Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) Adi Purwandana Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Utara E-mail:
[email protected] ABSTRAK Selat Alor merupakan kanal kedua terdalam di Kepulauan Alor setelah Selat Ombai. Kontribusi Selat Alor sebagai jalur sekunder Arus Lintas Indonesia (Arlindo) belum pernah dikaji. Selat Alor menghubungkan Laut Flores dan Laut Sawu, dan memiliki konfigurasi ambang di dalamnya. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui pola arus di dalam selat pada Musim Timur, yaitu pada bulan Juli 2011, dan mendapatkan estimasi transpor sesaat yang melalui selat. Survei akustik dilakukan pada bulan Juli 2011 menggunakan SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler) berfrekuensi 75 kHz untuk mengukur profil arus, dan EA500 single beam echosounder berfrekuensi 12 kHz untuk mengukur kedalaman perairan. Hasil pengukuran kedalaman menunjukkan bahwa garis kontur kedalaman yang menghubungkan antara Laut Flores dengan Laut Sawu adalah 300 m pada celah utamanya. Pola arus secara jelas memperlihatkan adanya aliran ke Selatan (menuju Laut Sawu) yang terkonsentrasi pada lapisan atas. Transpor sesaat di Selat Alor pada lapisan atas (kedalaman <200 m) diestimasi sekitar 1,07 ± 0,03 Sv atau 1,07 x 106 m3s-1 (± 0,03 x 106 m3s-1) dari Laut Flores menuju Laut Sawu. Kata kunci: Arus lintas Indonesia (Arlindo), pola arus, Selat Alor, Musim Timur, transpor sesaat.
ABSTRACT Alor Strait is the second deepest channel in Alor islands after Ombai Strait. The Contribution of the strait as one of the secondary exit passages of Indonesian Throughflow (ITF) has not been studied yet. The strait connects Flores Sea and Sawu Sea, and is featured by the existence of sills. The purpose of this study is to get insight of the current pattern within the strait during Southeast Monsoon, i.e. July 2011; and to obtain the snapshot transport estimation within the strait. An acoustic survey has been carried out in July 2011 using 75 kHz SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler) to measure the current profiles, and 12 kHz EA500 single beam echo sounder to measure the water depth. The results show that isobath in the main gate which connects Flores Sea and Sawu Sea is about 300 m depth. The current pattern clearly shows an intensified upper layer that flows southwardly entering Sawu Sea. Snapshot transport volume along the strait in the upper layer (depth <200 m) is estimated to be around 1.07 ± 0.03 Sv or 1,07 x 106 m3s-1 (± 0,03 x 106 m3s-1) toward Sawu Sea. Keywords: Indonesian through flow (ITF), current pattern, Alor Strait, East Monsoon, snapshot transport
PENDAHULUAN Arus Lintas Indonesia (Arlindo) membawa massa air Samudra Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat dan jalur timur (Gambar 1). Pada jalur barat, massa air masuk melalui Laut Sulawesi, lalu diteruskan ke Selat Makassar, Laut Flores dan Laut Banda. Jalur ini dikenal sebagai jalur transpor utama Arlindo. Pada jalur timur, massa air masuk melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera, lalu diteruskan ke Laut Banda dan Selat Ombai (Mayer dan Damm, 2012; Susanto et al., 2012). Massa air Arlindo keluar menuju Samudra Hindia melalui selat-selat utama, seperti Selat Lombok dan celah antara Alor dan Timor (Selat Ombai) (Fieux et al., 1996). Jalur barat merupakan jalur utama yang membawa sekitar
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
13,3 ± 3,6 Sv atau 13,3 x 106 m3s-1 (± 3,6 x 106 m3s-1) massa air lapisan termoklin subtropis Samudera Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water, NPSW) dan lapisan pertengahan Samudera Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water, NPIW) (Gordon, 2005; Gordon et al., 2008; Mayer dan Damm, 2012; Susanto, et al., 2012). Sebagian kecil massa air dari jalur barat selanjutnya keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok, yaitu sekitar 2,6 Sv atau 2,6 x 106 m3s-1; sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores, kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudra Hindia melalui Selat Ombai dan Celah Timor (Sprintall et al., 2009).
