xv
VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR
SRI SURYO SUKORAHARJO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xvi
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Sri Suryo Sukoraharjo NIM: C 561060061
xvii
ABSTRACT SRI SURYO SUKORAHARJO. Variability of Water Mass Surface from Satellite Data at Makasar Strait. Supervised by DJISMAN MANURUNG, INDRA JAYA, BONAR P. PASARIBU, and JONSON L. GAOL. Indonesian waters have an important role as an integral part of the global thermohaline circulation and climate phenomena. The Makassar Strait waters are part of Indonesian waters which is the main path of the Indonesian throughflow. These waters channeled the transfer of warm water mass and low salinity of the Pacific Ocean to the Hindian Ocean. Heat and low salinity water masses carried by the Indonesian throughflow parameters affect the balance of heat and salinity in the ocean. This study aims to analyze spatial and temporal variability of the sea level, sea surface temperature and chlorophyll concentration from remote sensing data in the waters of Makassar Strait. In particular, the analysis was carried out on the upwelling process in the southern waters of Makassar Strait and the chlorophyll concentration in the initial source of water mass associated with a high concentration of chlorophyll in the waters of Makasar Strait. The Fourier Transform and Wavelet Analysis were used to perform time series analysis, spatial and temporal analysis. The results showed that high variability of sea level, sea surface temperature and chlorophyll concentration in the waters of Makassar Strait is influenced by season. The Indonesian throughflow water masses originating from the North Pacific waters brought low chlorophyll concentrations. The low concentration of chlorophyll in the waters of the North Pacific was due to the lack of direct nutrient supply from the mainland. In conclusions, Makasar Strait have a high concentration of chlorophyll throughout the year. Key word : chlorophyll concentration, Makasar Strait, sea surface temperature
xviii
RINGKASAN SRI SURYO SUKORAHARJO. Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG, INDRA JAYA, BONAR P. PASARIBU, dan JONSON L. GAOL. Perairan Indonesia memiliki peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim. Kondisi oseanografi Perairan Selat Makasar adalah bagian dari Perairan Indonesia yang merupakan lintasan utama dari arus lintas Indonesia. Perairan ini mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh arus lintas Indonesia berdampak terhadap perimbangan parameter bahang dan salinitas di kedua samudera. Dengan memperhatikan penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan saling melengkapi informasi tentang dinamika perairan Selat Makasar, maka perlu dilakukan pengamatan variabilitas oseanografi menggunakan data penginderaan jauh satelit hubungannya dengan sumber daya ikan di perairan Selat Makasar. Penelitian ini bertujuan menganalisis variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil dari data penginderaan jauh secara spasial dan temporal di perairan Selat Makasar. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan perairan di Selat Makasar. Data suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil dan tinggi muka diolah dengan menggunakan perangkat lunak ferret menjadi deret waktu sesuai dengan daerah pengamatan. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara spasial dan temporal untuk melihat pola sebarannya seperti pergerakan massa air, penaikan massa air dan front. Selanjutnya diolah dengan pendekatan wavelet transform berupa continuous wavelet transform yang digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya hubungan antara dua times series secara bersamaan dan proses sebab akibat diantara keduanya, selanjutnya cross wavelet transform yang akan memunculkan fase power dan relatif dalam domain frekuensi-waktu dan kemudian menggunakan analisis wavelet coheren, untuk mengetahui koherensi yang signifikan dari data yang diolah. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui adanya pengaruh seasonal dan intraseasonal dengan menginterpretasi periodisitas data yang dominan. Hasil penelitian menunjukan variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar dipengaruhi keadaaan musim. Konsentrasi klorofil saat musim timur lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama dibagian selatan perairan, sedangkan suhu permukaan laut dan tinggi muka laut lebih rendah. Pada saat musim barat konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur dan bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar sebagai akibat tidak langsung dari tingginya curah hujan sehingga membawa kandungan zat hara dari limpasan air daratan seperti sekitar Perairan Delta Mahakam, untuk nilai suhu permukaan laut relatif rendah dan tinggi muka laut lebih tinggi dibagian selatan dibandingkan bagian utara perairan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar dan sekitarnya dipengaruhi musim. Konsentrasi klorofil saat musim timur lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama
xix
dibagian selatan perairan, sedangkan suhu permukaan laut dan tinggi muka laut lebih rendah. Pada saat musim barat konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur dan bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar sebagai akibat tidak langsung dari tingginya curah hujan sehingga membawa kandungan zat hara dari limpasan air daratan seperti sekitar Perairan Delta Mahakam, untuk nilai suhu permukaan laut relatif rendah dan tinggi muka laut lebih tinggi dibagian selatan dibandingkan bagian utara perairan. Kesuburan Perairan Selat Makasar terjadi sepanjang tahun, disebabkan adanya massa air permukaan pada saat musim barat yang bergerak dari Laut Jawa yang mengandung konsentrasi klorofil tinggi ke Perairan Selat Makasar dan adanya pengaruh tidak langsung dari tingginya curah hujan pada musim tersebut sehingga kandungan zat hara dari daratan terbawa oleh limpasan air sungai ke Perairan Selat Makasar. Pada saat musim timur, disebabkan adanya penaikan massa air di bagian selatan Perairan Selat Makasar. Kata Kunci: arus lintas Indonesia, konsentrasi klorofil, Selat Makasar, suhu permukaan laut
xx
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
xxi
xxii
VARIABILITAS MASSA AIR PERMUKAAN DARI DATA SATELIT DI PERAIRAN SELAT MAKASAR
SRI SURYO SUKORAHARJO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xxiii
Penguji pada Ujian Tertutup
: 1. Prof. Dr. Ir Setyo Budi Susilo, M.Sc 2. Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Dr. Aryo Hanggono, DEA 2. Dr. Ir. Nyoman M.N. Natih, M.Si
xxiv
Judul Disertasi Nama NIM
: Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar : Sri Suryo Sukoraharjo : C561060061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si Anggota
Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 26 Januari 2012
Tanggal Lulus:
xxv
xxvi
Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baik bentuk, masing-masing ciptaan-Nya memiliki nilai manfaat dan saling menyempurnakan bagi kehidupan.
xxvii
PRAKATA Tiada kata yang patut untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahimNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan judul “Variabilitas Massa Air Permukaan dari Data Satelit di Perairan Selat Makasar”. Penyelesaian tulisan ini berbagai pihak telah banyak membantu, perkenankanlah penulis menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada: 1. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir Indra Jaya, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, dan Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis. 2. Dr. Ir. Neviaty Zamani, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan beserta staf yang banyak membantu dalam hal administrasi akademik selama menempuh pendidikan. 3. Dr. Aryo Hanggono, DEA selaku Ketua Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan ijin tugas belajar program studi doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. 4. Pimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan bantuan beasiswa. 5. Rekan-rekan mahasiswa Ilmu Kelautan (Bintang Marhaeni, Miswar Budi Mulya, Muhammad Ramli, Herlisman dan Ngadiran) atas dukungan, semangat dan kebersamaannya. 6. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian pendidikan program doktor. 7. Terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta dan istri serta anak-anakku. Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan yang dimiliki dalam penulisan disertasi sehingga masih ada kekurangan. Semoga tulisan ini dapat memiliki nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Bogor,
Januari 2012
Sri Suryo Sukoraharjo
xxviii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1970 sebagai anak keempat dari pasangan Soeroso dan Sri Wulan P. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus tahun 1994. Pada Tahun 1999, penulis menyelesaikan pendidikan magister di program studi Teknologi Kelautan Pascasarjana IPB. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Kelautan di perguruan tinggi yang sama diperoleh tahun 2006. Beasiswa pendidikan program doktor diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis saat ini bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah teknologi kelautan. Selama pendidikan program doktor, telah menulis dua artikel jurnal dengan judul „Menduga penaikan massa air dengan menganalisis pola pergerakan angin di Perairan Selat Makasar‟ pada jurnal KELAUTAN NASIONAL terakreditasi nomor: 301/AU2/P2MBI/08/2010. Artikel lain berjudul „Variabilitas konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar: Pendekatan Wavelet‟ akan diterbitkan pada jurnal SEGARA. Artikel jurnal tersebut merupakan bagian dari penelitian program doktor penulis.
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................ xv DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xx 1
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 4 1.4 Hipotesa .................................................................................................. 4
2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5 2.1 Massa Air Samudera............................................................................... 5 2.2 Lintasan Arlindo ..................................................................................... 6 2.3 Keadaan Umum Perairan Selat Makasar ................................................ 8 2.3.1 Transpor Massa Air di Perairan Selat Makasar............................. 8 2.3.2 Pola Angin di Perairan Selat Makasar ........................................ 13 2.4 Transformasi Wavelet ........................................................................... 15 2.5 Penginderaan Jarak Jauh ....................................................................... 18
3
METODE PENELITIAN ............................................................................ 22 3.1 Lokasi ................................................................................................... 22 3.2 Metode Pengumpulan Data .................................................................. 22 3.2.1 Data Suhu Permukaan Laut, Klorofil dan Tinggi Muka Laut ..... 22 3.2.2 Data Curah Hujan dan Angin ...................................................... 24 3.3 Analisis Data ........................................................................................ 25
4
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 33 4.1 Variabilitas Tinggi Muka Laut ............................................................. 33 4.2 Suhu Permukaan Laut ........................................................................... 51 4.3 Klorofil ................................................................................................. 68 4.1 Pengaruh Massa Air dan Kesuburan Perairan Selat Makasar .............. 81
5
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 95 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 95 5.2 Saran ..................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 96 LAMPIRAN ........................................................................................................ 101
xvi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Spesifikasi teknis MODIS (Conboy 2004) ....................................................... 19 2. Karakteristik kanal spektral pada MODIS (Conboy 2004) ............................. 20 3. Posisi lokasi pengamatan .................................................................................. 23 4. Jenis, banyaknya dan sumber data .................................................................... 25
xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) ........................................ 5 2. Arus lintas Indonesia ....................................................................................... 7 3. Profil musiman (kiri) dan kecepatan massa transpor. Nilai kecepatan rata-rata mewakili MAK-barat dan MAK-timur. Koordinat vertikal diberikan dalam decibar (dbar), mendekati meter (m). tanda – menunjukkan arah aliran ke selatan dan tanda + menunjukkan arah sebaliknya (Gordon et al. 2010). .................................................................. 11 4.
Hubungan antara suhu dan SOI dari data XBT 100 m (Ffield et al. 2000). ............................................................................................................ 13
5. Lokasi penelitian ........................................................................................... 23 6. Tinggi muka laut pada bulan Juli, Agustus dan bulan September dari tahun 2002-2010............................................................................................ 34 7. Tinggi muka laut pada bulan Oktober, Nopember dan bulan Desember dari tahun 2002-2010 ................................................................... 35 8. Tinggi muka laut pada bulan Januari, Februari dan bulan Maret dari tahun 2002-2010............................................................................................ 36 9. Tinggi muka laut pada bulan April, Mei dan bulan Juni dari tahun 2002-2010 ..................................................................................................... 37 10. Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK2 .............................................................................................................. 39 11. Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5 .............................................................................................................. 40 12.
Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 ............................................................................................... 41
13.
Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK4 ............................................................................................. 42
14. Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan JW dan KR .......................................................................................................... 43 15. Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember 2005 ........................... 46 16. Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember 2006 ........................... 47
xviii
17. Deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 ........................................................................................................ 49 18. Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, dan MK3 ........................................................................... 50 19. Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan MK2, MK3, MK4, JW dan KR .................................................................... 52 20. Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK3............................................................................................... 53 21. Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR..................................................................................................... 54 22. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember................................................................................................ 56 23. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Desember, Januari dan Februari .......................................................................................................... 57 24. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Maret, April, dan Mei........... 58 25. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus .......... 59 26. Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK2 ........................................................................................................ 62 27. Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5 ........................................................................................................ 62 28. Deret waktu suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 ............................................................................................................... 64 29. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 ...................................................................................... 65 30. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK4 .................................................................................... 66 31. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan JW dan KR..................................................................................................... 67 32. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus ............ 69 33. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember ...................................................................................................... 70 34. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Desember, Januari, dan Februari .......................................................................................................... 71
xix
35. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Maret, April dan Mei ............. 72 36. Deret waktu konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1........................................................................................................ 74 37. Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK3. ................................................................................ 76 38. Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR. ............................................................................. 77 39. Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK3 ..................................................................................... 79 40. Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR .......................................................................................... 80 41. Pola pergerakan angin pada bulan Januari – Juni ......................................... 83 42. Pola pergerakan angin pada bulan Juli – Desember...................................... 84 43. Deret waktu curah hujan dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK5 dan Sul1. ............................................................... 86 44. Peta sebaran klorofil di perairan Delta Mahakam dari citra LandSat ETM pada 24 Mei 2003 ................................................................................ 89 45. Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1 ..................................................... 91 46. Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daearah pengamatan MK2, MK3, and MK4 ................................................ 92 47. Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1 ..................................................... 93 48. Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK3, dan MK4 ................................................... 94
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tahapan proses analisis data dengan perangkat lunak ferret ........................ 101 2. Tahapan proses analisis data dengan pendekatan wavelet transform ............ 103
1
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Wilayah perairan Indonesia merupakan lintasan sistem angin muson
(monsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah. Arus permukaan di Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin ini, sehingga pola arus yang terbentuk sangat ditentukan oleh musim yang sedang berlangsung. Pada bulan Juni hingga Agustus (musim timur) bertiup angin timur dengan arah arus permukaan bergerak dari timur ke barat, sedangkan pada bulan Desember hingga Februari (musim barat) bertiup angin barat dengan arah arus permukaan bergerak dari arah barat ke timur. Pada bulan Maret ke Mei serta September ke Nopember berlangsung musim pancaroba (peralihan), dimana pada musim ini gerakan arus permukaan tidak teratur (Wyrtki 1961). Selain angin muson, arus permukaan di Perairan Indonesia juga di pengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang tidak hanya krusial dalam keseimbangan bahang dan nilai salinitas di Samudera Hindia tetapi juga memainkan satu peranan penting dalam sirkulasi global dari massa air di lapisan termoklin (Piola and Gordon 1985; Gordon 1986; Broecker 1991). Arlindo memiliki keragaman yang tinggi baik secara musiman maupun tahunan. Keragaman musiman berkaitan dengan adanya pergantian arah angin di Indonesia. Menurut Gordon dan Susanto (2003), laju transpor tertinggi ditemukan pada saat Muson Tenggara, yaitu selama bulan Juni sampai Agustus sedangkan aliran lintasan terendah pada saat muson barat laut yaitu pada bulan Desember sampai Februari. Philander and Pacanowski (1986) menyebutkan bahwa sebagai perairan yang berada di sekitar katulistiwa, Selat Makasar memiliki variabilitas musiman Arlindo yang berhubungan dengan pengaruh skala besar. Oleh karena itu perairan ini dipengaruhi kuat oleh gelombang di khatulistiwa dari jenis gelombang panjang seperti gelombang Kelvin, gabungan Gravitasi-Rossby dan juga gelombang gravitasi yang mempunyai periode dari 5 - 30 hari. Hal ini menggambarkan peranan perairan Indonesia sebagai penghubung massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Meskipun sepanjang tahun aliran ini cenderung ke arah selatan, aliran akan mengalami variabilitas dan karakteristik yang berubah-ubah
2
secara musiman maupun tahunan baik arah, volume transpor dan lapisan termoklin. Penginderaan jauh satelit (Inderaja) dapat mendeteksi perairan Indonesia yang luas, salah satunya dengan menggunakan satelit lingkungan dan cuaca National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Satelit ini dilengkapi dengan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dapat mendeteksi suhu permukaan laut dengan menggunakan kanal infra merah jauh. Beberapa sensor satelit yang biasanya digunakan untuk aplikasi kelautan; Seaviewing Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS), Ocean Color Temperatur Scanner (OCTS), Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dan sensor altimeter Topography Experiment (TOPEX). Data yang dapat diperoleh dari sensor-sensor tersebut diantaranya suhu permukaan laut (SPL), konsentrasi klorofil, kandungan uap air, angin permukaan laut dan arus. Dari data sensor satelit yang diproses dapat diinterpretasikan fenomena laut yang dihubungkan dengan potensi keberadaan ikan seperti proses upwelling yakni peristiwa naiknya massa air dari kedalaman tertentu ke permukaan laut, kondisi ini dicirikan dengan menurunnya suhu, dan meningkatnya nilai salinitas di daerah tersebut dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal ini, diikuti dengan meningkatnya kandungan zat hara dan penurunan konsentrasi oksigen terlarut. Jika massa air yang kaya zat hara ini berhasil mencapai lapisan eufotik maka zat hara yang melimpah akan „merangsang‟ perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang selanjutnya akan meningkatkan kesuburan perairan dan pada akhirnya akan meningkatkan populasi ikan di perairan tersebut (Wyrtki 1961 dan Illahude 1970). Fenomena laut lainnya berupa pembentukan daerah front yakni bertemunya dua massa air yang berbeda. Penelitian yang berhubungan dengan massa air di Perairan Indonesia telah banyak dilakukan diantaranya Inter-Ocean Exchange of Thermocline Water (Gordon 1986); The Effect of Indonesian Throughflow on Ocean Circulation and Heat Exchange With the Atmosphere (Godfrey 1996); Termohaline Stratification of the Indonesian Seas Model and Observations (Gordon and McClean 1999); Indo-Pacific Throughflow and its Seasonal Variations. In the ASEAN-Australia Regional Ocean-Dynamics Expeditions 1993 – 1995 (Aung 1998); The ASEAN-
3
Australia Regional Ocean Dynamics Expeditions 1993–1995 Indo-Pacific Throughflow and Its Seasonal Variations (Cresswell 1998). Penelitian-penelitian tersebut dilakukan dengan berbagai macam pendekatan seperti pengukuran langsung maupun pemodelan, yang hasilnya saling melengkapi dan menambah informasi tentang variabilitas oseanografi di Perairan Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pendekatan lain untuk mempelajari variabilitas parameter oseanografi di perairan Indonesia yakni melalui data penginderaan jauh satelit. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan wavelet transform untuk mengamati variabilitas oseanografi tersebut dengan menggunakan data Inderaja satelit di Perairan Selat Makasar. Dengan pendekatan wavelet transform ini dapat diketahui periodesitas dan kapan waktu terjadinya variabilitas oseanografi tersebut. Perairan Selat Makasar merupakan perairan yang cukup unik karena merupakan lintasan utama dari Arlindo. Selain Arlindo, massa air dari Laut Jawa dan Delta Mahakam juga mengalir ke Selat Makasar. Terjadinya proses penaikan massa air (upwelling) di perairan selatan Selat Makasar juga mempengaruhi kondisi perairan di Selat Makasar. Adanya berbagai proses dan fenomena yang mempengaruhi perairan Selat Makasar akan berpengaruh terhadap kesuburan perairan dan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap kelimpahan sumberdaya perikanan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam terhadap variabilitas parameter oseanografi dari satelit di Selat Makasar. 1.2
Perumusan Masalah Posisi geografis perairan Selat Makasar di antara Laut Sulawesi dan Laut
Jawa serta perairan ini juga merupakan lintasan primer bagi Arus Lintas Indonesia (Arlindo) menyebabkan kondisi oseanografi perairan Selat Makasar mempunyai variabilitas yang tinggi, selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh variabilitas oseanografi di luar selat dan keadaan iklim (Illahude (1970); Susanto and Gordon (2005); Ffield et al. (2000)) Pengaruh muson dan fenomena global seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO) mengakibatkan variabilitas massa air Selat Makasar mengalami perbedaan intensitasnya pada musim barat dan musim timur. Hal yang sama juga
4
terjadi pada lapisan termoklin yang akan mengalami fluktuasi sebagai akibat dari variabilitas Arlindo (Susanto and Gordon 2005). Fenomena upwelling, masuknya limpasan massa air dari sungai-sungai di sekitar Kalimatan dan massa air dari Laut Jawa ke Perairan Selat Makasar serta perubahan lapisan termoklin akibat ENSO, berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan dalam hal ini digunakan sebagai indikator adalah tinggi rendahnya konsentrasi klorofil di perairan tersebut. Fakta menunjukkan bahwa di Perairan Selat Makasar terjadi penangkapan ikan sepanjang tahun, dengan perkataan lain perairan ini secara terus-menerus mengalami penyuburan. Untuk itu perlu dikaji proses dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesuburan Perairan Selat Makasar. Pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji hal tersebut adalah dengan menganalisis variabilitas parameter oseanografi dari inderaan sensor satelit yakni data tinggi muka, suhu permukaan laut, dan konsentrasi klorofil sebagai indikator kesuburan perairan. 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis variabilitas tinggi muka laut, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil dari data penginderaan jauh secara spasial dan temporal di perairan Selat Makasar. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan perairan di Selat Makasar.
