Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN PRODUKSI LEGUM PADA TIGA TARAF NAUNGAN DI DUA AGRO-EKOSISTEM JUNIAR SIRAIT, SIMON P. GINTING dan ANDI TARIGAN Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1, Galang Deli Serdang 20585
ABSTRAK Integrasi sistem produksi tanaman-ternak di lahan perkebunan membutuhkan ketersediaan hijauan pakan dari tanaman yang toleran terhadap naungan agar sistem dapat berlangsung berkesinambungan. Suatu penelitian telah dilaksanakan di dua agroekosistem yakni di dataran rendah beriklim basah Sei Putih Kabupaten Deli Serdang dan dataran tinggi beriklim kering Gurgur Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data karakteristik morfologi dan produksi leguminosa pada taraf naungan dan ekosistem yang berbeda sehingga didapat spesies yang lebih tahan terhadap kondisi naungan. Penelitian dilaksanakan dengan rancangan petak terbagi (split-plot design) menggunakan 3 ulangan. Petak utama adalah naungan terdiri atas tiga taraf yakni 0, 55 dan 75%, sedang petak bagian adalah spesies leguminosa terdiri atas Arachis pintoi, Arachis glabrata dan Calopogonium muconoides. Peubah yang diamati mencakup; tinggi vertikal tanaman, luas daun, jumlah daun per batang, jumlah anakan serta produksi. Data dianalisis dengan menggunakan program SAS, bila terdapat perbedaan antar perlakuan naungan dan spesies serta interaksinya dilakukan uji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test). Hasil penelitian menunjukkan A. glabrata memiliki rataan produksi tertinggi di dataran rendah beriklim basah Sei Putih pada ketiga taraf naungan, dan berbeda nyata dengan dua spesies lainnya. Produksi A. pintoi di kedua agroekosistem cenderung meningkat dengan bertambahnya taraf naungan. C. muconoides memiliki produksi terrendah. Dapat disimpulkan bahwa A. pintoi dan A. glabrata dapat beradaptasi pada kondisi naungan. Kata Kunci: Naungan, agro-ekosistem, leguminosa, morfologi, produksi
PENDAHULUAN Upaya pengembangan produksi ternak ruminansia menuntut adanya ketersediaan sumber daya pakan yang stabil dan kompetitif, karena input pakan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan dan kelangsungan usaha produksi. Pada sistem produksi kambing, pakan hijauan (forages) masih menjadi salah satu komponen pakan yang dominan, walaupun pada sistem usaha yang komersial-intensif peran pakan nonhijauan (konsentrat) meningkat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Produksi pertanian yang mengintegrasikan komoditas ternak dan tanaman dalam satu unit usaha produksi (crop livestock systems) merupakan sistem alternatif untuk memacu perkembangan ternak ruminansia. Sistem integrasi ruminansia dengan tanaman perkebunan telah menjadi topik penelitian yang intensif dan telah menghasilkan berbagai rekomendasi teknologi untuk mengimplementasikannya. Namun, salah satu aspek yang masih tetap menjadi kendala adalah relatif cepatnya penurunan ketersediaan
88
hijauan pakan untuk mendukung kebutuhan nutrisi ternak yang disebabkan oleh menurunnya ketersediaan energi matahari bagi proses fotosintesis hijauan pakan dibawah kanopi tanaman. Potensi untuk meningkatkan produksi dan kontinuitas ketersediaan hijauan dalam sistem integrasi ini dapat dieksplorasi melalui introduksi spesies hijauan pakan yang memiliki adaptabilitas dan toleransi yang tinggi terhadap naungan. Laporan penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa jenis hijauan pakan memiliki sifat toleransi naungan yang relatif tinggi (SHELTON dan STUR 1990; STUR,1990; STUR dan SHELTON, 1990), namun belum banyak dikembangankan untuk mendukung sistem integrasi ternak-tanaman. Potensi jenis hijauan tersebut perlu di dieksplorasi lebih lanjut sebagai sumber hijauan yang potensial pada berbagai tingkat naungan dan kondisi egroekosistem yang berbeda. Hal ini diperlukan dalam rangka mendorong implementasi sistem integrasi ternak dengan tanaman perkebunan dengan memberikan alternatif jenis hijauan yang dapat digunakan baik sebagai tanaman penutup tanah maupun sebagai sumber hijauan pakan ternak.