Gambar 1.
Jalur Arlindo, dimodifikasi dari Susanto et al. (2012).
Figure 1.
Indonesian Throughflow (ITF) pathway modified from Susanto et al. (2012).
Pada jalur timur, hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al. (2009) di Lifamatola menyebutkan bahwa jalur ini membawa sekitar 2,5 Sv atau 2,5 x 106 m3s-1 massa air yang berasal dari Samudra Pasifik Selatan dari lapisan yang lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW) melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Meskipun demikian, belum dapat diestimasi dengan baik jumlah massa air yang dibawa melalui jalur timur ini karena adanya masukan massa air lain pada jalur timur, yakni melalui Laut Halmahera (Gordon, 2005). Massa air dari jalur barat dan jalur timur selanjutnya bergabung di Laut Banda dan keluar menuju Samudra Hindia melalui Selat Ombai sebanyak 4,9 Sv atau 4,9 x 106 m3s-1, dan Celah Timor sebanyak 7,5 Sv atau 7,5 x 106 m3s-1 (Sprintall et al., 2009). Selat Alor merupakan selat terdalam kedua setelah Selat Ombai yang perlu dipertimbangkan sebagai jalur Arlindo. Satu-satunya kajian transpor Arlindo tentang selat ini hingga penelitian ini dilakukan adalah estimasi transpor berbasis model yang dilakukan oleh Lebedev dan Yaremchuk (2000). Menurut kajian tersebut, Selat Alor atau yang juga dikenal dengan Selat Lomblen memberikan kontribusi transpor massa air dari Laut Banda sebesar 2,0±0,4 Sv atau 2,0 x 106 m3s-1 (±0,4 x 106 m3s-1) pada Musim Timur. Berdasarkan hasil kajian Potemra et al. (2003) yang menunjukkan bahwa tinggi permukaan Laut Sawu mencapai nilai minimum pada bulan Agustus (Musim Timur), maka penghitungan estimasi transpor tersebut dianggap merupakan transpor maksimum di Selat Alor. Hal ini karena pemicu utama intensifikasi aliran dari Laut Flores menuju Laut Sawu adalah perbedaan tinggi muka laut antara kedua lautan (Potemra et al., 2003). Belum ada data observasi yang mengonfirmasi estimasi berbasis model ini. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pola arus dan mengestimasi transpor massa air yang melalui Selat Alor. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan data dasar berbasis observasi tentang kondisi arus dan transpor 110
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
di Selat Alor, khususnya pada Musim Timur. Informasi terkait transpor massa air yang melewati Selat Alor dapat digunakan lebih lanjut untuk meneliti transpor bahang (heat) perairan Indonesia menuju Laut Sawu dan Samudra Hindia. Sebagaimana dinyatakan Gordon dan Susanto (2003), Arlindo membawa massa air dan memodifikasi bahang dari Samudra Pasifik menuju Samudra India, sehingga berperan penting di antaranya dalam fenomena El-Nino dan fenomena Iklim Muson Asia. METODOLOGI Penelitian lapangan dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII di perairan Selat Alor, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22-28 Juli 2011, sebagai bagian dari program Pelayaran Riset Bersama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011. Selat Alor memiliki posisi geografis antara 123,55o-124,05o BT and 8,20o-8,60o LS. Orientasi arah celah kanal selat ini sekitar 65o (dengan acuan 0o adalah utara) pada posisi 8,25o-8,30o LS; dan sekitar 40o pada posisi 8,30o8,45o LS. Akuisisi data arus dilakukan menggunakan peralatan akustik SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler) berfrekuensi 75 kHz dari RD Instrument. Pengukuran dilakukan secara kontinu di sepanjang lintasan kapal (Gambar 2). Alat ini memiliki spesifikasi jarak kedalaman zona blank after transmit 5,76 m dan bin (resolusi vertikal) 5 m, sehingga kedalaman pengukuran arus pada lapisan teratas adalah 10,76 m. Jangkauan sinyal SADCP hanya mampu mencapai kedalaman sekitar 200 m karena adanya kendala teknis. Ekstraksi data arus dilakukan menggunakan perangkat lunak WINADCP untuk mendapatkan data komponen arus zonal (u) dan meridional (v) dalam format ASCII. Kedalaman perairan Selat Alor diukur menggunakan echosounder Simrad EA500 12 kHz.