1.4
Hipotesa Konsentrasi klorofil sebagai indikator kesuburan perairan tinggi sepanjang
waktu yang berakibat pada kelimpahan ikan di Perairan Selat Makasar.
5
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Massa Air Samudera Tiga samudera di dunia memiliki hubungan satu dengan lainnya membentuk
suatu sistem sirkulasi unik yang ditampilkan pada Gambar 1. Sistem ini mengedarkan massa air samudera yang dikenal dengan sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan lebih dalam membentuk
North Atlantic Deep Water (NADW) yang mengalir ke
Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika.
Sumber : Broecker (1991)
Gambar 1. Sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) Massa air ini terus bergerak memasuki selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki selatan Samudera Pasifik Selatan. Massa air di bagian selatan Samudera Hindia sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1991; Gordon 1986).
6
Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera Hindia akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arlindo. 2.2
Lintasan Arlindo Pada Gambar 2. diperlihatkan lintasan Arlindo tanda panah hitam massa
air yang berasal dari termoklin Pasifik Utara, tanda panah abu-abu adalah massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Selatan dan panah putus-putus sirkulasi massa air permukaan Laut Jawa akibat pengaruh musim. Besarnya transpor dinyatakan dalam Sv (1 Sv = 106m3s-1), angka warna hitam menunjukkan nilai transpor. Nilai massa transpor di Selat Makassar tahun 1997 (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005), Selat Lombok dari Januari 1985 – Januari 1986, Laut Timor (antara Timor dan Australia) diukur pada Maret 1992 – April 1993 (Molcard et al. 1996), Selat Ombai (bagian utara Timor dan Pulau Alor Desember 1995 – Desember 1996). Massa air pada kedalaman lebih besar dari 1500 m yang melintasi Selat Lifamatola berdasarkan pengukuran current meter selama 3,5 bulan di awal tahun 1985 menuju Laut Banda diperkirakan sebesar 1,5 Sv (van Aken et al. 1988). Perkiraan nilai transpor ini kemudian di revisi menjadi 2,5 Sv (van Aken et al. 2009). Angka warna merah menunjukkan massa air transpor selama periode INSTANT tahun 2004-2006. Di Selat Lifamatola, angka warna hijau adalah massa air transpor selama INSTANT pada kedalaman lebih besar dari 1250 m, yang mewakili massa air ke Laut Seram dan Laut Banda (Gordon et al. 2010). Sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar dikedalaman sill 650 m, masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Selanjutnya kontribusi Arlindo dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat
7
Lifamatola dikedalaman sill 1940 m, Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera Hindia melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m) (Ffield and Gordon 1992; Gordon 2001).
9.2 11.6
1.5 2.5 1.1
9.2 11.6
1.7 2.6 1.7
4.5 4.9 4.3 7.5
2.6. 6
Sumber : Gordon, et al., 2008
Gambar 2. Arus lintas Indonesia Kompleksitas geografi dengan selat-selat yang sempit, basin yang dalam menyebabkan lintasan Arlindo memiliki lintasan yang komplek pula. Hal ini mengakibatkan massa air mengalami modifikasi melalui percampuran, upwelling dan fluks udara-laut sebelum bergerak ke menuju Samudera India. Arus Katulistiwa Utara/North Equatorial Current (AKU) membawa massa air asal Pasifik Utara sedangkan Arus Katulistiwa Selatan/South Equatorial Current (AKS) membawa massa air asal Pasifik Selatan ke bagian barat Samudera Pasifik kemudian masuk ke perairan timur Indonesia. Pada Musson Barat Laut (musim barat) AKU yang berada kira-kira 9ºLU bergerak ke barat menuju Filipina, AKU bercabang dua menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current), yakni arus yang bergerak ke arah selatan sepanjang pantai timur Mindanao dan arus yang berbelok ke arah utara menjadi pemasok awal Arus Kuroshio.
8
2.3
Keadaan Umum Perairan Selat Makasar
2.3.1 Transpor Massa Air di Perairan Selat Makasar Kondisi oseanografi Perairan Selat Makasar merupakan bagian dari Perairan Indonesia yang mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Oleh karena itu perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2000; Gordon 2001). Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) berdampak terhadap perimbangan parameter bahang dan salinitas di kedua samudera. Letak geografis perairan Selat Makasar yang memanjang dari arah utara selatan, dan sepanjang tahun secara umum transpor massa air permukaan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makasar bagian Selantan. Pada bagian ini tampak nyata perubahan transpor massa air permukaan yang sesuai dengan angin muson. Selama Muson Timur massa air dari Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke Laut Jawa. Dalam kondisi ini banyak massa air pada lapisan permukaan akan terangkut dan bergerak ke barat, berakibat muncul „ruang kosong‟ di permukaan yang memungkinkan massa air lapisan bawah naik untuk mengisinya. Namun demikian karena kecepatan menegak air relatif kecil (5 x 10-4 cm/detik), maka disimpulkan bahwa peristiwa penaikan massa air di daerah ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pola air (Illahude 1970). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makasar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli – September dan minimum saat muson barat laut antara Nopember – Februari (Meyers et al. 1995; Gordon and McClean 1999; Molcard et al. 1996; Hautala et al. 2001). Pada Muson Barat massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makasar dan mengalir bersama ke arah Laut Flores. Puncak transpor maksimum Arlindo di gerbang masuk dan keluar diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda sehingga diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield and Gordon 1992). Di
9
samping itu jalur lintasan Arlindo mempunyai konfigurasi geografi yang kompleks dengan kombinasi dasar perairan yang dangkal dan dalam serta kuatnya arus pasang surut pada berbagai kanal sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan karakter massa air akibat percampuran. Fenomena Iklim seperti ENSO yang terjadi di barat Pasifik juga memegang peranan penting dalam variabilitas Arlindo. Selama fase El Niño transpor Arlindo mengalami pelemahan, bahang dan massa air dengan salinitas yang rendah jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudera Hindia (Gordon 2001). Observasi menunjukkan bahwa komposisi massa air Arlindo berasal dari massa air termoklin Pasifik Utara, meski pada kedalaman yang lebih dalam (massa airnya lebih dingin dari 6 C) massa airnya secara langsung berasal dari Pasifik Selatan (Gordon and Susanto 2003). Sementara itu di Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem muson dan fenomena Dipole Mode (Saji et al. 1999). Susanto et al. 2000 menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring memperlihatkan variabilitas intraseasonal (30 – 60 hari) yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera Hindia yang masuk ke Perairan Selat Makassar melalui Selat Lombok dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Mereka juga mengungkapkan bahwa karakteristik intraseasonal ditandai dengan periode 48 – 62 hari yang berhubungan dengan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang merambat melalui Laut Sulawesi. Berikutnya periode 67 – 100 hari yang merupakan karakter Gelombang Kelvin terlihat di Bali (Selat Lombok). Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang-gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makasar. Aliran transpor Arlindo yang diduga oleh Susanto and Gordon (2005) dengan menggunakan model profil sederhana memperkirakan transpor lapisan permukaan adalah 9,3 Sv. Mode normal berdasarkan pengujian Wajsowicza et al. (2003) untuk tahun 1997 adalah 6,4 Sv dengan batas permukaan dan yang paling rendah 1,6 Sv dan 4,7 Sv. Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh keduanya berbeda. Gordon and Susanto (2003) melakukanya dengan menggunakan tiga pendekatan profil (Profil A, B dan C) secara vertikal yang berbeda-beda untuk setiap musim.
10
Analisis momentum dan keseimbangan energi menunjukkan bahwa transpor total Arus Lintas Indonesia tidak tergantung secara eksklusif terhadap perbedaan tekanan inter-ocean yaitu beda tekanan muka laut antara Pasifik dan Hindia tetapi lebih oleh faktor-faktor lain termasuk angin lokal (muson), gesekan dasar dan resultan dari gaya-gaya tekanan yang bekerja pada sisi internal seperti geometri perairan yang menimbulkan aksi pasang surut yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik arah arus (Burnett et al. 2003). Susanto and Gordon (2005) mengungkapkan bahwa aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 300 meter pada September 1997 – pertengahan Februari 1998 terjadi selama puncak El Niño 1997/1998, hal ini diduga pengaruh Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia. Massa air Arlindo yang ke utara juga terjadi di Mei 1997 (Sprintall et al. 2000). Transpor massa air Arlindo yang melalui Selat Makasar hasil pengamatan dari Januari 2004 - Nopember 2006 The International Nusantara Stratification 6
3
and Transport (INSTANT) program adalah 11.6 ± 3.3 Sv (Sv = 10 m /s). Massa air transpor ini lebih besar 27 % dari data yang diamati periode El Niño yang kuat selama tahun 1997-1998. Nilai maksimum massa air transpor terjadi saat akhir musim barat dan musim timur, dengan minimum massa air transport terjadi pada bulan Oktober – Desember (Gordon et al. 2010). Massa air transpor dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makasar pada kedalaman sill 680 meter merupakan 80 % total massa air transpor Arlindo (Gordon 2001). Lapisan termoklin maksimun (v-maks) terjadi pada musim timur (Juli-September) dan musim barat (Januari- Maret) dengan kedalaman antara 110-140 meter. Rasio rata-rata kecepatan dari MAK - timur ke MAK-barat adalah 0,95 (lapisan permukaan ), 0,84 (pertengahan - termoklin ) dan 0,76 (lebih rendah termoklin). Kecepatan maksimum termoklin dan intensifikasi aliran barat Labani konsisten dengan data Arlindo (Gordon and McClean 1999; Susanto and Gordon 2005). Pada Gambar 3 sebelah kiri terlihat kedalaman termoklin 110-140 meter profil kecepatan bervariasi terhadap musim: V-max yang lebih besar terjadi selama bulan Juli /Agustus /September (JAS, musim timur), relatif terhadap bulan Januari /Februari /Maret (JFM, musim barat). Profil JAS dan JFM membalikkan posisi relatif pada kedalaman di bawah 220 db, menunjukkan aliran massa air
11
lebih dalam di Selat Makasar pada saat musim barat. Pada Gambar 3 sebelah kanan terlihat V-max lebih dalam selama musim barat laut, Februari -Maret 2004, Maret-April 2005 dan Februari-April 2006; dengan V- max lebih yang dangkal selama musim tenggara, Juli- September 2004, 2005 dan 2006. Termoklin V-max memperlihatkan fluktuasi semi-tahunan, dengan nilai tertinggi pada tahap lainnya yang dipengaruhi oleh musim: Februari-April 2004, Juli-September 2004, MaretApril 2005, Agustus- September 2005, Februari -Maret 2006, Juni-September 2006. Kecepatan ke arah selatan yang kuat di tahun 2006 terlihat menonjol sebagai sebuah anomali. Adanya massa air ke utara yang diduga merupakan pengaruh gelombang Kelvin pada bulan Mei 2004 dan 2005 sedangkan pada bulan Mei 2006 tidak terlihat. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya aliran bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Daerahdaerah yang paling banyak menerima bahang sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang rendah, dan akan semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub.
Gambar 3. Profil musiman (kiri) dan kecepatan massa transpor. Nilai kecepatan rata-rata mewakili MAK-barat dan MAK-timur. Koordinat vertikal diberikan dalam decibar (dbar), mendekati meter (m). tanda – menunjukkan arah aliran ke selatan dan tanda + menunjukkan arah sebaliknya (Gordon et al. 2010).
12
Lapisan air dipermukaan laut tropis pada umumnya hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia mempunyai kisaran suhu sekitar 28-310C pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu, tempat yang sering terjadi upwelling, keadaan suhu dapat menjadi lebih rendah sekitar 250C yang disebabkan massa air dingin terangkat ke atas (Wyrtki 1961). Suhu permukaan perairan Selat Makasar dipengaruhi oleh keadaan cuaca antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara 29-300C dan di bagian utara khatulistiwa suhu berkisar antara 27-280C. Pada musim timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-300C dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-280C (Wyrtki 1961). Sebaran suhu vertikal di laut secara umum dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu; lapisan homogen(homogeneous layer) di bagian paling atas, lapisan termoklin(discontinuity layer) di tengah, dan lapisan dingin(deep layer) di lapisan dalam. Pada lapisan permukaan terjadi pencampuran massa air yang diakibatkan oleh adanya angin, arus, dan pasang surut sehingga merupakan lapisan homogen. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang mengalami perubahan suhu yang relatif cepat, antara massa air hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya. Umumnya diikuti dengan penurunan oksigen terlarut dan penaikan yang cepat dari kadar zat hara (Wrytki 1961). Selama musim barat lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter dari permukaan perairan dengan suhu antara 27-280C dan salinitas perairan berkisar 32,5-33,5‰. Di bawah lapisan homogen, terdapat lapisan termoklin dengan kedalaman 100-260 meter dan suhu berkisar 12-260C serta salinitas antara 34,0-34,5‰. Selanjutnya lapisan dalam, dari kedalaman sekitar 300 meter sampai dasar perairan dengan suhu antara 5-110C dan salinitas antara 34,0-34,5‰. Pada musim timur, lapisan homogen dapat mencapai lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan. Suhu dilapisan ini berkisar 26-270C dan salinitas 34,0-34,5‰. Lapisan termoklin yang terbentuk saat musim timur terjadi pada kedalaman 50-400 meter dengan suhu antara 10-260C dan salinitas 34,536,0‰. Kemudian lapisan dalam yang terbentuk dari kedalaman 400 meter
13
sampai ke dasar perairan dengan suhu antara 5-110C dan salinitas antara 34,034,5‰ ( Illahude 1970). Suhu rerata pada kedalaman 150 meter sebesar 200C dan semakin menurun suhunya dengan interval 50C setiap penurunan kedalamaman 100 meter. Lapisan isotherm 150C meningkat 35 db selama El Niño bulan Desember 1997 dan kembali turun 35 db ketika La Niña bulan Juli 1998. Gambar 4 menunjukkan data XBT selama 15 tahun adanya korelasi yang sangat tinggi antara suhu pada lapisan termoklin, transpor Arlindo di Selat Makasar dengan karakteristik ENSO yang dapat dilihat dari perubahan Indeks Osilasi Selatan sebesar 0.77. Korelasi menurun pada kedalaman rata-rata 150 – 400 meter sebesar 0.59. Volume transpor di Selat Makasar melemah selama fase El Niño berkorelasi 0.67 dengan melemahnya suhu. Transpor energi internal di Selat Makasar sebesar 0.63 PW selama La Niña bulan Desember 1996- Februari 1997, dan 0.39 selama El Niño bulan Desember 1997 – Februari 1998 (Ffield et al. 2000).
Gambar 4. Hubungan antara suhu dan SOI dari data XBT 100 m (Ffield et al. 2000). 2.3.2
Pola Angin di Perairan Selat Makasar Perairan Indonesia, merupakan penghubung antara dua sistem Samudera
yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, maka sifat dan kondisinya banyak dipengaruhi oleh kedua Samudera tersebut, khususnya Samudera Pasifik. Pengaruh ini terlihat antara lain pada sebaran massa air, arus, pasang surut dan kesuburan perairan. Keadaan yang demikian menyebabkan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim muson (musim), sehingga memberikan sifat yang
14
khas bagi perairan Indonesia. Keadaan iklim muson di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga musim yakni Musim Timur (Juni - Agustus), Musim Barat (Desember - Maret), dan Musim Peralihan (April - Mei dan September Nopember). Keadaan ini mempengaruhi sifat dan kondisi perairan-perairan Indonesia, misalnya perairan Selat Makasar, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi (Wyrtki 1961). Selat Makasar merupakan perairan yang terletak di antara Pulau Kalimatan dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah Utara dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah Selatan. Kondisi oseanografis Selat Makasar ini selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan iklim. Perairan pantai Kalimatan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang mengapit Selat Makasar juga berperan terhadap dinamika massa air dalam selat tersebut (Illahude 1970). Angin utama yang berhembus di perairan Selat Makasar adalah angin muson. Angin ini dalam setahun mengalami pembalikan arah dua kali. Perubahan arah dan pergerakan angin muson ini berhubungan erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan DesemberFebruari umumnya angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia sehingga di atas perairan Selat Makasar angin bertiup dari arah utara ke arah selatan selat atau angin Muson Barat dan pada bulan Juni-Agustus angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia yang mengakibatkan arah angin di atas perairan Selat Makasar bertiup dari arah tenggara ke arah utara atau angin Muson Timur (Wyrtki 1961). Pergantian angin muson dari Muson Barat ke Muson Timur menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makasar. Selama angin Muson Barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada Muson Timur, terjadi peningkatan salinitas akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makasar (Wyrtki 1961).
15
2.4
Transformasi Wavelet Konsep Transformasi Wavelet telah dirumuskan sejak awal 1980-an oleh
beberapa ilmuwan seperti Morlet, Grosmann, Daubechies dan lain-lain. Sampai sekarang transformasi Fourier mungkin masih menjadi transformasi yang paling populer di area Pemrosesan Sinyal Digital (PSD). Transformasi Fourier memberitahukan informasi frekuensi dari sebuah sinyal, tapi tidak informasi waktu (tidak dapat diketahui dimana/kapan frekuensi itu terjadi). Karena itulah transformasi Fourier hanya cocok untuk sinyal stationer (sinyal yang informasi frekuensinya tidak berubah menurut waktu). Untuk menganalisis sinyal yang frekuensinya bervariasi di dalam waktu, diperlukan suatu transformasi yang dapat memberikan resolusi frekuensi dan waktu disaat yang bersamaan, biasa disebut Analisis Multi Resolusi (AMR). AMR dirancang untuk memberikan resolusi waktu yang baik dan resolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi suatu sinyal, serta resolusi frekuensi yang baik dan resolusi waktu yang buruk pada frekuensi rendah suatu sinyal. Pendekatan ini sangat berguna untuk menganalisis sinyal dalam aplikasi-aplikasi praktis yang memang memiliki lebih banyak frekuensi rendah. Wavelet adalah gelombang yang berukuran lebih kecil dan pendek bila dibandingkan dengan sinyal pada sinusoid pada umumnya, di mana energinya terkonsentrasi pada selang waktu tertentu yang digunakan sebagai alat untuk menganalisa sinyal-sinyal non-stasioner (Anant and Dowla 1997). Salah satu metoda yang baik untuk menganalisis gelombang sinyal yang terlokalisir adalah wavelet transformation. Transformasi wavelet adalah suatu AMR yang dapat merepresentasikan informasi waktu dan frekuensi suatu sinyal dengan baik. Transformasi wavelet menggunakan sebuah jendela modulasi yang fleksibel, ini yang paling membedakannya dengan Short Time Fourier Transformation (STFT), yang merupakan pengembangan dari transformasi Fourier. STFT menggunakan jendela modulasi yang besarnya tetap, ini menyebabkan dilema karena jendela yang sempit akan memberikan resolusi frekuensi yang buruk dan sebaliknya jendela yang lebar akan menyebabkan resolusi waktu yang buruk.
