ANALISIS PERMASALAHAN STRUKTURAL MASYARAKAT PETANI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat)
Oleh: SUKMA PRIMANA DEWI ALFIAN A14204009
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN SUKMA PRIMANA DEWI ALFIAN (A14204009). ANALISIS PERMASALAHAN STRUKTURAL PETANI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN, Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat. (Di bawah Bimbingan MURDIANTO)
Pertanian merupakan sektor penggerak utama perekonomian di pedesaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Data BPS menunjukkan, dari 90,8 juta penduduk yang bekerja, 44,3 persennya bekerja di sektor pertanian. Namun demikian, sumbangan sektor pertanian semakin menurun. Data BPS menunjukkan, sumbangan sektor pertanian menurun sekitar 2,2 persen pertahun. Penurunan sumbangan sektor pertanian salah satunya disebabkan oleh permasalahan yang terjadi dalam kegiatan pertanian. Permasalahan tersebut, antara lain dalam hal permodalan petani. Permasalahan permodalah yang terjadi, yaitu kelangkaan dan tingginya harga pupuk di pasaran. Faktor yang menyebabkan permasalahan tersebut, adalah kebijakan yang tidak memihak petani kebijakan yang ada sangat dipengaruhi erat oleh faktor ekonomi dan politik. Permasalahan kebijakan yang tidak memihak petani tersebut tergolong kedalam permasalahan struktural petani yang perlu di atasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana bentuk-bentuk permasalahan struktural petani berdasarkan aspek sosial ekonomi yang terjadi di Kelurahan Katulampa, serta faktor-faktor apa yang menyebabkan permasalahan tersebut terjadi. Selain itu untuk mengetahui,
bagaimana dampak positif pembangunan pertanian yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan struktural petani. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, metode penelitian yang digunakan, yaitu metode penelitian kualitatif. Di mana, melalui metode ini, peneliti dapat mengetahui suatu gejala sosial berdasar kondisi alaminya. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu strategi penelitian studi kasus instrinsik, dengan teknik triangulasi, baik data, teori, maupun metode. Permasalahan struktural petani berdasar aspek sosial ekonomi yang terjadi di Kelurahan Katulampa antara lain kelembagaan, permodalan, dan sumberdaya petani. Pada kelembagaan, permasalahan yang terjadi yaitu ketimpangan pada bentuk penguasaan dan penggunaan lahan, serta kelompok tani yang tidak aktif. Pada permodalan, permasalahan yang terjadi yaitu lahan pertanian yang semakin terkonversi, meningkatnya biaya produksi pertanian, dan lemahnya permodalan petani. Pada sumberdaya petani, permasalahan yang terjadi yaitu, dominasi petani tua dengan tingkat pendidikan yang sebagian besar hanya merupakan lulusan sekolah dasar yang mempengaruhi introduksi teknologi pertanian baru. Pembangunan pertanian yang dilakukan di Kelurahan Katulampa antara lain, program pertanian organik, dan penguatan modal. Dampak positif yang terjadi dengan adanya program tersebut adalah peningkatan harga jual petani, pengurangan biaya produksi, dan membantu permodalan petani.
ANALISIS PERMASALAHAN STRUKTURAL MASYARAKAT PETANI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat)
Oleh: Sukma Primana Dewi Alfian A14204009
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
: Sukma Primana Dewi Alfian
Nomor Pokok
: A14204009
Judul
: Analisis Permasalahan Struktural Masyarakat Petani Dan Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Murdianto, MSi NIP. 131 999 962
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019 Tanggal Lulus Ujian:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PERMASALAHAN STRUKTURAL MASYARAKAT PETANI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat)” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
PADA
SUATU
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNG
JAWABKAN PERNYATAN INI.
Bogor, Agustus 2008
Sukma Primana Dewi Alfian A14204009
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis bernama Sukma Primana Dewi Alfian yang dilahirkan pada tanggal 11 Januari 1986 di Bandung. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Ir. Agung Lintar Alfian, MSTr dan Rosdiana, BA. Penulis menempuh pendidikan pertama kali di Taman Kanak-kanak Harapan Lima Bekasi pada tahun 1990. Pendidikan di tingkat sekolah dasar pada tahun 1991-1997, dijalani penulis di beberapa sekolah, yaitu di SDN Panca Motor II Bekasi, SDN Farol II Dili, dan lulus di SDN Teladan Ambon. Pendidikan di sekolah lanjutan tingkat pertama diselesaikan tahun 1997-2001 di tiga SMP yaitu SMP negeri 11 Ambon, SLTP Negeri 1 Cibinong dan lulus di SLTP Negeri 9 Palangkaraya. Sekolah menengah umum diselesaikan tahun 2004 di Sekolah Menengah Umum Negeri 8 Bogor. Tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif menjadi anggota Bulletin BEM-A “D-Green” bagian Distribusi dan Promosi, serta menjadi asisten Dasar-dasar Komunikasi selama 2 semester.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul : “Analisis Permasalahan Struktural Masyarakat Petani Dan Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat)”. Penelitian ini menelaah permasalahan struktural masyarakat petani dari aspek sosial ekonomi serta pembangunan pertanian yang terjadi di Kelurahan Katulampa. Melalui skripsi ini, pembaca dapat mengetahui bentuk-bentuk permasalahan struktural petani dan faktor-faktor yang menjadi penyebab permasalahan tersebut, serta mengetahui mengenai bagaimana peran pemerintah dalam pembangunan pertanian memberi dampak positif terhadap permasalahan yang dihadapi petani. Demikianlah skripsi ini disusun dengan suatu tema tulisan yang dipandang cukup relevan untuk ditelaah lebih lanjut saat ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan. Bogor, Agustus 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama masa penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat, karunia, dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sekaligus ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Murdianto, MSi selaku Dosen Pembimbing, atas saran dan masukan untuk kelancaran proses penulisan skripsi. 2. Ir. Said Rusli, M.A. yang telah berkenan menjadi dosen penguji utama dalam sidang skripsi. 3. Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai dosen penguji skripsi perwakilan dari komisi pendidikan. 4. Dr. Ir Djuara P. Lubis, MS selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan masukan yang berharga. 5. Kepada Papa dan Mama, serta adik-adikku Hardi dan Kalina yang selalu mendukung dan mendoakan sehingga skripsi ini dapat selesai tepat waktu. 6. Anwar Hadi, SH beserta Ibu, selaku Lurah Katulampa atas izin yang diberikan sehinggga penelitian ini dapat dilakukan. 7. Bapak Sadeli, Bapak Sa’ir, Ibu Sofiah, Bapak Abdul Choir, dan Bapak Saca serta seluruh petani di Kelurahan Katulampa atas bimbingan, kerjasama, dan bantuan yang diberikan selama penelitian.
8. Bapak Sarifudin, Ibu Natalia, serta Bapak Hadinata selaku PPL Kelurahan Katulampa, atas bimbingan, kerjasama, dan bantuan selama penelitian. 9. Indra Kurniawan, terima kasih atas dukungan dan support yang diberikan untuk penulis selama ini. 10. Mas Anton, atas segala masukan yang berharga kepada penulis. 11. Mba Hanna dan Mba Rahma, terima kasih atas doa dan support yang diberikan selama ini kepada penulis. 12. Lusi Aprilianti, terima kasih atas kerjasama, persahabatan, segala perhatian, dorongan semangat yang diberikan kepada penulis. 13. Anggraeni Paramagita, Mulyani Rendhasari, Siti Nurul Qoriah, Ina Aulia Rosdiana, untuk segala perhatian, doa, dorongan semangat, dukungan materiil yang diberikan kepada penulis. 14. Dewi, Elien, Meita, Ria, atas kebersamaan proximity selama ini. 15. Teman-teman KPM 41, atas kerjasama dan kebersamaan selama ini. 16. Ria Apriani, Nurmalasari, Nang, Eas, Rio, Joe atas dukungan materiil dan support kepada penulis. 17. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, untuk segala perhatian, dorongan semangat, dukungan materiil dan moril berupa masukan, kritikan, maupun peringatan yang membangun dan tulus untuk Sukma.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................... xi DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................... 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .............................................................. 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 1.4 Kegunaan Penelitian..............................................................
1 1 4 6 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1 Konsep Pertanian, Petani, dan Rumahtangga Pertanian ....... 2.2 Masalah dalam Kegiatan Pertanian....................................... 2.3 Aspek-aspek Sosial Ekonomi dalam Kegiatan Pertanian ..... 2.3.1 Kelembagaan............................................................... 2.3.2 Permodalan.................................................................. 2.3.3 Sumberdaya Petani...................................................... 2.4 Permasalan Struktural Petani. ............................................... 2.5 Pembangunan Pertanian ........................................................ 2.6 Pengorganisasian Petani........................................................ 2.7 Kerangka Pemikiran.............................................................. 2.8 Hipotesis Pengarah................................................................ 2.9 Definisi Konseptual...............................................................
7 7 8 11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN..................................................... 3.1 Metode Penelitian.................................................................. 3.2 Lokasi dan Waktu penelitian................................................. 3.3 Teknik Pengumpulan Data.................................................... 3.4 Teknik Analisis Data.............................................................
29 29 30 30 31
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI................................................... 4.1 Kondisi Geografis Kelurahan Katulampa ............................. 4.2 Kondisi Kependudukan......................................................... 4.3 Pertanahan ............................................................................
32 32 32 34
12 14 15
16 17 20 22 26 26
4.4 4.5
4.6 4.7 4.8 4.9 BAB V
BAB VI
Pendidikan............................................................................. Kondisi Pertanian Tanaman Pangan ..................................... 4.5.1 Padi dan Palawija ........................................................ 4.5.2 Sayuran dan Buah ..................................................... Perikanan............................................................................... Peternakan ............................................................................. Kondisi Sarana dan Prasarana............................................... Kondisi Sosial Ekonomi........................................................
PERMASALAHAN STRUKTURAL PETANI TANAMAN PANGAN KELURAHAN KATULAMPA ................................... 5.1 Permasalahan Petanian.......................................................... 5.2 Kelembagaan Petani.............................................................. 5.2.1 Pemindahtanganan Tanah dan Hubungan Sewa/Penyaapan........................................................... 5.2.2 Kelompok Tani ........................................................... 5.3 Permodalan............................................................................ 5.3.1 Modal Tetap ................................................................ 5.3.2 Modal Tidak Tetap ..................................................... 5.4 Sumberdaya Petani............................................................... 5.5 Ikhtisar ...............................................................................
35 36 38 42 45 45 45 46
46 46 49 49 56 67 67 72 76 79
DAMPAK POSITIF PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PERMASALAHAN STRUKTURAL PETANI ......................... 80 6.1 Program Pembangunan Pertanian ......................................... 80 6.2 Program Padi Organik (SRI)................................................. 81 6.3 Pengembangan Mikro Organisme Lokal dan Pestisida Organik.................................................................................. 85 6.4 Pupuk Organik ...................................................................... 87 6.5 Penguatan Modal................................................................... 90 6.6 Dampak Positif Pembangunan Pertanian terhadap Permasalahan Struktural Petani.................................................................... 91
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 7.1 Kesimpulan ........................................................................... 7.2 Saran......................................................................................
95 95
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN..................................................................................................
98
97
101
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Usia .............................................................
33
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ..........................................
34
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Katulampa Menurut Tingkat Pendidikan ...... Tabel 4. Jumlah Fasilitas Pendidikan....................................................................
35
Tabel 5. Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Katulampa...................................
37
Tabel 6. Produksi Palawija Kelurahan Katulampa .................................................
42
Tabel 7. Jenis dan Jumlah Hewan Ternak Peliharaan .............................................
45
Tabel 8. Hasil Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Kelurahan Katulampa ..........
57
36
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran....................................................................... 25 Gambar 2. Tanaman Padi Mulai Berbulir ........................................................ 41 Gambar 3. Panen Mentimun ........................................................................... 44 Gambar 4. Struktur Organisasi Kelompok Bangun Tani Mukti ...................... 59 Gambar 5.Pembangunan Perumahan Pada Lahan Pertanian ........................... 70
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penggerak utama ekonomi di pedesaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan sebagian besar masyarakat desa yang bekerja di sektor pertanian. Data BPS tahun 2004 menunjukkan, dari 90,8 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sekitar 44,3 persennya bekerja di sektor pertanian. Selain itu, rumahtangga pertanian naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun 2003, yang berarti meningkat sebesar 2,2 persen per tahun. Peningkatan terjadi baik di Jawa maupun di luar Jawa dengan tingkat pertumbuhan yang hampir sama. Namun demikian, sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia cenderung menurun tiap tahunnya. Data BPS tahun 2004 menunjukkan, tahun 1987, sektor pertanian memberikan sumbangan sekitar 38 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kelompok non-migas. Sepuluh tahun kemudian (1997) menurun menjadi 16 persen, atau terjadi penurunan rata-rata sebesar 2,2 persen per tahun. Menurunnya sumbangan sektor pertanian disebabkan oleh beragam faktor. Faktor tersebut antara lain, berkembangnya sektor di luar sektor pertanian seperti sektor industri, maupun disebabkan oleh adanya permasalahan dalam kegiatan sektor pertanian itu sendiri. Menurut Sajogyo (2003), tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantungan pada
impor. Di sektor pertanian, diversifikasi dilaksanakan dengan mendorong pertumbuhan komoditi ekspor (terutama kelapa sawit, kakao, udang, tuna dan cakalang) dan ayam ras (konsumsi domestik). Pembangunan infrastruktur pedesaan dan di luar Jawa diabaikan demi memacu pembangunan infrastruktur perkotaan dan di Jawa. Pembangunan pertanian sendiri mulai dilepas untuk didominasi oleh perusahaan besar terutama di bidang perkebunan, peternakan dan perikanan. Perusahaan perkebunan swasta besar menguasai lebih dari satu juta hektar lahan perkebunan. Semua nilai tambah jatuh pada perusahaan besar di Jakarta, sedangkan masyarakat lainnya di daerah hanya menerima UMR dan pemerintah daerah menerima PBB yang sangat rendah (Sajogyo, 2003). Kebijakan pemerintah yang semakin terfokus pada sektor industri memicu hadirnya permasalahan struktural petani, petani semakin terpisah dari tanah sebagai sumberdaya utama dalam melakukan kegiatan pertanian. Selama dekade 1990-an jumlah petani gurem yang mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektar meningkat dengan laju 1,5 persen dan jumlah buruh tani meningkat dengan laju hampir 5,0 persen per tahun (Sajogyo, 2003). Permasalahan struktural petani tersebut disebabkan oleh kebijakan yang tidak memihak petani. Kebijakan ini merupakan kesalahan strategi pembangunan, yang harus diubah dengan memberikan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya domestik pada petani dan masyarakat pedesaan secara berkeadilan (Sajogyo, 2003). Permasalahan petani tersebut terjadi pula di Kelurahan Katulampa. Petani di Katulampa sebagian besar merupakan petani penggarap. Data Kelurahan
Katulampa tahun 2007 menyebutkan, dari 412 kepala keluarga tani, 256 kepala keluarga merupakan petani yang mengusahakan lahan pertanian milik orang lain. Hal tersebut terjadi karena lahan pertanian sebagai modal utama petani semakin berkurang sebagai akibat dari pengalihfungsian lahan pertanian. Pengalihfungsian lahan pertanian tergolong ke dalam permasalahan struktural, karena hal tersebut dipengaruhi erat oleh kebijakan penguasaan dan pengolahan lahan pertanian yang cenderung berpihak pada kepentingan di luar petani. Pengalihfungsian lahan yang terjadi menyebabkan petani semakin terpisah dari tanah sebagai sumber mata pencaharian utama petani. Dalam mendapatkan tanah untuk kegiatan usahatani, petani menjadi tergantung pada pihak di luar mereka, pilihan-pilihan petani menjadi sangat ditentukan oleh pihak di luar petani. Sistem sosial yang ada telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung dan tak berdaya sepenuhnya. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi petani menuntut suatu pemecahan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas komoditi pertanian, salah satunya yaitu melalui kebijakan pertanian yang lebih memihak petani. Sajogyo
(2002)
mengatakan,
kebijakan
yang diperlukan
adalah
untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi ekonomi pada setiap mata rantai agrobisnis komoditi pertanian. Pembangunan pertanian di Kelurahan Katulampa dilaksanakan melalui program dan proyek yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani. Pembangunan pertanian yang ada perlu dilaksanakan berdasar pada kebijakan pembangunan pertanian yang berpihak pada kepentingan petani. Kebijakan baru tersebut, antara lain: partisipasi aktif petani dan masyarakat
pedesaan disertai pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan penguasaan lahan dan aset produktif per tenaga kerja pertanian dan pemerataan jangkauan pada asset produktif pertanian, teknologi, dan pembiayaan, diversifikasi pertanian dalam arti luas (“broad base agricultural diversification”), pengembangan lembaga keuangan pedesaan yang mandiri, pengembangan kelembagaan pertanian dan pengembangan prasarana pertanian di pedesaan, dan pengembangan basis sumberdaya pertanian (Sajogyo, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti dan menganalisis permasalahan struktural petani yang terjadi di Kelurahan Katulampa dan peran pemerintah dalam pembangunan pertanian.
1.2 Perumusan Masalah Permasalahan petani yang terjadi di Kelurahan Katulampa salah satunya adalah penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian oleh petani yang semakin menyusut. Hal tersebut terjadi sebagian besar diakibatkan oleh pengalihfungsian lahan pada pihak perusahaan. Petani menjadi terbatas dalam penguasaan maupun pemanfaatan lahan pertanian. Permasalahan tersebut berakibat pada rendahnya pendapatan petani. Sajogyo (2002) dalam satu artikel ’Pertanian dan Kemiskinan’ mengungkapkan, pada suatu kasus desa, dimana dari tiga sumber pendapatan, rumah tangga dengan luas tanah lebih yang selalu unggul. Sebaliknya rumah tangga tanpa-tanah memperoleh pendapatan terkecil, bahkan tergolong rumah tangga defisit bila dibandingkan tingkat pendapatan sebatas “biaya hidup” sebagai patokan.
Permasalahan petani tersebut tergolong kedalam permasalahan struktural, karena kebijakan dalam hal pemanfaatan dan pengolahan lahan pertanian yang tidak berpihak pada petani. Suharto (2005) mengatakan, peraturan resmi maupun birokrasi yang menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya merupakan suatu permasalahan struktural, dan permasalahan tersebut harus diatasi dalam upaya meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan petani. Upaya pemecahan masalah telah dilakukan oleh petani dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah melalui Dinas Agribisnis. Pemecahan permasalahan petani dilakukan melalui program-program maupun proyek-proyek pembangunan pertanian. Program pembangunan pertanian
yang ada bertujuan
untuk
meningkatkan produktifitas pertanian. Namun demikian perlu untuk diketahui bagaimana dampak pelaksanaan program terhadap petani. Berdasar latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk-bentuk permasalahan struktural yang terjadi pada petani pertanian tanaman pangan di Kelurahan Katulampa bila ditinjau dari aspek sosial ekonomi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan tersebut terjadi? 2. Bagaimana peran pemerintah dalam kegiatan program atau proyek pembangunan pertanian yang terjadi di Kelurahan Katulampa dan berpengaruh positif terhadap permasalahan struktural petani?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, menganalisis, dan memahami: 1. Bagaimana bentuk-bentuk permasalahan struktural yang terjadi pada petani pertanian tanaman pangan di Kelurahan Katulampa bila ditinjau dari aspek sosial ekonomi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan tersebut terjadi. 2. Bagaimana peran pemerintah dalam kegiatan program atau proyek pembangunan pertanian yang terjadi di Kelurahan Katulampa dan berpengaruh positif terhadap permasalahan struktural petani.
1.4 Kegunaan Penelitian Manfaat dan kegunaan penelitian ini yaitu: 1. Memperdalam pengetahuan mahasiswa mengenai berbagai permasalahan struktural petani yang terjadi dalam pertanian di Kelurahan Katulampa dan peran pemerintah dalam pembangunan pertanian. 2. Pemerintah mengetahui permasalahan mendasar yang dihadapi petani di Kelurahan Katulampa sehingga program yang dilakukan dapat tepat sasaran.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Konsep Pertanian, Petani, dan Rumahtangga Pertanian Pertanian adalah suatu kegiatan produksi biologis untuk menghasilkan berbagai kebutuhan manusia termasuk sandang, papan, dan pangan. Produksi tersebut dapat dikonsumsi langsung maupun jadi bahan antara untuk diproses lebih lanjut (Syahyuti, 2006). Selain definisi di atas, pertanian juga dapat diartikan sebagai upaya pengolahan tanaman dan lingkungan agar memberikan suatu produk (Mardjuki, 1990). Petani merupakan pelaku utama dalam kegiatan pertanian. Soetrisno (2002), dalam sosiologi barat, terdapat dua konsep mengenai petani, yaitu peasant dan farmers. Peasant merupakan petani yang sebagian besar hasil pertaniannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Farmers adalah orang-orang yang hidup dari pertanian dan memanfaatkan sebagian besar hasil pertanian untuk dijual. Berbeda halnya dengan yang dikemukakan oleh Scott (1981) mendefinisikan petani sebagai seorang pencocok tanam yang produksinya terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi keluarga. Petani di Kelurahan Katulampa sebagian besar merupakan petani penggarap yang mengusahakan tanaman pertanian yang hasilnya untuk tujuan dijual maupun dikonsumsi sendiri. Selain petani, terdapat pula buruh tani. Buruh tani adalah orang yang bekerja di sektor pertanian, namun mereka bekerja pada orang lain atau perusahaan yang jenis pekerjaannya masih erat dengan kegiatan pertanian atas
dasar balas jasa dengan diberi upah atau gaji dalam bentuk uang atau barang (BPS, 2003). Rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau ditukar untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri (BPS, 2003). Rumahtangga pertanian tanaman pangan adalah rumahtangga yang satu anggota keluarga melakukan kegiatan penanaman tanaman pangan (padi, palawija, sayursayuran, dan buah-buahan).
