TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011
ADI PURWANDANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 2 Nopember 2012
Adi Purwandana NRP. C551100041
iv
v
ABSTRACT
ADI PURWANDANA. Transformation and Mixing of Water Masses in Alor Strait in July 2011. Under direction of MULIA PURBA and AGUS SALEH ATMADIPOERA. Alor Strait is the deepest channel in Alor islands after Ombai Strait. Contribution of the strait as one of the secondary exit passages of Indonesian Throughflow (ITF) has not been studied yet. The strait separates Flores Sea and Sawu Sea, and is featured by the existence of high sill within the strait, suggested that turbulence due to interaction between strait flow and bottom topography could drive mixing and then modify the water mass properties. The purpose of this study is to investigate transformation of ITF water mass and turbulent mixing process with Thorpe scale and Richardson number (Ri) profiles. A hydrographic survey has been carried out in July 2011, in which 15 CTD casts were lowered in the strait, together with hull-mounted 75 kHz ADCP and 12 kHz EA500 single beam echosounder. The results show that Alor sill depth is about 300 meters in the main gate. Snapshot estimate of along strait transport volume is 1,07 Sv (1 Sv = 106 m3s-1), feeding Sawu Sea with North Pacific water origin e.g. NPSW in which maximum salinity of NPSW is significantly reduced due to strong mixing, perhaps driven by bottom topography and strait flow which creates turbulence. Percentage of NPSW’s maximum salinity traced in the central part of the strait is 32.1 % but it varies from 2,9 to 21,0% in southern part of Alor Strait (i.e. Sawu Sea). NISW (Northern Indian Subtropical Water) with maximum salinity layer at σθ = 23,5-24,5 is dominant in the southern part of Alor Strait (i.e. Sawu Sea). The existence of NIIW (North Indian Intermediate Water) is also found in the deeper layer of Sawu Sea. The average value of vertical eddy diffussivity (Kρ) estimate in the thermocline layer and deep layer in northern part and central part of strait channel is within the order of 10-3 m2 s-1. Lower order of Kρ in the thermocline layer and deep layer were found in southern part of the Strait (Sawu Sea), ranging from 10-6 to 10-4 m2 s-1. These indicates that the existence of sills in the northern part and central part of Alor Strait could drive mixing significantly. Keywords: Alor Strait, Indonesian Throughflow water mass, Thorpe scale analysis, TS diagram, turbulent mixing.
vi
vii
RINGKASAN
ADI PURWANDANA. Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan AGUS SALEH ATMADIPOERA. Selat Alor merupakan kanal terdalam kedua di kepulauan Alor setelah Selat Ombai. Kontribusi selat ini sebagai salah satu jalur keluar sekunder arus lintas Indonesia (ARLINDO) belum banyak mendapatkan perhatian. Keberadaan ambang (sill) dalam selat ini dan interaksinya dengan aliran diduga dapat memicu percampuran massa air, yang kemudian dapat memodifikasi massa air yang melalui selat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji transformasi dan percampuran massa air di selat berdasarkan estimasi kuantitatif parameter percampuran. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 22-28 Juli 2011 sebagai bagian dari Program Riset Bersama antara Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lokasi pengambilan data dilakukan di Selat Alor menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Data kedalaman perairan diukur dengan Echosounder EA500 berfrekuensi 12 kHz; data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh dengan menggunakan CTD (Conductivity-Temperature-Depth) Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus; data arus diukur dengan Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP) 75 kHz. Pengolahan data CTD dilakukan dengan prosedur standar menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Dari data CTD dilakukan analisis skala Thorpe (LT), skala Ozmidov (LO), frekuensi Brunt Vaisälä (N), disipasi energi kinetik turbulen (ε), diikuti dengan estimasi nilai difusivitas eddy vertikal (Kρ). Analisis transformasi massa air dilakukan dengan metode lapisan inti (core layer method). Pengolahan data SADCP dilakukan dengan menghilangkan komponen arus pasut dari arus total secara spasial dan temporal menggunakan perangkat lunak CODAS (Common Oceanographic Data Access System). Data arus nonpasut di setiap stasiun selanjutnya digunakan untuk menghitung shear (S2), dan dipadukan dengan data N2 yang dihitung dari data CTD untuk mendapatkan profil bilangan Richardson (Ri) hingga kedalaman sekitar 200 meter. Selat Alor memiliki garis kedalaman yang menghubungkan Laut Flores dengan Laut Sawu sekitar 300 meter pada kanal antara Pulau Lembata dan Pulau Rusa, dengan lebar celah sekitar 9195 meter, sedangkan pada kanal antara Pulau Rusa dengan Pulau Kambing memiliki garis kedalaman penghubung sekitar 200 meter, dengan lebar celah sekitar 5303 meter. Keberadaan ambang dijumpai pada bagian mulut selat, baik di sisi utara maupun selatan. Pada mulut selat bagian utara, ambang memiliki kedalaman sekitar 365 meter (bagian barat), dan sekitar 525 meter (bagian timur). Pada mulut selat bagian selatan, ambang memiliki kedalaman sekitar 270 meter (bagian barat), dan sekitar 221 meter (bagian timur).
viii Profil vertikal arus menunjukkan bahwa aliran arus dominan masuk ke dalam selat, dengan nilai transpor sesaat di atas kedalaman 200 meter sebesar 1,07 Sv (1 Sv = 106 m3s-1) menuju Laut Sawu, dengan intensifikasi aliran pada lapisan atas. Analisis terhadap profil gradien arus secara vertikal (shear) menunjukkan peningkatan nilai seiring memasuki bagian dalam selat. Perairan Selat Alor memiliki shear dengan orde 10-4 s-2. Diagram TS (Temperature-Salinity) menunjukkan bahwa massa air di perairan Selat Alor bagian utara adalah massa air perairan lokal pada bagian permukaan dan Massa Air Subtropis Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water, NPSW) pada kedalaman 23-138 dbar. Tidak terlihatnya massa air salinitas minimum Massa Air Pertengahan Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water, NPIW) pada lapisan bawah termoklin dalam penelitian ini diduga karena pengaruh percampuran dengan massa air salinitas tinggi yang berasal dari Pasifik Selatan pada σθ = 26-27 di Laut Flores bagian timur. Pada perairan sebelah selatan Selat Alor, teridentifikasi Massa Air Subtropis Hindia Utara (North Indian Subtropical Water, NISW) di kedalaman 103-181 dbar dengan salinitas maksimum (Smax) berada pada isopiknal sekitar σθ = 24,5-25,8; dan massa air NIIW (North Indian Intermediate Water) dengan inti Smax 34,704 psu; σθ = 26,990 kg m-3 di kedalaman 532 dbar. Modifikasi massa air NPSW dari Laut Flores menuju Laut Sawu diperoleh kontribusi massa air lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan massa air lapisan bawah dalam mengubah karakteristik massa air NPSW. Kondisi ini berkaitan dengan relatif besar dan kontinyunya pasokan massa air yang keluar selat pada lapisan atas. Jejak Smax NPSW di bagian dalam selat tereduksi hingga tersisa 31,2 %; menurun di bagian selatan selat, dan terkonsentrasi hanya pada alur selat. Kuantitas Smax NPSW menunjukkan adanya fluktuasi serta bersesuaian dengan kondisi turbulensi dalam kolom air yang direpresentasikan oleh profil Ri. Nilai disipasi energi kinetik turbulen yang mengindikasikan dilepaskannya sejumlah energi kinetik turbulen untuk memodifikasi struktur massa air yang terjadi dalam proses percampuran menunjukkan bahwa di bagian utara dan tengah Selat Alor pada lapisan termoklin memiliki orde 10-6 W kg-1, sedangkan pada lapisan dalam bervariasi antara 10-8 hingga 10-6 W kg-1. Nilai-nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan di bagian selatan selat, di mana pada lapisan termoklin bervariasi antara 10-9 hingga 10-7 W kg-1, sedangkan pada lapisan dalam bervariasi antara 10-10 hingga 10-7 W kg-1. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengaruh topografi dasar perairan diduga berperan dalam meningkatkan nilai percampuran, di mana lebih tingginya nilai ε pada alur kanal Selat Alor ini berkaitan dengan interaksi aliran dengan mendangkalnya topografi dasar. Lebih tingginya nilai ε dalam alur selat dibandingkan di luar alur juga menyiratkan bahwa shear memainkan peranan penting dalam mengendalikan turbulensi. Nilai difusivitas eddy vertikal (Kρ) di bagian utara dan tengah Selat Alor pada lapisan termoklin memiliki rata-rata orde 10-3 m2 s-1. Kisaran orde inilah yang diduga berkontribusi pada reduksi massa air NPSW seiring memasuki perairan Selat Alor.
ix
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau mencantumkan atau menyebut sumber.
seluruh karya
tulisan ini tanpa
(a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. (b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
x
xi
TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011
ADI PURWANDANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yuli Naulita, M.Si.
xiii
LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011 : Adi Purwandana : C551100041 : Ilmu Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 2 Nopember 2012
Tanggal Lulus:
xiv
xv
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya dapat terselesaikan penelitian yang dilanjutkan dengan penyusunan dan penulisan tesis dengan judul “Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011”. Tulisan ini disusun dalam rangka penyelesaian tugas akhir pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini fokus mengkaji aliran massa air di Selat Alor beserta estimasi percampuran turbulen sebagai parameter untuk mengkaji besarnya transformasi massa air Arlindo. Penulis berharap, dengan keterbatasan kajian dalam penelitian ini dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut, mengingat perairan Selat Alor merupakan bagian dari Taman Konservasi Laut Sawu.
Bogor, 2 Nopember 2012
Adi Purwandana
xvi
xvii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah mendukung terselesaikannya tesis ini: 1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing sekaligus guru yang membimbing penulis, serta mengajarkan pola pikir dan filosofi ilmiah dalam memahami oseanografi fisika. 2. Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS. selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberikan ide dan pengarahan dalam upaya penyelesaian penulisan tesis ini. 3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan motivasi dan masukan dalam penulisan tesis ini. 4. Dr. Ir. Yuli Naulita, M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian akhir yang telah mengarahkan dan memberi masukan pada hasil penelitian. 5. Dr. Zainal Arifin, M.Sc. selaku Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI yang senantiasa mendorong penulis untuk belajar dan melanjutkan studi. 6. Kedua Orang Tua (Ibunda Siti Suwardani dan Ayahanda Purnomo), keluarga tercinta (Umm Titik Setyorini, Ananda Fayz dan Fayza), Adik Wawan dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan, do’a, dan motivasi kepada penulis. 7. Rekan-rekan Laboratorium Oseanografi Fisika P2O LIPI (Pak Edi Kusmanto, Pak Muhadjirin, Pak Djatmiko, Ibu Nur, Teh Dewi, dan Kang Furqon) atas dukungannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini 8. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2010 IPB (Abdul, Eva, Rezi, Yasser, dan Princy) atas kerjasamanya selama menempuh belajar bersama. 9. Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) yang telah memberikan biaya pendidikan melalui Program Karyasiswa 2010.
xviii
xix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 30 April 1982 di Surabaya sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Purnomo dan Siti Suwardani. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SDN Kedawung I Kabupaten Sragen lulus tahun 1994, selanjutnya melanjutkan sekolah ke SMPN Mondokan Kabupaten Sragen, lulus tahun 1997. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan tahun 2000 di SMAN 1 Sragen. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi melalui jalur PMDK pada tahun 2000 di Program Studi Fisika Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES). Penulis memutuskan berpindah studi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melalui jalur UMPTN pada tahun 2001 pada Jurusan Fisika Fakultas MIPA, dan menyelesaikan studi tahun 2005 dengan lama studi 8 semester. Penulis diterima sebagai staf pengajar SMP Muhammadiyah 12 Gresik pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 diterima sebagai staf peneliti pada Kelompok Penelitian Oseanografi Fisika, pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penulis melanjutkan studi Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Kelautan pada tahun 2010 setelah lulus seleksi pada Program Karyasiswa Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT). Dalam penyelesaian studi Magister Sains, penulis menyusun tesis yang berjudul “Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 2011”. Sejak menjadi staf peneliti di P2O LIPI, penulis telah terlibat dalam berbagai kegiatan ekspedisi penelitian, di antaranya adalah Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) di perairan Raja Ampat (tahun 2007 dan 2008), EWIN 2009 di perairan Sangihe, Program Riset Bersama LIPI-DIKTI tahun 2010 dan 2011 berturut-turut di perairan Matasiri dan perairan Lamalera.
xx
xxi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………........ xxiii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….......
xxv
DAFTAR LAMPIRAN ……...................................................................
xxix
1. PENDAHULUAN …………………………………………………… 1.1. Latar Belakang ………………………………………………...… 1.2. Kerangka Pemikiran …………………………………………...… 1.3. Tujuan ……………..……………………………………...………
1 1 3 5
2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………..… 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air …………............................... 2.2 Turbulensi ……………………………………………………........ 2.2.1 Skala Thorpe, LT …………….…………………….…….….. 2.2.2 Skala Ozmidov, LO .................................................................. 2.3 Percampuran Massa Air ………………………………………..… 2.4 Peran Konfigurasi Topografi Dasar pada Percampuran Massa Air 2.5 Peran Gelombang Internal dan Pasut Internal pada Percampuran Massa Air ........................................................................................ 2.6 Percampuran Massa Air Arus Lintas Indonesia …………………..
7 7 9 10 11 12 13
3. METODOLOGI …………………………………………...………..... 3.1. Lokasi Penelitian ………………………………............................. 3.2. Metode Akuisisi Data ……………………….………..…………... 3.2.1 Kedalaman Perairan …………..…….…………………….. 3.2.2 Arus ………………………………….……....……………. 3.2.3 CTD (Conductivity-Temperature-Depth) ….…………….... 3.3 Metode Analisis Data …..…………………….…………………… 3.3.1 Topografi Dasar Perairan …..……….……………….……. 3.3.2 Estimasi Transpor Massa Air ………….….…….……...…… 3.3.3 Penentuan Lapisan Massa Air ………….……………...……. 3.3.4 Karakteristik Massa Air ………………………………...…… 3.3.5 Percampuran Massa Air ………………………………..……
17 17 19 19 19 20 22 22 25 28 28 30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..……………………………... 4.1 Topografi Dasar Perairan ....………………….……………….…… 4.2 Arus ...........………………………………….……………………... 4.3 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas ………...…… 4.4 Karakteristik Massa Air ....…........................................................… 4.4.1 Tipe Massa Air ………………..………………………. 4.4.2 Transformasi Massa Air dari Laut Flores Menuju Laut Sawu
35 35 36 42 45 45 47
14 14
xxii 4.5 Stabilitas Kolom Air ………..................................................……... 4.5.1 Frekuensi Brunt Väisälä (N) ……..…..……………………… 4.5.2 Gradien Richardson (Ri) ………………..…………………… 4.6 Estimasi Skala Thorpe ………....................................……...……... 4.7 Disipasi Energi Kinetik Turbulen ..................................................... 4.8 Estimasi Difusivitas Vertikal Eddy ……………...….……………...
53 53 63 72 81 86
5. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..... 93 5.1 Kesimpulan ....………………………………..................…….…… 93 5.2 Saran ....……….....………………………………………..……….. 93 DAFTAR PUSTAKA ……………………......……………………...…...
95
LAMPIRAN …………………………………..................……………... 101
xxiii
DAFTAR TABEL Halaman 3.1 4.1 4.2 4.3
4.4
Posisi geografis, waktu, kedalaman penurunan CTD, dan kedalaman perairan …………………………………………………………...…. Tipe dan karakter massa air perairan Selat Alor dan sekitarnya ......... Karakter massa air salinitas maksimum NPSW dan persentase relatifnya terhadap stasiun 1 ................................................................ Nilai rata-rata disipasi energi kinetik turbulen eddy pada lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun .................................................................................................. Nilai rata-rata difusivitas eddy vertikal pada lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun ..................................................................................................
19 47 52
81
87
xxiv
xxv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.1 3.1
3.2 3.3 3.4
3.5
4.1
4.2
4.3 4.4
4.5
4.6 4.7
4.8
Kerangka pemikiran ............................................................................ Lokasi Pelayaran Riset Bersama LIPI-DIKTI dengan titik-titik lokasi penurunan CTD (lingkaran merah) dan lintasan pengukuran ADCP serta EA500 (garis biru) pada bulan Juli 2011. Stasiunstasiun CTD bernomor 1-15 adalah data-data CTD yang dianalisis dalam penelitian ini ............................................................................. Diagram alir analisis data .................................................................... Titik-titik node grid dan hasil kontur level kedalaman dengan interval 200 meter. Keberadaan pulau tidak ditampilkan .................. (a) Transek perhitungan transpor sesaat, dan (b) Grid sel yang dihitung untuk mengestimasi transpor (arsiran gelap) berdasarkan jangkauan pengukuran arus oleh SADCP. Segitiga merah adalah data arus yang tersedia dalam transek ................................................. Contoh sketsa penggunaan metode lapisan inti untuk menghitung persentase massa air Smax NPSW (II) di stasiun 1 (merah) menjadi n di Stasiun 4 (biru), serta kontribusi massa air I dan III dalam membentuk massa air n. Notasi a dan b, c dan d, serta e dan f adalah jarak proporsional massa air I, II, dan III terhadap massa air satu dengan lainnya ..................................................................................... Topografi dasar perairan Selat Alor yang menghubungkan Laut Flores pada sisi utara dengan Laut Sawu pada sisi selatan. Panah dua arah (A dan B) berturut-turut menunjukkan mulut selatan selat dengan garis kedalaman penghubung 300 meter dan 200 meter ……………………..…………………….……………………. Penampang melintang topografi Selat Alor. Tanda panah menunjukkan keberadaan ambang, A dan B pada mulut utara selat; B dan C pada mulut selatan selat ….……………….……………….. Pola arus pada lapisan: (a) <50 meter, (b) 50-100 meter, (c) 100-150 meter, dan (d) >150 meter ................................................................... Profil menegak transpor per 5 meter kedalaman, dan (b) Transek pengukuran arus yang digunakan dalam perhitungan transpor (garis merah) .................................................................................................. (a) Profil menegak shear arus di Selat Alor. Garis kontur hitam tebal adalah nilai S2= 5 x 10-4 dan (b) Rata-rata nilai S2 per stasiun. Stasiun-stasiun dinyatakan dengan gradasi warna .............................. Profil menegak temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (σθ) (c) di perairan Selat Alor dan sekitarnya ………………………………….. Identifikasi tipe massa air di perairan Selat Alor dan sekitarnya dari seluruh stasiun. Massa air bersalinitas maksimum yang mencirikan NPSW teridentifikasi di di sebelah utara selat, sedangkan massa air NISW dan NIIW teridentifikasi di sebelah selatan selat ..................... Profil diagram T-S pada stasiun-stasiun di mana masih dapat
5
18 23 24
27
28
35
36 38
40
41 43
46
xxvi
4.9
4.10
4.11
4.12
4.13
4.14
4.15
4.16
4.17
diidentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW beserta kedalamannya ...................................................................................... Sketsa transformasi massa air salinitas maksimum NPSW (II) dari stasiun 1 (merah) yang digunakan untuk menghitung porsi massa air I, II, dan III di titik pertemuan ketiga garis. Nilai a dan b, c dan d, serta e dan f berturut-turut adalah jarak proporsional massa air I, II, dan III terhadap massa air satu dengan lainnya ................................... Persentase massa air lapisan atas (I), NPSW (II), dan lapisan bawah (III) pada masing-masing stasiun yang dihitung dengan metode lapisan inti (core layer) (Mamayev, 1975). Stasiun 1 merupakan stasiun referensi atau asal massa air, di mana inti salinitas maksimum massa air II (NPSW) ditetapkan 100% ............................. Profil menegak frekuensi Brunt Väisälä (N2, s-2) yang ditumpangtindihkan dengan profil temperatur (biru) dan densitas (σθ, hijau) dari keseluruhan stasiun penelitian …....................................... Profil menegak frekuensi apung, hanya menampilkan N2<0: (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4; (b) Stasiun 5, 9, dan 14; (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13; (d) Stasiun 7, 11, dan 12 ......................................................... Profil menegak gradien Richardson (Ri) (merah) yang ditumpangtindihkan pada profil menegak salinitas (biru) yang hanya ditampilkan hingga kedalaman dalam jangkauan profil Ri. Tanda panah biru menunjukkan kedalaman di mana jejak NPSW yang dideduksi dari profil TS Gambar 4.7 masih teridentifikasi ................. Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di stasiun 14 (merah muda) dan 13 (merah hati) pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a, b, dan c adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan) …………………………………………..……………….. Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air dari stasiun 13 (merah hati) menuju stasiun 11 (hijau kebiruan), serta dari stasiun 12 (abu-abu kebiruan) menuju stasiun 11 pada lapisan permukaan hingga kedalaman 120 meter pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a, b, dan c adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan) ............................................................................................ Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di stasiun 11 (hijau kebiruan) dan 7 (hitam) pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a dan b adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan) ............................................................................................ Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di stasiun 10 (hijau) dan 14 (merah muda) pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a dan b adalah
48
50
53
55
59
64
67
68
69
xxvii
4.18
4.19
4.20 4.21
4.22 4.23
rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan) ................................................................................................. Profil TS di stasiun-stasiun yang berada pada alur keluaran Selat Alor, memperlihatkan adanya transformasi massa air pada σθ = 2426. Pada profil stasiun 9 (cokelat) di mana masih teridentifikasi keberadaan NISW, tampak kesesuaiannya dengan struktur Ri >0,25 (a). Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan) …………................................................................................. Perbandingan densitas hasil pengukuran (measured, biru) dengan setelah disusun ulang (reordered, merah) di Stasiun 1 (atas) dan Stasiun 3 (bawah) yang memperlihatkan adanya ketidakstabilan secara gravitasi. Gambar pada sisi kanan adalah perbesaran gambar pada sisi kiri pada area kotak. Tanda panah mengindikasikan arah pergeseran atau relokasi parsel massa air yang berada dalam kondisi tidak stabil menuju posisi stabil .......................................................... Profil perpindahan Thorpe, d: (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4; (b) Stasiun 5, 9, dan 14; (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13; (d) Stasiun 7, 11, dan 12 .... Profil disipasi energi kinetik turbulen eddy (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4; (b) Stasiun 5, 9, dan 14; (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13; (d) Stasiun 7, 11, dan 12 ............................................................................................ Profil difusivitas eddy vertikal (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4; (b) Stasiun 5, 9, dan 14; (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13; (d) Stasiun 7, 11, dan 12 … Profil difusivitas eddy vertikal pada stasiun 1, 3, 4, dan 5 yang ditumpangtindihkan pada profil shear arus di Selat Alor …………...