Gambar 2.
Peta Selat Alor dengan data SADCP (titik-titik) di sepanjang lintasan kapal.
Figure 2.
Map of Alor Strait with data of SADCP (dots) along the ship track.
Mengingat pengukuran arus dilakukan dengan metode lintasan dan arus terukur dapat dinamis baik secara temporal (pada waktu yang berbeda) maupun spasial (pada lokasi berbeda), maka digunakan metode analisis temporalspasial menggunakan perangkat lunak CODAS (Common Oceanographic Data Access System). Secara teknis, perangkat lunak ini ditujukan untuk ekstraksi dan analisis data yang meliputi fungsi pemrosesan, kalibrasi dan navigasi. Keluaran perangkat lunak ini adalah kombinasi data posisi (lintang dan bujur), komponen-komponen arus yang telah terkoreksi pasang surut dalam format ASCII.
111
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
Estimasi transpor sesaat (Q) dihitung dari transek pada bagian tengah Selat Alor (Gambar 3) dengan menggunakan persamaan: 14
Q Vi Ai i 1
di mana Vi adalah kecepatan arus sejajar selat (along strait velocity) pada sel ke-i dan Ai adalah luas penampang pada sel ke-i. Nilai Vi dihitung menggunakan persamaan:
Vi vi cos ui sin ) dengan θ adalah orientasi sudut profil geografis Selat Alor dengan nilai sekitar 40° dari arah utara; ui dan vi adalah kecepatan arus zonal dan meridional sel ke-i. Nilai negatif (positif) dari resultante arus ini mengarah ke Laut Sawu (Laut Flores). Luas penampang sel ke-i (Ai) dihitung sebagai perkalian antara jarak vertikal bin (5 m) dengan jarak antarsel (~antartitik pengukuran arus), yakni jarak dari titik 1 hingga 11 adalah ~1000 m, sehingga:
Ai 5000 m 2 sedangkan titik 12 hingga 14, mengingat lintasan transek tidak melintang selat, dilakukan reorientasi dengan memproyeksikan jarak antartitik sejajar ke bidang transek. Dengan nilai sudut ~70° dari bidang proyeksi, maka jarak horizontal sel adalah:
Ai 5000 cos( 70 o )m 2
Gambar 3.
(a) Transek penghitungan transpor sesaat, (b) Grid sel untuk mengestimasi transpor (arsiran gelap). Segitiga merah merupakan data arus yang tersedia dalam transek.
Figure 3.
(a) Transect used to calculate snapshot transport, (b) Cell grids used to estimate the transport (shaded). Red triangles indicate the available current data along the transect.
112
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
HASIL DAN PEMBAHASAN Topografi Dasar Perairan Hasil pengukuran kedalaman dan pemetaan topografi dasar perairan Selat Alor menunjukkan bahwa garis kedalaman yang menghubungkan Laut Flores pada bagian utara dengan Laut Sawu pada bagian Selatan adalah sekitar 300 m pada mulut kanal antara Pulau Lembata dan Pulau Rusa, dengan lebar celah sekitar 9.195 m (tanda panah A pada Gambar 4). Mulut Selatan selat ini selanjutnya disebut sebagai kanal utama. Adapun mulut kanal antara Pulau Rusa dengan Pulau Kambing (tanda panah B pada Gambar 4) memiliki garis kedalaman penghubung (isobath) kedua lautan sekitar 200 m, dengan lebar celah sekitar 5.303 m. 1. Pola Arus Hasil perata-rataan pola arus terhadap kedalaman di sebelah utara selat, pada lapisan <50 m dan lapisan 50-100 m memperlihatkan dominasi aliran yang mengarah masuk ke dalam Selat Alor dari Laut Flores (Gambar 5a dan 5b). Pada kedalaman 100-150 m, aliran yang mengarah masuk ke dalam selat hanya teridentifikasi di celah masuk antara Pulau Lembata dan Pulau Lapan (Gambar 5c). Adapun di celah masuk antara Pulau Batang dengan Pulau Pantar, arus membalik keluar selat. Kondisi ini diduga terkait dengan alur masuk di antara Pulau Batang dan Pulau Pantar yang relatif tidak terbuka atau langsung sebagaimana di celah masuk di sebelah barat Pulau Lapan. Celah masuk di antara Pulau Batang dan Pulau Pantar memiliki rute yang berkelok, sehingga benturan arus dengan dinding alur Pulau Pantar menghasilkan pembelokan dan pembalikan arah arus di lapisan bawah.