16
Metode transformasi wavelet ini dapat digunakan untuk menapis data atau meningkatkan mutu kualitas data; dapat juga digunakan untuk mendeteksi fenomena varian waktu serta dapat digunakan untuk pemampatan data (Foster et al. 1994). Transformasi Wavelet dapat digunakan untuk menunjukkan kelakukan sementara (temporal) pada suatu sinyal, misalnya dalam bidang geofisika (sinyal seismik), fluida, medik dan lain sebagainya. Karena kemampuannya melihat data dari berbagai sisi, wavelet mampu menyederhanakan dan mengurangi noise tanpa memperlihatkan penurunan mutu. Pada transformasi wavelet digunakan istilah translasi dan skala, karena istilah waktu dan frekuensi sudah digunakan oleh transformasi Fourier. Translasi adalah lokasi jendela modulasi saat digeser sepanjang sinyal, berhubungan dengan informasi waktu. Skala berhubungan dengan frekuensi, skala tinggi (frekuensi rendah) berhubungan dengan informasi global dari sebuah sinyal, sedangkan skala rendah (frekuensi tinggi) berhubungan dengan informasi detail. Pada dasarnya, transformasi wavelet dapat dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan nilai parameter translasi dan skala, yaitu transformasi wavelet kontinu (continue wavelet transform, CWT), dan diskrit (discrete wavelet transform, DWT). Prinsip kerja CWT dengan menghitung sebuah sinyal dengan sebuah jendela modulasi pada setiap waktu dengan setiap skala yang diinginkan. Jendela modulasi yang mempunyai skala fleksibel inilah yang biasa disebut induk wavelet atau fungsi dasar wavelet. CWT menganalisa sinyal dengan perubahan skala pada window yang dianalisis, pergeseran window dalam waktu dan perkalian sinyal serta mengintegral semuanya sepanjang waktu (Polikar 1996). CWT secara matematika dapat didefinisikan sebagai berikut: * s,
(t)dt
………..….………………(1)
dimana γ(s,τ) adalah fungsi sinyal setelah transformasi, dengan variabel s (skala) dan τ (translasi) sebagai dimensi baru. f(t) sinyal asli sebelum transformasi. Fungsi dasar
*
s, (t) di sebut sebagai wavelet, dengan * menunjukkan konjugasi
kompleks. Inversi dari CWT dapat didefinisikan sebagai berikut: s,
(t)d
…..……………..……(2)
17
Fungsi dasar wavelet
s,τ(t) dapat didesain sesuai kebutuhan untuk mendapatkan
hasil transformasi yang terbaik, ini perbedaan mendasar dengan transformasi fourier yang hanya menggunakan fungsi sinus sebagai jendela modulasi. Fungsi dasar wavelet secara matematika dapat didefinisikan sebagi berikut: s,
faktor
(t) =
(
……………………….….…….(3)
digunakan untuk normalisasi energi pada skala yang berubah-ubah.
Mexican Hat, yang merupakan normalisasi dari derivatif kedua fungsi Gaussian adalah salah satu contoh fungsi dasar CWT;
s,
(t) =
(1-
……………………...(4)
Contoh lain adalah fungsi dasar Morlet, yang merupakan fungsi bilangan kompleks:
( dengan
dan (1 +
-
…………………...…(5)
-1/2
Dibandingkan dengan CWT, DWT dianggap relatif lebih mudah pengimplementasiannya. Prinsip dasar dari DWT adalah bagaimana cara mendapatkan representasi waktu dan skala dari sebuah sinyal menggunakan teknik penapisan digital dan operasi sub-sampling. Sinyal pertama-tama dilewatkan pada rangkain filter high-pass dan low-pass, kemudian setengah dari masing-masing keluaran diambil sebagai sample melalui operasi sub-sampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu tingkat. Keluaran dari filter low-pass digunakan sebagai masukkan di proses dekomposisi tingkat berikutnya. Proses ini diulang sampai tingkat proses dekomposisi yang diinginkan. Gabungan dari keluaran-keluaran filter high-pass dan satu keluaran filter low-pass yang terakhir, disebut sebagai koefisien wavelet, yang berisi informasi sinyal hasil transformasi yang telah terkompresi. Pasangan filter high-pass dan low-pass yang
18
digunakan harus merupakan Quadrature Mirror Filter (QMF), yaitu pasangan filter yang memenuhi Persamaan (6): n
. g[
………………….…….……..(6)
dengan h[n] adalah filter high-pass, g[n] adalah filter low-pass dan L adalah panjang masing-masing filter. 2.5
Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa adanya kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1987). Data suhu permukaan laut (SPL) dapat diperoleh dengan dua cara yang sangat berbeda, yang pertama menggunakan metode pengukuran konvensional yang secara langsung menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut; yang kedua menggunakan metode estimasi dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh. Ada banyak faktor yang mempengaruhi estimasi SPL dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Agar diperoleh data yang mempunyai perbedaan terkecil dengan data in situ, maka pada saat proses pengolahan data penginderaan jauh harus memperhitungkan berbagai faktor koreksi radiometris. Brown et al. (1985) menyatakan bahwa perkiraan SPL yang menggunakan data satelit dipengaruhi oleh faktor sensor dan proses kalibrasi, algoritma koreksi atmosfer, prosedur dan pengolahan data serta interaksi permukaan laut dengan lapisan atmosfer di atas permukaan laut yang diamati. Gambaran tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada proses ekstraksi data SPL dengan menggunakan data satelit meliputi proses-proses fisik pada lapisan atmosfer, pengolahan data digital, proses kalibrasi dan konversi serta faktor koreksi atmosfer (Callison et al. 1989). Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) bermula dari diluncurkannya satelit EOS-AM dan EOS-PM sebagai bagian dari NASA Earth Observing System (EOS). Satelit yang pertama kali membawa MODIS yaitu AM1 atau disebut juga dengan Terra. Terra sukses diluncurkan pada tanggal 18
19
Desember 1999. Peluncuran MODIS kedua disebut dengan FM1 (Flight Model 1) yang dibawa oleh pesawat luar angkasa Aqua (EOS PM-1) dan sukses pula diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002. Dengan menggunakan MODIS kita dapat mengetahui lebih awal informasi tentang permukaan bumi, atmosfer dan fenomena laut secara luas dan dapat digunakan oleh berbagai komunitas di seluruh dunia. MODIS dilengkapi oleh high radiometric sensitivity (12 bit) dalam 36 band spektral yang mempunyai panjang gelombang antara 0,4 µm sampai 14,4 µm. Spektrum yang dimiliki oleh MODIS sama dengan yang ada pada AVHRR dan SeaWiFS, bahkan lebih banyak. Resolusi spasial pada kanal 1 dan 2 enam belas kali lebih baik daripada AVHRR atau SeaWiFS dan pada kanal 3 sampai 7 empat kali lebih tinggi. Kanal yang lain mempunyai resolusi spasial yang sama dengan AVHRR atau SeaWiFS. MODIS berada pada ketinggian 705 km dengan orbit polar sun-synchronous, descending node (Terra) pada 10;30 a.m. atau 1;30 p.m. pada ascending node (Aqua) dan mengelilingi bumi setiap satu sampai dua hari. Spesifikasi teknis pada MODIS dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan karakteristik dari masing-masing band pada satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Spesifikasi teknis MODIS (Conboy 2004) Jenis Orbit
Spesifikasi 705 km, 10;30 a.m. descending node (Terra) or 1;30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular
Scan Rate Swath Dimensions Telescope
20.3 rpm, cross track 2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir) 17.78 cm. Off-axis, afocal (collimated), with intermediate field stop
Size Weight Power Data Rate Quantization Spatial Resolutions
1.0 x 1.6 x 1.0 m 228.7 kg 162.5 W (single orbit average) 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average) 12 bits 250 m (bands 1-2) 500 m (bands 3-7) 1000 m (bands 8-36)
Design Life
6 years
20
Tabel 2. Karakteristik kanal spektral pada MODIS (Conboy 2004) Primary use
Band
Bandwitdh(nm)
Land/Cloud/Aerosols Boundaries
1 2
620 – 670 841 – 876
250
Land / Cloud / Aerosols Properties
3 4 5 6 7
459 – 479 545 – 565 1230 – 1250 1628 – 1652 2105 – 2155
500
8 9 10 11 12 13 14 15 16
405 – 420 438 – 448 483 – 493 526 – 536 546 – 556 662 – 672 673 – 683 743 – 753 862 – 877
Atmospheric Water Vapor
17 18 19
890 – 920 931 – 941 915 – 965
Surface/Cloud Temperature
20 21 22 23
3.660 – 3.840 3.929 – 3.989 3.929 – 3.989 4.020 – 4.080
Atmospheric Temperature
24 25
4.433 – 4.498 4.482 – 4.549
Cirrus Clouds Water Vapor
26 27 28
1.360 – 1.390 6.535 – 6.895 7.175 – 7.475
Cloud Properties
29
8.400 – 8.700
Ozone
30
9.580 – 9.880
Surface/Cloud Temperature
31 32
10.780 – 11.280 11.770 – 12.270
Cloud Top Altitude
33 34 35 36
Ocean Color/Phytoplankton/Biogeochemistry
13.185 – 13.485 13.485 – 13.785 13.785 – 14.085 14.085 – 14.385
Spasial resolution(m)
1000
21
Aplikasi penginderaan jauh dibidang kelautan sangat luas diantaranya berupa indentifikasi pola perairan, meteorologi kelautan, pendugaan potensi sumberdaya perikanan, suhu permukaan laut, produktivitas perairan, mendeteksi tumpahan minyak, peta jalur pelayaran dan navigasi (CCRS 2005).
22
3 3.1
METODE PENELITIAN
Lokasi Lokasi penelitian adalah Perairan Selat Makasar, dengan posisi lintang
antara 60LU-80LS dan posisi bujur antara 1170- 1270BT. Penelitian ini membagi daerah pengamatan menjadi 10 dengan ukuran 10 x 10. Pembagian daerah pengamatan ini, berdasarkan aliran massa air Arlindo yang masuk ke Perairan Indonesia (Gordon et al. 2010). Daerah Pengamatan Sul1 merupakan awal massa air permukaan yang masuk dari Samudera Pasifik Utara ke Perairan Sulawesi, daerah pengamatan Sul2 di Perairan Sulawesi, daerah pengamatan MK1 awal massa air permukaan dari Perairan Sulawesi masuk ke Perairan Selat Makasar, daerah pengamatan MK2 mewakili daerah pengamatan dekat Pulau Kalimantan yang diharapkan dapat mengindikasikan adanya pengaruh daratan Kalimantan terhadap Perairan Selat Makasar, daerah pengamatan MK3 yang mewakili dekat Sulawesi, daerah pengamatan MK4 yang mewakili massa air permukaan yang keluar dari Perairan Selat Makasar, daerah pengamatan MK5 merupakan daerah dengan adanya pengaruh penaikan massa air di Perairan Selat Makasar bagian selatan, daerah MK6 merupakan daerah antara daerah pengamatan MK2 dan JW untuk mengetahui adanya sirkulasi massa air dari Laut Jawa ke Perairan Selat Makasar dan sebaliknya, daerah JW mewakili perairan Laut Jawa dan daerah KR mewakili daerah Karimata. Peta daerah penelitian dan pembagian lokasi pengamatan berdasarkan lintang bujur dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 3. 3.2
Metode Pengumpulan Data
3.2.1 Data Suhu Permukaan Laut, Klorofil dan Tinggi Muka Laut Data SPL yang digunakan adalah data citra penginderaan jauh dengan sensor MODIS. Data ini di kelola oleh the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web. Spasial grid data 0,05 derajat bujur x 0,05 derajat lintang, geografis. Akurasi nominal data, ±1 derajat Celsius (SWFSC 2006).
23
8
La
4
C ut
a in
la Se
n ta
Sul1
Sul2
Kalimantan
ar
MK1 Mak as
0
Sela t
KR
Sulawesi
MK2MK3
-4
Laut Banda
MK6
Laut Jawa
JW MK4
MK5
Jawa
Laut Flores
-8
105
109
113
117
121
125
Gambar 5. Lokasi penelitian Tabel 3. Posisi lokasi pengamatan 0
0
Ket
Lintang( LU)
Sul1
4,25 - 5,25
125,50 - 126,50
Sul2
3,00 - 4,00
122,00 - 123,00
MK1
0,50 - 1,50
119,00 - 120,00
Ket
0
Bujur( BT)
0
MK2
Lintang( LS) 2,50 - 3,50
Bujur( BT) 116,75 - 117,75
MK3
2,50 - 3,50
117,75 - 118,75
MK4
5,65 - 6,65
117,50 - 118,50
MK5
6,00 - 7,00
119,25 - 120,25
MK6
4,00 - 5,00
116,50 - 117,50
JW
4,65 - 5,65
114,50 - 115,50
KR
2,75 - 3,75
107,00 - 108,00
129
24
Data yang digunakan dari Juli 2002 – Mei 2010, merupakan data 8 harian yang diunduh dari laman National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Fisheries Service (SWFSC 2006). Data nilai-nilai SPL ini telah divalidasi dan dibandingkan dengan data suhu buoy dari National Data Buoy Center. Algoritma yang digunakan dalam mendapatkan data SPL berdasarkan Brown and Minnett (1999). Untuk lebih jelasnya tentang algoritma ini dapat dibaca dalam tulisan dengan judul MODIS Infrared Sea Surface Temperature Algorithm, Algorithm Theoretical Basis Document Version 2.0 (Brown and Minnett 1999). Data klorofil yang digunakan dalam penelitian adalah data citra penginderaan jauh dengan sensor MODIS. Data ini di kelola oleh the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web. Spasial grid data 0,05 derajat bujur x 0,05 derajat lintang, geografis. Data yang digunakan adalah data 8 harian dari bulan Juli 2002 sampai dengan bulan Mei 2010, yang diunduh dari NOAA Fisheries Service (SWFSC 2006). Data ini sudah diproses dengan menggunakan perangkat lunak sistem analisis Data SeaWiFS (SeaDAS) (Fu et al. 1998). Koreksi atmosfer telah diterapkan pada data klorofil ini untuk menghasilkan pengukuran radiansi yang meninggalkan air (Gordon & Wang 1994, Shettle & Fenn 1979). Data tinggi muka laut yang digunakan adalah data citra penginderaan jauh gabungan yaitu JASON-1, TOPEX/POSEIDON, ENVISAT, GFO, ERS 1/2, dan GEOSAT dengan sensor altimeter. Data ini di kelola oleh NOAA CoastWatch dan AVISO. Spasial grid data 0,25 derajat bujur x 0,25 derajat Latitude, geografis. Data ini merupakan data bulanan dari Juli 2002 – Mei 2010, yang diunduh dari NOAA Fisheries Service (SWFSC 2006). Akurasi data mendekati 1 cm (Stammer and Wunsch 1994; Callahan et al. 2009). 3.2.2 Data Curah Hujan dan Angin Data curah hujan diunduh dari laman National Aeronautics and Space Administration (NASA) (Hegde 2010). Data curah hujan yang digunakan telah diakuisisi menggunakan analisis GES-DISC Interactive Online Visualization ANd aNalysis Infrastructure (Giovanni) sebagai bagian dari the NASA's Goddard Earth Sciences (GES) Data and Information Services Center (DISC). Data ini
25
merupakan data curah hujan bulanan dari Juli 2002 – Mei 2010 dengan spasial resolusi 2,5 derajat bujur x 2,5 derajat lintang, geografis. Data angin dalam penelitian ini diperoleh dari laman European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF 2010) dengan resolusi spasial 1,50 x 1,50. Data angin yang digunakan berupa data bulanan yang terdiri dari komponen timur – barat(zonal) dan komponen utara – selatan(meridional) pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut. Pada Tabel 4 memperlihatkan jenis, banyak dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4. Jenis, banyaknya dan sumber data Banyaknya data Sumber
No
Jenis
1.
SPL
380 x 10 lokasi = 3800
the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web
2.
Klorofil
380 x 10 lokasi = 3800
the NOAA CoastWatch Program NASA's, Goddard Space Flight Center, dan OceanColor Web
3.
Tinggi muka laut
95 x 10 lokasi = 950
NOAA CoastWatch dan AVISO
4.
Curah hujan
95 x 3 lokasi = 285
GES-DISC
5.
Angin
95 x 1 lokasi =
European Centre for Medium-Range Weather Forecasts
3.3
95
Analisis Data Data SPL, klorofil dan tinggi muka laut diolah dengan menggunakan
perangkat lunak ferret untuk selanjutnya dianalisis secara spasial untuk melihat pola sebarannya yang dapat menunjukkan fenomena laut seperti pertemuan dua massa air, penaikan massa air dan secara temporal dilakukan analisis deret waktu sesuai
dengan
daerah
pengamatan.
Analisis
deret
waktu
ini
untuk
mengidentifikasi adanya fenomena alam yang diperlihatkan oleh pengamatan berurutan dimana terdapat fenomena-fenomena yang berulang dengan mengetahui
26
periodisitas dominannya. Tahapan proses analisis data dengan menggunakan perangkat lunak ferret dapat dilihat pada Lampiran 1. Data SPL, klorofil dan tinggi muka laut selanjutnya diolah dengan pendekatan wavelet transform (Torrence and Compo 1998) berupa continuous wavelet transform yang digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya periodisitas seperti seasonal, intra-seasonal. hubungan antara dua data deret waktu secara bersamaan dan proses sebab akibat diantara keduanya, selanjutnya cross wavelet transform yang akan memunculkan fase power dan relatif dalam domain frekuensi-waktu dan penggunaan analisis wavelet coherent untuk mengetahui koherensi yang signifikan dari data yang diolah. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui adanya pengaruh intra-seasonal, seasonal dan inter-annual dengan menginterpretasi periodisitas data yang dominan. Tahapan proses analisis data dengan pendekatan wavelet transform dapat dilihat pada Lampiran 2. Transformasi wavelet adalah suatu transformasi yang membagi suatu sinyal dalam hal ini adalah data deret waktu curah hujan ke dalam beberapa tingkat resolusi. Pendekomposisian sinyal ke dalam resolusi yang berbeda-beda secara bertahap dari resolusi tinggi sampai resolusi rendah dinamakan analisis multiresolusi. Setiap resolusi dibedakan dengan faktor skala, yang biasa digunakan yaitu kelipatan dari dua. Jika dibandingkan dengan transformasi Fourier, maka transformasi wavelet mempunyai keunggulan yaitu dapat merepresentasikan sinyal dalam domain waktu dan domain frekuensi dengan sangat baik. Hal ini disebabkan fungsi basis dari transformasi wavelet dapat diperlebar dan dipersempit sehingga memudahkan dalam menganalisa sinyal sesuai dengan frekuensinya. Pada frekuensi tinggi digunakan fungsi basis yang sempit sedangkan pada frekuensi rendah digunakan fungsi basis yang lebar. Dalam transformasi wavelet ini dilakukan beberapa metode transformasi wavelet yang meliputi : 1.
Continuous Wavelet Transform (CWT) Wavelet adalah sebuah fungsi dengan perata-rataan nol dan dibatasi oleh frekuensi dan waktu. Wavelet dapat digolongkan dengan membatasinya terhadap waktu (Δt) dan frekuensi (Δω atau lebar pita). Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan selalu terjadi antara pembatasan
27
dalam waktu dan frekuensi. Tanpa definisi Δt dan Δω yang jelas dapat dikatakan bahwa terdapat sebuah batas untuk bagaimana memperkecil ketidakpastian hasil Δt .Δω.