2.2 Masalah dalam Kegiatan Pertanian Kegiatan usahatani merupakan kegiatan dimana seorang petani, sebuah keluarga tani, atau badan usaha bercocok tanam atau memelihara ternak pada sebidang tanah (Mosher, 1987). Usahatani merupakan kegiatan yang tidak mudah untuk dilakukan, karena bertani memerlukan keterampilan dan keuletan dalam melaksanakannya. Dalam melaksanakan usaha pertanian terdapat beberapa faktor yang menentukan keberhasilan usahatani, diantaranya alam, biologis, fisik, dan sosial-ekonomi (Mosher, 1987). Faktor tersebut sangat berpengaruh. Dimana, bila tidak dipenuhi, tak jarang dapat menyebabkan permasalahan dalam kegiatan usahatani. Input pertanian seperti sarana produksi pertanian merupakan hal penting dalam suatu proses produksi, apabila terdapat input yang tidak dapat dipenuhi, maka akan berdampak pada kegiatan produksi yang dilakukan (Rojak, 1983) . Masalah merupakan kondisi di luar harapan yang terjadi dalam suatu kegiatan. Masalah juga diidentifikasikan sebagai perbedaan atau kesenjangan
antara harapan dan kenyataan. Selain itu, dapat pula dikatakan sebagai perbedaan antara keinginan dengan kenyataan yang ada pada saat ini (Riyadi dan Deddy S. Bratakusumah, 2004). Permasalahan petani merupakan suatu permasalahan yang hadir secara kontinue. Artinya, permasalahan tersebut selalu hadir dalam setiap jenjang usahatani yang dilakukan petani (Suharto, 2005). Permasalahan yang dihadapi petani merupakan suatu kondisi yang menuntut suatu pemecahan dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan petani sehingga petani mampu mencapai suatu kondisi sejahtera. Menurut Mosher, (1987) terdapat beberapa faktor yang menjadi masalah dalam kegiatan usahatani, antara lain: 1. Alam seperti curah hujan, iklim, dan penyinaran matahari. Dalam keadaan yang seimbang, kondisi alam seperti curah hujan yang cukup, kondisi penyinaran yang sesuai, akan berpengaruh baik terhadap kondisi pertanian. Namun demikian, hal tersebut juga bisa terjadi sebaliknya, bila curah hujan terlalu tinggi dan ketersediaan air terlalu berlimpah sehingga terjadi banjir, hal tersebut justru akan merugikan petani. Salah satu bentuk permasalahan petani akibat faktor alam, yaitu banjir. Banjir yang terjadi dan menyebabkan ratusan hektar tanaman padi berusia dua bulan tenggelam dan petani gagal panen. Pada akhirnya, kerugianlah yang kemudian akan dihadapi petani. 2. Sifat dasar dari tanah mempengaruhi tanaman, karena tidak semua jenis tanaman pertanian dapat tumbuh bebas disemua daerah. Ketika tanaman komoditas unggulan dapat dengan mudah ditanam di suatu wilayah
tertentu, petani akan dengan mudahnya mengusahakan komoditas tersebut. Namun demikian, bila komoditas unggulan tersebut hanya cocok pada kondisi iklim dan jenis tanah tertentu maka petani akan mengalami berbagai kendala untuk mengusahakan komoditas tersebut. Hal tersebut pula yang membatasi petani untuk dapat menanam komoditas tertentu padahal komoditas tersebut memiliki nilai jual yang tinggi. 3. Hama dan penyakit tanaman juga merupakan permasalahan yang menghambat kegiatan pertanian, dimana bila suatu pertanian hama dan penyakit dapat dikendalikan dengan baik, maka tanaman hasil produksi pertanian akan stabil atau bahkan meningkat. Namun demikian, bila suatu lahan pertanian diserang hama dan penyakit dapat berimplikasi pada turunnya hasil produksi atau bahkan menyebabkan kegagalan produksi. 4. Penerapan teknologi yang digunakan untuk kegiatan pertanian di Indonesia masih dapat digolongkan ke dalam teknologi sederhana. Hal tersebut terlihat dari sebagian besar petani padi yang masih menggunakan kerbau untuk menggarap sawah, penyemprotan pestisida yang masih dilakukan manual dengan menggunakan penyemprot. Kontrol kualitas terhadap hasil pertanian masih tergolong rendah, hal tersebut ditunjukkan dengan masih beragamnya kualitas hasil dari satu lahan pertanian yang menyebabkan harga jual menjadi rendah. Agar pembangunan pertanian berjalan terus haruslah terjadi perubahan. Teknologi pertanian baru harus memberi harapan tercapainya hasil yang lebih baik (Mosher, 1987). Berbeda halnya dengan yang diungkapkan Mardjuki (1990), dalam kegiatan pertanian, terdapat faktor-faktor yang sulit di atasi dan menyebabkan
permasalahan petani. Salah satu faktor tersebut yaitu, faktor panen dan pasca panen, apabila kegiatan panen tidak dilakukan dengan baik, dapat mempengaruhi hasil pertanian. Pada tanaman cerealia, padi misalnya, bulir padi yang telah siap panen sangat mudah telepas, apabila panen dilakukan dengan arit, resiko berkurangnya hasil akan semakin besar. Menurut Soekartawi (2002), faktor yang menyebabkan kesenjangan pada kegiatan produksi, antara lain: Kendala biologi (misalnya perbedaan besarnya biaya, adanya tanaman pengganggu, serangan hama dan penyakit, masalah tanah, dan perbedaan kesuburan tanah). Kendala sosio-ekonomi (misalnya kurangnya biaya usahatani, harga produksi, kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat
pendidikan
petani,
adanya
faktor
ketidakpastian,
serta
resiko
berusahatani). Kendala biologi maupun kendala sosio-ekonomi berlainan untuk satu daerah dengan daerah lainnya. Jadi sifatnya sangat lokal dan spesifik, atau sangat kondisional sekali. Namun tetap saja memiliki pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani Soekartawi (2002).
2.3 Aspek-aspek Sosial Ekonomi dalam Kegiatan Pertanian Pada kegiatan pertanian, terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi, baik aspek biofisik maupun aspek sosial-ekonomi. Aspek biofisik dalam kegiatan pertanian mencakup hama dan penyakit tanaman, pengairan dan irigasi serta permasalahan iklim dan cuaca. Aspek sosial-ekonomi mencakup kelembagaan, faktor produksi modal dan kualitas sumberdaya petani (Daniel, Moehar. Darmawati, dan Nieldalina, 2005).
Setiap aspek tersebut sangat berpengaruh, dimana bila terdapat aspek yang tidak terpenuhi, maka dapat menyebabkan hambatan dalam kegiatan usahatani. Lemahnya koordinasi dan kurangnya informasi anggota kelompok tani merupakan salah satu permasalahan kelembagaan. Permasalahan kelembagaan tersebut menyebabkan sebagian petani seolah tidak tanggap perkembangan teknologi (Daniel, Moehar. Darmawati, dan Nieldalina, 2005). Hambatan tersebut harus di atasi, dalam rangka memperbaiki pendapatan petani serta meningkatkan kesejahteraannya. Pada penelitian ini akan difokuskan pada aspek sosial ekonomi, antara lain sumberdaya modal atau permodalan, kelembagaan, dan sumberdaya petani.
2.3.1 Kelembagaan Kelembagaan merupakan sebuah pranata sosial yang merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubugan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi
kompleks-kompleks
kebutuhan
khusus
dalam
masyarakat
(Koentjaraningrat, 1964 dalam Nasdian, 2003). Nasdian (2003) mengatakan, kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial, dimana kelembagaan memiliki aspek kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai dan segi struktural yang berupa berbagai
peranan
sosial.
Berdasarkan
tingkatannya,
kelembagaan
dapat
dikategorikan dalam empat kategori, antara lain: 1. Pranata sosial, yaitu aturan-aturan tertentu yang dianut dalam masyarakat secara umum dan agak meluas, misalnya sistem sewa, bagi hasil, ijon, pinjam-meminjam antar petani dan sebagainya.
2. Kelompok tani, yaitu kumpulan petani-petani dalam kelompok berpangkal pada keserasian dalam arti mempunyai pandanganpandangan, kepentingan-kepentingan, dan kesenangan-kesenangan yang sama. 3. Organisasi atau perhimpunan petani-petani, yaitu organisasi petani yang bersifat formil, dimana pengurus dan anggotanya jelas terdaftar. Organisasi atau perhimpunan ini mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumahtangga (AD/ART) yang tertulis, yang tercantum tujuan-tujuannya dan ketentuan-ketentuan lainnya. Ada rapat anggota, dan petani bisa menjadi anggota apabila telah memenuhi syarat organisasi. 4. Lembaga institusional, yaitu lembaga pelayanan yang ada di pedesaan seperti BRI Unit Desa, lembaga penyuluhan, lembaga penyalur sarana produksi dan sebagainya. Menurut Soekartawi (2002), kelembagaan dicerminkan dengan adanya pasar, adanya pelayanan penyuluhan, dan lembaga perkreditan. Kelembagaan memiliki fungsi tertentu. Fungsi kelembagaan sosial menurut Van Doorn dan Lammers (l959) dalam Nasdian (2003) yaitu untuk memberi pedoman dalam berprilaku pada masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat, memberi pegangan atau kontrol, serta memenuhi kebutuhan pokok manusia atau masyarakat. Perubahan dalam teknologi maupun pendapatan menuntut adanya perubahan kelembagaan. Kelembagaan yang tidak mengikuti perubahan akan menghambat dan menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan seperti ketimpangan pendapatan, kerusakan lingkungan atau dampak lain yang negatif.
Pada kegiatan pertanian yang ada di Katulampa, kelembagaan pertanian yang ada belum sepenuhnya mampu mendukung petani dalam melakukan kegiatan usahatani. Sehingga perlu ada revitalisasi kelembagaan, dengan merangkul stakeholder terkait untuk secara proaktif menjadi mitra sejajar petani dalam upaya pengembangan usahatani.
2.3.2 Permodalan Permodalan merupakan aspek penting dalam kegiatan pertanian. Modal dalam usahatani dapat diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan, baik langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi (Rojak, 1983). Modal apabila dilihat dari sifatnya, dibedakan atas dua macam yaitu modal tetap ialah modal yang tidak habis pakai dalam satu kali produksi, misalnya lahan usahatani, alat-alat pertanian, dan gudang untuk alat-alat pertanian. Modal yang kedua yaitu modal tidak tetap. Modal tidak tetap, yaitu modal yang habis dalam satu kali proses produksi, misalnya pupuk, benih, dan pestisida. Modal ini setiap akan berproduksi kembali harus diganti dengan yang baru (Rojak, 1983). Salah satu bentuk modal tetap adalah lahan. Pada faktor produksi ini, bukan saja dilihat dari segi luas atau sempitnya lahan tetapi juga dilihat dari aspek lain seperti kesuburan tanah, macam penggunaan lahan (sawah, tegalan, ladang) dan topografi lahan (dataran rendah, tinggi, atau pantai). Modal dapat dibentuk dengan cara memperbesar simpanan. Pembentukan modal memiliki tujuan, yaitu untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani dan untuk menunjang pembentukan modal lebih lanjut.
2.3.3 Sumberdaya Petani Pembangunan dalam bidang pertanian di Kelurahan Katulampa terus dicanangkan.
Pembangunan
pertanian
merupakan
suatu
proses
yang
berkesinambungan dan membutuhkan peran serta masyarakat, dalam hal ini petani. Sumberdaya didefinisikan sebagai daya atau upaya untuk melakukan kerja (Nasdian, 2003). Sumberdaya petani menyangkut bagaimana kemampuan petani dalam mengolah pertanian yang diusahakannya. Dalam pembangunan pertanian, sumberdaya petani berkaitan dengan kemampuan petani dalam menerima dan mengintroduksikan program pembangunan pertanian (Pagiling, 1986). Namun demikian, dalam perjalanannya terkadang terdapat kelompok dalam komunitas yang menolak ‘pembaharuan’ ataupun inovasi yang muncul, sehingga menghambat partisipasi masyarakat dalam program pembangunan pertanian (Daniel, Moehar. Darmawati, dan Nieldalina, 2005). Watson (1958) dalam Adi (2003) mengemukakan bahwa, terdapat kendala dalam melakukan intervensi komunitas yang berupa kebiasaan (habits). Kendala ini umumnya berasal dari dalam diri individu. Allport (1937) dalam Adi (2003), menggambarkan fakta yang terjadi bahwa apapun tindakan yang dilakukan seseorang sebagai suatu cara untuk mencapai suatu kepuasan, seringkali diterima sebagai suatu tindakan yang ‘sebaiknya’ di lakukan. Misalnya kebiasaan merokok, kebiasaan makan malam, dan sebagainya. Kebiasaan dapat menjadi faktor pendukung maupun penghambat dalam suatu pemberdayaan masyarakat. Misalnya kebiasaan masyarakat melakukan kegiatan MCK di sungai akan menghambat penggunaan WC umum. Disamping itu, hal lain yang mempengaruhi penyerapan petani terhadap teknologi baru adalah kecenderungan petani untuk
menggunakan sesuatu yang mereka anggap berhasil mendatangkan hasil yang memuaskan. Bila tindakan yang pertama dilakukan seseorang mendatangkan hasil yang memuaskan, maka ia cenderung untuk melakukannya di saat yang lain. Hal ini juga dapat menghambat, seperti petani biasa menggunakan pestisida jenis X. Maka, ketika program penggunaan pestisida organik dilakukan, sebagian petani akan cenderung menolak informasi tersebut.
2.4 Permasalahan Struktural Petani Permasalahan merupakan kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Riyadi dan Deddy S. Bratakusumah, 2004). Permasalahan petani dapat disebabkan oleh kondisi sosial-psikologis petani. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh faktor ekstenal di luar dari kemampuan orang yang bersangkutan. Permasalahan yang disebabkan oleh birokrasi atau peraturan resmi, maupun kebijakan yang menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya dan mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas yang diistilahkan dengan permasalahan struktural (Suharto, 2005). Menurut Pearse (1975) dalam Soetomo (1997) mengatakan, permasalahan petani tergolong ke dalam permasalahan struktural karena petani merupakan kelompok marginal. Sistem sosial juga meletakan petani juga diletakkan sebagai elemen yang dibuat bergantung dan tak berdaya sepenuhnya. Selain itu pilihanpilihan petani ditentukan oleh pihak di luar petani. Petani juga sering terasing dari jaringan informasi aktual mengingat ketebatasan kemampuan kognitif mereka,
sistem transportasi yang belum sempurna, perbedaan kultur, serta posisi inferior dalam interaksi pasar. Permasalahan struktural petani dapat disebabkan oleh marginalisasi. Marginalisasi dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai proses, dimana hubungan-hubungan kekuatan antar manusia berubah dengan suatu cara sehingga salah satu kelompok makin terputus dari akses ke sumberdaya vital. Allison Scoot (1987) dalam Saptari (1997), mengatakan bahwa marginalisasi sebagai penyingkiran pekerjaan produktif. Dimana, dikatakan petani tersingkir dari pekerjaan produktifnya sebagai akibat dari pengalihfungsian lahan pertanian. Selama dua dasawarsa terakhir, pedesaan maupun pertanian telah mengalami perubahan struktural (Kroef, 1984). Pola penguasaan tanah semakin terpusat pada perorangan.Hal tersebut melemahkan sistem kelas secara horizontal tradisional di desa berdasarkan kepemilikan tanah. Struktur agraris yang lebih rapuh dan eksploratif pada umumnya merupakan produk interaksi antar tiga kekuatan yaitu: perubahan demografis, produksi untuk pasar, dan peningkatan negara yang menyebabkan petani kemudian terdiferensiasi ke dalam struktur yang berbeda ke dalam golongan-golongan petani yang dapat juga dilakukan berdasar lamanya tinggal di desa, luas tanah yang dikerjakan, atau pemilikan tempat tinggal perorangan yang terpisah (Tjondronegoro, 1999).
2.5 Pembangunan Pertanian Pembangunan merupakan suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas (Siagian, 1994 dalam Riyadi dan Deddy S.
Bratakusumah,
2004).
Pembangunan
pertanian
merupakan
suatu
upaya
peningkatan produksi pertanian melalui ketahanan pangan yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani (Syahyuti, 2006). Pembangunan pertanian merupakan salah satu dari lima prioritas Program Pembangunan Nasional (Propenas). Pembangunan nasional memiliki visi yaitu terwujudnya masyarakat yang sejahtera khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisis. Disamping itu, pembangunan pertanian memiliki tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani melalui pengembangan agribisnis, mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal, meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha secara adil melalui pengembangan agribisnis. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pembangunan pertanian di Indonesia yaitu: (1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam, (2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar, (3) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini dan (4) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Upaya untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga pertanian di pedesaan ditempuh melalui kebijakan pemerintah yang berupa: (i) peningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (ii) pengembangkan infrastruktur di pedesaan, (iii) peningkatkan aksesibilitas modal bagi petani, dan (iv) pengembangan agribisnis (Hutabarat, 2001). Mosher (1987) mengemukakan, terdapat syarat pokok dan syarat pelancar sebagai penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Syarat pokok
adalah semua komponen yang mutlak ada bagi terlaksananya pembangunan pertanian. Lima syarat pokok pembangunan, antara lain: 1. Teknologi yang senantiasa berkembang. 2. Pasar bagi hasil-hasil usahatani. 3. Tersedianya sarana produksi pertanian secara lokal. 4. Perangsang produksi bagi petani, yaitu adanya suatu perangsang agar petani turut serta, seperti kebijakan. 5. Transportasi. Syarat pelancar dalam pembangunan pertanian, yaitu hal yang dapat menyempurnakan metode-metode kerja dalam usaha memperlancar pembangunan pertanian. Syarat pelancar dalam pembangunan pertanian, antara lain: pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan bersama (kelompok) oleh petani, perbaikan dan perluasan areal lahan pertanian dan perencanaan nasional pembangunan pertanian. Salah satu upaya tersebut telah dilakukan sejak tahun 1950, yaitu melalui penyuluhan yang berbasis Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD). Namun demikian, penyelenggaraannya berjalan tidak seperti yang diharapkan, terlihat dari hasil padi pada periode 1945 hingga 1963 yang meningkat, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan, dan pemerintah tetap saja mengimpor beras. Tercatat tahun 1950 impor beras sebanyak 334.000 ton, dan pada tahun 1956 meningkat menjadi 763.000 ton. Keadaan tersebut mendorong pemerintah untuk mencari terobosan baru guna meningkatkan produksi pangan yang bersifat massal dan integral (Pitojo, 1997).
Pengembangan pembangunan pertanian terus berlanjut dan revolusi hijau pertama telah dilaksanakan pada tahun 1970. Pitojo (1997) mengemukakan, ciriciri pembangunan yang terjadi, yaitu: 1. peran pemerintah yang sangat dominan, 2. proses pembangunan yang berlangsung lambat, 3. kurang perhatian terhadap efisiensi penggunaan teknologi, 4. kurang perhatian mengenai pengaruh pembangunan terhadap lingkungan, 5. fokus utama yaitu peningkatan produksi yang dihasilkan. Pada pelaksanaan pembangunan yang terjadi masih terdapat banyak kekurangan, namun proses pembangunan tersebut akhirnya mampu meningkatkan produksi padi dan mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984. Pada musim tanam 1985, sebagian program dihentikan karena tidak berjalan dengan baik (Pitojo, 1997).
2.6 Pengorganisasian Petani Perencanaan pembangunan secara umum, dan pembangunan pertanian khususnya, akan lebih tepat jika dimulai dari bawah. Pembangunan hendaknya tidak hanya melihat dari data sekunder yang ada, melainkan harus mengajak petani berperan serta dalam pembangunan. Artinya, pembangunan tidak lagi melihat masyarakat (petani) sebagai objek pembangunan tetapi, diajak sebagai subjek dalam pembangunan. Petani seharusnya ikut menentukan pembangunan dirinya dan lingkungannya, untuk itu mereka harus disertakan dalam setiap tahapan pembangunan.
Perubahan pendekatan pembangunan terutama dalam perencanaan dan pelaksanaan harus dimulai dari suatu metode dan pendekatan yang tepat. Dengan kata lain, pembangunan harus dimulai dari individu meningkat ke kelompok masyarakat, dan kemudian ke komunitas yang lebih tinggi. Untuk itu perlu dikaji keadaan kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan lingkungan. Mempelajari kondisi, perkembangan, hasil yang dicapai dan sistem pembangunan selama ini, perubahan mendasar yang perlu dilakukan adalah pada perencanaan, pelaksanaan, serta kelembagaan pendukung (Wrihatnolo, R.R. dan Riant N. Dwidjowijoto, 2007). Sistem perencanaan pembangunan yang paling tepat yaitu pembangunan yang dimulai dari bawah (bottom up). Metode pelaksanaan
yang
dilakukan
melalui
pendekatan
partisipatif
melalui
pengorganisasian petani. Kelembagaan petani dibentuk sebagai salah satu upaya mengorganisasikan petani dalam rangka mendukung pembangunan pertanian (Adi, 2003). Dalam membahas pengorganisasian masyarakat (dalam hal ini petani), muncul istilah komunitas. Komunitas menurut Mayo (1994) dalam Adi (2003) mempunyai tiga tingkatan yaitu: 1. Grass root agen perubahan melakukan intervensi terhadap individu, keluarga, dan kelompok yang berada dalam suatu daerah, misalnya suatu kelurahan ataupun rukun tetangga. 2. Local agency, intervensi terhadap organisasi di tingkat lokal, provinsi atau di tingkat jajaran pemerintahan.
3. Regional, intervensi yang terkait dengan pembangunan ekonomi, ataupun isu mengenai perencanaan lingkungan yang mempunyai cakupan lebih luas, yaitu negara. Pengorganisasian masyarakat dapat dilakukan pada ketiga tingkatan komunitas di atas. Namun demikian, apabila pengorganisasian petani dilakukan pada aras regional dan lokal agensi, akan terlalu luas dan lebar cakupannya. Pengorganisasian masyarakat sebaiknya dimulai pada tingkat grass root. Kelompok tani merupakan salah satu bentuk pengorganisasian di aras grass root. Pembentukan kelompok tani dilakukan dengan pertimbangan proyek atau program pembangunan pertanian yang dilaksanakan dapat lebih terfokus dan dikoordinasi dengan baik. Selain itu, dengan pembentukan kelompok tani dapat membangun suatu kerja sama, dimana anggotanya dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk mengatasi masalah-masalah dan mencapai suatu tujuan bersama. Tujuan tersebut tidak atau lebih sulit tercapai tanpa terbentuknya kelompok (Anward, 1980).
2.7 Kerangka Pemikiran Pada kegiatan pertanian tanaman di Kelurahan Katulampa terdapat aspek yang mempengaruhi, diantaranya adalah aspek sosial ekonomi. Aspek sosial ekonomi tersebut terdiri dari kelembagaan, permodalan, dan sumberdaya petani. Kelembagaan yang ada mencakup kelembagaan non-formal yaitu kelembagaan penguasaan lahan (sewa/sakap, gadai) dan kelembagaan formal dalam hal ini kelompok tani.
Permodalan yaitu mencakup modal tetap, yaitu modal yang tidak habis dalam satu kali proses produksi. Modal tidak tetap, yaitu modal yang habis dalam satu kali produksi. Apabila aspek tersebut terpenuhi, maka kegiatan pertanian yang ada akan berjalan dengan baik. Namun demikian, apabila tidak terpenuhi, dapat menyebabkan permasalahan dalam kegiatan pertanian. Permasalahan pertanian pada aspek sosial ekonomi tersebut dapat hadir dengan bentuk yang berbeda. Namun demikian, apabila ditinjau dari aspek struktural, permasalahan petani dapat terjadi karena kebijakan yang tidak memihak petani. Pada sistem sosial, petani diletakkan sebagai elemen yang dibuat bergantung dan tak berdaya sepenuhnya. Selain itu pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak di luar petani. Petani juga sering terasing dari jaringan informasi aktual mengingat ketebatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, perbedaan kultur, serta posisi inferior dalam interaksi pasar. Apabila permasalahan petani pada aspek sosial ekonomi erat dipengaruhi oleh aspek struktural tersebut di atas, maka permasalahan petani tersebut tergolong ke dalam permasalahan struktural. Permasalahan petani tersebut terjadi dan memberi dampak pada produktifitas pertanian yang ada. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi petani menuntut suatu pemecahan dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di Kelurahan Katulampa yaitu melalui program dan proyek yang dilaksanakan dengan harapan dapat memberi dampak yang positif terhadap petani, yaitu dapat meningkatkan
pendapatan dan taraf hidup petani. Selain itu, diharapkan pula dapat memecahkan permasalahan petani, seperti disajikan pada Gambar 1.
Kegiatan Pertanian Tanaman pangan dan Hortikultura
Strategi Pemecahan Masalah Petani Program/Proyek Pembangunan Pertanian Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian Organik Penguatan Modal
Permasalahan Struktural Petani di Katulampa.
Aspek Sosial Ekonomi: Kelembagaan Faktor Produksi Modal Sumberdaya Petani
Terpenuhi
Tidak terpenuhi
Permasalahan permodalan Permasalahan Kelembagaan Sumberdaya petani rendah
Dampak Positif Terhadap Permasalahan Struktural Petani Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan: Hubungan Sebab Terdapat Hubungan Hubungan Mempengaruhi
Aspek struktural permasalahan petani: 1. Birokrasi, peraturan pemerintah, kebijakan yang menyebabkan petani sering terasing dari jaringan informasi aktual mengingat ketebatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna dan perbedaan kultur, posisi inferior. 2. Petani merupakan kelompok marginal. Dalam sistem sosial petani diletakkan sebagai elemen yang dibuat bergantung dan tak berdaya sepenuhnya. 3. Pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak di luar petani.
101
2.8 Hipotesis Pengarah
Permasalahan petani di Kelurahan Katulampa bila ditinjau berdasarkan aspek sosial ekonomi merupakan permasalahan yang bersifat struktural. Dimana, sebagian besar permasalahan disebabkan karena kebijakan yang semakin meninggalkan sektor pertanian, dan lebih mengutamakan sektor lain seperti indusri. Petani diletakkan sebagai elemen yang dibuat bergantung dan tak berdaya sepenuhnya.
Strategi pemecahan permasalahan petani yang diberikan pemerintah melalui program maupun proyek pembangunan pertanian belum sepenuhnya memberi dampak positif terhadap pemasalahan struktural petani.
2.9 Definisi Konseptual 1. Pertanian tanaman pangan: orang, rumahtangga, atau badan yang melakukan kegiatan penanaman tanaman pangan (padi, palawija, sayursayuran, dan buah-buahan). 2. Petani: seorang pencocok tanam mengusahakan tanaman pertanian yang hasilnya untuk tujuan dijual maupun dikonsumsi sendiri. 3. Aspek sosial-ekonomi pertanian: Hal yang berhubungan dengan aspek finansial dan kehidupan bermasyarakat dalam kegiatan pengolahan tanaman dan lingkungan, yang terdiri dari kelembagaan, permodalan, dan sumberdaya petani. 4. Kelembagaan: suatu sistem tata kelakuan dan hubugan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus
102
dalam masyarakat, yang diantaranya dapat dikelompokkan kedalam pranata sosial dan kelompok tani.