A
Gambar 4.
Topografi dasar perairan Selat Alor. Tanda anak panah (A dan B) berturut-turut menunjukkan kanal utama dan kanal kedua.
Figure 4.
Sea bed topography of Alor Strait. Arrows (A and B) shows main channel and secondary channel.
Kondisi arus ketika memasuki bagian dalam selat, pada kedalaman <50 m dan 50-100 m tampak mengikuti alur selat hingga mencapai mulut keluar selat di bagian Selatan. Kecepatan arus tampak meningkat di mulut keluar selat antara Pulau Pantar dan Pulau Rusa seiring dengan penyempitan kanal. Di lapisan kedalaman 100-150 m dan 150-200 m teridentifikasi pembalikan arah arus (Gambar 5c dan 5d). Kondisi pembalikan arah arus di lapisan bawah ini menunjukkan pengaruh gesekan arus pada topografi dasar selat. Menjelang keluar dari mulut selat di dekat Pulau Rusa, arus kembali mengarah ke luar selat menuju Laut Sawu. Hal ini diduga terkait dengan penyempitan kanal serta pengaruh amplifikasi aliran lapisan di atasnya yang mengarah ke luar selat. Di samping itu, keberadaan topografi jeluk
113
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
(>500 m) di sebelah barat Laut Pulau Rusa diduga memperkecil pengaruh gesekan dekat dasar, sehingga arus dominan mengarah keluar selat menuju Laut Sawu. Di perairan sebelah selatan selat, berdasarkan orientasi arah arus, pengaruh aliran arus dari Selat Alor masih dirasakan hingga posisi sekitar 8,6o LS di kedalaman <50 m. Seiring mengecilnya pengaruh aliran keluar selat terhadap kedalaman, pada kedalaman 50-100 m teridentifikasi adanya arus dari arah barat menuju ke timur. Di kedalaman <50 m, arus ke arah timur ini hanya teridentifikasi di sebelah Selatan Pulau Lembata. Intensitas arus ini terpantau membesar seiring bertambahnya kedalaman sebagaimana tampak di kedalaman 100-150 m dan >150 m (Gambar 5c dan 5d). Diduga arus ini merupakan peruakan (extention) arus Selatan Pulau Jawa (South Java Current, SJC). Temuan ini bersesuaian dengan kajian Sprintall et al. (1999) berdasarkan data mooring di sebelah Selatan Cilacap, yaitu pada kedalaman 175 m pada bulan Juli teridentifikasi arus yang masih mengarah ke timur, meskipun pada lapisan di atasnya terdapat arus yang terpicu angin Musim Timur yang mengarah ke barat. Arus di kedalaman 175 m yang mengarah ke timur ini berlangsung hingga awal November. Profil vertikal pola arus di bagian Selatan Selat Alor beserta identifikasi jenis arusnya ditunjukkan pada Gambar 6. Adapun perairan di sebelah selatan Pulau Pantar, pada kedalaman <50 m teridentifikasi arus dari arah tenggara. Arus tersebut bergerak ke arah barat-utara hingga menjangkau perairan sebelah selatan Pulau Rusa. Arus tersebut bergerak menekan ke arah barat dan menurun intensitasnya karena dorongan arus dari dalam selat. Diduga arus ini merupakan arus yang terjadi karena pengaruh angin Muson Tenggara. Arus terpicu angin biasanya memiliki tipikal berada pada lapisan atas perairan. Pada lapisan kedalaman 50-100 m, intensitas arus terpicu angin yang mengarah ke barat di sebelah selatan Pulau Pantar tampak masih terlihat (Gambar 5b), namun mulai menghilang di lapisan kedalaman 100-150 m dan 150-200 m (Gambar 5c dan 5d). Vortisitas atau kepualan aliran