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
Beberapa spesies Arachis diantaranya: (1) Arachis glabrata, (2) Arachis hybrid, (3) Arachis repens, (4) Arachis sp. IRFL. 3059 dan (5) Arachis pintoi. Arachis merupakan tanaman yang unik karena memiliki manfaat yang beraneka ragam antara lain: sumber protein dari hijauan untuk ternak dengan kandungan protein kasar berkisar 7,82 – 19% berdasarkan bahan kering, meningkatkan produktivitas rumput bila ditanam secara campuran, pupuk hijau untuk lahan yang miskin bahan organik, menyuburkan tanah yang miskin unsur hara, penutup tanah di areal perkebunan, pengendali erosi pada lahan miring, dan tanaman hias (YUHAENI, 2001). Disamping itu tanaman ini mampu bersaing dengan gulma sehingga dapat eksis dan memiliki persistensi yang cukup baik. Hal ini didukung oleh sistem perakaran (rhizoma) yang kuat. Arachis berasal dari Amerika Selatan dan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Tanaman ini dapat dikembangkan di Indonesia yang diharapkan untuk memperbaiki pastura alam khususnya di daerah kering/tandus. Untuk spesies yang tahan naungan memungkinkan dilakukannya integrasi dengan areal perkebunan maupun kehutanan. Calopogonium mucunoides dikenal dengan sebutan Calopo atau kacang asu, berasal dari Amerika Selatan. Tanaman ini merupakan jenis leguminosa berumur panjang yang bersifat memanjat dan merambat. Tumbuh baik di daerah dengan curah hujan tahunan 1270 mm atau lebih. Pada musim kemarau yang agak panjang dapat mengalami kematian. Tidak tahan terhadap genangan air tetapi tahan terhadap naungan sedang (JAYADI, 1991). SANCHEZ dan POND (1991) serta IBRAHIM et al., (1990) menyebutkan bahwa kacang asu memiliki kualitas pakan yang baik dengan kandungan protein kasar sebesar 18,3%; NDF 48,6%; ADF 37,6% juga mineral makro maupun mikro seperti Ca, P, Na, K, Mg, S, Fe, Zn, Cu dan Mn. Diharapkan tanaman ini menambah keanekaragaman sumber hijauan pakan ternak, meskipun dari segi palatabilitas kurang disukai ternak namun dapat menjadi alternatif khususnya pada musim kemarau yang berkepanjangan. Untuk mendukung pengembangan produksi kambing, maka sumber daya pakan harus juga dikembangkan agar mampu mendukung produksi kambing secara berkesinambungan. Hijauan merupakan
komponen pakan yang sangat penting karena merupakan pakan basal. Dalam sistem produksi integrasi ternak-tanaman seperti model kambing-kelapa sawit, ketersediaan hijauan pakan sepanjang umur kelapa sawit merupakan kendala karena meningkatnya naungan sejalan dengan umur tanaman. Menurut CHONG et al., (1994), A. pintoi dan Stylosanthes guianensis merupakan jenis leguminosa yang toleran terhadap naungan di perkebunan karet maupun kelapa sawit, khususnya pada tanaman muda. Produktivitas hijauan akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur tanaman perkebunan disebabkan semakin berkurangnya penetrasi cahaya dalam arti taraf naungan semakin besar dengan berkembangnya kanopi tanaman utama. HORNE et al., (1994) menyebutkan bahwa ada dua cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan produksi hijauan di perkebunan karet maupun kelapa sawit, yaitu: (1) introduksi spesies hijauan yang tahan naungan dan (2) perubahan pola penanaman guna mendukung produksi hijauan yang berkesinambungan. Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan penelitian penanaman tiga spesies leguminosa dalam skala plot ukuran 4x4 m pada tiga taraf naungan di ekosistem dataran tinggi dan dataran rendah. Diharapkan melalui penelitian ini diperoleh data karakteristik morfologi dan produksi pada taraf naungan dan ekosistem yang berbeda dan didapat spesies mana yang lebih tahan terhadap kondisi naungan. MATERI DAN METODA Penelitian dilakukan di dua agroekosistem berbeda yaitu dataran rendah-basah (50 m dpl; curah hujan rata-rata 1800 mm/tahun) berlokasi di Sungai Putih, Kabupaten Deli Serdang dan dataran tinggi-kering (1000 m dpl) berlokasi di Gurgur, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara. Jenis hijauan yang diuji adalah leguminosa terdiri atas tiga spesies yakni: Arachis pintoi (Ap), Arachis glabrata (Ag) dan Calopogonium muconoides (Cm). Hijauan ditanam pada plot seluas 4x4 m2 dan diberi naungan buatan menggunakan paranet dengan taraf naungan 0, 55 dan 75% PAR dari cahaya penuh. Materi tanam disemaikan
89
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
DMRT (Duncan Multiple Range Test) menurut STEEL and TORRIE (1993). Jumlah petak untuk masing-masing ekosistem adalah: 3 (PAR) x 3 (spesies tanaman) x 3 (ulangan) = 27 petak. Luas petak terkecil = 4 x 4 m = 16 m2; Luas total percobaan bersih untuk kedua ekosistem adalah 2 x 27 x 16 m2 = 864 m2. Peubah yang diamati mencakup: 1) karakteristik morfologis (tinggi vertikal, luas daun, jumlah daun per batang, jumlah anakan) serta 2) produksi . Taraf naungan diukur menggunakan alat solarimeter. Paranet yang terbuat dari polyethylene dibentangkan sepanjang plot perlakuan setinggi 2 m di atas permukaan tanah untuk membantu sirkulasi udara dan pelaksanaan pengamatan. Pada sisi terakhir yang menghadap Timur dan Barat, paranet ditarik dengan sudut 450 ke bawah mencapai kira-kira 1 meter diatas permukaan tanah. Hal ini dilakukan untuk mencegah terobosan sinar matahari pada pagi dan sore hari. Tata letak perlakuan pada penelitian disajikan dalam Gambar 1.
terlebih dahulu di dalam polibag sebelum dipindahkan ke plot penelitian. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan SP-36 (50 kg) dan KCl (50 kg) per hektar per tahun. Penelitian dilaksanakan dengan rancangan petak terbagi (split-plot design) dalam rancangan acak lengkap menggunakan 3 ulangan (GOMEZ and GOMEZ, 1984). Petak utama (main plot) adalah naungan, sedang petak bagian (sub-plot) adalah tiga spesies leguminosa dengan model matematik sbb: Y = µ + Rep + Taraf naungan (TN) + galata + spesies (SP) + galatb + TN x SP + galatc Dimana, galata (Rep x TN) digunakan untuk menguji pengaruh naungan, galatb (Rep x SP) digunakan untuk menguji pengaruh spesies dan galatc (Rep x TN x SP) digunakan untuk menguji interaksi antara naungan dan spesies. Data dianalisis dengan menggunakan program SAS (SAS, 1987), dan bila terdapat perbedaan antar perlakuan naungan dan spesies serta interaksinya dilakukan uji lanjut dengan
Dataran Rendah Basah (Sei Putih, Deli Serdang) N-O
N-55
N-75
N-O
N-55
N-75
N-
N-55
N-75
Ag
Ap
Cm
Cm
Ap
Ag
Ap
Ag
Cm
Cm
Ag
Ap
Ag
Cm
Ap
Cm
Ap
Ag
Ap
Cm
Ag
Ap
Ag
Cm
Ag
Cm
Ap
R1
R2
R3
Dataran Tinggi Kering (Gurgur, Tobasa) N-O
N-55
N-75
N-O
N-55
N-75
N-O
N-55
N-75
Ag
Ap
Cm
Cm
Ap
Ag
Ap
Ag
Cm
Cm
Ag
Ap
Ag
Cm
Ap
Cm
Ap
Ag
Ap
Cm
Ag
Ap
Ag
Cm
Ag
Cm
Ap
R1
R2 Gambar 1. Tata letak perlakuan penelitian
Keterangan: Ag : Arachis glabrata; Ap: Arachis pintoi; Cm: Calopogonium muconoides, N-0 : Taraf naungan 0%; N-55: Taraf naungan 55%; N-75: Taraf naungan 75% R : Replikasi