Salah satu caranya dengan menggunakan
wavelet Morlet didefinisikan sebagai : ……..........................(7)
ωo adalah frekuensi tak berdimensi dan η adalah waktu tak berdimensi. Ketika wavelet dipergunakan untuk maksud ekstraksi fitur maka wavelet Morlet (ωo = 6) adalah pilihan yang terbaik. Wavelet Morlet menyediakan sebuah keseimbangan yang baik antara pembatasan waktu dan frekuensi. Ide dibalik CWT adalah untuk menerapkan fungsi wavelet sebagai filter bandpass terhadap seri waktu. Wavelet dilebarkan terhadap waktu bervariasi terdapat skala (s), dimana η = s.t dan dinormalisasi untuk mendapatkan satuan energi. Wavelet Morlet (ωo = 6) periode Fourier (λωt) hampir sama terhadap skala (λωt=1.03 s). CWT dari seri waktu (xn, n=1...N) dengan langkah waktu yang sama δt adalah konvolusi dari xn dengan X
2
penskalaan dan normalisasi wavelet sehingga daya wavelet |Wn (s)|
yang
dihasilkan dapat ditulis :
......................(8)
Dalam penerapannya wavelet lebih cepat untuk mengimplementasikan konvolusi dalam ruang Fourier (Torrence and Compo 1998). Argumen kompleks WnX(s) dapat diinterpretasikan sebagai fase lokal. CWT
mempunyai
tepi
artifak
disebabkan
wavelet
bukanlah
pembatasan yang utuh terhadap waktu. Cone of Influence (COI) sangat berguna untuk dipergunakan sehingga efek tepi dapat diabaikan. Penggunaan COI sebagai daerah dimana power wavelet menyebabkan diskontinuitas pada tepi yang telah diturunkan menjadi e-2 dari nilai di tepi. Signifikansi statistik dari power wavelet dapat dinilai relatif terhadap hipotesa nol, dimana sinyal yang dihasilkan oleh proses stasioner dengan
28
latar belakang yang memberikan power spectrum (Pk). Beberapa seri waktu geofisika mempunyai karakteristik red noise yang dapat dimodelkan dengan sangat baik dengan pangkat pertama dari proses autoregressive (AR1). Power spectrum Fourier dari sebuah proses AR1 dengan lag 1 autokorelasi α (diestimasi dari pengamatan deret waktu seperti yang dilakukan oleh Allen and Smith 1996) didefinisikan sebagai; …………….…………….............(9) k adalah indeks frekuensi Fourier. Transformasi wavelet merupakan serangkaian bandpass filter yang diaplikasikan terhadap deret waktu dimana skala wavelet secara linier berhubungan dengan periode karakteristik filter (λwt). Oleh karena itu, untuk proses stasioner dengan power spektrum Pk, variasi yang diberikan oleh teorema konvolusi Fourier adalah variasi sederhana yang dihubungkan dengan band Pk, jika Pk cukup halus maka varians yang diberikan oleh skala sederhana dengan Pk dapat diaproksimasi mempergunakan konversi k-1 = λωt. Torrence and Compo (1998) menggunakan metode Montecarlo untuk memperlihatkan bahwa aproksimasi ini sangat baik untuk spektrum AR1. Selanjutnya diperlihatkan bahwa distribusi probabilitas power wavelet dengan
menggunakan
power
spectrum
(Pk)
menjadi
lebih
besar
dibandingkan dengan p yaitu:
D
………................(10)
υ adalah sama dengan 1 untuk riil dan 2 untuk wavelet kompleks. 2.
Cross Wavelet Transform (XWT) Cross wavelet transform (XWT) dari dua seri data xn dan yn didefinisikan sebagai WXY = WXWY*, dimana * adalah notasi kompleks konjugat. Selanjutnya didefinisikan cross wavelet power sebagai |WXY|. Argumen kompleks arg (WXY) dapat diinterpretasikan sebagai fase relatif lokal antara xn dan yn dalam ruang waktu frekuensi. Teori distribusi dari
29
cross wavelet dari dua seri waktu dengan latar belakang power spectra PkX dan PkY telah diberikan oleh Torrence and Compo (1998) sebagai;
D
................(11)
Zυ(p) adalah tingkat kepercayaan (confidence level) yang dihubungkan dengan probabilitas p untuk sebuah pdf yang didefinisikan dengan akar kuadrat produk dari dua distribusi χ2. 3.
Sudut Fase Cross Wavelet Dalam fase berbeda antara komponen dari dua deret waktu, diperlukan perkiraan rata-rata dan selang kepercayaan dari fase yang berbeda tersebut. Untuk menghitung hubungan fase digunakan rata-rata melingkar (circular mean) dengan fase lebih besar dari 5% secara signifikan statistik yang berada di luar daerah COI. Rata-rata circular dari sekumpulan sudut (ai, i=1,...n) didefinisikan sebagai; …(12) Tidak mudah untuk menghitung selang kepercayaan dari rata-rata sudut secara akurat dikarenakan fase sudut tidak independen. Jumlah dari sudut yang dipergunakan dalam perhitungan dapat ditentukan berubah-ubah dengan menambah skala resolusi. Bagaimanapun sangat menarik untuk mengetahui hamburan dari sudut disekitar rata-rata. Untuk itu didefinisikan simpangan baku melingkar (circular) sebagai :
S
………….................(13)
dimana Simpangan baku melingkar dianalogkan dengan simpangan baku linier yang bervariasi dari nol sampai tak terhingga. Ini memberikan hasil yang sama terhadap simpangan baku ketika sudut terdistribusi mendekati sekitar rata-rata sudut. Dalam beberapa kasus boleh jadi alasan untuk
30
menghitung fase sudut rata-rata untuk setiap skala dan kemudian fase sudut dapat dihitung sebagai jumlah dari tahun. 4.
Wavelet Transform Coherence (WTC) Pada umumnya koherensi Fourier digunakan untuk mengidentifikasi pita frekuensi dimana dua deret waktu saling berhubungan, satu deret data akan
mengembangkan
sebuah
koherensi
wavelet
yang
dapat
mengidentifikasi baik pita frekuensi dan interval waktu dimana deret waktu tersebut dipengaruhi. Dalam analisis Fourier, terlebih dahulu dilakukan penghalusan (smoothing) spektrum sebelum melakukan perhitungan koherensi. Jika terdapat dua seri waktu X dan Y, dimana transformasi wavelet WnX (s) dan WnY (s) dimana n adalah indeks waktu dan s adalah skala, maka spektrum cross wavelet didefinisikan sebagai : ……….............................(14) Tanda * menandakan kompleks konjugat. Spektrum cross-wavelet secara akurat mengdekomposisi spektra Fourier dan spektra kuadratik ke dalam ruang skala waktu. Koherensi wavelet kuadrat (wavelet squared coherency), didefinisikan sebagai nilai absolut dari cross wavelet yang telah dihaluskan kemudian dinormalisasi dengan power spectra wavelet yang juga telah dihaluskan.
………………….…(15)
S menyatakan penghalusan (smoothing) baik waktu maupun skala, dan . Didalam perhitungan baik bagian real maupun imajiner dari spektrum cross wavelet dihaluskan secara terpisah sebelum mendapatkan nilai absolute, dimana angka penyebutnya adalah power spectra wavelet (setelah dikuadrat) yang telah dihaluskan. Faktor s-1 digunakan untuk mengkonversi menjadi sebuah densitas energi. Transformasi wavelet
31
mempunyai variansi yang kekal maka koherensi wavelet adalah sebuah presentasi yang akurat dari normalisasi kovarian antara dua deret waktu. Beda fase koherensi wavelet dinyatakan dengan :
....................................(16)
Bagian real yang telah dihaluskan ( ) dan bagian ( ) imajiner telah dihitung sebelumnya dengan menggunakan persamaan 15. Baik Rn2(s) maupun
adalah fungsi dari indeks waktu n dan skala .
Proses penghalusan yang telah dilakukan dengan persamaan (15) dan (16) menggunakan weighted running average atau konvolusi baik dalam arah waktu maupun skala. Dapat dikatakan bahwa koherensi Fourier hanya bergantung kepada perubahan fungsi penghalusan demikian juga yang dilakukan terhadap koherensi wavelet. Meskipun demikian lebar dari fungsi wavelet Morlet baik dalam ruang waktu maupun Fourier menghasilkan sebuah lebar alami dari fungsi penghalusan. Penghalusan dari waktu mempergunakan sebuah filter yang diberikan oleh nilai absolut dari fungsi wavelet pada setiap skalanya, normalisasi untuk mendapatkan sebuah bobot total dari suatu kesatuan. Untuk wavelet Morlet berbentuk Gaussian dengan . Skala penghalusan dilakukan menggunakan filter boxcar dengan lebar δjo panjang skala dekorelasi. Untuk wavelet Morlet dipergunakan δjo=0.60 (TC98). Dengan mempergunakan filter yang berbeda-beda lebar dan jenisnya menghasilkan suatu koherensi yang lebih halus atau koherensi derau yang lebih kecil dimana masih memberikan hasil kualitatif yang sama. Filter-filter di atas adalah kesepakatan terbaik sebagaimana filter tersebut menyediakan jumlah minimal dari kebutuhan penghalusan termasuk didalamnya dua titik independen baik dalam dimensi waktu dan skala. 5.
Cone of Influence (COI) Panjang deret waktu terbatas, kesalahan (error) akan muncul di awal
dan akhir dari spektrum power wavelet, seperti pada transformasi Fourier. Solusi permasalahan ini adalah dengan “pad” di akhir deret waktu dengan
32
nol
sebelum
melakukan
transformasi
wavelet
dan
kemudian
menghilangkannya. Metoda lain dengan damping cosius (Meyers et al. 1993). Dalam studi ini, deret waktu di pad (padding) dengan nol secukupnya sehingga panjang total N memenuhi pangkat dua yang berikutnya, untuk menghilangkan efek tepi (ujung) dan mempercepat transformasi Fouriernya. Padding dengan nol menimbulkan diskontinuitas dititik akhir sehingga bila skala diperbesar akan menurunkan amplitudo didekat ujung dengan semakin banyaknya nol ikut dalam analisis. COI merupakan wilayah dari spektrum wavelet yang mana pengaruh tepi menjadi suatu yang penting dan disini didefinisikan sebagai e-folding-time dipilih sehingga power wavelet untuk suatu diskontinuitas di ujung menurun dengan faktor e-2 dan memastikan bahwa efek tepi dapat diabaikan dalam titik ini. Untuk series yang siklus (misalnya sebuah strip longitudinal pada lintang yang tetap), tidak diperlukan padding dengan nol dan di lokasi tersebut tidak ada COI. Ukuran COI untuk tiap skala juga dapat menjadi ukuran dari decorelasi waktu untuk sebuah spike tunggal di dalam time series. Dengan membandingkan lebar suatu peak dalam spectrum wavelet terhadap dekorelasi waktu ini dapat dibedakan antara suatu spike pada data (kemungkinan derau acak) dan sebuah komponen harmonik pada frekuensi Fourier ekuivalennya. Data curah hujan diolah dengan menggunakan perangkat lunak ferret untuk selanjutnya dilakukan analisis deret waktu untuk mengetahui periodesitas domiman. Data angin diolah untuk menganalisis arah dan kecepatannya. Data komponen angin zonal dan meridional dirata-ratakan setiap bulannya dengan menggunakan perangkat lunak ferret kemudian ditampilkan dalam bentuk gambar arah dan kecepatan.
33
4 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Variabilitas Tinggi Muka Laut Gambar 6 sampai dengan Gambar 9 memperlihatkan tinggi muka laut
bulanan rata-rata dari tahun 2002-2010. Di perairan Sulawesi tinggi muka laut pada musim timur (Juni – Agustus) umumnya lebih rendah di sekitar 20LU–40LU dan 1200BT –1220BT dibandingkan dengan bagian Utaranya. Pada musim peralihan II (September-Nopember) tinggi muka laut relatif hampir sama dengan musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibandingkan musim timur dan peralihan II di perairan sekitar 20LU– 40LU dan 1200BT –1220BT. Tinggi muka laut pada musim peralihan I (Maret – Mei) di Perairan Sulawesi tampak secara umum berada di atas 80 cm. Tinggi muka laut di perairan Sulawesi pada musim timur relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. Tinggi muka laut di perairan Sulawesi secara umum terlihat adanya variabilitas musim, di bulan Januari dan Februari tinggi muka laut relatif sama dengan kisaran 82-88 cm. Di bulan Maret - Mei tinggi muka laut cenderung lebih rendah dibanding bulan sebelmnya antara 74-80 cm. Tinggi muka laut pada bulan Juni relatif lebih rendah terutama disekitar 20LU–40LU dan 1200BT –1220BT dibandingkan bagian utaranya dan cenderung bertambah rendah pada bulan September antara 74-78 cm dan kembali meninggi di bulan Oktober hingga bulan Desember. Di Perairan Selat Makasar tinggi muka laut tampak secara umum lebih tinggi di bagian utara (MK1) dibandingkan bagian selatan (MK4). Pada musim timur Tinggi muka laut di daerah MK4 tampak lebih rendah dibandingkan pada musim barat dengan kisaran 50 - 56 cm. Pada musim peralihan II terlihat tinggi muka laut relatif sama dengan musim timur. Pada musim barat tinggi muka laut di daerah MK4 lebih tinggi dibandingkan musim lainnya dengan kisaran 78-84 cm, sedangkan pada musim peralihan I untuk daerah MK4 relatif lebih dibandingkan dengan musim timur dan musim barat dengan kisaran 74 – 80 cm. Secara umum berdasarkan musim, tinggi muka laut di daerah MK1 memiliki pola relatif sama dengan tinggi muka laut di daerah MK4. Variabilitas tinggi muka laut Perairan Selat Makasar bulan ke bulan terlihat jelas. Pada bulan Januari, tinggi muka laut di Perairan Selat Makasar berkisar 82–
34 Juli
cm
Agustus
September
Gambar 6. Tinggi muka laut pada bulan Juli, Agustus dan bulan September dari tahun 2002-2010
35 Oktober
cm
Nopember
Desember
Gambar 7. Tinggi muka laut pada bulan Oktober, Nopember dan bulan Desember dari tahun 2002-2010
36 Januari
cm
Februari
Maret
Gambar 8.
Tinggi muka laut pada bulan Januari, Februari dan bulan Maret dari tahun 2002-2010
37 April
cm
Mei
Juni
Gambar 9. Tinggi muka laut pada bulan April, Mei dan bulan Juni dari tahun 2002-2010
38
86 cm. Pada bulan Februari tinggi muka laut di Perairan Selat Makasar, cenderung sama dengan bulan Januari. Pada bulan Maret terlihat di bagian selatan Perairan Selat Makasar (MK4) tinggi muka laut berkisar 68 - 74 cm dan cenderung bertambah rendah hingga bulan September dengan kisaran 56-62 cm, sedangkan tinggi muka laut selama bulan Oktober – Desember berkisar 68-74 cm relatif lebih tinggi dibandingkan bulan September. Pada musim timur tinggi muka laut di Laut Jawa berkisar 56-66 cm relatif lebih rendah dibandingkan musim barat, sedangkan pada musim peralihan II hingga musim barat tinggi muka laut relatif berbanding terbalik dengan musim timur. Untuk tinggi muka laut pada musim peralihan I memiliki pola yang relatif sama dengan musim timur. Secara umum, tinggi muka laut di Laut Jawa pada musim timur relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. Di bulan JanuariMaret tinggi muka laut lebih rendah terdapat sekitar bagian selatan Laut Jawa dibandingkan dengan tinggi muka laut bagian utara laut Jawa dekat dengan Kalimantan Selatan dengan kisaran 50-56 cm. Tinggi muka laut pada bulan AprilMei tampak lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya dengan kisaran 68-74 cm. Pada bulan Juni sampai bulan Oktober tinggi muka laut cenderung semakin menurun dengan kisaran 50-68 cm, sedangkan di bulan November hingga bulan Desember terlihat relatif lebih tinggi dibagian utara Laut Jawa dekat perairan Kalimantan Selatan dengan kisaran 70-80 cm dibandingkan dengan bagian selatannya. Pada Gambar 10 memperlihatkan deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan JW, MK6, dan MK2. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur berkisar 80-100 cm. Pergerakkan massa air permukaan pada bulan Desember dan Januari tahun 2008 terlihat adanya slope antara daerah pengamatan MK6 dan MK2 yang mengindikasikan adanya kecenderungan massa air permukaan bergerak ke utara. Indikasi adanya pergerakan ke utara juga terlihat pada bulan April-Mei 2003 tinggi muka laut di daerah Pengamatan JW lebih tinggi dibandingkan daerah MK6 dan MK2. Bulan April-Mei tahun 2004 dan tahun 2010, tinggi muka laut di daerah JW dan MK6 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan MK2. Tahun 2006, tinggi muka laut daerah pengamatan MK6
39
lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan MK2. Pada musim timur terlihat tinggi muka laut di daerah pengamatan MK2 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan JW dan MK6, hal ini mengindikasikan pergerakan massa air permukaan pada musim timur mengalir ke selatan dari utara Perairan Selat Makasar. Pada bulan Maret-Mei terlihat adanya kecenderungan tinggi muka laut lebih tinggi dibandingkan bulan November-Januari. Pada bulan Januari – Maret 2004 dan tahun 2005 terlihat tinggi muka laut di daerah pengamatan MK6 lebih tinggi atau sama dengan MK2, hal ini menunjukkan adanya massa air permukaan yang bergerak ke utara minimal dari daerah pengamatan MK6 ke MK2. Pada bulan Maret-Mei tahun 2003, 2008 dan tahun 2010 terlihat pula pola yang hampir sama tinggi muka laut daerah pengamatan MK6 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan MK2.
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 10. Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK2 Pada Gambar 11 memperlihatkan deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan MK3, MK4, dan MK5. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Pergerakan massa air permukaan pada bulan Desember dan Januari pada setiap tahun pengamatan terlihat adanya slope antara daerah pengamatan
40
MK5 dan MK4 yang mengindikasikan adanya kecenderungan pergerakan massa air permukaan dari MK5 ke MK4. Indikasi adanya pergerakan ini terlihat pula pada musim timur dengan tinggi muka air lebih rendah dibandingkan musim barat. Tinggi muka laut daerah pengamatan MK3 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pengamatan MK4 dan MK5, hal ini mengindikasikan bahwa massa air permukaan selalu bergerak ke arah selatan yakni dari daerah pengamatan MK3 ke daerah pengamatan MK4 dan MK5. Pada bulan Juli-September ada kecenderungan tinggi muka laut di daerah pengamatan MK5 bergerak mendekati daerah pengamatan MK4, hal ini mengindikasikan adanya pergerakan massa air permukaan di daerah tersebut.
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 11. Deret waktu tinggi muka laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5 Pada Gambar 12 sampai Gambar 14 memperlihatkan power spectrum wavelet dari tinggi muka laut. Di daerah pengamatan Sul1 tinggi muka laut terlihat memiliki periode intraseasonal (2-6 bulan) yang terjadi pada bulan ke 10 sampai bulan ke 30, dan berulang pada bulan ke 55 serta bulan ke 80 sampai 2
bulan ke 110 dengan power spectrum berkisar 0,7 -1,0 cm . Di daerah pengamatan Sul1 juga terlihat memiliki periode seasonal (12 bulan) dengan
41
Sul1
Sul2
MK1
Time (Month)
2
(cm ) Gambar 12.
Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1
42
MK2
MK3
MK4
Time (Month)
2
(cm ) Gambar 13.
Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK4
43
JW
KR
Time (Month)
2
(cm ) Gambar 14. Power spectrum wavelet tinggi muka laut daerah pengamatan JW dan KR 2
power spectrum berkisar 0,7-0,8 cm tampak dari bulan ke 40 sampai bulan ke 50 dan bulan ke 70 sampai dengan bulan ke 125. Daerah pengamatan Sul2, periode intra-seasonal terlihat pada bulan pertama sampai bulan ke 10, bulan ke 20, 40, 2
60, 95, 110 dan bulan ke 120 dengan power spectrum 0,7-1,1 cm . Periode seasonal terlihat pada bulan pertama sampai bulan ke 30 dan bulan ke 60 sampai 2
bulan ke 120 dengan power spectrum berkisar 1,0-1,15 cm . Daerah pengamatan MK1 tampak periode seasonal terlihat pada bulan pertama sampai bulan ke 40
44
dan bulan ke 80 sampai bulan ke 125 dengan power spectrum yang relatif kuat 2
1,0-1,15 cm . Periode inter-seasonal masih terlihat dengan power spectrum berkisar 0,4-0,6 cm
2
pada sepanjang bulan pengamatan. Untuk daerah
pengamatan MK2, MK3, MK4, JW dan KR terlihat ada periode seasonal yang 2
cukup jelas dengan power spectrum kuat berkisar 1,0-1,15 cm di sepanjang bulan pengamatan sedangkan periode inter-seasonal tidak terlihat. Transpor massa air Arlindo yang melalui Selat Makasar dari hasil pengamatan INSTANT program Januari 2004 - November 2006 adalah 11,6 ± 3,3 Sv. Transpor massa air ini lebih besar 27 % dari data yang diamati periode El Niño yang kuat selama tahun 1997-1998. Nilai maksimum massa air transpor terjadi saat akhir musim barat dan musim timur, dengan minimum massa air transpor terjadi pada bulan Oktober – Desember (Gordon et al. 2010). Susanto and Gordon (2005) mengungkapkan adanya aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 250 meter pada September 1997–pertengahan Februari 1998 selama puncak El Niño, sedangkan aliran ke utara pada lapisan di bawah 300 m diduga terjadi selama intrusi gelombang Kelvin Mei 1997 (Sprintall et al. 2000), Mei 2004 dan 2005 sedangkan pada bulan Mei 2006 tidak terlihat (Gordon et al. 2010). Berdasarkan hasil penelitian transpor massa air Arlindo periode 1997/1998 dan INSTANT program 2004-2006 pada lapisan permukaan terjadi pembalikan aliran 1 sampai 2 bulan yang diamati selama musim barat terutama pada bulan Januari dan Desember tahun 2005 dan tahun 2006 (Gordon et al. 2010), konsisten dengan deret waktu Arlindo periode 1997/1998 (Gordon and Susanto 2003). Pembalikan transpor massa air pada bulan-bulan tersebut berusaha diamati melalui data penginderaan jauh satelit. Pada Gambar 15 memperlihatkan tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember 2005. Pada bulan Januari 2005 di Perairan Selat Makasar tinggi muka laut lebih rendah sekitar 50 cm di sekitar Kalimantan Selatan dibandingkan dengan tinggi muka laut dekat daerah Mamaju dan Majene berkisar 72 cm demikian pula tinggi muka laut di dekat Kalimantan Timur relatif lebih rendah dari tinggi muka laut dekat Sulawesi Tengah. Tinggi muka laut terlihat lebih tinggi dibagian utara dibandingkan bagian selatan perairan Selat Makasar.
45
Transpor massa air permukaan pada bulan ini tidak terlihat adanya pergerakan ke utara. Tidak terlihatnya pergerakan massa air permukaan ke utara diduga disebabkan resolusi data altimeter yang digunakan memiliki akurasi data 1,0 cm (Callahan et al. 2009) sehingga perubahan tinggi muka laut yang lebih kecil dari pada akurasi data tidak akan terekam. Pada bulan Desember 2005 terlihat tinggi muka laut memiliki pola yang mirip seperti bulan Januari 2005 dibagian utara Perairan Selat Makasar tampak lebih tinggi berkisar 84-92 cm dibandingkan di bagian selatan yang hanya 68-76 cm. Pada Gambar 16 memperlihatkan tinggi muka laut bulan Januari dan Desember 2006. Bulan Januari 2006 tinggi muka laut terlihat relatif lebih rendah di bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) dibandingkan bagian utara perairan (MK1). Dibagian perairan dekat Kalimantan (MK2) terlihat tinggi muka laut berkisar 74-80cm cenderung ke arah utara, sedangkan bagian timur perairan Selat Makasar, kontur cenderung ke arah selatan perairan. Tinggi muka laut di perairan Laut Jawa terlihat lebih tinggi di dekat perairan Kalimantan Tengah. Tinggi muka laut di dekat Kalimantan Tengah cenderung bergerak ke arah tenggara. Pada bulan Desember 2006 terlihat tinggi muka laut memiliki pola yang lebih rendah dibandingkan bulan Janauri 2006. Pergerakan massa air permukaan ke utara pada Gambar 17 juga tidak terlihat. El Niño adalah kondisi abnormal iklim di mana penampakan suhu permukaan laut Samudra Pasifik ekuator bagian timur dan tengah (di pantai Barat Ekuador dan Peru) lebih tinggi dari rata-rata normalnya. El Niño diindikasikan dengan beda tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin yang disebut Osilasi Selatan, karena keduanya terletak di belahan bumi selatan. El Niño sering digabung dengan Osilasi Selatan menjadi ENSO. Australian Government Bureau of Meteorology (2011) menjelaskan El Niño ditandai dengan indeks osilasi selatan/Southern Oscillation Index (SOI) bernilai negatif berkelanjutan dibawah 8, artinya tekanan atmosfer di atas Tahiti lebih rendah daripada tekanan di atas Darwin, sebaliknya La Niña ditandai nilai SOI positif berkelanjutan di atas 8. Nilai antara sekitar 8 dan -8 umumnya menunjukkan kondisi netral. Pada periode El Niño yang terjadi di bulan Maret 2002 - Januari 2003 dengan indeks SOI lemah, termasuk El Niño katagori lemah s/d sedang.
46
Januari
cm
Desember
Gambar 15. Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember 2005
47
Janauri
cm
Desember
Gambar 16. Tinggi muka laut pada bulan Januari dan Desember 2006
48
Periode El Niño katagori lemah ditunjukkan dengan indeks SOI lemah terjadi pada Mei 2006 – Januari 2007 dan bulan Oktober 2009 – Februari 2010 dengan indeks SOI lemah s/d sedang. Periode La Niña terjadi pada Juni 2007 – Februari 2008 dengan indeks SOI lemah s/d sedang, untuk periode La Niña katagori sedang s/d kuat dan bulan Agustus 2008 – April 2009 termasuk katagori La Niña lemah dengan nilai indeks SOI lemah s/d sedang. Gambar 17 memperlihatkan deret waktu dari tinggi muka laut di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1. Secara umum pada periode El Niño tinggi muka laut tampak lebih rendah berkisar 65-85 cm dibandingkan pada periode La Niña dengan tinggi muka laut berkisar 90 – 100 cm. Daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 memiliki pola yang mirip, kuat dugaan di daerah tersebut pengaruh Perairan Pasifik Utara masih ada dan massa air permukaan Sul1 mempengaruhi masaa air permukaan di Sul2 dan MK1. Pada periode El Niño, untuk daerah pengamatan Sul1 terlihat tinggi muka laut paling rendah sampai 65 cm, dibandingkan daerah pengamatan lainnya, kebalikannya pada saat La Niña tinggi muka laut relatif lebih tinggi sampai 105 cm. Periode La Niña bulan Juni 2007 – Februari 2008 tampak tinggi muka laut yang cenderung meningkat berkisar 95100 cm. Analisis power spektrum koherensi tinggi muka laut dilakukan untuk mengetahui hubungan antar daerah pengamatan dengan menggunakan analisis Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Coherence (WTC). Gambar 18 dan Gambar 19 memperlihatkan XWT di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, MK4, JW dan KR. Secara umum periode seasonal tampak pada setiap daerah pengamatan. Gambar 18a tampak periode seasonal sekitar bulan ke 80-110 2
dengan power spectrum antara 2-3 cm , XWT di daerah pengamatan Sul1 dan Sul2 ini menunjukkan in phase. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan tinggi muka laut di Sul1 dan Sul2. Gambar 18b memperlihatkan XWT untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1, periode seasonal sekitar bulan ke 1-30 dan bulan ke 2
75-120 dengan power spectrum antara 4-8 cm . XWT di daerah pengamatan ini memperlihatkan in phase di hampir semua bagian, yang mengindikasikan adanya hubungan tinggi muka laut antara Sul2 dengan MK1. XWT yang diperlihatkan
49
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 17. Deret waktu tinggi muka laut untuk daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1
50
a
b
c
Time (Month) Gambar 18. Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, dan MK3
51
pada Gambar 18c, untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1, periode seasonal 2
sekitar bulan ke 1-130 dengan power spectrum kuat antara 4-8 cm . XWT di daerah pengamatan ini memperlihatkan in phase di hampir semua bagian, yang mengindikasikan adanya hubungan tinggi muka laut antara Sul2 dengan MK1. Gambar 19a, Gambar 19b, dan Gambar 19c memiliki periode seasonal yang cukup jelas di sepanjang bulan daerah pengamatan dan menunjukkan in 2
phase dengan power spectrum 4-8 cm . Hal tersebut mempelihatkan adanya kemungkinan hubungan yang sangat erat tinggi muka laut di antara daerah pengamatan. Pada Gambar 21b dan Gambar 21c terlihat adanya periode intraseasonal dengan power spektrum 1-2 dan menunjukkan in phase yang berarti tinggi muka laut di daerah pengamatan tersebut memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lain. Informasi yang lebih baik dengan tingkat kepercayaan signifikan yang menunjukkan indikasi hubungan antara dua daerah pengamatan dapat menggunakan pendekatan WTC. Gambar 20 dan Gambar 21 memperlihatkan WTC pada daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, MK4, JW dan KR. Periode seasonal tampak pada setiap daerah pengamatan dengan anak panah yang menunjukkan in phase. Periode ini menunjukkan kesamaan dengan periode seasonal yang diperlihatkan XWT. Hal tersebut mengindikasikan bahwa periode seasonal terjadi dengan konsisten di setiap daerah pengamatan. Gambaran umum dari pendekatan WTC memperlihatkan tinggi muka laut di daerah Sul1 dengan Sul2, Sul2 dengan MK1 dan MK1 dengan MK3 memiliki keterkaitan yang cukup kuat, patut diduga adanya indikasi perambatan tinggi muka laut dalam bentuk gelombang dengan timelag = 0,4444 bulan (± 2 minggu). Demikian pula terjadi perambatan tinggi muka laut dari daerah pengamatan KR ke JW dan daerah pengamatan JW ke MK2. 4.2
Suhu Permukaan Laut Posisi geografis perairan Selat Makasar yang terletak di antara Laut
Sulawesi dan Laut Jawa merupakan lintasan utama bagi Arlindo yang menyebabkan kondisi oseanografi Selat Makasar mempunyai variabilitas tinggi, selain dipengaruhi oleh massa air dalam selat, juga dipengaruhi oleh variabilitas
52
a
b
c
Time (Month) Gambar 19. Cross wavelet transform tinggi muka laut dari daerah pengamatan MK2, MK3, MK4, JW dan KR
53
a
b
c
Time (Month) Gambar 20. Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK3
54
a
b
c
Time (Month) Gambar 21. Wavelet coherence tinggi muka laut daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR
55
oseanografi di luar selat dan keadaan iklim (Illahude (1970); Gordon and Susanto (2003); Ffield et al. (2000)). Kondisi oseanografi di selat ini juga merupakan bagian dari Perairan Indonesia yang mentransfer massa air hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo berdampak terhadap perimbangan kedua parameter di kedua samudera, perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2000; Gordon 2001). SPL dipengaruhi oleh keadaan cuaca antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat di perairan Indonesia lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara 29-300C dan di bagian utara khatulistiwa suhu berkisar antara 27-280C. Pada musim timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-300C dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-280C (Wyrtki 1961). Gambar 22 sampai dengan Gambar 25 memperlihatkan SPL rata-rata bulanan dengan kisaran suhu 26,000C - 32,000C. Di perairan Sulawesi SPL pada musim timur yang berlangsung dari bulan Juni - Agustus tampak lebih tinggi di sekitar 20LU – 4 0LU dan 1200BT – 1240BT dengan kecenderungan SPL yang menurun. Pada musim peralihan II (September-November) SPL relatif hampir sama dengan musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) SPL terlihat lebih rendah dibandingkan musim timur dan peralihan II dan SPL kisar 28,400C 29,200C hampir merata di perairan Sulawesi. SPL pada musim peralihan I (Maret – Mei) tampak tinggi dengan kecenderungan SPL yang meningkat. Secara umum, sebaran SPL di perairan Sulawesi pada musim barat relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. SPL di perairan Sulawesi secara umum terlihat ada variabilitas bulan ke bulan, di bulan Januari dan Februari SPL relatif homogen dengan kisaran 29,150C – 29,450C . Di bulan Maret cenderung meningkat dan mencapai kisaran tertinggi pada bulan April sebesar 29,750C – 30,800C. SPL pada bulan Mei relatif lebih tinggi terutama disekitar 20LU – 4 0LU dan 1200BT – 124 0BT dibanndingkan bagian utaranya dan cenderung bertambah rendah pada
56
September
0
C
Oktober
Nopember
Gambar 22.
Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember
57
Desember
0
C
Januari
Februari
Gambar 23.
Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Desember, Januari dan Februari
58
Maret
0
C
April
Mei
Gambar 24. Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Maret, April, dan Mei
59
Juni
0
C
Juli
Agustus
Gambar 25.
Suhu permukaan laut rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus
60
bulan Juli. SPL selama bulan Agustus – Oktober cenderung meningkat di sekitar 20LU –4 0LU dan 1200BT –124 0BT dan kembali menurun pada bulan November –Desember dengan kisaran 29,000C – 29,650C. Di perairan Selat Makasar SPL pada musim timur tampak tinggi di daerah MK2 dan kecenderungan SPL yang menurun di bulan Juli – Agustus. Di bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) tampak pada bulan Juni SPL rendah, keadaan ini terlihat meluas ke arah barat sampai bulan September dan berangsuransur hilang pada bulan Oktober dan Desember. Hal ini konsisten dengan dugaan terjadinya penaikan massa air di daerah tersebut. Illahude (1970) dan Gordon (2001) mengungkapkan bahwa penaikan massa air di perairan Selat Makasar berlangsung selama 4 bulan dari bulan Juni sampai bulan September, yaitu akhir musim peralihan pertama, memasuki musim timur dan berakhir pada awal musim peralihan ke dua. Pada musim barat SPL tinggi terlihat di sekitar bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) dan kecenderungan SPL yang menurun dengan berubahnya bulan. SPL pada musim peralihan I tampak tinggi di bagian selatan perairan Selat Makasar (MK4) dan terlihat hampir semua dipermukaan perairan Selat Makasar pada bulan April kemudian berkurang di bulan Mei. Secara umum, SPL di perairan Selat Makasar pada musim peralihan lebih tinggi dibandingkan musim barat dan musim timur dan suhu di lapisan permukaan sampai kedalaman tertentu pada Musim Barat lebih hangat dibandingkan Musim Timur (Illahude and Gordon, 1996). Di perairan Selat Makasar varibilitas SPL dari bulan ke bulan tampak jelas, di bulan Januari lebih tinggi di bagian tengah (MK2 dan MK3) dan selatan perairan (MK4) dibandingkan bagian utara perairan Selat Makasar (MK1), kecenderungan ini mencapai puncaknya pada bulan April dengan kisaran SPL 29,600C – 30,800C. Pada bulan Mei mulai terlihat di bagian selatan sebelah timur perairan Selat Makasar (MK5) adanya SPL yang relatif lebih rendah berkisar 28,400C – 28,800C, dan cenderung bertambah rendah pada bulan Agustus dengan kisaran SPL 27,500C – 27,650C. SPL selama bulan Juni – September yang relatif lebih rendah terlihat di bagian selatan (MK4) dan bagian tengah sebelah barat perairan Selat Makasar (MK2), sedangkan saat bulan Oktober hanya ada di bagian selatan perairan (MK4). Pada bulan Nopember SPL di perairan Selat Makasar
61
relatif tinggi dan bulan Desember SPL di bagian utara (MK1) lebih rendah dibandingkan bagian tengah (MK2 dan MK3) dan selatan (Mk4) dengan kisaran 29,000C – 29,450C. SPL di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih rendah ke arah timur mendekati Selat Makasar dibanding bagian baratnya dengan kecenderungan SPL yang menurun. Pada musim peralihan II SPL relatif meningkat dan mencapai tertinggi pada bulan Desember, cenderung kembali rendah pada musim barat di bulan Februari. SPL pada musim peralihan I tinggi dengan kecenderungan meningkat. Secara umum, SPL di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih rendah dibandingkan musim lainnya. SPL di bulan Januari sampai Maret cenderung lebih tinggi ke arah timur dengan kisaran 29,150C – 29,750C dan dibulan April relatif homogen dan kisaran tertinggi 30,500C – 30,950C. Sebaran SPL pada bulan Mei sampai Agustus relatif lebih tinggi ke arah barat mendekati Selat Karimata dengan kisaran 27,500C – 29,750C. SPL selama bulan September berkisar 27,950C – 28,100C dan cenderung terus meningkat sampai puncaknya pada bulan Desember dengan kisaran 30,650C – 30,800C. Pada Gambar 26 memperlihatkan deret waktu SPL untuk daerah pengamatan JW, MK6, dan MK2. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum SPL terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur antara 0
0
29,00 C-30,50 C. Terlihat pada Bulan Desember dan Januari, SPL di daerah pengamatan JW berhimpit dengan daerah pengamatan MK6 dan MK2. Adanya bentuk pola yang sama dan adanya slope SPL antara daerah pengamatan JW dan MK2 mengindikasikan adanya kesamaan SPL di antara ke dua pengamatan tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya pergerakan ke utara yang terlihat pada tahun 2002, 2004, 2005, 2007, 2008 dan 2010. Ada kecenderungan pada bulan Desember dan Januari SPL di daerah pengamatan MK2, MK6 dan JW memiliki pola relatif sama. Pada musim timur tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 terlihat SPL di daerah pengamatan MK2 lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan JW dan MK6, hal ini mengindikasikan pergerakan massa air pada musim timur mengalir ke selatan dari utara Perairan Selat Makasar.
