Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci
PENINGKATAN PRODUKSI DAN NILAI NUTRISI HIJAUAN PAKAN DENGAN PEMUPUKAN FOSFAT DAN INOKULASI MIKORIZA DWI RETNO LUKIWATI Fakultas Peternakan Undip, Kampus Undip Tembalang-Semarang Telp./Fax: 024 7474750 / 7460039 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Produksi dan nilai nutrisi hijauan pakan (rumput, legum) merupakan salah satu faktor pembatas produksi ternak herbivora di Indonesia. Dilain pihak, lahan yang tersedia untuk budidaya tanaman pakan pada umumnya termasuk tidak subur dan dicirikan oleh pH masam dan defisien unsur hara fosfor (P). Selama ini upaya untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan dengan pemupukan superfosfat (SP). Namun karena mahalnya pupuk SP, kini perhatian beralih pada penggunaan pupuk batuan fosfat (BP). Pupuk BP bersifat lambat tersedia bagi akar tanaman, dan dapat diatasi dengan inokulasi cendawan mikoriza. Cendawan mikoriza vesikular-atbuskular (MVA) termasuk salah satu tipe mikoriza, berperan dalam meningkatkan serapan unsur-unsur hara terutama fosfor. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan P dan inokulasi cendawan MVA mampu meningkatkan produksi dan nilai nutrisi hijauan pakan. Namun demikian, teknologi tersebut belum digunakan secara komersial di bidang peternakan. Kendala utama lambannya aplikasi bioteknologi mikoriza pada tanaman pakan, disebabkan karena belum tersedianya inokulum untuk jangka panjang. Kata Kunci: Rumput, Legum, Batuan Fosfat, Superfosfat, Mikoriza Vesikular-Arbuskular
PENDAHULUAN Hijauan rumput maupun legum termasuk pakan utama ternak herbivora. Namun lahan untuk budidaya tanaman pakan pada umumnya termasuk tidak subur dan salah satu cirinya adalah defisiensi unsur hara fosfor (P). Ternak yang digembalakan pada pastura defisiensi unsur hara P akan menunjukkan gejala afosforosis antara lain pertumbuhan badan terhambat (kerdil) dan pertumbuhan tulang abnormal (WINKS, 1990). Upaya untuk mengatasi masalah pastura defisiensi unsur hara P dilakukan dengan pemupukan P. Terdapat dua sumber pupuk P, selain pupuk SP juga beredar pupuk batuan fosfat (BP). Pupuk SP bersifat larut dalam air, merupakan hasil reaksi antara asam sulfat dengan batuan fosfat. Sedangkan pupuk BP tidak larut dalam air sehingga lambat tersedia bagi akar tanaman, namun pada tanah masam kelarutannya ditingkatkan (KERRIDGE dan RATCLIFF, 1982). LUKIWATI (2002) menunjukkan bahwa produksi biji dan bahan kering serta kadar protein kasar jerami jagung varietas Bisma dengan pemupukan SP lebih tinggi dibanding pemupukan BP. Hal ini didukung oleh
162
LUKIWATI et al. (2003), bahwa pemupukan SP menghasilkan serapan N dan P hijauan S. grandiflora lebih tinggi dibanding BP. Namun hasil-hasil penelitian sebelumnya dinyatakan juga bahwa pupuk BP menghasilkan produksi bahan kering (LUKIWATI et al. 1994), kadar P (LUKIWATI et al. 1995), serapan N dan P hijauan legum pakan (LUKIWATI et al. 1996) lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan BP. Efisiensi pemupukan P tertinggi dalam menghasilkan produksi biji dan bahan kering jerami jagung dicapai dengan pemupukan BP ataupun SP pada dosis 66 kg P/ha (LUKIWATI, 2002). Tidak semua dosis pemupukan P dapat diabsorbsi oleh akar tanaman, sehingga masih terdapat residu pupuk P di dalam tanah. Residu pemupukan P pada dosis 132 kg P/ha masih mampu menghasilkan produksi biji dan bahan kering jerami jagung pada periode tanam kedua lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan P (LUKIWATI dan WALUYANTI, 2001). Meskipun hasil pada periode tanam kedua lebih rendah apabila dibanding periode tanam pertama. Sumber pupuk P (SP, BP) dan N (urea, ZA) yang berbeda, menunjukkan tidak berbeda pengaruhnya terhadap produksi bahan kering