90
R3
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
berbeda. Sementara itu spesies A. glabrata dan A. pintoi memiliki tinggi tanaman yang jauh lebih rendah di dataran tinggi Gurgur dibanding dengan di dataran rendah Sei Putih.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter morfologis Tinggi vertikal tanaman Pada dataran rendah Sei Putih, tinggi tanaman tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh taraf naungan, spesies leguminosa maupun interaksi taraf naungan dengan spesies legume. Tidak terdapat perbedaan nyata tinggi tanaman pada ketiga taraf naungan dan ketiga spesies leguminosa (Tabel 1). Meskipun demikian, khusus untuk A. pintoi (di dataran tinggi maupun dataran rendah) terdapat kecenderungan peningkatan tinggi tanaman dengan bertambahnya taraf naungan. Umumnya tanaman yang tumbuh pada kondisi naungan beradaptasi melalui pertambahan tinggi sebagai upaya untuk memperoleh cahaya yang lebih banyak. Tabel 1. Rataan tinggi vertikal tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran rendah Sei Putih Spesies
Taraf naungan (%) 0
55
75
Rata-rata
---------------- cm --------------Arachis glabrata
40,0
29,3
38,0
35,8 a
Arachis pintoi
19,3
29,3
33,3
27,3 a
Calopogonium muconoides
32,7
27,0
17,3
25,7 a
Rata-rata
30,7 a 29,6 a 28,6 a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Untuk dataran tinggi Gurgur, tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh taraf naungan (P>0,05), tetapi spesies leguminosa serta interaksi perlakuan naungan dengan spesies berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman (Tabel 2). Tanaman tertinggi adalah C. muconoides dan berbeda nyata (P<0,05) dengan tinggi A. glabrata maupun A. pintoi. Spesies yang memiliki tinggi terkecil adalah A. pintoi pada taraf naungan 0 dan 55%. C. muconoides berbeda dengan dua spesies lainnya dimana tanaman ini memiliki tinggi yang relatif sama di dua ekosistem yang
Tabel 2. Interaksi taraf naungan dengan spesies leguminosa terhadap tinggi vertikal di dataran tinggi Gurgur Spesies
Taraf naungan (%) 0
55
75
Rata-rata
------------------ cm --------------Arachis glabrata
18,8 b 18,8 b
Arachis pintoi
11,5 d 14,3 cd 16,0 bc 13,9
Calopogonium muconoides
26,3 a 26,2 a
Rata-rata
18,9
19,8
16,5 bc 18,0
24,3 a 25,6 18,9
Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Luas daun Hasil analisis keragaman menunjukkan tidak terdapat pengaruh nyata (P>0,05) taraf naungan dan interaksi taraf naungan dengan spesies leguminosa terhadap luas daun di dataran rendah Sei Putih. Spesies leguminosa memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap luas daun. Secara numerik terdapat kecenderungan peningkatan luas daun seiring dengan bertambahnya taraf naungan pada ketiga spesies leguminosa. Tabel 3. Rataan luas daun tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran rendah Sei Putih Spesies
Arachis glabrata Arachis pintoi Calopogonium muconoides Rata-rata
Taraf naungan (%) Rata-rata 0 55 75 --------------- cm2 ------------14,7 14,0 17,3 15,3 b 15,0 46,3
17,0 54,0
25,3 a 28,3 a
12,7 55,0
14,9 b 51,8 a
28,3 a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris,berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
91
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
