PRINSIP DASAR EKONOMI DAN BISNIS DALAM ISLAM Misbahul Khoir Program Studi Ekonomi Syari‟ah Universitas Islam Lamongan E-mail :
[email protected]
Abstract: In order for humans could reach the so-called falah (goodness), human behavior needs to be colored with the spirit and norms of Islamic economics reflected in its values. The principles and values of Islamic economics are considerably two inseparable things. The implementation of economic principles without being colored with values or values without being based on principles could keep people far away from their purpose, namely falah. The implementation of values not based on principles will tend to bring with it the normative economics, which would cause it trapped into injustice. While the implementation of values on the Islamic economic development is based on the five universal values, namely akidah (belief), 'adl (justice), nubuwwah (prophetic), khilafah (the government), and ma'ad (results). The five principles are used as the basis for building theories of Islamic economics. But strong and adequate theories not applied into a system will make the Islamic economics just as the study of science without giving positive impact on the economic life. Therefore, based on the five universal values, the three derivative principles should be built into the characteristics and the forerunner of the Islamic economic system. The Islamic economic system makes sure that there are no economic transactions that are contrary to the Shari'a. But business performance depends on the man behind the gun. For that reason, the economic actors within this framework could be held by non-Muslims. The Islamic economics could only be developed if the mindset and behavior of Muslims are already itqan (diligent) and ihsan (professional). It "may be" one of the secrets of the Prophet's statement, saying "Truly I was sent to perfect good character". Because good character could be an indicator of knowing good or bad behavior in determining both the success and the failure of business itself. Keyword: Principles and values, Islamic business, Islamic economics
Pendahuluan Islam yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW adalah mata rantai terakhir agama Allah yang diwahyukan kepada semua rasulNya. Sebagai mata rantai terakhir, Islam yang diwahyukan kepada nabi terakhir itu merupakan agama Allah yang telah disempurnakan dan ditujukan kepada seluruh umat manusia sepanjang zaman, hingga datangnya hari qiyamat nanti. Sebagai agama Allah yang telah disempurnakan, Islam memberikan pedoman dalam seluruh aspek kehidupan manusia, spiritual-materiil, individual-sosial, jasmani-rohani dan dunia-ukhrawi. Bidang ekonomi juga diperoleh pedoman-pedomannya dalam Islam, pada umumnya dalam bentuk garis besar, guna memberi peluang perkembangan-perkembangan kehidupan ekonomi di kemudian hari. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang disiapkan untuk mampu mengemban amanatNya, memakmurkan kehidupan di bumi dan diberi kedudukan terhormat sebagai wakilNya (khalifah) di bumi dengan tetap memperhatikan beberapa koridor (asas, prinsip) yang telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an dan hadith. AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
70
