PERKEMBANGAN EKONOMI SYARI’AH DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH DI INDONESIA 1 by: Dr. Hermayulis, S.H., M.S.2 PENGANTAR Lingkup ”ekonomi syari’ah” sangat luas. Pada perbincangan tentang ekonomi syari’ah akan terdapat di dalamnya permasalahan tanggung jawab sosial terhadap peningkatan ekonomi umat melalui berfungsinya lembaga zakat, wakaf dan kegiatan-kegiatan ekonomi syari’ah lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi umat. Sementara itu ”bisnis syari’ah” lebih ditujukan kepada kegiatan yang berkaitan dengan perniagaan atau kegiatan niaga yang berkembang di masyarakat dengan menggunakan prinsip syari’ah. Praktik bisnis syari’ah di Indonesia mulai berkembang dengan perkembangan keinginan dan harapan umat Islam yang menjadi sebahagian besar penduduk Indonesia. Keinginan tersebut berkembang seiring dengan berkembangnya upaya pemahaman terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi yang berdasarkan syari’ah Islam pada awal tahun 1990-an. Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia dimulai dengan pembentukan perbankan syari’ah. Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ekonomi syari’ah tidak hanya terbatas kepada praktik pendirian dan operasional perbankan saja, tetapi lebih meluas kepada kegiatan niaga lainnya, seperti pembiayaan dan lembaga keuangan non bank lainnya. Bidang-bidang usaha yang dikembangkan tersebut antara lain adalah Asuransi Syari’ah, Reksa Dana Syari’ah dan Obligasi Syari’ah, dan lain-lain. Ide tentang konsep ekonomi Islam di dunia Internasional mulai muncul tahun 70an.Upaya ini adalah sebagai implementasi sidang-sidang Menteri Luar Negeri NegaraNegara Organisasi Kompferensi Islam di Karachi-Pakistan Desember tahun 1970. Kegiatan bisnis syari’ah yang pertama dikembangkan di Indonesia adalah dalam bentuk lembaga keuangan perbankan. Lembaga keuangan pertama yang didirikan adalah Bank Mua’malat. Sampai tahun 2005 telah beroperasi setidaknya 68 buah lembaga keuangan syari’ah di Indonesia. Lembaga keuangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 18 buah berupa lembaga keuangan Bank, yang terdiri dari 3 dalam bentuk Perbankan syari’ah dan 15 dalam bentuk unit usaha syariah pada Bank Umum; 20 buah dari lembaga keuangan non bank berupa Asuransi Syariah; 12 dalam bentuk Reksa Dana Syariah dan 18 buah dalam bentuk Obligasi Syari’ah. Dalam operasionalnya, semua lembaga keuangan syari’ah ini diatur dalam ketentuanketentuan umum dan belum ada yang diatur dalam ketentuan-ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan umum yang mengatur adalah UU No. 7 tahun 1992 yang telah 1
Kertas kerja ini disiapkan untuk dibentangkan pada Fakultas Hukum Universitas YARSI, 10 Juni 2010. 2
Penulis ialah Ketua Program Pascasarjana Bidang Ilmu Hukum Universitas YARSI Jakarta.
