56
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TERKINI LEMBAGA WAKAF Abdul Wahab (Program Studi Ekonomi Syari‟ah Universitas Islam Lamongan) Abstract: Endowment issunnah practice, included the most important type of charity that God encouraged and included noblest taqarrubform, and a form of kindness and ihsan which is the largest as well as many benefits, endowment is a charity that is never lost, even if the person who gave endowments already dies, the endowment property is prescribedas lasting beneficial like building, animals, gardens, weapons, furniture and growing now is cash waqf and intellectual property rightswaqf. When viewed from the back of the power law owned, waqf doctrine is teaching that is recommended (sunnah), but the real power that is so large as a base to increase the welfare of the community. So, therefore, the doctrine of waqf in the ijtihadiform, in itself to be as a non-managerial support that can be developed in an optimal management. Kata Kunci: Sejarah, Perkembangan, Lembaga Wakaf Pendahuluan Masyarakat Indonesia merupakan mayoritas umat Islam yang telah mengenal wakaf baik setelah Islam masuk maupun sebelum Islam masuk. Di tanah jawa, lembaga-lembaga wakaf telah dikenal pada masa Hindu-Buddha yaitu dengan istilah Sima dan Dharma (berupa sebagian hutan yang diberikan oleh raja kepada seseorang atau kelompok orang untuk diambil hasilnya) dan lainnya. Akan tetapi lembaga tersebut tidak persis sama dengan lembaga wakaf dalam hukum Islam. Dan peruntukannya hanya pada bidang tanah hutan saja atau berupa tanah saja. Umumnya, wakaf yang dikenal pada masa sebelum Islam atau oleh agama-agama lain diluar Islam hampir sama dengan Islam, yaitu untuk peribadatan. Sebagai contoh adalah pada masa Raja Ramses II di Mesir untuk pembangunan Kuil Abidus. Dengan kata lain lambaga wakaf telah dikenal oleh masyarakat pada peradaban yang cukup jauh dari masa sekarang. Namun tujuan utama dari wakafnya yang berbeda-beda (untuk mendapat pahala, hanya untuk masyarakat umum, dll). Sedangkan setelah masuknya Islam istilah wakaf mulai dikenal. Dalam pandangan Islam, istilah pandangan umum harta tersebut adalah milik Allah 1, dan oleh sebab itu persembahan itu adalah abadi dan tidak dapat dicabut kembali (diambil kembali oleh si pewakaf). Selain itu, harta tersebut juga di tahan dan dilakukan dan tidak dapat dilakukan lagi pemindahan-pemindahan. Di dalam Islam, wakaf memiliki banyak sekali pengaturan. Sehingga ketika wakaf dikenal di Indonesia juga mempengaruhi pengaturan perwakafan tanah di Indonesia yang peruntukannya sebagai tempat-tempat peribadatan dan sosial yang dibuatnya peraturan-peraturan yang lebih khusus mengenai wakaf di era setelah kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) yang terdapat pada Pasal 49 tentang Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial. Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah berikut : … 2 1 2
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke praktek (Jakarta: Gema Insani Press 2001), 8 Al-Qur‟an, 22: 77.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
57
… dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan wakaf.3 Dalam sejarah tercatat banyak para sahabat yang berduyun-duyun untuk mewakafkan hartanya. Seperti yang dikatakan oleh Jabir bahwa tidak ada sahabat rasul yang mempunyai kemampuan maliyah kecuali mereka telah melaksanakan wakaf. Pernyataan seperti ini memberikan indikasi akan betapa pentingnya peranan wakaf dalam kehidupan, disamping wakaf juga menjanjikan pahala yang mengalir setiap saat. Rasulullah saw. berkata: ِ ٍ ٍ ِ ٍ ِ َِّ ول ٍ ِ ِْ ات َّ َع ْن أَِِب ُى َريْ َرةَ أ صالِ ٍح َّ صلَّى َ َاَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ َن