62
Pada Gambar 27 memperlihatkan deret waktu SPL untuk daerah pengamatan MK3, MK4, dan MK5. Pada musim barat di setiap daerah pengamatan secara umum SPL terlihat lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Pada bulan Desember dan Januari pada setiap tahun pengamatan terlihat
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 26. Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan JW, MK6 dan MK2
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 27. Deret waktu suhu permukaan laut di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5
63
SPL antara daerah pengamatan MK5 dan MK4 yang lebih tinggi dibandingkan dengan MK3 yang mengindikasikan adanya massa air permukaan dengan nilai SPL yang relatif sama di antara daerah pengamatan tersebut dengan kisaran nilai 0
0
SPL 30,00 C-31,00 C. Indikasi adanya pola yang sama terlihat pula pada musim timur antara daerah pengamatan MK4 dan MK5 dengan SPL lebih rendah berkisar 0
0
26,50 C-27,50 C dibandingkan musim barat. Adanya slope SPL antara daerah pengamatan MK4, MK5 ke MK3 pada bulan Januari tahun 2003, 2005, 2006, 2007 dan 2010 mengindikasikan massa air permukaan di daerah tersebut memiliki nilai SPL relatif sama. Gambar 28 memperlihatkan deret waktu SPL di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1. Pada periode El Niño secara umum nilai SPL relatif lebih rendah dibandingkan pada periode La Niña. Pada periode El Niño di daerah Sul1 nilai SPL 28,500C - 28,800C, sedangkan pada periode La Niña nilai SPL berkisaran28,300C -29,000C. Terlihat untuk daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 memiliki pola SPL yang relatif sama. Adanya pola SPL yang relatif sama antara daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1 ini mengindikasikan adanya pengaruh antara massa air permukaan di Sul1 dengan massa air permukaan di daerah pengamatan Sul2 dan antara massa air permukaan di Sul2 dengan massa air permukaan di daerah pengamatan MK1. Gambar 29 sampai Gambar 31 memperlihatkan power spectrum wavelet dari suhu permukaan laut. SPL untuk daerah pengamatan Sul1 terlihat memiliki periode seasonal yang dominan terjadi pada minggu ke 10-200 dengan power 0
2
spectrum 0,5-0,7 ( C) daerah tersebut menunjukkan karakteristik yang jelas dipengaruhi musim. Di daerah Sul1 terlihat memiliki periode intra-seasonal 0
2
dengan power spectrum 0,8-0,9 ( C) . Daerah pengamatan Sul2, periode seasonal 0
2
terlihat dengan power spectrum 0,5-0,6 ( C) dan periode intra-seasonal terlihat dengan power spectrum kuat pada minngu ke 50, 250 dan 330.
Di daerah
pengamatan MK1, periode intra-seasonal terlihat pada minggu ke 60 dan minggu 0
2
ke 230 dengan power spectrum 0,7-0,8 ( C) . Periode seasonal terlihat di daerah 0
2
pengamatan MK1 dengan power spectrum 0,5-0,6 ( C) . Daerah pengamatan 0
2
MK2 tampak periode seasonal dengan power spectrum 0,4-0,5 ( C) dan tampak
64
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 28. Deret waktu suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1
65
Sul1
Sul2
MK1
(0C)2
Gambar 29. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1
66
MK2
MK3
MK4
(0C)2
Gambar 30. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK4
67
0
2
periode intra-seasonal di minggu ke 290 dengan power spectrum 0,88-0,9 ( C) . Periode seasonal terjadi pada minggu ke 20-200 dengan power spectrum 0,6-0,7 0
2
( C) untuk daerah pengamatan MK3. Daerah pengamatan MK4, JW dan KR 0
2
periode seasonal terlihat jelas pada power spectrum 0,8-0,9 ( C) . Periode intraseasonal terlihat pula di daerah pemgamatan MK4, JW dan KR dengan power 0
2
spectrum 0,7 – 0,8 ( C) . SPL bervariasi secara empat belas harian dan bulanan di perairan Indonesia ini mengindikasikan adanya proses mixing yang dibangkitkan oleh pasang surut (Ffield and Gordon 1996). JW
KR
(0C)2 Gambar 31. Power spectrum wavelet suhu permukaan laut daerah pengamatan JW dan KR
68
4.3
Klorofil Gambar 32 sampai dengan Gambar 35 memperlihatkan konsentrasi
klorofil rata-rata bulanan dari tahun 2002 – 2008. Variabilitas klorofil sangat -3
kecil bulan ke bulan dengan kisaran 0.05 – 0.35 mg m . Di perairan Sulawesi konsentrasi klorofil pada musim timur (Juni-Agustus) dan musim peralihan II (September-November) relatif homogen. Konsentrasi klorofil pada musim barat (Desember - Februari) terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan musim timur dan peralihan II. Konsentrasi klorofil pada musim peralihan I (Maret - Mei) tampak relatif lebih rendah dibandingkan saat musim barat. Di perairan Selat Makasar konsentrasi klorofil saat musim timur relatif lebih tinggi dan kecenderungan meningkat konsentrasinya terutama dibagian selatan perairan (MK4). Di musim peralihan II, konsentrasi klorofil tampak lebih rendah dibandingkan saat musim timur.
Pada saat musim barat dan musim
peralihan I konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar Kalimantan Timur (MK2) dan tampak bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar dan beransuransur menghilang pada bulan Mei. Variabilitas bulanan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar tampak terlihat, di bulan Januari relatif lebih tinggi di bagian barat perairan(MK3) dibandingkan bagian timur perairan Selat Makasar, kecenderungan ini meningkat sampai bulan Maret. Pada bulan April variabilitas yang tinggi di bagian barat perairan mulai berkurang dan mulai terlihat konsentrasi klorofil lebih rendah di bulan Mei yang memanjang dari utara ke selatan di bagian timur perairan, konsentrasi klorofil ini beransur-ansur berkurang di bulan Agustus – September. Pola variabilitas ini relatif mirip terlihat dengan luas yang lebih besar hampir di semua perairan Selat Makasar dari bulan Oktober sampai bulan Desember. Pada bulan Juni di Perairan Selat Makasar bagian selatan (MK4) tampak konsentrasi klorofil relatif lebih tinggi dibandingkan bagian tengah (MK3) dan utara perairan Selat Makasar (MK1), keadaan ini tampak meningkat sampai bulan Agustus dan berangsur-ansur hilang pada bulan Oktober. Hal ini konsisten dengan dugaan terjadinya penaikan massa air di daerah tersebut. Illahude (1970) dan Gordon (2001) menjelaskan penaikan massa air di perairan Selat Makasar dipengaruhi oleh pergerakan angin saat musim timur yang bergerak dari arah Tenggara
69
Mg/m
Gambar 32. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Juni, Juli dan Agustus
3
70
Mg/m
3
Gambar 33. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan September, Oktober dan Nopember
71
Mg/m
3
Gambar 34. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Desember, Januari, dan Februari
72
Mg/m
3
Gambar 35. Konsentrasi klorofil rataan bulanan di bulan Maret, April dan Mei
73
(Australia) menuju Asia melewati Indonesia dibelokan ke arah Utara ketika melewati khatulistiwa. Konsentrasi klorofil di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih tinggi ke arah barat dan meningkat konsentrasinya sampai bulan Agustus. Saat musim peralihan II konsentrasi
klorofil
relatif
berkurang
ke arah
timur
perairan. Di musim barat, konsentrasi klorofil relatif lebih tinggi dibandingkan musim peralihan II. Secara umum, SPL di perairan Laut Jawa pada musim timur relatif lebih tinggi dibandingkan musim lainnya. Variabilitas konsentrasi klorofil di perairan Laut Jawa, di bulan Januari relatif lebih tinggi dan homogen. Di bulan Februari-April konsentrasi klorofil berkurang dibandingkan bulan Januari. Konsentarsi klorofil di bulan Mei – Agustus kembali meningkat dengan peningkatan yang terbesar dan merata terjadi di bulan Juli- Agutus. Pada bulan September konsentrasi klorofil mulai berkurang kembali sampai bulan Desember. Gambar 36, memperlihatkan grafik deret waktu konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1. Periode El Niño bulan Maret 2002 Januari 2003, untuk daerah pengamatan Sul1 mempunyai nilai konsentrasi klorofil antara 0,01 – 0,05 mg m-3 relatif rendah dibandingkan daerah pengamatan lainnya. Konsentrasi klorofil tertinggi terjadi di daerah pengamatan MK1 dengan nilai -3
konsentrasi antara 0,04 – 0,07 mg m . Hal yang relatif sama terjadi pula pada periode El Niño Mei 2006 – Januari 2007 dan periode El Niño bulan Oktober 2009 – Februari 2010 dengan konsentrasi klorofil terendah terjadi di daerah pengamatan Sul1 antara 0,01 – 0,05 mg m-3 dan konsentrasi klorofil tertinggi terjadi di daerah pengamatan MK1 0,04– 0,07 mg m-3. Pada periode La Niña bulan Juni 2007 – Februari 2008 konsentrasi klorofil terendah antara 0,01 – 0,02 mg m
-3
terdapat di daerah pengamatan Sul1.
Konsentrasi klorofil tertinggi terjadi didaerah pengamatan MK1 konsentrasi -3
klorofil antara 0,06–0,08 mg m . Periode La Niña bulan Agustus 2008– April 2009, relatif konsentrasi klorofil lebih tinggi dibandingkan periode La Niña sebelumnya. Di daerah pengamatan Sul1 nilai konsentrasi klorofil terendah antara 0,01 – 0,02 mg m
-3
dan konsentrasi klorofil tertinggi terlihat di daerah -3
pengamatan MK1antara 0,06 – 0,08 mg m . Secara umum konsentrasi klorofil
74
2002
2003
Gambar 36.
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Deret waktu konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2 dan MK1
75
pada periode La Niña lebih besar dibandingkan pada periode El Niño, hal ini diduga adanya pengaruh curah hujan. Di daerah pengamatan Sul1 dan Sul2 terlihat konsentrasi klorofil sepanjang tahun pengamatan relatif cukup rendah, hal ini disebabkan massa air Perairan Pasifik Utara yang rendah konsentrasinya masih mempengaruhi massa air permukaan di Laut Sulawesi. Analisis power spektrum koherensi konsentrasi klorofil dilakukan untuk mengetahui hubungan antar daerah pengamatan dengan menggunakan analisis Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Coherence (WTC). Gambar 37 dan Gambar 38 memperlihatkan XWT konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK3, MK4, JW dan KR. Secara umum periode seasonal tampak pada setiap daerah pengamatan. Gambar 37a tampak periode spectrum di 16 -24 minggu atau periode intra-seasonal sekitar tahun 2007 (250 minggu) dan tahun 2009 (350 minggu). Periode seasonal (48–64 minggu) terlihat sekitar tahun 2008 – 2010 (275 – 366 minggu). XWT untuk daerah pengamatan Sul1 dan Sul2 menunjukkan in phase pada periode 16 -24 minggu dan ada menunjukkan anti phase pada periode 48-64 minggu. Gambar 37b memperlihatkan XWT untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1, dengan periode seasonal (48-58 minggu) sekitar tahun 2004-2010. XWT untuk daerah pengamatan ini memperlihatkan in phase di hampir semua bagian, yang mengindikasikan adanya hubungan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul2 dengan MK1. XWT yang diperlihatkan pada Gambar 37c memiliki periode yang hampir sama seperti daerah pengamatan Sul1 dan MK1 sekitar tahun 2003-2010 dan periode intraseasonal (16-24 minggu) sekitar tahun 2008. Gambar 38a merupakan XWT daerah pengamatan MK3 dan MK4 yang memperlihatkan anti phase dengan periode seasonal (48-60 minggu) disekitar tahun 2002-2008, terlihat pula ada periode seasonal (20-28 minggu) yang menunjukkan in phase di tahun 2003-2004 dan tahun 2008. Gambar 38b memperlihatkan XWT untuk daerah pengamatan KR dan JW dengan periode intra-seasonal (24 minggu) pada tahun 2006-2007 dan tahun 2009. Periode seasonal (48-60 minggu) tampak sekitar tahun 2007-2009. XWT untuk daerah pengamatan JW dan MK2 diperlihatkan pada Gambar 38c, periode seasonal (4860 minggu) sekitar tahun 2007-2010 yang menunjukkan in phase. Informasi yang
76
a
b
c
Time (Week) Gambar 37. Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK3.
77
a
b
c
Time (Week) Gambar 38. Cross wavelet transform konsentrasi klorofil dari daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR.
78
diperoleh dari XWT yang berupa ada dan tidaknya indikasi hubungan masih cukup rendah dan masih cukup sulit untuk mengetahui apakah informasi yang diberikan itu hanyalah kebetulan atau memang hal yang sebenarnya. Diperlukan pendekatan lain untuk mendapatkan korelasi yang signifikan dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik. Pendekatan WTC dapat digunakan untuk hal ini. Pendekatan WTC dilakukan untuk mengidentifikasikan daerah dalam ruang waktu frekuensi atau periode pada dua deret waktu berbeda (Torrence and Compo 1998). Fase yang berkorelasi satu dengan yang lain digambarkan dengan anak panah. Hubungan in phase digambarkan dengan anak panah ke kanan dan hubungan anti phase digambarkan dengan anak panah ke kiri (Grinsted et al. 2004). Gambar 39 dan Gambar 40 memperlihatkan WTC konsentrasi klorofil pada daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, MK4, JW dan KR. Secara umum periode seasonal tampak pada relatif setiap daerah pengamatan. Periode ini menunjukkan kesamaan dengan periode seasonal yang diperlihatkan XTC. Hal ini mengindikasikan bahwa periode seasonal terjadi dengan konsisten di daerah pengamatan. Gambar 39a menunjukkan hubungan in phase di daerah yang signifikan untuk pengamatan Sul1 dan Sul2 dengan periode intraseasonal (18–24 minggu) disekitar tahun 2005 – 2010 dengan timelag (jeda waktu) 1,333 minggu dan periode 96 minggu dan sekitar tahun 2008-2010 dengan jeda waktu 5,333 minggu. Hal serupa menunjukkan adanya hubungan antar daerah pengamatan Sul1 dan Sul2. Hubungan in phase untuk daerah pengamatan Sul2 dan MK1 dengan periode intraseasonal (4-16 minggu) terjadi sekitar tahun 2008, periode intraseasonal (32–58 minggu) sekitar tahun 2004-2010 dan periode 64-98 minggu sekitar tahun 2003-2004. Gambaran ini memperlihatkan adanya hubungan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul2 dengan MK1. WTC pada Gambar 39c memperlihatkan gambaran yang hampir mirip Gambar 39b dengan periode seasonal sekitar 32–64 minggu di sepanjang tahun pengamatan. Gambar 40a memperlihatkan in phase dengan
periode intra-seasonal
(16-24 minggu) untuk daerah pengamatan MK3 dan MK4 yang terlihat sekitar minggu ke 50 sampai minggu 200 dan minggu 250 sampai 350. Periode seasonal ( 32-64 minggu) pada Gambar 40a menunjukkan anti phase yang berada sekitar minggu ke satu sampai minggu ke 300. Hal ini mengindikasikan konsentrasi
79
a
b
c
Time (Week) Gambar 39.
Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1 dan MK3
80
a
b
c
Time (Week) Gambar 40.
Wavelet coherence konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK3, MK4, JW dan KR
81
klorofil antara daerah pengamatan MK3 dan MK4 mempunyai keterkaitan kebalikan yang cukup baik. Gambar 40b WTC untuk daerah pengamatan KR dengan JW, memperlihatkan periode seasonal (48-58 minggu) sekitar minggu ke 150 sampai minggu ke 350, sedangkan periode intraseasonal (24 - 32 minggu) tampak pada minggu ke satu sampai minggu ke 110. WTC untuk daerah pengamatan JW dan MK2 terdapat pada Gambar 40c, periode intraseasonal pada minggu ke 75 sampai minggu ke 100, minggu ke 125 sampai minggu ke 175, dan minggu ke 350. Periode seasonal (34-60 minggu) terlihat sekitar minggu ke satu sampai minggu ke 225 dan minggu ke 300 sampai minggu ke 350. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan antara JW dan MK2. Gambaran umum dari pendekatan WTC memperlihatkan konsentrasi klorofil di daerah Sul1 dengan Sul2, Sul2 dengan MK1 dan MK1 dengan MK3 memiliki keterkaitan yang cukup kuat, denngan konsentrasi klorofil yang rendah di daerah Sul1 kemudian saat berada di daerah MK3 konsentrasi klorofil menjadi relatif tinggi patut diduga adanya faktor pengayaan konsentrasi klorofil oleh daerah sekitarnya seperti daerah perairan delta Mahakam, sedangkan daerah MK3 dengan MK4 tidak memiliki keterkaitan yang cukup baik, hal ini diduga konsentrasi klorofil di daerah MK4 dipengaruhi oleh penaikan massa air. Konsentrasi klorofil di daerah pengamatan KR tidak ada hubungannya dengan daerah JW, diduga konsentrasi klorofil dari daerah KR tidak masuk ke daerah JW, untuk konsentrasi klorofil daerah JW dengan daerah MK2 ada keterkaitan yang cukup kuat, diduga konsentrasi klorofil di daerah JW sampai ke daerah MK2 pada musim-musim tertentu. 4.1
Pengaruh Massa Air dan Kesuburan Perairan Selat Makasar Hasil penelitian transpor massa air Arlindo periode 1997/1998 dan
INSTANT program 2004-2006 pada lapisan permukaan terjadi pembalikan aliran 1 sampai 2 bulan yang diamati selama musim barat (terutama pada bulan Januari dan Desember) tahun 2005 dan tahun 2006, konsisten dengan deret waktu Arlindo periode 1997/1998 (Gordon et al. 2003) meskipun pada tahun 2004 serangkaian pembalikan aliran permukaan lebih banyak terjadi sepanjang tahun (Gordon et al. 2010). Tinggi muka laut bulan Januari dan Desember lebih tinggi dibandingkan bulan lainya. Hal ini dipengaruhi oleh pergerakan angin yang bertiup pada bulan
82
tersebut. Pola pergerakan angin di Perairan Selat Makasar dapat dilihat pada Gambar 41 dan Gambar 42. Pada bulan Januari – Maret angin bertiup ke arah Tenggara dengan kecepatan angin berkisar 6 m/dtk – 11 m/dtk. Pada bulan April angin bertiup ke Tenggara terutama di bagian selatan perairan dengan kecepatan kira-kira 6 m/dtk. Pada bulan Mei – Juni pola angin berubah bertiup ke arah Barat Laut dengan kecepatan lebih rendah di bulan Mei dan meningkat selama bulan Juni berkisar 6 m/dtk – 7 m/dtk. Di bagian utara perairan Selat Makasar pada bulan April - Juni kecepatan angin relatif rendah dibawah 6 m/dtk. Pola pergerakan angin pada bulan Juli – Oktober bertiup ke arah Barat Laut di bagian selatan dan ke arah Utara di bagian tengah dan utara perairan Selat Makasar. Kecepatan angin tinggi pada bulan Juli - Oktober, peningkatan kecepatan angin ini terjadi di bulan Juli dan mencapai puncaknya di bulan Agustus dengan kecepatan berkisar 5 m/dtk – 8 m/dtk dan berangsur - angsur berkurang kecepatannya di bulan Oktober. Pada bulan Nopember dan Desember pola angin mengalami perubahan dari bertiup ke arah Barat Laut di bagian selatan Perairan Selat Makasar dekat dengan kecepatan angin di bawah 6 m/dtk pada bulan Nopember, dan berubah ke arah Timur dan Tenggara di Perairan Selat Makasar pada bulan Desember dengan kecepatan 6m/dtk – 8 m/dtk. Angin utama yang berhembus di perairan Selat Makasar adalah angin muson. Angin ini dalam setahun mengalami pembalikan arah dua kali. Perubahan arah dan pergerakan angin muson ini berhubungan erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan DesemberFebruari umumnya angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia sehingga di atas perairan Selat Makasar angin bertiup dari arah utara ke arah selatan selat atau angin Muson Barat. Pada bulan Juni-Agustus angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia yang mengakibatkan arah angin di atas perairan Selat Makasar bertiup dari arah tenggara ke arah utara atau angin Muson Timur. Pergantian angin muson dari Muson Barat ke Muson Timur menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makasar. Selama angin Muson Barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada Muson Timur, terjadi peningkatan salinitas
akibat penguapan yang besar, ditambah dengan massa air yang
83
Jan
Apr
Feb
Mei
Mar
Jun
Gambar 41. Pola pergerakan angin pada bulan Januari – Juni
84
Jul
Okt
Agst s
Nop
Sep
Des
Gambar 42. Pola pergerakan angin pada bulan Juli – Desember
85
bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makasar (Wyrtki, 1961). Pada bulan Januari dan Desember termasuk dalam musim barat, pada saat itu angin bertiup saat matahari berada di belahan bumi selatan, yang menyebabkan benua Australia musim panas, sehingga bertekanan minimum dan benua Asia lebih dingin, sehingga tekanannya maksimum. Angin bertiup dari benua Asia menuju benua Australia, dan saat menuju Selatan Khatulistiwa, maka arah gerak angin akan dibelokkan ke arah kiri. Pada periode ini, Indonesia akan mengalami musim hujan akibat adanya massa uap air yang dibawa oleh angin ini, saat melalui lautan luas di bagian utara dari Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan (Wyrtki 1961). Adanya pembalikan arah arus ke utara perairan tidak teramati dari data tinggi muka laut di bulan Desember 2005 yang terlihat dari lintang 60LS - 0.50LS dan di bulan Januari 2006 dari lintang 60LS -30LS. Pada saat pembalikan arah massa air ke utara perairan sebaran SPL berkisar 29,700C – 30,900C lebih rendah dari bulan April-Juni yang berkisar 30,000C – 31,200C. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan, sehingga suhu berkisar antara 29-300C (Wyrtki 1961). Gambar 43 memperlihatkan deret waktu curah hujan (mm/bulan) dan konsentrasi klorofil (mg m-3) di daerah pengamatan MK2, MK5 dan Sul1. Di daerah pengamatan MK2, saat curah hujan tinggi pada bulan Desember-Maret, konsentrasi klorofil juga tinggi berkisar 0,15-0,20 mg m-3 sebaliknya saat curah hujan rendah pada bulan Juli- Oktober, konsentrasi klorofil juga rendah berkisar berkisar 0,04-0,10 mg m-3. Terlihat adanya kecenderungan pola konsentrasi klorofil mengikuti pola dari curah hujan. Di daerah pengamatan MK5, saat curah hujan tinggi pada bulan Desember-Maret konsentrasi klorofil rendah berkisar 0,05-0,07 mg m-3 dan sebaliknya. Untuk daerah pengamatan MK5 adanya kecenderungan curah hujan tinggi tidak diikuti dengan tingginya konsentrasi klorofil. Di daerah pengamatan Sul1 saat curah hujan tinggi pada bulan Desember-Maret konsentrasi klorofil rendah berkisar 0,015-0,02 mg m-3 dan pada saat curah hujan rendah, konsentrasi klorfil juga renda. Untuk daerah pengamatan Sul1, adanya kecenderungan curah hujan tinggi tidak diikuti dengan tingginya konsentrasi klorofil. Di duga massa air permukaan dari Pasifik Utara yang
86
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 43. Deret waktu curah hujan dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK5 dan Sul1.