Prinsip merupakan suatu mekanisme atau elemen pokok yang menjadi struktur atau kelengkapan suatu kegiatan atau keadaan. Sedangkan prinsip ekonomi dalam Islam merupakan kaidah-kaidah pokok yang membangun struktur atau kerangka ekonomi Islam yang digali dari Al-Qur‟an dan hadith. Prinsip ekonomi ini berfungsi sebagai pedoman dasar bagi setiap individu dalam berperilaku ekonomi. Namun, agar manusia bisa menuju falah, perilaku manusia perlu diwarnai dengan spirit dan norma ekonomi Islam, yang tercermin dalam nilai-nilai ekonomi Islam. Keberadaan prinsip dan nilai ekonomi Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Implementasi prinsip ekonomi tanpa diwarnai oleh nilai ataupun nilai tanpa prinsip dapat menjauhkan manusia dari tujuan hidupnya, yaitu falah. Implementasi nilai tanpa didasarkan pada prinsip akan cenderung membawa kepada ekonomi normatif belaka, yang akan menyebabkan perekonomian yang bersangkutan terjerumus ke dalam ketidakadilan. sementara penerapan nilai tanpa prinsip akan membuat rusaknya tatanan ekonomi dan menjauhkan dari tujuan ekonomi itu sendiri. Sementara dalam bisnis (ekonomi), kecenderungan manusia dalam mengedepankan kepentingan duniawi, mengejar return (profit oriented) sehingga berprinsip hemat tapi bakhilnya amit-amit karena berdalih zaman ini zaman sulit, hidup mesti super irit kalau perlu kudu keliwat pelit bahkan hanya demi perut kebanyakan manusia rela saling sikut, saling usut dan saling tuntut juga tidak sedikit yang menggunakan cara-cara yang dilarang oleh syariat. Semisal, pergi ke kuburan keramat agar dapat wangsit atau pergi ke dukun supaya diberi jimat dengan tujuan agar kemelaratan dan kemiskinannya segera minggat, tak perduli melanggar adat istiadat, syariat (kodrat dan di akhirat dilaknat), yang penting bisa cepat punya rumah bertingkat, mobilnya alphart, atau bahkan sampai beristri empat, punya pangkat dan menjadi terhormat meski dengan cara-cara bejat, asal embat atau sikat uang rakyat, hidupnya hanya sibuk menuruti hawa nafsu sesaat dan menjadikan diri sum‟ah serta riya (perasaan bangga yang berlebihan atas dirinya). Maka hakikinya orang-orang yang seperti itu bukanlah menuju kesuksesan hidup (welfare), justru mereka tanpa sadar menuju kehancuran akibat perkaraperkara yang mereka perbuat dan tergolong orang-orang yang benar-benar merugi dunia akhirat. Disinilah pentingnya mencari riziki yang halal (berbisnis) dengan cara yang baik dan benar bukan asal tenar atau asal untung besar tapi jalannya kesasar yang justru akan menghancurkan bisnis dan ekonominya sendiri tanpa sadar. Cinta dunia adalah pangkal kerusakan dan akan larut dalam ambisi yang berkepanjangan. Prinsip Dasar Ekonomi dan Bisnis dalam Islam Dalam urusan social kemasyarakatan, agama (Islam) sering ditanggalkan atau bahkan dilupakan dan justru kiblatnya adalah system sekularistik yang sudah menelisik dan berbaur dalam nafas kehidupanbahkan menjadi panutan dan acuan dalam berbisnis sehari-hari, apalagi tanpa kita sadar l;ingkungan telah tercemar oleh budaya setempat atau adat istiadat yang melenceng dari syariat, adat istiadat yang kuat dan budaya barat yang makin memikat (hasrat) yang justru melahirkan berbagai bentuk tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistic, kehidupan social yang egoistic dan individualistic dan sikap beragama yang sinkretis (parsial) serta system pendidikan yang materialistic bahkan tausiyah/wejangan dan penyuluhan(pencerahan) sekarang dikomersilkan dengan aneka tarif yang menggiurkan mengubah tuntunan hanya sebagai tontonan dan yang seharusnya hanya tontonan (hiburan) justru dijadikan tuntunan keseharian . Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakan sekedar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan ini sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Sermentara Islam yang kaffah dianggap justru menghambat, kemajuan iptek dan budaya yang bebas nilai (hanya pada tatanana etik), serta system pendidikan yang mateerialistik AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