1
dirubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Acuan dan ketentuan khusus untuk operasional lembaga keuangan ini lebih banyak diatur dalam bentuk Surat Edaran Bank Indonesia. Dari segi teori ilmu hukum, ketentuan tersebut mempunyai kelemahan dalam hal kekuatan mengikat suatu aturan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban kepada masyarakat Indonesia. Berkembangnya kegiatan bisnis syari’ah dalam usaha ekonomi syari’ah tidak terlepas dari timbulnya pertikaian-pertikaian, ingkar janji (wan prestasi) dan bentuk sengketa lainnya. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengungkapkan beberapa permasalahan berkaitan dengan prospek penyelesaian dan tantangan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Untuk itu telusuran ini dimulai dari mengungkapkan perkembangan dan pengaturan ekonomi syari’ah di Indonesia. Perkembangan ekonomi syari’ah dalam praktiknya selalu didahului oleh adanya perjanjian-perjanjian yang akan mengikat pihak-pihak yang akan melakukan kegiatankegiatan ekonomi. Perjanjian-perjanjian yang dibuat tidak selamanya dapat dipenuhi kerana banyak factor yang dapat mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut tentulah tiada dengan niat untuk disengaja, namun dari segi perundangan semua itu mestilah ada pertanggungjawapannya. Pertangung jawapan tersebut ada yang dengan serta merta boleh diselesaikan, tetapi diantaranya mestilah melalui adanya campur tangan pihak ketiga. Dari sisi perundangan di Indonesia, penyelesaian perselisihan boleh di peradilan (mahkamah) dan melalui institusi timbang tara (arbitration). Kedua-dua institusi tersebut dipergunakan. PERKEMBANGAN EKONOMI SYARI’AH DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA Perkembangan bisnis syari’ah di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan bisnis syari’ah pada masyarakat negara-negara Islam di dunia. Perkembangan ini dilatar belakangi oleh dua kelompok pemikir yang berbeda titik tolak. Ada kelompok yang ingin mengembangkan teori bisnis Islam (kelompok teoretis) dan ada kelompok yang ingin mengembangkan praktik bisnis Islam (kelompok fragmatis). Terlepas dari adanya dua kelompok pendapat ini, perkembangan bisnis syari’ah telah diawali dari hasil Sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Islam di Karachi Pakistan pada Desember tahun 1970 dengan dilontarkannya sebuah proposal untuk mendirikan bank syari’ah oleh Mesir. Proposal ini adalah hasil kajian para ahli dari 18 negara dan diberi nama ”Studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) (Syafi’i Antonio 1999:58). Proposal tersebut berisikan: 1. Mengatur transaksi komersial antar negara Islam, 2. Mengatur institusi pembangunan dan investasi,
2
3.
4. 5. 6. 7. 8.
Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank sentral di negara Islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya sistem ekonomi Islam yang terpadu. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syari’ah di negara Islam, Mendukung upaya-upaya bank sentral di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam, Mengatur administrasi mendayagunakan dana zakat, Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Islam. Pembentukan badan-badan khusus berupa Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investmen and Development Body of Islamc Countries). Badan-badan ini diharapkan berfungsi untuk: 1) Mengatur investasi modal Islam 2) Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di negara Islam 3) Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya. 4) Memberikan saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi regional di negara-negara Islam.
Proposal tersebut terealisasi pada tahun 1975 dalam sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah yaitu disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islami (Islamic Development Bank disingkat dengan IDB). Berdirinya IDB diikuti oleh didirikannya Dubai Islamic Bank oleh Uni Emirat Arab pada tahun 1975. Di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an mulai disusul dengan dibentuk dan beroperasi bank-bank syari’ah seperti: di Mesir pada Maret tahun 1978 dengan nama Faisal Islamic Bank; di Pakistan pada awal Juli tahun 1979; di Siprus dengan didirikannya Faisal Islamic Bank of Kibris (Siprus) yang mulai beroperasi pada tahun 1983; di Malaysia dengan didirikannya Bank Islam Malaysia Berhad pada tahun 1983; di Indonesia dengan didirikannya Bank Mu’amalat Indonesia pada tanggal 1 November tahun 1991. Dengan berdirinya bank-bank Islam di beberapa negara di dunia, menunjukkan bahwa upaya dari kelompok fragmatis lebih memperlihatkan kesan keberadaannya. Pertimbangan yang dijadikan dasar untuk memperlihatkan eksistensi kelompok ini ialah: 1. Usaha ekonomi syari’ah yang dikembangkan terlebih dahulu adalah dalam bidang keuangan (moneter) khususnya dalam bidang perbankan. Latar belakang didirikan perbankan syari’ah (Warkum Sumitro, 2004:13-16) adalah: 2. Praktik dengan sistem bunga disinyalir menimbulkan akibat negatif berupa; masyarakat nasabah menghadapi suatu keadaan ketidak pastian atas hasil usahanya sementara bunga atas penggunaan uang kreditur tetap harus dibayar; dan praktik dengan sistem bunga menimbulkan kecenderungan terjadinya ekspolitasi oleh orang kaya terhadap orang miskin. 3. Sistem perbankan yang telah ada cenderung menyebabkan terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan kelompok elit, para bankir dan pemilik modal. 4. Sistem perbankan dengan sistem bunga disinyalir menjadi salah satu penyebab semakin tingginya laju inflasi karena adanya kecenderungan bank-bank memberikan kredit secara berlebihan.