َر ُس َ ال إِذَا َم َ ص َدقَة َجا ِريَة أ َْو عل ٍْم يُْنَت َف ُع بِو أ َْو َولَد َ َع َعْنوُ َع َملُوُ إِ ََّّل م ْن ثَََلثَة إِ ََّّل م ْن َ اَّلل َ اْلنْ َسا ُن انْ َقط 4 ُيَ ْد ُعو لَو Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali tiga perkara, yaitu, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang selalu mendoakannya" (Muslim: 5/73) Atas dasar latar belakang di atas, maka dirasa perlu adanya suatu pembahasan yang komprehensip dan integral tentang sejarah kelembagaan wakaf. Pengertian Wakaf Secara etimologi, kata wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-waqfan, yang mempnyai arti berdiri tegak, menahan. Istilah fiqh yang semkana dengan wakaf antara lain, al-habs dan as-sabi>l, maka tidak heran di dalam kitab Imam Syafi‟I dan al-Kutub as-Sittah menyebut wakaf dengan menggunakan lafad} al-habs.5 Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam, cegah, rintangan, halangan, “tahanan,” dan pengamanan. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari‟at. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut 6: Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya. Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja. Ketiga, Syafi„iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-„ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Imam Taqqy al- Din Abi Bkr Ibnu Muhammad al Hasaeni al Dimasqi, Kifayat al Ahyar fi Hall Gayat al Ikhtishar (Semarang: Thoha Putra, tt.), 319 4 Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim (e-Book, 2009) 5 Nurul Huda & Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis (Jakarta: Kencana Prenadia Media Group 2010), 308-309 6 Ibid,. 309-310 3
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
58
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan. Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fiqih. Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dari beberapa definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa wakaf adalah penyerahan harta baik itu milik perorangan atau badan hukum sebagai aplikasi ketaatan terhadap perintah Allah dengan memberikan manfaat terhadap benda yang diwakafkan untuk kepentingan umat Islam. Substansinya, harta kekal dan tidak berkurang serta harta mutlak menjadi milik Allah SWT. Sejarah Wakaf 1. Wakaf dalam masyarakat non Muslim pra Islam7. Sejarah mencatat bahwa wakaf mengorbit sejalan dengan keberadaan manusia. Karena umat manusia sebelum islam telah menyembah tuhan yang mereka yakini, maka hal ini mendorong mereka untuk membangun tempat khusus untuk peribadatan yang dibangun diatas sebidang tanah dan sekaligus hasil bumi yang dihasilkannya diberikan kepada orang yang mengurusi tempat ibadah tersebut. Bentuk ini merupakan contoh wakaf atau yang menyerupainya. Peradaban Babylonia telah mengenal cara tersebut. Para raja pada waktu itu menghibahkan manfaat hasil bumi kepada para yatim, orang janda dengan tanpa perpindahan hak kepemilikan kepada mereka. Begitu juga halnya yang terjadi di Mesir kuno dan Romawi. Pada waktu itu wakaf tidak hanya terbatas untuk tempat peribadatan saja, bahkan lebih dari itu wakaf sudah masuk pada bidang pemikiran dan tsaqofah seperti yang ada pada madrasah Plato yang berlangsung selama enam abad. 2. Wakaf dalam Masyarakat Barat Modern. Peranan Inggris dan Perancis dalam wakaf memang diakui yaitu dengan dibuatnya undang-undang batasan wakaf terutama yang bersangkutan dengan masalah gereja, biara dan tempat peribadatan lainnya.8 Setelah Imperium Romawi barat dan peradabannya runtuh, maka satu-satunya bentuk wakaf yang berada di Eropa adalah gereja. Dan pada abad ke-13, barulah muncul wakaf-wakaf dalam bidang sosial (khoiriyah) yang berkembang di Eropa tengah (Jerman). Adapun isyarat