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci
dan kadar protein kasar rumput Setaria splendida pada periode pemotongan pertama dengan pemupukan secara tunggal N atau P maupun ganda NP (LUKIWATI et al. 2001). Menurut JONES (1990) respon tanaman terhadap aplikasi pupuk P dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman maupun pupuk P yang digunakan serta ada tidaknya mikoriza efektif di dalam tanah. Dihapusnya subsidi pupuk oleh pemerintah menimbulkan masalah mengenai pembiayaan dalam pengadaan pupuk SP. Mahalnya harga pupuk SP menyebabkan perhatian beralih pada penggunaan pupuk batuan fosfat (BP). Meskipun pupuk BP bersifat lambat tersedia, masalah ini dapat diatasi dengan inokulasi cendawan mikoriza vesikular-arbuskular (MVA). Rangkuman serangkaian hasil-hasil penelitian mengenai peran cendawan MVA dalam meningkatkan produksi dan kualitas hijauan pakan pada tanah latosol disajikan dalam tulisan ini. CENDAWAN MIKORIZA VESIKULARARBUSKULAR Mikoriza vesikular-arbuskular termasuk salah satu tipe mikoriza, sebagai cendawan yang membentuk hubungan simbiotik mutualis dengan akar tanaman inang dan berperan dalam meningkatkan serapan unsur-unsur hara terutama P. Potensi cendawan mikoriza tersebut sangat penting untuk diperhatikan dan dimanfaatkan khususnya bagi kepentingan budidaya tanaman pakan terutama pada lahan tidak subur. Cendawan mikoriza terdiri dari dua tipe utama yaitu endomikoriza dan ektomikoriza. Asosiasi ektomikoriza terdapat pada spesies tanaman pohon dari famili Pinaceae, Betulaceae, Fagaceae dan Dipterocarpaceae. Asosiasi endomikoriza meliputi 3 kelompok yaitu famili Orchidaceae (mikoriza anggrek), Ericaceae (mikoriza ericoid) dan mikoriza vesikular-arbuskular (MVA) (PETERSON dan BONFANTE, 1994) Cendawan MVA terdapat pada hampir semua jenis tanah dan tidak memerlukan tanaman inang spesifik. Mikoriza vesikular-arbuskular dicirikan oleh adanya struktur vesikel, arbuskel dan hifa di dalam akar serta spora. Vesikel berbentuk kantung, bulat, terminal atau interkalari,
terdapat di dalam sel atau antar sel. Fungsi vesikel sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Arbuskel merupakan struktur seperti haustorium dan bercabang banyak, terletak di dalam sel. Fungsi arbuskel sebagai tempat pemindahan nutrisi antara cendawan mikoriza dan tanaman inang. Arbuskel berumur pendek, hanya sekitar 4 hari kemudian mengalami lisis/pecah dan membebaskan P ke tanaman inang (SMITH dan SMITH, 1995). Hifa eksternal MVA berperan meningkatkan efisiensi tanaman dalam mengabsorbsi dan translokasi unsur-unsur hara dan air tanah. Panjang hifa eksternal mencapai 7-10 m/g tanah pada penelitian di laboratorium, sedangkan di lapang mencapai 5-50 m/g tanah (ALLEN et al. 1992). Penelitian-penelitian mengenai taksonomi MVA dilakukan sejak tahun 1968 dan berkembang terus serta menunjukkan adanya revisi klasifikasi cendawan MVA. Hal ini dilaporkan oleh MORTON dan BENNY (1990) serta SCHENCK dan PE’REZ (1990) bahwa berdasarkan morfologi spora terdapat 6 genus pembentuk arbuskel dan termasuk dalam ordo Glomales. Genus-genus tersebut adalah Glomus, Sclerocystis, Acaulospora, Entrophosphora, Gigaspora dan Scutellospora. Empat genus yang disebut lebih awal juga membentuk vesikel, sedangkan Gigaspora dan Scutellospora tidak membentuk vesikel. Penelitian mengenai identifikasi spesies cendawan MVA dimulai sejak tahun 1988 dan telah ditemukan sebanyak 120 spesies. Setahun kemudian ditemukan sebanyak 126 spesies dan tahun-tahun berikutnya dapat diidentifikasi 147 spesies (SCHENCK dan PE’REZ, 1990) dan 150 spesies (MORTON dan BENTIVENGA, 1994) didominasi oleh genus Glomus. Setiap spesies MVA berbeda kemampuannya dalam merangsang pertumbuhan tanaman inang. Inokulasi Glomus fasciculatum menghasilkan produksi bahan kering, serapan N dan P hijauan centro (Centrosema pubescens) lebih tinggi dibanding dengan G. Mosseae (HARDJOSOEWIGNJO et al., 1996). Hal yang sama disampaikan oleh LUKIWATI dan SIMANUNGKALIT (1999) bahwa serapan N dan P hijauan jagung lebih tinggi dengan inokulasi G. fasciculatum dibanding Glomus manihotis maupun Scutellospora pellucida. Hal ini diduga karena adanya perbedaan ukuran spora dan dikaitkan dengan pembentukan hifa eksternal yang berperan dalam efisiensi
163
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci
penyerapan unsur-unsur hara terutama P. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa inokulasi spesies MVA yang berbeda (G. fasciculatum, Entrophosphora colombiana, G. fasciculatum + E. colombiana) menghasilkan produksi bahan kering, serapan N dan P hijauan puero tidak berbeda (LUKIWATI dan SIMANUNGKALIT, 2004). Keberhasilan inokulasi MVA di lapang atau pada penelitian di rumah kaca tanpa sterilisasi tanah, antara lain ditentukan oleh efektivitas spora MVAindigenous maupun yang di introduksikan serta status hara tanah. Cendawan MVA dalam keadaan dorman (istirahat) di dalam tanah, dapat diisolasi dengan metoda tuang saring basah (wet sieving dan decanting). Selanjutnya dengan bantuan mikroskop stereo dan pipet pasteur atau mikrospatula, spora MVA dapat diambil. Spora MVA tersebut dapat diperbanyak secara dikulturkan pada media tumbuh dengan tanaman inang rumput ataupun legum. LUKIWATI dan SUPRIYANTO (1995) menyatakan bahwa legum centro (Centrosema pubescens) dan puero (Pueraria phaseoloides) sesuai sebagai tanaman inang untuk perbanyakan spora MVA. Hasil perbanyakan tersebut dapat digunakan sebagai inokulum tanah (crude inoculum), spora maupun inokulum akar. Inokulum tanah masih dapat dipertahankan efektivitasnya selama 3 tahun apabila disimpan dalam kamar dingin (HOWELER et al., 1987). Menurut HARDJOSOEWIGNJO et al. (1996), pada suhu penyimpanan 20°C viabilitas Glomus mosseae maupun G. fasciculatum lebih tinggi dibandingkan pada suhu kamar. Namun populasi spora mikoriza menurun apabila digunakan fungisida Mankozeb 80% untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman (LUKIWATI et al. 1998). Perkembangan kolonisasi MVA dimulai dengan pembentukan suatu appresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal yang berasal dari spora atau akar bermikoriza di dalam tanah. Hifa dari appresorium kemudian menembus sel-sel epidermis dan menjalar di antara sel (interseluler) ataupun di dalam sel (intraseluler) menembus korteks tetapi tidak meluas ke endodermis ataupun stele. Akar bermikoriza dapat membentuk hifa eksternal yang merupakan kelanjutan dari hifa internal, kemudian vesikel terbentuk pada ujung-ujung
164
hifa. Tiap spesies tanaman dapat mengendalikan luasnya kolonisasi dan aktivitas cendawan MVA dalam sistem perakaran segera setelah mikoriza mantap perkembangannya. Akar bermikoriza dapat diamati dengan mikroskop setelah diwarnai dengan trypanblue atau larutan asam fuchsinasam laktat. Morfologi dan geometri sistem perakaran tanaman berpengaruh terhadap kemampuan tanaman inang dalam berasosiasi dengan mikoriza maupun absorbsi unsur-unsur hara. Dengan demikian, tiap spesies tanaman tidak selalu sama responnya terhadap inokulasi MVA. Sebagai contoh, inokulasi Glomus sp menghasilkan peningkatan serapan N dan P hijauan legum flemingia (Flemingia congesta) lebih tinggi dibanding puero (Pueraria phaseoloides) dan stylo (Stylosanthes guianensis) (LUKIWATI dan HARDJOSOEWIGNJO, 1998). Namun peningkatan produksi bahan kering hijauan stylo lebih tinggi dibanding flemingia maupun puero (LUKIWATI et al., 1995). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan asosiasi akar tanaman dengan mikoriza dapat berpengaruh terhadap fungsi simbiotik tersebut. Pertumbuhan dan fungsi mikoriza tergantung pada suplai karbon sebagai derivat fotosintesis dari tanaman inang (AZCONAQUILAR dan BAGO, 1994). INTERAKSI MIKORIZA–FOSFOR– TANAMAN Akar tanaman famili Gramineae dan Leguminoceae dapat berasosiasi dengan cendawan MVA. Meskipun demikian, legum lebih responsif terhadap inokulasi MVA dibanding rumput. Hal ini disebabkan karena tanaman legum mempunyai sedikit bulu-bulu akar (magnolioid roots), sehingga sangat bergantung pada asosiasi MVA. Produksi bahan kering hijauan centro dan puero dengan inokulasi MVA masing-masing meningkat 20 kali dan 8 kali dibanding tanpa MVA (LUKIWATI et al., 1994). Kadar Ca dan P hijauan legum dengan inokulasi mikoriza lebih tinggi dibandingkan tanpa mikoriza (LUKIWATI dan HARDJOSOEWIGNJO, 1998). Mahalnya pupuk SP dapat diatasi dengan penggunaan sumber pupuk P yang lebih murah
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci
harganya misalnya pupuk BP dikombinasikan dengan inokulasi cendawan MVA. Sesuai hasil penelitian LUKIWATI dan SIMANUNGKALIT (2001), bahwa pupuk BP dapat menggantikan pupuk SP apabila diinokulasi dengan MVA. Dinyatakannya bahwa kombinasi pemupukan BP dengan inokulasi MVA menghasilkan produksi bahan kering dan serapan P hijauan jagung tidak berbeda dibandingkan dengan pemupukan SP. Produksi BK, serapan N dan P hijauan jagung meningkat 8, 9 dan 12 kali lebih tinggi dengan kombinasi BP dan inokulasi MVA dibandingkan tanpa MVA. LUKIWATI et al. (1997) juga melaporkan bahwa pemupukan BP dikombinasikan dengan inokulasi MVA dapat meningkatkan serapan P hijauan legum bermikoriza 22 kali lebih tinggi dibanding tanpa MVA. Asosiasi simbiotik secara ganda antara tanaman legum dengan mikroorganisme (Rhizobium dan MVA) berperan penting dalam meningkatkan produksi legum di tanah masam. Inokulasi ganda Glomus manihotis dan Bradyrhizobium menghasilkan serapan N, P dan produksi bahan kering hijauan kedelai lebih tinggi dibanding apabila hanya di inokulasi G.manihotis ataupun Bradyrhizobium masing-masing secara tunggal (LUKIWATI dan SIMANUNGKALIT, 2002). Perkembangan penelitian mengenai penerapan bioteknologi mikoriza pada tanaman pakan lebih lamban dibanding pada tanaman kehutanan. Terhambatnya aplikasi bioteknologi mikoriza pada tanaman pakan disebabkan karena terbatasnya informasi mengenai peran cendawan MVA khususnya dalam perbaikan produksi dan nilai nutrisi hijauan pakan. Demikian juga belum berhasilnya upaya membuat kultur MVA yang diisolasi, serta tentang metoda untuk pengadaan inokulum MVA dalam jangka panjang (LUKIWATI, 1993). KESIMPULAN Cendawan MVA telah menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan produksi dan nilai nutrisi hijauan pakan serta menekan kebutuhan pupuk P bagi tanaman pakan di tanah masam dan kahat unsur hara P. Namun belum diterapkan secara komersial khususnya dalam budidaya tanaman pakan. Salah satu
