PEMANFAATAN SILASE HIJAUAN SEBAGAI PAKAN NUTRISI UNTUK TERNAK Yenni Yusriani
Pendahuluan Pembangunan dibidang peternakan khususnya ternak ruminansia tidak lepas dari penyediaan pakan hijauan secara berkelanjutan (kontinyu) guna menunjang produktivitas ternak yang tinggi. Dalam manajemen budidaya ternak, pakan merupakan kebutuhan tertinggi yaitu kurang lebih 60-70 % dari seluruh biaya produksi. Mengingat tingginya biaya komponen tersebut maka perlu adanya perhatian dalam penyediaan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Porsi hijauan pakan dalam ransum ruminansia mencapai 40-80% dari total bahan kering ransum atau sekitar 1,5-3% dari bobot hidup ternak. Pada musim kemarau,ketersediaan pakan menjadi sangat terbatas bahkan sampai kekurangan dan kualitas pakan yang ada juga sangat rendah. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab rendahnya peningkatan produksi ternak terutama ternak ruminansia di Indonesia. Hijauan pakan dapat berupa, rumput, legume, segam, perdu, maupun rumba. Hijauan pakan adalah bagian tanaman yang dapat dimakan ternak (edible) selain biji-bijian, yang dapat menyediakan makanan bagi ternak atau yang dipanen untuk pakan. Pentingnya hijauan pakan bagi ternak dikarenakan hijauan pakan merupakan menu utama untuk pakan ruminansia, banyak yang beranggapan bahwa menu utama bagi ruminansia adalah konsentrat, padahal pemikiran seperti itu adalah suatu kesalahan, konsentrat hanyalah pakan tambahan untuk ruminansia. Hijauan pakan juga merupakan sumber serat, pro vit A, mineral dan klorofil bagi ruminansia. Kandungan nutrisi inilah yang dibutuhkan bagi ternak ruminansia yang ada di dalam hijauan pakan, selain itu dari segi biaya juga lebih murah jika dibandingkan dengan konsentrat yang harus impor. Hijauan pakan lebih mudah didapatkan di negara kita sendiri karena negara kita adalah negara agraris, negara yang mudah untuk memproduksi
jenis hijauan yang beranekaragam. Hal ini dapat meminimalisir kebutuhan biaya untuk pakan ruminasia. Hal ini dapat menjadi potensi bisnis untuk menyediakan hijauan pakan ternak, karena untuk konsumsi hijauan 1 ekor sapi membutuhkan hijauan pakan sebanyak 20 - 30 kg/hari. Sehingga untuk sebuah peternakan dengan jumlah ternak 100 ekor membutuhkan hijauan pakan sebanyak 2 - 3 ton/hari, jika harga rumput Rp 200 - 300/kg maka bisnis penyediaan hijauan pakan ternak akan menghasilkan omset sebesar Rp 600.000 - 900.000/peternak/hari. Produksi rumput gajah per panen selama 30 hari setiap hektarnya akan menghasilkan 30 - 50 ton, apabila harga rumput Rp 200 - 300/kg, maka akan menghasilkan omset Rp 6.000.000 9.000.000/bulan/hektar. Nilai ini cukup menguntungkan dengan perputaran waktu yang relatif cepat serta resiko gagal panen yang rendah. Berbagai
upaya
yang
dapat
dilakukan
antara
lain
dengan
meningkatkan eksplorasi sumber bahan pakan baru sebagai pakan alternatif yang relatif murah, mudah didapat dengan kandungan nutrisi yang baik. Tujuan utama penambahan mikroorganisme ke dalam pakan untuk 1) mengawetkan pakan atau yang lebih dikenal dengan proses silase, 2) meningkatkan kualitas pakan yang rendah nilai gizinya, serta 3) memperbaiki kondisi rumen ternak. Pada paper ini akan dibahas tentang pengawetan hijauan dengan menggunakan silase. SILASE Pengawetan hijauan merupakan bagian dari sistem produksi ternak, yang bertujuan agar pemberian hijauan sebagai pakan ternak dapat berlangsung secara merata sepanjang tahun. Pengawetan tersebut akan berdampak pada keadaan fisik serta komposisi kimia hijauan tersebut antara lain dengan kehilangan sebagian dari zat makanan (gizi tanaman/nutrien) yang nantinya akan berdampak pada nilai nutrisi. Kualitas dan nilai nutrisi silase dipengaruhi sejumlah faktor seperti spesies tanaman, fase
pertumbuhan
dan
kandungan
bahan
kering
saat
panen,
mikroorganisme yang terlibat dalam proses dan penggunaan bahan tambahan (additive).