3
5. Sistem perbankan yang telah ada disinyalir kurang berhasil dalam membantu memerangi kemiskinan. 6. Dengan beroperasinya perbankan dengan prinsip syari’ah diharapkan berpengaruh besar terhadap terwujudnya suatu sistem ekonomi Islam. Sama halnya dengan di negara-negara pendukung konsep ekonomi Islam lainnya, bisnis syari’ah dalam bidang moneter yang pertama kali berkembang di Indonesia ialah perbankan syari’ah. Fungsi utama yang diharapkan dari perbankan syari’ah adalah: 1. Menyelenggarakan mekanisme lalu lintas pembayaran yang efisien, sehingga lalu lintas pembayaran dapat dilakukan dengan biaya hambatan seminimal mungkin. 2. Menjadi penghubung antara penabung dengan penanam modal untuk keperluan mendorong tabungan dan mengalokasikan tabungan-tabungan untuk berbagai alternatif keperluan investasi. 3. Menjaga kestabilan tingkat harga dengan cara menciptakan uang dan jumlahnya sesuai dengan keperluan riil perekonomian. Di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat dengan UU No. 7 tahun 1992), ditegaskan bahwa praktik dan pendirian serta beroperasinya Bank Mua’malat Indonesia pada tahun 1991 sebagai Bank Syari’ah dikategorikan sebagai Bank Umum. Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Menurut Pasal 6 huruf m UU No. 7 tahun 1992, untuk melaksanakan kegiatan tertentu tersebut maka sebagai Bank Umum usaha yang dapat dilakukan adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan demikian, sebagai Bank Umum, Bank Mu’amalat Indonesia menjalankan kegiatannya sebagai ”bank dengan sistem bagi hasil”. Seiring dengan era reformasi hukum dan berkembangnya praktik perbankan syari’ah di Indonesia, maka di dalam perubahan UU No. 7 tahun 1992 khususnya Pasal 6 diatur lebih rinci tentang praktik perbankan syari’ah ini. Di dalam perubahan pasal ini praktik perbankan syari’ah pada UU No. 10 tahun 1998 telah diatur secara lebih rinci. Dalam Penjelasan Umum UU No. 10 tahun 1998 dinyatakan bahwa peranan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdsarkan prinsip syari’ah. Selanjutnya pada Penjelasan Pasal 6 huruf m UU No. 10 tahun 1998 ditegaskan bahwa: ”Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah: a. Pendirian kator cabang baru atau kantor di bawah kantor cabang baru; atau:
4
b. Pengubahan kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara convensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syari’ah. Dalam rangka persiapan perubahan kantor bank tersebut, kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang sebelumnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat terlebih dahulu membentuk unit tersendiri yang melaksanakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syari’ah di dalam kantor bank tersebut: Bank umum berdasarkan prinsip syari’ah tidak melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain: a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syari’ah. b. Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syari’ah. c. Persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dengan UU No. 10 tahun 1998 sebagai perubahan dari UU No. 7 tahun 1992, maka praktik, pendirian dan operasional perbankan syari’ah di Indonesia semakin lebih kuat dan didasari dengan suatu undang-undang. Dengan telah diatur dalam suatu undangundang, maka bila dipandang dari sudut ilmu hukum keberadaannya semakin kokoh. Artinya masyarakat Indonesia dan pihak-pihak terikat ataupun mengikatkan diri dengan keberadaan perbankan jenis ini sudah dapat diikat dan terikat serta dapat dituntut untuk mematuhinya. Pengaturan dalam satu undang-undang bersamaan dengan praktik perbankan non syari’ah dapat dipandang dari sisi lain yaitu perbankan syari’ah bukanlah hal yang khusus melainkan merupakan hal yang seharusnya demikian. Maksudnya, apabila seseorang yang beragama Islam dan menghayati ajaran agamanya, tentunya dia akan memilih dan mengembangkan lembaga bisnis syari’ah dalam usaha ekonominya. Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ekonomi syari’ah tidak hanya terbatas kepada praktik pendirian dan operasional perbankan saja, tetapi lebih meluas kepada kegiatan niaga lainnya, seperti pembiayaan dan lembaga keuangan non bank lainnya. Bidangbidang usaha yang dikembangkan tersebut antara lain adalah Asuransi Syari’ah, Dana Reksa Syari’ah dan Obligasi Syari’ah. Pendirian, keberadaan dan operasional lembagalembaga bisnis syari’ah ini belum semuanya diatur secara khusus dalam suatu peraturan yang berbentuk undang-undang. Aturan yang melandasi operasionalisasi lembagalembaga bisnis syari’ah tersebut antara lain adalah; apabila hal itu berkaitan dengan perbankan maka dapat dijumpai Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disingkat dengan PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (selanjutnya disingkat dengan SEBI) Daripada peraturan perundangan tersebut dapat diketahui bahwa peraturan yang secara khusus mengatur tentang bisnis syari’ah yang berkaitan dengan aktivitas perbankan
5
syari’ah banyak diatur setelah tahun 2003. Di samping itu telah banyak pula dikeluarkan fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional. Dewan syari’ah Nasional (disingkat dengan DSN) adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indoensia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Menurut Pasal 1 ayat (9) Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, lembaga ini diberi dan memiliki wewenang menetapkan fatwa tentang produk jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Dari segi Ilmu Hukum timbul pertanyaan-pertanyaan terhadap keberadaan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional dalam mengatur keberadaan perkembangan praktik bisnis yang dinamakan bisnis syari’ah tersebut. Pertanyaan serupa sebetulnya tidak perlu sampai menjadikan suatu pro dan kontra tentang keberadaannya, karena di dalam Ilmu Hukum dikenal apa yang disebut dengan doktrin atau ajaran dari ahli. Mengingat Dewan Syari’ah di bawah MUI, sementara itu MUI merupakan kumpulan dari ahli-ahli agama Islam. Untuk itu Fatwa ini tidak perlu dijadikan perdebatan tentang keberadaannya sebagai salah satu sumber hukum. Dalam rangka melengkapi dan mengadakan peraturan perundang-undangan yang tentang bisnis syari’ah, maka pada tahun 2008 telah diberlakukan berbagai peraturan perundangundangan antara lain adalah UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara (disingkat dengan SBSN). Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Peraturan-peraturan memberikan indikasi bahwa perkembangan bisnis syari’ah semakin beragam dan untuk mengatur keberadaannya telah dilakukan upaya pengaturannya. Pertanyaan yang kemudian dapat mengikuti fenomena ini adalah apakah dengan mulai berkembangnya kegiatan bisnis syari’ah dan adanya aturan yang mengaturnya telah menunjukkan aplikasi dari syari’ah Islam dan menunjukkan cara bermua’malat secara Islam? Terlepas dari ”apakah telah dilaksanakan atau belum syari’ah Islam dalam praktiknya” karena praktik bisnis tidak terlepas dari akad (perjanjian) yang melandasinya. Bisnis tidak terlepas dari berhasil dan risiko yang mungkin timbul. Risiko-risiko ini dapat menimbulkan permasalahan hukum seperti ingkar janji (wan prestasi) dan pebuatan yang dapat dikategorikan ke dalam perbuatan bertentangan (melawan) hukum lainnya. Hal tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan pertikaian, salah paham dan lain sebagainya, yang dapat menimbulkan sengketa. Pengaturan berkaitan dengan praktik bisnis syari’ah secara umum yang diatur dalam satu undang-undang baru ada pada tahun 2006 melalui UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Ha-hal yang diatur dalam undang-undang ini bukanlah tentang aktivitasnya, tetapi tentang penyelesaian sengketa bisnisnya.