kendalanya adalah kesulitan dalam penyediaan inokulum jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA ALLEN MF, WEINBAUN B, MORRIS SJ, ALLEN EB. 1992. Techniques for following the hyphae of VA mycorrhizal fungi. Programme and Abstracts. The International Symposium on Management of Mycorrhizas, in Agriculture, Horticulture and Forestry. Perth, Western Australia. 28 Sept.-20 Oct. hlm.24-25. AZCON-AQUILAR C. and B. BAGO. 1994. Physiological characteristics of the host plant promoting an undisturbed functioning of the mycorrhizal symbiosis. Proc. Impact of Arbuscular-mycorrhizas on Sustainable Agriculture and Natural Ecosystems. Switzerland. pp. 47-60. HARDJOSOEWIGNJO S, DR LUKIWATI, Y. FAKUARA, I. ANAS, D. SASTRADIPRADJA, A. RAMBE, TR. WIRADARYA. 1996. Pengaruh mikoriza vesikula-arbuskula dan pupuk batuan fosfat terhadap produksi dan nilai nutrisi hijauan leguminosa makanan ternak. Laporan Penelitian Hibah Bersaing I/1-I/4 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1992/19931995/1996. Kontrak Nomor: 004 /P4M/DPPM/95/ PHBI/4/1995. DP4M Dirjen DIKTI. DEPDIKBUD. Fakultas Peternakan IPB. HOWELER RH, E. SIEVERDING, S. SAIF. 1987. Practical aspects of mycorrhizal technologyin some tropical crops and pastures. Plant and Soil. 100: 249-283. JONES, RJ. 1990. Phosphorus and beef production in northern Australia. 1. Phosphorus and pasture productivity. Trop. Grassld. 24:131-139. KERRIDGE, P.C. and D. RATCLIFF. 1982. Comparative growth of four tropical pasture legumes and guinea grass with different phosphorus sources. Trop. Grassld. 16(1): 3340. LUKIWATI, D.R. 1990. Pengaruh pupuk TSP terhadap produksi pada pertanaman monokultur dan ganda rumput setaria gajah– kacang panjang. MEDIA Majalah Pengembangan Ilmu-ilmu Peternakan dan Perikanan. Edisi I Tahun XV. hlm 11-14. LUKIWATI D.R. 1993. Penerapan Bioteknologi Mikoriza pada Tanaman Pakan Ternak. MEDIA Majalah Pengembangan Ilmu-ilmu Peternakan dan Perikanan. Edisi II. Tahun XVIII. hlm. 15-19.
165
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci
LUKIWATI DR, HARDJOSOEWIGNJO S, FAKUARA Y, ANAS I. 1994. Dry matter yield of forage legumes by VAM and rock phosphate fertilizer in the Latosolic soil. Abstract, BioRefor Workshop on Plantation Forestry and the Application of New Biotechnology. PerlisMalaysia. 28 November – 1 December. hlm. 41 LUKIWATI DR, HARDJOSOEWIGNJO S, FAKUARA Y, ANAS I. 1995. Effect of VAM and rock phosphate on productivity of forage legumes. Didalam: BIOTROP Special Publication. No.56. hlm.127-129. LUKIWATI DR, SUPRIYANTO. 1995. Performance of three VAM species from India for inoculum production in centro and puero. Didalam: Proc. of International Workshop on Biotechnology and Development of Species for Industrial Timber Estates. LIPI Bogor. 2729 June. hlm. 257-265. LUKIWATI DR, HARDJOSOEWIGNJO S, FAKUARA Y, ANAS I, WIRADARYA TR, RAMBE A. 1996. Nutrient uptake improvement of centro and puero by rock phosphate fertilization and VAM inoculation in the Latosolic soil. Di dalam: Proc. of the International Workshop of Bio-Refor. Bangkok, Thailand 25-29 November. hlm.152-155. LUKIWATI DR, HARDJOSOEWIGNJO S, FAKUARA Y, ANAS I, WIRADARYA TR, RAMBE A. 1997.Improvement of phosphorus uptake of forage legumes by rock phosphate fertilization and vesicular-arbuscular mycorrhiza inoculation. Di dalam: Plant Nutrition for Sustainable Food Production and Environment. Proc. of the XII International Plant Nutrition Qolloquium. Tokyo-Japan. 1319 September. Kluwer Academic Publishers, London. hlm.945-946 LUKIWATI DR, HARDJOSOEWIGNJO S. 1998. Nitrogen and P uptake improvement of forage legumes by rock phosphate fertilization and VAM inoculation. Didalam: Bulletin of An.Sci. Supplement Edition. Published by Faculty of Animal Sci. Gajah Mada University. Yogyakarta. hlm.110-114. LUKIWATI DR, HARDJOSOEWIGNJO S. 1998. Mineral content improvement of some tropical legumes with Glomus fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proc. of the International Workshop on Mycorrhiza. Guangzhou, China 31 August–6 September. hlm. 77-79 LUKIWATI DR, SIMANUNGKALIT RDM. 1999. Peningkatan produksi bahan kering, serapan N