arus tampak di bagian selatan Selat Alor akibat interaksi arus-arus yang memiliki orientasi arah yang berbeda. Kondisi ini dipicu oleh keberadaan Pulau Rusa yang berada di tengah alur Selat Alor (Gambar 6). Profil arus yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah arus yang sudah dikoreksi pasang surut. Terlihat ada dominasi aliran yang mengarah ke dalam Selat Alor dari Laut Flores hingga kedalaman sekitar 100 m, aliran ini terpicu oleh adanya perbedaan tinggi muka laut antara Laut Flores dengan Laut Sawu. Menurut Wyrtki (1961), transpor dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia proporsional dengan perbedaan tekanan antara kedua samudera. Pada Musim Timur (bulan Mei hingga September), gradien tekanan di kedua samudera mencapai maksimum. Kondisi inilah yang mengakibatkan terjadinya transpor maksimum dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia. Intensifnya aliran dari Laut Flores menuju Laut Sawu berdasarkan hasil observasi ini sekaligus juga membenarkan hasil kajian model dari Potemra et al. (2003) yang menyatakan bahwa tinggi permukaan Laut Sawu berdasarkan data Topex Poseidon mencapai minimum pada Musim Timur. Dengan kata lain, resultan aliran massa air di perairan Selat Alor pada bulan Juli adalah menuju ke Laut Sawu. 2. Estimasi Transpor Sesaat Berdasarkan data arus dari transek lintasan antara Pulau Lembata dan Pulau Marisa (di bagian tengah selat) hingga kedalaman sekitar 190 m, diestimasi transpor massa air sebesar 1,07 ± 0,03 Sv atau 1,07 x 10 6 m3 s-1 (± 0,03 x 106 m3 s-1) mengarah ke selatan. Profil transpor yang dirata-ratakan per 5 m kedalaman diperlihatkan pada Gambar 6. Skala transpor negatif pada Gambar 7 menunjukkan arah ke selatan. Berdasarkan data Topex Poseidon, muka Laut Sawu mencapai ketinggian minimum pada bulan Agustus (bulan Musim Timur) (Potemra et al., 2003). Bila diasumsikan bahwa pemicu utama arus tersebut adalah gradien muka laut, yakni antara Laut Flores dan Laut Sawu, maka transpor ini diduga mendekati nilai transpor maksimumnya.
114
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
Gambar 5.
Pola arus rata-rata lapisan kedalaman (a) <50 m, (b) 50-100 m, (c) 100-150 m, (d) 150-200 m.
Figure 5.
Average of current patterns (a) <50 m, (b) 50-100 m, (c) 100-150 m, (d) 150-200 m.
ISSN: 0125-9830
115
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
Gambar 5.
Pola arus rata-rata lapisan kedalaman (a) <50 m, (b) 50-100 m, (c) 100-150 m, (d) 150-200 m (lanjutan).
Figure 5.
Average of current patterns (a) <50 m, (b) 50-100 m, (c) 100-150 m, (d) 150-200 m (continued).
116
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
Gambar 6. Profil vertikal pola arus di bagian Selatan Selat Alor, melintang dari sisi barat (Q) hingga sisi timur (S). Panel atas adalah transek pengukuran arus Q-R-S, panel bawah adalah profil menegak vektor arus dari transek Q-R-S beserta. Figure 6.
Vertical profile of current pattern in the southern part of Alor Strait spanning from the western side (Q) to the eastern side (S). Upper panel shows transect of current measurement (Q-R-S), and lower panel shows vertical profile of current vector of Q-R-S transect.
Gambar 7.