Untuk dataran tinggi Gurgur analisis keragaman menunjukkan tidak terdapat pengaruh nyata (P>0,05) interaksi antara naungan dengan spesies leguminosa terhadap luas daun. Pengaruh nyata (P<0,05) terhadap luas daun ditemukan pada perlakuan naungan dan spesies leguminosa. Hal yang berbeda di dataran tinggi Gurgur adalah pada spesies C. muconoides, dimana tanaman ini menunjukkan penurunan luas daun dengan meningkatnya taraf naungan (Tabel 4). Kondisi ini kontradiktif dengan apa yang seharusnya terjadi pada tanaman yang tumbuh dibawah naungan. Umumnya tanaman justru meningkatkan luas daun sebagai bentuk adaptasi terhadap naungan. Hal ini dapat dimaklumi karena tanaman ini tidak tahan akan kekeringan yang berkepanjangan yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan termasuk perkembangan daun. Tabel 4. Rataan luas daun tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi Gurgur Spesies
Taraf naungan (%) 0
55
75
spesies tidak ada pengaruh nyata (P>0,05). Meskipun tidak terdapat pengaruh nyata taraf naungan terhadap jumlah daun per batang, namun untuk spesies A. glabrata dan A. pintoi terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah daun dengan bertambahnya taraf naungan (Tabel 5). Jumlah daun tertinggi diperoleh pada spesies A. pintoi pada taraf naungan 75% sebanyak 74,7 helai diikuti oleh A. glabrata pada taraf naungan yang sama. Berbeda halnya dengan spesies C. muconoides yang justru jumlah daunnya menurun dengan meningkatnya taraf naungan, dimana jumlah daun terrendah sebanyak 14 helai diperoleh pada taraf naungan tertinggi. Hal ini memberikan indikasi bahwa C. muconoides mengalami cekaman pada kondisi ternaungi khususnya pada taraf naungan berat. Namun demikian tanaman C. muconoides telah lama digunakan sebagai tanaman penutup tanah diperkebunan. Tabel 5. Rataan jumlah daun/batang tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran rendah Sei Putih
Rata-rata Spesies
----------------- cm2-------------
Taraf naungan (%) 0
55
75
Rata-rata
--------------- helai -------------
Arachis glabrata
16,8
17,0
12,2
15,3 b
15,7
12,5
14,7
14,3 b
Arachis glabrata
45,3
Arachis pintoi Calopogonium muconoides
51,0
39,2
34,8
41,7 a
Arachis pintoi
37,7
38,3
74,7
50,2 a
Calopogonium muconoides
19,7
18,7
14,0
17,4 b
Rata-rata
27,8 a
23,9 ab 20,6 b
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Jumlah daun per batang Jumlah daun per batang ditentukan dengan menghitung jumlah helai daun yang terdapat pada satu batang tanaman (tanpa ada anakan) dengan jumlah sampel 10 tanaman per spesies yang diambil secara acak. Jumlah daun per batang untuk dataran rendah Sei Putih disajikan dalam Tabel 5. Hasil analisis keragaman menunjukkan adanya pengaruh nyata (P<0,05) spesies legum terhadap jumlah daun per batang. Sedangkan untuk perlakuan naungan maupun interaksi naungan dengan
92
Rata-rata
34,2 a
58,3
62,7
55,4 a
38,4 a 50,4 a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Untuk dataran tinggi Gurgur ditemukan hal yang sama sebagaimana di dataran rendah Sei Putih. Pengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah daun per batang hanya ditemukan pada perlakuan spesies, sedang untuk perlakuan naungan maupun interaksi naungan dengan spesies tidak terdapat pengaruh nyata (P>0,05). Meskipun tidak terdapat pengaruh nyata interaksi naungan dengan spesies terhadap jumlah daun per batang, namun A. glabrata dan A. pintoi menunjukkan pertambahan jumlah daun dengan meningkatnya taraf naungan (Tabel 6). Hal ini menggambarkan