70
71
73 75
82 88 92
xxviii
xxix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4
5 6
Profil vertikal temperatur di setiap stasiun .......................................... Profil vertikal salinitas di setiap stasiun .............................................. Profil vertikal densitas (σθ) di setiap stasiun ....................................... Nilai jarak proporsional antarkoordinat (a, b, c, d, e, dan f) pada jejak salinitas maksimum NPSW terhadap Stasiun 1 di stasiunstasiun yang masih teridentifikasi adanya salinitas maksimum NPSW ……………………………………………………………….. Kisaran nilai frekuensi Brunt Vaisälä untuk keseluruhan stasiun ....... Perbandingan antara profil perpindahan, d sebelum dan sesudah diberlakukan resolusi inversi metode GK (diarsir) ………………….
105 109 113
117 118 120
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim panas di wilayah Australia (Wyrtki, 1961). Kondisi sistem angin demikian telah dikenal mempengaruhi kuantitas transpor massa air bagian atas dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia atau yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Arlindo), yang mencapai puncaknya selama Musim Timur, yakni ketika berhembus Angin Muson Tenggara; dan terendah pada Musim Barat Laut ketika berhembus Angin Muson Barat Laut. Arlindo memiliki peran penting dalam sirkulasi massa air dunia karena merupakan bagian ‘sabuk’ penghubung utama aliran massa air (great conveyor belt) dari Samudera Pasifik kembali ke tempat asalnya di Samudera Atlantik Utara. Godfrey (1996) dan Hautala et al. (1996) menyatakan bahwa Arlindo mempengaruhi banyak fenomena penting, seperti pemanasan aliran keluar Agulhas, kekuatan sistem angin Leeuwin, Arus Australia Timur, serta air hangat di area upwelling Indonesia. Arlindo membawa massa air Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui dua jalur, yaitu melalui jalur barat, masuk melalui Laut Sulawesi diteruskan ke Selat Makassar, Laut Flores, dan Laut Banda. Jalur ini dikenal merupakan jalur transpor utama Arlindo (Ilahude dan Gordon, 1996). Jalur kedua adalah jalur timur, melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera diteruskan ke Laut Banda. Dari perairan dalam lautan Indonesia, massa air akan keluar menuju Samudera Hindia melalui selat-selat utama, seperti Selat Lombok dan selat antara Alor dan Timor (Murray dan Arief, 1988; Fieux et al., 1996). Jalur barat merupakan jalur utama yang membawa sekitar 11,6 + 3,3 Sv (1 Sv = 106 m3 s-1) massa air lapisan termoklin Subtropis Samudera Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water, NPSW) dan lapisan Pertengahan Samudera Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water, NPIW) (Ffield dan Gordon, 1992;
2 Gordon, 2005; Gordon et al., 2008). Sebagian kecil massa air dari jalur barat selanjutnya keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok sekitar 2,6 Sv (Sprintall et al., 2009a); sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Celah Timor. Adapun pada jalur timur, hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al. (2009) di Lifamatola menyebutkan bahwa jalur ini membawa sekitar 2,5 Sv massa air yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW) melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Meskipun demikian, belum dapat diestimasi dengan baik jumlah massa air yang dibawa melalui jalur timur ini karena adanya masukan massa air lain pada jalur timur, yakni melalui Laut Halmahera (Ilahude dan Gordon, 1996; Gordon, 2005). Estimasi langsung dari transpor Arlindo yang melalui Laut Halmahera sedang dilakukan melalui Program INDOMIX (Atmadipoera, pers. comm., 2012). Massa air dari jalur barat dan jalur timur selanjutnya bergabung di Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebanyak 4,9 Sv dan Celah Timor sebanyak 7,5 Sv (Sprintall et al., 2009a). Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Arlindo mengalami perubahan karakter di sepanjang perjalanannya di perairan dalam (interior seas) Indonesia. Hasil pengukuran salinitas massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran masuk dan keluar, yakni salinitas massa air NPSW dari 34,90 PSU menjadi 34,54 PSU; dan massa air NPIW dari 34,35 PSU menjadi 34,47 PSU. Perubahan salinitas ini mengindikasikan adanya proses percampuran vertikal yang sangat kuat di perairan Indonesia (Ffield Gordon, 1996; Hautala et al., 1996; Hatayama, 2004; Robertson dan Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007; Atmadipoera et al., 2009). Proses percampuran vertikal dapat disebabkan oleh topografi yang kasar seperti sill (ambang), selat, dan aktivitas gelombang internal. Selat Alor yang merupakan selat terdalam kedua setelah Selat Ombai dan belum cukup dipertimbangkan sebagai jalur Arlindo. Satu-satunya kajian hingga penelitian ini dilakukan adalah estimasi transpor berbasis model yang dilakukan
3 oleh Lebedev dan Yaremchuk (2000), di mana Selat Alor atau yang juga dikenal dengan Selat Lomblen memberikan kontribusi transpor massa air dari Laut Banda sebesar 2,0±0,4 Sv pada Musim Timur. Merujuk pada kajian Potemra et al. (2003) di mana tinggi permukaan Laut Sawu berdasarkan data Topex Poseidon mencapai minimum pada bulan Agustus (Musim Timur), maka perhitungan estimasi transpor tersebut diduga merupakan transpor maksimum di Selat Alor. Belum terdapat data observasi yang mengkonfirmasi atas estimasi model ini. Menghubungkan dua lautan, yakni Laut Flores yang membawa massa air dari Samudera Pasifik yang telah melalui Selat Makassar, dan Laut Sawu yang membawa massa air dari Samudera Hindia; Selat Alor dimungkinkan menjadi area transisi atau transformasi dari kedua massa air tersebut. Dengan konfigurasi topografi lokal dan ambang pada bagian tengah selat, fenomena turbulensi aliran diduga dapat memicu terjadinya percampuran massa air yang mengakibatkan transformasi massa air. Hingga saat ini, masih belum terdapat data dan kajian observasi yang mengkonfirmasi terjadinya transformasi dan kuantifikasi percampuran massa air di perairan Selat Alor. Kajian percampuran massa air merupakan topik penting dalam berbagai isu, mulai dari iklim regional yang berkaitan dengan transfer bahang dan massa air tawar ke lapisan termoklin, yang pada gilirannya mempengaruhi kesetimbangan radiatif-konvektif di atmosfer (Ffield dan Gordon, 1992). Kajian percampuran massa air juga penting untuk mendapatkan nilai fluks nutrien serta hubungan tidak langsung antara fluks nutrien dengan pertumbuhan fitoplankton (Cullen et al., 1983). 1.2 Kerangka Pemikiran Kajian berbasis observasi yang menginvestigasi net aliran di Selat Alor belum pernah dilakukan sebelum penelitian ini. Satu-satunya kajian adalah berbasis model yang dilakukan oleh Lebedev dan Yaremchuk (2000), di mana selat ini cukup signifikan sebagai celah Arlindo, khususnya pada Musim Timur. Massa air Samudera Pasifik yang masuk ke perairan Indonesia sebagai Arlindo mengalami perubahan karakter akibat kuatnya percampuran selama perjalanannya.
4 Beberapa hasil kajian menyebutkan orde percampuran vertikal di perairan Indonesia memiliki O(10-4) (Ffield dan Gordon, 1992 dan Koch-Larrouy et al., 2007); O(10-3) (Hatayama, 2004 dan Berger et al., 1988); dan O(10-2) (Suteja, 2011). Sebagai salah satu selat keluaran (outflow straits) sekunder, Selat Alor diduga dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari lintasan Arlindo. Belum terdapat perhitungan intensitas percampuran turbulen yang diduga mampu memodifikasi karakter massa air NPSW yang masuk melalui selat ini. Secara kuantitatif, dalam penelitian ini digunakan pendekatan analisis skala Thorpe untuk mengestimasi nilai percampuran turbulen berdasarkan profil vertikal massa air yang diperoleh dari data CTD (Conductivity-Temperature-Depth). Konfirmasi kesesuaian modifikasi karakteristik massa air dengan potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran dikaji secara kualitatif berdasarkan profil bilangan Richardson, dengan memanfaatkan data ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler).. Pengambilan data CTD dan ADCP di Selat Alor dilakukan dalam Program Riset Bersama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2011. Data penunjang berupa kedalaman perairan juga diambil menggunakan single-beam echosounder EA500 guna memetakan bathimetri dasar perairan. Secara sistematik, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1. Berdasarkan hal di atas, maka yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana pola aliran di Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur) b. Bagaimana karakteristik massa air di Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur) c. Berapa kuantitas transformasi massa air yang memasuki Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur)
5 d. Berapa nilai percampuran turbulen (vertical eddy diffusivity) di Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur).
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran. 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi karakteristik massa air di perairan perairan Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur) b. Mengkuantifikasi transformasi massa air di perairan Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur) c. Mengestimasi
nilai
percampuran
turbulen
yang
berkontribusi
pada
transformasi massa air di perairan Selat Alor pada bulan Juli (Musim Timur).
6
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas, dan tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983). Secara umum, densitas massa air akan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Dalam kondisi tidak adanya gangguan, massa air yang memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas tinggi. Adanya gangguan akan berpotensi mendistorsi profil tersebut yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur secara vertikal, di mana massa air dengan densitas tinggi berada di atas massa air berdensitas rendah. Parsel massa air dengan ketidakstabilan ini selanjutnya akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990). Fluida dikatakan tidak stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya. Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard, 1983). Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas (E) (Stewart, 2002): E≈−
1 ∂ρ ………....................….……. (2.1) ρ ∂z
di mana ρ adalah densitas (kg m-3) dan z adalah kedalaman (m). Fluida dikatakan stabil jika E>0, netral jika E= 0 dan tidak stabil jika E<0. Jika perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan perairan akan semakin stabil. Stabilitas kolom air juga dipengaruhi oleh kondisi stratifikasi (pelapisan) perairan yang dapat memodifikasi dinamika turbulensi. Turbulensi akan tertekan
8 pada kondisi stratifikasi yang kuat, sehingga dibutuhkan energi turbulen yang lebih besar untuk melawan besarnya gradien vertikal dari densitas (Fer et al., 2004). Dalam sudut pandang mendasar, transisi menuju turbulen dalam suatu aliran yang terstratifikasi merupakan kajian yang penting untuk memahami percampuran dan proses dinamik. Dinamika percampuran pada lapisan terstratifikasi stabil dikendalikan oleh kompetisi antara shear arus vertikal sebagai basis dari aliran dengan gaya apung, kaitannya dengan stratifikasi densitas (Martinez et al., 2006). Efek apung berperan mereduksi laju pertumbuhan perturbasi/gangguan dan menunda transisi ke arah turbulen, sedangkan shear berperan memasok energi kinetik. Lapisan percampuran pada aliran terstratifikasi terbentuk pada bidang batas (interface) dua aliran horizontal fluida yang sejajar namun dengan kecepatan dan densitas berbeda. Seiring meningkatnya stratifikasi, medan kecepatan akan cenderung mengarah lebih horizontal. Meskipun demikian, adanya disipasi gesekan dengan lapisan-lapisan horizontal di sebelahnya, proses ini akan menguras energi komponen turbulensi terstratifikasi (Riley dan Lelong, 2000). Karakteristik stratifikasi massa air dan kemungkinan terjadinya turbulensi, secara kuantitatif dapat diestimasi dari bilangan gradien Richardson (Ri). Gradien Ri diungkapkan sebagai (Kitade et al., 2003; Yoshida dan Oakey, 1996):
Ri =
N2 ………………………..……… (2.2) S2
di mana N dan S berturut-turut adalah frekuensi buoyancy, dan arus shear. Nilai frekuensi buoyancy atau yang juga dikenal sebagai frekuensi Brunt Väisälä dan shear berturut-turut ditentukan melalui hubungan: N2 = −
g ∂ρ …………………………… (2.3) ρ 0 ∂z 2
2
∂u ∂v S 2 = + ………………..………. (2.4) ∂z ∂z
dengan g dan ρ adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s-2) dan densitas (kg m-3), sedangkan ρ0 merupakan densitas latar (background) perairan. Adapun u dan v berturut-turut adalah komponen zonal dan meridional dari arus (m s-1).
9 Gradien Richardson (Ri) mengekspresikan besaran relatif gaya-gaya yang menstabilkan stratifikasi densitas terhadap pengaruh-pengaruh yang mengganggu kestabilan shear arus (Delpeche et al., 2010). Representasi nilai gradien Richardson merupakan indikator turbulensi dalam perairan, di mana nilai Ri yang tinggi menunjukkan terjaganya turbulensi, sebaliknya nilai Ri yang rendah menunjukkan ketertekanan atau kecilnya turbulensi (Pond dan Pickard, 1983), di samping juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara kuantitatif percampuran antarmuka (interfacial mixing) (Delpeche et al., 2010). Jika nilai Ri lebih besar dari 0,25 maka kolom air dikategorikan stabil (Pickard dan Emery, 1990). Richardson (1920) menyatakan bahwa nilai kritis di mana percampuran dapat terjadi pada kondisi terstratifikasi adalah 0
waves
(gelombang
internal)
dengan
periode
pendek,
dapat
memungkinkan dihasilkannya nilai Ri di bawah nilai kritis, sehingga peran internal tides (pasut internal) menjadi kurang signifikan atau dapat diabaikan. Nilai Ri hanya mengindikasikan bahwa percampuran antarmuka dapat terjadi dan tidak merefleksikan mekanisme khusus yang melatarbelakanginya (Delpeche et al., 2010). 2.2 Turbulensi Turbulensi merupakan proses fisika dominan dalam transfer momentum dan bahang, serta dispersi partikel zat terlarut, partikel organik dan anorganik; baik di danau, lautan, samudera, maupun fluida yang menyelimuti bumi dan planet lainnya. Turbulensi secara umum dipahami sebagai keadaan gerak yang bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irregular (Thorpe, 2007). Turbulensi di
10 dekat dasar laut mempengaruhi deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik, serta pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran laminar. Secara sederhana, turbulen eddy dalam kondisi massa air yang terstratifikasi harus memiliki kondisi di mana fluida yang berdensitas tinggi berada di atas fluida yang berdensitas rendah, sehingga menghasilkan overturn. Proses ini membutuhkan peningkatan energi potensial, di mana usaha yang dilakukan melawan gaya apung untuk dapat mengangkat atau menurunkan fluida, sehingga energi harus dipasok dan hilang dari eddy. Teori seputar pengadukan turbulen seringkali bergantung pada asumsiasumsi tentang skala panjang/jarak eddy turbulen. Pada mulanya, teori ’panjang percampuran’ secara eksplisit menggunakan ’ukuran’ eddy turbulen sebagai variabel mendasar (Dillon, 1982). 2.2.1 Skala Thorpe, LT Thorpe (1977) mengukur profil temperatur di perairan danau dan memperoleh ketidakstabilan dinamik, yang olehnya diasosiasikan sebagai inversi atau pembalikan (overturn), yang merupakan indikasi adanya percampuran vertikal. Metode yang dirintisnya dimulai dengan melakukan penyusunan ulang (reorder) pada profil densitas yang mengandung inversi menjadi profil baru tanpa inversi, atau profil yang monoton. Fluktuasi perpindahan ini merupakan representasi dari eddy, di mana tajam pada batas atas dan bawah, dengan percampuran yang intensif di dalamnya. Dillon (1982) mengkonfirmasikan bahwa di perairan laut, ketidakstabilan ini berkaitan dengan disipasi turbulen, yang kemudian digunakan untuk memperkirakan koefisien difusivitas (KZ atau Kρ). Dengan demikian, perpindahan Thorpe sangat berguna untuk menggambarkan jangkauan vertikal peristiwa percampuran. Secara teknis, data mentah tekanan dan densitas dirata-ratakan ke dalam segmen tekanan (dbar) tertentu, dan di-reorder sehingga perubahan densitas terjadi secara monoton terhadap kedalaman, menghasilkan profil yang stabil secara dinamik. Jarak di mana setiap segmen bergerak naik atau turun, d,
11 selanjutnya digunakan untuk menghitung skala Thorpe, LT melalui hubungan (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Cisewski et al., 2005; Park et al., 2008): 1 n LT = ∑ d i 2 n i =1
1/ 2
………......................……. (2.5)
di mana di adalah perpindahan Thorpe pada kedalaman i, dan n adalah jumlah sampel rentang kedalaman. Setiap nilai LT diperoleh dari hasil perata-rataan n buah sampel pada kedalaman atau lapisan yang diinginkan. Secara umum, data CTD jarang digunakan untuk mendapatkan skala Thorpe karena adanya efek getaran kawat, goyangan kapal, dan percampuran oleh rangka CTD. Meskipun demikian, nilai-nilai yang diperoleh dapat dinyatakan valid karena beberapa alasan. Tingkat noise di perairan laut lebih kecil dibandingkan dalam skala laboratorium. Kontaminasi dari rangka dan goyangan kapal dapat direduksi dengan menghilangkan bagian-bagian cast yang terdistorsi oleh gerakan balik ke atas (umumnya ketika CTD diturunkan perlahan ke dasar perairan). Jika penurunan CTD dilakukan terlalu cepat, efek yang timbul adalah overturn akan tampak tidak berubah terhadap waktu. Dengan demikian, variasi
kecepatan penurunan CTD dan diskontinuitas data hanya akan memiliki sedikit pengaruh pada hasil yang didapat (Sherwin dan Turrell, 2005). 2.2.2 Skala Ozmidov, LO Skala Thorpe memiliki karakteristik yang hampir sama dengan skala Ozmidov. Pada fluida terstratifikasi, suatu parsel fluida yang bergerak dalam jarak vertikal guna mengubah semua energi kinetiknya menjadi energi potensial, dapat dinyatakan dengan skala Ozmidov (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008): ε LO = 3 N
1/ 2
…….....................….……. (2.6)
di mana ε adalah disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa, dan N adalah frekuensi apung atau frekuensi Brunt Vaisälä.