Pranata sosial, yaitu aturan-aturan tertentu yang dianut dalam masyarakat secara umum dan agak meluas, misalnya sistem sewa, bagi hasil, ijon, pinjam-meminjam antar petani dan sebagainya.
Kelompok tani, yaitu kumpulan petani-petani dalam kelompok berpangkal pada keserasian dalam arti mempunyai pandanganpandangan, kepentingan-kepentingan, dan kesenangan-kesenangan yang sama.
5. Permodalan: bentuk kekayaan, berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan, baik langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi, terdiri dari modal tetap dan modal tidak tetap.
Modal tetap, ialah modal yang tidak habis pakai dalam satu kali produksi, misalnya lahan usahatani, alat-alat pertanian, dan gudang untuk alat-alat pertanian.
Modal tidak tetap, yaitu modal yang habis dalam satu kali proses produksi, misalnya pupuk, benih, dan pestisida.
6. Sumberdaya petani: daya untuk melakukan kerja atau usaha, dalam hal ini kemampuan petani untuk menyerap dan mempraktekkan teknologi pertanian. 7. Masalah: kondisi di luar harapan yang terjadi dalam suatu kegiatan. 8. Permasalahan struktural: Permasalahan yang disebabkan oleh birokrasi, peraturan resmi atau kebijakan yang menghambat seseorang dalam
103
memanfaatkan
sumberdaya
dan
mendapatkan
kesempatan
untuk
meningkatkan produktivitas. 9. Pembangunan pertanian: merupakan suatu upaya peningkatan produksi pertanian melalui ketahanan pangan yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani. 10. Dampak: adalah akibat atau manfaat yang muncul akibat program. Dampak terdiri dari dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif: akibat atau manfaat yang muncul dari program, berupa tambahan penghasilan atau pengurangan biaya produksi pertanian.
Dampak negatif: akibat yang muncul dari program berupa tambahan terhadap biaya produksi.
104
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini, menggunakan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk permasalahan struktural yang terjadi pada petani pertanian tanaman pangan di Kelurahan Katulampa bila ditinjau dari aspek sosial ekonomi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan tersebut terjadi. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana kegiatan program atau proyek pembangunan pertanian yang terjadi di Kelurahan Katulampa berpengaruh positif terhadap permasalahan struktural petani. Metode penelitian ini dianggap paling tepat digunakan dalam penelitian ini karena metode penelitian kualitatif digunakan untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa atau gejala sosial yang sedang terjadi Pada penelitian kualitatif ini, strategi yang digunakan yaitu studi kasus. Tipe studi kasus yang digunakan yaitu studi kasus instrinsik karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan yang menjadi penyebab gejala yang dipertanyakan, dalam hal ini mengenai permasalahan struktural petani. Penulis juga mengidentifikasi kaitan sebab akibat yang mungkin menentukan gejala tersebut (Sitorus, 1998). Selain itu, juga untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai permasalahan struktural petani serta bagaimana peran pemerintah dalam pembangunan pertanian. Pemilihan strategi tersebut didasarkan pada tujuan penelitian yang bersifat eksplanasi, yaitu menjelaskan kekuatan yang menjadi penyebab gejala yang
105
dipertanyakan. Dalam penelitian ini, peneliti hendak mengetahui permasalahan struktural yang terjadi dalam kegiatan pertanian di Kelurahan Katulampa. Responden dalam penelitian ini adalah petani tanaman pangan. Penelitian ini juga melibatkan informan. Informan berbeda dengan responden. Informan adalah pihak yang memberikan informasi mengenai kondisi mengenai lokasi penelitian secara umum (Sitorus, 1999). Informan dalam penelitian ini meliputi tokoh masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan petani.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi tersebut dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa Katulampa sebagai salah satu kelurahan yang masih memiliki areal pertanian di daerah perkotaan, dan memiliki potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta kelembagaan. Pertimbangan lainnya adalah kemudahan akses penelitian dan keterbatasan biaya, waktu, dan tenaga peneliti. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan pada bulan April-Juli 2008.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data triangulasi. Teknik ini merupakan kombinasi dari wawancara mendalam, pengamatan (obsevasi), dan kajian literatur. Wawancara mendalam digunakan teknik bola salju untuk memperoleh data-data kualitatif berdasarkan panduan pertanyaan baik terstruktur maupun
106
tidak, sedangkan observasi digunakan untuk memperoleh kedua jenis data tersebut. (Lampiran 3)
3.4 Teknik Analisis Data Setelah data dikumpulkan, dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan petani. Analisis data primer dilakukan dengan mereduksi, menyajikan data dan penarikan kesimpulan (Milles, Mathew B. dan A. Michael Huberman, 1992). Reduksi bertujuan untuk mempertajam, mengarahkan dan mengorganisasikan data sedemikian
rupa
sehingga
kesimpulan
akhir
dapat
dibangun.
Reduksi
mengandung makna meringkas data, pengidentifikasian permasalahan dan penulisan catatan harian. Data kemudian disajikan dalam bentuk narasi, matriks, bagan untuk mempermudah melihat hal yang terjadi pada petani di Kelurahan Katulampa kemudian menarik kesimpulan. Analisis data dilakukan untuk mengetahui gambaran umum di daerah penelitian seperti keadaan lokasi dan karakteristik masyarakatnya. Peneliti juga menelaah dari literatur lain seperti buku teks yang berisi rujukan teori dan hasil penelitian.
107
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Kondisi Geografis Kelurahan Katulampa Kelurahan Katulampa merupakan bagian dari enam kelurahan yang ada di Kecamatan Bogor Timur. Luas wilayah Kelurahan Katulampa, yaitu 491 Ha dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara
: Kelurahan Cimahpar.
Sebelah Selatan
: Kelurahan Tajur.
Sebelah Barat
: Kelurahan Baranangsiang.
Sebelah Timur
: Desa Cibanon/ Sukaraja.
Berdasarkan topografi, Katulampa terletak pada dataran tinggi, dengan curah hujan per tahunnya berkisar antara 3.000 mm s.d 5.000 mm per tahun. Jarak orbitasi dari pusat pemerintahan kelurahan menuju pemerintahan Kota Bogor 7 Km, sedangkan jarak menuju kecamatan 3 Km. Suhu rata-rata berkisar antara 2030o C. Kelembaban udara 5-20 %, kecepatan angin 15-25 mm/tahun.
4.2 Kependudukan Struktur penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa dari 25.289 jiwa penduduk Kelurahan Katulampa, yang terdiri dari 12.621 (49,9 persen) penduduk perempuan dan 12.668 (50,1 persen) penduduk laki-laki. Tampak bahwa jumlah penduduk laki-laki tidak berbeda jauh dengan jumlah penduduk perempuan.
108
Jumlah penduduk Kelurahan Katulampa usia 0-14 tahun, yaitu 7662 jiwa, penduduk berusia 15-50 tahun, yaitu 16.554 jiwa, dan penduduk berusia 60 tahun keatas 1.073 jiwa (Tabel 1). Struktur penduduk Kelurahan Katulampa terkonsentrasi pada umur produktif, yaitu usia 15-59 sekitar 65,46 persen. Persentase penduduk berumur kurang dari 14 tahun hanya 30,3 persen yang berusia 60 tahun ke atas 4,24 persen. Jumlah kepala keluarga yang terdapat di Kelurahan Katulampa yaitu sekitar 6.465 Kepala Keluarga (KK), dimana 412 diantaranya merupakan Kepala Keluarga (KK) Tani.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kelurahan Katulampa Menurut Usia. No
Usia (tahun)
Jumlah (jiwa)
1
00-04
2.660
2
05-09
2.443
3
10-14
2.559
4
15-19
3.164
5
20-29
3.571
6
30-34
2.507
7
35-39
1.721
8
40-44
1.710
9
45-49
2.005
10
50-59
1.876
11
> 60
1.073
JUMLAH
25.289
Sumber: Data Monografi Kelurahan Tahun 2007
Penduduk Kelurahan Katulampa sebagian besar menganut agama Islam. Jumlah penduduk beragama Islam tercatat sebesar 22.393 jiwa (88,5 persen) , 789 jiwa (3,1 persen) beragama Kristen, 1.417 jiwa (5,6 persen) beragama Katolik,
109
134 jiwa (0,6 persen) beragama Hindu, dan 556 jiwa (2,2 persen) beragama Budha. Data monografi menunjukkan keragaman suku bangsa (etnis) yang mendiami Kelurahan Katulampa, kendatipun sebagian besar jumlah penduduk adalah etnis Sunda, yaitu sebanyak 18.255 jiwa (72,2 persen). Etnis lain, yaitu terdiri dari etnis Jawa 457 jiwa (1,8 persen), etnis Batak sebanyak 385 jiwa (1,5 persen), etnis Padang sebanyak 401 jiwa (1,6 persen), etnis Cina sebanyak 1.159 jiwa (4,6 persen), dan 4.632 jiwa (18,3 persen) merupakan etnis lain di luar yang telah disebutkan di atas. Mata pencaharian pokok penduduk di Kelurahan Katulampa, antara lain swasta/BUMN/BUMD yaitu sebanyak 3.843 jiwa, petani sebanyak 1.707 jiwa, Wiraswasta/pedagang sebanyak 1.577 jiwa, dan tukang ojek 503 jiwa (Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian. No Jenis Pekerjaan 1 Pegawai Negeri Sipil 2 TNI 3 Polri 4 Swasta/BUMN/BUMD 5 Wiraswasta/pedagang 6 Tani 7 Pertukangan 8 Pensiunan 9 Jasa/Lain-lain Sumber: Data Kelurahan Tahun 2007
Jumlah (jiwa) 154 26 15 3.843 1.577 1.707 1.725 56 503
4.3 Pertanahan Menurut data kelurahan tahun 2007, penggunaan lahan di Kelurahan Katulampa, antara lain: sebesar 2,5 Ha untuk sarana jalan jalur hijau, pekuburan 7,5 Ha, dan penggunaan lainnya sebesar 14 Ha. Sebesar 0,5 Ha diperuntukkan
110
sebagai lahan industri, dan 3 Ha digunakan untuk perkantoran. Luas areal yang diperuntukkan sebagai areal pemukiman yaitu sebesar 210 Ha dan tempat rekreasi 1 Ha. Penggunaan lahan untuk pertanian, yaitu seluas 130 Ha.
4.4 Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Katulampa secara umum, terdiri dari: penduduk yang tidak pernah sekolah sebanyak 191 jiwa, penduduk lulusan taman kanak-kanak sebanyak 195 jiwa, tamatan sekolah dasar/sederajat sebanyak 2.932 jiwa, sekolah lanjutan tingkat pertama/sederajat 3.409 jiwa sekolah lanjutan tingkat atas/sederajat 3.859 orang dan terdapat 1.141 orang diantaranya merupakan lulusan perguruan tinggi (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Katulampa Menurut Tingkat Pendidikan No. 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Tidak pernah sekolah Taman kanak-kanak Sekolah Dasar/MI SLTP/MTS SLTA/SMA/Aliyah Akademi/D1-D3 Sarjana (S1-S3) JUMLAH Sumber: Data Kelurahan Tahun 2007
Jumlah (orang) 191 195 2.932 3.409 3.859 848 299 11.733
Jumlah fasilitas pendidikan di Kelurahan Katulampa adalah sebagai berikut: taman kanak-kanak sebanyak 2 unit, sekolah dasar sebanyak 4 unit, madrasah ibtiba’diah sebanyak 1 unit, sekolah lanjutan tingkat pertama sebanyak 3 unit, sekolah lanjutan tingkat atas sebanyak 2 unit, dan 1 unit gedung SMK.
111
Jumlah tenaga pendidik yang terdapat di Kelurahan Katulampa, yaitu sebanyak 105 orang (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah Fasilitas Pendidikan No
Jenis Pendidikan
Gedung (Unit) 1 TK 2 Sekolah Dasar 4 3 MI 4 SMP 1 5 SMA 6 SMK Jumlah 5 Sumber: Data Kelurahan Tahun 2007
Negeri Guru (Orang) 28 18 46
Murid (Orang) 2.315 345 2.657
Gedung (Unit) 2 1 2 2 1 8
Swasta Guru (Orang) 10 4 24 20 5 59
Murid (Orang) 98 40 511 375 87 1.111
4.5 Kondisi Pertanian Tanaman Pangan Katulampa merupakan kelurahan dengan wilayah terluas yang ada di Kecamatan Bogor Timur. Luas total keseluruhan wilayah Katulampa, sekitar 130 Ha merupakan areal pertanian. Areal pertanian di Kelurahan Katulampa sebagian terkonsentrasi di RW 02, RW 08, dan RW 09. Lahan pertanian tersebut terbagi ke dalam beberapa lokasi yang berbeda yang dipisahkan oleh perumahan penduduk, jalan raya, dan sungai. Sekitar 1.707 orang penduduk Katulampa merupakan petani dengan jumlah kepala keluarga tani mencapai 412 Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar petani di Kelurahan Katulampa merupakan petani penggarap. Umumnya tanah yang digarap petani merupakan milik pengembang perumahan (PT) yang belum dibangun atau tanah milik petani kaya. Petani kerap mendapatkan tanah sewa/sakap dari pemilik tanah yang berbeda dengan luasan dan lokasi yang berbeda pula. Hal tersebut yang kemudian
112
menjadi penyebab, mengapa luasan tanah yang ditanami seorang petani tidak dalam satu hamparan melainkan terpisah ke dalam persil yang letaknya berjauhan. Kelurahan Katulampa secara umum belum memiliki hasil pertanian unggulan. Namun, tanaman yang dominan ditanam petani adalah padi. Menurut keterangan Dinas Agribisnis, hal tersebut disebabkan oleh pola tanam dan komoditas pertanian yang ditanam berbeda antar petani. Selain padi, komoditi lain yang ditanam di Kelurahan Katulampa, adalah palawija, sayuran dan buah-buahan (Tabel 5). Petani di Kelurahan Katulampa merupakan petani, dimana sebagian besar hasil produksi pertanian digunakan untuk kebutuhan keluarga dan sebagian lagi untuk dijual kepada warga sekitar.
Tabel 5. Komoditas Petanian Tanaman Pangan Katulampa Jenis Kegiatan Lahan Sawah Irigasi Padi Lahan Kering Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Talas Kacang Panjang Cabe Merah Cabe Rawit Tomat Terong Buncis Ketimun Katuk Caisin Bengkuang Sumber: Data Kelurahan Tahun 2007, diolah.
Luas (Ha) 80 2 5 1 1 15 2 2 0,5 0,5 1 0,2 0,2 0,2 4
113
4.5.1 Padi dan Palawija Padi merupakan komoditas yang ditanam oleh sebagian besar petani di Kelurahan Katulampa. Total area tanaman padi di Kelurahan Katulampa mencapai 80 Ha. Jenis padi yang ditanam petani di Katulampa yaitu Ciherang, Sintanur, IR 64. Petani memilih jenis bibit tersebut karena tergolong ke dalam bibit unggul, selain itu mudah untuk diperoleh. Bibit padi yang ditanam petani umumnya diperoleh dengan membeli atau berasal dari persediaan benih musim tanam sebelumnya. Sebelum melakukan penanaman padi, petani melakukan penggemburan tanah terlebih dahulu. Penggemburan tanah dilakukan dengan cara mengairi sawah, kemudian tanah dibajak dengan menggunakan sapi atau kerbau sebanyak dua kali pembajakan. Sapi atau kerbau yang digunakan untuk membajak biasanya diperoleh petani dengan cara menyewa dari petani lain yang memelihara sapi atau kerbau. Biaya untuk menyewa kerbau, yaitu Rp 100.000 untuk pembajakan lahan sebanyak dua kali. Kegitan selanjutnya yang dilakukan petani setelah pembajakan lahan, yaitu winian. Winian, merupakan kegiatan pemberian garis pada sawah sebagai patokan untuk meletakkan bibit pada saat tanam mundur (tandur). Umumnya, jarak tanam padi sekitar 20 cm. Pada saat pengolahan lahan, petani melakukan penyemaian di lahan yang berbeda. Waktu yang dibutuhkan untuk menyemai bibit yaitu selama 15-20 hari. Setelah itu, bibit ditanam dengan cara menandur. Pemberian pupuk dilakukan setelah tanaman berusia dua minggu, kemudian pemberian pupuk selanjutnya dilakukan petani setelah 15 hari kemudian.
114
Selama masa penanaman, dilakukan pengontrolan terhadap tanaman, pengontrolan dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali sehari. Pengontrolan dilakukan dengan tujuan agar tanaman yang terserang hama dapat dengan segera diketahui dan diatasi. Selain itu, bila terdapat tanaman yang mati, dapat dilakukan tambal sulam. Hama dan penyakit yang sering dihadapi petani di Katulampa sangat beragam, antara lain hama merah, hama putih, keong mas, hama daun, hama daun kering, walang sangit, ulat grayak, tikus dan burung pipit. Menurut petani, hama yang menyerang tanaman pertanian di Katulampa cukup kompleks, bahkan ada beberapa hama baru yang belum pernah mereka ketahui yang menyerang tanaman padi mereka. Hama tersebut, tidak diketahui asalnya. Gejala awalnya, daun menjadi menguning sebelum akhirnya mengering. Petani biasanya mengatasi hal tersebut dengan mencabut tanaman pada saat gejala awal muncul. Untuk mengatasi gangguan hama seperti tikus, biasanya petani menggunakan jebakan tikus dan makanan yang telah diberi racun tikus. Sedangkan untuk mengatasi hama lain seperti walang sangit, petani cenderung menggunakan pestisida kimia karena dinilai ampuh untuk mengatasi hama dan penyakit. Pestisida kimia yang biasa digunakan petani yaitu ’Desis’ dengan harga perbotolnya mencapai Rp 5.000. Menurut petani, pilihan tersebut dilakukan karena menggunakan pestisida kimia dinilai lebih cepat dan praktis. Petani mengakui, bahwa bahaya penggunaan pestisida kimia dapat membuat hama menjadi kebal, merusak tanah, membahayakan petani dan masyarakat yang mengkonsumsi hasil pertanian. Namun, bagi petani, mereka lebih memilih cara
115
tercepat mengatasi hama agar tanaman mereka dapat tumbuh subur dan memperoleh hasil yang melimpah. Petani biasanya memiliki cara tersendiri dalam mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman. Menurut mereka, cara terbaik mengatasi hama adalah pengontrolan yang sesering mungkin. Biasanya petani mengontrol sawahnya selama 3 kali dalam sehari. Menurut pihak kelurahan, permasalahan hama dan penyakit tanaman bukan merupakan permasalahan yang berat di Katulampa. Umumnya petani mampu mengatasi hama dan penyakit yang menyerang. Hama dan penyakit tanaman tidak dapat di atasi apabila diantara areal pertanian terdapat satu petani yang menanam komoditas berbeda, sehingga menjadi sasaran bagi hama dan penyakit yang kemudian dapat mengakibatkan tanaman pada lahan tersebut menjadi rusak. Menurut keterangan petani jangka waktu penanaman padi dari awal penyemaian bibit hingga panen yaitu selama tiga bulan. Tanaman padi mulai berbulir pada usia dua bulan atau sekitar 60 hari (Gambar 2). Padi yang siap dipanen memiliki tanda bulir padi mulai menguning. Petani di Katulampa sebagian besar didominasi oleh petani berusia tua. Walaupun ada petani berusia muda, namun jumlahnya sangat sedikit karena sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor lain di luar pertanian. Praktek bertani padi yang dilakukan petani didasarkan pada pertimbangan kondisi iklim dan cuaca. Dimana mereka telah memperkirakan sebelumnya kapan waktu yang baik untuk mulai menanam. Menurut keterangan informan, musim
116
tanam yang baik yaitu mulai bulan Juni hingga Januari karena hasil produksi pertanian yang di tanam hasilnya akan jauh lebih banyak bila dibandingkan jika menanam padi pada bulan Februari sampai Mei.
Gambar 2. Tanaman padi mulai berbulir
Berdasar total luasan area tanaman padi di Kelurahan Katulampa, produksi yang dicapai pertahunnya, yaitu 75 Ton. Selain padi, terdapat tanaman palawija yang merupakan tanaman yang ditanam bergilir setelah padi. Palawija yang sering ditanam antara lain jagung, ubi jalar, ubi kayu dan talas. Luasan tanaman jagung di Katulampa mencapai 2 Ha dengan hasil mencapai 15 Ton pertahunnya, sedangkan produksi ubi jalar mencapai 10 ton pertahunnya (Tabel 6).
117
Tabel 6. Produksi Palawija Kelurahan Katulampa No Komoditas 1 Jagung 2 Ubi Kayu 3 Ubi Jalar 4 Talas Sumber: Data Monografi Kelurahan 2007
Luasan (Ha) 2 5 1 1
Produksi (Ton) 15 50 10 10
4.5.2 Sayuran dan Buah Tanaman lain yang ditanam secara bergiliran setelah padi adalah sayuran dan buah. Sayuran yang biasanya ditanam yaitu buncis, caisin, bengkuang, pepaya dan mentimun. Pengolahan tanah yang dilakukan petani untuk tanaman sayuran berbeda dengan tanaman padi. Pada tanaman mentimun misalnya, pengolahan tanah dilakukan petani dengan menggemburkan tanah dengan cangkul, kemudian diberi lubang untuk memasukkan bibit. Setelah tanah diolah dengan cara digemburkan dan diberi lubang untuk memasukkan benih, benih ditanam bersamaan dengan pemberian furadan. Furadan berbentuk butir dan berfungsi agar benih yang ditanam tidak dirusak oleh hama pemakan benih. Benih biasanya diperoleh petani dari hasil panen sebelumnya. Namun, bila petani tidak menyimpan bibit, petani harus membeli membeli bibit di toko pertanian. Untuk bibit timun dibeli sekitar Rp 17.000 per botolnya. Untuk tanah seluas 500 meter dibutuhkan 4 botol bibit. Benih yang telah ditanam mulai terlihat berdaun pada usia satu minggu. Pada usia tersebut, tanaman mentimun diberi pupuk urea yang dicampur dengan NPK dan TS. Pada tanaman sayuran petani menggunakan pupuk urea. Petani umumnya membeli pupuk urea seharga Rp 2.500 per Kg-nya.
118
Petani mulai membuat media rambat yang berupa bambu yang telah dianyam dengan tali rafia pada saat tamanan berusia 15 hari. Bambu yang digunakan diperoleh petani dengan membeli. Untuk lahan seluas 700 meter atau sekitar satu petak, petani membutuhkan bambu sebanyak 15 batang bambu dengan harga per batangnya sekitar Rp 7.000. Namun, bila ada petani singkong yang sedang panen, petani tidak perlu membeli bambu karena bisa memperoleh cagak dari batang singkong. Tanaman mentimun mulai bisa dipanen pada saat tanaman berumur sekitar 34 hari (Gambar 3). Panen mentimun dilakukan secara bertahap setiap dua hari sekali. Pada tanaman sayuran, hama yang sering mengganggu yaitu hama pemakan daun dan belalang. Hama tersebut di atasi dengan menggunakan pestisida. Pestisida yang biasa petani gunakan yaitu ‘Desis’ atau ‘Ziodal’ yang didapat dengan membeli seharga Rp 5.000 satu kaleng kecil yang digunakan sebanyak 2-3 sendok yang dilarutkan pada air sebanyak 15 liter. Menurut petani, pestisida memiliki kelebihan yaitu praktis, dan cepat membunuh hama. Namun, dampak yang ditimbuhlan membahayakan. Menurut petani, harga saprotan cukup mahal. Namun demikian, petani tetap berusaha untuk mendapatkannya, karena bagaimanapun petani akan melakukan apa saja demi mendapatkan hasil yang baik. Hambatan cuaca seperti musim penghujan yang dapat mempengaruhi pengeringan gabah, diatasi dengan memperhatikan musim tanam.