6
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH DALAM PRAKTIK BISNIS SYARI’AH DI INDONESIA Berdasarkan sifat proses dan putusannya, penyelesaian sengketa dapat dibagi atas 3 kategori: Pertama; Proses adjudikasi, dimana sifat dari penyelesaian sengketa menempatkan para pihak yang bersengketa pada dua sisi yang berhadapan (antagonistis) dan hasil putusan yang dikeluarkan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutus bersifat kalah dan menang (win-lose) proses penyelesaian sengketa yang masuk dalam kategori ini adalah peradilan (litigasi) dan arbitrase. Kedua, proses konsensus, dimana sifat dari penyelesaian sengketa menempatkan para pihak pada posisi yang saling bekerja sama (cooperative) dan menggunakan asas kesepakatan dalam pengambilan keputusan baik melibatkan pihak ketiga maupun tidak, dan hasil keputusan sama-sama bersifat menang (win-win). Proses penyelesaian sengketa yang masuk dalam kategori ini adalah negosiasi, mediasi konsiliasi, ombudsman dan pencari fakta bersifat netral. Ketiga, proses adjudikasi semu, proses penyelesaian sengketa ini biasanya adalah penggabungan antara dua proses penyelesaian sengketa di atas, sehingga sifat dan hasil putusan tergantung dari pola proses yang dikolaborasikan. Adapun proses penyelesaian sengketa yang masuk dalam kategori ini adalah mediasi arbitrase, persidangan mini (mini trial), pemeriksaan juri secara sumir (summary jury trial), evaluasi netral secara dini (early neutral evaluation). Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Indonesia melalui proses adjudikasi di Indonesia dapat dilakukan melalui 2 lembaga formal yang dibentuk untuk itu. Lembaga tersebut adalah Badan Arbitrase Syari’ah Nasional yang disingkat dengan BASYARNAS dan Peradilan Agama. Pasal 1 ayat (1) Nomor 7 tahun 1989 mengatur bahwa Peradilan agama adalah peradilan yang khusus mengadili perkara-perkara perdata yang para pihaknya adalah beragama Islam (muslim). Dengan terjadinya perubahan politik hukum dalam menyelenggarakan Peradilan Agama di Indonesia yang tertuang dalam perubahan UU No. 7 tahun 1989 dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini. Perkara-perkara tersebut ialah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006. Kewenangan Pengadilan Agama menurut Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perkaraperkara yang diputus oleh peradilan agama antara lain ialah perceraian, perwalian, pewarisan, wakaf, dll. Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibu kota kabupaten, dan derah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan pengadilan tinggi agama (Mahkamah Tinggi) berkedudukan di ibukota propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (lihat Pasal 4 UUPA). Pembinaan teknis peradilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi,
7
administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan oleh Menteri Agama (lihat Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUPA).
Peta 1: Peta Yurisdiksi Badan Peradilan Agama di Indonesia
Dengan terjadinya perkembangan kegiatan ekonomi syari’ah, maka melalui UndangUndang No. 3 tahun 2006 bangsa Indonesia telah sepakat bahwa apabila terjadi sengketa berkaitan dengan ekonomi (bisnis) syari’ah, akan diselesaikan melaui Pengadilan Agama. Penggunaan lembaga peradilan ini adalah suatu hal yang tidak mutlak, karena tradisi hukum Positif (hukum yang belaku di tengah masyarakat di Indonesia) dikenal apa yang disebut dengan perdamaian. Perdamaian merupakan salah satu upaya lain dalam penyelesaian sengketa bisnis. Semenjak berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Peradilan Agama di Indonesia mulai menyelesaikan sengketa ekonomis syari’ah. Pada tahun 2007 dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama di Indonesia telah menerima sejumlah 12 kasus yang berkaitan dengan sengketa ekonomi syari’ah. Angka itu belum dapat diartikan sebagai sangat sedikitnya sengketa ekonomi syari’ah. Untuk mengetahui rendahnya angka tersebut perlu dilakukan penelitian secara khusus tentang ini. Dari data pada Tabel 1 menunjukan bahwa perkara atau persoalan yang paling banyak diajukan ke Pengadilan Agama di Indonesia adalah persoalan gugat cerai. Persoalan ekonomi syari’ah lainnya yang banyak dimajukan ke Pengadilan agama ialah perkara Shodaqa/Zakat/Infaq dengan jumlah perkara sebanyak 25 kasus (kes), dan perkara lainnya ialah wakaf yaitu sebanyak 19 buah
8