12 Dillon (1982) menguji hubungan antara skala Thorpe dengan skala Ozmidov, dan menemukan pola: LO = aLT n ……….....................….……. (2.7) dengan koefisien regresi 0,98 untuk n = 0,95. Selanjutnya, dengan melihat bahwa nilai n yang tidak jauh berbeda dengan 1, diperoleh rasio rata-rata konstanta proporsionalitas (Dillon, 1982):
a=
LO = 0 ,8 ………...................….……. (2.8) LT
Ferron et al. (1998) menemukan nilai a = 0,95 (±0,6) di zona patahan Romanche. Adapun kajian terakhir yang dilakukan oleh Stansfield et al. (2001) menemukan LO ≈ 1,06 LT di Selat Juan de Fuca. 2.3 Percampuran Massa Air Percampuran massa air dapat terjadi baik secara isopiknal ataupun secara diapiknal. Percampuran yang mentransfer properti fluida antarpermukaan isopiknal yang berdensitas konstan disebut dengan percampuran diapiknal, sedangkan percampuran
yang mentransfer properti fluida (temperatur dan
salinitas) sejajar permukaan isopiknal (tanpa perubahan densitas) disebut dengan percampuran isopiknal. Kendati demikian, percampuran secara diapiknal pada tahap selanjutnya akan menimbulkan ketidakseimbangan medan tekanan, yang pada akhirnya juga menghasilkan collapse dan penyebaran properti fluida secara isopiknal (Thorpe, 2007). Perairan pesisir atau batas-batas lautan dengan daratan merupakan areaarea utama percampuran massa air (Munk, 1966). Gregg (1987) menyatakan bahwa adanya percampuran difusif berkaitan erat dengan disipasi energi, sehingga merupakan implikasi adanya keseimbangan antara transfer energi dan modifikasi massa air. Pada perairan landas benua, di mana terdapat tebing dasar laut, terbentuknya gelombang internal dapat disebabkan oleh meningkatnya intensitas arus yang menuju tebing (Bruno et al., 2006). Dengan menggunakan nilai konstanta proporsionalitas a, maka nilai koefisien difusivitas dari skala Thorpe
13 dapat diperoleh dari persamaan semi empirik, laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε) (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):
ε = L O 2 N 3 ………....................….……. (2.9) Wunsch dan Ferrari (2004) menyatakan bahwa tidak semua energi kinetik turbulen digunakan secara aktual untuk mencampur massa air. Sebagian besar energi kinetik turbulen ini akan terdisipasi oleh gesekan kekentalan. Hanya sejumlah fraksi γ yang digunakan untuk mencampur secara vertikal densitas fluida, dan menaikkan pusat massa. Dengan demikian, koefisien difusivitas vertikal dihitung sebagai (Park et al., 2008): Kρ =
γε N2
………...................….……. (2.10)
di mana frekuensi buoyancy lokal atau frekensi Brunt Väisälä (N) diturunkan dari profil densitas hasil reorder. Efisiensi percampuran (γ) mengindikasikan efisiensi konversi dari energi kinetik turbulen ke energi potensial sistem, sehingga dapat bervariasi tergantung pada dinamika turbulensi. Fer et al. (2004) menetapkan γ = 0,15 dalam perhitungannya; sedangkan Osborn (1980) menetapkan γ = 0,2. 2.4 Peran Konfigurasi Topografi Perairan dalam Percampuran Massa Air Pemahaman yang baik terhadap dinamika aliran di atas sistem celah kanal merupakan topik penting bagi kajian iklim dan sirkulasi samudera, di mana percampuran di dekat selat dan ambang memungkinkan adanya transformasi massa air. Sayangnya, kajian observasi di area-area kritis ini belum banyak dilakukan dan masih menggunakan model sirkulasi global dengan resolusi yang kasar, serta banyak penyederhanaan. Berdasarkan kajian model yang dilakukan Ezer (2006), topografi ambang berperan vital pada percampuran karena turbulensi aliran dan dinamika arus bawah (downstream). Fenomena ini berkaitan dengan sistem kanal sempit dan asosiasinya dengan gesekan dasar dan shear. Pada akhirnya, terdapatnya fenomena percampuran ini juga memungkinkan adanya pertemuan antarmassa air secara tiba-tiba di lokasi tersebut.
14 2.5 Peran Gelombang Internal dan Pasut Internal dalam Percampuran Massa Air Pergerakan-pergerakan dengan skala mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa kilometer dalam arah vertikal di lautan biasanya dikaitkan dengan gelombang internal dan turbulensi dalam tiga dimensi (Riley dan Lelong, 2000). Gelombang internal memiliki peran yang sangat penting baik dari sisi oseanografi fisik maupun ekosistem laut, melalui mekanisme seperti percampuran massa air dan transfer bahang dan nutrien kepada lapisan-lapisan yang aktif secara biologis. Fenomena ini dapat mengantarkan pada percampuran massa air, khususnya di mana terdapat interaksi antara gelombang ini dengan topografi, sehingga menghasilkan pantulan dan pecahan gelombang, yang berpotensi bagi redistribusi bahang, garam mineral, maupun nutrien-nutrien (Wallace et al., 2008). Interaksi antara gelombang internal dengan dasar perairan dapat memicu terpecahnya gelombang, terbentuknya area dengan shear tinggi yang bersifat lokal dan memicu turbulensi; yang mengarah pada terdisipasinya energi gelombang internal tersebut (Polzin et al., 1997). Sehingga, gelombang internal memainkan peranan penting dalam termodinamika lautan. Gelombang internal akan menjalar secara spasial dan mempertukarkan energi dengan gelombang-gelombang lain melalui interaksi-interaksi gelombang non linier. Proses ini menghasilkan transfer energi dari skala besar ke skala kecil (Winters dan D’Asaro, 1997). Proses-proses serupa juga banyak dijumpai pada perairan landas benua (New, 1988; Rippeth dan Inall, 2002). 2.6 Percampuran Massa Air Arus Lintas Indonesia Massa air Pasifik Barat bagian tengah dan tropis atau yang biasa disebut dengan massa air subtropis bawah (subtropical lower water) dikarakterisasi oleh salinitas maksimum yang dangkal (Wyrtki, 1961). Massa air Pasifik ini masuk ke lautan Indonesia sebagai bagian dari arus lintas Indonesia (Arlindo), di mana salinitas maksimumnya mengalami reduksi, dan bahkan di beberapa lokasi tidak ditemukan (Gordon, 1986). Modifikasi massa air dari Pasifik barat secara kuantitatif merupakan representasi dari percampuran vertikal. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan model adveksi-difusi memverifikasi peran percampuran
15 vertikal ini dan menemukan bahwa lautan Indonesia secara spesifik didominasi oleh massa air Pasifik Barat bagian utara, meskipun pada beberapa lokasi seperti di perairan Halmahera bagian timur, Seram, dan Banda dijumpai pula massa air Pasifik Selatan. Jalur utama Arlindo adalah melalui perairan sebelah barat, yakni Laut Sulawesi, Laut Makassar, dan Laut Flores. Reduksi massa air salinitas maksimum Pasifik Barat berkaitan dengan efektivitas fluks salinitas cross-isopycnal. Berger et al. (1988) mengestimasi Kρ pada slope dan ambang di lautan Indonesia sebesar 5 x 10-3 m2 s-1. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center (NODC) untuk mengestimasi nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m2 s-1. Hatayama (2004) menggunakan pemodelan numerik dan menghasilkan nilai maksimum difusivitas vertikal sebesar 6,0 x 10-3 m2 s-1 di ambang Dewakang. Adapun KochLarrouy et al. (2007) menemukan rata-rata difusivitas vertikal perairan kepulauan Indonesia sebesar 1,5 x 10-4 m2 s-1 menggunakan model pasang-surut. Suteja (2011) mengidentifikasi difusivitas vertikal rata-rata berdasarkan data observasi di Selat Ombai sebesar 7,56 x 10-2 m2 s-1.
16
17
3. METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian lapangan dilakukan di perairan Selat Alor, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22-28 Juli 2011, dan merupakan bagian dari program Pelayaran Riset Bersama LIPI-DIKTI 2011. Program ini merupakan kolaborasi riset antara Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, menggunakan wahana Kapal Riset Baruna Jaya VIII dan diikuti 13 peneliti dari LIPI dan 10 peneliti berbagai perguruan tinggi dari DIKTI. Penelitian bersama ini merupakan penelitian multidisiplin keilmuan. Tujuan umum dari Ekspedisi Lamalera adalah untuk mengetahui kondisi oseanografi perairan ini, pola sebaran dan diversitas biota perairan, serta kultur masyarakat Adonara dan Lamalera. Tujuan spesifik dari ekspedisi ini adalah: a. Mengetahui keberadaan upwelling dengan melakukan pengambilan data stratifikasi massa air. b. Melakukan pemetaan morfologi dasar laut yang merupakan jalur migrasi mamalia laut (cetacean) (Monk et al., 1997). c. Mengetahui kondisi kesuburan perairan berdasarkan data kimia hara, kelimpahan plankton dan keberadaan mikro organisme sebagai indikator kesuburan perairan. d. Mengetahui jenis-jenis cetacean yang bermigrasi. e. Mengetahui kultur masyarakat Lamalera dan Adonara. f. Mengetahui pergerakan massa air di di jalur migrasi cetacean sebagai base line study. g. Melakukan pemetaan struktur/stratifikasi sediment dasar laut di jalur migrasi cetacean.
18 h. Mengetahui keanekaragaman dan sebaran biota di daerah jalur migrasi cetacean . i. Mengetahui keanekaragaman fauna bentik di dasar perairan jalur migrasi cetacean. Pelayaran dilakukan dari tangal 22-28 Juli 2011 di kepulauan Alor dan Laut Sawu. Pengukuran parameter oseanografi fisika dilakukan dengan menggunakan Conductivity Temperature Depth (CTD) dan Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP). Pada pelayaran ini juga dilakukan pengukuran kedalaman menggunakan singlebeam echosounder EA500 serta pengambilan nutrien (nitrat, fosfat, silikat) dan klorofil-a. Lokasi penelitian beserta titik-titik pengukuran parameter terobservasi di Selat Alor diperlihatkan pada Gambar 3.1 Pengukuran parameter-parameter yang dikaji dilakukan menggunakan peralatan yang terdapat pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Posisi, waktu, kedalaman penurunan, dan kedalaman perairan pada setiap stasiun CTD disajikan dalam Tabel 3.1.
Gambar 3.1 Lokasi Pelayaran Riset Bersama LIPI-DIKTI dengan titik-titik lokasi penurunan CTD (titik merah) dan lintasan pengukuran ADCP serta EA500 (garis biru) pada bulan Juli 2011. Stasiun-stasiun CTD bernomor 1-15 adalah data-data CTD yang dianalisis dalam penelitian ini.
19 Tabel 3.1 Posisi geografis, waktu, kedalaman penurunan CTD, dan kedalaman perairan. Stasiun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Posisi Bujur Lintang (oT) (oS) 123,9574 8,1766 124,1797 8,2045 123,9428 8,2892 123,8673 8,3655 123,6418 8,4495 123,7939 8,4529 123,9747 8,4896 123,7939 8,4898 123,6418 8,5242 123,7939 8,5436 123,9747 8,5308 123,9747 8,5868 123,7939 8,6200 123,5720 8,6023 123,4723 8,5523
Hari/Bulan/Tahun
Jam (GMT+7)
23/07/2011 23/07/2011 24/07/2011 24/07/2011 25/07/2011 25/07/2011 25/07/2011 25/07/2011 26/07/2011 26/07/2011 26/07/2011 26/07/2011 26/07/2011 26/07/2011 26/07/2011
18:31 22:48 08:51 18:55 00:16 09:06 19:28 23:30 03:11 06:48 10:30 13:07 16:30 20:47 23:36
Kedalaman (m) CTD
Dasar
652 999 351 300 359 451 851 1002 1000 1001 1001 1001 1001 1000 451
676 1166 455 310 707 496 928 1695 1643 2484 1590 2037 2966 1478 505
3.2 Metode Akuisisi Data 3.2.1 Kedalaman Perairan Kedalaman perairan Selat Alor diukur menggunakan echosounder Simrad EA500 12 kHz. Pengukuran kedalaman perairan dilakukan selama berada di lokasi penelitian, dengan metode transek zig zag sebagaimana pada Gambar 3.1. Data keluaran hasil pengukuran memiliki format ASCII (American Standard Code for Information Interchange) XYZ. Koreksi kedalaman terhadap elevasi pasut dilakukan dengan sinkronisasi waktu rekam data dengan tabel elevasi pasut yang dikeluarkan oleh DISHIDROS TNI AL. 3.2.2 Arus Profil vertikal arus diukur bersamaan dengan lintasan kapal dan pada setiap pengoperasian CTD di setiap stasiun (Gambar 3.1). Akuisisi data arus menggunakan peralatan akustik SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler) berfrekuensi 75 kHz. Alat ini memiliki spesifikasi jarak kedalaman zona blank after transmit 5,76 meter dan bin (resolusi vertikal) 5 meter, sehingga kedalaman pengukuran arus lapisan teratas adalah 10,76 meter. Jangkauan sinyal
20 SADCP hanya mampu mencapai kedalaman sekitar 200 meter dikarenakan adanya kendala teknis. Ekstraksi data arus dilakukan menggunakan perangkat lunak WINADCP untuk mendapatkan data komponen arus zonal (u) dan meridional (v) dalam format ASCII. 3.2.3 CTD (Conductivity-Temperature-Depth) Penurunan CTD di perairan Selat Alor dilakukan di 15 titik (Gambar 3.1). Kuatnya arus pada bagian tengah selat, yakni tepat di mulut selatan selat antara Pulau Rusa dan Pulau Lembata, mengakibatkan gagalnya penurunan CTD di lokasi ini. Penurunan CTD pada stasiun ini kemudian digeser di stasiun 4. Akuisisi data properti massa air dilakukan menggunakan CTD (ConductivityTemperature-Depth) SBE (Sea Bird Electronics) 911 Plus. Akurasi dan resolusi sensor temperatur berturut-turut adalah 0,001oC dan ±0,0002 oC. Akurasi dan resolusi sensor konduktivitas berturut-turut adalah ±0,0003 S m-1 dan ±0,00004 S m-1. Penurunan CTD dilakukan dengan laju akuisisi data 24 Hz, artinya dalam 1 detik dipancarkan 24 pulsa pengambilan data. Data yang didapatkan dari hasil pengukuran CTD harus dilakukan pengolahan data terlebih dahulu sebelum dianalisis. Data yang diolah hanya berasal dari data downcast yaitu pengukuran profil sewaktu CTD diturunkan ke kedalaman (tekanan tertentu). Pengolahan data CTD dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak SBE Data Processing 5.37e. Berikut adalah tahap pengolahan data CTD. a. Conversion Conversion berfungsi untuk mengubah data mentah (format biner) ke data dalam format ASCII dalam bentuk .CNV. Pengkonversian ini bertujuan agar data hasil perekaman CTD dapat diolah menggunakan berbagai perangkat lunak. Variabel yang dikeluarkan dalam proses ini adalah scan count, lintang (derajat), bujur (derajat), tekanan (dbar), temperatur ITS-90 (oC), konduktivitas (S m-1), oksigen SBE 43 (mg l-1), fluorescence (µg l-1), beam attenuation (m-1), dan beam transmission (%).
21 b. Align CTD Align CTD berfungsi mensinkronkan semua parameter yang diukur agar berada dalam waktu, tekanan, dan massa air yang sama. Proses Align hanya dilakukan pada data oksigen sebesar 5 detik terhadap tekanan (McTaggart et al., 2010). Nilai align data oxygen secara umum berkisar 1-5 detik, tergantung dari tekanan CTD. c. Wild edit Wild edit berfungsi memperbaiki data yang memiliki nilai ekstrim setiap 100 scan bin. Proses perbaikan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama dengan cara memperbaiki data yang nilainya lebih besar dari dua kali standar deviasi rata-rata. Tahap kedua dengan cara memperbaiki data hasil fase pertama yang lebih besar dari 20 kali standar deviasi rata-rata. d. Cell thermal mass Cell thermal mass berfungsi sebagai penapis recursive untuk mengoreksi temperatur pada sel konduktivitas saat pengukuran berlangsung. Nilai yang digunakan adalah 0,03 untuk nilai alfa (anomali amplitudo temperatur) dan 7,00 untuk nilai beta (anomali konstanta waktu temperatur) (McTaggart et al., 2010). Penapisan ini dilakukan hanya pada data hasil pengukuran temperatur pada sensor temperatur. e. Filter (Penapisan) Penapisan yang digunakan adalah low pass filter yang berfungsi untuk menghilangkan bias (noise) berupa frekuensi tinggi pada data tekanan. Cut-off frekuensi yang digunakan adalah 0,03 detik pada low pass filter A dan 0,15 detik pada low pass filter B. Hal ini berarti perekaman data yang lebih cepat dari cut-off frekuensi akan dihilangkan. Menurut McTaggart et al. (2010) proses penapisan hanya dilakukan pada data tekanan dengan menerapkan low pass filter B. f. Loopedit Loopedit berfungsi untuk memperbaiki data CTD akibat ketidakstabilan kecepatan penurunan CTD yang kurang dari kecepatan minimum. Kondisi ini
22 terjadi akibat CTD bergerak naik turun karena pengaruh guncangan pada kapal. Kecepatan minimum yang dipakai adalah 0,25 m s-1 (McTaggart et al., 2010). g. Derive Derive digunakan untuk menurunkan parameter selain yang sudah dikeluarkan pada saat konversi data. Parameter yang turunkan yaitu densitas (σθ) (kg m-3), salinitas (PSU), kecepatan suara (m s-1), dan temperatur potensial ITS-90 (oC). h. Bin average Bin average digunakan untuk merata-ratakan data pada tekanan yang diinginkan. Ukuran bin yang dipakai adalah 0,5; tanpa mengikutkan bin permukaan, sehingga selang tekanan pada data adalah 0,5 dbar. i. Koreksi Manual Koreksi manual dilakukan dengan menginvestigasi langsung data yang sudah melalui proses pengolahan data. Hal ini dilakukan karena proses pengolahan data tidak sepenuhnya menjamin data siap untuk diolah. Interpolasi dilakukan pada data yang mengalami error. 3.3 Metode Analisis Data Diagram alir analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 3.2. 3.3.1 Topografi Dasar Perairan Data keluaran hasil pengukuran Simrad EA500 adalah data ASCII XYZ, dengan X adalah posisi bujur (longitude), Y adalah lintang (latitude), dan Z adalah kedalaman. Mengingat data hasil pengukuran yang secara spasial relatif tidak beraturan, digunakan metode interpolasi Kriging yang terdapat dalam perangkat lunak Surfer 9. Metode ini merupakan metode interpolasi data untuk mengisi kekosongan nilai-nilai data (kedalaman) karena kondisi data yang secara spasial tidak beraturan. Kriging merupakan metode grid geostatistik yang lazim digunakan di berbagai bidang.