Silase dibuat jika produksi hijauan dalam jumlah yang banyak atau pada fase pertumbuhan hijauan dengan kandungan zat makanan optimum. Silase berasal dari hijauan makanan ternak ataupun limbah pertanian yang diawetkan dalam keadaan segar (dengan kandungan air 60-70 %) melalui proses fermentasi dalam silo. Silo merupakan tempat pembuatan silase, sedangkan ensilage adalah proses pembuatan silase. Silo dapat dibuat di atas tanah yang bahannya berasal dari: tanah, beton, baja, anyaman bambu, tong plastik, drum bekas, plastik dan lain sebagainya. Fermentasi silase dimulai saat oksigen telah habis digunakan oleh sel tanaman. Bakteri menggunakan karbohidrat mudah larut untuk menghasilkan asam laktat dalam menurunkan pH silase. Tanaman di lapangan mempunyai pH yang bervariasi antara 5 dan 6, setelah difermentasi turun menjadi 3,6 - 4,5. Penurunan pH yang cepat membatasi
pemecahan
protein
dan
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme anaerob merugikan seperti enterobacteria dan clostridia. Produksi asam laktat yang berlanjut akan menurunkan pH yang dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri. Bakteri pembentuk asam (fermentasi) akan berkembang dengan pesat dan akan merubah gula dalam hijauan menjadi asam-asam organik seperti asam asetat, asam susu dan juga alkohol. Dengan meningkatnya derajat keasaman, kegiatan bakteri - bakteri lainnya seperti bakteri pembusuk akan terhambat. Pada derajat keasaman tertentu (pH = 3,5) bakteri asam laktat tidak pula dapat bereaksi lagi dan proses pembuatan silase telah. Pembentukan suasana asam dapat dipercepat dengan cara penambahan bahan pengawet atau bahan tambahan (additif) secara langsung maupun tidak langsung. Pemberian bahan pengawet pada pembuatan silase ada yang menggunakan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dengan menggunakan Natrium bisulfat, Sulfur oxida, Asam chlorida, Asam sulfat atau Asam propionat. Pemberian bahan pengawet atau tambahan (additif) secara tidak langsung ialah dengan memberikan tambahan bahan-
bahan yang mengandung hidrat arang (carbohydrate) yang siap diabsorpsi oleh mikroba, antara lain :
Molases (tetes tebu) 2,5-3,0 kg /100 kg hijauan;
Onggok (tepung) 2,5 kg/100 kg hijauan;
Tepung jagung 3,5 kg/100 kg hijauan;
Dedak halus 5,0 kg/100 kg hijauan atau
Ampas sagu : 7,0 kg/100 kg hijauan.
Manfaat Pembuatan Silase:
Persediaan makanan ternak pada musim kemarau.
Menampung kelebihan HMT pada musim hujan dan memanfaatkan secara optimal.
Mendayagunakan hasil ikutan dari limbah pertanian dan perkebunan.
Keunggulan Produk Silase: 1. Nilai gizi silase setara dengan hijauan segar bahkan dapat lebih tinggi. 2. Disukai oleh ternak. 3. Tersedia sepanjang tahun baik musim hujan maupun kemarau Tahapan Silase Umur Silase Lactic
Perubahan pH Produksi yang di hasilkan
Fase I 0 - 2 hari Respirasi sel; menghasilkan CO2, panas dan air
Fase II 2 - 3 hari Produksi asam asetat dan asam laktat
Fase III 3 - 4 hari Pembetukan asam
Fase IV 4 - 21 hari Pembentuka n asam laktat
Fase V 21 hari Penyimpan an Material
6,5-6,0
6,0-5,0
5,0-4,0
4,0
4,0
Asam asetat dan bakteri asam laktat
Bakteri asam laktat
Bakteri asam laktat
Asam laktat dan Silase
Fase VI Pembusuk an Aerobik reexposure dengan ox ygen 4,0-5,0 Silase
** Suhu atau temperatur sangat tergantung suhu ruangan.
Proses Pembuatan Silase. Bahan baku berasal dari tumbuhan atau bijian yang segar yang langsung di dapat dari pemanenan, jangan yang telah tersimpan lama ini akan berhubungan dengan kualitas silase. Prinsip Dasar Fermentasi Silase.