166
dan P hijauan jagung dengan inokulasi cendawan mikoriza-arbuskular. Abstrak, Pertemuan Ilmiah Tahunan, Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Cabang Sumatera Barat. Padang, 2-3 Agustus 1999. hlm.32. LUKIWATI DR, WALUYANTI R. 2001. Response of maize to the residual effect of phosphorus fertilization in Latosolic soil. Collection of Summaries, 37th Croatian Symposium on Agriculture with an International Participation. Opatija-Croatia, 19-23 February. hlm 183 LUKIWATI DR, SIMANUNGKALIT RDM. 2001. Improvement of maize productivity with combination of phosphorus fertilizer from different sources and vesicular-arbuscular mycorrhizae inoculation. Di dalam: Proc. of International Meeting “Direct Application of Phosphate Rock and Related Appropriate Technology-Latest Developments and Practical Experiences. IFDC/MSSS/ESEAP. Kualalumpur, Malaysia. 16-20 July. hlm. 329333. LUKIWATI DR, EKOWATI R, KARNO. 2001. Produksi bahan kering dan kadar protein kasar rumput setaria dengan pemupukan N dan P. Panduan Seminar dan Abstrak, Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Dies Natalis IPB. Fakultas Peternakan IPB Bogor, 8-9 Agustus. hlm 167-168. LUKIWATI DR, SIMANUNGKALIT RDM. 2002. Dry matter yield, N and P uptake with Glomus manihotis and Bradyrhizobium japonicum. Abstract, Vol.II Symposium 17. Paper no.17th. The 17th World Congress of Soil Science. Bangkok-Thailand, 14-21 August. hlm. 696. LUKIWATI DR, HERAWATI K, SUMARSONO. 2003. Nitrogen and phoshorus uptake of Sesbania grandiflora with phosphorus fertilizer from different sources. Proc.of XXXVIII Croatian Symposium on Agric. with International Participation. Opatija-Croatian. pp.389-390. LUKIWATI DR, SIMANUNGKALIT RDM. 2004. Production and nutritive value of Pueraria phaseoloides with vesicular-arbuscular mycorrhizae inoculation and phosphorusfertilization. Abstracts, The 4th International Symposium of the Working Group MO. Environmental Significance of Mineral Organic Component-Microorganism Interactions in Terrestrial Systems. Sept.2023, Wuhan, China. hlm. 90. MORTON JB, BENNY GL. 1990. Revised classification of arbuscular mycorrhizal fungi (Zygomycetes): A new order, Glomales, two
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci
new suborders, Glomineae and Gigasporineae, and two new families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae, with an emendation of Glomaceae. Mycotaxon. 37: 471-491. MORTON JB, BENTIVENGA SP. 1994. Levels of diversity in endomycorrhizal fungi (Glomales, Zygomycetes) and their role in defining taxonomic and non-taxonomic groups. Proc. of an International Symposium on Management of Mycorrhizas in Agriculture, Horticulture and Forestry. 28 Sept.-2 Oct.1992. Kluwer Academic Publishers. London. hlm. 47-59.
SCHENCK NC, PE’REZ Y. 1990. Manual for the Identification of VA Mycorrhizal Fungi.3rd ed. Synergistic Publications. Gainesville. Florida. SMITH FA, SMITH SE. 1995. Nutrient transfer in vesicular-arbuscular mycorrhizas: A new model based on the distribution of ATP uses on fungal and plant membranes. BIOTROPIA. 8: 1-10. WINKS L. 1990. Phosphorus and beef production in northern Australia. 2. Responses to phosphorus by ruminants–a review. Trop. Grassld. 24:140-158.
PETERSON RL, BONFANTE P. 1994. Comparative structure of vesicular-arbuscular mycorrhizas and ectomycorrhizas. Proc. of an International Symposium on Management of Mycorrhizas in Agriculture, Horticulture and Forestry. 28 Sept.-2 Oct. 1992. Kluwer Academic Publishers. London. hlm. 79-88.
167