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
bahwa Arachis lebih beradaptasi dengan kondisi naungan dibanding dengan C. mucunoides. Jumlah daun ketiga spesies legum di dataran rendah Sei Putih lebih banyak dibanding dengan di dataran tinggi Gurgur. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ketiga spesies lebih sesuai tumbuh di dataran rendah beriklim basah. Tabel 6. Rataan jumlah daun/batang tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi Gurgur Spesies
Taraf naungan (%) 0
55
75
Rata-rata
---------------- helai------------Arachis glabrata
16,8
22,5
21,0
20,4 a
Arachis pintoi
22,3
31,7
24,5
26,2 a
Calopogonium muconoides
16,7
10,5
11,0
12,7 b
Rata-rata
18,6 a 21,6 a 18,8 a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Jumlah anakan Rataan jumlah anakan tiga spesies leguminosa di dataran rendah Sei Putih disajikan dalam Tabel 7. Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat pengaruh nyata (P>0,05) perlakuan naungan maupun interaksi naungan dengan spesies terhadap jumlah anakan, tetapi spesies legum memberikan pengaruh nyata (P<0,05). Secara teori disebutkan bahwa tanaman yang tumbuh pada cahaya penuh memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibanding dengan tanaman pada kondisi naungan. Namun pada penelitian ini jumlah anakan pada naungan 55% (N-55) lebih banyak dibanding naungan 0% (N-0) meskipun diantara ketiga taraf naungan tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dipahami karena fotosintat digunakan secara merata untuk pertumbuhan anakan dan tinggi tanaman. Sebab tinggi tanaman ketiga spesies tidak berbeda nyata pada ketiga taraf naungan (Tabel 1 dan 2). Rataan jumlah anakan A. pintoi (19,9) nyata lebih banyak dibanding dengan A. glabrata maupun C. muconoides.
Tabel 7. Rataan jumlah anakan tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran rendah Sei Putih Spesies
Taraf naungan (%) 0
55
75
Rata-rata
Arachis glabrata
13,0
13,7
8,0
11,6 b
Arachis pintoi
20,7
23,3
15,7
19,9 a
Calopogonium muconoides
8,3
10,0
14,3
10,9 b
Rata-rata
14,0 a
15,7 a 12,7 a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Untuk dataran tinggi Gurgur, diperoleh hal yang sama dengan dataran rendah Sei Putih, dimana perlakuan naungan, spesies, maupun interaksi naungan dengan spesies legum tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap rataan jumlah anakan. Rataan jumlah anakan pada ketiga taraf naungan (14,0 vs 15,7 vs 12,7) tidak berbeda nyata seperti disajikan dalam Tabel 8. Demikian juga halnya dengan ketiga spesies leguminosa tidak ditemukan perbedaan nyata Tabel 8. Rataan jumlah anakan tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi Gurgur Spesies
Taraf naungan (%)
Rata-rata
0
55
75
Arachis glabrata
19,0
13,5
17,3
16,6 a
Arachis pintoi
15,2
18,0
16,8
16,7 a
Calopogonium muconoides
4,8
6,5
6,8
14,1 a
Rata-rata
13,0 a 12,7 a
13,7 a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Produksi segar leguminosa Rataan produksi segar yang disajikan pada Tabel 9 dan 10 merupakan akumulasi dua kali pemanenan pada bulan basah. Data produksi yang diperoleh mempunyai keragaman yang
93
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