1. Pemotongan atau Pencacahan Bahan Baku. Ukuran pemotongan sekitar 5 centimeter. Pemotongan dan pencacahan perlu di lakukan agar mudah di masukan dalam silo dan mengurangi terperangkapnya ruang udara di dalam silo serta memudahkan pemadatan. Jika hendak menggunakan bahan tambahan, maka taburkan bahan tambahan tersebut kemudian di aduk secara merata, sebelum di masukan dalam silo. 2. Masukan cacahan tersebut ke dalam silo secara bertahap, lapis demi lapis. Saat memasukan bahan baku ke dalam silo secara bertahap, lakukan penekanan atau pengepresan untuk setiap lapisan agar padat. Kenapa harus di padatkan, karena oksigen harus sebanyak mungkin di kurangi atau di hilangkan sama sekali dari ruang silo. 3. Lakukan penutupan dengan serapat mungkin sehingga tidak ada udara yang bisa masuk ke dalam silo. 4. Biarkan silo tertutup rapat serta di letakan pada ruang yang tidak terkena matahari atau kena hujan secara langsung, selama tiga minggu dan dapat langsung diberikan kepada ternak. 5. Silo yang tidak di buka dapat terus di simpan sampai jangka waktu yang sangat lama asalkan tidak kemasukan udara 6. Pada masa adaptasi, harus di berikan sedikit demi sedikit dicampur dengan hijauan yang biasa dimakan. Jika sudah terbiasa secara bertahap dapat seluruhnya diberi silase sesuai dengan kebutuhan. Kesimpulan Pemanfaatan mikroorganisme dalam pakan ternak di Indonesia telah banyak dilakukan dan memberi dampak yang positif terhadap ternak. Perlu terus diusahakan pemanfaatan mikroorganisme agar pemanfaatan limbahlimbah dapat dilakukan secara maksimum sehingga ketersediaan pakan dapat terus terjamin sepanjang tahun dan terciptanya lingkungan yang lebih bersih dengan tujuan akhir adalah peningkatan produktivitas ternak. Daftar Bacaan Bestari, J ., A. Thalib, H. Hamid. 2000. Pengaruh kombinasi pemberian pakan silase jerami padi cairan rumen kerbau dan molase terhadap pertambahan bobot badan sapi Peranakan Ongole. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner . Bogor, 18-19 Okt. 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm . 242-250. Budiarsana, I .G.M., B. Haryanto, SN. Jarmani. 2005. Nilai ekonomis penggemukan domba ekor tipis yang diberi pakan dasar jerami padi terfermentasi . Pros .Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 Sept . 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm . 445-454 Ginting, S. 2004. Tantangan dan peluang pemanfaatan pakan lokal untuk pengembangan peternakan kambing di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong . Bogor, 6 Agust. 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 61-77 . Gunawan, A .K . Supriyati, Budiman, H. Hamid. 2000. Pemanfaatan Cassapro pada temak sapi perah laktasi . Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Okt. 2000 . Puslitbang Peternakan, Bogor hlm. 251256. Lubis, .D ., E. Wina, B. Haryanto, T. Suhargiatatmo . 2002. Effectiveness of Aspergillus oryzae fermentation culture to improve digestion of fibrous feeds : in vitro . JITV 7(2) : 90-98. Lubis, D., E . Wina, B. Haryanto, T. Suhargiatatmo .2002 . Feeding of Aspergillus oryzae fermentation culture (AO:FC) to growing sheep : 1 . The effect of AOFC on rumen fermentation . JITV 7(3) :155-161. Suwito. 2001. Efek Ensilase Rumput Gajah dengan Bakteri Asam Laktat dan Enzim Selulolitik serta Suplementasi Seng dan Probiotik pada Sapi . Skripsi.Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak . Fakultas Petemakan. Institut Pertanian Bogor. Syamsuddin, N., J .A. Syamsu, E. F . Puspita, Nurhaeni. 2004. Kualitas fermentasi silase rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan penambahan inokulan bakteri asam laktat dan molases . Bull . Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1) : 67-75. Wijaya, E., B.N. Utomo. 2001 . Pemanfaatan limbah kelapa sawit solid sebagai pakan tatnbahan ternak ruminansia di Kalimantan Tengah . Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Bogor, 17-18 Sept. 2001 . Puslitbang Petemakan, Bogor. hlm. 262-267. Wina, E. 2000. Pemanfaatan ragi (yeast) sebagai pakan imbuhan untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia. Wartazoa 9(2) : 50-56.