23
Gambar 3.2 Diagram alir analisis data. Dalam perangkat lunak Surfer terdapat dua tipe kriging, yakni Kriging Titik (Point Kriging) dan Kriging Blok (Block Kriging). Kriging Titik mengestimasi nilai-nilai titik pada node grid. Kriging Blok mengestimasi nilai rata-rata blok-blok grid pada pusat node grid. Blok-blok ini merupakan ukuran dan bentuk dari suatu sel grid. Kriging Blok mengestimasi rata-rata dari suatu blok, sehingga akan menghasilkan kontur yang lebih halus. Namun karena Kriging Blok tidak mengestimasi nilai pada satu titik, maka Kriging Blok bukan merupakan interpolator yang baik (Isaaks dan Srivastava, 1989). Pada Kriging Titik, titik data terdekat dengan pusat node grid akan menerima pembobotan tertinggi dalam menentukan nilai node grid. Dalam penelitian ini, digunakan metode grid kriging dengan tipe titik. Komponen penting lainnya dalam metode grid dengan kriging adalah variogram. Variogram adalah ukuran seberapa cepat suatu objek parameter berubah dari rata-ratanya. Dengan ungkapan lain, dalam rata-ratanya, dua observasi yang berdekatan akan lebih serupa dibandingkan dengan dua observasi yang terpisah jauh. Adakalanya dalam kasus tertentu data-data memiliki kecenderungan orientasi arah, sehingga kemungkinan perubahan nilai akan lebih
24 cepat dalam arah tertentu dibandingkan arah lainnya. Kondisi inilah yang dapat disesuaikan dalam fungsi-fungsi variogram. Perancangan model variogram yang sesuai untuk suatu set data tertentu membutuhkan pengetahuan dan aplikasi konsep-konsep dan sarana statistik tingkat lanjut, serta pemahaman pendekatan inheren dalam fitting antara model teoritik dan data riil. Perangkat lunak Surfer merekomendasikan variogram linier default (bawaan) dengan algoritma kriging jika pengguna tidak mengetahui model variogram tertentu yang harus digunakan. Meskipun demikian, variogram linier dalam Surfer sudah memberikan grid yang sesuai dalam berbagai bidang kebutuhan. Dalam hampir semua kondisi data, perangkat lunak Surfer merekomendasikan untuk memakai default variogram linier karena sudah mampu menghasilkan visualisasi data yang baik pada set data XYZ. Dalam penelitian ini, digunakan metode grid kriging dengan variogram linier. Secara
spesifik,
rentang
spasial
grid
yang
digunakan
untuk
menggambarkan topografi dasar perairan adalah 0,03o x 0,02o. Titik-titik node grid beserta kontur level kedalaman dengan interval 200 meter disajikan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Titik-titik node grid dan hasil penggambaran kontur level kedalaman dengan interval 200 meter. Keberadaan pulau tidak ditampilkan.
25 3.3.2 Estimasi Transpor Massa Air Mengingat pengukuran arus dilakukan dengan metode lintasan, di mana arus terukur akan dinamis baik secara temporal maupun spasial, maka akan digunakan metode analisis temporal-spasial menggunakan perangkat lunak CODAS (Common Oceanographic Data Access System). Secara teknis, perangkat ini ditujukan untuk ekstrasi data dan analisis; meliputi fungsi pemrosesan, kalibrasi, dan navigasi. Berikut adalah fungsi-fungsi yang terdapat dalam perangkat CODAS. a. llgrid llgrid berfungsi untuk melakukan translasi grid longitude-latitude, yang dispesifikasi sebagai posisi awal dan increment untuk setiap dimensi, ke dalam rentang waktu yang bersesuaian. b. timegrid timegrid berfungsi untuk memecah rentang waktu masukan menjadi interval rentang waktu yang lebih kecil, misalnya per jam. c. arrdep arrdep berfungsi untuk menemukan rentang waktu spesifik yang akan digunakan untuk menganalisis data, di mana pengukuran arus dapat terjadi pada dua kondisi, yakni pada saat kapal berada di stasiun dan pada saat berjalan. d. adcpsect adcpsect merupakan piranti ekstraksi utama di mana berbagai analisis dan tahap-tahap plotting dilakukan oleh program ini. Sebagaimana dengan programprogram dalam CODAS lainnya, operator dapat menentukan pilihan-pilihan output. Program khusus yang terdapat dalam CODAS adalah runstick.m yang dapat melakukan analisis harmonik arus. File keluaran adalah kombinasi dari waktu, longitude (bujur), latitude (lintang), serta komponen arus terkoreksi pasut (arus non pasut) u dan v dalam format file ASCII. Pengolahan data selanjutnya
26 dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan Surfer 9. Estimasi transpor sesaat (Q) dihitung dari transek pada bagian tengah Selat Alor (Gambar 3.4) dengan menggunakan persamaan: 14
Q = ∑ Vi Ai ………....................….……. (3.1) i =1
di mana Vi adalah kecepatan arus sejajar selat (along strait velocity) pada sel ke-i dan Ai adalah luas penampang pada sel ke-i. Nilai Vi dihitung menggunakan persamaan: Vi = vi cos θ + u i sin θ ………...............….……. (3.2)
dengan θ adalah orientasi sudut profil geografis Selat Alor dengan nilai sekitar 40° dari arah utara; ui dan vi adalah kecepatan arus zonal dan meridional sel ke-i. Nilai negatif (positif) dari resultante arus ini mengarah ke Laut Sawu (Laut Flores). Luas penampang sel ke-i (Ai) dihitung sebagai perkalian antara jarak vertikal bin (5 meter) dengan jarak antarsel (~antartitik pengukuran arus), di mana pada titik 1 hingga 11 adalah ~1000 meter, sehingga:
Ai = 5000 m 2 ………...............….……. (3.3) sedangkan titik 12 hingga 14, mengingat lintasan transek tidak melintang selat, dilakukan reorientasi dengan memproyeksikan jarak antartitik sejajar ke bidang transek. Dengan nilai sudut ~70° dari bidang proyeksi, maka jarak horizontal sel adalah:
Ai = 5000 cos( 70 o )m 2 ………........….……. (3.4)
27
Gambar 3.4 (a) Transek perhitungan transpor sesaat, (b) Grid sel yang dihitung untuk mengestimasi transpor (arsiran gelap) berdasarkan jangkauan pengukuran arus oleh SADCP. Segitiga merah adalah data arus yang tersedia dalam transek.
28 3.3.3 Penentuan Lapisan Massa Air Pada penelitian ini identifikasi lapisan kolom air dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Penentuan lapisan ini didasarkan pada gradien temperatur dan densitas kolom perairan atau metode gradien ambang (threshold gradient). Karakterisasi lapisan massa air menjadi lapisan permukaan tercampur (surface mixed layer) dilakukan dengan melihat gradien temperatur (∆T)<0,1 oC. Adapun lapisan termoklin memiliki gradien temperatur ≥0,1 oC dan gradien densitas ≥0,02 kg m-3 dengan titik acuan densitas permukan (Thomson dan Fine, 2003; Kara et al., 2000; dan Cisewski et al., 2005). Menurut Lorbacher et al. (2005) pembagian lapisan berdasarkan gradien densitas lebih realistis dibandingkan dengan menggunakan temperatur, karena profil temperatur tidak selalu memberikan stratifikasi vertikal secara tepat. Batas antara lapisan termoklin dan lapisan dalam yang homogen dilihat secara visual dari data densitas yang dicek silang dengan data temperatur, batasnya adalah rentang kedalaman di mana nilai densitas tidak menurun tajam terhadap kedalaman. 3.3.4 Karakteristik Massa Air Analisis karakteristik fisik massa air dilakukan dengan membuat diagram potensial suhu-salinitas menggunakan bantuan perangkat lunak Ocean Data View 4. Diagram TS menggambarkan hubungan antara suhu dan salinitas yang terobservasi secara bersamaan, pada berbagai kedalaman kolom air laut secara vertikal. Analisis ini sangat bermanfaat dan mampu memberikan penjelasan terbaik untuk mengenal tipe-tipe air, yakni massa air dengan nilai suhu dan salinitas tertentu; dan massa air (Neumann dan Pierson, 1966). Secara spesifik, analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi asal massa air mengacu sebagaimana klasifikasi oleh Wyrtki (1961). Penjejakan dan identifikasi transformasi massa air dilakukan secara visual terhadap profil TS, sedangkan kuantifikasi kemungkinan percampuran massa air dilakukan dengan metode lapisan inti (core layer) (Mamayev, 1975). Sketsa
29 penggunaan metode lapisan inti diperlihatkan pada Gambar 3.5. Jika temperatur dan salinitas massa air di n diketahui, secara grafis dapat ditentukan persentase kontribusi massa air I, II dan III dalam membentuk n melalui persamaan proporsional: I : II : III =
b d f : : ………….……… (3.5) a+b c+d e+ f
sehingga diperoleh sisa persentase massa air II di titik n (IIn) adalah: d II n = x100% ………….….........…… (3.6) c+d
Tabulasi nilai jarak proporsional antarkoordinat (a, b, c, d, e, dan f) pada jejak salinitas maksimum NPSW terhadap Stasiun 1 di stasiun-stasiun yang masih teridentifikasi adanya salinitas maksimum NPSW disajikan pada Lampiran 4.
Gambar 3.5 Contoh sketsa penggunaan metode lapisan inti untuk menghitung persentase massa air Smax NPSW (II) di stasiun 1 (merah) menjadi n di Stasiun 4 (biru), serta kontribusi massa air I dan III dalam membentuk massa air n. Notasi a dan b, c dan d, serta e dan f adalah jarak proporsional massa air I, II, dan III terhadap massa air satu dengan lainnya.
30 3.3.5 Percampuran Massa Air Stratifikasi Massa Air Karakteristik stratifikasi massa air perairan diidentifikasi dari nilai gradien Richardson (Ri) dan frekuensi Brunt Väisälä (N). Nilai Ri dihitung dari profil densitas dan profil arus sesar menggunakan persamaan:
Ri =
N2 ………………………..……… (3.7) S2
Nilai N yang menyatakan ukuran stabilitas statik massa air dihitung menggunakan persamaan: N2 = −
g ∂ρ …………………………… (3.8) ρ 0 ∂z
Menurut Ferron et al. (1998) nilai densitas yang dipakai untuk menghitung Frekuensi Brunt Väisälä berasal dari data densitas yang sudah disusun dalam kondisi stabilitas statis, sehingga nilai yang didapat akan selalu bernilai positif. Shear dihitung menggunakan persamaan: 2
2
∂u ∂v S = + ………………..………. (3.9) ∂z ∂z 2
Dalam penelitian ini digunakan penapisan nilai S2, di mana S2<10-5 dikategorikan sebagai kemungkinan gangguan (noise) dari instrumen ADCP (Yoshida dan Oakey, 1996). Mengingat resolusi vertikal pengukuran SADCP adalah 5 meter untuk maka nilai N (dari data CTD) dirata-ratakan ke dalam interval 5 meter untuk mendapatkan nilai Ri. Shear di masing-masing stasiun CTD dihitung dari batas tepi atas dan bawah titik-titik pengukuran arus dalam profil vertikal. Misalkan, shear untuk komponen arus zonal (u) pada kedalaman i dihitung sebagai berikut:
∂u (ui −1 − ui +1 ) ……………………… (3.10) = ∆z ∂z i
31 dengan resolusi bin SADCP 5 meter, maka nilai ∆z = 5. Langkah yang sama dilakukan juga untuk komponen arus meridional (v). Difusivitas Vertikal Estimasi nilai difusivitas vertikal eddy, Kρ dilakukan dengan analisis skala Thorpe, LT. Skala Thorpe menyatakan skala panjang overturn vertikal turbulen dalam suatu aliran terstratifikasi (Thorpe, 1977). Dalam aliran terstratifikasi, overturn akan terlihat dari ‘inversi’ nilai densitas, yakni kondisi yang secara gravitasi memiliki gradien densitas tidak stabil (Galbraith dan Kelley, 1996). Secara teknis, inversi densitas yang tidak stabil tersebut selanjutnya diurutkan-kembali (reorder) untuk mendapatkan profil densitas potensial (σθ) yang stabil. Pada penelitian ini belum dilakukan reorder secara berulang untuk mengatasi kemungkinan adanya overlap dari densitas yang sudah diurutkan. Fluktuasi Thorpe dari data densitas, didefinisikan sebagai selisih antara nilai densitas terukur dengan nilai densitas yang telah di-reorder atau disusun ulang yang stabil secara gravitasi. Perpindahan Thorpe kemudian dihitung sebagai d’n = zm-zn, yakni jarak yang harus ditempuh sampel pada kedalaman zn menuju kedalaman zm untuk mencapai nilai densitas yang stabil (Dillon, 1982), yakni kedalaman di mana memiliki nilai fluktuasi densitas Skala Thorpe sama dengan 0 (nol). Nilai positif (negatif) menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas (bawah) untuk mencari kestabilan statis, kondisi ini terjadi bila massa air berdensitas rendah (tinggi) berada di bawah massa air berdensitas tinggi (rendah). Mengingat nilai d’n ini tidak merepresentasikan nilai pasti dari jarak aktual yang harus ditempuh (eddy tidak terjadi dalam satu dimensi), maka skala Thorpe lebih merepresentasikan ukuran eddy, selama gradien horizontal densitas jauh lebih kecil dibandingkan gradien vertikalnya. Seringkali sulit menentukan apakah inversi densitas merupakan overturn dari densitas parsel air yang tidak stabil. Terdapat dua tantangan, pertama noise acak pada sensor temperatur dan konduktivitas dapat menghasilkan error dan menghasilkan inversi nonfisis. Kondisi ini dapat terjadi pada area dengan gradien temperatur rendah, di mana fluktuasi skala kecil yang masuk ke dalam sensor
32 serupa dengan sensitivitas sensor. Kedua, spike salinitas dapat memunculkan inversi spurious (tidak terkendali) pada nilai densitas (Alford dan Pinkel, 2000). Spike dapat dideteksi dengan menguji karakteristik massa air pada area inversi kaitannya dengan ke-eratan (tightness) hubungan TS (Galbraith dan Kelley, 1996); atau dengan mensyaratkan perpindahan Thorpe yang nonzero pada data temperatur dan densitas (Peters et al., 1995). GK menyatakan bahwa percampuran turbulen pada area yang memiliki gradien TS linier tidak akan mengubah karakteristik TS. Sehingga parsel massa air pada suatu area yang mengalami overturn meskipun berubah posisi dalam arah vertikal baik mengalami percampuran maupun tidak akan terletak di sepanjang hubungan lokal TS. Fenomena loop yang keluar dari hubungan linier TS merupakan indikasi ketidaktepatan pengukuran sensor temperatur-konduktivitas yang menghasilkan error pada data salinitas. Dalam penelitian ini, digunakan kriteria nonzero pada data temperatur dan densitas untuk menentukan inversi densitas yang dikategorikan sebagai overturn. Metode ini lebih umum digunakan, di samping karena masih berkembangnya isu relativitas visual, serta kesulitan memantau percampuran berdasarkan ke-eratan TS pada pola hubungan yang tidak linier (Gargett dan Garner, 2008). Setelah perhitungan nilai d melalui metode nonzero pada data temperatur dan densitas, dilakukan penapisan kembali berdasarkan estimasi ketebalan minimal perpindahan dari resolusi vertikal CTD. Hal ini bertujuan agar nilai d merupakan nilai perpindahan yang bukan berasal dari noise CTD. Prinsip estimasi ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan bahwa CTD memiliki keterbatasan kemampuan untuk mendeteksi pembalikan massa air. Hal ini mengacu pada teori sampling Nyquist, di mana bila pembalikan yang terjadi adalah dua kali lebih rendah dibandingkan resolusi vertikal, maka pembalikan tersebut tidak dapat diukur. Penentuan pembalikan yang lebih kuat dapat dilakukan jika terdapat jumlah sampel yang lebih banyak, berdasarkan pada peraturan jumlah sampel minimum yaitu lima sampel (Koch et al., 1983) atau 7-8 sampel (Levitus, 1982 in Galbraith dan Kelley, 1996). Solusi untuk menyelesaikan perbedaan tersebut
33 adalah dengan memungkinkan resolusi vertikal untuk mendeteksi pembalikan yang tidak lebih rendah dari (Galbraith dan Kelley, 1996):
LZ = 5∂Z ……...............………………… (3.11) di mana ∂Z adalah resolusi vertikal data CTD (dbar~meter). Untuk penelitian ini digunakan resolusi vertikal sebesar 0,5 meter sehingga nilai LZ sebesar 2,5 meter. Hal ini berarti nilai yang kurang dari 2,5 meter akan diabaikan dan tidak akan diikutkan untuk perhitungan selanjutnya. Di samping batasan di atas, diperlukan juga batasan lain untuk mengukur pembalikan berdasarkan perbedaan densitas (Lρ). Resolusi densitas dari CTD dapat mengukur pembalikan jika memiliki nilai tidak lebih rendah dari (Galbraith dan Kelley, 1996): Lρ ≈ 2
g δρ N 2 ρ0
……..............……………… (3.12)
di mana g adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s-2), ρ0 adalah densitas rata-rata pada setiap stasiun, dan N adalah Frekuensi Brunt Väisälä. Dengan pendekatan nilai N di laut lepas adalah ~0,003 s-1 (Galbraith dan Kelley, 1996) dan kemampuan CTD untuk mendeteksi perbedaan densitas, δρ~ 10-3, didapatkan nilai Lρ = 2,12 m. Hal ini berarti ketebalan displacement yang kurang dari nilai tersebut akan diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam perhitungan selanjutnya. Nilai skala Thorpe, LT kemudian dihitung menggunakan persamaan: 1 n LT = ∑ d i 2 n i =1
1/ 2
………..............…...……. (3.13)
Setiap nilai LT diperoleh dari hasil perata-rataan n buah sampel pada kedalaman yang diinginkan. Dalam penelitian ini, perata-rataan dilakukan dengan cara membagi kedalaman perairan menjadi tiga lapisan, yakni lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan homogen di bagian dalam. Kedalaman setiap lapisan pada setiap stasiun berbeda-beda tergantung dari profil vertikal massa air. Nilai difusivitas vertikal pada setiap stasiun selanjutnya dihitung menggunakan persamaan:
34 Kρ =
γε N2
………...................…..……. (3.14)
dengan nilai efisiensi percampuran, γ = 0,2 (Osborn, 1980). Laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε) dihitung menggunakan persamaan:
ε = L O 2 N 3 ………....................….……. (3.15) dengan skala panjang Ozmidov (LO): LO = 0 ,8 LT ………...................….……. (3.16)
35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Topografi Dasar Perairan Selat Alor merupakan celah penghubung antara Laut Flores di sebelah utara dengan Laut Sawu di sebelah selatan. Area perairan selat ini berada pada posisi 123,55o-124,05o BT dan 8,20o-8,60o LS. Orientasi arah celah kanal selat ini sekitar 65o (dengan acuan 0o adalah utara) pada posisi 8,25o-8,30o LS; dan sekitar 40o pada posisi 8,30o-8,45o LS. Hasil pengukuran kedalaman dan pemetaan topografi dasar perairan Selat Alor menunjukkan bahwa garis kedalaman yang menghubungkan Laut Flores pada bagian utara dengan Laut Sawu pada bagian selatan adalah sekitar 300 meter pada mulut kanal antara Pulau Lembata dan Pulau Rusa, dengan lebar celah sekitar 9195 meter (panah dua arah ‘A’ pada Gambar 4.1). Pintu selatan selat ini selanjutnya disebut dengan kanal utama dalam ulasan selanjutnya. Adapun mulut kanal antara Pulau Rusa dengan Pulau Kambing (panah dua arah ‘B’ pada Gambar 4.1) memiliki garis kedalaman penghubung kedua lautan sekitar 200 meter, dengan lebar celah sekitar 5303 meter.
A B
Gambar 4.1 Topografi dasar perairan Selat Alor yang menghubungkan Laut Flores pada sisi utara dengan Laut Sawu pada sisi selatan. Panah dua arah (A dan B) berturut-turut menunjukkan mulut selatan selat dengan garis kedalaman penghubung 300 meter dan 200 meter.