119
Gambar 3. Panen Mentimun Harga jual sayuran seperti timun sekitar Rp 1.500 per kg-nya, dan untuk tomat Rp 2.000 per kg. Biaya untuk kegiatan produksi mentimun dari awal tanam hingga panen, yaitu sebesar Rp 500.000. Apabila hasil panen petani bagus, pendapatan petani dari satu petak lahan (sekitar 500-800 m2) sayuran umumnya mencapai Rp 1,5-2 juta, atau keuntungan sebesar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Penjualan hasil panen sayuran biasanya dilakukan melalui tengkulak. Mendekati musim panen, petani menawarkan tanamannya kepada tengkulak. Bila harga mentimun sedang rendah dan hasil timun melimpah dipasaran, petani menjual hasil kepada tengkulak, namun pembayaran tidak dilakukan pada awal, tetapi uang hasil panen diberikan setelah seluruh panen terjual, dan hasil yang didapat biasanya sangat rendah. Namun demikian, menurut petani, bila harga sedang melonjak, sebelum panen tengkulak langsung membayar hasil panen petani, karena tengkulak khawatir hasil panen tersebut telah dibeli tengkulak lain.
120
4.6 Perikanan Sektor perikanan Katulampa memiliki sarana seperti empang atau kolam. Luas empang atau kolam di Katulampa yaitu seluas 2,5 Ha dengan produksi pertanian ikan mas dan nila sebanyak 0,19 ton per tahun. Sektor perikanan di Katulampa memiliki usaha pengolahan hasil perikanan, diantaranya pindang dan baso ikan yang dikelola oleh kelompok yang terdiri dari 10 KK. Selain itu, pengolahan kerupuk ikan yang dikelola oleh dua orang kepala keluarga.
4.7 Peternakan Hewan ternak yang diusahakan di Kelurahan Katulampa, adalah domba sebanyak 180 ekor, kambing 87 ekor, ternak ayam kampung, bebek, dan burung peliharaan (Tabel 7). Bahan makanan olahan, dari hasil ternak, antara lain: kerupuk kulit dan baso.
Tabel 7. Jenis dan Jumlah Hewan Ternak Peliharaan No. Jenis Ternak 1 Domba 2 Kambing 3 Ayam Kampung 4 Bebek/ Angsa 5 Burung Peliharaan Sumber: Data Kelurahan Tahun 2008.
Jumlah (ekor) 180 87 6.077 585 205
4.8 Kondisi Sarana Dan Prasarana Kondisi sarana dan prasarana di Kelurahan Katulampa, antara lain: jalan aspal yaitu 9.500 m, taman rekreasi, dan mall. Sarana komunikasi juga telah cukup memadai dilihat dari jumlah pelanggan telepon 2.511 orang, dan jumlah TV 3.172 orang. Sarana penyedia air yang sebagian besar didominasi oleh
121
penggunaan sumur gali. Sarana peribadatan terdapat 16 unit mesjid, dan 57 unit mushola. Sarana kesehatan terdapat satu unit puskesmas, satu unit puskesmas pembantu, 19 unit posyandu, 4 unit dokter praktek, 2 unit praktek bidan, satu unit balai pengobatan, dan satu unit rumah bersalin. Sarana transportasi antara lain, sepeda 104 buah, delman satu buah, sepeda motor 247 buah, mobil penumpang 173 buah, mobil penumpang umum 120 buah, dan mobil barang 24 buah. Sarana pengairan, antara lain saluran irigasi sepanjang 1 km, gorong-gorong sebanyak 15 buah, pembagi air 2 buah, dan bendung sebanyak 1 buah. Sarana kebersihan terdiri dari tempat pembuangan sampah sementara sebanyak 4 buah, sarana angkutan sampah sebanyak 4 unit, saluran got sebanyak 1.500 meter. Volume sampah di Kelurahan Katulampa yaitu 480 m3 per tahun.
4.9 Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Kelurahan Katulampa merupakan daerah pengembangan. Kondisi wilayah dan masyarakatnya masih alami dan juga berkembang ke arah heterogen terutama pada daerah-daerah pemukiman baru atau kompleks perumahan. Kepadatan penduduk yang tidak merata dan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang pada umumnya rendah, tingginya angkatan kerja yang belum dapat bekerja merupakan akumulasi masalah yang perlu mendapat perhatian bersama antara pemerintah dan masyarakat. Potensi kelembagaan di Kelurahan Katulampa mencakup lembaga pemerintahan, yaitu 13 RW, 82 RT. Lembaga kemasyarakatan, yaitu terdapat satu
122
organisasi perempuan, 3 organisasi pemuda, satu organisasi karang taruna, 16 majelis ta’lim dan tidak terdapat kelompok gotong royong. Dalam bidang pertanian terdapat kelompok tani. Kelompok tani tersebut dibentuk dengan tujuan, yaitu: meningkatkan pengetahuan anggota, meningkatkan produktifitas anggota, meningkatkan kesejahteraan anggota. Kelembagaan ekonomi, yaitu terdapat satu koperasi, 80 buah industri rumahtangga, 5 buah industri sedang, dan 2 buah industri besar.
123
BAB V PERMASALAHAN STRUKTURAL PETANI TANAMAN PANGAN KELURAHAN KATULAMPA
5.1 Permasalahan Pertanian Permasalahan yang terjadi dalam kegiatan pertanian merupakan suatu hambatan
yang
dapat
mempengaruhi
produktifitas
pertanian,
seperti
ketidakseimbangan antara luas lahan pertanian yang tersedia dan teknologi yang digunakan merupakan salah satu bentuk permasalahan yang dapat menyebabkan hasil pertanian yang diperoleh relatif rendah (Said, 1996). Begitu pula halnya yang terjadi di Kelurahan Katulampa. Bila ditinjau dari aspek sosial ekonomi, permasalahan yang kerap dihadapi petani yaitu permodalan, sumberdaya petani, serta kelembagaan petani. Bila ditunjau dari aspek kelembagaan, permasalahan yang kelembagaan yang terjadi di Kelurahan Katulampa, adalah kelompok tani belum mampu aktif dan memberikan fungsi yang optimal kepada petani. Selain itu, adanya pelayanan penyuluhan yang belum mampu menyentuh seluruh petani merupakan permasalahan petani yang perlu di atasi agar kesejahteraan petani dapat terwujud. Permasalahan permodalan yang terjadi di Katulampa, adalah semakin berkurangnya lahan pertanian. Ketersediaan lahan yang minim sebagian besar disebabkan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada petani sehingga menimbulkan ketimpangan struktur agraria. Penelitian LPIS pada tahun 1972 dan tahun 1973 menunjukkan bahwa, terlihat gejala pemusatan penguasaan tanah di beberapa tangan, sedang di pihak lain terllihat gejala pemiskinan melanda sebagian besar penduduk yang terlihat dari semakin besar penduduk yang
124
berlahan sempit, atau bahkan tak memiliki tanah (Billah, 1984). Lahan di Katulampa sebagian besar dikuasai oleh pengembang perumahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penguasaan dan pemanfaatan lahan sebagian besar dikuasai oleh pemegang modal besar dan mengenyampingkan petani. Tingkat pendidikan sebagian besar petani di Kelurahan Katulampa hanya berupa lulusan sekolah dasar. Umumnya petani yang ada merupakan petani tua yang masih memegang sisi tradisional. Dimana, kultur tersebut cenderung membuat petani enggan mengarah menuju perubahan. Menurut Pearse (1975) dalam Soetomo (1997), permasalahan petani tergolong kadalam permasalahan struktural karena petani merupakan kelompok marginal. Dalam sistem sosial, petani diletakkan sebagai elemen yang dibuat bergantung dan tak berdaya sepenuhnya. Selain itu pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak di luar petani. Petani juga sering terasing dari jaringan informasi aktual mengingat ketebatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, perbedaan kultur, serta posisi inferior dalam interaksi pasar, serta kebijakan yang tidak mendukung petani. Berdasarkan definisi tersebut, permasalahan yang terjadi pada pertanian di Katulampa di atas merupakan suatu permasalahan struktural. Hal tersebut, karena permasalahan terjadi di luar kemampuan petani untuk mengatasinya.
5.2 Kelembagaan Pertanian 5.2.1 Pemindahtanganan Tanah dan Hubungan Sewa/Penyakapan Petani di Katulampa sebagian besar mengusahakan tanaman padi. Dalam mengusahakan
tanaman
padi
tersebut,
luasan
lahan
pertanian
sangat
125
mempengaruhi hasil padi petani. Semakin besar luasan lahan pertanian yang dimiliki, maka semakin luas produksi yang diperoleh, dan semakin besar pula pendapatan pertanian. Artinya, petani tanah terluas punya pendapatan dari usaha tani yang melebihi biaya hidup (Sajogyo, 2002). Sebagian besar petani di Kelurahan Katulampa merupakan petani penggarap. Berdasar data Dinas Agribisnis, dari sekitar 412 kepala keluarga tani, petani yang memiliki lahan pertanian tetapi tidak menggarap yaitu sebanyak 45 KK, sedangkan pemilik lahan dan sekaligus penggarap yaitu 111 KK, dan petani penggarap 256 KK. Lahan pertanian di Katulampa sebagian besar merupakan milik pengembang perumahan (PT). Selain milik PT, terdapat pula sebagian lahan yang merupakan milik petani. Namun demikian, hanya beberapa orang petani saja yang memiliki lahan pertanian dengan jumlah yang luas. Lahan pertanian yang masih dimiliki petani dengan jumlah yang luas adalah lahan milik HS, yang mencapai 10 Ha. Sedangkan sebagian besar petani memiliki lahan antara 1.000 hingga 2.000 m2 yang saat ini telah banyak terjual kepada pihak pengembang perumahan. Bapak AH mengatakan banyak petani di Katulampa yang berstatus petani penggarap. Mereka umumnya mengelola lahan pertanian yang disamping untuk tujuan dijual, hasil pertanian juga untuk kebutuhan keluarga. Tanah yang mereka garap umumnya diperoleh dengan menyewa lahan milik petani lain atau tuan tanah. Rata-rata petani menyewa tanah seluas 1.000 hingga 4.000 m2. Petani di Katulampa menyewa tanah dengan petani setempat atau tuan tanah. Eksistensi pembangunan pertanian berkaitan erat dengan kelembagaan pertanian. Dimana, dalam pembangunan pertanian, kelembagaan merupakan faktor
126
penunjang yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan. Dalam kegiatan pertanian yang ada di Katulampa, kelembagaan normatif yang berkembang dalam hal penguasaan lahan ialah sewa, gadai dan bagi hasil.
A. Bagi Hasil Hubungan penyakapan menurut Kano (1984), memiliki dua bentuk, antara lain: pertama, suatu bentuk hubungan dimana sewa dibayar dalam jumlah tetap (fixed) berupa uang atau barang (hasil tani). Kedua, sebagian tertentu dari hasil panen dibayarkaan sebagai sewa, yaitu dalam bentuk bagi hasil. Bagi hasil, yang dilakukan petani di Katulampa memiliki peraturan tertentu, dimana peraturan dalam bagi hasil berbeda pada setiap komoditas yang ditanam. Kesepakatan bagi hasil pada lahan pertanian yang ditanami tanaman sayuran, yaitu petani penyakap diperbolehkan mengolah tanah untuk dua kali musim tanam. Pada musim tanam pertama, petani penyakap membagi dua hasil pertanian yang diperoleh, dengan pemilik lahan. Pada musim tanam kedua, hasil pertanian sepenuhnya menjadi milik penyakap, dan pada musim tanam ketiga tanah tersebut dikembalikan lagi pada pemilik tanah. Namun demikian, bila terdapat kesepakatan lebih lanjut petani diperbolehkan menggarap tanah pertanian lagi dengan persyaratan yang sama. Bila pada musim tanam pertama petani mengalami kegagalan, maka pembagian hasil panen tetap akan dilakukan, tetapi pada musim tanam kedua. Kegagalan panen pada musim tanam pertama sepenuhnya akan ditanggung oleh petani. Namun demikian, apabila pada musim tanam pertama petani mendapat panen, hasil akan dibagi dua dengan pemilik lahan. Bila petani mengalami gagal
127
panen pada kedua musim tanam, maka pemilik tidak akan meminta hasil. Namun demikian, petani harus menanggung segala resiko kerugian. Pada lahan pertanian yang ditanami tanaman padi, bila seluruh modal ditanggung oleh pemilik lahan, bagi hasil yang dilakukan yaitu 2/3 bagian untuk pemilik dan 1/3 bagian untuk penyakap. Apabila terjadi gagal panen, maka kerugian akan ditanggung oleh kedua belah pihak, baik petani maupun pemilik. Namun demikian, apabila modal untuk kegiatan tanam padi berasal dari petani penggarap, maka bagi hasil yang dilakukan yaitu 1/3 bagian untuk pemilik lahan dan 2/3 bagian untuk petani. Apabila terjadi gagal panen, kerugian sepenuhnya akan ditanggung oleh petani penggarap. Menurut Bapak SD, peraturan dalam bagi hasil yang demikian telah dilakukan petani di Katulampa secara turun-temurun. Bagi hasil yang dilakukan berbeda antar komoditas, yaitu padi dan sayuran. Namun demikian, kedua sistem sewa lahan tersebut dilakukan antara petani penyakap dan petani pemilik lahan atau tuan tanah. Pada bagi hasil yang dilakukan, terdapat perbedaan dalam hal persyaratsyaratan bagi hasil. Namun demikian, bagi hasil yang dilakukan secara langsung menunjukkan suatu ketimpangan yang merugikan petani, dalam hal ini petani penyakap. Bagi hasil yang dilakukan seolah tidak ditujukan untuk mendukung peningkatan pendapatan petani kecil, terlebih jika terjadi kegagalan. Dimana, ketika gagal panen, petani penggarap harus menanggung resiko, yaitu terbuangnya modal seperti benih, pupuk, tenaga kerja, uang maupun waktu. Sebaliknya, pemilik lahan terkadang mendapat hasil, tanpa menanggung resiko apapun, karena
128
pemilik lahan diletakkan sebagai pihak yang berkuasa atas sumberdaya, dalam hal ini lahan pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan yang sedang dihadapi petani di Katulampa merupakan suatu permasalahan struktural, karena pada sistem tersebut, petani kecil merupakan pihak, dimana dengan modal kecil yang mereka miliki atau bahkan dengan modal yang ditanggung oleh kedua belah pihak (petani maupun pemilik lahan), namun harus tetap menanggung resiko terbesar dalam kegiatan usahatani yang dilakukan. Terlebih ketika usahatani yang dilakukan mengalami gagal panen, resiko yang dihadapi petani kecil kerap kali tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh. Sebaliknya, pihak yang menguasai sumberdaya (dalam hal ini lahan pertanian) dalam bagi hasil, terkadang mendapat hasil yang lebih besar sedangkan resiko yang ditanggung tidak terlalu besar. Hal tersebut berimplikasi kepada rendahnya kesejahteraan petani, terutama petani kecil.
B. Gadai Selain bagi hasil, berlaku pula sistem gadai. Menggadaikan (verbinden voor schuld) tanah atau lebih dikenal dengan istilah gadai, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanah miliknya untuk mendapatkan pinjaman sejumlah uang, sedangkan orang yang meminjamkan uang, menerima tanah sebagai barang gadai dan menggarapnya sebagai miliknya sendiri (Kano, 1984). Petani di Kelurahan Ketulampa, biasanya menggadaikan tanah mereka apabila mengalami kesulitan ekonomi, atau membutuhkan uang secara mendesak. Petani yang tanahnya digadaikan, tidak berhak untuk menggunakan tanah tersebut
129
hingga uang yang dipinjam tersebut dapat dikembalikan. Petani yang mendapatkan tanah dengan menggadai dapat menggunakan tanah tersebut selama masa peminjaman. Umumnya masa gadai yang terpendek yaitu satu musim tanam atau sekitar tiga bulan. Namun, dapat semakin panjang apabila petani yang bersangkutan belum dapat mengembalikan uang tersebut. Gadai dilakukan antara petani yang memiliki lahan pertanian (umumnya petani menggadaikan lahan mereka seluas 1.000 m2 dengan uang sejumlah Rp 500.000) dengan petani lainnya yang memiliki modal besar atau rentenir. Dalam sistem gadai, bila petani menggadaikan tanahnya kepada petani lain, mereka mungkin untuk mendapat kelonggaran, dimana apabila petani tidak dapat mengembalikan uang tersebut, petani tidak akan kehilangan tanahnya karena umumnya petani tersebut akan memberikan masa tenggang yang lebih panjang. Namun demikian, apabila petani menggadaikan tanah mereka pada rentenir, bila dalam waktu tertentu petani belum dapat mengembalikan uang pinjaman tersebut, bukan tidak mungkin tanah petani dapat berpindah tangan menjadi milik rentenir. Pada kasus pedesaan di Jawa, pemilik tanah yang meminjam uang akhirnya menjual haknya atas tanah tersebut kepada pemilik uang karena kegagalam membayar jumlah bunga yang menumpuk (Kano, 1984). Hal tersebut kembali menggambarkan, bahwa permasalahan yang dihadapi petani merupakan permasalahan strukutural. Tanah sebagai modal petani dalam kegiatan usahatani sangat rentan untuk beralih kepemilikannya. Kesulitan ekonomi yang dihadapi petani kerap kali membuat mereka menggadaikan tanah yang merupakan modal utama petani dalam kegiatan pertanian. Sistem gadai yang ada tak jarang disertai bunga yang tinggi hingga menyebabkan petani kesulitan
130
untuk dapat mengembalikan uang yang dipinjam, sehingga mereka terpaksa harus melepaskan tanah mereka. Petani hanya dapat menerima hal tersebut karena desakan kebutuhan yang mereka alami.
C. Sewa Tunai Berbeda halnya dengan petani yang menyewa lahan membayar langsung. Pada sewa tunai, petani menyewa lahan pertanian seluas 700 m2 dengan harga Rp 500.000 per petaknya selama satu tahun. Umumnya petani menyewa lahan dua sampai tiga petak lahan selama dua tahun. Kesepakatan untuk membayar sewa lahan ditentukan oleh kedua belah pihak, umumnya petani pemilik meminta bayaran sewa tanah di awal sebelum petani menggarap lahan. Tanah yang disewa petani umumnya merupakan tanah milik pengembang perumahan. Sebagian besar lahan pertanian di Katulampa telah berubah menjadi milik pengembang perusahaan atau biasa disebut petani dengan ’tanah PT’. Namun demikian, sebelum dibangun, tanah tersebut dapat dimanfaatkan dahulu oleh petani untuk kegiatan usahatani. Tanah tersebut bisa disewa kembali oleh petani dengan sistem sewa tunai. Tanah tersebut didapat petani dari petani lain yang telah menjual tanah pertaniannya kepada perusahaan, karena sebagian tanah PT yang disewa merupakan tanah pertanian yang telah dijual petani. Petani yang telah menjual tanah tersebut biasanya menyewakan kembali tanah tersebut kepada petani lain. Tidak jauh berbeda dengan lahan yang disewa dari petani pemilik, lahan PT biasanya disewakan kembali oleh bekas pemilik lahan sebesar Rp 500.000 per
131
petaknya. Dimana luas perpetaknya 700-800 m2. Dari pihak PT sendiri memperbolehkan petani untuk menggarap lahan tersebut dengan syarat lahan tersebut tidak hilang kepemilikannya. Selain itu, apabila tanah tersebut hendak dibangun, maka petani harus menyerahkan kembali kepada perusahaan. Bila tanah yang hendak dibangun tersebut sedang terdapat tanaman pertanian, maka petani akan mendapatkan sejumlah uang untuk mengganti tanaman pertanian yang terkena pembangunan dan petani harus tetap meninggalkan lahan tersebut. Petani di Katulampa sebagian besar tidak lagi memiliki lahan pertanian, sehingga petani harus menyewa tanah dari pihak lain. Hal tersebut kembali menjadi permasalahan bagi petani, yang sebagian besar merupakan petani kecil yang tidak lagi memiliki lahan pertanian. Sistem ini menjadikan petani, dalam melakukan kegiatan usahatani tergantung pada pihak di luar dirinya. Hal tersebut karena, untuk dapat melakukan kegiatan usahatani, petani menjadi tergantung pada pemilik lahan pertanian. Ranneft (1923) dalam Billah (1984) mengemukakan, saat ini syarat-syarat penyakapan semakin berat, dan menyebabkan lahan pertanian yang diperoleh hanya dalam luasan yang terbatas.
5.2.2 Kelompok Tani Katulampa merupakan wilayah dengan hasil komoditas pertanian yang beragam (Tabel 8). Untuk dapat lebih mengoptimalkan sumberdaya yang ada di Katulampa, petani perlu dibina, baik secara teknis maupuin non teknis. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui kelembagaan petani yaitu kelompok tani.
132
Tabel 8. Hasil Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Kelurahan Katulampa No
Komoditas
Luasan (Ha)
Produksi (Ton)
80 2 5 1 1 1 0.2
75
1 Padi 2 Jagung 3 Ubi Kayu 4 Ubi Jalar 5 Talas 6 Mentimun 7 Bengkuang Sumber: Data Monografi Kelurahan 2007
15 50 10 10 4 0.2
Kelembagaan merupakan salah satu faktor penggerak pembangunan pertanian, karena berfungsi sebagai penunjang dari pembangunan itu sendiri. Dalam terbentuknya, kelembagaan merupakan pranata sosial yang merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam masyarakat (Koentjaraningrat 1964 dalam Nasdian 2003). Salah satu kategori kelembagaan berdasar tingkatannya adalah kelompok tani. Pembangunan pertanian yang dilakukan saat ini lebih difokuskan pada mengorganisasikan petani ke dalam kelompok tani. Hal tersebut dilakukan agar lebih memudahkan dalam hal pengkoordinasian petani, membimbing petani, dan pemantauan mengenai sejauhmana suatu program dan proyek tersebut berjalan. Selain itu, agar petani dapat terorganisir dengan baik, dapat membangun kerja sama antar petani, para anggotanya dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk mengatasi masalah-masalah dan mencapai suatu tujuan bersama. Tujuan tersebut tidak atau lebih sulit tercapai tanpa terbentuknya kelompok. Seperti yang di kemukakan oleh seorang PPL Kelurahan Katulampa.
133
“...sebenarnya, kalau petani tergabung dalam kelompok maka akan lebih mudah terorganisir, dan akan lebih mudah pula melakukan penanaman. Jika, petani berkelompok, maka petani memiliki acuan dalam bertani artinya terdapat rencana definitif pola tanam berkelompok (baik rencana kebutuhan benih maupun pupuk) sehingga memudahkan petani dalam penanaman. Selama ini pola tanam yang dilakukan petani di Katulampa berbeda antar petani.....”
Oleh karena itu, pembentukan kelompok merupakan suatu yang penting karena dengan adanya kelompok, petani lebih terorganisir. Kelompok Bangun Tani Mukti merupakan kelompok tani yang ada di Kelurahan Ketulampa. Kelompok ini secara resmi dibentuk pada September 2006. Kelompok tani ini, merupakan kelompok yang dibentuk secara bersama-sama antara petani dan pihak kelurahan dengan tujuan untuk memberdayakan petani melalui program pemerintah yang diberikan melalui kelompok. Tujuan pembentukan kelompok Bangun Tani Mukti, adalah untuk mengoptimalisasikan penggunaan sumberdaya alam yang berada di wilayah kelurahan agar berhasil guna, memudahkan pembinaan secara teknis maupun nonteknis kepada petani, serta agar setiap petani yang menjadi anggota dapat membangun suatu kerjasama dan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan untuk mengatasi masalah-masalah dan mencapai suatu tujuan bersama. Kelompok Bangun Tani Mukti ini, memiliki struktur organisasi seperti kelompok tani pada umumnya. Terdapat ketua, wakil ketua, sekertaris, wakil sekertaris, bendaraha dan seksi bibit, seksi perlengkapan dan peralatan, seksi usaha, seksi hama, dan humas (Gambar 4). Kelompok ini juga disetujui dan di bawahi oleh pihak kelurahan. Kelompok ini dibimbing sepenuhnya oleh Dinas Agribisnis Kota Bogor.
134
Penanggung Jawab
Penasehat Wakil Ketua I
Ketua Wakil Ketua II
Wakil Sekretaris
Seksi Bibit
Sekretaris
Seksi Perlengkapan dan Peralatan
Bendahara
Seksi Usaha
Seksi Hama dan Penyakit
Wakil Bendahara
Seksi Humas
Gambar 4. Bagan Struktur Organisasi Kelompok Bangun Tani Mukti Kelompok ini memiliki anggota kelompok sebanyak 30 orang. Selama terbentuknya, kelompok Bangun Tani Mukti telah mengalami dua kali pergantian ketua kelompok. Menurut petani yang tergabung dalam kelompok, manfaat yang diperoleh dengan menjadi anggota kelompok tani adalah petani dapat memperoleh pengetahuan baru mengenai kegiatan pertanian, petani juga dapat saling bertukar pikiran dan saling berbagi informasi, membangun keakraban antar petani. Selain itu, apabila salah satu petani mengalami kesulitan maka petani lain dalam kelompok bisa membantu memecahkan masalah tersebut. Selama terbentuknya, kelompok tani yang dibimbing langsung oleh Dinas Agribisnis memiliki rangkaian kegiatan baik kegiatan yang berasal dari kelompok maupun kegiatan yang berasal dari program dan proyek pembangunan pertanian.