sangat besar. Hasil analisis keragaman menunjukkan terdapat pengaruh nyata (P<0,05) spesies leguminosa terhadap produksi, namun perlakuan naungan serta interaksi naungan dengan spesies tidak ditemukan pengaruh nyata (P>0,05). Rataan produksi A. glabrata di dataran rendah Sei Putih (1369,5 g m-2) nyata lebih tinggi dibanding dua spesies lainnya. Namun bila dibandingkan produksi antara perlakuan naungan 0% (N-0) dengan naungan 55% (N55), satu-satunya spesies yang menunjukkan peningkatan dibanding N-0 adalah A. pintoi. Tabel 9. Produksi segar tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran rendah Sei Putih Spesies
Taraf naungan (%) 0
55
75
Rata-rata
---------------- g m-2 ------------Arachis glabrata
1587,3
1429,2 1091,7 1369,5 a
Arachis pintoi
151,1
435,4 293,8 293,8 b
Calopogoniu m muconoides
279,3
97,9 166,9 181,4 b
Rata-rata
672,9 a 654,2 a 517,4a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
Produksi A. pintoi pada kondisi ternaungi lebih tinggi dibanding pada keadaan cahaya penuh. Produksi pada perlakuan N-55 sebesar (435,4 g m-2) lebih tinggi 188% dibanding produksi pada naungan 0% (151,1 g m-2). Meskipun produksi pada perlakuan N-75 mengalami penurunan sebesar 32,5% dibanding N-55, namun masih lebih tinggi 94% dari produksi pada perlakuan N-0 (Tabel 9). Produksi A. glabrata dan C. muconoides pada perlakuan N-55 dan N-75 lebih rendah dibanding produksi pada kondisi tanpa naungan. Produksi segar tertinggi untuk dataran tinggi Gurgur diperoleh pada spesies A. pintoi. Bila dikaitkan dengan tinggi tanaman, produksi terbesar ini diperoleh pada tanaman dengan tinggi tanaman terendah. A. pintoi memiliki tinggi sebesar 13,9 cm nyata lebih rendah dari dua spesies lainnya (Tabel 2). Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa tinggi tanaman
94
berbanding terbalik dengan produksi sebagaimana hasil penelitian SIRAIT et al., (2005). Produksi yang tinggi pada A. pintoi didukung oleh perakaran yang cepat menyebar, jumlah anakan serta jumlah daun yang relatif lebih banyak dibanding dua spesies lainnya. Hasil analisis keragaman menunjukkan rataan porduksi A. pintoi (316 g m-2) nyata lebih tinggi (P<0,05) dibanding produksi A. glabrata maupun C. muconoides. Perlakuan naungan dan interaksi naungan dengan spesies tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap produksi segar. Produksi segar A. glabrata cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya taraf naungan (Tabel 10). Produksi A. pintoi pada naungan 55% meningkat sebesar 19,3% dibanding pada perlakuan tanpa naungan serta lebih tinggi 26,3% dibanding pada perlakuan N-0. Produksi A. pintoi di kedua agroekosistem relatif sama dan menunjukkan adaptasi yang baik pada kondisi naungan. Produksi C. muconoides pada perlakuan naungan N-55 lebih tinggi dibanding N-0. Produksi tanaman ini mengalami penurunan yang sangat drastis bila dibandingkan dengan produksi di dataran rendah Sei Putih. Tabel 10. Produksi segar tiga spesies leguminosa pada taraf naungan yang berbeda di dataran tinggi Gurgur Spesies
Taraf naungan (%) 0
55
75
Rata-rata
----------------- g m-2 ------------Arachis glabrata
262,5
191,7
127,1
193,8 b
Arachis pintoi
302,1
360,4
285,4
315,9 a
Calopogonium muconoides
18,8
41,7
13,5
24,6 c
Rata-rata
194,5 a 197,9 a 142,0 a
Huruf yang berbeda dalam satu lajur atau baris, berbeda nyata pada P<0,05 dengan menggunakan DMRT
KESIMPULAN Arachis pintoi menunjukkan adaptasi yang baik pada kondisi naungan diindikasikan oleh produksi yang cenderung meningkat seiring bertambahnya taraf naungan pada kedua
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak
agroekosistem. Hal ini didukung oleh oleh perakaran yang cepat menyebar, jumlah anakan serta jumlah daun yang relatif lebih banyak. Arachis glabrata merupakan spesies dengan produksi tertinggi di dataran rendah beriklim basah Sei Putih, namun produksinya cenderung menurun dengan meningkatnya taraf naungan meskipun tidak terdapat perbedaan nyata pada ketiga taraf naungan. Calopogonium muconoides memiliki produksi terrendah khususnya di agroekosistem dataran tinggi beriklim kering Gurgur yang nyata lebih rendah dibanding A. pintoi dan A. glabrata. Kedua spesies Arachis beradaptasi dengan kondisi naungan dan dapat menjadi alternatif tanaman penutup tanah di daerah perkebunan. DAFTAR PUSTAKA CHONG, D.T., K.F. NG and I. TAJUDDIN. 1994. Evaluation of selected forage species in rubber plantation for sheep production. Paper presented at the 7th Animal Science Congress of the Australian-Asian Animal Production System Societies, Bali-Indonesia, July 11-16. GOMEZ, K.A., and A.A. GOMEZ. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research 2nd Ed. John Wiley and Son. HORNE, P.M., I. TAJUDDIN and D.T. CHONG. 1994. Agroforestry plantation systems: sustainable forage and animal production in rubber and oil palm plantations. Paper presented to ACIARsponsored symposium “Agroforestry and Animal Production for Human Welfare” at 7th Animal Science Congress of the AustralianAsian Animal Production System Societies, Bali-Indonesia, July 11-16. IBRAHIM T.M., M.D. SANCHEZ, A. DARUSSAMIN and K.R. POND. 1990. Evaluation of selected and introduced forage species in North Sumatra. In: Small Ruminant Collaborative Research Support Program Sei Putih. Annual report 1989-90, pp. 82-87.
SHANCEZ, M.D. and K.R. POND. 1991. Nutrition of sheep that are integrated with rubber tree production systems. In: (Iniguez and Sanchez, Eds) Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production Systems. Small Ruminant Collaborative Research Support Program. University of California-Davis, pp. 97-114. SHELTON, H.M. and W.W. STUR. 1990. Opportunities for Integration of Ruminants in Plantation Crops of Southeast Asia and the Pacific. In: H.M.Shelton and W.W. Stur (eds.) Forages for Plantation Crops.ACIAR Proceeding N0. 32. Hal.5-9. SIRAIT, J., S. HARDJOSOEWINGJO, N.D. PURWANTARI dan P. DEWI. 2005. Pertumbuhan dan Serapan Nitrogen Rumput pada Naungan dan Pemupukan yang Berbeda. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. STATISTICS ANALYTICAL SYSTEM. 1987. SAS User’s Guide: Statistic. 6th ed., SAS Institute Inc.,Cary,NC,USA. STEEL, R.G.D., and J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. B. Sumantri, penerjemah. Gramedia Pusraka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statitistics. STUR, W.W. 1990. Methodology for Establishing Selection Criteria for Forage Spesies Evaluation In: L.C. Iniguez and M.D. Sanchez (Eds.) Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production System. Medan September 9-14. pp. 3-9. STUR W.W., and H.M. SHELTON. 1990. Review of Forage Resources in Plantation Crops of Southeast Asia and the Pacific. In: H.M. Shelton and W.W. Stur (Eds.) Forages for Plantation Crops. ACIAR No. 32, pp. 25-31. YUHAENI, S. 2001. Arachis: Tanaman Unik Hijauan Pakan Ternak. Leaflet, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
JAYADI, S. 1991. Tanaman Makanan Ternak Tropika. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
95