kasus. Dari fenomena pada Tebel 1 menunjukkan bahwa perkara yang dimintakan kepada Pengadilan Agama untuk diselesaikan adalah beragam, tidak hanya melulu berkaitan dengan perceraian. Tabel 1 : Jenis dan Jumlah Perkara yang dimajukan ke Pengadilan Agama di Indonesia JUMLAH NO JENIS PERKARA PROSENTASE PERKARA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Cerai Gugat Cerai Talak Isbat Nikah Kewarisan Dispensasi Kawin Ijin Poligami P3HP/Penetapan Ahli Waris Wali Adhol Harta Berssama Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali Lain-lain Perwalian Asal Usul Anak Penguasaan Anak Pembatalan Perkawinan Pengesahan Anak Izin Kawin Hibah Penolakan Kawin Campuran Pencegahan Perkawinan Wasiat Pencabutan Kekuasaan Wali Shodaqa/Zakat/Infaq Nafkah Anak Oleh Ibu Wakaf Pencbt.Kekuasaan Orang Tua Hak-hak Bekas Istri Penolakan Perkw.Oleh PPN Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri Ekonomi Syar'iyah Ganti Rugi Terhadap Wali Jumlah Sumber : Mahkamah Agung RI
124.079 72.759 10.890 1.373 1.240 1.093 1.010 924 665 665 641 399 271 269 213 174 106 46 38 36 25 25 25 24 19 17 16 14 13 12 3 217.084
57,157 33,517 5,016 0,632 0,571 0,503 0,465 0,426 0,306 0,306 0,295 0,184 0,125 0,124 0,098 0,080 0,049 0,021 0,018 0,017 0,012 0,012 0,012 0,011 0,009 0,008 0,007 0,006 0,006 0,006 0,001 100,000
9
Dari 12 perkara yang murni ekonomi syari’ah yang diajukan ke Pengadilan Agama di Indonesia pada tahun 2007, hanya 2 perkara yang dapat diselesaikan. Tabel 1 : Jenis dan Jumlah Perkara yang diselesaikan Pengadilan Agama di Indonesia sampai tahun 2007 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
JENIS PERKARA Cerai Gugat Creai Talak Isbat Kawin Gugur Ditolak Lain-lain Dispensasi Kwin Kewarisan P3HP/Penetapan Ahli Waris Izin Poligami Wali Adhol Tidak Diterima Dicoret Dari Register Harta Bersama Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali Perwalian Asal Usul Anak Pembatalan Perkawinan Penguasaan Anak Pengesahan Anak Pencegahan Perkawinan Penolakan Kawin Campuran Pencabutan Kekuasaan Wali Izin Kawin Hibah Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri Nafkah Anak Oleh Ibu Penolakan Perkw.Oleh PPN Wakaf Wasiat Hak-hak Bekas Istri Pencbt.Kekuasaan Orang Tua Shodaqa/Zakat/Infaq Ganti Rugi Terhadap Wali
JUMLAH PERKARA 111.145 63.943 9.809 3.758 1.994 1.973 1.121 946 921 896 678 602 545 501 499 349 232 185 184 141 113 46 42 39 29 19 15 14 14 12 10 8 7 3
PROSENTASE 55,352 31,845 4,885 1,872 0,993 0,983 0,558 0,471 0,459 0,446 0,338 0,300 0,271 0,250 0,249 0,174 0,116 0,092 0,092 0,070 0,056 0,023 0,021 0,019 0,014 0,009 0,007 0,007 0,007 0,006 0,005 0,004 0,003 0,001
10
35
Ekonomi Syar'iyah Jumlah Sumber: Mahkamah Agung RI
2 200.795
0,001 100,000
Di dalam hukum tertulis di Indonesia, perdamain merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang dianjurkan kepada masyarakat. Pada tulisan ini digunakan terminologi dianjurkan mengingat masyarakat pencari keadilan itu mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan sikapnya dan memilih lembaga mana yang akan digunakan untuk memenuhi kepentingannya. Untuk mendiskusikan prospek Penyelesaian Sengketa Bisnis Syari’ah sebagai suatu kewenangan baru dari Peradilan Agama di Indonesia, perlu dikaitkan dengan sistem hukum dalam Penyelesai Sengketa Bisnis pada umumnya termasuk bisnis Syari’ah di Indonesia selama ini. Menurut Lawrence M. Friedman (1984: 5-6) sistem hukum terdiri atas 3 elemen. Elemen-elemen sistem hukum tersebut ialah: struktur, substansi dan budaya hukum. Struktur meliputi badan, kerangka kerja, bentuk sistem hukum yang bertahan lama, dan jurisdiksi. Substansi meliputi norma-norma yang dapat dipakai oleh lembaga-lembaga, fenomena, pola tingkah laku yang dapat diobservasi. Budaya hukum meliputi; ide, sikap, kepercayaan dan pendapat tentang hukum. Bila ditinjau dari badan penyelenggara bisnis syari’ah di Indonesia, uraian tentang perkembangan dan pengaturan tentang bisnis syari’ah di Indonesia menunjukkan bahwa badan penyelenggara bisnis syari’ah di Indonesia mulai berkembang pesat sejak tahun 1990-an. Badan penyelenggara bisnis syari’ah tersebut sudah cukup banyak. Keberadaan lembaga tersebut ada yang berbentuk badan yang berdiri sendiri dan ada juga yang merupakan bagian dari badan yang telah ada. Perbankan syariah yang berbentuk badan yang berdiri sendiri sebagai salah satu bentuk Bank Umum ialah Bank Mua’malah Indonesia, Syari’ah, Bank Syari’ah Mandiri, Bank Mega Indonesia. Lembaga yang berupa bagian dari lembaga yang telah ada atau dalam bentuk salah satu unit