135
Beberapa kegiatan tersebut, antara lain rapat bulanan kelompok, penyuluhan dan praktek pertanian organik, Dalam perjalanannya kelompok tani sering mengahadapi beberapa kendala, antara lain struktur kepengurusan kelompok yang tidak aktif dan proses komunikasi yang kurang terjalin dengan baik antar kelompok. Permasalahan tersebut secara umum terjadi karena kurangnya pemahaman petani mengenai arti kelompok sehingga berpengaruh terhadap penerapan pembangunan pertanian. Menurut SD, struktur kepengurusan kelompok belum berjalan dengan baik karena diantara anggota pengurus, hanya beberapa orang saja yang aktif mengurus kelompok. Banyaknya anggota kelompok tani yang tidak aktif dalam kepengurusan kelompok tani disebabkan sebagian dari anggota yang masih bersifat individual yang jarang memikirkan kepentingan kelompok. Kelompok Bangun Tani Mukti memiliki anggota kelompok keseluruhan sebanyak 30 orang, namun petani yang aktif hanya beberapa orang pengurus dan anggota saja. Sebagian dari mereka enggan untuk mengurus kelompok baik dalam mengurus pertemuan kelompok tani maupun melakukan tugas mereka dalam kelompok. Menurut SD, keengganan anggota untuk mengurus kelompok karena mereka beranggapan bahwa mengurus kelompok merupakan hal
yang
merepotkan. Hal tersebut kemudian menjadi penyebab anggota kelompok yang aktif hanya beberapa orang saja. Selain itu, sikap saling mengandalkan antar petani juga menjadi penyebab kelompok tidak aktif berjalan. Hal tersebut terlihat dalam setiap kegiatan yang dilakukan, seperti pada saat kegiatan pertemuan antara kelompok tani dan
136
Penyuluh Pertanian Lapang (PPL). Petani yang ikut serta dalam kegiatan tersebut hanya beberapa orang dari keseluruhan anggota. Petani yang tidak hadir beranggapan bahwa mereka tidak perlu hadir secara rutin dalam pertemuan kelompok karena ada anggota lain yang hadir, sehingga kehadiran mereka dapat terwakili oleh petani lain. Hal tersebut tentu saja menjadi kendala, karena saling mengandalkan antar petani menyebabkan dalam setiap pertemuan yang dilakukan hanya dihadiri beberapa petani. Seperti yang dituturkan oleh SA. ”Kalau ada pertemuan petani, hanya sedikit petani yang hadir. Dan petani yang hadir pasti hanya yang itu-itu saja. Petani yang hadir hanya mereka yang aktif saja. Makanya, pertemuan petani menjadi jarang dilakukan”
Menurut Bapak SA, sikap saling mengandalkan antar petani memang sangat merugikan kelompok, karena jika anggota kerap kali mengandalkan anggota lain dalam setiap kegiatan, maka mereka tidak akan mendapatkan manfaat dari setiap kegiatan yang ada. Permasalahan keaktifan anggota juga karena jarak antar lokasi tempat tinggal petani dan lahan pertanian mereka. Umumnya petani di Katulampa memiliki lahan dengan persil yang berbeda lokasi, sehingga mempengaruhi cara berkelompok. Bapak SI, salah satu petani memiliki lahan di areal yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Hal tersebut menyebabkan mereka jarang hadir dalam pertemuan, karena mereka harus mengurus lahan mereka yang letaknya cukup jauh dari sekretariat tempat kelompok berkumpul. Tak jarang pertemuan petani dilakukan pada waktu dimana petani sedang mengurus sawahnya. Permasalahan dalam kelompok tani memang merupakan permasalahan yang kompleks. Pihak kelurahan menuturkan, dinamika yang terjadi dalam
137
kelompok tani sangat kurang. Hal tersebut terjadi karena kesadaran petani mengenai kelompok sangat rendah. Selain itu mereka beranggapan bahwa berkelompok merupakan kegiatan yang membuang waktu. Pola pikir yang demikian, menurut lurah Katulampa sangat sulit untuk diubah, keinginan mereka untuk maju juga sangat rendah. Hal tersebut yang menyebabkan kelompok tani hanya digerakkan oleh beberapa orang petani yang aktif, yaitu mereka yang paham akan pentinganya berkelompok. Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Dinas Agribisnis. Menurut pihak Dinas Agribisnis, kendala dalam kelompok tani di Katulampa adalah sebagian besar petani belum mengetahui dengan baik mengenai pentingnya berkelompok. Kesadaran anggota untuk berfikir mengenai kelompok masih sangat rendah. Dari segi keaktifan, anggota yang aktif hanya sebatas pengurus kelompok saja, sedangkan yang lain hanya aktif kalau ada program dari pemerintah. Permasalahan dalam keaktifan anggota dalam kelompok saling berkaitan dengan komunikasi yang terjalin antar anggota. Proses komunikasi yang terjadi antar anggota dalam kelompok juga belum berjalan dengan baik. Saat ini, pada kelompok tani sedang digalakkan mengenai pertanian organik. Sebagian anggota kelompok dikirim untuk mengikuti penyuluhan dan pelatihan mengenai praktek pertanian organik, baik tata cara penanaman tanpa menggunakan bahan kimia, pembuatan pupuk kompos sampai pada pembuatan pestisida organik. Setiap informasi dan pengetahuan yang diperoleh anggota kelompok yang mengikuti penyuluhan disebarkan keanggota yang lain, baik melalui praktek maupun pertemuan. Namun demikian, sebagian besar petani sering mengabaikan
138
informasi tersebut. Mereka lebih memilik untuk tidak hadir karena malas dan enggan untuk berdiskusi bersama, sehingga dalam setiap pertemuan kelompok yang dilakukan, hanya beberapa petani saja yang hadir. Hal tersebut menyebabkan proses transformasi pengetahuan dan keterampilan yang didapat petani belum dapat dilakukan secara optimal. Permasalahan petani merupakan permasalahan yang kompleks yang sebagian besar disebabkan pengetahuan petani mengenai kelompok yang sangat minim. Kompleksnya permasalahan dalam kelompok tani membutuhkan suatu pemecahan yang lebih baik. Kelompok perlu diberi stimuli baik untuk mengaktifkan kembali kelompok yang ada, maupun pengembangan kelompok. Untuk mengaktifkan kelompok, pihak Kelurahan dan Dinas Agribisnis memberikan stimuli melalui kegiatan kelompok maupun bantuan dan program pemerintah. Petani pernah diberikan bantuan permodalan hingga pemasaran hasil padi organik. Hasil kegiatan tersebut diharapkan mampu untuk memberikan rangsangan kepada kelompok agar dapat aktif kembali. Salah satu kegiatan yang saat ini dilakukan yaitu pembuatan pupuk organik. Pihak kelurahan bekerja sama dengan kelompok tani daerah lain untuk membeli pupuk organik buatan kelompok tani di Katulampa. Melalui kegiatan ini diharapkan para petani kembali memiliki keinginan untuk bekerja sama sehingga hasil penjualan nantinya dapat memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Namun demikian, dari keseluruhan anggota hanya empat orang yang melakukan kegiatan tersebut, karena saling mengandalkan satu sama lain. Dalam upaya untuk mengaktifkan kembali kelompok, petani sangat memerlukan bimbingan dari penyuluh lapang. Kehadiran penyuluh sangat
139
dibutuhkan untuk membimbing kelompok secara berkelanjutan sehingga kelompok tani dapat menjadi aktif kembali. Karena sebagian besar petani belum mengetahui mengenai pentingnya berkelompok. Mereka juga belum mengetahui bahwa dengan berkelompok mereka akan secara intensif dibimbing agar dapat mengembangkan pertanian mereka kearah yang lebih baik. Pihak kelurahan juga mengatakan, Kelurahan Katulampa memiliki potensi pertanian. Sehubungan dengan hal itu, petani yang ada perlu dibimbing sebagai upaya untuk memajukan Katulampa sebagai daerah pertanian. Menurut Ibu SR, anggota kelompok tani yang ada memiliki keterbatasan. Selain karena faktor usia petani, pendidikan mereka juga sangat minim, sehingga kehadiran penyuluh untuk memberikan bimbingan sangat dibutuhkan. Namun demikian, penyuluh lapang hadir tidak secara kontinu, artinya penyuluh hanya hadir setiap menjelang ada perlombaan atau bila penilikan dari dinas saja. Namun, di sisi lain beliau juga memahami keterbatasan dari penyuluh itu sendiri, karena, penyuluh pertanian hanya satu orang untuk satu kecamatan, yang otomatis satu orang tersebut, walaupun aktif berada di lapang hasilnya belum tentu menjadi maksimal, karena keterbatasan sumberdaya, apa lagi saat ini, jumlah penyuluh yang terbatas dan jarang hadir, tentulah petani sangat tidak terbantu. PPL datang kepada petani, khususnya kelompok tani bertujuan untuk memantauan program, pembimbingan dan pendampingan terhadap petani. Jumlah PPL yang membawahi Kecamatan Bogor Timur saat ini berjumlah satu orang. Dan PPL tersebut harus menangani enam kelurahan yang ada. PPL datang rutin setiap minggunya. PPL datang apbila ada kegiatan, penataan bantuan, dan bila
140
ingin memantau perkembangan program pembangunan pertanian pertanian yang dilakukan. Saat ini, PPL sedang aktif melakukan kegiatan penguatan kelompok tani. Peguatan kelompok tani dilakukan melalui pemberian bantuan kepada kelompok (biasanya berupa kegiatan dari Dinas Agribisnis) dan pembenahan kelompok (pembentukan,
restrukturisasi
kelompok
melalui
pergantian
pengurus),
mengaktifkan anggota yang tidak aktif dan yang aktif lebih diberdayakan. Dinas Agribisnis terus berupaya untuk membangun kesadaran petani akan pentingnya berkelompok melalui penyuluhan. Petani sering diikutkan dalam kegiatan penyuluhan maupun pelatihan-pelatihan untuk membuka wawasan sehingga menumbuhkan keinginan petani untuk berkelompok. Pengembangan kelompok dilakukan dengan membagi setiap tugas secara merata pada setiap kegiatan. Secara bergantian petani yang menjadi anggota dikirim untuk mengikuti penyuluhan dengan tujuan agar setiap anggota terbuka wawasan keanggotaan serta pengalamannya. Pada tahun 2007, terdapat beberapa bantuan yang diberikan kepada petani baik berupa alat untuk pembuatan kompos (berupa mesin pencacah rumput), permodalan (dalam bentuk uang dan saprotan seperti pupuk dan benih), bantuan pemasaran dengan memberikan pengemas produk dalam bentuk plastik. Program pertanian yang ada di Katulampa datang dari setiap bidang yang ada di Dinas Agribisnis. Dalam Dinas Agribisnis terdapat empat bidang yaitu: peternakan, perikanan, ketahanan pangan, dan tanaman pangan dan hortikultura yang tujuannya adalah untuk mengaktifkan kembali kelompok tani.
141
Namun demikian, karena kelompok didominasi oleh anggota yang berusia tua, pengembangan kelompok belum dapat terjadi secara optimal. Saat ini, pengembangan kelompok lebih difokuskan pada bagaimana mengaktifkan kembali kelompok tani sehingga dapat bermanfaat bagi anggota maupun petani secara keseluruhan. Hubungan kelompok tani dengan kelurahan sangat baik. Pihak kelurahan selalu memantau perkembangan kelompok dan sering mengikutkan anggota dalam undangan pelatihan dan seminar pertanian. Pihak kelurahan juga sangat memperhatikan petani, dimana setiap program pemerintah yang masuk diseleksi oleh kelurahan, bila program tersebut dinilai menyulitkan petani, maka pihak kelurahan tidak akan menyetujui program tersebut. Hubungan kelompok tani dengan Dinas Agribisnis secara kelompok diwakili petani yang berhubungan dengan pihak Agribisnis baik penyuluh lapang maupun pihak Dinas Agribisnis. Menurut pihak Dinas Agribisnis, hubungan petani dengan Dinas Agribisnis dimulai sikap proaktif dari Dinas Agribisnis untuk datang ke petani dan memberikan pengetahuan kepada petani mengenai pertanian modern. Namun demikian, dalam perjalanannya petani hanya datang ketika mereka membutuhkan bantuan saja, dalam arti aktif jika ada bantuan dari pemerintah. Dalam kelembagaan kelompok tani, permasalahan yang terjadi yaitu struktur kepengurusan kelompok yang tidak aktif dan proses komunikasi yang kurang terjalin dengan baik antar kelompok. Permasalahan tersebut secara umum terjadi karena kurangnya pemahaman petani mengenai arti kelompok yang berpengaruh terhadap kehadiran petani dalam kelompok. Permasalahan petani
142
tersebut tergolong ke dalam permasalahan struktural yang berkaitan dengan kelembagaan. Permasalahan tersebut hadir dalam kelembagaan kelompok tani, sebagai akibat dari struktur organisasi petani yang tidak berjalan dengan baik. Permasalahan tersebut terkait pula dengan kultur masyarakat yang ada. Dimana, permasalahan tersebut disebabkan oleh sikap petani yang enggan untuk aktif berkumpul dan berorganisasi, karena malas atau karena merasa takut karena merasa pendidikan mereka yang terbatas.
5.3 Permodalan Permodalan merupakan aspek penting dalam kegiatan pertanian. Permodalan berdasar sifatnya, dibedakan atas dua macam yaitu modal tetap ialah modal yang tidak habis pakai dalam satu kali produksi. Modal yang kedua yaitu modal tidak tetap. Modal tidak tetap, yaitu modal yang habis dalam satu kali proses produksi. Modal tidak tetap, merupakan modal yang setiap akan berproduksi kembali harus diganti dengan yang baru. Dalam kegiatan pertanian di Katulampa, permasalahan permodalan yang terjadi antara lain semakin sempitnya lahan pertanian sebagai modal utama dalam kegiatan pertanian, dan meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga sarana produksi pertanian.
5.3.1 Modal Tetap Bentuk modal tetap pada kegiatan pertanian di Kelurahan Katulampa, antara lain lahan pertanian, alat-alat pertanian, dan tempat penyimpanan hasil produksi. Pada penelitian ini, aspek modal tetap akan difokuskan pada bagaimana
143
kondisi lahan pertanian di Katulampa, yang merupakan modal utama dan tempat petani menggantungkan hidupnya. Katulampa merupakan daerah yang berada di pusat Kota Bogor, sehingga cukup strategis dan memiliki nilai investasi yang cukup baik. Hal tersebut pula yang kemudian menjadi alasan mengapa semakin banyak perusahaan yang membeli tanah pertanian di Katulampa. Hal tersebut menyebabkan lahan pertanian di Kelurahan Katulampa saat ini semakin berkurang jumlahnya, karena semakin besarnya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi perumahan. Pengalihfungsian lahan tersebut terjadi karena semakin banyak petani yang menjual lahan pertanian mereka kepada pihak perumahan. Seperti menurut penuturan Bapak SA: ”...Lahan pertanian di Katulampa semakin menurun tiap tahunnya, tahun lalu saja puluhan hektar tanah pertanian berubah menjadi perumahan MBR. Itu karena banyak tanah di Katulampa yang terjual. .”
Menurut Bapak SA, dahulu lahan pertanian di Katulampa sangat luas. Namun demikian, saat ini jumlahnya semakin menyusut karena banyak petani yang menjual tanah mereka. Beragam hal yang menjadi alasan mengapa petani banyak yang menjual tanah mereka, sebagian besar karena tanah tersebut merupakan tanah warisan orang tua. Karena domisili pewaris di luar kelurahan Katulampa, mereka pewaris cenderung untuk menjual tanah tersebut. Selain itu, ada pula petani yang menjual lahan tersebut karena tergiur oleh harga tinggi yang ditawarkan oleh pihak perusahaan. Hal lain yang juga menjadi penyebab petani menjual tanahnya adalah karena mereka takut berurusan dengan pihak perusahaan. Menurut Bapak SD, petani di Katulampa sebagian besar merupakan petani kecil yang tingkat pendidikannya rendah. Ketika perusahaan
144
menawarkan untuk membeli tanah tersebut dengan harga tinggi, mereka setuju saja. Mereka beralasan bahwa tanah tersebut lebih baik dibeli perusahaan dan uangnya digunakan untuk usaha lain di luar pertanian. Mereka juga beranggapan, bila mereka tidak setuju untuk menjual tanah tersebut, mereka takut akan mendapat masalah dari pihak perusahaan. Namun demikian, bagi petani yang telah hidup lama dalam bidang pertanian, tidak mudah untuk menjual lahan dan meninggalkan bidang pertanian yang telah digeluti bertahun-tahun. Bagi mereka, bila tanah mereka terpaksa terjual karena desakan pihak perusahaan, mereka akan membeli lahan pertanian di daerah lain. Hal tersebut memunculkan permasalahan tersendiri. Harga tanah saat ini cukup tinggi, bila mereka menjual tanah dengan luas 2.000 m2, uang yang dideroleh hanya mampu membeli lahan pertanian dengan luas yang lebih kecil dari 2.000 m2. Lahan pertanian yang telah dijual pada pengembang perumahan disebut petani dengan tanah milik PT. Perusahaan tersebut, antara lain PT. Aspac, PT. Mutiara Bogor Raya, dan PT. Villa Duta. Lahan milik PT tersebut sebagian besar tidak langsung dibangun, karena itu, petani diperbolehkan untuk digarap petani sampai pihak perusahaan memutuskan untuk membangun tanah tersebut. Pihak Kelurahan menjelaskan, sebelum tanah milik PT tersebut dibangun, petani diizinkan untuk menggarap diatas lahan PT dengan syarat tidak hilang kepemilikannya. Namun demikian, apabila PT memutuskan untuk membangun tanah tersebut, maka petani harus menyerahkan kembali tanah tersebut. Berdasarkan alasan tersebut, petani yang telah menjual lahan pertanian menyewakan kembali lahan tersebut kepada petani lain dengan persyaratan yang
145
telah ditentukan sebelumnya. Apabila petani setuju, maka mereka dapat menggunakan lahan tersebut. Umumnya, lahan yang disewakan seluas 700-800 m2, harga sewa lahan milik PT adalah Rp 500.000 per petaknya. Saat ini, lahan milik PT yang digunakan untuk kegiatan pertanian masih cukup luas. Namun demikian, lahan tersebut kemungkinan akan dibangun menjadi perumahan atau bangunan lainnya. Lahan yang merupakan modal utama dalam kegiatan pertanian semakin menjauh dari petani. Salah satu faktor penyebabnya adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang mendorong meningkatnya penggunaan lahan untuk kebutuhan tempat tinggal, sehingga memaksa lahan pertanian yang ada beralihfungsi menjadi areal tempat pemukiman (Gambar 5). Seperti yang terjadi di Kelurahan Katulampa, lahan pertanian yang ada telah berubah fungsi menjadi perumahan.
Gambar 5. Pembangunan Perumahan Pada Lahan Pertanian
146
Hal tersebut erat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah mengenai penggunaan tanah di Katulampa yang menyampingkan pertanian. Pihak kelurahan mengatakan, status kepemilikan lahan pertanian semakin banyak dikuasai oleh perusahaan. Kebijakan Dinas Tata Kota Bogor, merencanakan bahwa sebagian besar wilayah Katulampa tahun 2012 dicanangkan menjadi kawasan perumahan. Berdasarkan hal tersebut, pertanian wilayah Kelurahan Katulampa akan hilang dalam beberapa tahun kedepan. Saat ini petani masih dapat melakukan kegiatan usahatani diatas lahan tersebut hingga perusahaan memutuskan untuk membangun di atas tanah tersebut. Permasalahan merupakan suatu permasalahan yang bersifat struktural bagi petani. Hal tersebut erat dipengaruhi oleh kebijakan yang tidak lagi berpihak pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian sendiri mulai dilepas untuk didominasi oleh perusahaan besar (Sajogyo, 2002). Artinya, beralihfungsinya lahan pertanian erat dipengaruhi oleh diambil alihnya lahan petani demi kepentingan-kepentingan pihak ”luar’, dalam hal ini pihak pengembang perumahan (PT). Petani terkadang didesak untuk menjual lahan mereka dengan harga tinggi, dan petani mau untuk menyerahkan tanah tersebut karena dijanjikan harga yang tinggi, dan karena desakan kebutuhan ekonomi. Namun demikian, setelah tanah tersebut terjual, masalah yang dihadapi kemudian adalah ketika mereka membutuhkan kembali lahan untuk bertani, mereka terpaksa masuk kedaam sistem sewa lahan yang mengubah status mereka dari petani pemilik menjadi petani penggarap. Petani kemudian dihadapkan pada suatu sistem yang mengharuskan mereka tergantung pada pihak-pihak yang
147
berkuasa atas tanah tersebut. Saat ini, tanah semakin banyak dikuasai oleh pihakpihak yang memiliki kemampuan lebih baik dalam politik dan permodalan.
