ab
20,7a
17,6 b
19,09
20,67
18,15
Rataan
23,9
Angka dengan superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan pada uji Duncan 5%
711
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 5. Rataan kandungan NDF TPT pada taraf naungan yang berbeda Taraf naungan Spesies TPT
N-0
N-55
N-75
Rataan
----------Rataan kandungan NDF (% BK)--------Rumput: S. secundatum
75,9
76,5
77,1
76,48A
O. nodusa
68,8
71,0
72,5
70,79C
B. humidicola
74,1
73,5
73,3
73,61B
72,95B
73,65B
74,30B
A. glabrata
47,3
54,3
51,1
50,88b
C. muconoides
60,1
60,3
60,8
60,39a
A. pintoi
50,7
56,5
52,7
53,32b
52,70b
57,02a
54,86ab
Rataan Leguminosa:
Rataan
Rataan kandungan abu tanaman pakan ternak pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi beriklim kering Gurgur diuraikan dalam Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan abu tidak nyata (P > 0,05) dipengaruhi oleh taraf naungan baik pada leguminosa maupun rumput. Pada kelompok leguminosa, secara numerik terdapat kecenderungan peningkatan kadar abu dengan bertambahnya taraf naungan namun tidak ada perbedaan nyata diantara
ketiga taraf naungan. Untuk kelompok gramminae kadar abu cenderung menurun dengan meningkatnya taraf naungan, hanya saja penurunan tersebut relatif kecil dan tidak ada perbedaan nyata. Menurut ERICKSEN dan WHITNEY (1981) naungan dapat memperbaiki kualitas hijauan melalui penimbunan mineral atau dengan perkataan lain kadar abu akan meningkat seiring dengan peningkatan taraf naungan. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini untuk kelompok leguminosa saja.
Tabel 6. Rataan kandungan abu TPT pada taraf naungan yang berbeda Taraf naungan Spesies TPT
N-0
N-55
N-75
Rataan
----------Rataan kandungan abu (% BK)--------Rumput S. secundatum
15,1
13,2
11,8
13,34A
O. nodusa
13,4
13,1
14,8
13,74A
B. humidicola
11,5
12,1
11,5
11,67B
13,30A
12,78A
12,68A
A. glabrata
11,8
13,4
11,9
12,38a
C. muconoides
10,7
10,8
14,0
11,84a
A. pintoi
12,1
12,4
14,2
12,87a
11,52a
12,21a
13,36a
Rataan Leguminosa
Rataan
712
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
KESIMPULAN Diantara tiga spesies rumput yang diteliti Brachiaria humidicola merupakan spesies dengan produksi tertinggi yang diikuti oleh Stenotaphrum secundatum dan yang paling rendah O. nodusa. Produksi B. humidicola mengalami penurunan dengan bertambahnya taraf naungan, sedang produksi S. secundatum maupun O. nodusa lebih tinggi pada kondisi naungan. Spesies yang menunjukkan adaptasi baik pada perlakuan naungan dengan produksi dan nilai nutrisi yang baik serta disukai ternak adalah S. secundatum. Untuk kelompok leguminosa, A. glabrata memiliki produksi yang nyata lebih tinggi dibanding Arachis pintoi maupun C. muconoides. Kandungan protein kasar dan abu A.glabrata tidak berbeda nyata dengan C. mucunoides dan A. pintoi. DAFTAR PUSTAKA ERICKSEN, F.I. and WHITNEY. 1981. Effect of light intensity on growth of some tropical forages species. I. Interaction of light intensity and nitrogen fertilization on six forage grasses. Agron. J. 73: 427-433. GOMEZ, K.A. and A.A. GOMEZ. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research 2nd Ed. John Wiley and Son. HAYNES, R.J. 1986. Uptake and assimilation of mineral nitrogen by plants. In: Mineral Nitrogen and the Plant-Soil System. HAYNES, R.J. (Ed.). Academic Pr., London. pp. 303 – 378. LUDLOW, M.M. 1978. Light relation in pasture plants. In: Plant Relations in Pastures. WILSON, J.R. Melbourne: CSIRO. pp. 35 – 39. NORTON, B.W. 1989. Shade effect and nutritive value of plants. Proc. ACIAR. Project 8568. p. 47.
SAMARAKOON, S.P., J.R. WILSON and H.M. SHELTON. 1990. Growth, morfology and nutritive value of shaded stenotaphrum secundatum, axonopus compressus and Pennisetum clandestinum. J. Agric. Sci. 114: 161 – 169. SHELTON, H.M. and W.W. STUR. 1990. Opportunities for Integration of Ruminants in Plantation Crops of Southeast Asia and the Pacific. Proc. Forages for Plantation Crops. ACIAR No. 32. pp. 5 – 9. SIRAIT, J. 2005. Pertumbuhan dan serapan nitrogen rumput pada naungan dan pemupukan yang berbeda. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. SIRAIT, J., S.P. GINTING dan A. TARIGAN. 2005. Karakteristik morfologi dan produksi legum pada tiga taraf naungan di dua agroekosistem. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor, 16 September 2005. SMITH, M.A. and P.C. WHITEMAN. 1983. Evaluation of tropical grasses in increasing shade under coconut canopies. Expl. Agric. 19: 153 – 161. STATISTICS ANALYTICAL SYSTEM. 1987. SAS User’s Guide: Statistic. 6th Ed. SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: SUMANTRI, B. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. STUR W.W. and H.M. SHELTON. 1990. Review of Forage Resources in Plantation Crops of Southeast Asia and the Pacific. In: Forages for Plantation Crops. SHELTON, H.M. and W.W. STUR (Eds.). ACIAR No. 32. pp: 25 – 31. TAIZ, L. and E. ZEIGER. 1991. Plant Physiology. USA: Benyamin/Cumming. WONG, C.C. 2004. Shade tolerance of tropical forages. (serial on line). http://www.aciar.gov. au/web.nsf/doc/JFRN (9 September 2004).
713