36 Identifikasi profil topografi di Selat Alor juga memperlihatkan keberadaan ambang dijumpai pada bagian mulut selat, baik di sisi utara maupun selatan (Gambar 4.2). Pada mulut selat bagian utara, ambang yang relatif tinggi (sekitar 365 meter) berada pada kanal sebelah barat, sedangkan pada kanal sebelah timur memiliki kedalaman sekitar 525 meter. Pada mulut selat bagian selatan, ambang pada kanal sebelah barat memiliki kedalaman sekitar 270 meter; sedangkan pada kanal sebelah timur memiliki kedalaman sekitar 221 meter. Keberadaan ambang pada suatu medan aliran dapat memicu terbentuknya turbulensi yang mengolak massa air dan mengakibatkan percampuran vertikal (Hautala et al., 1996; Hatayama et al., 2004 ). A
D C
B A B
C
D
Jarak (km) Gambar 4.2 Penampang melintang topografi Selat Alor. Tanda panah menunjukkan keberadaan ambang, A dan B pada mulut utara selat; B dan C pada mulut selatan selat. 4.2 Arus Berdasarkan hasil perata-rataan terhadap kedalaman dari pola arus di perairan Selat Alor, di sebelah utara selat pada lapisan <50 meter dan 50-100 meter menunjukkan dominasi aliran yang mengarah masuk ke dalam selat (Gambar 4.3 (a, b)). Pada kedalaman 100-150 meter, aliran yang mengarah masuk ke dalam selat hanya teridentifikasi pada celah masukan antara Pulau Lembata dan Pulau Lapan (Gambar 4.3 (c)). Adapun pada celah masukan antara Pulau
37 Batang dengan Pulau Pantar, arus mengarah keluar selat. Kondisi ini diduga terkait dengan alur masukan yang relatif tidak terbuka atau langsung sebagaimana pada celah masukan di sebelah Pulau Lapan. Celah masukan antara Pulau Batang dengan Pulau Pantar memiliki rute yang berkelok sehingga benturan arus dengan kontur topografi dekat daratan (Pulau Pantar) menghasilkan pembelokan arah arus pada lapisan bawah. Memasuki bagian dalam kanal selat, pada lapisan <50 meter dan 50-100 meter kondisi arus tampak persisten mengikuti alur kanal selat hingga mulut keluaran selat di sebelah selatan. Kecepatan arus tampak meningkat pada mulut keluar selat antara Pulau Pantar dan Pulau Rusa, seiring dengan penyempitan kanal selat. Pada lapisan 100-150 meter dan 150-200 meter teridentifikasi balikan arah arus (Gambar 4.3 (c, d)). Kondisi pembalikan arah pada lapisan bawah ini mengindikasikan pengaruh gesekan alur topografi dasar selat. Mendekati bagian keluar pada mulut selat (di dekat Pulau Rusa), tampak arus kembali mengarah keluar selat (menuju Laut Sawu) yang diduga terkait dengan penyempitan kanal serta pengaruh amplifikasi aliran lapisan di atasnya yang mengarah keluar selat. Di samping itu, fitur cekungan yang dalam (>500 meter) di sebelah barat laut Pulau Rusa (Gambar 4.1) diduga memperkecil pengaruh gesekan dekat dasar. Pada perairan sebelah selatan selat, berdasarkan orientasi arah arus, tampak pengaruh aliran Selat Alor masih dirasakan hingga posisi sekitar 8,6o LS pada lapisan <50 meter. Seiring mengecilnya pengaruh aliran keluaran selat terhadap kedalaman, pada lapisan 50-100 meter teridentifikasi adanya arus dari arah barat menuju ke timur. Pada lapisan <50 meter, arus ini hanya teridentifikasi di sebelah selatan Pulau Lembata. Intensitas arus ini terpantau membesar seiring bertambahnya kedalaman sebagaimana tampak pada lapisan 100-150 meter dan >150 meter (Gambar 4.3 (c, d)). Diduga arus ini merupakan susupan arus selatan Jawa (South Java current, SJC), di mana berdasarkan data mooring di selatan Cilacap, Sprintall et al. (1999) memperlihatkan bahwa pada kedalaman 175 meter pada bulan Juli teridentifikasi arus yang mengarah ke timur meskipun pada lapisan di atasnya terdapat arus terpicu angin musim tenggara yang mengarah ke
38 barat. Arus pada kedalaman 175 meter ini mengarah ke timur hingga awal Nopember. Adapun di perairan sebelah selatan Pulau Pantar, pada lapisan <50 meter teridentifikasi arus dari arah tenggara dan tampak persisten hingga di sebelah selatan Pulau Rusa. Diduga arus ini merupakan arus pengaruh angin muson tenggara. Pada lapisan 50-100 meter, intensitas dugaan arus musim ini tampak mengecil (Gambar 4.3 (b)), dan mulai menghilang pada lapisan kedalaman 100150 meter dan 150-200 meter (Gambar 4.3 (c, d)).
Gambar 4.3 Pola arus pada beberapa lapisan kedalaman: (a) <50 meter, (b) 50100 meter.
39
Gambar 4.3 (lanjutan): (c) 100-150 meter, dan (d) 150-200 meter. Profil spasial arus yang ditampilkan dalam Gambar 4.3 adalah arus yang sudah dikoreksi pasut (arus non pasut), dengan demikian teridentifikasinya dominasi aliran hingga kedalaman sekitar 100 meter yang mengarah ke dalam selat merupakan indikasi aliran yang terpicu perbedaan tinggi muka laut antara Laut Flores dengan Laut Sawu. Sebagaimana dinyatakan Wyrtki (1961), transpor dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia proporsional dengan perbedaan tekanan antara kedua samudera, di mana pada musim timur (Mei hingga September) mengakibatkan transpor maksimum dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia. Intensifnya aliran dari Laut Flores menuju Laut Sawu berdasarkan hasil observasi ini sekaligus juga memverifikasi hasil kajian model
40 Potemra et al. (2003) yang menyatakan bahwa tinggi permukaan Laut Sawu berdasarkan data Topex Poseidon mencapai minimum pada musim timur. Dengan ungkapan lain, resultan aliran massa air di perairan Selat Alor pada bulan Juli adalah menuju ke Laut Sawu. Berdasarkan data arus dari transek lintasan antara Pulau Lembata dengan Pulau Marisa atau di bagian tengah kanal selat, diperoleh estimasi transpor hingga kedalaman sekitar 190 meter pada saat observasi sebesar 1,07 ± 0,03 Sv (1 Sv = 106 m3 s-1) mengarah masuk ke dalam selat (menuju mulut keluar selatan selat). Profil transpor yang dirata-ratakan per 20 meter kedalaman diperlihatkan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 (a) Profil menegak transpor per 5 meter kedalaman, dan (b) Transek pengukuran arus yang digunakan dalam perhitungan transpor (garis merah). Analisis lebih lanjut atas profil vertikal arus dengan menampilkan struktur shear arus (S2) (Gambar 4.5) menunjukkan bahwa nilai dan intensitas shear arus meningkat seiring memasuki alur selat serta pada area topografi yang dangkal. Nilai rata-rata shear perairan Selat Alor sebesar 5,9 x 10-4 s-2 atau dalam orde (O)10-4. Meningkatnya shear arus berpotensi mendistorsi stabilitas massa air yang mengarah pada terbentuknya turbulensi yang mengakibatkan percampuran massa air.
41
(a)
(b)
Gambar 4.5 (a) Profil menegak shear arus di Selat Alor. Garis kontur hitam tebal adalah nilai S2= 5 x 10-4 dan (b) Rata-rata nilai S2 per stasiun. Stasiun-stasiun dinyatakan dengan gradasi warna.
42 4.3 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Kedalaman (dalam tekanan, dbar) lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun disajikan pada bagian Lampiran 5. Berdasarkan profil menegak temperatur (Gambar 4.6), lapisan permukaan tercampur (surface mixed layer) pada perairan sebelah utara Selat Alor lebih tebal dibandingkan pada perairan dalam dan selatan selat. Lapisan permukaan tercampur memiliki temperatur yang relatif homogen akibat pengadukan yang dipicu oleh gesekan angin (Stewart, 2003). Lapisan permukaan tercampur pada perairan sebelah utara Selat Alor (Stasiun 1 dan 2) atau Laut Flores memiliki temperatur rata-rata 27,46 oC di Stasiun 1 dan 27,48 oC di Stasiun 2 . Nilai ini tampak mendekati perolehan Ilahude dan Gordon (1996) pada saat musim tenggara (Agustus-September, 1993) sebesar 26,10-27,50 oC di Laut Flores, Laut Banda bagian barat, dan Laut Timor. Memasuki perairan dalam selat (Stasiun 3 dan 4), temperatur rata-rata lapisan permukaan tercampur relatif tidak berbeda, sebesar 27,31 oC (Stasiun 3) dan 27,41 oC (Stasiun 4). Salinitas dan densitas di lapisan permukaan tercampur perairan sebelah utara Selat Alor atau Laut Flores memiliki rata-rata 33,70 PSU; 21,60 kg m-3 (Stasiun 1) dan 33,86 PSU; 21,70 kg m-3 (Stasiun 2). Memasuki perairan dalam selat (Stasiun 3 dan 4), salinitas dan densitas rata-rata lapisan permukaan tercampur adalah 33,76 PSU; 21,68 kg m-3 (Stasiun 3) serta 33,85 PSU dan 21,72 kg m-3 (Stasiun 4). Pada perairan sebelah selatan selat, kisaran nilai temperatur, salinitas, dan densitas lapisan permukaan tercampur berturut-turut adalah 24,3926,14 oC; 33,88-33,97 PSU; dan 22,20-22,71 kg m-3.
43
Gambar 4.6 Profil menegak temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (σθ) (c) di perairan Selat Alor.
44 Di bawah lapisan permukaan tercampur, terdapat lapisan termoklin yang dikarakterisasi oleh penurunan temperatur yang tajam terhadap kedalaman. Secara keseluruhan, pita lapisan termoklin memiliki pola yang hampir sama (berhimpitan) dengan pita lapisan piknoklin. Pada perairan Laut Flores, lapisan ini berada pada rentang tekanan 26-324 dbar di Stasiun 1 dan 13,5-289 dbar di Stasiun 2; dengan pita temperatur dan densitas 9,80-27,48 oC; 21,61-26,63 kg m-3 di Stasiun 1 dan 9,83-27,43 oC; 21,72-26,63 kg m-3 di Stasiun 2. Keberadaan struktur penurunan temperatur yang berundak (step like) diduga merupakan indikasi adanya percampuran turbulen yang kuat sehingga profil temperatur dan densitas pada lapisan termoklin tidak menurun tajam terhadap kedalaman (Matsuno et al., 2005). Salinitas pada lapisan termoklin di Laut Flores sebelah utara perairan Selat Alor memiliki kisaran 33,73-34,55 PSU di Stasiun 1 dan 33,86-34,55 PSU di stasiun 2. Nilai salinitas maksimum tampak mendekati temuan Ilahude dan Gordon (1996) di Laut Flores sebesar 34,50 PSU. Seiring memasuki perairan dalam Selat Alor, pita temperatur dan densitas di Stasiun 3 adalah 9,39-27,41oC; 21,70-26,69 kg m-3 dan 10,03-27,40 oC; 21,7426,59 kg m-3 di Stasiun 4. Salinitas lapisan termoklin perairan dalam selat memiliki kisaran 33,79-34,56 PSU di Stasiun 3 dan 33,88-34,54 PSU di Stasiun 4. Pada perairan sebelah selatan Selat Alor batas atas lapisan termoklin berkisar 5-10 dbar. Relatif dangkalnya lapisan termoklin serta tipis dan terdistorsinya lapisan permukaan tercampur (ditandai dengan struktur penurunan temperatur yang landai) diduga berkaitan dengan melemahnya pengaruh angin muson tenggara di perairan Selat Alor. Temperatur dan densitas lapisan termoklin keseluruhan stasiun pada perairan selatan Selat Alor berada pada kisaran pita 8,84-26,56 oC; 22,04-26,84 kg m-3. Salinitas lapisan termoklin memiliki kisaran 33,88-34,61 PSU. Lapisan dalam yang diidentifikasi dengan penurunan temperatur namun tidak setajam lapisan termoklin, yakni sekitar 0,009 oC per dbar di Stasiun 2. Nilai densitas menurun dengan gradien penurunan sekitar 0,002 kg m-3 per dbar. Pada lapisan dalam perairan dalam selat, nilai temperatur menurun dengan gradien penurunan 0,002 oC di Stasiun 3 dan 0,006 oC per dbar di Stasiun 4. Nilai densitas
45 menurun dengan gradien penurunan sekitar 0,001 kg m-3 per dbar di kedua stasiun tersebut. Pada lapisan dalam di perairan sebelah selatan Selat Alor, batas atas lapisan dalam bervariasi pada tekanan 240-430 dbar. Temperatur dan densitas keseluruhan stasiun pada perairan selatan Selat Alor memiliki kisaran gradien penurunan temperatur dan densitas berturut-turut sekitar 0,005-0,015 oC; 0,0010,003 kg m-3 per dbar. Profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas pada setiap stasiun disajikan berturut-turut pada bagian Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3. 4.4 Karakteristik Massa Air 4.4.1 Tipe Massa Air Identifikasi tipe massa air dilakukan dengan menganalisis profil diagram TS (Gambar 4.7). Tabulasi hasil identifikasi tipe massa air disajikan pada Tabel 4.1. Pada Gambar 4.7 tampak terdapat massa air pada lapisan permukaan tercampur dengan salinitas dan densitas rendah, serta temperatur yang relatif tinggi dibandingkan dengan lapisan lainnya. Massa air ini diduga merupakan massa air perairan lokal. Massa air dengan salinitas maksimum pada lapisan atas termoklin yang mencirikan Massa Air Subtropis Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water, NPSW) teridentifikasi di perairan sebelah utara Selat Alor pada σθ = 23,00-24,50 kg m-3. Massa air ini diidentifikasi sebagai massa air dari Pasifik Utara yang masuk sebagai Arus Lintas Indonesia (Arlindo) melalui dorongan arus Mindanao dan masuk ke Selat Makassar. Sebagian dari massa air ini diteruskan keluar melalui Selat Lombok, dan sebagian diteruskan masuk ke Laut Flores. Atmadipoera et al. (2009) menyatakan bahwa massa air NPSW dicirikan oleh σθ 24,50; di mana pada selat keluaran arlindo memiliki salinitas sekitar 34,53 PSU. Massa air lapisan Pertengahan Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water, NPIW) yang dicirikan oleh salinitas minimum tidak teridentifikasi secara jelas keberadaannya pada waktu penelitian ini. Lemahnya ciri khas massa air salinitas minimum NPIW diduga karena pengaruh percampuran dengan massa air
46 salinitas tinggi yang berasal dari Pasifik Selatan pada σθ = 26-27 di Laut Flores bagian timur. Massa air Pasifik selatan sampai di Laut Banda melalui jalur timur, yakni dari Laut Halmahera melalui dorongan arus ekuator selatan (South Equatorial Current, SEC) (Ilahude dan Gordon, 1996).
Gambar 4.7 Identifikasi tipe massa air di perairan Selat Alor dan sekitarnya dari seluruh stasiun. Massa air bersalinitas maksimum yang mencirikan NPSW teridentifikasi di di sebelah utara selat, sedangkan massa air NISW dan NIIW teridentifikasi di sebelah selatan selat. Pada perairan sebelah selatan Selat Alor teridentifikasi Massa Air Subtropis Hindia Utara (North Indian Subtropical Water, NISW). Dalam penelitian ini, diperoleh salinitas maksimum NISW tampak menjangkau pada permukaan isopiknal sekitar σθ = 24,50-25,80; dengan inti salinitas maksimum tertinggi di Stasiun 14. Pada kedalaman menengah, diidentifikasi adanya Massa Air Lapisan Menengah Samudera Hindia Utara (North Indian Intermediate Water, NIIW)
47 dengan inti salinitas maksimum 34,70 PSU; σθ = 26,99 kg m-3 di tekanan 532 dbar. NIIW yang teridentifikasi di perairan selatan Selat Alor ini merupakan massa air dari Samudera Hindia yang diduga terdorong oleh arus bawah ke arah timur SJC. Temuan NIIW ini sekaligus mengindikasikan eksistensi aliran arus selatan Jawa yang sampai hingga Laut Sawu. SJC dan SJUC (South Java Under Current) ini bahkan teramati hingga di Selat Ombai sebagaimana dinyatakan oleh Sprintall et al. (2009b) dari data mooring INSTANT di sisi sebelah utara Ombai. Tabel 4.1 Tipe dan karakter massa air perairan Selat Alor dan sekitarnya. Tekanan (dbar)
Massa Air
Northern Pacific 23-138 Subtropical Waters (NPSW) Northern Indian 103-181 Subtropical Waters (NISW) Northern Indian 340-592 Intermediate Waters (NIIW)
Temperatur Potensial (oC)
Salinitas (PSU)
Densitas (σθ, kg m-3)
18,82-24,24
33,98-34,56
23,00-24,50
15,05-19,27
34,22-34,55
24,50-25,50
7,57-9,12
34,59-34,70
26,80-27,05
4.4.2 Transformasi Massa Air dari Laut Flores Menuju Laut Sawu Berdasarkan hasil identifikasi aliran arus dan perhitungan nilai volume transpor pada saat observasi, diperoleh bahwa resultan transpor massa air di Selat Alor adalah dari Laut Flores menuju ke selatan (masuk ke dalam Selat Alor) dan keluar pada kanal masuk perairan Laut Sawu. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan besar adanya transformasi massa air adalah perubahan karakteristik massa air Laut Flores yang dicirikan dengan salinitas maksimum massa air NPSW, seiring alirannya menuju Laut Sawu. Namun demikian, menurut Sprintall (2009b), terdapat kemungkinan aliran yang berbalik arah ke Laut Flores sewaktu lewatnya gelombang Kelvin, sehingga transformasi massa air juga akan berbalik.
48
Gambar 4.8 Profil diagram TS pada stasiun-stasiun di mana masih dapat diidentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW beserta kedalamannya. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa massa air salinitas maksimum NPSW secara jelas teridentifikasi pada Stasiun 2 (masukan selat Alor bagian timur) dan dalam kanal selat (3 dan 4). Melewati mulut keluaran selat dan memasuki perairan Laut Sawu, ciri salinitas maksimum NPSW tampak semakin mengecil dan hanya dapat dijejaki di Stasiun 6, 8, 9, 10, dan 14. Profil TS di Stasiun 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, dan 14 beserta kedalaman di mana masih teridentifikasi jejak lapisan inti massa air salinitas maksimum NPSW diperlihatkan pada Gambar 4.8. Masih teridentifikasinya jejak NPSW pada kedalaman-kedalaman tersebut konsisten dengan net transpor yang mengarah ke Laut Sawu (Gambar 4.4). Secara spasial, terdeteksinya massa air salinitas maksimum NPSW hanya pada stasiun-stasiun tersebut diduga berkaitan dengan posisinya yang relatif
49 terbuka atau berada pada alur aliran Selat Alor. Di Stasiun 5, meskipun berada di dekat alur selat, salinitas maksimum yang mencirikan NPSW tidak dapat terdeteksi secara visual. Kondisi ini diduga berkaitan dengan kuatnya turbulensi yang memicu percampuran massa air yang relatif merata (dikaji lebih lanjut pada sub bahasan 4.5), sehingga menghilangkan ciri utama NPSW (salinitas maksimum). Modifikasi massa air NPSW dari Laut Flores menuju Laut Sawu melalui Selat Alor diestimasi secara kualitatif menggunakan metode lapisan inti (core layer) sebagaimana Mamayev (1975). Analisis dilakukan dengan pendekatan percampuran tiga massa air (Gambar 4.9), yakni: (I) massa air lapisan atas (27,46 o
C; 33,88 PSU), (II) massa air salinitas maksimum NPSW (22,02 oC; 34,56 PSU),
dan (III) massa air lapisan bawah (11,48 oC; 34,52 PSU) dari stasiun acuan (Stasiun 1). Persentase massa air NPSW hasil perhitungan sketsa transformasi pada masing-masing stasiun yang masih teridentifikasi secara visual jejak salinitas maksimumnya disajikan dalam Tabel 4.2. Menurunnya persentase massa air NPSW di Stasiun 2 hingga Stasiun 4 diduga berhubungan dengan reduksi seiring perjalanannya ke arah timur dan ke dalam selat serta kaitannya dengan turbulensi aliran yang memicu terjadinya percampuran massa air. Tampak pula persentase NPSW di Stasiun 6 jauh lebih kecil dibandingkan di Stasiun 8, 9, 10, dan 14. Diduga di atas dan di bawah lapisan inti NPSW pada Stasiun 6 terjadi turbulensi dan percampuran yang intensif, sehingga menyisakan salinitas maksimum NPSW yang lebih pekat di antaranya.