71
menjadikan orang yang beragama justru malu , gengsi mengamalkan syariatnya sndiri,sehingga muncul jargon: yang tak doyan suapan dicap kolot dan tak berpengalaman yanc tak mau pakain ketat atau telanjang bulat dikatakan ketinggalan zaman, sehingga yang ada justru zaman yang makin edan atau manusianya yang kesyetanan atau banyak yang menyebut dengan zaman modern tapi jahiliyah. Inilah salah satu pentingnya kita memahami prinsip dasar ekonomi dan bisnis dalam Islam agar tidak tersesat atau salah arah dan jalan. Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah), dan ma’ad (hasil). Kelima dasar inilah yang dijadikan dasar untuk membangun teori-teori ekonomi Islam. Namun teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi Islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islam.1 Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to act, dan social justice. Semua teori ekonomi Islam dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam tersebut tidak lain hanyalah untuk mencapai tujuan Islam dan dakwah para nabi, yaitu akhlak. Akhlak (adab) inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya. Multitype Ownership (kepemilikan multijenis) Nilai tauhid dan nilai keadilan melahirkan konsep Multitype Ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta; dalam sistem sosial, kepemilikan negara; sedangkan dalam Islam, berlaku kepemilikan multijenis, yakni mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara maupun campuran. Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah,termasuk negara dan kita (hamba) adalah milik Allah sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi, manusia dianggap sebagai pemilik sekunder. 2 Hal ini terangkum dalam QS. Al-Najm; 31:
ِ ِ يِالَّ ِذي ِنِأَسئواِِِباِع ِملُواِوََي ِز ِ ِِ فِ أاْلَر .ن َِ اْلُ أس ِِ الس َمو ِ ِ ََِولِلَِِّوِمِا َحسنُواِبِ أ َّ ِف يِالَّذيأ َِنِأ أ اتِ َوَماِ ِ ِ أ َ ضِليَ أج ِز َِ أ َ َ ُ َ َ أ َ أ َ
َ
Artinya: “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga)”. Sumber daya menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. AlBaqarah; 284, dan QS. Al-Maidah; 17:
ِ ف ِاَنأ ُف ِس ُك ِم ِأ َِو ِ ُُتأ ُفوِه ِ ُُي ِِفَيَ أغ ِف ُِر ِلِ َم أِن.الل ِِ ِ اسأب ُك أِم ِبِِِو ِ ِ ِ ِ َواِ أِن ِتُأب ُد أوا ِ َما.ض ِِ ف ِاأْل أَر ِ ِ ِ ات ِ َوَما ِِ الس َم َو ِ ِ ِ لِلَِِّو ِ َما َّ ِ ف َ ُأ أ أ ِ ِ.اللُِ َعلَىِ ُك ِِّلِ َش أي ٍِءِقَ ِديأٌِر ِ ِ َو.ُاء ِ بِ َم أِنِيَ َش ُِ اءُِ َويُ َع ِّذ ِ يَ َش
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah 1 2
Ali „Abd al-Rasul, al-Mabadi’ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1980), 61-78. Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004), 111.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
72
mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah, 284).
ِ ِِ.ِ َواللِ ُُ َعلَىِ ُك ِِّلِ َش أي ٍِءِقَ ِديأٌِر.ُِ َِيألُ ُِقِ َماِيَشاَِء.ضِ َوَماِبَأي نَ ُه َما ِِ اتِ َواأْل أَر ِِ الس َم َو ُِ َولِلَِِّوِ ُم أل َّ ِك “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Maidah, 17). Dengan demikian, konsep kepemilikan swasta diakui. Namun untuk menjamin keadilan, yakni supaya tidak ada proses pendzaliman segolongan orang terhadap segolongan yang lain, maka cabang-cabang produksi yang penting dan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Dengan demikian, kepemilikan negara dan nasionalisasi juga diakui. Inilah yang dimaksud sistem kepemilikan campuran, kita diberi kewenangan dalam mengelolah dan memanfaatkan serta mengatur namun diiringi dengan tanggung jawab supaya tidak justru melakukan perusakan baik di langit maupun di bumi. Karena tugas manusia sebagaimana yang dituntunkan dalam agama Islam adalah beribadah dan selain beribadah juga diberi amanah sebagai kholifah fil ardh. Sedangkan untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, manusia wajib tolong menolong dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan ibadah kepada Allah.3 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah, 2:
ِِ ِيِاَِأَيُّهاِالَّ ِذي ِنِآمنُواِ ِلَِ ُُِتلُّواِ َشعآئِِر ًِل ِض َِ يِالأبَ أي َِ يِ َو ِلَِالأ َقآلئِ َِدِ َو ِلَِ ِّآم أ َِ َّهَِرِاأْلََرِِامِ َو ِلَِا أْلَأد تِ أ اْلََر َِامِيَأبتَ غُ أو َِنِفَ أ اللِ َو ِلَِالش أ َ ََ َ أ َ َ ٍ ِاْلَِرِِام ِأَ أِن ِتَ أعتَ ُد أوا صد أُّوُك أِم ِ َع ِن ِالأ َم أس ِج ِِد ِ أ ِّم أِن ِ َرِِّّبِ أِم ِ َوِر أ ِ َوإِذِاَ ِ َحلَألتُ أِم ِفاَ أ.ًض َوانِا َ ِ صطاَ ُد أوا ِ َو ِلَ ِ َأَي ِرَمنَّ ُك أِم ِ َشنَآ ُِن ِقَ أوِم ِأَ أِن ِلىِ أ .اب ِِ اللَِ َش ِديأ ُِدِالأعِ َق ِ ِإِ َِّن.َِالل ِ ِانِ َواتَّ ُقوا ِِ اْل أِِثِ َواأ ُلع أد َو َِ َوتَ َع َاو ُنواِ َعلَىِالأِ ِِّبِ َوالتَّ أق َوىِ َو ِلَِتَ َع َاونُ أواِ َع
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatangbinatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekalikali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. Semua konsep ini berasal dari filosofi norma dan nilai-nilai Islam. Freedom to Act (Kebebasan untuk bergerak/usaha) Penerapan nilai nubuwwah, akan melahirkan pribadi-pribadi yang profesional dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis. Para pelaku ekonomi dan bisnis menjadikan nabi sebagai teladan dan model dalam melakukan aktivitasnya. Keempat nilai nubuwwah (siddiq, ama>nah, fatha>nah, dan tabligh) apabila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (good governance) akan melahirkan konsep freedom to act pada setiap muslim, khususnya pelaku bisnis dan ekonomi. Freedom to act bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar adalah
3
P3EI UII Yogyakarta, Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992), 13.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
73
keharusan dalam Islam, dengan syarat tidak ada distorsi (proses pendzaliman) dan tidak ada kecurangan. 4 Potensi distorsi dikurangi dengan menghayati nilai keadilan. Penegakan nilai keadilan dalam ekonomi dilakukan dengan melarang semua mafsadah, riba, gharar, dan maisir serta melarang melakukan perusakan di muka bumi sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an Surat Al-Baqoroh ayat 60. Selain itu, dasar dari setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Kejujuran merupakan kualitas dasar kepribadian moral. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan hilang. Menurut Prof. H. Ismail Nawawi dalam bukunya ekonomi Islam, disebutkan bahwa kejujuran dalam ekonomi Islam terwujud dalam berbagai aspek: 1) Kejujuran yang terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. 2) Kejujuran yang terwujud dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu yang baik. 3) Kejujuran menyangkut hubungan kerja.5 Salah satu ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang konsep kujujuran adalah QS. AlMuthaffifin, 1-3:
ِ وي ِلِلِّألمطَف .ِ َوإِ َذاِ َكالُأوُى أِمِأ أَِوِ َوَزنُ أوُى أِمِ ُِيأ ِس ُرأو َِن.َّاسِيَ أستَ أوفُ أو َِن ِِ لىِالن َِ اَلَّ ِذيأ َِنِإِ َذاِا أكتاَلُأواِ َع.ِي َِ ِّف أ ُ ُ َأ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”