pertama yang menunjukkan adanya perhatian Barat dalam usaha pengundang-undangan masalah wakaf dapat dilihat pada undang-undang Inggris (Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok masyarakat yang bertujuan untuk pelayanan umum). Kemudian undang-undang tersebut dikenal dengan nama Foundation (Muassasah ghoir Hukumiyah) yang bertujuan untuk kemashlahatan umum dan bukan untuk mengeruk keuntungan. Kemudian Foundation ini berkembang di Amerika Utara dan menjadi dua bentuk: Public Foundation (Muassasah ‘Ammah) dan Private Foundation (Muassasah Khoshshoh). Ada
Muhammad Dasuqi, Wakaf, tt ), 33-36. 7
8
Al-Waqof wa Dauruhu fi Tanmiyah al-Mujtama’ al-Islami (Mesir: Kementrian
Mundir Qohf, Al-Waqof al-Islami ( Beirut: Dar al-Fikr, tt ), 23-24
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
59
beberapa pandangan dan analisa tentang motiv munculnya institusi wakaf di Barat khususnya Amerika pada era sekarang ini: a. Dari segi tujuan Tujuan umum: Dijumpai foundation untuk umum seperti pelayanan untuk masyarakat dan kesejahteraan umum. Tujuan khusus: seperti pelayanan khusus pendidikan, kesehatan, penelitian dan riset ilmiyah. b. Dari sisi pendiri foundation tersebut seperti wakaf syarikah, wakaf individu dan wakaf untuk minoritas agama. Sebagai contoh adalah berdirinya Badan wakaf Islam untuk Amerika utara (North American Islamic Trust) yang didirikan pada tahun 1971. 3. Wakaf Dalam Sejarah Islam. Ajakan al-Qur‟an dan al-Sunnah yang menyerukan infaq mendapatkan perhatian khusus dari para sahabat nabi yaitu dengan adanya tasabuq fi al-khoirat seperti yang telah dikatakan oleh Jabir. Hal ini membuktikan akan kuatnya iman mereka dan sekaligus menunjukkan pancaran kepribadian mereka dalam kehidupan. Lalu siapakah orang yang pertama kali melaksanakan wakaf dalam Islam? Ada perbedaan pendapat dalam hal ini9 : a. Abu Tholhah yang mewakafkan tembok Birha‟ b. Umar bin al-Khathab yang mewakafkan tanah yang ada di Khoibar. c. Seorang Yahudi yang masuk Islam yang mewakafkan tanah Muhairiq. d. Tembok kaum bani Najjar yang dibuat masjid oleh rasul, kemudian mereka tidak menginginkan ganti rugi. Dari perbedaan ini paling tidak menunjukkan bahwa antusias para sahabat dalam melaksanakan wakaf pada masa kehidupan rasulullah saw. baik wakaf ahly (bersifat kekerabatan) maupun khoiry (sosial) sangat besar sekali. Meskipun pada waktu itu belum muncul istilah wakaf melainkan shodaqoh. Setelah periode sahabat, gerakan wakaf masih tetap berlangsung, terlebih dengan adanya banyak pembebasan (futuhat) terhadap kawasan-kawasan seperti Mesir, Syam dll. Disamping itu juga sejarah wakaf Islam bisa kita klasifikasikan menjadi beberapa periode:10 1) Periode tiga abad pertama. Pada periode ini kita dapat menelusuri sejarah fiqh wakaf dalam buku-buku induk dalam setiap madzhab, seperti al-Umm dalam madzhab Syafi‟i, Muwaththo’ dan Mudawwanah dalam madzhab Maliki, al-Mabshuth dalam madzhab Hanafi dan Masail Imam Ahmad dalam madzhab Hambali. Pada periode ini kita temukan perbedaan pendapat dalam masalah wakaf terutama pada masalah al-jawaz (bolehnya menarik kembali status barang wakafan) atau luzum (tidak bolehnya menarik kembali status barang wakafan), persyaratan hilangnya kepemilikan waqif (milkiyyat al-mauquf) atas barang yang diwakafkan (mauquf) dll.. 2) Periode pertengahan. Pada periode ini dapat kita temukan buku–buku fiqh semisal Mughni karya Ibnu Qudamah (w. 630), al-Hawi al-Kabir karya al-Mawardi (w. 450), Fath al-Qodir karya Kamal bin Hammam (w. 861), Adapun permasalahan yang dibahas pada periode ini adalah seputar perincian dalam pendevinisian wakaf yang masing-masing dipengaruhi oleh syarat imam masing-masing madzhab, perincian syarat nadzir dll. 3) Periode Mutaakhir.