50
Gambar 4.9 Sketsa transformasi massa air salinitas maksimum NPSW (II) dari Stasiun 1 (merah) yang digunakan untuk menghitung porsi massa air I, II, dan III di titik pertemuan ketiga garis pada Stasiun tertentu (inset) : (i) Stasiun 1 dan Stasiun 2, (ii) Stasiun 1 dan Stasiun 3, (iii) Stasiun 1 dan Stasiun 4, (iv) Stasiun 1 dan Stasiun 6. Huruf a dan b, c dan d, serta e dan f berturut-turut menyatakan jarak proporsional massa air I, II, dan III terhadap massa air satu dengan lainnya.
51
Gambar 4.9 (lanjutan) : (v) Stasiun 1 dan Stasiun 8, (vi) Stasiun 1 dan Stasiun 9, (vii) Stasiun 1 dan Stasiun 10, (iv) Stasiun 1 dan Stasiun 14. Grafik persentase kontribusi massa air I, II, dan III pada titik salinitas maksimum NPSW yang teridentifikasi di masing-masing stasiun disajikan pada Gambar 4.10. Tampak bahwa kontribusi massa air lapisan atas (I) lebih tinggi dibandingkan dengan massa air lapisan bawah (III) dalam merubah karakter
52 massa air NPSW (II). Kondisi ini berkaitan dengan relatif besar dan kontinyunya pasokan massa air yang keluar selat pada lapisan atas (Gambar 4.3 dan Gambar 4.4). Pengamatan secara visual pada stasiun-stasiun lainnya di perairan selatan Selat Alor tidak ditemukan lagi jejak salinitas maksimum massa air NPSW. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa terobosan massa air NPSW telah mengalami transformasi dan mulai kehilangan karakternya seiring menjauhi alur Selat Alor. Di samping itu, dari identifikasi jejak massa air NPSW di perairan selatan Selat Alor diperoleh bahwa massa air yang menerobos ini hanya berpengaruh pada permukaan isopiknal, σθ sekitar 23-24. Pada σθ >24, massa air NISW tampak mulai memberikan pengaruh dengan intensitas yang meningkat seiring menjauhi mulut selat. Tabel 4.2 Karakter massa air salinitas maksimum NPSW dan persentase relatifnya terhadap stasiun 1.
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Temperatur Pot. (oC) 22,000 22,390 21,120 22,770 t/t 23,060 t/t 22,710 22,270 22,070 t/t t/t t/t 23,280 t/t
t/t – tidak teramati secara visual.
Salinitas (PSU) 34,560 34,440 34,490 34,200 t/t 34,080 t/t 34,110 34,140 34,170 t/t t/t t/t 34,130 t/t
NPSW σθ (kg m-3) 23,885 23,685 24,071 23,393 t/t 23,222 t/t 23,341 23,491 23,570 t/t t/t t/t 23,198 t/t
Kedalaman (m) 131 127 123 95 t/t 102 t/t 82 75 61 t/t t/t t/t 48 t/t
% 100,0 76,4 76,6 31,2 t/t 2,9 t/t 10,0 19,6 21,0 t/t t/t t/t 17,6 t/t
53
Gambar 4.10 Persentase massa air lapisan atas (I), NPSW (II), dan lapisan bawah (III) pada masing-masing stasiun yang dihitung dengan metode lapisan inti (core layer) (Mamayev, 1975). Stasiun 1 merupakan stasiun referensi atau asal massa air, di mana inti salinitas maksimum massa air II (NPSW) ditetapkan 100%. 4.5 Stabilitas Kolom Air 4.5.1 Frekuensi Brunt Väisälä (N) Ketidakstabilan dalam kolom air yang berpotensi memicu terjadinya percampuran massa air dapat diungkapkan dengan menghitung nilai frekuensi daya apung atau frekuensi Brunt Väisälä. Hasil perhitungan frekuensi Brunt Väisälä (N2) dari keseluruhan stasiun. Profil menegak N2 berkaitan dengan profil menegak temperatur dan densitas diperlihatkan pada Gambar 4.11. Nilai N2 meningkat dengan tajam seiring memasuki lapisan termoklin atau piknoklin (lapisan termoklin dalam penelitian ini berhimpit dengan lapisan piknoklin). Pola seperti ini serupa dengan yang diperoleh Guo et al. (2006) di Laut Cina Selatan bagian utara dan Wallace et al. (2008) di Teluk Marguerite, semenanjung Antartika barat. Nilai N2 yang tinggi pada lapisan termoklin disebabkan karena pada lapisan ini terdapat juga lapisan piknoklin yang merupakan lapisan dimana gradien densitas meningkat secara tajam terhadap kedalaman (tekanan) (Pond dan
54 Pickard, 1983). Dengan ungkapan lain, lapisan termoklin merupakan lapisan yang paling stabil dibandingkan lapisan permukaan tercampur dan lapisan dalam. Dinyatakan pula bahwa jika nilai N2 semakin tinggi maka stabilitas statik (suatu kondisi di mana massa air dengan densitas rendah berada di atas massa air dengan densitas tinggi) suatu lapisan akan semakin besar. Sebaliknya, nilai N2 yang negatif merupakan indikasi adanya ketidakstabilan massa air. Pada Gambar 4.12 diperlihatkan profil N2 yang diperbesar dari profil N2 Gambar 4.11 untuk nilainilai N2<0 (negatif) beserta latar profil topografi. Tabulasi kisaran nilai N2 pada setiap lapisan disajikan pada Lampiran 5. Stasiun-stasiun di sepanjang alur kanal Selat Alor (1, 3, dan 4) tampak memiliki kondisi ketidakstabilan kolom air yang tinggi, ditandai dengan relatif banyaknya nilai N2 yang bernilai negatif (Gambar 4.12 (a)). Konsentrasi ketidakstabilan kolom air terjadi pada lapisan dalam di Stasiun 1, dan tampak merambah hingga lapisan dekat permukaan seiring memasuki kanal selat. Memasuki mulut selatan selat, N2 yang bernilai negatif masih terlihat di Stasiun 5 dan 6. Tingginya intensitas kolom air yang tidak stabil pada alur kanal selat diduga berkaitan dengan kondisi arus, di mana pada sistem kanal, nilai arus yang cukup tinggi serta interaksinya dengan dasar perairan dapat berpotensi mendistorsi kestabilan kolom air. Adapun di perairan sebelah selatan Selat Alor, intensitas N2 yang bernilai negatif tampak relatif jauh lebih sedikit dibandingkan pada bagian dalam kanal selat dan di dekat mulut keluaran selat. Seiring menjauhi mulut selat, intensitas ketidakstabilan massa air juga menurun (Gambar (b, c, dan d)). Kondisi ini menyiratkan bahwa terganggunya stratifikasi massa air diakibatkan oleh turbulensi aliran yang dipicu oleh topografi ambang dalam selat. Dengan ungkapan lain, diduga kondisi latar shear arus yang tinggi berpotensi menghasilkan aliran turbulensi yang mengganggu stabilitas massa air (dikaji lebih lanjut pada sub bagian 4.5.2).
55
Gambar 4.11 Profil menegak frekuensi Brunt Väisälä (N2, s-2) yang ditumpangtindihkan dengan profil temperatur (biru) dan densitas (σθ, hijau): Stasiun 1, 2, 3, dan 4
56
Gambar 4.11 (lanjutan): Stasiun 5, 6, 7, dan 8.
57
Gambar 4.11 (lanjutan): Stasiun 9, 10, 11, dan 12.
58
Gambar 4.11 (lanjutan): Stasiun 13, 14, dan 15.
59
(a)
celah barat
celah timur
Gambar 4.12 Profil menegak frekuensi apung, hanya menampilkan N2<0: (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4.
60
(b)
Gambar 4.12 Profil menegak frekuensi apung, hanya menampilkan N2<0: (b) Stasiun 5, 9, dan 14.
61
(c)
Gambar 4.12 (lanjutan): (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13.
62
(d)
(d)
Gambar 4.12 (lanjutan): (d) Stasiun 7, 11, dan 12.
63 4.5.2 Gradien Richardson (Ri) Indikasi stabilitas kolom air dapat diketahui pula dari proporsi hubungan antara frekuensi Brunt Väisälä dalam kondisi tak terganggu (dihitung dari densitas yang sudah di-reorder) dengan shear arus (S2), atau yang biasa dikenal dengan gradien Richardson (Ri) (Bruno et al., 2006). Cara untuk menginvestigasi struktur vertikal intensitas percampuran adalah dengan melihat statistik distribusi % Ri≤0,25 dari rata-rata N2 dan S2 untuk setiap harinya pada masing-masing bin (Shaffer, 1986). Namun, mengingat pengukuran arus dalam penelitian ini hanya bersifat sesaat, maka profil menegak Ri akan dianalisis dinamikanya secara vertikal untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan yang diduga berpotensi terjadi turbulensi yang dapat memicu percampuran massa air (Ri≤0,25). Profil menegak Ri keseluruhan stasiun diperlihatkan pada Gambar 4.13. Kendala teknis pengukuran SADCP yang mengakibatkan jangkauan efektif pengukuran hanya hingga kedalaman sekitar 200 meter menjadikan analisis karakteristik Ri dalam penelitian ini hanya merepresentasikan kondisi lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin bagian atas. Berkaitan dengan aliran massa air dari perairan Laut Flores menuju Laut Sawu melalui Selat Alor, diperoleh kesesuaian antara karakteristik susupan massa air salinitas maksimum NPSW dengan profil Ri. Estimasi secara visual dilakukan dengan asumsi bahwa masih dapat diidentifikasinya jejak salinitas maksimum NPSW pada kedalaman tertentu di stasiun-stasiun sebagaimana pada Gambar 4.8 merupakan indikasi bahwa pada kedalaman tersebut potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran massa air sangat kecil, sehingga tidak dapat merubah ciri khas massa air NPSW (salinitas maksimum). Dengan ungkapan lain, pada titik kedalaman tersebut nilai Ri>0,25. Bertolak dari asumsi ini, diperoleh kesesuaian nilai Ri>0,25 pada kedalaman di mana teridentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW (tanda panah biru pada Gambar 4.13 di Stasiun 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, dan 14). Kendati demikian, asumsi ini hanyalah pendekatan yang bersifat deskriptif berdasarkan pengamatan visual. Artinya, jika masih dapat diidentifikasi dengan relatif jelas jejak massa air maka dimungkinkan akan bersesuaian dengan nilai
64 Ri>0,25. Sebaliknya jika sudah tidak dapat diidentifikasi dengan jelas atau bahkan hilang maka dimungkinkan akan bersesuaian dengan nilai Ri ≤ 0,25.
St 01
St 02
St 03
St 04
St 05
St 06
St 07
St 08
St 09
Gambar 4.13 Profil menegak gradien Richardson (Ri) (merah) yang ditumpangtindihkan pada profil menegak salinitas (biru): Stasiun 1 hingga 9. Tanda panah biru menunjukkan kedalaman di mana jejak NPSW yang dideduksi dari profil TS Gambar 4.8 masih teridentifikasi.
65
St 10
St 11
St 12
St 13
St 14
St 15
Gambar 4.13 (lanjutan): Stasiun 10 hingga 15. Nilai Ri merupakan representasi proporsi hubungan yang menggabungkan antara pengaruh stabilitas massa air (efek struktur densitas) dengan kekuatan mekanik penggerak massa air tersebut. Terbentuknya turbulensi memerlukan adanya gradien kecepatan arus (Pond dan Pickard, 1983). Ketidakstabilan dinamik dapat terjadi apabila terdapat peningkatan atau penurunan kecepatan dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Masih menurut Pond dan Pickard (1983), secara empirik ketika Ri>0,25 maka turbulensi tidak dapat terbentuk meskipun terdapat gradien vertikal kecepatan. Dengan demikian, distribusi secara vertikal medan massa kaitannya dengan variasi kekentalan (viscosity) massa air juga akan menentukan modifikasi turbulensi mekanik yang timbul. Hasil identifikasi susupan massa air salinitas maksimum NPSW yang dijumpai sangat kecil di Stasiun 6 (2,9%) dibandingkan di Stasiun 8, 9, 10, dan 14 (di perairan Laut Sawu) tampak bersesuaian dengan pola Ri di Stasiun 6, di mana lebih dari 50% kolom air (hingga kedalaman 150 meter) didominasi oleh Ri≤0,25.
66 Di Stasiun 5, tidak dapat diidentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW; dan tampak bersesuaian dengan Ri≤0,25 pada rentang kedalaman 95-110 meter. Dengan ungkapan lain, pada rentang kedalaman ini terdapat potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran. Merujuk sebagaimana dinyatakan oleh Bruno et al. (2006) bahwa nilai Ri di bawah batas kritis 0,25 mengindikasikan bahwa percampuran dapat terjadi dalam suatu porsi kolom air tersebut. Hal serupa juga dinyatakan oleh Yoshida dan Oakey (1996) bahwa ketika Ri lebih rendah dari nilai kritis, maka lapisan fluida menjadi lebih turbulen dan memicu terjadinya percampuran. Di perairan sebelah selatan Selat Alor pada permukaan isopiknal σθ>24 massa air NISW tampak mulai memberikan kompetisi pengaruh. Berbeda dengan estimasi susupan NPSW yang mendasarkan pada pola arus atau aliran terobosan dari Selat Alor (sebagai pembawa massa air), estimasi pengaruh NISW didasarkan pada kondisi arus pada stasiun-stasiun pengamatan sebagai sumber informasi asal massa air. Secara visual tingkat turbulensi-percampuran massa air didasarkan pada kedekatan rentang secara profil diagram diagram TS sebagaimana sebelumnya, yakni argumentasi deskriptif bahwa masih dapat diidentifikasinya salinitas maksimum NISW mengindikasikan pada kedalaman tersebut potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran massa air sangat kecil, sehingga tidak dapat merubah ciri khas massa air. Dengan menjadikan Stasiun 14 sebagai titik awal sebelum terjadinya modifikasi (nilai salinitas maksimum NISW tertinggi sebesar 34,57 PSU dan σθ 25,77 kg m-3), serta pola arus pada kedalaman >50 meter relatif mengarah ke timur (Gambar 4.3), diperoleh kesesuaian antara profil Ri dengan profil TS pada kedalaman yang terindikasi turbulensi yang lemah (Ri>0,25) atau kuat (Ri≤0,25) di stasiun-stasiun lainnya. Di Stasiun 13, pada kedalaman permukaan hingga sekitar 70 meter serta kedalaman >175 meter diperoleh indikasi kuat adanya potensi percampuran (Ri<0,25). Kondisi ini sejalan dengan reduksi salinitas diagram TS Stasiun 14 (merah muda) menuju Stasiun 13 (merah hati) pada rentang kedalaman tersebut (Gambar 4.14 kotak a dan kotak c). Lemahnya potensi percampuran mencapai
67 optimum pada kedalaman sekitar 105-170 meter yang ditandai dengan tingginya nilai Ri. Di Stasiun 11, mendasarkan pada pola arus sebagaimana pada Gambar 4.3, pada lokasi ini berlaku arus terpicu angin musim dari arah timur. Dengan demikian, karakteristik massa air di stasiun ini dimungkinkan merupakan transformasi dari massa air Stasiun 12 (pada kedalaman <100 meter) dan massa air Stasiun 13 (pada kedalaman >100 meter). Pada Gambar 4.15 diperlihatkan transformasi massa air di stasiun 11 (hijau kebiruan) dari Stasiun 12 (abu-abu kebiruan) dan 13 (merah hati). Pada kedalaman 15-50 meter tampak reduksi salinitas pada kedalaman ini (kotak a) bersesuaian dengan Ri < 0,25. Pada kedalaman 80-120 meter tampak adanya kondisi TS yang tidak jauh berbeda antara Stasiun 11 dengan Stasiun 12. Kondisi ini juga bersesuaian dengan nilai Ri>0,25. Pada kedalaman 135-165 meter terjadi reduksi salinitas yang sangat kecil massa air Stasiun 13 di Stasiun 11 (kotak c) sehingga masih menyisakan jejak salinitas maksimum NISW. Kondisi ini tampak bersesuaian dengan tingginya nilai Ri pada rentang kedalaman tersebut.
Gambar 4.14 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di Stasiun 14 (merah muda) dan 13 (merah hati) pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a, b, dan c adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan).
68
Gambar 4.15 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air dari Stasiun 13 (merah hati) menuju Stasiun 11 (hijau kebiruan), serta dari Stasiun 12 (abu-abu kebiruan) menuju Stasiun 11 pada lapisan permukaan hingga kedalaman 120 meter pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a, b, dan c adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan). Di Stasiun 7, pada lokasi ini berlaku arus balik (counter current) dan arus terpicu angin musim dari arah tenggara (Gambar 4.3). Dengan demikian, dimungkinkan massa air di Stasiun 7 merupakan modifikasi dari massa air di Stasiun 11 (sebelah selatannya). Tampak pada Gambar 4.16, di kedalaman sekitar 25-45 meter dan >135 meter diperoleh indikasi kuat adanya potensi percampuran (Ri<0,25). Kondisi ini bersesuaian dengan modifikasi massa air di Stasiun 7 (hitam) dari Stasiun 11 (hijau kebiruan) yang relatif kuat (kotak a). Sedangkan pada kedalaman di antara keduanya, tampak relatif tidak terdapat perbedaan karakteristik TS (kotak b), yang ditandai pula dengan tingginya nilai Ri pada lapisan tersebut. Di samping itu, tampak bahwa ciri khas massa air NISW sudah hilang pada Stasiun 7.
69
Gambar 4.16 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di Stasiun 11 (hijau kebiruan) dan 7 (hitam) pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a dan b adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan). Di Stasiun 10, pada kedalaman <50 meter terdapat pembalikan aliran yang bertemu dengan arus dari arah timur hingga kedalaman <100 meter (Gambar 4.3). Pada kedalaman >100 meter, terdapat aliran dari arah barat yang mendominasi. Dengan mendasarkan pada kemungkinan percampuran secara isopiknal dan dominan arus adalah arus dari arah barat, maka kemungkinan massa air di Stasiun 10 ini merupakan transformasi dari massa air Stasiun 14. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.17, di kedalaman <30 meter diperoleh indikasi kuat adanya potensi percampuran (Ri<0,25). Kondisi ini bersesuaian dengan modifikasi massa air di Stasiun 10 (hijau) dari Stasiun 14 (merah muda) (kotak a). Pada kedalaman 100-160 meter, terjadi reduksi salinitas yang sangat kecil (kotak b) massa air Stasiun 14 di Stasiun 10. Kondisi ini tampak relatif bersesuaian dengan tingginya nilai Ri pada rentang kedalaman tersebut.
70
Gambar 4.17 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson (Ri) dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di Stasiun 10 (hijau) dan 14 (merah muda) pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a dan b adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan). Adapun di Stasiun 5, 6, dan 8; jejak salinitas maksimum NISW tampak mulai hilang. Diduga, kuatnya aliran keluaran Selat Alor yang membawa massa air dari Laut Flores mendominasi kolom air sehingga mendistorsi karakter massa air NISW. Profil TS di Stasiun 5, 6, 8, dan 9 yang berada pada alur keluaran Selat Alor, serta di Stasiun 14 dan 15 (kedua stasiun ini memiliki karakteristik TS yang hampir mirip) sebagai stasiun referensi sumber massa air NPSW, dan Stasiun 4 sebagai referensi sumber massa air yang keluar dari mulut selat (Gambar 4.18). Tampak bahwa pada σθ = 24-26, massa air di Stasiun 5, 6, 8, dan 9 merupakan massa air transisi antara Stasiun 4 dan Stasiun 14. Sulit diidentifikasi kesesuaian antara profil Ri dengan profil TS pada Stasiun 5, 6, dan 8 mengingat kompetisi pengaruh antara massa air keluaran selat (Stasiun 4) dengan massa air di Stasiun 14. Jejak NISW masih jelas teridentifikasi pada stasiun 9 (123,642 BT; 8,524 LS), dan tampak bersesuaian dengan profil Ri.