ِ ِ ِِ َّبِصلىِاللِعليوِوِسلمِقالِاَلأب يِّ ع ِفِبَأيعِ ِهمِاَِ َوإِ أِنِ َك َذبَا ِ َِِص َدقِاَِ َِوِبَيَّنِاَِبُ أوِرَِكِ َْلُمِا ِِّ َِع ِنِالن َ ِانِباِ أْليَا ِرِ َما َِلأِيَتَ َفَّرقِاَِفَِإ أِن ََ ِ .تِبََرَك ِةُِبَأيعِ ِه َما َِوَكتَ َماِ ُُِم َق أ Dari nabi SAW. bersabda: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar, apabila keduanya jujur dan menjelaskan cacat barangnya niscaya Allah akan menurunkan keberkahan, tetapi apabila keduanya saling berbohong dan menyembunyikan cacat barangnya, niscaya Allah akan mencabut keberkahan dari transaksi perdagangannya.6 Negara bertugas menyingkirkan atau paling tidak mengurangi distorsi pasar ini. Dengan demikian, pemerintah/negara bertindak sebagai wasit yang mengawasi interaksi pelakupelaku ekonomi dan bisnis dalam wilayah kekuasaannya untuk menjami tidak dilanggarnya syari‟ah, dan supaya tidak ada pihak-pihak yang dzalim atau terdzalimi, sehingga tercipta iklim ekonomi dan bisnis yang sehat. Meskipun dalam berusaha/bergerak termasuk dalam bisnis kita diberi Allah kebebasan bukan berarti tanpa batas dan bisa melakukan kerusakan seenaknya karena perintah bersuci (termasuk memakan dan meminum yang halal dan baik) itu lebih didahulukan oleh Allah daripada beramal salih (QS. Al-Mukminun: 51). Kenapa bisa begitu? Kalau kita mau merenungkan dan menanyakan pada Rasuluulah Saw maka akan kita temukan jawaban bahwa Kita juga terkadang kurang menyadari atau mungkin belum mengetahui sehingga cenderung lebih menuntut dan mengeluh setiap gagal dalam pekerjaan, cita-cita maupun bisnis ekonomi yang kita jalankan terutama karena kita merasa sudah taat dengan ibadah yang rajin namun 4
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 26. H. Ismail Nawawi, Ekonomi Islam; Perspektif Konsep, Model, Paradigma, Teori dan Aspek Hukum, (Surabaya: Vira Jaya Multi Press, 2008), 141. 6 Al-Bukhari, Shahih Bukha>ri, (Riyadh: Ri‟asat Idarat al-Buhuth al-„Ilmiyyah wa al-Ifta‟ wa al-Da‟wah wa alIrshad, tt). Hadith nomor 2825. 5
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
74
kita juga dalam bermaksiat ternyata tekun, semisal orang yang rajin baca Qur‟an apalagi suaranya merdu (syadu) dan bacaan Qur”annya bagus tetapi tidak pernah dipelajari apa maksud dari ayat-ayat yang dibaca tapi malah memfitnah orang jalan terus, belum lagi tubuh kita atau daging kita yang tumbuh dari makanan/rezeki yang tidak halal, bagaimana bisa doa kita dikabulkan? Padahal ketika pakaian kita saja yang najis atau diperoleh dari usaha yang haram, Allah tidak akan menerima ibadah sholatnya selama sesuatu yang haram itu masih ada pada dirinya. Nabi Muhammad saw pun memberikan peringatan kepada kita (umatnya), bahwa barang siapa memakan yang haram, maka tidak akan diterima ibadah sunat maupun wajibnya (sebagaimana yang diucapkan malaikat yang berada di atas Baitul Muqaddas setiap hari) dan kita diminta memperbaiki makanan kita supaya doa kita diijabah (diterima-Nya). Ketahuilah bahwa ibadah ada 10 macam, 9 diantaranya adalah terletak pada mencari yang halal dan setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, nerakalah yang lebih utama bagi dirinya. Maka ingat dan berhati-hatilah selalu agar kita selamat dari tipu daya syetan dan senantiasa mendapatkan perlindungan Allah dari cara-cara ribawi maupun yang dilarang oleh agama (Islam) dalam transaksi ekonomi dengan memahami prinsip dasar ekonomi dan bisnis dalam Islam. Social Justice (keadilan sosial) Keadilan (adl) merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kedzaliman adalah tujuan utama dari risalah para rasul-Nya. Keadilan seringkali diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan. Secara makro pun, kita tidak akan pernah bisa mencapai welfare state, jika tidak ada keadilan dan pemeratan. Adapun dalil naqli yang memerintahkan kepada kita supaya berlaku adil diantaranya adalah sebagai berikut:
ِب ُِ ِ ُِى َِوِِأَقأَِِر.ِِاِ أِع ِِدِلُأِوا.َِِو ِلَِ َأَِيِِرَِمِنَّ ُِك أِمِ َِشِنَآ ُِنِقَِ أِوٍِمِ َِعِلَىِِأََِّلِتَِ أِع ِِدِلُوا.ط ِِ س ِيِِلِل ِِوِ ُِش َِه َِد ِاءَِبِاِلأ ِِق أ َِ آمنُِأِواِ ُِك أِونُِأِواِقََِِّو ِِام أ َِ ِِيَاِِأَِيُّهِاَِاِلَّ ِِذِيأ َِن .اللَِ َِخبِأيٌِِرِِِِبَاِتَِ أِع َِمِلُأِو َِن ِ ِاللَِإِ َِّن ِ َِِواتَِّ ُِقوا.ِِلِلتَِّ أِقَِوى
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Maidah; 8) Terminologi keadilan dalam Al-Qur‟an disebutkan dalam berbagai istilah, antara lain; „adl (persamaan balasan, persamaan kemanusiaan, persamaan di hadapan hukum dan undangundang, kebenaran, proporsional), Qist (distribusi yang adil, berbuat dan bersikap adil dan proporsional), Qasd (kejujuran dan kelurusan, kesederhanaan, hemat, keberanian), Qawwam (kelurusan, kejujuran), Hiss (distribusi yang adil, kejelasan, terang), Mizan (keseimbangan, persamaan balasan), Wasat (moderat, tengah-tengah, terbaik).7 Gabungan nilai khilafah dan nilai ma‟ad (kebangkitan) melahirkan prinsip keadilan sosial. Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Karena itu, perekonomian Islam baru dapat maju apabila pola pikir dan perilaku muslim sudah itqa>n (tekun) dan ihsan (profesional). Ini “mungkin” salah satu rahasia sabda nabi yang artinya “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Karena akhlak 7
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 60.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
75
menjadi indikator baik-buruknya perilaku bisnis para pengusaha dalam menentukan suksesgagalnya bisnis yang dijalankannya. Dalam Islam, keadilan sosial terefleksikan dengan pemberian jaminan sosial kepada seluruh rakyatnya secara merata. Jaminan sosial dapat memberikan standar hidup yang layak, termasuk penyediaan pangan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya kepada setiap anggota masyarakat. Menyediakan kebutuhan hidup bagi setiap warganya adalah tugas negara. Namun demikian, bukan berarti negara-lah yang menyediakan seluruh kebutuhan tersebut untuk warganya.8 Disinilah juga menjadi penting peranan dari BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat) selain itu juga kesadaran secara individual tentang keperdulian sosial, keutamaan kebersamaan dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain dalam segala hal terutama dalam tolong menolong dalam kebaikan dan ibadah adalah menjadi salah satu tolak ukur manusia yang terbaik dan tergolong menjadi muhsinin. Hal terpenting yang perlu juga kita ketahui bahwa Allah memberikan ancaman kepada siapa saja yang tidak mau perduli dari mana ia memperoleh harta, Allah tidak akan perduli pula dari pintu mana memasukannya ke dalam neraka (naudzubillah). Maka, mari kita tinggalkan segala sesuatu yang meragukan atas diri kita kepada sesuatu yang tidak meragukan kita bahkan kalau bisa kita tinggalkan sesuatu yang tidak berbahaya karena untuk menghindari timbulnya bahaya. Seselek-jeleknya umat Muhammad saw adalah mereka yang memakan berbagai macam makanan tanpa perduli halal-haram, memakai berbagai macam pakaian tanpa aturan bahkan auratpun dipertontonkan dengan dalih seni, fashion,atau mode yang kebablasan, dan berbicara dengan tanpa batas dan aturan. Apalagi tabiat manusia yang cenderung menyukai sesuatu yang baru serta gampang penasaran (curious) terhadap sesuatu, semisal seandainya manusia dilarang meremas-remas kotoran hewan, niscaya mereka akan mencoba melakukannya dan mereka akan berkata:”Tidak semata-mata kami dilarang melainkan karena ada sesuatu di dalamnya”. Kita telah memiliki landasan teori yang kuat