9
Dasuqi, Al-Waqof wa Dauruhu…, 41-42 Mundir Qohf, Al-Waqof…, 88-100
10
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
60
Pada periode ini kita bisa merujuk kepada kitab-kitab semisal antara lain al-Inshof karya Mardawi (w. 885), Hasiyah Bujairami ‘ala al-Minhaj, Mawahib al-jalil, Hasiyah Dasuqi karya Syamsuddin al-Syekh Muhammad „Arofah al-Dasuqi (w.1230) dll. Adapun permasalahaaan yang muncul pada periode ini adalah antara lain bentukbentuk sighot wakaf baik yang shorih maupun yang kinayah, masalah boleh tidaknya mewakafkan dinar dll. Landasan Wakaf Secara eksplisit tidak ditemukan ayat al-Qur‟an yang mengatur tentang wakaf, namun secara implisit cukup banyak ayat-ayat yang bisa jadi dasar hukum tentang wakaf, yaitu beberapa ayat tentang infak diantaranya : 1. Al-Qur‟an: al Hajj ayat 77 11 Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
2. Al-Qur’a>n: al-Baqarah ayat 261 12 Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
3. Al-Qur’a>n: ali-Imran ayat 92 13 Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. Kutipan Al-Quran surat Ali Imran ayat 92 tersebut benar-benar menyentuh. Ternyata menafkahkan harta yang kita cintai merupakan salah satu jalan sekaligus syarat untuk menyempurnakan semua kebajikan lain yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan. Bisa jadi seseorang telah banyak berbuat baik. Tampaknya dengan menafkahkan sebagian hak milik yang sangat dicintai untuk perjuangan di jalan Allah, barulah akan sampai kepada kebajikan/keshalehan yang sempurna. Sabab Nuzul ayat tersebut adalah, Seperti diterangkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchori, Muslim, Tarmidzi, dan An-Nasa‟i, yang diterima dari Anas bin Malik, Beliau menerangkan : Abu Tholhah diantara salah seorang Sahabat Nabi yang paling banyak memiliki kebun kurmanya di Madinah, salah satunya kebun kurma
Al-Qur‟an, 22:77 Ibid., 2: 261 13 Ibid., 3: 92 11 12
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
61
Bairuha, kebun tersebut berhadapan dengan Masjid tempat Nabi sembahyang dan Nabi sering keluar masuk memakan kurma tersebut dan meminum airnya yang harum. Ketika turun ayat tersebut (Ali Imran : 92) Tholhah langsung mendatangi Rasull lalu ia berkata, :Ya Rasulullah, sesungguhnya kekayaan yang sangat kucintai yaitu kebun kurma Bairuha, karena ada perintah dari Allah melalui ayat tadi, kusedekahkan bairuha ini kepadamu Ya Rasulullah. Mendengar ucapan Abu Tholhah, Rasulullah berkata, wahai Tholhah sungguh engkau beruntung, kebun kurma itu membawa keberuntungan, kalau begitu alangkah baiknya disedekahkan kebun kurma itu kepada karib kerabatmu. Timpal Abu Tholhah, ya Rasulullah akan kusedekahkan harta itu sesuai dengan petunjukmu Ya Rasulullah. Kemudian dalam Riwayat Abi Hatim dari Muhammad bin Al-Munkodir, beliau berkata, bahwa ketika turun ayat Ali Imran ke 92, datang sahabat Zaid bin Haritsyah membawa seekor kuda yang bernama Sibul, Zaid tidak memiliki lagi kekayaan lain selain kuda itu. Beliau berkata, Ya Rasulullah saya datang akan menyerahkan kuda ini untuk kepentingan agama, Rasull menjawab “Aku menerima sedekahmu” wahai Zaid. Selanjutnya oleh Rasulullah ditunggangkan diatas punggung kuda itu Usamah bin Zaid anaknya Zaid, lantas Rasull melihat muka Zaid agak muram masih merasa berat hati melepaskan kuda kesayangannya. Namun Rasulullah melanjutkan perkataannya. Sesungguhnya Allah telah menerima sedekah engakau Zaid. Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan dari beberapa hadits Nabi yang menyinggung masalah shadaqah jariyah, yaitu : 4. Hadist Riwayat Muslim (Hadist no. 1005)
ِ ٍ ِ َِّ ول ِْ ات َّ َع ْن أَِِب ُى َريْ َرةَ أ ص َدقَ ٍة َّ صلَّى َ َاَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ َن َر ُس َ ال إِذَا َم َ سا ُن انْ َقطَ َع َع ْنوُ َع َملُوُ إََِّّل م ْن ثَََلثَة إََِّّل م ْن َ اَّلل َ ْاْلن 14 ِ ٍ ٍ ِ ُصالِ ٍح يَ ْدعُو لَو َ َجا ِريَة أ َْو عل ٍْم يُ ْنتَ َف ُع بِو أ َْو َولَد Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali tiga perkara, yaitu, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang selalu mendoakannya" (Muslim: 5/73) 5. Hadist Riwayat Muslim (Hadist no. 1004)