71 Terdapat beberapa keterbatasan atas estimasi kemungkinan terjadinya percampuran dengan pendekatan gradien Ri dalam penelitian ini. Pertama adalah tidak tercakupnya profil Ri dalam satu periode pasang-surut (pasut). Sebagaimana dinyatakan oleh Bruno et al. (2006) pasut berperan dalam evolusi Ri kaitannya dengan fenomena pasut internal yang dapat memodifikasi profil nilai kritis serta jangkauannya. Kedua, relatif kasarnya resolusi vertikal data shear arus yang digunakan (5 meter) sehingga tidak dapat mendeteksi aktivitas turbulensi yang memiliki resolusi di bawah resolusi vertikal shear arus ini. Sebagaimana dinyatakan Johnson dan Garrett (2004), dalam perhitungan laju percampuran idealnya menggunakan peralatan microstructure. Di samping itu, keterbatasan jangkauan kedalaman pengukuran SADCP menjadikan estimasi potensi turbulensi dengan metode Ri ini hanya merepresentasikan stabilitas kolom air lapisan atas (lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin bagian atas) saja.
Gambar 4.18 Profil TS di stasiun-stasiun yang berada pada alur keluaran Selat Alor, memperlihatkan adanya transformasi massa air pada σθ = 2426. Pada profil Stasiun 9 (cokelat) teridentifikasi keberadaan NISW yang tampak kesesuaiannya dengan struktur Ri >0,25 (a). Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri<0,25. Notasi a adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri (kanan).
72 4.6 Estimasi Skala Thorpe Berdasarkan ulasan sebelumnya diperoleh bahwa profil menegak densitas dari pengukuran CTD memiliki struktur ketidakstabilan massa air yang ditandai dengan nilai negatif frekuensi Brunt Väisälä. Dengan demikian, perpindahan (displacement) parsel massa air yang disebabkan oleh suatu kondisi di mana terdapat parsel massa air yang berdensitas tinggi berada di atas parsel massa air yang berdensitas lebih rendah dimungkinkan terjadi. Pada Gambar 4.19 diperlihatkan contoh kondisi ketidakstabilan massa air di Stasiun 3. Tampak bahwa jika densitas awal hasil pengukuran (warna biru) disusun ulang (reordered) ke dalam kondisi yang stabil secara gravitasi (densitas rendah berada di atas densitas tinggi) (warna merah) maka dalam pita kolom air yang tidak stabil tersebut akan terjadi perpindahan dari posisi awal menuju posisi baru (tanda panah hijau) (Gambar 4.19 atas). Konfirmasi atas inversi densitas untuk memastikan apakah perpindahan yang terjadi bukan merupakan inversi palsu dilakukan dengan mengidentifikasi profil temperatur pada pita parsel massa air tersebut (Gambar 4.19 bawah) (Peters et al., 1995). Jarak perpindahan titik-titik nilai densitas yang menyesuaikan ke kondisi stabil inilah yang dikenal dengan perpindahan Thorpe (Thorpe displacement, d). Di samping diberlakukan uji non zero inversi densitas-temperatur, guna menghilangkan pengaruh gangguan (noise) dari instrumen CTD yang dapat menjadi rancu dengan nilai d yang sebenarnya, dilakukan penapisan ulang pada nilai d sebagaimana dilakukan oleh Galbraith dan Kelley (1996) atau dikenal dengan metode GK. Kemungkinan noise ini dapat timbul juga akibat pergerakan naik-turun kapal selama pengambilan data (Johnson dan Garrett, 2004). Dengan resolusi vertikal data densitas sebesar 0,5 dbar (~0,5 meter), maka nilai minimum d yang dikategorikan sebagai overturn adalah ≥2,5 dbar (~2,5 meter). dengan ungkapan lain, nilai d yang berada di bawah 2,5 meter akan dianggap sebagai noise. Profil d sebelum dan sesudah diberlakukan metode GK untuk keseluruhan stasiun disajikan pada Lampiran 5.
73
Gambar 4.19 Perbandingan densitas (atas) dan temperatur (bawah) hasil pengukuran (biru) dengan setelah disusun ulang (reorder, merah) di Stasiun 3 yang memperlihatkan adanya ketidakstabilan secara gravitasi. Gambar pada sisi kanan adalah perbesaran gambar pada sisi kiri pada area kotak. Tanda panah mengindikasikan arah relokasi parsel massa air menuju posisi stabil. Dalam penelitian ini, nilai d yang digunakan untuk analisis lebih lanjut adalah nilai yang telah diberlakukan metode GK. Nilai d positif (negatif) menunjukkan bahwa dalam porsi kolom air tersebut massa air bergerak naik
74 (turun) sebesar jarak tersebut untuk menyesuaikan ke kondisi yang stabil secara gravitasi. Kondisi demikian terjadi apabila massa air yang berdensitas rendah (tinggi) berada di bawah massa air yang berdensitas lebih tinggi (rendah). Profil vertikal d beserta latar topografi dasar perairan disajikan pada Gambar 4.20. Pada bagian utara Selat Alor, yakni Stasiun 1 dan 2, nilai d pada lapisan permukaan tercampur berada dalam kisaran masing-masing -13 sampai 12,5 meter dan -3 sampai 4 meter. Pada lapisan termoklin, nilai d berada dalam kisaran masing-masing -11,5 sampai 16 di Stasiun 1, sedangkan di Stasiun 2 nilai d berada dalam kisaran -14,5 sampai 7,5 meter. Tingginya kisaran perpindahan d pada lapisan ini tampak dikonfirmasi dengan baik oleh profil Ri yang rendah di kedua stasiun, terutama pada kedalaman <100 meter pada profil Ri (Gambar 4.13). Tidak dapat dikonfirmasi kesesuaiannya dengan profil Ri pada kedalaman >150 meter karena berada di luar jangkauan kedalaman perhitungan Ri (~150 meter). Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 1 dan 2 masing-masing berada dalam kisaran -22 sampai 29,5 meter dan -24,5 sampai 28,5 meter. Jika dibandingkan dengan lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin, tampak nilai d pada lapisan dalam paling tinggi. Kondisi ini diduga akibat rendahnya nilai stabilitas massa air pada lapisan ini (Gambar 4.11). Pada bagian dalam kanal Selat Alor (Stasiun 3 dan 4), nilai d pada lapisan permukaan tercampur Stasiun 3 berada dalam kisaran -3,5 sampai 2,5 meter, sedangkan di Stasiun 4 tampak tidak terdeteksi adanya nilai d yang ≥2,5 meter. Pada lapisan termoklin, di Stasiun 3 dan 4 masing-masing nilai d berada dalam kisaran -5 sampai 11,5 meter dan -8 sampai 6,5 meter. Kondisi ini tampak relatif bersesuaian dengan nilai profil Ri pada lapisan termoklin (16-295 meter di Stasiun 3 dan 8-262 meter di Stasiun 4), di mana terdapat porsi kolom air dengan nilai Ri≤0,25 pada kedua stasiun (Gambar 4.12). Namun, tampak pula bahwa di Stasiun 3 pada kedalaman sekitar 75-155 meter nilai Ri sangat tinggi, mengindikasikan tingginya stabilitas massa air. Keadaan inilah yang diduga memberikan kontribusi pada rendahnya kisaran nilai d Stasiun 3 dibandingkan Stasiun 4.
75
(a)
celah barat
celah timur
Gambar 4.20 Profil perpindahan Thorpe, d: (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4.
76
(b)
Gambar 4.20 (lanjutan): (b) Stasiun 5, 9, dan 14.
77
(c)
Gambar 4.20 (lanjutan): (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13.
78
(d)
Gambar 4.20 (lanjutan): (d) Stasiun 7, 11, dan 12.
79 Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 3 dan 4 masing-masing berada dalam kisaran -22 sampai 17 meter dan -8,5 sampai 18,5 meter. Jika dibandingkan dengan lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin, tampak nilai d pada lapisan dalam paling tinggi. Kondisi ini diduga akibat rendahnya nilai stabilitas massa air pada lapisan ini (Gambar 4.11). Lebih dari itu, tampak bahwa di Stasiun 3 dan 4 perpindahan tertinggi yang terjadi berada di kedalaman sekitar 300 meter atau dekat dasar perairan. Merujuk sebagaimana dinyatakan Polzin et al. (1997), nilai perpindahan yang tinggi di dekat dasar perairan dapat disebabkan adanya interaksi antara topografi dasar perairan dengan arus yang melintas di atasnya. Pada bagian selatan Selat Alor dan dekat dengan pintu kanal keluaran selat (Stasiun 5, 6, dan 7); perpindahan pada lapisan permukaan tercampur tampak tidak terdeteksi di Stasiun 5 dan 6. Di Stasiun 7 terdeteksi nilai d berkisar 0 sampai 3,5 meter. Pada lapisan termoklin, nilai d hanya terdeteksi di Stasiun 5 dan 6 masing-masing berkisar -10,5 sampai 8 meter dan -6,5 sampai 9 meter. Konfirmasi dengan profil Ri pada lapisan ini (5-314 meter di Stasiun 5, dan 5,5315 meter di Stasiun 6) menunjukkan bahwa terdapat nilai Ri yang dekat dan di bawah batas kritis dengan intensitas yang jauh lebih besar terdapat di Stasiun 6. Kondisi ini tampak bersesuaian dengan profil d yang relatif lebih merata di Stasiun 6 dibandingkan di Stasiun 5. Adapun di Stasiun 7 nilai d berkisar -3 sampai 3 meter, dengan intensitas yang relatif rendah. Kondisi ini tampak bersesuaian dengan profil Ri pada lapisan termoklin di Stasiun 7 yang memiliki nilai sangat tinggi. Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 5, 6, dan 7 masing-masing berada dalam kisaran -5 sampai 4,5 meter; -8,5 sampai 11 meter; dan -26 sampai 27,5 meter. Secara keseluruhan, perpindahan pada lapisan dalam ini memiliki kisaran tertinggi dibandingkan dengan dua lapisan di atasnya. Kondisi ini diduga akibat rendahnya nilai stabilitas massa air pada lapisan ini (Gambar 4.12). Profil d di Stasiun 7 juga memperlihatkan intensitas tertinggi inversi densitas terjadi pada lapisan dalam (> 400 meter). Fenomena ini diduga terkait dengan posisi stasiun 7 yang berada di dekat perairan pantai yang curam (Gambar 4.1) sehingga interaksi antara arus dan topografi dasar perairan akan meningkatkan turbulensi pada
80 lapisan dekat dasar. Polzin et al. (1997) menyatakan bahwa tingginya nilai LT pada lapisan dalam juga dapat disebabkan oleh hamburan gelombang internal karena interaksinya dengan topografi dasar perairan. Menjauhi pintu kanal, di Stasiun 8 hingga 15 nilai perpindahan d makin mengecil. Di Stasiun 8, inversi densitas hanya terjadi pada lapisan termoklin dan lapisan dalam, keduanya memiliki kisaran perpindahan -11,5 sampai 5 meter; dan -9,5 meter sampai 7,5 meter. Di Stasiun 9, tidak terdeteksi adanya perpindahan parsel massa air baik pada lapisan permukaan tercampur, sedangkan pada lapisan termoklin memiliki kisaran -3 meter sampai 0 meter. Pada lapisan dalam di Stasiun 9, perpindahan memiliki kisaran -6 sampai 6,5 meter. Meskipun teridentifikasi nilai Ri≤0,25 di kedalaman <80 meter (Gambar 4.13), namun diduga hanya menghasilkan turbulensi yang sangat kecil sehingga menghasilkan inversi densitas <2,5 meter (tidak lolos setelah diberlakukan metode GK). Di Stasiun 10 dan 11, perpindahan parsel massa air teridentifikasi hanya pada lapisan termoklin dengan kisaran d masing-masing -5,5 sampai 5,5 meter dan -7,5 sampai 6 meter. Hasil konfirmasi dengan profil Ri diperoleh adanya kesesuaian, di mana di Stasiun 10 (kedalaman lapisan termoklin 6-330 meter) pada kedalaman <30 meter Ri di bawah batas kritis. Sedangkan di Stasiun 11 (kedalaman lapisan termoklin 10-275 meter), nilai Ri pada kedalaman <50 meter juga di bawah batas kritis. Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 10 dan 11 masing-masing berada dalam kisaran -2,5 sampai 3,5 meter; dan -6 sampai 6 meter. Relatif jarangnya distribusi perpindahan pada kedua stasiun ini diduga terjadi akibat tingginya stabilitas massa air (Gambar 4.12). Di Stasiun 12, 13, dan 14; perpindahan parsel massa air teridentifikasi hanya pada lapisan termoklin dan lapisan dalam. Pada lapisan termoklin kisaran d masing-masing -2,5 sampai 2,5 meter; -3 sampai 3 meter; dan -2,5 sampai 3 meter. Meskipun teridentifikasi adanya nilai Ri di dekat dan di bawah batas kritis pada kedalaman <50 meter di ketiga stasiun (Gambar 4.13), namun diduga shear arus (S2) yang bekerja tidak mampu menekan kuatnya stabilitas massa air (N2), sehingga perpindahan d yang ditimbulkan sangat kecil (<2,5 meter). Adapun di Stasiun 15, karena lokasi stasiun ini yang relatif tertutup dari pengaruh aliran Selat
81 Alor, maka dimungkinkan memiliki stabilitas massa air cukup tinggi (Gambar 4.11 dan Gambar 4.12) tidak mampu diimbangi oleh kecilnya shear arus di lokasi ini. Akibatnya, nilai Ri di stasiun ini (Gambar 4.13) tampak jauh di atas batas kritis atau tidak memungkinkan terbentuknya turbulensi. 4.7 Disipasi Energi Kinetik Turbulen Estimasi nilai rata-rata energi kinetik turbulen pada lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun disajikan dalam Tabel 4.3. Adapun nilai pada setiap lapisan ditampilkan pada Gambar 4.21. Tingginya nilai disipasi energi kinetik turbulen mengindikasikan dilepaskannya sejumlah energi kinetik turbulen untuk memodifikasi struktur massa air yang terjadi dalam proses percampuran. Tabel 4.3 Nilai rata-rata disipasi energi kinetik turbulen eddy pada lapisan tercampur, lapisan termoklin, lapisan dalam di masing-masing stasiun. Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Disipasi Energi Kinetik Turbulen Eddy, ε (W kg-1) Lapisan Tercampur Lapisan Termoklin Lapisan Dalam -7 -6 3,77 x 10 2,29 x 10 1,15 x 10-6 7,57 x 10-8 3,65 x 10-6 1,89 x 10-7 1,65 x 10-6 9,30 x 10-7 4,75 x 10-8 5,34 x 10-7 0 1,72 x 10-6 0 1,41 x 10-6 3,97 x 10-8 2,62 x 10-7 0 1,29 x 10-6 1,15 x 10-7 3,63 x 10-8 3,21 x 10-7 -7 1,09 x 10-8 0 7,22 x 10 0 9,06 x 10-9 3,26 x 10-9 0 2,71 x 10-7 3,82 x 10-10 0 2,45 x 10-7 2,97 x 10-9 0 6,09 x 10-9 2,56 x 10-10 3,95 x 10-8 2,57 x 10-9 0 2,05 x 10-8 5,34 x 10-9 0 1,26 x 10-7 4,32 x 10-9
82
(a)
celah barat
celah timur
Gambar 4.21 Profil disipasi energi kinetik turbulen eddy: (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4.
83
(b)
Gambar 4.21 Profil disipasi energi kinetik turbulen eddy: (b) Stasiun 5, 9, dan 14.
84
(c)
Gambar 4.21 (lanjutan): (c) Stasiun 6, 8, 10, dan 13.
85
(d)
Gambar 4.21 (lanjutan): (d) Stasiun 7, 11, dan 12.
86 Dari keseluruhan stasiun, nilai disipasi energi kinetik turbulen yang tinggi tampak terdapat pada alur Selat Alor, yakni di stasiun 1, stasiun 3 dan 4 (bagian dalam kanal), dan stasiun 5 (pintu selat sebelah selatan). Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam sistem aliran kanal selat, jumlah energi kinetik dalam aliran turbulen yang dilepaskan (terdisipasi) lebih besar dibandingkan pada lokasi-lokasi di luar alur kanal. Identifikasi lebih lanjut terhadap profil disipasi energi kinetik turbulen eddy kaitannya dengan kondisi topografi dasar perairan memperlihatkan bahwa intensitas pelepasan energi yang tinggi terjadi di lapisan bawah dekat dasar dan pada area di dekat ambang (Gambar 4.21). Dengan ungkapan lain, keberadaan ambang memicu pelepasan energi kinetik turbulen eddy. Secara umum, nilai ε pada alur kanal Selat Alor juga relatif lebih tinggi dibandingkan pada stasiunstasiun di luar selat. Hal ini diduga berkaitan dengan interaksi aliran dengan dasar perairan yang lebih dangkal, di mana akan terjadi peningkatan nilai shear arus. Finnigan et al. (2002) menyatakan bahwa topografi dasar (pada ridge) perairan memiliki peran terhadap meningkatnya nilai percampuran. 4.8 Estimasi Difusivitas Eddy Vertikal Tingginya disipasi energi kinetik turbulen pada bagian utara dan dalam Selat Alor merupakan indikasi kuatnya percampuran vertikal massa air. Tabulasi nilai Kρ setiap lapisan dan rata-ratanya di masing-masing stasiun disajikan pada Tabel 4.4. Pada lapisan termoklin, untuk stasiun-stasiun di sebelah utara selat hingga mulut selatan selat (Stasiun 1 hingga 6) memiliki O(10-3) m2 s-1 (Stasiun 6 Kρ = 9,2 x 10-4 ≈ 10-3). Kisaran orde inilah yang diduga mampu mereduksi massa air NPSW seiring memasuki perairan Selat Alor hingga hanya tersisa 31,2% di Stasiun 4, dan hilang di Stasiun 5 (Tabel 4.2).
87 Tabel 4.4 Nilai rata-rata difusivitas eddy vertikal pada lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun. Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Difusivitas Eddy Vertikal, Kρ (m2 s-1) Lapisan Tercampur Lapisan Termoklin Lapisan Dalam -3 -3 1,8 x 10 7,6 x 10-3 3,8 x 10 2,9 x 10-3 2,8 x 10-3 6,1 x 10-4 4,1 x 10-4 1,2 x 10-3 1,1 x 10-2 4,0 x 10-3 0 1,6 x 10-3 2,7 x 10-4 0 1,9 x 10-3 0 9,2 x 10-4 2,0 x 10-3 9,4 x 10-4 3,5 x 10-5 3,9 x 10-3 0 9,6 x 10-4 1,6 x 10-4 5,9 x 10-5 0 1,1 x 10-5 0 3,6 x 10-4 7,0 x 10-6 0 2,8 x 10-4 5,9 x 10-5 0 1,1 x 10-5 5,0 x 10-6 4,6 x 10-5 3,2 x 10-5 0 3,0 x 10-5 9,0 x 10-5 -4 4,2 x 10-5 0 1,5 x 10
Profil vertikal difusivitas eddy vertikal dengan latar topografi dasar disajikan pada Gambar 4.22. Konsentrasi nilai difusivitas berada pada lapisan dekat dasar dan di dekat ambang menandakan bahwa difusivitas vertikal ini diduga dipicu oleh turbulensi akibat adanya interaksi antara topografi dasar yang mendangkal serta ambang dengan aliran selat. Pola seperti ini mirip dengan yang didapat oleh Finnigan et al. (2002) dan Hatayama et al. (2004).