serta prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam yang mantap. Namun dua hal ini belum cukup, karena teori dan sistem menuntut adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem tesebut. Dengan kata lain harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlak secara professional (ihsan dan itqa>n) dalam bidang ekonomi, terlebih lagi yang posisinya sebagai pejabat pemerintah, Karena teori yag unggul dan sistem ekonomi syari‟ah sama sekali bukan merupakan jaminan bahwa perekonomian umat Islam akan secara otomatis dapat berkembang. Sistem ekonomi Islami hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syari‟ah. Tetapi kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun-nya. Karena sahnya amal syaratnya adalah adanya niat dan syarat sahnya niat adalah ikhlas sehingga orang yang berbuat/beramal tanpa niat hanya akan memperoleh kepenatan (kepayahan diri) dan sementara orang yang beramal dengan niat tetapi tidak ikhlas adalah riya‟ (pamer). Sementara dalam mencari rizki yang halal dan dengan usaha yang halal ternyata sangat berpengaruh dengan diterima tidaknya doa dan amal ibadah seseorang terutama terkait makanan, minuman dan pakaian yang dikenakan. Dalam berbisnis (melakukan transaksi ekonomi) terutama bagi penjual/pedagang diperlukan kepribadian yang kuat (iman dan taqwa). Kepribadian adalah merupakan keseluruhan kualitas psikis yang diwarisi atau diperoleh yang khas pada seseorang yang membuatnya unik (Personality is the total of humand mind). Human mind disini diartikan sebagai keseluruhan karakteristik dari diri seseorang, bisa berbentuk pikiran, perasaan, kata hati, berupa temperamen, watak/attitude (attitude is a little thing but can make a big different). 8
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid 4, 306-307.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
76
Istilah temperamen ini menunjukkan pada cara bereaksi atau bertingka laku yang bersifat tetap, sedangkan istilah watak dibentuk oleh pengalaman-pengalaman semasa kanakkanak (kecil), dan dapat berubah pada batas-batas tertentu karena diperolehnya pengalamanpengalaman baru. Temperamen ini menunjukkan pada cara bereaksi yang bersifat tetap dan tidak berubah-watak, yaitu suatu pola tingka laku (behavior) yang khas yang terdapat pada seseorang. Character is defined as the pattern of behavior characteristic for a given individual (Leland E. Hinsie, Jacob Salzky). Inti dari watak ialah orientasi. Seseorang yang ingin menjadi pelaku ekonomi (pembisnis) yang sukses sebagai salah satu kuncinya ia harus mempunyai kepribadian yang menarik (atractive) karena setiap orang memiliki dua kepribadian, yakni kepribadian bakat dan kepribadian didikan. Untuk mengembangkan bakat (terutama dibidang wira usaha/entrepreneur) ada 4 faktor yang perlu disempurnakan, yakni: (1) Pikiran (2) Perasaan (3)Pertimbangan (4) Sikap Sementara untuk mengembangkan kepribadian entrepreneur of moeslem perlu ditanamkan pengetahuan dasar berikut: (1) Penngetahuan akan diri sendiri (2) Pengetahuan tentang bisnis yang digeluti/barang-barang (comoditi) yang diperjual-belikan. (3) Pengetahuan tentang kolega bisnis seperti: customer, langganan-langganan (calon-calon pembeli). Terakhir namun tidak kalah penting, dalam berbisnis kita harus menegakkan system kehidupan Islam (tatanan berdasarkan syariah) dengan mengkaitkan/menyandarkan segala urusan (bisnis) pada Allah (theisme), mengedepankan etika (akhlak), sosialis dan humanis serta menyiapkan diri dengan 4 C (Comitment, Consistent, Competent, dan Comunication) juga mengejawantakan dalam kehidupan sehari-hari (bisnis) sifat