(a) Profil vertikal transpor per kedalaman 5 m, dan (b) Transek pengukuran arus untuk penghitungan transpor (garis).
Figure 7.
(a) Vertical profile of transport per 5 m depth, and (b) Current measurement transect used to calculate the transport (line).
117
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (OLDI), 2014 Vol. 40 (1):109-118
ISSN: 0125-9830
Pada umumnya, SADCP berfrekuensi 75 kHz memiliki kemampuan melakukan pengukuran optimum hingga kedalaman 700 m (spesifikasi pabrik RD Instrument). Namun, karena kendala teknis jangkauan SADCP dalam penelitian ini hanya mencapai kedalaman 200 m. Meskipun demikian, keterbatasan ini dapat dikompensasi dengan realitas di lapangan, yakni transpor massa air terkonsentrasi pada lapisan atas, dan menurun mendekati nol pada kedalaman sekitar 200 m. KESIMPULAN DAN SARAN Pola arus di Selat Alor mengalir dari Laut Flores menuju Laut Sawu pada Musim Timur (bulan Juli). Di bagian selatan selat, pada lapisan bawah teridentifikasi sisa-sisa Arus Selatan Pulau Jawa yang mengarah ke timur, dan pada lapisan atas, di dekat pesisir; teridentifikasi aliran ke arah barat yang terpicu oleh angin Muson Tenggara. Berdasarkan hasil penghitungan transpor sesaat di Selat Alor, diperoleh kontribusi transpor massa air dominan berasal dari Laut Flores menuju Laut Sawu. Diperlukan konfirmasi dari observasi pada musim yang berbeda sebagai kajian pembanding hasil kajian ini. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan hasil riset bersama antara LIPI-DIKTI. Penulis mengucapkan terimakasih pada Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. and Dr. Agus S. Atmadipoera, DESS. dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) atas saran dan masukannya, Sdr. Muhadjirin dan Kru KR. Baruna Jaya VII atas bantuannya dalam akuisisi data. DAFTAR PUSTAKA Fieux, M., C. Andrie, E. Charriaud, A. G. Ilahude, N. Metzl, R. Molcard, J. C. Swallow. 1996. Hydrological and chlorofluoromethane measurements of the Indonesian throughflow entering the Indian Ocean. J. Geophys. Res. 101 (C5): 12433-12454. Gordon, A. L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their Throughflow. Oceanography 18: 14-27. Gordon, A. L., R. D. Soesanto. 2003. Throughflow within Makassar Strait, Geophys. Res. Lett. (26): 3325-3328. Gordon A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, B. A. Huber, W. Pranowo, S. Wirasantosa. 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophys. Res. Lett. (35): 1-5. Lebedev, K., M. L. Yaremchuk. 2000. A diagnostic study of the Indonesian Throughflow. J. Geophs. Res. (105): 11243 – 11258. Mayer, B. and P. E. Damm. 2012. The Makassar Strait throughflow and its jet. J. Geophys. Res.(117), C07020. Potemra, J. T., J. Sprintall, S. L. Hautala, W. Pandoe. 2003. Observed estimates of convergence in the Savu Sea, Indonesia. J. Geophs. Res. 108 (C1), 3001, doi:10.1029/2002JC001507. Sprintall, J., J. Chong, F. Syamsudin, W. Morawitz, S. Hautala, N. Bray, S. Wijffels. 1999. Dynamics of the South Java Current in the Indo-Australian basin. Geophys. Res. Lett. 26 (16): 2493-2496. Sprintall, J., S. E. Wijffels, R. Molcard, I. Jaya. 2009. Direct estimates of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004–2006. J. Geophys. Res. (114), C07001. Susanto, R. D., A. Ffield, A. L. Gordon, T. R. Adi. 2012. Variability of Indonesian throughflow within Makassar Strait, 2004–2009.J. Geophys. Res. (117), C09013. Van Aken, H. M., I. S. Brodjonegoro, I. Jaya. 2009. The deep-water motion through the Lifamatola Passage and its contribution to the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Res. (56):1203-1216. Wyrtki, K. 1961. Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. Naga Report Volume 2.
118