َِّ ول ت َّ صلَّى َ ال يَا َر ُس َ اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ْستَأ ِْم ُرهُ فِ َيها فَ َق َ ََع ْن ابْ ِن عُ َم َر ق ُ َص ْب َّ ِضا ِِبَْيبَ َر فَأَتَى الن ً اب عُ َم ُر أ َْر َ اَّلل إِِّّن أ َ َِّب َ َص َ ال أ ِ ِ ً أَر ُّ ال َ َْت ِِبَا ق َ َس ِعنْ ِدي ِمنْوُ فَ َما تَأ ُْم ُرِّن بِ ِو ق َ ص َّدق َ ت َحبَ ْس َ ْال إِ ْن ِشئ ْ تأ َ ََصلَ َها َوت ْ ضا ِبَْيبَ َر ََلْ أُص ْ ُ ب َم ًاَّل قَط ُى َو أَنْ َف ِ ِ ِ َالرق ِّ ص َّد َق عُ َم ُر ِِف الْ ُف َق َراء َوِِف الْ ُق ْرََب َوِِف اب َ َب ق ُ ور َ ُث َوََّل ي ْ ص َّد َق ِبَا عُ َم ُر أَنَّوُ ََّل يُبَاعُ أ َ َال فَ ت َ َفَ ت ُ وى َ َُصلُ َها َوََّل يُ ْبتَاعُ َوََّل ي ِ ِ ِ َِّ يل ِ ِ ِ ِالسب ِ َِوِِف َسب ص ِدي ًقا غَْي َر ُمتَ َم ِّو ٍل َّ اَّلل َوابْ ِن َ اح َعلَى َم ْن َوليَ َها أَ ْن يَأْ ُك َل م ْن َها بِال َْم ْع ُروف أ َْو يُطْع َم َ َيل َوالض َّْيف ََّل ُجن 15ِ ِ فيو Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, "Pada suatu ketika Umar bin Khaththab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, maka ia pergi menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk tentang pengelolaannya. Umar berkata, 'Wahai Rasulullah, saya telah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim (e-Book, 2009) Hadist no. 1005 15 al-Albani, Mukhtashar…, Hadist no. 1004 14
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
62
memperoleh sebidang tanah di Khaibar dan tidak memperoleh harta, tapi tanah tersebut lebih berharga dari harta. Oleh karena itu, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan tanah tersebut?' Lalu Rasulullah SAW menjawab, 'Wahai Umar, apabila kamu mau, maka pertahankanlah tanah itu dan kamu dapat menyedekahkan hasilnya. Abdullah Ibnu Umar berkata, "Lalu Umar bin Khaththab menyedekahkan hasil tanah itu, dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi, ataupun dihibahkan." (Abdullah Ibnu Umar) berkata, "Umar RA menyedekahkan hasilnya kepada fakir miskin, kaum kerabat, budakbudak belian, jihadfi sabilillah, Ibnu Sabil, dan tamu. Selain itu, orang yang mengurusnya juga boleh memakan sebagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan temannya sekedarnya." (Muslim: 5/74) Bertitik tolak dari beberapa ayat al-Qur‟an dan hadits Nabi yang menyinggung tentang akaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang diterapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta‟abudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain. Meskipun demikian, ayat al-Qur‟an dan as-Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafaur Rasyid}un sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain. Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, fururistik dan berorientasi pada masa depan. Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah. Memang, bila ditinjau dari kekuatan sandaran hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak. Sehingga dengan demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam wilayah ijtihadi, dengan sendirinya menjadi pendukung non manajerial yang bisa dikembangkan pengelolaannya secara optimal. Syarat-Syarat Waqaf 1. Waqif (orang yang mewakafkan):16 Orang merdeka, berakal, baligh, rosyid (bukan orang yang tercegah tasarrufnya) dan Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah menambahi dengan satu syarat yaitu ihtiyar (tidak dalam keadaan terpaksa). 2. Mauquf (barang yang di wakafkan ):17 Harta benda yang bernilai (mal mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum ) dan milik sempurna (tidak dalam keadan khiyar). 3. Mauquf ‘Alaih (orang yang di wakafi): 18 yaitu adakalanya orang tertentu dan adakalanya umum. 4. Shighot : Apakah akad wakaf membutuhkan ijab dan qobul?. Ulama sepakat bahwa akad wakaf hanya membutuhkan ijab saja jika untuk wakaf yang ditujukan bagi pihak yang tidak tertentu (ghoiru mu’ayyan). Adapun wakaf yang ditujukan bagi pihak tertentu Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr,tt), 176-178 Ibid,. 184 18 Ibid,. 189 16 17
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
63