5.3.2 Modal Tidak Tetap Permasalahan permodalan lain yang terjadi bila ditinjau dari sifatnya adalah modal tidak tetap. Modal tidak tetap tersebut, antara lain pupuk, benih, pestisida, dan modal tunai (uang). Permasalahan modal tidak tetap di Katulampa antara lain tingginya harga pupuk dan pestisida dipasaran. Saat ini pupuk kimia sulit diperoleh, walaupun tersedia, harganya cukup tinggi. Terutama pupuk Urea dan NPK. Beragam faktor yang menjadi penyebab kelangkaan dan naiknya harga pupuk kimia dipasaran, diantaranya kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Naiknya harga BBM memang berdampak pada kenaikan harga dipasar, tidak terkecuali dengan harga pupuk kimia dipasaran. Hal tersebut merupakan dampak dari naiknya harga transportasi pengangkut pupuk yang berimbas pada harga jual pupuk. Pernyataan yang sama juga terungkap dari hasil wawancara dengan pihak Dinas Agribisnis. Kenaikan BBM memang berpengaruh kuat terhadap naiknya harga sarana produksi pertanian, termasuk pupuk. Selain itu, banyaknya pedagang yang menimbun pupuk, terlebih BBM mengalami kenaikan lagi. Selain itu, penyebab kenaikan harga pupuk karena subsidi pupuk dari pemerintah telah dicabut. Bapak SA mengatakan, subsidi dari pemerintah memang dicabut, namun tidak dicabut sepenuhnya. Harga pupuk tidak disubsidi bila pembelian pupuk melebihi 5 Kg. Bila pembelian pupuk petani sebanyak 5
148
Kg, maka harga yang dibayar petani masih merupakan harga subsidi, yaitu Rp 2.000 Namun demikian, bila petani membeli pupuk di atas 5 Kg, harga pupuk mencapai Rp 2.500 yang merupakan harga di luar harga subsidi. Kebutuhan pupuk untuk tanaman sayuran seluas satu petak atau 800 m2 paling sedikit sekitar 5 Kg. Menurut petani, lahan mereka minimum berukuran 1.000-2.000 m2, sehingga petani mendapatkan pupuk dengan harga tanpa subsidi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi tingginya harga pupuk dipasaran, diantaranya dengan mengurangi jumlah pupuk yang digunakan. Misalnya, untuk lahan seluas satu petak membutuhkan pupuk sebanyak 7 Kg, maka petani menguranginya hingga menjadi 5 Kg saja. Mereka menjelaskan, dikuranginya penggunaan pupuk berimplikasi pada banyaknya buah atau hasil yang diperoleh. Permasalahan tingginya harga pupuk dipasaran mempengaruhi hasil produksi dan kegiatan pertanian yang ada, dan permasalahan ini merupakan suatu permasalahan struktural yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah sebagai pihak yang ikut menentukan harga pupuk di pasaran, produsen, dan petani sendiri sebagai konsumen. Harga dasar pupuk yang tinggi berada di bawah kendali (political price), semua itu berada jauh di luar kendali petani. Fluktuasi harga berada di bawah pengaruh faktor baik sosial, ekonomi, dan politik yang saling mempengaruhi satu dan yang lainnya. Petani berada dalam kondisi ketidakberdayaan yang melembaga. Pilihan-pilihan yang ada, berasal dari luar kendali petani. Hal tersebut yang kemudian menjadikan permasalahan petani menjadi suatu permasalahan yang bersifat struktural. Menurut petani, hal tersebut
149
merupakan suatu yang harus mereka terima karena mereka tidak memiliki kuasa untuk dapat mengubah keadaan tersebut. Hasil wawancara dengan pihak Dinas Agribisnis menunjukkan bahwa, kemampuan petani dalam memenuhi sarana produksi pertanian termasuk pupuk, masih sangat rendah. Hal tersebut karena permodalan petani masih sangat rendah sebagai dampak dari pendapatan petani yang rendah yang berdampak pula pada rendahnya taraf hidup petani. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar hasil pertanian digunakan untuk kebutuhan pribadi. Kesulitan modal yang dialami merupakan salah satu permasalahan struktural petani. Permasalahan tersebut kerap kali menyebabkan sebagian besar petani di Katulampa sering terjerat rentenir atau tengkulak. Lurah Katulampa juga menceritakan pernah suatu saat petani yang hampir panen, petani tiba-tiba membutuhkan uang yang mendesak untuk kebutuhan sekolah anak, mereka kemudian terpaksa menjual hasil tani kepada tengkulak, namun dengan harga yang rendah. Pihak kelurahan mengatakan, walaupun saat ini terdapat koperasi simpan pinjam kelurahan yang mencakup keseluruhan warga kelurahan Katulampa, termasuk dapat dimanfaatkan oleh petani. Namun demikian, belum ada petani yang memanfaatkannya. Menurut Bapak SN, mereka enggan untuk memanfaatkan karena membutuhkan proses yang panjang dan persyaratan tertentu yang tidak praktis. Petani lebih memilih meminjam uang dari tengkulak yang dinilai lebih mudah. Begitu pula dengan penjualan hasil panen sayuran biasanya dilakukan melalui tengkulak. Mendekati musim panen, petani menawarkan tanamannya kepada tengkulak. Bila harga mentimun sedang rendah dan hasil timun melimpah
150
dipasaran, pembayaran oleh tengkulak tidak dilakukan pada awal, tetapi uang hasil panen diberikan setelah seluruh panen terjual, dan hasil yang diperoleh sangat rendah. Namun, bila harga sedang melonjak, sebelum panen tengkulak langsung membayar komoditi karena tengkulak khawatir telah dibeli tengkulak lain. Hal tersebut pula yang kemudian menyebabkan pendapatan petani menjadi tidak menentu. Namun, hal tersebut bukan merupakan hal yang menjadi dasar dari permasalahan petani, karena yang menjadi tujuan utama petani adalah pendapatan dari hasil produksi tersebut. Demikian pula dengan adanya tengkulak yang menjadi perantara dan memperpanjang rantai pemasaran hasil pertanian. Tengkulak tidak selamanya berarti sebagai pihak yang merugikan petani karena mengurangi pendapatan petani. Tengkulak juga berperan dalam kegiatan pertanian yang dilakukan. Bila ditelusuri lebih lanjut, petani yang ada belum tentu mampu secara langsung memasarkan hasil pertaniannya pada konsumen. Mereka umumnya belum memiliki kesiapan dalam menembus pasar, tidak memiliki waktu dan tenaga yang cukup untuk memasarkan hasil, menjadikan dasar mengapa petani cenderung memilih tengkulak dalam memasarkan hasil pertanian. Seperti pada petani bunga potong di Jawa Tengah, petani cenderung menjual hasil kepada tengkulak karena keterbatasan mereka untuk dapat akses terhadap pasar, situasi ini yang kemudian membuat petani kembali mengalami permasalahan struktural akibat terasing dari informasi aktual dan keterbatasan mereka (Soetomo, 1997). Pemasaran hasil memang berkaitan erat dengan harga pasar. Harga dasar komoditas pertanian berubah mengikuti faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi antara lain ekonomi dan politik.
151
5.4 Sumberdaya Petani Pembangunan
pertanian
merupakan
suatu
proses
yang
berkesinambungan dan membutuhkan peran serta masyarakat, dalam hal ini petani (Daniel, Moehar. Darmawati, dan Nieldalina, 2005). Namun demikian, dalam perjalanannya kadangkala ada petani yang menolak ‘pembaharuan’ ataupun inovasi yang muncul, sehingga menghambat partisipasi masyarakat dalam program pembangunan pertanian. Katulampa merupakan salah satu wilayah yang menjadi fokus dalam program dan proyek pembangunan pertanian. Melalui pembangunan pertanian, pemerintah berupaya untuk membangun pertanian di Katulampa. Petani telah diberikan beberapa bantuan antaranya pupuk organik, bibit, traktor, dan modal. Selain itu, petani di Kelurahan Katulampa juga pernah diberi penyuluhan mengenai pertanian modern, yaitu cara bercocok tanam dengan menggunakan padi organik yang cara penanamannya jauh lebih mudah dan hemat. Namun demikian, hanya sedikit dari petani yang mampu memanfaatkan program maupun bantuan tersebut dengan baik. Sampai saat ini, belum terjadi kemajuan yang cukup berarti. Hal tersebut karena petani belum mampu memanfaatkan bantuan tersebut secara optimal. Selain itu, sebagian dari petani bahkan menolak program pembangunan pertanian yang ada. Dalam hal ini, sumberdaya petani memberi dampak terhadap penerimaan program pembangunan pertanian yang ada di Kelurahan Katulampa. Berdasar hasil wawancara dengan responden, sebagian besar petani Katulampa merupakan petani tamatan sekolah dasar. Selain itu, petani di Katulampa juga didominasi oleh petani berusia tua. Rata-rata umur petani di
152
Katulampa yaitu sekitar 45 sampai 65 tahun. Petani yang berusia sekitar 25 sampai 35 tahun kurang dari 20 orang. Menurut pihak kelurahan, hal tersebut menjadi hambatan dalam penerimaan program pembangunan pertanian. Sebagian besar petani mengalami kesulitan untuk dapat langsung menerima program tersebut. Walaupun pada akhirnya petani menerima hal tersebut, namun demikian tidak secara langsung, melainkan secara bertahap. Pada saat pemerintah mengintroduksikan program pertanian organik. Dinas Agribisnis melakukan penyuluhan sampai pada penerapan dengan membuat demplot atau petak percontohan sebagai bahan perbandingan bagi petani lain. Namun, hanya beberapa orang saja yang menerapkan penanaman padi dengan System of Rice Intensification (SRI). Hasil penelitian dilapang menunjukkan, dalam setiap kegiatan penyuluhan yang dilakukan jumlah petani yang hadir hanya sedikit. Hal tersebut karena sebagian besar petani merasa tidak dapat mengikuti penyuluhan dengan baik karena keterbatasan bahasa. Menurut bapak SA, sebagian besar petani yang ada kurang memahami bahasa yang digunakan dalam penyuluhan karena bahasa sehari-hari yang mereka gunakan yaitu Bahasa Sunda. Pada setiap penyuluhan yang telah diikuti, kerap kali petani membahas kembali isi penyuluhan yang tidak dimengerti. Namun tidak semua petani yang mengikuti penyuluhan berminat untuk membahas kembali isi penyuluhan yang belum mereka pahami. Petani yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan keinginan untuk keberhasilan pertaniannya yang kemudian mencari tahu
153
mengenai hal yang belum mereka ketahui. Petani yang tidak tergugah, akan cenderung enggan untuk mencari tahu kembali. Petani di Kelurahan Katulampa yang sebagian besar merupakan petani tua, ini menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap penerimaan program pembangunan pertanian. Petani tua tersebut umumnya memiliki pola pikir yang telah terbentuk berdasarkan pengalaman dan kebiasaan petani. Tata cara penanamannya sebagian besar masih tradisional telah menjadi suatu pola umum bagi petani dalam melakukan kegiatan usahatani. Hal tersebut karena pola pikir petani yang cenderung sulit untuk diubah. Pada pembangunan pertanian, sumberdaya petani merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penyerapan teknologi pertanian. Di Kelurahan Katulampa, permasalahan dalam sumberdaya petani adalah kemampuan petani untuk menyerap teknologi pertanian (pertanian organik) belum maksimal. Beragam faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya proses transfer pengetahuan dan teknologi yang baru yang belum sepenuhnya mampu untuk diserap oleh petani. Permasalahan yang terjadi adalah pola pikir petani dan sikap petani yang bertahan pada tradisi yang ada. Selain itu, corak pertanian yang sebagian besar masih merupakan petani subsisten, dimana sebagian besar hasil diperuntukkan kebutuhan keluarga, membuat kehidupan petani sangat tergantung pada hasil pertanian mereka, sehingga petani sangat mengutamakan keberhasilan usaha tani mereka. Mereka menjadi cenderung menolak inovasi maupun program yang dianggap beresiko tinggi terhadap kegiatan usahatani mereka.
154
5.5 Ikhtisar Permasalahan struktural yang dialami petani di Katulampa, antara lain konversi lahan pertanian dan sistem sewa tanah yang ada membuat keputusan petani penggarap dapat mengolah lahan berada pada pihak pemilik atau yang berkuasa atas tanah tersebut. Harga dasar pupuk yang tinggi berada di bawah kendali (political price) di luar kendali petani, dan petani menjadi tergantung pada tengkulak sebagai perantara tempat petani menjual hasil panen petani, yang merupakan akibat dari terasingnya petani dari informasi aktual dan keterbatasan mereka dalam mengetahui posisi pasar. Pada sumberdaya petani, faktor usia petani yang sebagian besar merupakan petani berusia lanjut menjadikan pola pikir petani yang bertahan pada tradisi dan tata cara bertani konvensional yang biasa mereka lakukan. Selain itu, hasil pertanian yang sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga menjadikan petani enggan untuk menerima inovasi yang beresiko.
155
BAB VI DAMPAK POSITIF PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PERMASALAHAN STRUKTURAL PETANI
6.1 Program Pembangunan Pertanian Katulampa merupakan wilayah pertanian dengan komoditas yang beragam. Peningkatkan produktifitas pertanian di Katulampa terus diupayakan melalui program pembangunan pertanian. Program-program tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk peningkatkan produksi pertanian, peningkatan daya beli petani, serta peningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani. Permasalahan struktural yang kerap dialami petani di Katulampa, antara lain kelembagaan baik berupa sistem sewa tanah yang merugikan petani, maupun kelembagaan yang belum berfungsi dengan baik. Tingginya biaya produksi yang menyebabkan meningkatnya permodalan kegiatan pertanian. Permasalahan struktural ini yang dicoba untuk diatasi oleh pihak Dinas Agribisnis dengan bekerjasana dengan pihak kelurahan dan petani. Selama tahun 2007, terdapat beberapa program pembangunan pertanian yang dilakukan di Kelurahan Katulampa, diantaranya Program Pertanian Organik, Program Pupuk Organik (Kompos) dan program bantuan lainnya, seperti penguatan modal, bantuan sarana produksi pertanian, dan pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Program pembangunan pertanian tersebut merupakan program yang dilakukan melalui kerjasama Dinas Agribisnis Kota Bogor dengan Kelurahan Katulampa.
156
6.2 Program Padi Organik (SRI) Padi, merupakan komoditas utama dalam kegiatan pertanian di Katulampa. Praktek bertani padi dilakukan didasarkan pada pertimbangan kondisi iklim dan cuaca. Dimana, petani memperkirakan terlebih dahulu kapan waktu yang baik untuk mulai menanam padi. Menurut hasil wawancara dengan seorang petani, musim tanam yang baik, untuk melakukan penanaman, yaitu pada mulai bulan Juni hingga Januari karena hasil produksi pertanian yang ditanam hasilnya akan jauh lebih banyak bila dibandingkan jika menanam padi pada bulan Februari sampai Mei. Pada tanaman padi, hama dan penyakit tanaman yang kerap menyerang, antara lain: hama merah, hama putih, keong mas, hama daun, hama daun kering, walang sangit, ulat grayak, tikus dan burung pipit. Upaya yang dilakukan petani untuk mengatasi permasalahan hama dan penyakit tanaman tersebut, antara lain melalui penggunaan pestisida kimia. Pestisida kimia dinilai ampuh untuk mengatasi hama dan penyakit, karena cepat dan praktis dalam membasmi hama yang menyerang. Merk pestisida yang biasa digunakan petani yaitu ’Desis’ atau ”Ziodal”. Harga kedua pestisida tersebut, sekitar Rp 5.000 untuk ukuran satu botol kecil. Namun demikian, saat ini petani mulai menyadari bahwa penggunaan pestisida tidak sepenuhnya efektif. Penggunaan pestisida yang berlebih membuat hama menjadi kebal, merusak tanah, dan apabila tidak dipergunakan secara hatihati dapat berakibat buruk pula terhadap petani. Bila pada saat petani menyemprot pestisida kimia dan terdapat cairan yang tumpah dan mengenai tubuh, maka akan menyebabkan iritasi pada kulit. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia,
157
membuat petani terdedah untuk kembali menggunakan cara alami dalam mengatasi hama dan penyakit tanaman. Pemerintah melalui Dinas Agribisnis mencoba mengintroduksikan pertanian organik, tujuan dari penerapan sistem pertanian organik ini adalah agar petani megetahui mengenai pertanian organik dan menerapkan sistem tersebut dalam kegiatan usahataninya, serta memberikan manfaat terhadap peningkatan produktifitas pertanian. Sasaran dari program pembangunan pertanian itu sendiri, adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani. Hal tersebut berujuan agar mempermudah dalam hal pembimbingan terhadap petani, yang diharapkan kemudian petani anggota kelompok dapat memberikan pengetahuan tersebut terhadap petani tanaman padi yang ada di Katulampa secara umum. Sejak tahun 2005, petani mulai dikenalkan pada padi organik. Awalnya petani diberi pengetahuan mengenai padi organik melalui penyuluhan dan pelatihan padi organik di Bandung. Saat itu, petani yang diberi kesempatan untuk mengikuti penyuluhan pertanian organik dari Katulampa sebanyak 3 orang. Petani yang mengikuti penyuluhan diberikan pengetahuan tambahan mengenai pertanian organik, khususnya mengenai sistem penanaman padi organik. Penanaman padi tersebut dilakukan dengan System of Rice Intensification atau lebih dikenal dengan SRI. Pada penerapan SRI, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan. Tahap pertama, yaitu pengolahan tanah. Pada pengolahan tanah, dilakukan sebanyak dua kali. Pertama, tanah diolah dengan ke dalaman 25-30 cm, selanjutnya dilakukan pengolahan tanah lagi yaitu dengan memasukkan bahan organik (di luar jerami) antara 5-7 ton per hektar. Di sekitar petakan dan ditengah
158
petakan, dibuat parit sebagai sistem irigasi. Tanah dibiarkan dalam kondisi lembab atau tidak tergenang air selama 7-10 hari. Tahap kedua yaitu pemilihan benih. Benih yang biasa digunakan petani, antara lain Ciherang, IR 64, dan Sintanur. Benih kemudian diseleksi dengan merendam benih ke dalam air garam yang pekat. Benih yang tenggelam merupakan benih yang baik. Benih hasil seleksi kemudian direndam selama 48 jam, lalu dianginkan selama 24 jam. Persemaian dilakukan dengan menggunakan pipiti (besek) atau nampan plastik yang sudah dialasi dengan daun pisang. Setelah itu, kemudian dimasukkan campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1 setebal 4 cm atau setengah dari tinggi besek sebagai media tumbuh. Banyaknya benih yang ditaburkan ke dalam nampan (dengan ukuran sekitar 15 x 15 cm) adalah sekitar satu sendok makan. Lalu benih tersebut ditutup dengan abu dan jerami. Pada umur 3-5 hari, jerami diangkat. Saat itu, benih sudah mulai tumbuh, bibit tersebut kemudian ditanam petani pada usia 5-10 hari. Tahap selanjutnya yaitu penanaman. Bibit yang ditanam adalah bibit muda (yang berumur sekitar 7-10 hari), kemudian ditanam tunggal (satu tunas) sedalam 0,5-10 cm (dangkal) dengan posisi akar tanaman berbentuk huruf L. Jarak tanam yaitu sekitar 27 x 27 cm, 30 x 30 cm, atau 40 x 40 cm. Penyulaman tanaman dilakukan bila ada tanaman yang mati akibat gangguan belalang. Penyiangan dilakukan setelah tanaman berumur 7-10 hari, dan yang dilakukan sebanyak 4 kali. Mikro Organisme Lokal (MOL) diberikan pada tanaman atau tanah pada tanaman umur 7-10 hari, selama 10 hari sekali sebanyak
159
4-6 kali. Kondisi air pada penanaman padi organik yang dilakukan dalam keadaan basah atau tidak tergenang Pada saat anakan maksimal (umur 45-50 hari), petani kemudian mengeringkan air sehingga bagian tanah kering atau bahkan sampai terlihat retak. Hal tersebut dilakukan selama 10 hari. Setelah 10 hari, tanah diberi air kembali, sehingga tanah dalam kondisi lembab dan basah. Pada fase ini, petani melakukan pemberian MOL. Kondisi air seminggu sebelum panen (ketika terlihat bulir mulai bernas dan kuning) tanah dikeringkan. Pengendalian organisme pengganggu tanaman, dilakukan petani dengan menerapkan prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu dengan lebih menggunakan pendekatan biologis yang menghindarkan dari penggunaan bahan kimia. Menanam
padi
organik
memiliki
kelebihan,
di
samping
cara
penanamannya jauh lebih mudah, penggunaan air yang hemat, juga menghemat pemakaian benih karena dalam penyemaiannya dapat dilakukan didalam satu nampah dan hanya membutuhkan satu bibit perlubangnya. Menurut keterangan pihak Dinas Agribisnis, SRI mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha lain di luar usahatani seperti pembuatan pupuk dan pestisida organik, MOL serta pengolahan dan pemasaran beras organik. SRI menumbuh kembangkan dan memacu semangat masyarakat dalam melakukan usahatani terpadu (padi-ternak). Selain itu, nilai jual padi organik juga jauh lebih tinggi, nasi lebih enak dan tidak cepat basi. Lahan pertanian yang digunakan umumnya merupakan lahan pertanian yang pernah dipergunakan untuk bercocok tanam secara konvensional yaitu dengan menggunakan bahan kimia. Untuk itu, agar tanah kembali netral, sebelum
160
menanam padi organik lahan pertanian petani perlu melakukan pemberaan lahan atau pengistirahatan lahan. Tujuan pemberaan lahan itu sendiri adalah agar tanah terbebas dari pestisida maupun pupuk kimia dari musim tanam sebelumnya.
6.3 Pengembangan Mikro Organisme Lokal dan Pestisida Organik Pembangunan pertanian organik di Kelurahan Katulampa terus digalakkan pemerintah. Menurut pihak kelurahan, Katulampa diprogramkan untuk menjadi daerah sentra padi organik. Hal tersebut, tentulah mendorong berkembangnya pembuatan mikro organisme lokal, pestisida dan pupuk organik sebagai penunjang dalam program pengembangan pertanian organik khususnya padi. Pihak Dinas Agribisnis juga mencanangkan program pengembangan pestisida organik melalui penyuluhan pestisida organik dan praktek pembuatan pestisida organik. Praktek tersebut difokuskan pada kelompok tani yaitu kelompok Bangun Tani Mukti. Mikro Organisme Lokal (MOL) adalah cairan yang terbuat dari bahanbahan sebagai media hidup dan berkembangnya mikro organisme yang berguna untuk mempercepat penghancuran bahan-bahan organik atau dekomposer. MOL berfungsi untuk mempercepat pembuatan kompos agar dapat dengan segera diaplikasikan langsung ke tanaman. MOL juga berfungsi sebagai bahan mempercepat proses fermentasi dan dekomposer, serta aktifator atau tambahan nutrisi bagi tanaman. Bahan yang biasa digunakan dalam mengembangkan MOL antara lain: limbah sayuran segar, rebung bambu, keong mas, buah maja, limbah buahbuahan, air cucian beras, Bonggol atau batang pisang.
161
a. Limbah Sayuran Segar. Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan antara lain: Drum plastik sekitar 200 liter, plastik transparan, limbah sayuran sebanyak 100 Kg, 5 Kg gula merah, 10 liter air cucian beras. Cara pembuatan MOL, yang dilakukan petani, yaitu limbah sayuran dirajang atau dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam drum setiap ketebalan 20 cm, petani menaburkan garam hingga merata sampai bahannya habis. Setelah itu, ditambahkan air cucian beras, gula merah dan aduk sampai merata. Kemudian drum ditutup rapat dengan plastik dan di atasnya diberi air sehingga terlihat plastik cekung terisi air. Setelah 3 sampai 4 minggu baru dibuka, akan tampak cairan berwarna kuning kecoklatan, baunya segar, pH 3-5. Pada saat tersebut, petani menambahkan gula sebanyak 2 ons. MOL dapat
digunakan
yaitu
untuk
pengomposan
atau untuk
penyemprotan. Untuk pengomposan, MOL di campurkan dengan 10 liter air dan 2 ons gula merah. Cairan tersebut yang kemudian disiramkan pada bahan organik yang akan dikomposkan. Penyemprotan dilakukan denganvmelarutkan 400 cc MOL yang dicampur ke dalam 14 liter air. Petani menggunakan tangki atau hydrayer ukuran 14 liter untuk penyemprotan. Penyemprotan dilakukan pada pagi atau sore hari, khusus untuk tanaman padi SRI pada umur 1020-30 dan 40 sampai tanaman padi berumur 60-70 hari.
162
b. Rebung Bambu Untuk membuat rebung bambu, alat dan bahan yang biasa dipergunakan petani, yaitu ember plastik, plastik transparan, rebung bambu sekitar 3 Kg, air beras sebanyak 5 liter, dan gula merah sebanyak 2 ons. Proses pembuatan, yaitu rebung bambu dihaluskan, lalu buah maja yang sudah dihaluskan dicampurkan dan diaduk sampai rata. Petani kemudian menambahkan gula merah yang dihaluskan. Setelah itu, petani menambahkan air cucian beras sebanyak 5 liter. Larutan tersebut kemudian didiamkan selama 15 hari, sebelum dapat dipergunakan. MOL dapat pula dicampur sebagai bahan dekomposer pada proses pembuatan kompos. Petani membuat larutan dengan konsentrasi 1 : 5 liter, gula merah 1 ons yang telah dicairkan, untuk kemudian disiramkan pada proses pembuatan kompos. Untuk penyemprotan, dapat dilakukan pada pagi atau sore hari dengan mencampurkan 400 cc MOL dengan 14 liter air. Larutan ini digunakan petani pada padi SRI pada umur 10-20-30 dan 40 hari. Mol rebung bambu juga dapat digunakan sebagai Zat Perangsang Tumbuh (ZPT). Pada saat ini, petani terus menggalakkan pembuatan Mol sebagai bahan penunjang dalam pertanian organik. Secara rutin kegiatan tersebut dilakukan oleh tujuh orang petani.
6.4 Pupuk Organik. Semakin melonjaknya harga pupuk kimia di pasaran membuat biaya produksi dalam kegiatan pertanian semakin melonjak pula. Untuk itu, petani
163
mulai kembali lagi memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada di sekitar sebagai pupuk organik. Limbah organik seperti jerami, sekam, dedaunan, kotoran ternak, dapat dijadikan kompos. Kompos adalah bahan organik yang dilapukkan melalui proses penghancuran atau penguraian oleh mikro organisme dengan cara dan dalam waktu tertentu. Kompos sendiri sangat berguna sebagai bahan untuk memperbaiki tekstur, struktur tanah dan mendukung kehidupan mikro organisme, sebagai nutrisi bagi tanaman. Selain itu, pupuk organik juga menyediakan unsur hara bagi tanaman, dan pengganti pupuk kimia. Pada pembuatan kompos yang dilakukan adalah menghancurkan bahanbahan dapat berupa daun singkong, jerami, MOL, air, pupuk kandang, gula. Alatalat yang digunakan yaitu cangkul, sekop, ember, golok, dan mesin pencacah. Kelompok tani di Katulampa, telah memiliki mesin pencacah kompos yang merupakan alat bantuan dari Dinas Agribisnis, untuk itu kegiatan pembuatan kompos di Katulampa dapat tergolong modern karena alat-alat yang cukup mendukung. Langkah pembutan kompos sendiri dilakukan dengan memasukkan bahanbahan seperti jerami dan daun singkong ke dalam mesin pencacah, sehingga terbentuk potongan-potongan kecil, membuat mol (sebagai pengurai). Kemudian larutan MOL yang telah dicampur dengan gula dan air hingga merata, disiramkan ke bahan organik sampai kandungan air mencapai 30%. Setelah itu ditutup dengan karung goni atau terpal. Setiap sekitar 6 jam sekali bahan dibolak-balik dengan menggunakan bambu. Setelah 10-15 hari kompos siap digunakan.