88
(a)
celah barat
celah timur
Gambar 4.22 Profil difusivitas eddy vertikal: (a) Stasiun 1, 2, 3, dan 4.
89
(b)
Gambar 4.22 (lanjutan): (b) Stasiun 5, 9, 14.
90
(c)
Gambar 4.22 (lanjutan): (c) Stasiun 6, 8, 10, 13.
91
(d)
(d)
Gambar 4.22 (lanjutan): (d) Stasiun 7, 11, dan 12.
92 Pengamatan lebih jauh terhadap profil difusivitas vertikal kaitannya dengan kondisi shear arus pada kedalaman hingga ~200 meter di dalam selat juga mengindikasikan bahwa pada kedalaman dengan shear tinggi bersesuaian dengan tingginya difusivitas vertikal. Pada Gambar 4.23 diperlihatkan profil S2 yang ditumpangtindihkan dengan profil Kρ. Secara keseluruhan, nilai rata-rata Kρ di perairan Selat Alor dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah perairan sebelah utara dan dalam selat (stasiun 1 hingga 7) yang memiliki nilai Kρ dengan (O)10-3 (di Stasiun 6, Kρ = 8.82 x 10-4~10-3); dan perairan sebelah selatan yang memiliki orde bervariasi antara 10-4, 10-5, dan 10-6. Lebih tingginya orde di Stasiun 7 diduga juga berkaitan dengan lokasinya yang berada di dekat landas kontinen, di mana gangguan karena arus yang menabrak perairan dangkal mengakibatkan massa air menjadi tidak stabil (Gambar 4.12). Terdapat keterbatasan atas estimasi nilai Kρ dalam penelitian ini, yakni tidak tercakupnya profil Kρ dalam satu periode pasang-surut (pasut), sehingga tidak dapat dikonfirmasi lebih lanjut dinamika temporal kaitannya dengan pasut internal di perairan Selat Alor.
Gambar 4.23 Profil difusivitas eddy vertikal di Stasiun 1, 3, 4, dan 5 yang ditumpangtindihkan pada profil shear arus di Selat Alor.
93
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perairan Selat Alor pada bulan Juli memiliki net aliran massa air dari Laut Flores di sisi utara menuju Laut Sawu pada sisi selatan. Identifikasi atas karakteristik massa air diperoleh bahwa di perairan Laut Flores sebelah utara Selat Alor pada pada lapisan atas termoklin teridentifikasi Massa Air Subtropis Pasifik Utara, NPSW. Tidak teridentifikasi tipikal Massa Air Pertengahan Pasifik Utara, NPIW. Pada lapisan termoklin di perairan Laut Sawu sebelah selatan Selat Alor, teridentifikasi Massa Air Subtropis Samudera Hindia Utara (NISW), serta ditemukan pula Massa Air Kedalaman Menengah Samudera Hindia Utara (NIIW). Kuatnya turbulensi akibat interaksi antara aliran massa air dengan topografi dasar selat mengakibatkan modifikasi karakteristik massa air NPSW yang cukup signifikan yang mengalir dari Laut Flores seiring memasuki Laut Sawu. Meskipun demikian, masih ditemukan adanya jejak massa air NPSW yang mengalir hingga Laut Sawu pada alur utama selat, berkenaan dengan rendahnya potensi turbulensi pada kedalaman di mana masih teridentifikasi jejak Smax NPSW. Transformasi massa air NPSW berkaitan dengan tingginya difusivitas eddy vertikal pada bagian dalam selat. Difusivitas eddy vertikal yang relatif terkonsentrasi pada lapisan dekat dasar menandakan bahwa kondisi ini dipicu oleh turbulensi akibat interaksi antara topografi dasar yang mendangkal karena adanya ambang dengan aliran selat. 5.2 Saran Diperlukan pengukuran profil CTD dan arus yang setidaknya mencakup satu periode pasang-surut (data deret waktu) untuk dapat mengkonfirmasi atas estimasi nilai-nilai yang terkait dengan intensitas percampuran massa air yang terjadi karena aktivitas gelombang pasang-surut internal. Langkah ini diperlukan untuk mengidentifikasi dinamika temporal yang mungkin terjadi kaitannya dengan fenomena pasang-surut internal.
94
95
DAFTAR PUSTAKA
Alford, M. H., R. Pinkel. 2000. Observations of overturning in the thermocline: The context of ocean mixing. J. Phys. Oceanogr. 30: 805–832. Atmadipoera, A., R. Molcard, G. Madec, S. Wijffels, J. Sprintall, A. KochLarrouy, I. Jaya, A. Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian Throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea Res. I 56: 1942-1954. Berger, G. W., A. J. Van Bennekom, H. J. Kloosterhuis. 1988. Radon profiles in the Indonesian archipelago. Neth. J. Sea Res. 22: 395-402. Bruno, M., A. Vázquez, J. Gómez-Enri, J.M. Vargas, J. Garcia Lafuente, A. RuizCanavate, L. Mariscal, J. Vidal. 2006. Observations of internal waves and associated mixing phenomena in the Portimao Canyon area. Deep-Sea Res. II 53: 1219–1240. Cisewski, B., V. H. Strass, H. Prandke. 2005. Upper-ocean vertical mixing in the Antarctic polar front zone. Deep-Sea Res. II 52:1087-1108. Cullen, J. J., E. Stewart, E. Renger, R. W. Eppley, C. D. Winant. 1983. Vertical motion of the thermocline, nitracline, and chlorophyll maximum layers in relation to currents on the Southern California Shelf. J. Mar. Res. 41: 239– 262. Delpeche, N. C., T. Soomere, M. J. Lilover. 2010. Diapycnal mixing and internal waves in the Saint John River Estuary, New Brunswick, Canada with a discussion relative to the Baltic Sea. Estonian J. Eng. 16 (2): 157–175. Dillon, T. M. 1982. Vertical overturns: a comparison of Thorpe and Ozmidov length scales. J. Geophys. Res. 87 (C12): 9601-9613. Ezer, T. 2006. Topographic influence on overflow dynamics: Idealized numerical simulations and the Faroe Bank Channel overflow. Geophys. Res. Lett. 111, C02002, doi:10.1029/2005JC003195. Fer, I., R. Skogseth, P. M. Haugan. 2004. Mixing of the Storfjorden overflow (Svalbard Archipelago) inferred from density overturns. J. Geophys. Res. (109): C01005, doi:10.1029/2003JC001968. Ferron, B., H.. Mercier, K. G. Speer, A. Gargett, K. L. Polzin. 1998. Mixing in the Romanche fracture zone. J. Phys. Oceanogr. 28: 1929-1945. Fieux, M., C. Andrie, E. Charriaud, A. G. Ilahude, N. Metzl, R. Molcard, J. C. Swallow. 1996. Hydrological and chlorofluoromethane measurements of the Indonesian throughflow entering the Indian Ocean. J. Geophys. Res. 101 (C5): 12433-12454.
96 Ffield, A., A. L Gordon. 1992. Vertical mixing in the Indonesian thermocline. J. Phys. Oceanogr. 22:184-195. ____________. 1996. Tidal mixing signature in the Indonesian Seas. J. Phys. Oceanogr. 26:1924-1936. Finnigan, T. D., D. S. Luther, R. Lukas. 2002. Observation of enhanced diapycnal mixing near the Hawaiian Ridge. J. Phys. Oceanogr. 32:2988-3002. Galbraith, P. S., D. E. Kelley. 1996. Identifying overturns in CTD profiles. J. Atmos. and Ocean. Tech. 13: 688-702. Gargett, A., T. Garner. 2008. Determining Thorpe scales from ship-lowered CTD density profiles. J. Atmos. Oceanic. Technol. 25: 1657-1670. Godfrey, J. S. 1996. The effect of Indonesian Throughflow on ocean circulation and heat exchange with atmosphere: a review. J. Geophys. Res. 101 (C5): 12217-12237. Gordon, A. L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their Throughflow. Oceanography 18: 14-27. ____________. 1986. Interocean exchange of thermocline water. J. Geophys. Res. 91 (C4): 5037-5047. Gordon A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, B. A. Huber, W. Pranowo, S. Wirasantosa. 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophys. Res. Lett. 35: 15. Gregg, M. C. 1987. Diapycnal mixing in the thermocline: A review. J. Geophys. Res. 92: 5249–5286. Guo P., F. Wendong, G. Zijun, C. Rongyu, L. Xiaomin. 2006. Internal tide characteristics over northern South China Sea continental slope. Chin. Sci. Bull. 51, Supp. II: 17-25. Hatayama, T. 2004. Transformation of the Indonesian Throughfow water by vertical mixing and it relation to tidal generated internal wave. J. Oceanogr. 60:569-585. Hautala, S. L., J. L. Reid, N. Bray. 1996. The distribution and mixing of Pacific water masses in the Indonesian seas. J. Geophys. Res. 101 (C5): 1237512389. Ilahude A. G., A. L. Gordon. 1996. Thermocline stratification within the Indonesian Seas. J. Geophys. Res. 101: 12401-12409. Isaaks, E. H., Srivastava, R. M. 1989. An Introduction to Applied Geostatistics. New York. Oxford University Press.
97 Johnson, H. L., C. Garrett. 2004. Effects of noise on Thorpe scale and run lengths. J. Phys. Oceanogr. 34: 2359 – 2372. Kara, A. B., P. A. Rochford, H. E. Hurlburt. 2000. An optimal definition for ocean mixed layer depth. J. Geophys. Res. 105: 16803-16821. Kitade, Y., M. Matsuyama, J. Yoshida. 2003. Distribution of overturn induced by internal tides and Thorpe scale in Uchiura Bay. J. Oceanography 59: 845-850. Koch-Larrouy A., G. Madec, P. Bouruet-Aubertot, T. Gerkema. 2007. On the transformation of Pacific Water into Indonesian Throughflow water by internal tidal mixing. Geophys. Res. Lett. 34: 1-6. Koch S. E., M. Des Jardins, P. J. Kocin. 1983. An interactive Barnes objective map analysis scheme for use with satellite and conventional data. J. Climate Appl. Meteor. 22: 1487-1503. Lebedev, K., M. L. Yaremchuk. 2000. A diagnostic study of the Indonesian Throughflow. J. Geophs. Res. 105: 11243 – 11258. Lorbacher K., D. Dommenget, P. P. Niiler, A. Kohl. 2005. Ocean Mixed Layer Depth: a Subsurface Proxy of Ocean-Atmosphere Variability. San Diago: The ECCO Report Series. Mamayev, O. I. 1975. Temperature-Salinity Analysis of World Ocean Waters. Netherland. Elsevier Scientific Publishing Company. Martinez, D. M. V., E. B. C. Schettini, J. H. Silvestrini. 2006. The influence of stable stratification on the transition to turbulence in a temporal mixing layer. J. of the Braz. Soc. of Mech. Sci. & Eng. XXVIII (2): 242-252. Matsuno, T., M Shimizu, Y. Morri, H. Nishida, Y. Takaki. 2005. Measurements of the turbulent energy dissipation rate around the shelf break in the East China Sea. J. Oceanogr. 61: 1029-1037. McTaggart, K. E., G. C. Johnson, M. C. Johnson, F. M. Delahoyde, J. H. Swift. 2010. Notes on CTD/O2 data acquisition and processing using Sea-Bird hardware and software (as available). Go-Ship IOCCP Rep. 14: 1-10. Miles, J. 1961. On the stability of heterogeneous shear flows. J. Fluid Mechanics, 10: 496-508. Miles, J., L. N. Howard. 1964. Note on heterogeneous shear flow. J. Fluid Mechanics, 20: 331-336. Monk, K. A., De Fretes, Y., and Lilley, G. R. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology of Indonesia Series Vol. V, Periplus Editions. Munk, W. 1966. Abyssal recipes. Deep-Sea Res. 13: 707–30.
98 Murray, S. P., D. Arief. 1988. Throughflow into the Indian Ocean through the Lombok Strait, January 1985-January 1986. Nature 333: 444-447. Neumann, G., W. J. Pierson Jr. 1966. Principles of Physical Oceanography. London. Prentice-Hall International. New, A. L. 1988. Internal tidal mixing in the Bay of Biscay. Deep-Sea Res. 35 (5): 691–709. Osborn, T. R. 1980. Estimates of the local rate of vertical diffusion from dissipation measurements. J. Phys. Oceanogr. 10: 83–89. Park, Y. H., J. L. Fuda, I. Durand, A. C. N. Garabato. 2008. Internal tides and vertical mixing over the Kerguelen Plateau. Deep-Sea Res. II 55: 582–593. Peters, H., M. C. Gregg, T. B. Sanford. 1995. On the parameterization of equatorial turbulence: Effect of fine-scale variations below the range of the diurnal cycle. J. Geophys. Res. 100 (C9):18333–18348. Pickard G. L., W. J. Emery. 1990. Descriptive Physical Oceanography. An Introduction. Oxford: Pergamon Press. Polzin K. L., J. M. Toole, J. R. Ledwell, R. W. Schmitt. 1997. Spatial variability of turbulent mixing in the Abyssal Ocean. Science 276: 93-96. Pond, S., G. L. Pickard. 1983. Introductory dynamical oceanography. 2nd edition. Pergamon Press. Toronto. Potemra, J. T., J. Sprintall, S. L. Hautala, W. Pandoe. 2003. Observed estimates of convergence in the Savu Sea, Indonesia. J. Geophs. Res. 108 (C1), 3001, doi:10.1029/2002JC001507. Richardson, L. F. 1920. The supply of energy from and to atmospheric eddies. Proc. Roy. Soc. London A97 (686): 354–373. Riley, J. J., M. P. Lelong. 2000. Fluid motions in the presence of strong stable stratification. Annual Review of Fluid Mechanics 32: 613–657. Rippeth, T. P., M. E. Inall. 2002. Observations of the internal tide and associated mixing across the Malin Shelf. J. Geophys. Res. 107 (C4): 8687–8705. Robertson R., A. Ffield. 2005. M2 baroclinic tides in the Indonesian Seas. Oceanography, 18:62-73. Shaffer, G. 1986. On the upwelling circulation over the wide shelf off Peru: 2. Vertical velocities, internal mixing and heat balance. J. Mar. Res. 44: 227266.
99 Sherwin, T. J., W. R. Turrell. 2005. Mixing and advection of a cold water cascade over the Wyville Thomson Ridge. Deep-Sea Res. I 52: 1392-1413. Sprintall, J., J. Chong, F. Syamsudin, W. Morawitz, S. Hautala, N. Bray, S. Wijffels. 1999. Dynamics of the South Java Current in the Indo-Australian basin. Geophys. Res. Lett. 26 (16): 2493-2496. Sprintall, J., S. E. Wijffels, R. Molcard, I. Jaya. 2009a. Direct estimates of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004–2006. J. Geophys. Res. 114. C07001. Sprintall, J., S. E. Wijffels, R. Molcard, I. Jaya. 2009b. Direct evidence of the South Java Current system in Ombai Strait. Dynamics of Atmospheres and Oceans, 50 (2): 140–156. Stansfield, K., C. Garrett, R. Dewey. 2001. The probability distribution of the Thorpe displacement within overturns in Juan de Fuca Strait. J. Phys. Oceanogr. 31: 3421- 3434. Stewart, R. H. 2002. Introduction to Physical Oceanography. Texas A & M University: Departement of Oceanography. Suteja, Y. 2011. Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Thomson, R. E., I. V. Fine. 2003. Estimating mixed layer depth from oceanic profile data. J. Atmos. and Oceanic Technol. 20: 319-329. Thorpe, S. A. 1977. Turbulence and mixing in a Scottish Loch. Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series, A, 286: 125-181. ____________. 2007. An Introduction to Ocean Turbulence. Cambridge: Cambridge University Press. Van Aken, H. M., I. S. Brodjonegoro, I. Jaya. 2009. The deep-water motion through the Lifamatola Passage and its contribution to the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Res. 56:1203-1216. Wallace, M. I., M. P. Meredith, M. A. Brandon, T. J. Sherwin, A. Dale, A. Clarke. 2008. On the characteristics of internal tides and coastal upwelling behaviour in Marguerite Bay, west Antarctic Peninsula. Deep-Sea Res. II 55: 2023-2040. Winters, K. B., E. A. D’Asaro. 1997. Direct simulation of internal wave energy transfer. J. Phys. Oceanogr. 27: 1937-1945. Wunsch, C., R. Ferrari. 2004. Vertical mixing energy and the general circulation of the oceans. Ann. Rev. Fluid Mech., 36:281–314.
100 Wyrtki, K. 1961. Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. Naga Report Volume 2. Yoshida, J., N. S. Oakey. 1996. Characterization of vertical mixing at a tidal-front on George Bank. Deep-Sea Res. II 43 (7-8): 1713-1744.
101
LAMPIRAN
102
103 Lampiran 1 Profil vertikal temperatur di setiap stasiun.
104 Lampiran 1 (lanjutan).
105 Lampiran 1 (lanjutan).
106 Lampiran 1 (lanjutan).
107 Lampiran 2 Profil vertikal salinitas di setiap stasiun.
108 Lampiran 2 (lanjutan).
109 Lampiran 2 (lanjutan).
110 Lampiran 2 (lanjutan).
111 Lampiran 3 Profil vertikal densitas (σθ) di setiap stasiun.
112 Lampiran 3 (lanjutan).
113 Lampiran 3 (lanjutan).
114 Lampiran 3 (lanjutan).
115 Lampiran 4 Nilai jarak proporsional antarkoordinat (a, b, c, d, e, dan f) pada jejak salinitas maksimum NPSW terhadap Stasiun 1 di stasiun-stasiun yang masih teridentifikasi adanya salinitas maksimum NPSW.
Jarak Proporsional Antarkoordinat
Stasiun a
b
c
d
e
f
1 dan 2
5,09
0,93
0,41
1,22
10,95
0,61
1 dan 3
6,36
0,70
0,88
2,92
9,68
1,55
1 dan 4
4,69
5,00
0,85
0,41
11,33
2,79
1 dan 6
4,39
9,91
1,16
0,02
11,63
3,98
1 dan 8
4,75
8,74
0,84
0,10
11,28
4,19
1 dan 9
5,19
7,66
0,50
0,15
10,84
4,28
1 dan 10
5,39
6,72
0,40
0,12
10,64
4,18
1 dan 14
4,18
6,65
1,35
0,28
11,85
2,97
116 Lampiran 5 Kisaran nilai frekuensi Brunt Väisälä untuk keseluruhan stasiun.
Stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Lapisan Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam
Tekanan (dbar)
Rata-rata N (x 10-3 s-1)
26 26-324 >324 13,5 13,5-289 >289 16 16-295 >295 8 8-262 >262 5 5-314 >314 5,5 5,5-315 >315 9 9-398 >398 6 6-312 >312 6 6-330 >330 10 10-275 >275 10 10-425 >425 6 6-430 >430
1,27 6,19 2,17 2,75 6,42 1,74 2,54 6,60 1,99 4.69 7,44 1,54 12,67 6,41 2,14 8,32 5,82 1,82 3,58 6,31 1,72 6,53 6,38 1,85 8,58 6,33 1,70 3,94 6,93 1,83 4,28 5,18 1,74 7,65 5,63 1,78
117 Lampiran 5 (lanjutan).
Stasiun
13
14
15
Lapisan Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam
Tekanan (dbar)
Rata-rata N (x 10-3 s-1)
5-250 >250 9,5 9,5-258 >258 9 9-240 >240
7,32 2,09 4,32 7,73 1,84 3,77 7,77 2,51
118 Lampiran 6 Perbandingan antara profil perpindahan (d) sebelum dan sesudah diberlakukan resolusi inversi metode GK.
Kotak merah di Stasiun 1 adalah contoh area perbedaan antara sebelum dan sesudah diberlakukan metode GK, yakni nilai d < 2,5 meter akan hilang.
119 Lampiran 6 (lanjutan).
120 Lampiran 6 (lanjutan).
121 Lampiran 6 (lanjutan).
122 Lampiran 6 (lanjutan).
123 Lampiran 6 (lanjutan).
124 Lampiran 6 (lanjutan).
125 Lampiran 6 (lanjutan).