usaha pada bank umum antara lain ialah: Bank Danamon, Bank IFI, Bank Bukopin, BII, HSBC, BNI, Bank Niaga, Bank Permata, BRI, Bank Jabar, Bank DKI, BPD Kalsel, BPD Riau, BPD Banda Aceh, BPD Sumut dan masih ada beberapa bank lainnya yang menyusul membentuk unit usahanya dalam bidang perbankan syari’ah. Semenjak dimulainya praktik bisnis syari’ah di Indonesia pada tahun 1991 dirasakan adanya keperluannya untuk adanya suatu lembaga yang khusus berwenang dan diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa bisnis di bawah warna syari’ah ini. Permasalahannya adalah pembentukan dan pendirian suatu lembaga serupa itu tidaklah mudah, karena itu akan menimbulkan adanya suatu sistem hukum baru bagi hukum formilnya. Berkaitan dengan struktur dalam sistem hukum Formilnya, pada tanggal 1 Oktober tahun 1993 yaitu 2 tahun setelah mulai beroperasinya Bank Mu’amalat Indonesia pada tanggal 1 November tahun 1991 didirikanlah suatu lembaga penyelesai sengketa. Lembaga ini merupakan suatu lembaga alternatif selain ke Peradilan Umum. Badan tersebut diberi
11
nama Badan Arbitrase Mua’malat Indonesia (BAMUI). Berdirinya badan ini adalah atas inisiatif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tujuan dari pembentukan BAMUI adalah: 1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa mua’malah perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lainlain. 2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa ada suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah tersebut akan dilaksanakan oleh arbiter tunggal atau arbiter majlis. Arbiter pada BAMUI harus beragama Islam dan taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Permasalahan yang dihadapi dalam memenuhi persayaratan ”taat menjalankan agamanya” adalah merupakan suatu persyaratan yang sangat subjektif dan tolok ukur penilaiannya juga sangat relatif. Permasalahan yang dapat timbul adalah berkaitan dengan kwalifikasi tersebut. Hal itu akan sangat berpengaruh terhadap rasa keadilan yang diterima oleh seorang pencari keadilan. Proses penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase adalah bersifat tertutup dan terbuka kemungkinan untuk terbuka apabila pihak-pihak menghendakinya. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam penyelesaian sengketa bisnis ini adalah: 1. Arbiter harus berupaya semaksimal mungkin untuk terjadinya perdamaian. 2. Apabila perdamaian tercapai, maka perdamaian tersebut harus dituangkan dalam suatu akta yang disebut dengan akta perdamaian dan menetapkan serta menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan memenuhi isi perdamaian tersebut. 3. Apabila tidak tercapai perdamaian, maka arbiter akan meneruskan pemeriksaan dengan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk: 1) Membuktikan dalil-dalil gugatannya. 2) Mengajukan saksi-saksi atau mendengar pendapat para ahli yang disumpah terlebih dahulu. 4. Terhadap putusan yang ditetapkan, maka para pihak harus melaksanakan putusan tersebut sacara sukarela, dan apabila para pihak tidak mau melaksanakannya, maka putusan akan dijalan menurut ketentuan 637 dan 639 Rv. Dengan diundangkan dan berlakunya UU No. 3 tahun 2006 yang memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa bisnis syari’ah di Indonesia, maka dapat dikemukakan: 1. Prospek keberadaan kewenangan tersebut di Peradilan Agama Mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas adalah beragama Islam, maka keberadaan lembaga ini sangatlah diharapka oleh masyarakat pebisnis Islam itu sendiri. 2. Tantangan adanya kewenangan tersebut di Peradilan Agama Dari segi sistem hukum, keberadaan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis syari’ah adalah suatu kewenangan baru. Artinya akan ada suatu sistem hukum baru yang perlu dibangun, diperkenalkan, dan diterapkan. Untuk
12
mencapai sistem hukum baru dalam hukum formil tersebut, maka tantangan yang dihadapi adalah: 1) Sumber Daya Manusia Dengan tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan dari hakim-hakim agama yang telah ada saat ini, tugas dan kerja berat bagi jajaran Peradilan Agama adalah mempersiapkan diri dengan materi peraturan Perundang-undangan yang sangat banyak berkaitan dengan bisnis syari’ah tersebut. Mengingat masih banyaknya praktik bisnis syari’ah yang belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan, maka disini akan dituntut hakim yang dapat menghasilkan putusan yang berkualitas, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang serupa.