164
Ciri-ciri kompos yang sudah jadi yaitu berwarna gelap atau coklat kehitaman, memiliki bau yang khas, tekstur halus dan remah, dan bersuhu rendah. Menggunakan kompos memiliki beberapa keuntungan, yaitu: bahan mudah diperoleh karena umumnya terdapat di sekitar lingkungan pertanian, cara pembuatan relatif sederhana sehingga mudah untuk dilakukan, dan dapat diperoleh pupuk organik dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Kompos dapat digunakan pada setiap jenis tanaman, baik untuk tanaman semusim, atau tanaman tahunan. Kompos umumnya digunakan sebagai pupuk dasar. Kompos digunakan pada saat pengolahan tanah terakhir dengan cara disebar secara merata di atas permukaan tanah. Program pertanian organik yang dilakukan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan harga pupuk kimia yang semakin melonjak di pasaran. Selain itu, juga untuk mengatasi rendahnya harga padi, karena padi organik dinilai memiliki harga jual yang cukup tinggi. Pelaksanan program pertanian organik tersebut, awalnya difokuskan pada kelompok tani, dalam hal ini kelompok Bangun Tani Mukti yang merupakan kelompok tani yang ada di Katulampa. Tujuan difokuskannya program tersebut pada kelompok tani, adalah melalui kelompok akan lebih mudah dalam pengkoordinasian dan pembimbingan. Dalam perjalanannya, program pertanian organik belum mampu untuk diserap sepenuhnya oleh petani, baik petani yang merupakan anggota, maupun oleh petani secara luas. Bagi anggota kelompok tani, program tersebut memberikan manfaat antara lain memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi petani khususnya mengenai pertanian organik. Petani mengatakan pengetahuan
165
mengenai padi organik yang mereka dapatkan selain memberi manfaat juga mendatangkan penghasilan lebih. Petani dapat menghemat pengeluaran untuk pupuk dan pestisida, karena pestisida yang mereka gunakan berasal dari bahanbahan di sekitar mereka.
6.5 Penguatan Modal Permodalan merupakan aspek penting dalam kegiatan pertanian. Modal dalam usahatani dapat diklasifikasikan sebagai bentuk kekayaan, berupa uang maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan, baik langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi. Salah satu bentuk modal dalam kegiatan pertanian adalah pupuk, benih, dan modal langsung. Petani di Kelurahan Katulampa umumnya merupakan petani kecil, hasil pertanian sebaian besar dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Taraf hidup yang rendah menjadikan permodalan petani masih rendah karena hasil sebagian besar untuk kebutuhan pribadi. Permasalahan tersebut mencoba untuk ditanggulangi melalui bantuan permodalan. Bantuan permodalan tersebut memiliki tujuan, yaitu untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani dan untuk menunjang pembentukan modal lebih lanjut. Kegiatan yang dilaksanakan dalam program penguatan permodalan adalah: pemberian bantuan kepada 99 orang petani yang ada di Katulampa, dalam bentuk pupuk, benih, dan pemberian modal langsung dalam bentuk uang pada petani. Dana untuk kegiatan ini sepenuhnya berasal dari pemerintah Kota Bogor yang disalurkan oleh Dinas Agribisnis melalui kelurahan.
166
Bantuan permodalan digulirkan pada tahun 2007 dan diberikan pada petani sesuai dengan luasan lahan yang digarapnya. Petani yang memiliki lahan seluas satu hektar mendapatkan bantuan modal langsung sebesar Rp 500.000, pupuk urea sebanyak 50 kg, dan benih padi sebanyak 50 kg. Bantuan penguatan modal yang diberikan pada petani memang ditujukan untuk membantu petani. Namun demikian, petani belum mampu menyerap modal dengan baik, dimana pemerintah pernah memberikan modal baik dalam bentuk uang maupun saprotan namun belum mampu mereka gunakan secara maksimal. Dimana, sebagian besar bantuan permodalan dijual dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
6.6
Dampak Positif Pembangunan Pertanian terhadap Permasalahan Struktural Petani Program pembangunan pertanian di Kelurahan Katulampa, antara lain
melalui pertanian organik. Kegiatan tersebut dilakukan baik melalui penyuluhan maupun praktek langsung. Menurut hasil dilapang, dampak positif yang diperoleh petani setelah program tersebut digulirkan, adalah petani memperoleh pengetahuan baru mengenai tata cara pembuatan pupuk organik, yang dapat dijadikan alternatif dalam mengatasi tingginya harga pupuk. Program penguatan modal yang diberikan membantu petani memenuhi kebutuhan modal petani. Pertanian organik belum dapat sepenuhnya diterapkan oleh petani. Sejak diintroduksikan pada tahun 2005, petani yang mempraktekkan padi organik baru sebanyak tujuh orang. Menurut Bapak SA, untuk dapat mengajak petani lain ikut menanam padi organik tergolong cukup sulit. Hal tersebut karena petani lain masih enggan untuk menanam padi organik.
167
Petani yang belum menerapkan padi organik berpendapat bahwa pertanian dengan menanam padi organik dengan SRI memiliki kelemahan, diantaranya sebelum menanam padi organik lahan perlu diistirahatkan, dan pengistirahatan lahan membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Bagi petani, hal tersebut merupakan kerugian karena dengan tidak menanam berarti tidak adanya penghasilan. Selain pertimbangan tersebut, petani Katulampa juga masih banyak yang merasa takut untuk mencoba karena mereka takut mengalami kerugian. Mereka berpendapat, menanam padi organik merupakan sesuatu yang dianggap ’aneh’ karena dalam penanaman padi organik petani hanya membutuhkan satu benih tiap lubangnya. Menurut petani, pemerintah hanya memaksa petani untuk menerapkan suatu teknologi tanpa mempertimbangkan kondisi petani. Pemerintah memberikan teori yang tidak selamanya sesuai atau mudah untuk dipraktekkan. Petani tersebut beranggapan bahwa, kegiatan pertanian dengan cara konvensional lebih mudah dilakukan. Hal tersebut merupakan bentuk keenganan untuk mengarah pada perubahan dan sikap bertahan mereka pada tradisi yang ada. Pertanian organik yang dilakukan juga terhambat pada persoalan kemana produk tersebut dipasarkan. Pemasaran padi organik memang tidak mudah, karena pasar belum sepenuhnya mengetahui perbedaan antara padi organik dan padi dengan sistem tanam konvensional. Perdagangan padi organik saat ini lebih banyak dilakukan ditempat-tempat tertentu seperti di supermarket. Produk petani yang ada belum sepenuhnya mampu masuk ke dalam pasar tersebut. Hal tersebut kemudian yang membuat petani menjual padi organik kewarung-warung pemasok yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
168
Hal tersebut dicoba di atasi kembali dengan memberi bantuan plastik kemasan yang telah berisi kandungan gizi hasil laboratorium. Petani juga telah dibantu dalam hal pemasaran melalui pameran-pameran yang diadakan oleh Dinas Agribisnis. Namun demikian, menurut petani, hal tesebut juga belum mampu membantu mereka, karena pemasaran melalui pameran membutuhkan waktu yang lama hingga produk berhasil untuk dijual, sedangkan perputaran modal yang lama tersebut dirasakan tidak efektif karena sebagian petani merupakan petani kecil yang terbatas dalam hal permodalan. Oleh karena itu,
petani tetap memilih
menjual hasil tani mereka diwarung-warung tempat biasa mereka menjual hasil taninya. Pertanian organik di Katulampa belum dapat sepenuhnya diterapkan oleh petani di Katulampa. Hasil penelitian terhadap usahatani padi organik di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat menunjukkan, produktivitas padi dengan sistem budidaya secara anorganik yang dihasilkan oleh petani penyakap lebih tinggi, yaitu 5,71 ton/ha bila dibandingkan dengan produktivitas tanaman padi yang dihasikan secara organik, yaitu 4,75 ton/ha (Herdiansyah, 2005). Beberapa hal yang mempengaruhi, antara lain: gangguan hama dan penyakit tanaman yang sulit dikendalikan jika dilaksanakan secara organik. Status kepemilikan lahan turut mempengaruhi hasil pertanian yang diperoleh. Hasil penelitian yang sama menunjukkan produktivitas padi organik yang dihasilkan oleh pemilik penggarap lebih tinggi, yaitu 4,79 ton/ha bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh petani penyakap, yaitu 4,75 ton/ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil produktivitas pertanian organik belum menguntungkan
169
apabila dibandingkan dengan pertanian anorganik sehingga petani lebih memilih bercocok tanam dengan padi anorganik. Program pembangunan pertanian yang dilakukan melalui pemberian modal langsung, memang tergolong lebih cepat dan efektif. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bantuan permodalan bantuan yang ada, sebagian besar bukan menyelesaikan permasalahan petani malah berdampak pada tergantungnya petani pada bantuan pemerintah. Hal tersebut yang kemudian menjadi penyebab hadirnya permasalahan struktural baru, yaitu tergantungnya petani terhadap bantuan pemerintah. Hal tersebut mengindikasikan, bahwa program pertanian organik yang semula ditujukan agar dapat meningkatkan produktifitas dan pendapatan, belum dapat memberi dampak terhadap kegiatan pertanian.
170
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan. Permasalahan struktural yang terjadi di Kelurahan Katulampa berdasarkan aspek sosial ekonomi, antara lain kelembagaan, permodalan, dan sumberdaya petani. Secara umum, hal tersebut disebabkan oleh faktor seperti ketimpangan dalam sistem sewa/sakap lahan pertanian, kebijakan pemerintah yang tidak mendukung sektor pertanian, dan keterbatasan informasi dan akses petani terhadap pasar. Permasalahan yang muncul pada kelembagaan, antara lain: peraturan dalam sistem sewa lahan/sakap maupun gadai yang ada cenderung merugikan petani. Dalam sistem sewa/sakap, pendapatan yang peroleh petani penyakap jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan petani pemilik, sedangkan resiko yang ditanggung oleh petani penyakap lebih besar. Hal tersebut berimplikasi pada rendahnya pendapatan petani penyakap. Pada sistem gadai, ketidakmampuan ekonomi
merupakan faktor
pendorong yang menyebabkan tergadainya tanah petani. Sistem gadai yang dilakukan tak jarang menyebabkan petani terjerat bunga tinggi yang kemudian memaksa mereka menjual lahan tersebut. Permasalahan lain dalam kelembagaaan, yaitu kelompok tani yang tidak aktif, faktor penyebabnya adalah sikap petani yang enggan untuk turut aktif dalam setiap kegiatan kelompok. Hal tersebut terjadi karena petani belum mengetahui dengan baik manfaat berkelompok.
171
Permasalahan permodalan yang terjadi, adalah lahan pertanian yang semakin menyusut akibat konversi lahan pertanian menjadi perumahan. Penyebab permasalahan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang semakin meninggalkan sektor pertanian dan cenderung beralih pada pengembangan perumahan dan menyempingkan petani. Tingginya harga dasar pupuk juga merupakan permaslahan permodalan. Harga pupuk yang tinggi merupakan bentuk kebijakan yang tidak berpihak pada petani. Fluktuasi harga berada di bawah pengaruh faktor baik sosial, ekonomi, dan politik yang saling mempengaruhi satu dan yang lainnya. Petani di Kelurahan Katulampa didominasi oleh petani tua, yang sebagian besar pola pikirnya telah terbentuk. Hal tersebut menyebabkan teknologi baru sulit untuk diterima dan diterapkan oleh petani di Katulampa. Selama tahun 2007, terdapat beberapa program pembangunan pertanian yang dilakukan di Kelurahan Katulampa, diantaranya Program Pertanian Organik, Program Pupuk Organik (Kompos) dan program bantuan lainnya, seperti penguatan modal, bantuan sarana produksi pertanian, dan pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Program pembangunan pertanian yang dilakukan di Kelurahan Katulampa merupakan program yang dilakukan pemerintah melalui kerjasama Dinas Agribisnis Kota Bogor dengan Kelurahan Katulampa. Program pembangunan pertanian seperti padi organik memberi dampak positif, yaitu peningkatan harga jual padi, pengurangan biaya produksi, dan membantu permodalan petani. Namun demikian, program pertanian tersebut belum mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh petani yang menerima
172
program pertanian. Hal tersebut karena sebagian besar bantuan permodalan bantuan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 7.2 Saran Adapun saran yang diberikan kepada permasalahan struktural petani dari aspek sosial ekonomi, yaitu: 1. Dalam mengatasi ketimpangan sistem sewa-sakap lahan, perlu dilakukan perbaharuan peraturan, yang mampu memperkuat hak penyewa lahan sehingga tidak terjadi ketimpangan yang merugikan petani penyakap. 2. Penguatan kelompok tani, melalui kegiatan pemasaran hasil pertanian melalui kelompok. Kegiatan tersebut diharapkan mampu memberikan rangsangan dalam bentuk tambahan penghasilan bagi petani agar mereka dapat ikut aktif dalam kegiatan, seperti kegiatan produksi dan penjualan pupuk organik. 3. Dari aspek sumberdaya petani, pengenalan teknologi pada petani lebih difokuskan pada praktek langsung, sehingga memberikan pemahaman yang lebih pada petani. 4. Pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang menjaga agar lahan pertanian di Katulampa tidak sepenuhnya terkonversi. 5. Program
pembangunan
permasalahan
petani
pemerintah
yang
dapat
direncanakan dilakukan
sesuai
melalui
dengan
identifikasi
permasalahan, dan kebutuhan petani, sehingga program pertanian dapat tepat sasaran.
173
Daftar Pustaka Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). UI. Jakarta. Anward, Yus’A. 1980. Hubungan Dinamika Kelompok Tani dengan Produktifitas Usahataninya di WILUD Gambut, Kalimantan Selatan. Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat. Billah, dkk. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting). PT. Gramedia. Jakarta. BPS, 2003. Sensus Pertanian 2003. Profil Rumahtangga Pertanian, Pola Pemilikan Tanah, dan Masalah Petani Berlahan Sempit. Biro Pusat Statistik. Jakarta. BPS, 2004. Pertumbuhan Rumahtangga Pertanian di Indonesia (Angka Sangat Sementara Hasil Sensus Pertanian 2003/ st03). Berita Resmi Statistik No.06 / VII / 2 Januari 2004. www. www.bps.go.id/releases Herdiansyah, Irwan. 2005. Analisis Aspek Ekonomi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Usaha Padi Organik (Studi Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hutabarat, Budiman. 2001. ”Kebijakan Moneter Mendukung Sektor Pertanian Andalan. Buletin Agro Ekonomi I (3) 2001: 1-6 www.psedeptan.go.id/BAE/kebijakan/moneter/mendukung/sektor.htm Daniel, Moehar. Darmawati, dan Nieldalina. 2005. PRA Participatory Rural Appraisal (Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian). Bumi Aksara. Jakarta. Kano, Hiroyoshi. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting). PT. Gramedia. Jakarta. Kroef, Justus. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi (penyunting). PT. Gramedia. Jakarta. Mardjuki, Asparno. 1990. Pertanian dan Masalahnya. Pengantar Ilmu Pertanian. Andi Offset. Yogyakarta.
174
Milles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Tjetjep Rohendi R. (Penerjemah). UI-Press. Jakarta Mosher, A.T. disadur oleh S. Krisnandi dan Bahri Samad, 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna. Jakarta. Nasdian, Fredian Tony. 2003. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor: Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanan Bogor. Pagiling, Musyi Amal. 1986. Laporan Penelitian: Persepsi Masyarakat Terhadap Hambatan Struktural dalam Pengembangan Masyarakat Pedesaan (Studi Kasus Pada Desa Sausu di Parigi, Kabupaten Donggala). Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pitojo, Setijo. 1997, Budi Daya Padi Sawah TABELA. Swadaya. Jakarta. Riyadi dan Deddy S. Bratakusumah. 2004. Perencanaan Pembangunan Dareah (Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rojak, Abdul. l983. Struktur Permodalan Petani Kecil Hubungannya Dengan Kemampuan Pengambilan Kredit Produksi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung. Rusli, Said, dkk. 1996. Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan. Kasus Profil Propinsi Riau. Grasindo. Jakarta. Sajogyo, 2003. Kebijakan Publik dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. (Artikel - Th. II - No. 2 - April 2003). Jurnal Ekonomi Rakyat. www.ekonomirakyat.org. ---------, 2002. Pertanian dan Kemiskinan. (Artikel - Th. I - No. 1 - Maret 2002). Jurnal Ekonomi Rakyat. www.ekonomirakyat.org. Saptari, R. dan Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. PT. Anem Kosas Anem. Jakarta. Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Pergerakan dan Subsistensi. LP3ES Jakarta Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Pengenalan. Bogor: Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan, Fakultas Pertanian, IPB.
175
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soetomo, Greg. 1997. Kekalahan Manusia Petani. Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Soetrisno, Loekman. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian. Sebuah Tinjauan Sosiologis. Kanisisus. Yogyakarta. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refina Aditama, Bandung. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. (Penjelasan tentang konsep, istilah, teori, dan indikator serta variabel). Bina Rena Pariwara. Jakarta. Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Sosiologi Agraria. Kumpulan tulisan terpilih. Akatiga. Bandung Wrihatnolo, R.R. dan Riant N. Dwidjowijoto. 2007. Manajemen Pemberdayaan (Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat). Elex Media Komputindo. Jakarta.
176
LAMPIRAN
177
Lampiran 1. Peta lokasi
Keterangan :
Lokasi Penelitian
103
Lampiran 2. Jadwal Penelitian Kegiatan
Lokasi
No. I. 1.
Proposal dan Kolokium Penyusunan draft dan revisi
April
2
3
4
1
2
Kampus IPB Darmaga
2. 3.
Konsultasi proposal Observasi lapangan
Kampus IPB Darmaga RW 02 dan RW 09 Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kabupaten Bogor
4. II. 1.
Kolokium Studi Lapangan Pengumpulan data lapangan Analisis data
Kampus IPB Darmaga
2.
Maret
RW 02 dan RW 09 Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kabupaten Bogor RW 02 dan RW 09 Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kabupaten Bogor
Mei
Juni
3
4
1
2
3
4
1
Juli
2
3
4
1
2
3
4
III. Penulisan Laporan 1. 2.
Analisis lanjutan Penyusunan draft dan revisi
Kampus IPB Darmaga Kampus IPB Darmaga
3.
Konsultasi laporan
Kampus IPB Darmaga
IV 1.
Ujian Skripsi Ujian
Kampus IPB Darmaga
2.
Revisi skripsi
Kampus IPB Darmaga
104
Lampiran 3. Teknik Pengumpulan Data. No
Tujuan
Kebutuhan Data/
Indikator
Informasi
Sumber Data/ Informasi
Teknik Pengumpulan Data Diskusi Kelompok Terarah
1
- Daftar Isian
Kebutuhan data
- Profil lokasi penelitian
- Jumlah Penduduk.
gambaran
- Administrasi Wilayah
- Jumlah Keluarga Tani
Potensi
umum lokasi
- Data gambaran umum
- Luasan Lahan Pertanian
kelurahan atau
- Potensi pertanian di
data monografi
petanian di Kelurahan
penelitian
Kelurahan Katulampa
Katulampa
- Kondisi umum pertanian di Kelurahan Katulampa
Pengamatan
Wawancara
Data
langsung
Mendalam
Sekunder
(observasi)
v
v
v
v
kelurahan - Aparat pemerintah, tokoh masyarakat, dan petani
2
Kebutuhan data
-
Apa
permasalahan
- Mengidentifikasi
permasalahan
struktural petani yang
permasalahan struktural
utama yang
terjadi
ditinjau dari aspek sosial
terjadi di
pertanian
Kelurahan
pangan di Kelurahan
pada
petani tanaman
ekonomi yang terjadi dalam kegiatan pertanian
- Responden penelitian - Informan
v
v
105
Katulampa.
Katulampa bila ditinjau dari
aspek
ekonomi?
sosial
- Faktor-faktor apa saja
Serta
yang menyebabkan permasalahan struktural
bagaimana permasalahan terjadi?
di Kelurahan Katulampa.
tersebut
dalam kegiatan pertanian di Kelurahan Katulampa. - Bagaimana permasalahan tersebut bersifat struktural. - Siapa saja yang terlibat dalam permasalahan tersebut. - Bagaimana pengaruhnya terhadap Petani
106
3
Kebutuhan data
-
Bagaimanakah
- Apa saja sumberdaya
- Responden penelitian
mengenai
langkah pemecahan
yang tersedia guna
strategi
yang telah dilakukan
mendukung pemecahan
penyelesaian
baik
permasalahan petani
permasalahan
maupun
petani.
pemerintah melakui
seperti apa yang pernah
program
dilakukan oleh
pembangunan
masyarakat (petani)
oleh
petani
oleh - Langkah penyelesaian
pertanian mengatasi
untuk masalah
tersebut?
-
untuk mengatasi permasalahan tersebut. - Bagaimana peran
Sejauhmana
pemerintah dalam upaya
pembangunan
untuk menyelesaikan
pertanian
yang
permasalahan petani?
dilakukan
telah
Program apa yang telah
mengatasi
di laksanakan oleh
permasalahan
pemerintah dalam upaya
struktural petani.
pemecahan masalah petani. - Bagaimana dinamika
- Informan
v
v
v
107
pelayanan publik (pemertintah) terhadap petani di Kelurahan Katulampa? - Bagaimana gambaran program dan proyek yang dilakukan? Apa tujuannya, siapa saja yang menjadi sasaran program/proyek tersebut? Bagaimana prgram tersebut dilakukan? - Sejauhmana dampak program terhadap petani.
108
Lampiran 4. Panduan Wawancara Mendalam Pertanyaan Penelitian A. Petunjuk : Pertanyaan penelitian merupakan pertanyaan yang disusun sedemikian rupa sebagai pemandu bagi peneliti dalam melakukan wawancara mendalam bagi responden. Panduan ini ditujukan kepada petani B. Wawancara Mendalam Hari/Tanggal
:
Lokasi
:
Nama Responden
:
Umur Responden
:
Jenis Kelamin
:
C. Pertanyaan Penelitian Responden 1. Bagaimana kondisi umum kegiatan pertanian yang anda lakukan? 2. Komoditas apasaja yang anda usahakan? 3. Bagaimana praktek kegiatan usahatani yang anda lakukan? Baik pada tahap persiapan lahan, pembenihan, pemeliharaan tanaman (kegiatan produksi), panen dan pemasaran? 4. Apasaja kendala atau permasalahan petani yang sering anda alami pada kegiatan pertanian tersebut? 5. Menurut anda, manakah permasalahan yang paling utama berdasarkan pertimbangan ekonomis? 6. Menurut anda, manakah permasalahan yang paling utama berdasarkan frekuensi kejadian? 7. Bagaimana intensitas kejadiannya? Kadang-kadang, musiman, atau persisten?
109
8. Menurut anda apa yang menyebabkan permasalahan tersebut terjadi? 9. Praktek
apa
yang
pernah
anda
lakukan
dalam
menanggulangi
permasalahan tersebut? Mana yang paling sering anda lakukan? 10. Menurut anda, apakah praktek tersebut sudah merupakan cara terbaik untuk mengatasi permasalahan dalam kegiatan pertanian yang anda lakukan? 11. Apakah di daerah ini, apakah pernah digulirkan program pembangunan pertanian? Jika pernah program apa saja yang pernah dilakukan? 12. Apakah anda menjadi sasaran program pembangunan pertanian tersebut? Bila iya, bagaimana pelaksanaan program tersebut menurut anda? 13. Berapa rata-rata hasil produksi pertanian di daerah ini? 14. Berapa biaya rata-rata yang digunakan untuk melakukah usahatani dalam satu musimnya? 15. Kemana hasil produksi pertanian dipasarkan? 16. Mengapa petani memilih menjual hasil pertaniannya di tempat tersebut? 17. Apakah harga jual hasil pertanian sudah sesuai dengan harapan petani? 18. Apakah petani tetap menjual hasil pertaniannya bila harga yang ditetapkan tidak sesuai dengan yang diharapkan petani? 19. Apakah hasil produksi pertanian seimbang dengan biaya dalam melakukan kegiatan usahatani? Permodalan. 20. Apakah ada hambatan permodalan dalam melakukan usaha tani di daerah ini? 21. Mengapa bisa terjadi hambatan permodalan dalam kegiatan usaha tani di daerah ini? 22. Bagaimana mengatasi permasalahan permodalan dalam kegiatan usaha tani yang anda lakukan? 23. Apakah terdapat lembaga keuangan tertentu yang dapat memberikan solusi atas permasalahan modal dalam kegiatan usaha tani di daerah ini? 24. Apakah terdapat kesulitan dalam mengakses dana dari lembaga keuangan tersebut?