jujur, menepati janji dan amanah serta percaya diri (strong self confidence), berinisiatif (kreatif dan inovatif), dan berkeahlian (life skill) serta meniatkan semua yang dicari termasuk mencari nafkah (rezeki) adalah untuk bekal ibadah dan taqorruban illaAllah karena hanya Allah-lah tujuan hidup kita dan ridlo-Nya yang kita harapkan. Semoga dengan begitu, kita akan senantiasa menjadi orang-orang yang bersyukur bukanya kufur, menjadi hamba-hamba yang tawadhu tidak takabur serta hidup dengan makmur, amin! Penutup Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah), dan ma’ad (hasil). Dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islam.9 Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to act, dan social justice. Ibadah ada 10 macam, 9 diantaranya adalah terletak pada mencari yang halal dan dalam keadaan apapun mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban atas setiap muslim, sebagaimana dalam hadits yang artinya “Mencari yang halal adalah fardu atas setiap muslim”. Sistem ekonomi Islami hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syari‟ah. Tetapi kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun-nya. Maka, ada 3 hal perkara yang harus dihindari agar tidak menimbulkan kehancuran, yaitu: bakhil yang selalu dituruti, hawa nafsu yang selalu diikuti, dan perasaan bangga yang berlebihan atas dirinya. Dalam berbisnis (melakukan transaksi ekonomi) terutama bagi penjual/pedagang diperlukan kepribadian yang kuat (iman dan taqwa). Kepribadian adalah merupakan keseluruhan kualitas psikis yang diwarisi atau diperoleh yang khas pada seseorang yang membuatnya unik (Personality is the total of humand mind). 9
Ali „Abd al-Rasul, al-Mabadi’ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1980), 61-78.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
77
Perekonomian Islam baru dapat maju apabila pola pikir dan perilaku muslim sudah itqa>n (tekun) dan ihsan (profesional). Ini “mungkin” salah satu rahasia sabda nabi yang artinya “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Karena akhlak menjadi indikator baik-buruknya perilaku bisnis para pengusaha dalam menentukan sukses-gagalnya bisnis yang dijalankannya. Dalam berbisnis kita harus menegakkan system kehidupan Islam (tatanan berdasarkan syariah) dengan selalu mengkaitkan/menyandarkan segala urusan (bisnis) pada Allah (theisme), mengedepankan etika (akhlak), sosialis dan humanis serta menyiapkan diri dengan 4 C (Comitment, Consistent, Competent, dan Comunication) juga mengejawantakan dalam kehidupan sehari-hari (bisnis) sifat jujur, menepati janji, amanah, percaya diri, inisiatif dan berkeahlian. Daftar Rujukan Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 4, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995. Al-Bukhari, Shahih Bukha>ri, Riyadh: Ri‟asat Idarat al-Buhuth al-„Ilmiyyah wa al-Ifta‟ wa al-Da‟wah wa al-Irshad, tt. al-Rasul, Ali „Abd, al-Mabadi’ al-Iqtishadiyyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1980 Asrori Ma‟ruf, Buat Pecinta Ilmu: Hirarki Ilmu dalam Kehidupan, Surabaya: Pustaka Progessif, 1991. Ismail Nawawi, Ekonomi Islam; perspektif konsep, Model, Paradigma, Teori dan Aspek Hukum, Surabaya: Vira Jaya Multi Press, 2008. M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara, Jakarta: Nuansa Madani, 2001. Mas‟ud Masda F. , Agama Keadilan: Risalah Zakat dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Muhammad, Drs, M.Ag, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, 2004, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1992. ……, Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015