2) Kelembagaan Kelembagaan Peradilan Agama yang ada saat ini akan memerlukan perombakan yang cukup mendasar, baik dari strukturnya, karir hakim dan lain-lainnya yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan. 3) Budaya Masyarakat Pencari Keadilan Pola yang sudah tertanam dalam diri para pencari keadilan adalah ”ke Pengadilan untuk menang bukan untuk mendapatkan keadilan”. Pola ini tidak dengan mudah dirubah. PENUTUP Perkembangan bisnis syari’ah dalam kontek ekonomi syari’ah adalah merupakan fenomena baru dalam perkembangan hukum yang perlu disikapi. Keperluan ini sudah sangat dirasakan semenjak dekade tahun 70-an dan di Indonesia baru dapat direalisasikan pada tahun 90-an. Dari segi kesiapan peraturan yang akan digunakan sebagai landasan operasional dan penyelesaian sengketa jika terjadi dalam praktik bisnis syari’ah di Indonesia masih perlu terus dibangun. Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut diharapkan dari kualitas hakim di dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara ekonomi syari’ah yang diselesaikannya. Bibliografi Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam; Fidh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers,2003), cetakan 1, hlm 101. Imam Santoso, Lc, Fiqh Muamalah, Jakarta:Pustaka Tarbiatuna, 2003), cetakan1, hlm 19 Fatwa DSN Nomor: 20/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 18 April 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah Fatwa DSN Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 tanggal 14 September 2002 Fatwa DSN Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tanggal 4 Oktober 2003 tentang Pasar Modal Dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah Di Bidang Pasar Modal
13
Training module on Comprehensive training on Sharia Banking, Karim Business Consulting Basic Training : Fiqh and Instrument on Islamic Capital Market Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta (Bank Indonesia-Dewan Syariah Nasional: 2003, Edisi 2) hlm 263. Pengumuman BEJ No. Peng-175/BEJ-DAG/U/06-2004 tanggal 25 Juni 2004, tentang anggota JII Periode Juli 2004 s/d Desember 2004. Ahmad el-Najjar, 1972. Bank Bila Fawaid ka Istiratijiyah lil Tanmiyah al-Iqtishadiyyah, Jedah: King Abdul Aziz University Press. Elias G. Kazarian, 1993. Islamic Versus Traditional Banking, Financial Innovation in Egypt. Westview Press. Lukman Denda Wijaya, 2004. Lima tahun penyehatan perbankan nasional. Bogor: Ghalia Indonesia. M.Amin Azis, 1992. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia. Jakarta: Bankit. Muhammad Syafi’I Antonio, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insaani. Muhammad Syafi’I Antonio, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta. Gema Insaani. Warkum Sumitro. 2002. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Republik Indonesia, Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Perubahan Atas UndangUndang No.7 Tahun 1992, Tentang Perbankan, LN No.182 Tahun 1998, TLN No.3790. R. Subekti, 1989. Hukum Acara Perdata, Cet.3, Bandung: Binacipta. Sutan Remy Sjahdeini, 1999. Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pusaka Utama Grafiti. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Republik Indonesia, Undang-Undang tentang No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara
14