110
25. Mengapa terjadi kesulitan dalam mengaskses dana pinjaman modal dari lembaga keuangan tersebut? 26. Adakah lembaga lain yang bersifat informal yang bisa menjadi solusi permasalahan modal pertanian? 27. Apakah terdapat persyaratan tertentu untuk mendapatkan dana modal dari lembaga keuangan informal tersebut? 28. Bila lembanga keuangan formal dibandingkan dengan lembaga keuangan informal, manakah yang dirasakan lebih mudah diakses petani untuk mendapatkan dana pinjaman? 29. Seberapa jauh permasalahan permodalan yang terjadi mempengaruhi usaha tani anda? Kelembagaan Kelompok Tani 1. Sejak kapan anda bergabung dalam kelompok tani? 2. Adalah Syarat tertentu untuk menjadi anggota kelompok? 3. Dalam kepengurusan kelompok anda menjabat sebagai apa? 4. Mengapa anda memutuskan untuk menjadi anggota kelompok tani? 5. Apa kelebihan yang anda dapatkan semenjak menjadi anggota kelompok tani? 6. Apakah dengan masuk kelompok tani, dapat membantu anda dalam memecahkan permasalahan pertanian yang anda alami? 7. Menurut anda, bagaimana dinamika yang terjadi dalam kelompok tersebut? 8. Bagaimana hubungan kelompok tani dengan pemerintah desa (Kelurahan)? 9. Bagaimana hubungan kelompok tani dengan instansi terkait dalam hal ini Dinas Agribisnis? 10. Menurut anda, bagaimana pelayanan publik (pemerintah) yang diberikankepada petani di Kelurahan Katulampa? 11. Apakah pelayanan publik (pemerintah) tersebut dapat dirasakan oleh petani secara keseluruhan?Ataukah hanya sebagian petani saja?
111
12. Apakah ada program pembangunan yang pernah diberikan pemerintah kepada petani? 13. Apakah ada program pembangunan yang pernah diberikan secara khusus kepada kelompok tani? 14. bagaimana gambaran umum pelaksanaan program tersebut? siapa sasarannya? Apa tujuannya? Bagaimana pengorganisasiannya? 15. Apa dampak yang dapat dirasakan petani maupun kelompok dengan adanya program tersebut? Pemerintah 1. Bagaimana kondisi petani kondisi pertanian di Kelurahan Katulampa? 2. Komoditas apasaja yang biasa diusahakan oleh petani di Kelurahan Katulampa? 3. Apasaja kendala atau permasalahan yang sering terjadi pada petani? 4. Menurut anda, manakah permasalahan yang paling utama berdasarkan pertimbangan ekonomis? 5. Menurut anda, manakah permasalahan yang paling utama berdasarkan frekuensi kejadian? 6. Bagaimana intensitas kejadiannya? Kadang-kadang, musiman, atau persisten? 7. Menurut anda apa yang menyebabkan permasalahan tersebut terjadi? 8. Bagaimana peran pemerintah dalam upaya untuk menyelesaikan permasalahan petani? 9. Program apa yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya pemecahan masalah petani? 10. Menurut anda, bagaimana gambaran program dan proyek yang dilakukan? 11. Siapa saja sasaran program pembangunan pertanian yang pernah dilakukan oleh pemerintah? 12. Apakah program tersebut dapat dirasakan oleh petani secara keseluruhan? Informan 1. Menurut anda, bagaimana kondisi pertanian di Kelurahan Katulampa?
112
2. Komoditas apasaja yang biasa diusahakan petani di Kelurahan Katulampa? 3. Bagaimana praktek kegiatan usahatani yang dilakukan? Baik pada tahap persiapan lahan, pembenihan, pemeliharaan tanaman (kegiatan produksi), panen dan pemasaran? 4. Apasaja kendala atau permasalahan petani yang sering terjadi pada kegiatan pertanian tersebut? 5. Menurut anda apa yang menyebabkan permasalahan tersebut terjadi? 6. Praktek
apa
yang
pernah
anda
lakukan
dalam
menanggulangi
permasalahan tersebut? Mana yang paling sering anda lakukan? 7. Menurut anda, apakah praktek tersebut sudah merupakan cara terbaik untuk mengatasi permasalahan dalam kegiatan pertanian yang anda lakukan? 8. Apakah ada hambatan permodalan dalam melakukan pertanian di daerah ini? 9. Mengapa bisa terjadi hambatan permodalan dalam kegiatan pertanian di daerah ini? 10. Bagaimana mengatasi permasalahan permodalan tersebut? 11. Apakah terdapat lembaga keuangan tertentu yang dapat memberikan solusi atas permasalahan modal dalam kegiatan pertanian di daerah ini? 12. Apakah terdapat kesulitan dalam mengakses dana dari lembaga keuangan tersebut? 13. Mengapa terjadi kesulitan dalam mengaskses dana pinjaman modal dari lembaga keuangan tersbut? 14. Adakah lembaga lain yang bersifat informal yang bisa menjadi solusi permasalahan modal pertanian? 15. Apakah terdapat persyaratan tertentu untuk mendapatkan dana modal dari lembaga keuangan informal tersebut? 16. Bila lembanga keuangan formal dibandingkan dengan lembaga keuangan informal, manakah yang dirasakan lebih mudah diakses petani untuk mendapatkan dana pinjaman? 17. Seberapa jauh permasalahan permodalan yang terjadi mempengaruhi kegiatan pertanian di daerah ini?
113
18. Apakah di desa ini terdapat kelompok tani? 19. Menurut anda, bagaimana dinamika yang terjadi dalam kelompok tersebut? 20. Bagaimana
hubungan
kelompok
tani
dengan
pemerintah
desa
(Kelurahan)? 21. Bagaimana hubungan kelompok tani dengan instansi terkait dalam hal ini Dinas Agribisnis? 22. Menurut
anda,
bagaimana
pelayanan
publik
(pemerintah)
yang
diberikankepada petani di Kelurahan Katulampa? 23. Apakah pelayanan publik (pemerintah) tersebut dapat dirasakan oleh petani secara keseluruhan?Ataukah hanya sebagian petani saja? 24. Apakah ada program pembangunan yang pernah diberikan pemerintah kepada petani di Kelurahan Katulampa? 25. Bagaimana gambaran umum pelaksanaan program tersebut? siapa sasarannya? Apa tujuannya? Bagaimana pengorganisasiannya? 26. Apa dampak yang dapat dirasakan petani maupun kelompok dengan adanya program tersebut? 27. Apakah ada program pembangunan yang pernah diberikan secara khusus kepada kelompok tani? 28. Bagaimana gambaran umum pelaksanaan program tersebut? siapa sasarannya? Apa tujuannya? Bagaimana pengorganisasiannya? 29. Apa dampak yang dapat dirasakan kelompok tani dengan adanya program tersebut?
114
Lampiran 5. Panduan Diskusi Kelompok
Pedoman Diskusi Kelompok
A. Petunjuk: Peneliti mengadakan penelitian berpartisipasi yaitu meneliti secara bersama-sama dengan responden yaitu kelompok tani untuk kemudian
melakukan
diskusi
untuk
merumuskan
akar
permasalahan yang dihadapi dengan mengunakan teknik-teknik partisipatif, di mana peneliti hanya berperan sebagai fasilitator. Peneliti kemudian mencatat hasil pengamatan untuk kemudian dijadikan informasi tambahan yang mendukung penelitian.
B. Teknis Pelaksanaan Peserta diskusi berjumlah 6-10 orang, responden yang menjadi peserta diskusi adalah petani baik laki-laki maupun perempuan. Waktu pelaksanaan Diskusi selama 2 jam. Diskusi yaitu untuk mengidentifikasi Permasalahan yang terjadi pada Petani di Kelurahan Katulampa, Identifikasi faktor yang menjadi pendorong penyebab permasalahan petani, Identifikasi akar permasalahan. C. Pelaksanaan 1. Diskusi Kelompok Hari/Tanggal
:
Lokasi
:
Topik Diskusi
:
A. Identifikasi Permasalahan Utama a. Situasi desa.
115
b.
Perilaku masyarakat (petani) dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
c. Permasalahan yang ada di desa. B. Materi 1. Menurut anda, bagaimana kondisi pertanian di Kelurahan Katulampa? 2. Komoditas apasaja yang biasa diusahakan petani di Kelurahan Katulampa? 3. Bagaimana praktek kegiatan usahatani yang dilakukan? Baik pada tahap persiapan
lahan,
pembenihan,
pemeliharaan
tanaman
(kegiatan
produksi), panen dan pemasaran? 4. Apasaja kendala atau permasalahan petani yang sering terjadi pada kegiatan pertanian tersebut? 5. Menurut anda apa yang menyebabkan permasalahan tersebut terjadi? 6. Praktek apa yang pernah anda lakukan dalam menanggulangi permasalahan tersebut? Mana yang paling sering anda lakukan? 7. Menurut anda, apakah praktek tersebut sudah merupakan cara terbaik untuk mengatasi permasalahan dalam kegiatan pertanian yang anda lakukan?
116
Lampiran 6. Contoh Diskusi Kelompok Hari/Tanggal
: Sabtu, 19 April 2008
Lokasi
: Rumah Ketua RT 03/RW 02
Topik Diskusi
: Permasalahan utama petani Katulampa
Peserta
: Bapak Sadeli Bapak Sair
42 Thn/STM 50 Thn/SD
Bapak Abdul Choir 65 Thn/SD Bapak Enjang
75 Thn/SD
Bapak Saca
60 Thn/SD
Ibu Sopiah
37 Thn/SD
1. Komoditas apa yang banyak di usahakan petani di Katulampa? Abdul choir: Menurut saya petani di Katulampa kebanyakan mengusahakan tanaman padi dan sayuran terutama ketimun, terong, cabai, tapi terkadang mereka menanam jagung. Kalau sayamenanam padi merk Sinta Nur ato Ciherang Pa Enjang: Iya, selain itu ada juga yang menanam terong dan cabai. Pak Sadeli: Memang kebanyakan petani di sini menanan padi sayuran dan buahbuahan. Bu Sopiah: Iya kadang juga ada yang menanam singkong, yang ditanam mah macemmacem tergantung keinginan petani, tapi yang seringmah padi dan sayuran. 2. Komoditas yang beragam tersebut, apakah ditanam langsung pada satu lahan tertentu? Ataukah bergiliran? Mengapa? Pa Enjang: Enggak neng, suka-suka, kadang menanam padi, abis itu baru nanam jagung atau singkong. Itu biar hamanya ga banyak. Pak Sadeli: Iya, itu juga supaya tanahnya bisa bagus lagi. Pa Abdul Choir:
117
Terkadang empat musim tanam itu menanam padi, kalau kira-kira hamanya banyak musim tanam berikutnya kita menanam timun, palawija, jagung ato singkong. 3. Bagaimana pengolahan lahan sebelum di tanam? Pa Abdul Choir: Biasanya kalau sayuran lahan teh di cangkul, terus di beri lobang untuk masukin bibit. Kalau padi beda lagi, lahannya teh, di bajak pake padi trus di tandur. Pa Encang: kadang-kadang kalo di ladang sayuran itu tanem bibit sekalian di kasih pupuk supaya bibitnya ga dimakan semut. Setelah itu satu minggu baru dikasih urea Pak Sadeli: kalau menggunakan pestisida kimia itu terkadang merusikan, selain merusak kulit, tanah juga menjadi keras, kalau sayamah benihnya saya tutup dengan tanah yang di beri Kohe (kotoran hewan) selain subur juga bisa meghemat pembelian pestisida dan juga tanah lebih subur. 4. Biasanya kapan hama mulai muncul? Bagai mana cara mengatasinya? Bu Sopiah: Biasanya kalau daunnya udah muncul, sekitar satu minggu, biasanya yang dateng hama pemakan daun Pa Abdul choir: Iya, hamanya muncul setelah satu sampai dua minggu. Biasanya hama yang dateng hama wereng, dan hama putih. Kalo di pepaya ada hama pucuk, biasanya di semprot pake pestisida merknya Ziodal. Tapi neng bisa juga pake air sabun. Pa Sair: Kadang juga ada hama merah. Tapi, sekarang ada hama yang bikin daun kering, biasanya kalau udah muncul gejalanya langsung dicabut. Pak Sadeli: Kalau padi hamanya lebih macam-macam, terkadang dari awal teh udah dateng hama kayak serangga. Tapi hama yang paling banyak di hadapi
118
petani biasanya keong mas, berkembang biaknya cepat. Kalau panen biasanya burung pipit. Kalau tidak segera di usir bisa habis. Pa Enjang: Dulu tanaman sayuran saya pernah kena hama pucuk daun juga hama santal, saya make seprin sejenis pestisida bubuk. Pa Sair: Seprin bentuknya bubuk cara pakainya di encerkan dulu baru di semprot. Biasanya untuk 15 liter air perlu sekitar 3 sendok makan. Bu Sopiah: Iya neng, kalo burung pipit mah kita mesti rajin nungguin. 5. Bapak biasanya menggunakan pestisida, menurut bapak apakah harga pestisida mahal? Pa Enjang: Iya, pestisida teh ga terlalu sulit di dapat ada di toko pupuk, tapi harganynya terh lumayan mahal biasanya per botol, harganya Rp.5000- Rp. 15000. Pak Sadeli: Iya pestisida yang mahal
harus di cari alternatif lainnya makana kita
sekarang make pestisida organik. pastisida organik lebih aman dan murah. 6. Pada masa perawatan bagaimana perlakuan pada tanaman: Pa Njang: Biasanya Cuma ngasih pupuk ajah. Sama kalo datang hama di semprot pake pestisida. Pak Sadeli: Kalo pas perawatan mungkin Cuma perlu rajin-rajin kontrol ke sawah. 7. Pada saat panen apakah ada hambatan tertentu? Pak Sadeli Biasanya sih pas panen kita Cuma butuh biaya ekstra untuk menyewa tenaga kerja untuk panen. Pa Enjang: Biasanya kita ngeluarin Rp.15000 untuk mereka kerja dari jam tujuh pagi sampai jam duabelas siang.
119
8. Bagaimana cara memasarkan hasil panen? Pa Saca: Biasanya ke tengkulak. Pa Abdul Choir: Iya ke tengkulak. Kalo timun biasanya kita jual Rp 1000 kalau harga lagi bagus Rp1500 per kilonya Bu Sopiah: Madang teh kita jual timun 500 per kilonya. Kalau tengkulak beli dari petani Rp1000 di jualnya Rp 2000. makanya kalau jadi petani aja keuntungannya gak banyak. Kecuali jadi petani sekalian pedagang. Pak Sadeli: Biasanya berapa pun harga yang di tawar tengkulak
kita jual aja.
Alhamdulillah biay dengan hagra kecil yang penting panen terjual. Masalah untung biasanya kalau nanam bengkuang dengan biaya tanam Rp 600.000Rp 800.000 per seribu meter kita bisa dapet Rp 1.200.000 paling sedikit kembali modal 9. Apakah petani pernah merugi/ tidak mendapatkan hasil? Pa Sair: Pernah, dulu taneman pepaya yang sudah hampir panen diserang hama, daunnya sampai habis semua. Ya mau gimana lagi, terpaksa di biarkan. Dan menanam tanaman lain. Pak Sadeli Di bilang rugi sih rugi tapi kita berfikir bagaimana bisa menanam lagi biar tidak rugi waktu. 10. Bagaimana hubungan petani dengan pemerintah Kelurahan? Bu Sopiah: Kita sih deket banget sama pa lurah, sejak adapa lurah kita jadi banyak kegiatan. Pak Sadeli: Iya, kita jadi lebih banyak bantuan. Kayak benih, saprotan, padi organik.
120
11. Program apa saja yang pernah diberikan pemerintah yang anda terima? Pa Abdul Choir: Pupuk, obat-obatan(pestisida), saya pernah ikut pelatihan padi organik, dan pembuatan pupuk organik Pa enjang: Kita pernah di kasih pupuk, bibit, uang juga pernah untuk penguatan modal tapi kecil, kita juga pernah di kasih uang untuk beli traktor. Pak Sadeli: Kita juga di kasih pencacah rumput untuk membuat pestisida organik.karena pernah ikut seminar kita jadi lebih tahu cara mengatasi hama dengan cara yang lebih murah dan aman. Murah karena kita tidak usah membeli pestisida yang ada di toko karena kita bisa membuatnya sendiri dengan bahan-bahan yang bisa kita dapatkan di sekeliling kita. Seperti daun daunan, kohe, jerami. Pa Abdul Choir: Iya saya dulu pernah ikut pelatihan sama pa Lurah, pelatihan kompos. Nambah pengetahuan saya. 12. Menurut anda, apakah bantuan yang diberikan kepada petani dapat mengatasi permasalahan petani? Pa Abdul Choir, Pa Enjang: Ya belum, karena gak terlalu berpengaruh. Pak Sadeli: Bagi saya pengetahuan yang di dapat sudah merupakan ilmu yang bermanfaat bagi kegiatan tani yang saya lakukan.
121
Lampiran 6. Contoh Catatan Harian Hari/Tanggal
: 15 April 2008
Lokasi
: RT 03/RW 02 Kelurahan Katulampa
Nama Responden
: Bpk. Sadeli
Umur Responden
: 42 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki Catatan Harian
Pak Sadeli merupakan seorang petani di Kelurahan Katulampa. Beliau menjadi petani hampir 20 Tahun. Beliau memiliki tanah pribadi yang merupakan warisan dari orang tua sebesar 1.500 m2. Namun karena beliau berdomisili di Katulampa dan letak tanah tersebut berada di desa lain, maka beliau memutuskan untuk menyewa tanah dari pemilik tanah dan sebagian lagi milik perusahaan. Di kelurahan Katulampa Pak Sadeli menyewa tanah seluas 4000 meter selama dua tahun. Pak sadeli mengusahakan tanaman padi, selain itu beliau juga mengusahakan tanaman lain seperti sayuran (buncis, bengkoang, timun, bayam), ubi jalar, pisang, pepaya, dan singkong. Pak sadeli menanam padi di tanah seluas 3000 meter, dan sisanya dipakai untuk menanam komoditas lain. Tanaman tersebut ditanam bergilir sesuai dengan keinginan beliau. Pak Sadeli merupakan petani padi organik. beliau telah mengusahakan padi organik selama 2 tahun. Beliau memutuskan untuk menanam padi organik setelah beliau mengikuti seminar dan penyuluhan mengenai pertanian organik di Bandung. Hasil seminar tersebut beliau mengetahui bahaya pestisida dan bahan kimia bagi kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, maka beliau memutuskan untuk menanam padi organik. Beliau merupakan orang yang pertama kali menanam padi organik di Kelurahan Katulampa. Beliau menanam padi organik dengan benih padi SRI. Benih awalnya di dapat dari bantuan pemerintah. Awalnya beliau dianggap aneh oleh petani sekitar. Namun demikian, beliau tetap gigih untuk mengusahakan padi organik hingga saat ini. Pada pertanian yang beliau usahakan, pengolahan tanah pada tanaman padi dilakukan dengan membajak tanah menggunakan traktor atau membajak dengan
122
sapi. Namun demikian, berbeda pada hal pemupukan. Pupuk organik beliau dapatkan dari membuat sendiri, yaitu pupuk kompos yang dibuat sendiri baik padat maupun cair. Pupuk tersebut berasal dari kohe (kotoran hewan) dan jerami yang dibusukkan. Permasalahan pada saat bertanam padi, yaitu sering terjadi perebutan air di musim kemarau. Di mana, air yang telah beliau hadang tiba-tiba berhenti dan berpindah sawah orang lain. Namun tidak pernah terjadi konflik karena aksi penghadangan air tersebut. Benih padi didapat dari persediaan yang berasal dari panen sebelumnya. Bagi Pak Sadeli, selama ini benih bukan merupakan permasalahan. Karena beliau selalu menyiapkan benih pada saat panen untuk persediaan musim tanam berikutnya. Pada saat produksi tanaman, beliau menghadapi berbagai kendala baik berupa hama, maupun kondisi cuaca yang tidak mendukung. Menurut beliau, hama pada tanaman padi merupakan hama yang kompleks. Tanaman padi beliau sering mendapat serangan hama daun, keong mas, burung pipit, dan hama kering daun. Bagi beliau hama kering daun merupakan hama yang baru, karena beliau belum mengetahui hama tersebut sebelumnya. Hama tersebut, tidak diketahui asalnya, karena tiba-tiba daun menguning tanpa sebab yang diketahui. Gejala awalnya, daun menjadi menguning sebelum akhirnya mengering. Beliau mengatasinya dengan mencabut tanaman tersebut pada saat gejala awal muncul. Menurut beliau, cara terbaik mengatasi hama adalah pengontrolan yang sesering mungkin. Beliau mengontrol sawahnya selama 3 kali sehari. Hama padi menurut Pak Sadeli, dapat muncul dari aliran air, dan hama yang terbawa dari udara. Selain itu terdapat pula gangguan tikus, biasanya diatasi dengan menggunakan jebakan tikus dan makanan yang telah diberi racun tikus. Pada saat pemanenan, Pak Sadeli mengupah tanaga kerja. Tenaga kerja yang diupah sebanyak 3-4 orang sebesar Rp15.000 per hari. Untuk padi seluas 3000 meter, dari masa pembenihan sampai dengan pemanenan keseluruhan biaya yang beliau habiskan mencapai Rp 1.500.000 menurut beliau, penanaman padi yang beliau usahakan minimal kembali modal. Selama ini, beliau mendapatkan modal dari tabungan hasil panen sebelumnya. Bila pada awal musim tanam beliau
123
tidak memiliki modal namun, beliau tetap ingin bertanam, beliau meminjam dari tengkulak dengan pengembalian berupa hasil panen. Namun demikian biasanya, bila modal awal meminjam dari tengkulak petani tidak bisa mendapatkan keuntungan karena hasil panen yang harus dikembalikan dengan hasil panen sesuai dengan nominal yang dipinjam. Biasanya tengkulak bermain harga, harga yang biasa 2000 bisa menjadi 1500 artinya petani harus menyerahkan hail panen lebih banyak. Biasanya dengan modal 1,5 juta beliau menghasilkan 2-3 ton padi. Bila dinominalkan, 2 ton gabah kering mencapai 4 juta rupiah, apabila diberaskan akan membutuhkan biaya tambahan, yaitu biaya penggilingan beras sebesar Rp 500.000 dan menghasilkan 1,5 ton beras dengan nominan mencapai 6 juta rupiah. Pada pengolahan tanah untuk tanaman sayuran dilakukan dengan cara yang berbeda. Pengolahan tanah dilakukan hanya dengan menggemburkan tanah dengan cangkul, kemudian diberi lubang untuk memasukkan bibit. Untuk masalah pembenihan, benih bengkoang didapat melalui benih pada panen sebelumnya. Namun untuk tanaman sayuran harus dibeli. Untuk bibit timun dibeli sekitar Rp 17.000 per botolnya. Untuk tanah seluas 500 meter dibutuhkan 4 botol bibit. Pada tanaman sayuran Pak Sadeli menggunakan pupuk urea, beliau membeli pupuk urea seharga Rp15.000. Pada tanaman sayuran hama yang sering mengganggu yaitu hama pemakan daun, belalang yang diatasi dengan menggunakan pestisida. Pestisida yang biasa beliau gunakan yaitu ’desis’ yang didapat dengan membeli seharga Rp 5000 satu kaleng kecil yang digunakan sebanyak 2-3 sendok untuk air sebanyak 15 liter. Menurut beliau, pestisida memiliki kelebihan, namun dampak yang ditimbuhkan membahayakan, sehingga beliau menggunakannya tidak berlebihan. Menurut beliau, harga saprotan cukup mahal. Namun demikian, beliau tetap berusaha untuk mendapatkannya karena bagaimanapun petani akan melakukan apa saja demi mendapatkan hasil yang baik. Hambatan cuaca diatasi dengan memperhatikan musim tanam.