87
mengandung konsentrasi klorofil rendah mempengaruhi konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1. Di Perairan Selat Makasar terutama di daerah MK2, MK3, MK4, MK5, MK6 terlihat adanya tingkat klorofil yang tinggi. Pada musim barat klorofil tinggi di terutama di daerah pengamatan MK2, MK3 dan MK6 yang disebabkan karena adanya curah hujan tinggi di daerah tersebut dan juga adanya massa air permukaan yang bergerak dari Laut Jawa yang mengandung konsentrasi klorofil relatif tinggi ke Perairan Selat Makasar. Pada saat musim timur klorofil tinggi terutama di daerah pengamatan MK3, MK4 dan MK5 yang disebabkan adanya penaikan massa air di sekitar daerah pengamatan MK5. Hubungan konsentrasi klorofil di antara daerah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK3 seperti dijelaskan dengan Gambar 39. Konsentrasi klorofil yang ada di daerah pengamatan Sul1 sedikit banyak ada yang terhubung/merambat ke daerah pengamatan Sul2 kemudian merambat ke MK1 dan MK3. Berdasarkan analisis tinggi muka laut terlihat dengan jelas adanya perambatan tinggi muka laut di daerah pengamatan tersebut, patut diduga perambatan konsentrasi klorofil ini disebabkan oleh gelombang laut. Konsentrasi klorofil saat berada di daerah pengamatan Sul1 tampak relatif rendah kemudian relatif lebih tinggi saat berada di daerah pengamatan MK3, diduga tingginya konsentrasi klorofil karena adanya pengayaan konsentrasi klorofil dari daerah sekitar Selat Makasar seperti pengaruh perairan sekitar Delta Mahakam. Sutomo (2000) menjelaskan konsentrasi klorofil lebih tinggi terdapat di bagian selatan Teluk Muara Pasir yaitu di perairan Muara Teluk Apar berkisar 0,55-1,20 mg m-3. Kenaikan nutrien di laut yang dangkal berhubungan erat dengan pengaruh aliran sungai dan proses pengadukan air lapisan dasar ke atas oleh pengaruh pasang surut dan gelombang. Nutrien yang berasal dari darat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan fitoplankton. Muchtar et al. (2000) dalam penelitiannya melihat nilai transmisi sinar pada kedalaman 2 meter di perairan Kalimantan Timur bervariasi dari 45-85%. Nilai terendah ditemui pada Muara Sungai Mahakam, sedangkan Muara Sungai Balikpapan tercatat lebih tinggi yaitu 65%, namun lebih rendah dari Muara Sungai Sangkulirang yang terletak di bagian utara Kalimantan Timur dengan nilai 60%.
88
Ini menunjukkan Sungai Mahakam lebih besar pengaruhnya dari sungai-sungai lainnya sehingga bahan melayang seperti zooplankton dan fitoplankton yang terbawa sampai ke laut lebih besar pula volumenya dengan nilai konsentrasi klorofil yang lebih besar dari 0,7 µg/l terdapat pada bagian permukaan pesisir pantai sebelah utara Sungai Mahakam. Gambar 44 merupakan peta sebaran klorofil di perairan Delta Mahakam pada tanggal 24 Mei 2003. Konsentrasi klorofil dengan kisaran 0,3 µg/l sampai dengan diatas 1,9 µg/l terdapat di perairan Delta Mahakam yang secara umum memperlihatkan semakin menjauhi delta konsentrasi klorofil menjadi relatif lebih rendah. Menurut Muchtar et al. (2005) pengaruh aliran Sungai Mahakam dan sungai-sungai lainnya terlihat pada kandungan oksigen dilapisan permukaan berkisar 2,16-4,13ml/l, kandungan fosfat rata-rata 0,92 µg A/l, kadar nitrat ratarata 4,59 µg A/l dan kadar rata-rata silikat 6,64 µg A/l, dengan kata lain pengaruh kedua daratan yakni Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi yang dialiri oleh sungai terlihat sekali terhadap perairan Selat Makasar. Adanya pengaruh daerah sekitar perairan Selat Makasar juga dapat di jelaskan pada Gambar 45 dan Gambar 46 yang memperlihatkan WTC suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil daearah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, dan MK4. Terlihat untuk semua daerah pengamatan dengan power spectrum yang cukup signifikan, hubungan antara suhu permukaan laut dengan konsentrasi klorofil berada dalam anti phase saat periode seasonal yang berarti konsentrasi klorofil merupakan „cermin‟ dari suhu permukaan laut. Daerah pengamatan MK2, dan MK3 terlihat pada periode seasonal berada dalam anti phase, hal ini disebabkan adanya pengaruh dari daerah sekitar perairan Selat Makasar. Nontji (1987) menjelaskan, tingkat kesuburan di daerah pantai dan dekat muara sungai cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lepas pantai, hal tersebut disebabkan tingginya kadar zat hara di perairan pantai dibandingkan dengan lepas pantai. Muchtar et al. (2000) menjelaskan tingkat transmisi sinar yang tinggi di kawasan lepas pantai sejalan dengan tingginya tingkat kesuburan perairan, sedangkan pada perairan pesisir dengan tingkat transmisi sinar yang
89
Sumber Gambar; Ambarwulan et al. (2003)
Gambar 44. Peta sebaran klorofil di perairan Delta Mahakam dari citra LandSat ETM pada 24 Mei 2003 rendah tingkat kesuburan juga tinggi. Hal tersebut menjelaskan terjadinya pencampuran yang sempurna, sehingga kesuburan perairan tetap tinggi. Gambar 47 dan Gambar 48 memperlihatkan WTC tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil daearah pengamatan Sul1, Sul2, MK1, MK2, MK3, dan MK4. Di daerah pengamatan Sul1 dan MK4 pada periode seasonal berada dalam in phase dengan timeleg 0.6777 bulan, artinya perubahan konsentrasi klorofil terjadi 0.677 bulan setelah perubahan anomali tinggi muka laut di daerah tersebut. Untuk daerah pengamatan Sul2, MK1, MK2, dan MK3 terlihat berada dalam anti phase yang menunjukkan pada periode seasonal konsentrasi klorofil merupakan „cermin‟ dari tinggi muka laut. Pengamatan tinggi muka laut di daerah Sul1, Sul2, dan MK1, terdapat periode intra-seasonal. Susanto et al. (2000) menjelaskan tentang variabilitas intra-seasonal dengan menggunakan data paras laut dan mooring yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera Hindia yang masuk Perairan Selat Makasar melalui Selat Lombok dan gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Karakteristik intra-seasonal ditandai dengan periode 48-62 hari yang berhubungan dengan gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang
90
merambat melalui Laut Sulawesi. Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang-gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makasar. Sprintall et al. (2000) menyebutkan signal gelombang Kelvin ditemukan di lintasan arus Pantai Jawa dan berbelok ke utara melalui Selat Lombok dan memasuki Selat Makasar.
91
Time (Week) Gambar 45. Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1
92
Time (Week) Gambar 46.
Wavelet coherence suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di daearah pengamatan MK2, MK3, and MK4
93
.
Time (Month) Gambar 47. Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan Sul1, Sul2, dan MK1
94
Time (Month) Gambar 48. Wavelet coherence tinggi muka laut dan konsentrasi klorofil di daerah pengamatan MK2, MK3, dan MK4
95
5 5.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Variabilitas tinggi muka laut, SPL dan konsentrasi klorofil di Perairan Selat Makasar dan sekitarnya dipengaruhi musim. Konsentrasi klorofil-a saat musim timur lebih tinggi, sedangkan SPL dan tinggi muka laut lebih rendah. Tingginya konsentrasi klorofil ini akibat dari upwelling yang terjadi di bagian perairan selatan Selat Makasar. Pada saat musim barat konsentrasi klorofil tinggi terlihat di sekitar perairan Kalimantan Timur dan bergerak ke arah timur di bagian selatan Selat Makasar sebagai akibat tidak langsung dari tingginya curah hujan sehingga membawa kandungan zat hara dari limpasan air daratan seperti sekitar Perairan Delta Mahakam. 2. Kesuburan Perairan Selat Makasar terjadi sepanjang tahun, disebabkan adanya massa air permukaan pada saat musim barat yang bergerak dari Laut Jawa yang mengandung konsentrasi klorofil tinggi ke Perairan Selat Makasar dan adanya pengaruh tidak langsung dari tingginya curah hujan pada musim tersebut sehingga kandungan zat hara dari Delta Mahakam terbawa oleh limpasan air sungai ke Perairan Selat Makasar. Pada saat musim timur, disebabkan adanya penaikan massa air di bagian selatan Perairan Selat Makasar.
5.2
Saran Diperlukan kajian lanjutan untuk mengetahui kontribusi masing-masing sumber kesuburan Perairan Selat Makasar.
96
DAFTAR PUSTAKA Allen MR, Smith LA. 1996. Monte Carlo SSA: Detecting irregular oscillations in the Presence of Colored Noise. J Climate 9: 3373–3404. Ambarwulan W, Mone IC, Hartini S. 2003. Citra satelit LandSat untuk Inventarisasi Sumberdaya alam Pesisir dan laut di Delta Mahakam. Bogor: Bakosurtanal.
Anant KS, Dowla FU. 1997. Wavelet Transform Methods for Phase Identification in Three-Component Seismograms. Bull of Seismological Society of America 87(6):1598 – 1612. Aung TH. 1998. Indo-Pacific Throughflow and its Seasonal Variations. In the ASEAN-Australia Regional Ocean-Dynamics Expeditions 1993 – 1995. Di dalam : Cresswell G, Wells G, editor. Proceedings Held in Lombok Indonesia, June 1995. Australian Marine Science and Technology Limited. Australian Government Bureau of Meteorology. 2011. Australian Government Bureau of Meteorology. http://www.bom.gov.au. Broecker WS. 1991. The Great Conveyor Belt. J Oceanogr. 4:79 – 89. Brown OB, Brown JW, Evans RH. 1985. Calibration of Advanced Very High Resolution Radiometer Infra Red Observations. J Geophys Res, 90 (C6) : 11667 – 11667. Brown OB, Minnet PJ. 1999. MODIS Infrared Sea Surface Temperature Algorithm, Algorithm Theoretical Basis Document Version 2.0. Miami: University of Miami. Burnett WH, Kamenkovich VM, Gordon AL, Mellor GL. 2003. The Pacific/Indian Ocean Pressure Diffirence and its Influence on The Indonesian Seas Circulations: Part I – The Study with Specified Total Transport. J Mar Res 61: 577-611. Callison RD, Robinson IS, Blackburn DA, Cracknell AC, Cunnings DL. 1989. Some Marine Applications of Satellite and Airborne Remote Sensing. A Computer-based Learning Module. Paris: UNESCO. Callahan PS, Wilson B, Xing Z, Raskin R, Oslund K. 2009. Web-based Altimeter Service. California: California Institute of Technology. [CCRS] The Canada Centre for Remote Sensing. 2005. Tutorial: Fundamentals of Remote Sensing. http://www.nrcan.gc.ca.html. Conboy B. 2004. About Modis. http://www.MODIS.html. Cresswell G. 1998. The ASEAN-Australia Regional Ocean Dynamics Expeditions 1993 – 1995 Indo-Pacific Throughflow and Its Seasonal Variations. Di
97
dalam: Cresswell G, Wells G, editor. Proceedings Held in Lombok Indonesia, June 1995. Australian Marine Science and Technology Limited. [ECMWF] European Centre for Medium-Range Weather Forecasts. 2010. ECMWF Products. http://www.ecmwf.int/products/. Ffield A, Gordon AL. 1996. Tidal mixing signatures in the Indonesian Seas. J Phys Oceanogr 26: 1924-1937. Ffield A, Gordon AL. 1992. Vertical Mixing in The Indonesian Thermocline. J Geophys Res 22(2):184-195. Ffield A, Vranes K, Gordon AL, Susanto RD. 2000. Temperature Variability within Makassar Strait. Geophysical Research Letters 27(2): 237-240. Foster DJ, Mosher CC, Hassanzadeh S. 1994. Wavelet Transform Methods for th Geophysical Applications. Di dalam: 64 Annual International Meeting Soc Expl Geophys. page 1465 – 1468. Fu G, Baith, KS, McClain CR. 1998. SeaDAS: The SeaWiFS Data Analysis System, Proceedings of "The 4th Pacific Ocean Remote Sensing Conference". Qingdao, China, July 28-31: 73-79. Godfrey JS. 1996. The Effect of Indonesian Throughflow on Ocean Circulation and Heat Exchange With the Atmosphere: A Review. J Geophys Res 101: 12217-12238. Gordon AL, Sprintall J, Van Aken HM, Susanto RD, Wijffels S, Molcard R, Ffield A, Pranowo W, Wirasantosa S. 2010. The Indonesian throughflow during 2004–2006 as observed by the INSTANT program. Dynamics of Atmospheres and Oceans 50:115–128. Gordon AL, Susanto RD. 2003. Throughflow Within Makassar Strait. Geophys Res Lett 26 : 3325-3328. Gordon AL. 2001. Inter-Ocean Exchange. Di dalam: Siedler G, Church J, Gould J, editor. Ocean Circulation and Climate. Academic Press. Gordon AL, McClean J. 1999. Termohaline Stratification of the Indonesian Seas Model and Observations. J Pys Ocean 29:198 – 216. Gordon AL. 1986. Inter-Ocean Exchange of Thermocline Water. J Phys Oceanogr 91:5037-5046. Gordon HR, Wang M. 1994. Retrieval of water-leaving radiance and aerosol optical thickness over the oceans with SeaWiFS: a preliminary algorithm. J Applied Optics 33(3):443-452.
98
Grinsted A, Moore JC, Jevrejeva S. 2004. Application of the cross wavelet transform and wavelet coherence to geophysical time series. Nonlinear Proc Geophys 11:561–566. Hankin S, Callahan J, Manke A, O‟Brien K, Li J. 2006. Ferret User‟s Guide Version 6.0. http://ferret.wrc.noaa.gov/Ferret/ [30 Oct 2007]. Hautalla SL, Sprintall J, Potemra J, Ilahude AG, Chong JC, Pandoe W, Bray N. 2001. Velocity Structure and Transport of Indonesian Throughflow in The Major Strait Restricting Flow into The Indian Ocean. J Geophys Res 106: 19527-19546. Hegde M. 2011. Rainfall Analysis Tools. http://disc2.nascom.nasa.gov/Giovanni/tovas/rain.GPCP.shtml. [9 Jan 2011]. Illahude AG, Gordon AL. 1996. Thermocline Stratification Within the Indonesian Seas. J Geophys Res 101 (C5): 12375-12389.
Illahude AG. 1970. On the Occurance of Upwelling in Southern Macassar Strait. Marine Research in Indonesia 10:3-23. Lillesand TM, Kiefer RW. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. Sec. Ed. Toronto: John Wiley and Sons Inc. Meyers G, Balley RJ, Worby AP. 1995. Geostrophic Transport of Indonesian Throughflow. Deep Sea Res. Part 1 42:1163-1174. Meyers SD, Kelly BG, O‟Brien JJ. 1993. An introduction to wavelet analysis in oceanography and meteorology:With application to the dispersion of Yanai waves. Mon Wea Rev 121: 2858–2866 Molcard R, Ilahude AG, Fieux M, Swallow JC, Banjarnahor J. 1996. Low Frequency Variability of The Current in Indonesia Channels (Savu-Roti M1 and Roti Ashmore Reef M2). Deep Sea Res 41: 1643-1662. Muchtar M, Illahude AG, Ongkosongo, Otto SR, Arinardi OH, Hadikusumah, Helfinalis, Subardi, Banjarnahor J, Marajohan, Hasanuddin M, Wenno LF, Meiyanti K. 2000. Penelitian Sumberdaya hayati di Kawasan Pengembangan Dan Pengelolaan Wilayah Laut Pantai Kalimantan Timur. Laporan Akhir. PO3-LIPI. Jakarta. Muchtar M, Sopaheluwakan J, Subagja R. 2005. Studi Dinamika Selat Makasar Serta Interaksinya Dengan Daratan P.Kalimantan dan P.Sulawesi. Laporan Akhir. PO3-LIPI. Jakarta. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Philander SGH, Pacanowski RC. 1986. Properties of Long Equatorial Waves in Models of the Seasonal Cycle in the Tropical Atlantic and Pacific Oceans. J Geophys Res 91:14207 – 14211.