(mu’ayyan) ulama berbeda pendapat : Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah dalam keadaan seperti itu wakaf hanya membutuhkan ijab saja. Sedangkan menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, mereka masih tetap mensyaratkan adanya ijab dan qobul. 5. Adapun syarat shigot dalam wakaf19 adalah: Ta’bid (untuk selama-lamanya), tanjiz (tidak digantungkan kepada kejadian tertentu), ilzam (tidak ada khiyar), tidak disertai syarat yang membatalkan wakaf dan menurut Syafi‟iyyah dalam qoul adharnya di tambah dengan adanya penjelasan tentang mashrof wakaf (orang yang di beri wakaf). Macam-macam Waqaf20 1. Dari segi tujuannya, wakaf bisa dibagi menjadi: ahly/dzurry (kekerabatan), khoiry (sosial) dan musytarok (gabungan anatara keduanya). 2. Dari segi waktu, wakaf bisa dibagi menjadi: muabbad (selamanya) dan mu’aqqot (dalam jangka waktu tertentu). 3. Dari segi penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa di bagi menjadi: mubasyir/dzati (harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara‟ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan waqif). Tata Cara Wakaf Tanah 1. Calon Wakif menyerahkan bukti kepemilikan tanah yang akan diwakafkan berupa sertifikat, Keterangan tidak sengketa Pendaftaran tanah, Keterangan Bupati tentang kesesuaian Master Plan untuk diteliti PPAIW. 2. PPAIW melakukan pemeriksaan terhadap Nazir. 3. Wakif menyatakan Ikrar Wakaf dihadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan 2 orang saksi bermaterai cukup. 4. PPAIW menuangan Ikrar Wakaf alam bentuk tertulis. 5. PPAIW menuangkan membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazir, Saksi dan PPAIW. 6. AIW diserahkan kepada Nazir beserta dokumen tanah. 7. PPAIW menerbitkan pendaftaran wakaf dan mendaftarkan kepada BWI dan Menteria Agama dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi. 8. PPAIW memberikan bukti pendaftaran harta wakaf kepada Nazir. 9. Nazir mengurus sertifikat tanah wakaf ke BPN. 10. Terbit Sertifikat Tanah Wakaf. Tata Cara Wakaf Benda bergerak 1. Calon Wakif menyerahkan dokumen bukti kepemilikan hata benda wakaf (jika ada) 2. PPAIW melakukan pemeriksaan Nazhir. 3. Wakif menyatakan Ikrar Wakaf di hadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan dua oang saksi. 4. PPAIW menuangkan Ikrar Wakaf dalam bentuk tertulis. 5. PPAIW membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazhir, saksi, PPAIW bermaterai cukup. 6. AIW diserahkan kepada Nazhir beserta Harta Wakaf. 7. PPAIW mendaftarkan Benda Wakaf kepada BWI dan Menag dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi. 8. Nazhir mengurus pengalihan bukti kepemilikan kepada Instansi terkait. 9. Terbit bukti kepemilikan Harta Benda Wakaf.
19 20
Ibid,. 157-158 Qohf, Al-Waqof…, 158-159
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
64
Kesimpulan 1. Wakaf menahan dzat/benda dan membiarkan nilai manfaatnya demi mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala. 2. Merupakan ibadah kebendaan yang secara tekstualitas tidak ditemukan ayatnya di dalam al-Quran, kecuali ada beberapa hadist Nabi yang secara eksplisit memberikan kepastian tentang hukum wakaf. 3. Wakaf adalah amalan yang disunnahkan, teermasuk jenis sedekah yang paling utama yang dianjurkan Allah dan termasuk bentuk taqarrub yang termulia, serta merupakan bentuk kebaikan dan ihsan yang terluas serta banyak manfaatnya. 4. Wakaf merupakan amal yang tidak pernah terputus, meski orang yang memberikan wakaf sudah meninggal dunia. 5. Disyariatkan harta yang diwakafkan bermanfaat secara langgeng seperti gedung, hewan, kebun, senjata, perabot dan yang berkembang sekarang adalah wakaf uang tunai, dan wakaf hak kekayaan intelektual. Daftar Rujukan Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin, Mukhtashar Shahih Muslim, e-Book, 2009 Dasuqi, Muhammad, Al-Waqof wa Dauruhu fi Tanmiyah al-Mujtama’ al-Islami, Mesir: Kementrian Wakaf, tt. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Balai Pustaka, 1995 Dimasqi, Imam Taqqy al- Din Abi Bkr Ibnu Muhammad al Hasaeni , Kifayat al Ahyar fi Hall Gayat al Ikhtishar, Semarang: Thoha Putra, tt. Mundir Qohf, Al-Waqof al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, tt Nurul Huda & Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Jakarta: Kencana Prenadia Media Group 2010 Syafi‟I Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah dari teori ke praktek, Jakarta: Gema Insani Press 2001 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 Undang-undang Wakaf No. 41 tahun 2004 Zuhaili, Wahbah al, Al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr,tt.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014