99
Piola A, Gordon AL, 1985. On Oceanic Heat and Freshwater Fluxes 30°S. J Phys Oceanogr 16: 2184 – 2190. Polikar R. 1996. The Wavelet Tutorial. Rowan University, College of Engineering Web Server. http://users.rowan.edu/~polikar/wavelets/wttutorial.html [12 Jan 2001]. Saji NH, Goswami BN, Vinayachandaran PN, Yamagata T. 1999. A diploe Mode in The tropical Indian Ocean. Nature 401: 360-363. Shettle EP, Fenn RW. 1979. Models for the Aerosols of the Lower Atmosphere and the Effects of Humidity Variations on Their Optical Properties. Environmental Research Papers 676. Sprintall J, Gordon AL, Murtugudde R, Susanto RD. 2000. A semiannual Indian Ocean Forced Kelvin Wave Observed in The Indonesian Seas in May 1997. J Geophys Res 105:17217-17230. Stammer D, Wunsch C. 1994. Preliminary assessment of the accuracy and precision of TOPEX/POSEIDON altimeter data with respect to the largescale ocean circulation. J Geophys Res 99(C12), doi:10.1029/94JC00919. Susanto RD, Gordon AL. 2005. Velocity and transport of the Makassar Strait throughflow. J Geophys Res 110: C01005, doi:10.1029/2004JC002425. Susanto RD, Gordon AL, Sprintall J, Herunadi B. 2000. Intraseasonal variability and tides in Makassar Strait. J Geophys Res Lett 27: 1499-1502. Sutomo. 2000. Sebaran Klorofil-a dan Seston Di Perairan Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Atlas Ekosistem Pesisir tanah Grogot, Kalimantan Timur. Jakarta: P3O-LIPI. [SWFSC] Southwest Fisheries Science Center, La Jolla. 2006. Ocean Watch North Pacific Demonstration Project. http://las.pfeg.noaa.gov/oceanWatch/oceanwatch.php [5 Juli 2006]. Torrence C, Compo GP. 1998. A practical guide to wavelet analysis. Bull Am Meteorol Soc 79: 61– 78. Van Aken HM, Punjanan J, Saimima S. 1988. Physical aspects of the flushing of the East Indonesian basins. Netherlands Journal of Sea Research 22:315– 339. Van Aken HM, Irsan SB, Indra Jaya. 2009. The deep-water motion through the Lifamatola Passage and its contribution to the Indonesian throughflow. Deep Sea Research I 56:1203–1216. Wajsowicza RC, Arnold L, Gordon, Ffield A, Susanto RD. 2003. Estimating transport in Makassar Strait. Deep Sea Research II 50 : 2163–2181.
100
Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2. California: Scripps Institution of Oceanography La Jolla. Zender C. 2011. NCO User‟s Guide Version 4.0.8. http://nco.sourceforge.net/ [ April 2011]. .
101
LAMPIRAN Lampiran 1. Tahapan proses analisis data dengan perangkat lunak ferret Semua data yang diperoleh dalam bentuk netCDF digabungkan menjadi satu file untuk masing-masing jenis data (SPL, klorofil, tinggi muka laut) dengan menggunakan perangkat lunak netCDF Operator (NCO). Apa dan bagaimana perangkat lunak NCO, dapat dibaca lebih lanjut pada NCO User‟s Guide Version 4.0.8, May 2011 dengan penulis Charlie Zender (Zender C 2011). Contoh Sintak; ncra 85.nc 86.nc 87.nc 88.nc 89.nc 8589.nc
nama file penggabungan
Sintak untuk penggunaan perangkat lunak ferret, sebagai contoh pengolahan untuk data tinggi muka laut dan untuk memahami penggunaan perangkat lunak ferret lebih baik lagi dapat membaca artikel dengan judul Ferret User‟s Guide Version 6.0 yang ditulis oleh Steve Hankin, Jon Callahan, Ansley Manke, Kevin O'Brien, dan Jing Li tahun 2006 (Hankin et al. 2006). use 8589.nc sh da
……… data agar dapat dibaca oleh ferret ……… Menampilkan row data
! MEAN set win /aspect=1 /size=2 1 shade/pal=modulo SSH[d=1,l=@ave] go land_detail frame /file=mean_2002_209.gif
Tampilan tinggi muka laut spasial Tampilan daratan Indonesia Menyimpan file rata-rata
! VARIANCE shade/pal=modulo/lev=(20,300,5) SSH[d=1,l=90:185@var] go land_detail frame /file=Variance_2002_2009.gif ! CLIMATOLOGY USE climatological_axes LET ssha_clim=SSH[d=1,GT=month_reg@MOD] ! OKT fill/lev=(20,130,2)/pal=modulo ssha_clim[l=10] contour/ov/col=0/lev=(20,130,2)/pal=modulo ssha_clim[l=10] go land_detail frame /file=Okt_clim_TPL.gif .
102
. . . . ! SEP fill/lev=(20,130,2)/pal=modulo ssha_clim[l=9] contour/ov/col=0/lev=(20,130,2)/pal=modulo ssha_clim[l=9] go land_detail frame /file=Sep_clim.gif
! crop sub-region CLIMATOLOGY plot/ylimit=20:130:3 ssha_clim[x=125.5:126.5@ave,y=5.25:4.25@ave] ! Sul1 list/file=sul1_TPL.txt ssha_clim[x=125.5:126.5@ave,y=5.25:4.25@ave] . . . . . plot/ov ssha_clim[x=107:108@ave,y=-2.75:-3.75@ave] ! KR list/file=KR_TPL.txt ssha_clim[x=107:108@ave,y=-2.75:-3.75@ave] ! CANCEL CLIMATOLOGY CANCEL DATA climatological_axes ! cropping SUB-REGION ! Sul1 plot/ylimit=20:130:3 SSH[x=125.5:126.5@ave,y=5.25:4.25@ave,l=90:185] list/file=time_series_TPL_Sul1.txt SSH[x=125.5:126.5@ave,y=5.25:4.25@ave,l=90:185] frame /file=plot_Sul1_TPL.gif . . . ! KR plot/ylimit=20:130:3 SSH[x=107:108@ave,y=-2.75:-3.75@ave,l=90:185] list/file=time_series_TPL_KR.txt SSH[x=107:108@ave,y=-2.75:3.75@ave,l=90:185] frame /file=plot_KR_TPL.gif
103
Lampiran 2. Tahapan proses analisis data dengan pendekatan wavelet transform Penggunaan pendekatan wavelet transform dalam penelitian ini running di aplikasi Matlab berdasarkan artikel A Practical Guide to Wavelet Analysis yang ditulis oleh C. Torrence and G.P. Compo, tahun 1998. Contoh pendekatan wavelet transform untuk daerah pengamatan Sul1 dan Sul2. ! Load data seriesname={'Sul1' 'Sul2'}; d1=load('Sul1.txt'); d2=load('Sul2.txt'); !Continuous wavelet transform (CWT) tlim=[min(d1(1,1),d2(1,1)) max(d1(end,1),d2(end,1))]; subplot(2,1,1); wt(d1); title(seriesname{1}); set(gca,'xlim',tlim); subplot(2,1,2) wt(d2) title(seriesname{2}) set(gca,'xlim',tlim) !Cross wavelet transform (XWT) clf xwt(d1,d2) title(['XWT: ' seriesname{1} '-' seriesname{2} ] ) !Wavelet coherence (WTC) clf wtc(d1,d2) title(['WTC: ' seriesname{1} '-' seriesname{2} ] ) !WT function varargout=wt(d,varargin) % ------validate and reformat timeseries. [d,dt]=formatts(d); n=size(d,1); sigma2=var(d(:,2)); %----------default arguments for the wavelet transform----------Args=struct('Pad',1,... % pad the time series with zeroes (recommended) 'Dj',1/12, ... % this will do 12 sub-octaves per octave 'S0',2*dt,... % this says start at a scale of 2 years 'J1',[],... 'Mother','Morlet', ...
104
Lampiran 2. Lanjutan 'MaxScale',[],... %a more simple way to specify J1 'MakeFigure',(nargout==0),... 'BlackandWhite',0,... 'AR1','auto'); Args=parseArgs(varargin,Args,{'BlackandWhite'}); if isempty(Args.J1) if isempty(Args.MaxScale) Args.MaxScale=(n*.17)*2*dt; %automaxscale end Args.J1=round(log2(Args.MaxScale/Args.S0)/Args.Dj); end if strcmpi(Args.AR1,'auto') Args.AR1=ar1nv(d(:,2)); if any(isnan(Args.AR1)) error('Automatic AR1 estimation failed. Specify it manually (use arcov or arburg).') end end
%----------------::::::::---------- Analyze: ---------:::::::::::::----------------[wave,period,scale,coi] = wavelet(d(:,2),dt,Args.Pad,Args.Dj,Args.S0,Args.J1,Args.Mother); t=d(:,1); power = (abs(wave)).^2 ; % compute wavelet power spectrum signif = wave_signif(1.0,dt,scale,0,Args.AR1,-1,-1,Args.Mother); sig95 = (signif')*(ones(1,n)); % expand signif --> (J+1)x(N) array sig95 = power ./ (sigma2*sig95); Yticks = 2.^(fix(log2(min(period))):fix(log2(max(period)))); if Args.MakeFigure if Args.BlackandWhite levels = [0.25,0.5,1,2,4,8,16] ;
[cout,H]=safecontourf(t,log2(period),log2(abs(power/sigma2)),log2(levels));%,lo g2(levels)); %*** or use 'contourfill' cout(1,:)=2.^cout(1,:); HCB=colorbarf(cout,H); barylbls=rats([0 levels 0]'); barylbls([1 end],:)=' ';
105
Lampiran 2. Lanjutan barylbls(:,all(barylbls==' ',1))=[]; set(HCB,'yticklabel',barylbls); cmap=(1:-.01:.5)'*.9; cmap(:,2:3)=cmap(:,[1 1]); %cmap(:,1:2)=cmap(:,1:2)*.8; colormap(cmap); set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ... 'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',num2str(Yticks'), ... 'layer','top') xlabel('Time(Month)') ylabel('Period (Month)') hold on [c,h] = contour(t,log2(period),sig95,[1 1],'k'); %#ok set(h,'linewidth',3) plot(t,log2(coi),'k','linewidth',3) %hcoi=fill([t([1 1:end end])],log2([period(end) coi period(end)]),'r') %set(hcoi,'alphadatamapping','direct','facealpha',.3) hold off else H=imagesc(t,log2(period),log2(abs(power/sigma2)));%#ok,log2(levels)); %*** or use 'contourfill' %logpow=log2(abs(power/sigma2)); %[c,H]=safecontourf(t,log2(period),logpow,[min(logpow(:)):.25:max(logpow(:))] ); %set(H,'linestyle','none') clim=get(gca,'clim'); %center color limits around log2(1)=0 clim=[-1 1]*max(clim(2),3); set(gca,'clim',clim) HCB=safecolorbar; set(HCB,'ytick',-7:7); barylbls=rats(2.^(get(HCB,'ytick')')); barylbls([1 end],:)=' '; barylbls(:,all(barylbls==' ',1))=[]; set(HCB,'yticklabel',barylbls);
set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ...
106
Lampiran 2. Lanjutan
'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',num2str(Yticks'), ... 'layer','top') xlabel('Time(Month)') ylabel('Period (Month)') hold on
[c,h] = contour(t,log2(period),sig95,[1 1],'k'); %#ok set(h,'linewidth',2) %plot(t,log2(coi),'k','linewidth',3) tt=[t([1 1])-dt*.5;t;t([end end])+dt*.5]; hcoi=fill(tt,log2([period([end 1]) coi period([1 end])]),'w'); set(hcoi,'alphadatamapping','direct','facealpha',.5) hold off end set(gca,'box','on','layer','top'); end varargout={wave,period,scale,coi,sig95}; varargout=varargout(1:nargout); function [cout,H]=safecontourf(varargin) %R14 HACK --- fix. vv=sscanf(version,'%i.'); if (version('-release')<14)|(vv(1)<7) [cout,H]=contourf(varargin{:}); else [cout,H]=contourf('v6',varargin{:}); end function hcb=safecolorbar(varargin) vv=sscanf(version,'%i.'); if (version('-release')<14)|(vv(1)<7) hcb=colorbar(varargin{:}); else hcb=colorbar('v6',varargin{:}); end
107
Lampiran 2. Lanjutan !XWT function varargout=xwt(x,y,varargin) % ------validate and reformat timeseries. [x,dt]=formatts(x); [y,dty]=formatts(y); if dt~=dty error('timestep must be equal between time series') end t=(max(x(1,1),y(1,1)):dt:min(x(end,1),y(end,1)))'; %common time period if length(t)<4 error('The two time series must overlap.') end
n=length(t); %----------default arguments for the wavelet transform----------Args=struct('Pad',1,... % pad the time series with zeroes (recommended) 'Dj',1/12, ... % this will do 12 sub-octaves per octave 'S0',2*dt,... % this says start at a scale of 2 years 'J1',[],... 'Mother','Morlet', ... 'MaxScale',[],... %a more simple way to specify J1 'MakeFigure',(nargout==0),... 'BlackandWhite',0,... 'AR1','auto',... 'ArrowDensity',[30 30],... 'ArrowSize',1,... 'ArrowHeadSize',1); Args=parseArgs(varargin,Args,{'BlackandWhite'}); if isempty(Args.J1) if isempty(Args.MaxScale) Args.MaxScale=(n*.17)*2*dt; %auto maxscale end Args.J1=round(log2(Args.MaxScale/Args.S0)/Args.Dj); end ad=mean(Args.ArrowDensity); Args.ArrowSize=Args.ArrowSize*30*.03/ad; Args.ArrowHeadSize=Args.ArrowHeadSize*Args.ArrowSize*220;
108
Lampiran 2. Lanjutan if strcmpi(Args.AR1,'auto') Args.AR1=[ar1nv(x(:,2)) ar1nv(y(:,2))]; if any(isnan(Args.AR1)) error('Automatic AR1 estimation failed. Specify them manually (use the arcov or arburg estimators).') end end %nx=size(x,1); sigmax=std(x(:,2)); %ny=size(y,1); sigmay=std(y(:,2));
%-----------:::::::::::::--------- ANALYZE ----------::::::::::::-----------[X,period,scale,coix] = wavelet(x(:,2),dt,Args.Pad,Args.Dj,Args.S0,Args.J1,Args.Mother);%#ok [Y,period,scale,coiy] = wavelet(y(:,2),dt,Args.Pad,Args.Dj,Args.S0,Args.J1,Args.Mother); % truncate X,Y to common time interval (this is first done here so that the coi is minimized) dte=dt*.01; %to cricumvent round off errors with fractional timesteps idx=find((x(:,1)>=(t(1)-dte))&(x(:,1)<=(t(end)+dte))); X=X(:,idx); coix=coix(idx); idx=find((y(:,1)>=(t(1)-dte))&(y(:,1)<=(t(end)+dte))); Y=Y(:,idx); coiy=coiy(idx); coi=min(coix,coiy); % -------- Cross Wxy=X.*conj(Y); % sinv=1./(scale'); % sinv=sinv(:,ones(1,size(Wxy,2))); % % sWxy=smoothwavelet(sinv.*Wxy,dt,period,dj,scale); % Rsq=abs(sWxy).^2./(smoothwavelet(sinv.*(abs(wave1).^2),dt,period,dj,scale).*s moothwavelet(sinv.*(abs(wave2).^2),dt,period,dj,scale)); % freq = dt ./ period;
109
Lampiran 2. Lanjutan %---- Significance levels %Pk1=fft_theor(freq,lag1_1); %Pk2=fft_theor(freq,lag1_2); Pkx=ar1spectrum(Args.AR1(1),period./dt); Pky=ar1spectrum(Args.AR1(2),period./dt);
V=2; Zv=3.9999; signif=sigmax*sigmay*sqrt(Pkx.*Pky)*Zv/V; sig95 = (signif')*(ones(1,n)); % expand signif --> (J+1)x(N) array sig95 = abs(Wxy) ./ sig95; if ~strcmpi(Args.Mother,'morlet') sig95(:)=nan; end if Args.MakeFigure Yticks = 2.^(fix(log2(min(period))):fix(log2(max(period)))); if Args.BlackandWhite levels = [0.25,0.5,1,2,4,8,16]; [cout,H]=safecontourf(t,log2(period),log2(abs(Wxy/(sigmax*sigmay))),log2(level s));%,log2(levels)); %*** or use 'contourf3ill' cout(1,:)=2.^cout(1,:); HCB=colorbarf(cout,H); barylbls=rats([0 levels 0]'); barylbls([1 end],:)=' '; barylbls(:,all(barylbls==' ',1))=[]; set(HCB,'yticklabel',barylbls); cmap=(1:-.01:.5)'*.9; cmap(:,2:3)=cmap(:,[1 1]); %cmap(:,1:2)=cmap(:,1:2)*.8; colormap(cmap); set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ... 'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',num2str(Yticks'), ... 'layer','top') xlabel('Time (Month)') ylabel('Period (Month)') hold on
110
Lampiran 2. Lanjutan
aWxy=angle(Wxy); phs_dt=round(length(t)/Args.ArrowDensity(1)); tidx=max(floor(phs_dt/2),1):phs_dt:length(t); phs_dp=round(length(period)/Args.ArrowDensity(2)); pidx=max(floor(phs_dp/2),1):phs_dp:length(period); phaseplot(t(tidx),log2(period(pidx)),aWxy(pidx,tidx),Args.ArrowSize,Args.Arro wHeadSize); if strcmpi(Args.Mother,'morlet') [c,h] = contour(t,log2(period),sig95,[1 1],'k');%#ok set(h,'linewidth',3) else warning('XWT:sigLevelNotValid','XWT Significance level calculation is only valid for morlet wavelet.') %TODO: alternatively load from same file as wtc (needs to be coded!) end %tt=[t([1 1])-dt*.5;t;t([end end])+dt*.5]; %hcoi=patch(tt,log2([period([end 1]) coi period([1 end])]),ones(size(tt))*0,'w'); %set(hcoi,'alphadatamapping','direct','facealpha',.8) plot(t,log2(coi),'k','linewidth',3) %hcoi=fill([t([1 1:end end])],log2([period(end) coi period(end)]),'r') %set(hcoi,'alphadatamapping','direct','facealpha',.3) hold off else H=imagesc(t,log2(period),log2(abs(Wxy/(sigmax*sigmay))));%#ok %logpow=log2(abs(Wxy/(sigmax*sigmay))); %[c,H]=safecontourf(t,log2(period),logpow,[min(logpow(:)):.25:max(logpow(:))] ); %set(H,'linestyle','none') clim=get(gca,'clim'); %center color limits around log2(1)=0 clim=[-1 1]*max(clim(2),3); set(gca,'clim',clim) HCB=safecolorbar; set(HCB,'ytick',-7:7); barylbls=rats(2.^(get(HCB,'ytick')')); barylbls([1 end],:)=' '; barylbls(:,all(barylbls==' ',1))=[]; set(HCB,'yticklabel',barylbls);
111
Lampiran 2. Lanjutan set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ... 'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',num2str(Yticks'), ... 'layer','top') xlabel('Time (Month)') ylabel('Period (Month)') hold on aWxy=angle(Wxy); phs_dt=round(length(t)/Args.ArrowDensity(1)); tidx=max(floor(phs_dt/2),1):phs_dt:length(t); phs_dp=round(length(period)/Args.ArrowDensity(2)); pidx=max(floor(phs_dp/2),1):phs_dp:length(period); phaseplot(t(tidx),log2(period(pidx)),aWxy(pidx,tidx),Args.ArrowSize,Args.Arro wHeadSize); if strcmpi(Args.Mother,'morlet') [c,h] = contour(t,log2(period),sig95,[1 1],'k');%#ok set(h,'linewidth',2) else warning('XWT:sigLevelNotValid','XWT Significance level calculation is only valid for morlet wavelet.') %TODO: alternatively load from same file as wtc (needs to be coded!) end tt=[t([1 1])-dt*.5;t;t([end end])+dt*.5]; hcoi=fill(tt,log2([period([end 1]) coi period([1 end])]),'w'); set(hcoi,'alphadatamapping','direct','facealpha',.5) hold off end end varargout={Wxy,period,scale,coi,sig95}; varargout=varargout(1:nargout); function [cout,H]=safecontourf(varargin) vv=sscanf(version,'%i.'); if (version('-release')<14)|(vv(1)<7) [cout,H]=contourf(varargin{:}); else [cout,H]=contourf('v6',varargin{:}); end
112
Lampiran 2. Lanjutan function hcb=safecolorbar(varargin) vv=sscanf(version,'%i.'); if (version('-release')<14)|(vv(1)<7) hcb=colorbar(varargin{:}); else hcb=colorbar('v6',varargin{:}); end